Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pasien kritis adalah pasien yang secara fisiologis tidak stabil, sehingga
mengalami respon hipermetabolik kompleks terhadap trauma, sakit yang dialami
akan mengubah metabolisme tubuh, hormonal, imunologis dan homeostasis
nutrisi. Pasien dengan sakit kritis yang dirawat di ruang Intensive Care Unit (ICU)
sebagian besar menghadapi kematian, mengalami kegagalan multi organ,
menggunakan ventilator, dan memerlukan support tekhnologi. Salah satu hal
penting yang harus diperhatikan adalah pemenuhan kebutuhan nutrisi untuk
melepas ketergantungan ventilator, mempercepat penyembuhan dan
memperpendek lama rawat. Namun selama ini, hal tersebut tidak banyak
diperhatikan karena yang menjadi fokus perawatan adalah mempertahankan
homeostatis tubuh (Menerez, 2012; Schulman, 2012; Ziegler, 2009).
Pemberian nutrisi pada kondisi sakit kritis bisa menjamin kecukupan energi
dan nitrogen, namun harus dihindari overfeeding seperti uremia, dehidrasi
hipertonik, steatosis hati, gagal napas hiperkarbia, hiperglisemia, koma non-
ketotik hiperosmolar dan hiperlipidemia. Pada pasien sakit kritis tujuan
pemberian nutrisi adalah menunjang metabolik, bukan untuk pemenuhan
kebutuhannya saat itu. Bahkan pemberian total kalori mungkin dapat merugikan
karena menyebabkan hiperglisemia, steatosis dan peningkatan CO2 yang
menyebabkan ketergantungan terhadap ventilator dan imunosupresi. Secara
umum dapat diuraikan tujuan pemberian dukungan nutrisi pada kondisi kritis
adalah meminimalkan keseimbangan negatif kalori dan protein dan kehilangan
protein dengan cara menghindari kondisi starvasi, mempertahankan fungsi
jaringan khususnya hati, sistem imun, sistem otot dan otot-otot pernapasan, dan
memodifikasi perubahan metabolik dan fungsi metabolik dengan menggunakan
substrat khusus (Wiryana, 2007).
Hampir semua pasien kritis mengalami anoreksia atau ketidakmampuan
makan karena penurunan kesadaran, pemberian sedasi, dan terintubasi. Pasien
yang tidak dapat makan atau tidak boleh makan harus tetap mendapat masukan
nutrisi melalui cara enteral dengan selang nasogastric (NGT) maupun selang
oralgastrik (OGT) atau cara parenteral (intravena) baik itu menggunakan vena
central maupun perifer. Di Inggris sejak 15 tahun terakhir, penggunaan nutrisi
parenteral sudah mulai dikurangi. Survey yang dilakukan pada tahun 2011 di
Inggris menunjukkan bahwa terjadi perubahan trend dalam peningkatan
penggunaan EN di ICU dan pengurangan penggunaan PN terbukti dari 1286
pasien, 707 pasien menggunakan EN, 147 menggunakan PN, 274 menggunakan
EN dan PN dan 158 belum memperhatikan nutrisi sesuai kebutuhan pasien
(Mahtab, et all 2011; Rifka, 2012). Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa
terjadi perubahan sistem imun dan gangguan pada usus lewat jalur GALT(Gut
Associated Lymfatic System), yang merupakan stimulasi proinflamasi selama
kelaparan usus. Abnormalitas sekunder lainnya adalah perubahan permeabilitas
atau bahkan translokasi kuman. Kegagalan pertahanan imun dihubungkan
dengan kurangnya nutrisi enteral atau luminal (Griffiths RD, 2008: McClave, 2005
: Mustafa, 2005).
Idealnya rute pemberian nutrisi adalah yang mampu menyalurkan nutrisi
dengan morbiditas minimal. Masing-masing rute mempunyai keuntungan dan
kerugian tersendiri, dan pemilihan harus tergantung pada penegakkan klinis dari
pasien (Escallon J et al, 2003). Meskipun rute pemberian nutrisi secara enteral
selalu lebih dipilih dibandingkan parenteral, namun nutrisi enteral tidak selalu
tersedia, dan untuk kasus tertentu kurang dapat diandalkan atau kurang aman.
Nutrisi parenteral mungkin lebih efektif pada kasus-kasus tertentu, asal diberikan
dengan cara yang benar. Dalam perawatan terhadap penderita sakit kritis, nutrisi
enteral selalu menjadi pilihan pertama dan nutrisi parenteral menjadi alternatif
berikutnya (Griffiths RD, 2008: McClave, 2005).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1.2 Pengertian Enteral atau Parenteral


A. Nutrisi Enteral
Nutrisi enteral atau Enteral Nutrition (EN) adalah nutrisi yang diberikan
pada pasien yang tidak dapat memenuhi kebutuhan nutrisinya melalui rute oral,
formula nutrisi diberikan melalui tube ke dalam lambung (gastric tube),
nasogastrik tube (NGT), atau jejunum dapat secara manual maupun dengan
bantuan pompa mesin (gastrostomy dan jejunum percutaneous) (Yuliana, 2009).
Teknik pemasangan selang untuk memberikan nutrisi secara enteral pernah
dijelaskan oleh Tuna, M et al. (2013) dalam penelitiannya yaitu terdapat
beberapa teknik untuk memasukkan selang nasoenterik melalui nasogastric,
nasoduodenum, atau nasojejunum, namun sebaiknya menggunakan teknik PEG
(Percutaneous Endoscopic Gastrostomy) karena komplikasinya lebih sedikit.
Teknik lain yang dapat digunakan adalah laparoskopi jejunustomi atau
gastrojejunustomy. Akan tetapi, sebagian besar pasien toleran terhadap
pemasangan selang nasoenteric secara manual (Tuna, M., et al, 2013).
Metode pemberian nutrisi enteral ada 2 yaitu gravity drip (pemberian
menggunakan corong yang disambungkan ke selang nasogastric dengan
kecepatan mengikuti gaya gravitasi) dan intermittent feeding (pemberian nutrisi
secara bertahap yang diatur kecepatannya menggunakan syringe pump).
Metode intermittent feeding lebih efektif dibandingkan metode gravity drip, hal ini
dilihat dari nilai mean volume residu lambung yang dihasilkan pada intermittent
feeding lebih sedikit dibandingkan gravity drip yaitu 2,47 ml : 6,93 ml. Hal ini
dikarenakan kondisi lambung yang penuh akibat pemberian secara gravity drip
akan memperlambat motilitas lambung dan menyebabkan isi lambung semakin
asam sehingga akan mempengaruhi pembukaan spinkter pylorus. Efek dari
serangkaian kegiatan tersebut adalah terjadinya pengosongan lambung
(Munawaroh, et al., 2012). Volume residu lambung yang dihasilkan dari nutrisi
enteral hingga 500 ml masih dikategorikan normal karena tidak menimbulkan
komplikasi gastrointestinal dan diet volume rasio (diet yang diberikan) pada
pasien yang terpasang ventilator dengan nutrisi enteral tidak berpengaruh
terhadap produksi volume residu lambung (Montejo, et al., 2010).
Nutrisi enteral sebaiknya diberikan pada semua pasien kritis kecuali
pasien mengalami distensi abdomen, perdarahan gastrointestinal, diare dan
muntah. Nutrisi enteral yang diberikan pada pasien dengan gangguan
gastrointestinal dapat menyebabkan ketidakcukupan pemenuhan nutrisi dan
berisiko terjadi malnutrisi. (Ziegler, 2009). Penelitian lain mengenai banyaknya
penggunaan nutrisi enteral bagi pasien kritis juga dilakukan oleh Jonqueira et al.
(2012) bahwa terdapat protocol tentang pemberian nutrisi bagi pasien kritis
dengan algoritma jika hemodinamik pasien telah stabil, lakukan penghitungan
kebutuhan nutrisi dengan memilih pemberian nutrisi secara enteral. Penggunaan
nutrisi enteral juga dapat meningkatkan status nutrisi pasien, hal ini sejalan
dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Kim, Hyunjung et al. (2011) pada 48
pasien ICU yang mendapat enteral feeding adekuat berupa energy selama 7
hari. Status nutrisi pasien-pasien tersebut meningkat jika dibandingkan dengan
pasien yang mendapat enteral feeding dibawah kebutuhan. Selama perawatan
dengan enteral feeding yang adekuat terdapat penurunan nilai Body Mass Index
(BMI), prealbumin dan Percent Ideal Body Weight (PIBW) (Kim, Hyunjung, et al.,
2011). Larutan nutrisi enteral yang tersedia dipasaran memiliki komposisi yang
bervariasi. Nutrisi polimer mengandung protein utuh (berasal dari whey, daging,
isolat kedelai dan kasein), karbohidrat dalam bentuk oligosakarida atau
polisakarida. Formula demikian memerlukan enzim pankreas saat absorbsinya.
Tabel 2.1 Nutrisi enteral
Keuntungan Kerugian
Fisiologis Membutuhkan waktu untuk mencapai
sokongan yang utuh
Menyediakan fungsi kekebalan Tergantung fungsi saluran cerna
Menyediakan fungsi saluran usus Kontra indikasi pada obstruksi intestinal
Tidak lebih mahal dibandingkan TPN
Meningkatkan aliran splanchnic yang Ketidakstabilan hemodinamik: output tinggi
melindungi cedera iskemik atau perfusi pada fistulaenterokuntaneus diare berat

1. Contoh Formula Enteral Komersial


a. Sonde Susu
Berikut ini merupakan beberapa Formula Enteral/ Sonde Komersial di
Indonesia:
1) Entramil
Komposisi:
a) Maltodekstrin
b) Minyak jagung dan minyak kelapa
c) Susu skim
d) Kasein

2) Entrasol
Komposisi:
a) Maltodekstrin
b) Minyak jagung
c) Kasein
Cara Pemberian: Tiap penyajian, 60 gram dilarutkan dalam 200 ml air untuk
menghasilkan 250 kkal. Dapat diberikan hingga 6 kali per hari.

3) Peptisol
Komposisi:
a) Maltodekstrin
b) Minyak jagung
c) Kasein
d) Protein-whey
Cara Pemberian: Tiap penyajian, 63 gram dilarutkan dalam 200 ml air hangat
untuk menghasilkan 250 kkal.

4) Diabetasol
Komposisi:
a) Maltodekstrin
b) Minyak kedelai
c) Kasein
d) Protein-whey
e) Frukto-oligo sakarida
f) Aspartame
g) Vitamin
h) Mineral
Indikasi: Diabetes Melitus
Cara Pemberian: Tiap penyajian, 60 gram dilarutkan dalam 200 ml air hangat
untuk menghasilkan 250 kkal.
5) Pediasure
Komposisi:
a) Sukrosa
b) Tepung jagung
c) Minyak sunflower
d) Kedelai dan MCT
e) Protein whey dan kasein
f) Vitamin dan mineral

6) Pan-enteral
Komposisi:
a) Sukrosadekstrin
b) Minyak kedelai dan MCT
c) Kasein
d) Vitamin dan mineral
Indikasi: Kakeksia dan Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) atau
penyakit paru kronik.
Cara Pemberian: Tiap penyajian, 40 gram dilarutkan hingga air 200 ml untuk
mendapatkan energi 200 kkal.
2. Formula Enteral MODISCO
Pada pasien anak-anak formula enteral untuk mengatasi kekurangan gizi
dapat diberikan MODISCO (Modified Dried Skimed Milk and Coconut Oil).
Formula MODISCO ini terdiri dari campuran susu, gula, dan minyak kelapa.
MODISCO juga dapat diberikan kepada penderita penyakit infeksi kronis, lansia,
dan remaja/dewasa yang ingin meningkatkan berat badan. Ada 4 macam formula
MODISCO yang dikembangkan sesuai kemampuan anak dan kondisi anak
kekurangan gizi, yaitu MODISCO ½, MODISCO 1, MODISCO 2, dan MODISCO
3.
Tabel 2.2 Kandungan Gizi Formula MODISCO per 100 cc
Formula MODISCO
Bahan Dasar Satuan
MODISCO 1/2 MODISCO 1 MODISCO 2 MODISCO 3
Susu Skim g 10 10 10 -
Susu g - - - 12
Fullcream
Gula Pasir g 5 5 5 7
Minyak cc 5 - 3 6
Kelapa
Margarin g - 6 - -
Cairan/air cc 100 100 100 100
Kandungan Zat Gizi
Energi Kalori 80 100 100 100
Protein g 3,6 3,6 3,6 3,2
Lemak g 4 4 2 9
Sumber: (Sugiyani dan Kusumayanti, 2011)

Cara Pembuatan MODISCO


Modisco 1:
1. Campurkan susu bubuk, gula, dan minyak/margarin. Seduh dengan air
hangat atau panas.
2. Aduk rata, tambah dengan air sedikit demi sedikit sambil terus diaduk. Saring
dan minum hangat-hangat.
Modisco 2:
1. Larutkan margarin dalam air.
2. Larutkan susu dan gula dalam air.
3. Campur kedua larutan, lalu saring.
4. Minum hangat-hangat.
Modisco 3:
1. Larutkan susu full cream dan gula dalam air dingin, aduk hingga rata.
2. Tambahkan minyak dan 1/2 bagian air panas.
3. Aduk hingga rata dan saring larutan bubur modisco tersebut
Sumber: Instalasi Gizi RSUD dr. Soetomo Surabaya.

3. Sonde Makanan Lengkap


Komposisi:
a) Tepung sukun
b) Telur ayam ras
c) Tahu
d) Wortel
e) Minyak kelapa sawit
f) Gula diabetasol
g) Jeruk siam Banjar
Cara Pembuatan:
1) Menyiapkan bahan
2) Merebus telur, tahu, dan wortel
3) Mencampurkan semua bahan dan diblender hingga halus
4) Mengeringkan bahan yang telah di blender ke dalam oven
5) Memasukkan bahan yang telah kering ke dalam processor dan mengayaknya
hingga menjadi tepung
6) Melarutkan pada 250 ml air hangat
7) Memberikan formula kepada pasien melalui pipa NGT

B. Nutrisi Parenteral
Nutrisi parenteral atau Parenteral Nutrition (PN) adalah suatu bentuk
pemberian nutrisi yang diberikan langsung melalui pembuluh darah tanpa melalui
saluran pencernaan (Yuliana, 2009). Metode pemberian nutrisi parenteral bisa
melalui vena perifer dan vena central, namun risiko terjadinya phlebitis lebih
tinggi pada pemberian melalui vena perifer sehingga metode ini tidak banyak
digunakan. Nutrisi parenteral diberikan bila asupan nutrisi enteral tidak dapat
memenuhi kebutuhan pasien dan tidak dapat diberikan dengan baik. Nutrisi
parenteral diberikan pada pasien dengan kondisi reseksi usus massif, reseksi
kolon, fistula dan pasien sudah dirawat selama 3-7 hari (Ziegler, 2009).
Pemberian nutrisi melalui PN harus berdasarkan standar yang ada agar
tidak terjadi komplikasi diantaranya menentukan tempat insersi yang tepat (tidak
boleh digunakan untuk plebotomi dan memasukkan obat), persiapan formula PN
secara steril 24 jam sebelum diberikan ke pasien dan disimpan di kulkas serta
aman dari pencahayaan agar menurunkan degradasi biokimia dan kontaminasi
bakteri. Namun sebelum diberikan ke pasien suhu formula harus disesuaikan
dengan suhu ruangan (Ziegler, 2009). Komponen dalam pemberian nutrisi
secara parenteral sebaiknya tidak menggunakan lemak dalam minggu pertama
selama perawatan di ICU, namun penggunaan asam lemak omega-3 masih
boleh diberikan. Zat gizi yang direkomendasikan adalah penambahan pemberian
glutamin (Martindale, et al., 2009; Ziegler, 2009).
Penelitian lain juga mendukung penambahan pemberian glutamin
dilakukan oleh Jonqueiraet al. (2012) yaitu untuk meningkatkan toleransi pasien
teerhadap nutrisi yang diberikan maka selain pemberian enteral ditambahkan
pula infus dengan volume minimal yaitu 15 ml/ jam dengan diet semi elemental,
normokalori, hipolipid, dan hiperprotein dengan penambahan glutamine.

Tabel 2.3. Nutrisi parenteral


Kelebihan Kekurangan
Tersedia apabila rute enteral menjadi Berhubungan dengan atropi jaringan
kontra indikasi limfoid system digestif
Dapat meningkatkan asupan bila oral Morbiditas septic yang meningkat
inadekuat penuh kurang dari 24 jam memberikan dukungan tumbuhnya bakteri
Sedikit kontraindikasi Translokasi mikroorganisme pada sirkulasi
portal

1.3 Makanan untuk pasien Kritis


Nutrisi yang diberikan berdasarkan penyakit atau kondisi pasien yaitu:
1. Nutrisi Pada Keadaan Trauma
Pasien trauma cenderung mengalami malnutrisi protein akut karena
hipermetabolisme yang persisten, yang mana akan menekan respon imun dan
peningkatan terjadinya kegagalan multi organ (MOF) yang berhubungan dengan
infeksi nosokomial. Pemberian substrat tambahan dari luar lebih awal akan dapat
memenuhi kebutuhan akibat peningkatan kebutuhan metabolik yang dapat
mencegah atau memperlambat malnutrisi protein akut dan menjamin outcome
pasien. Nutrisi enteral total (TEN/Total Enteral Nutrition) lebih dipilih dari pada
TPN karena alasan keamanan, murah, fisiologis dan tidak membuat
hiperglisemia. Intoleransi TEN dapat terjadi, yaitu muntah, distensi atau cramping
abdomen, diare, keluarnya makanan dari selang nasogastrik. Pemberian TPN
secara dini tidak diindikasikan kecuali pasien mengalami malnutisi berat
(Wiryana, 2007).
2. Nutrisi pada Pasien Sepsis
Pada pasien sepsis, Total Energy Expenditure (TEE) pada minggu pertama
kurang lebih 25 kcal/kg/ hari, tetapi pada minggu kedua TEE akan meningkat
secara signifikan. Kalorimetri indirek merupakan cara terbaik untuk menghitung
kebutuhan kalori, proporsi serta kuantitas zat nutrisi yang digunakan. Pemberian
glukosa sebagai sumber energi utama dapat mencapai 4-5 mg/kg/menit dan
memenuhi 50-60% dari kebutuhan kalori total atau 60-70% dari kalori non
protein. Pemberian glukosa yang berlebihan dapat mengakibatkan
hipertrigliseridemia, hiperglikemia, diuresis osmotik, dehidrasi, peningkatan
produksi CO2 yang dapat memperburuk insufisiensi pernafasan dan
ketergantungan terhadap ventilator, steatosis hepatis, dan kolestasis. Pemberian
lemak sebaiknya memenuhi 25-30% dari kebutuhan total kalori dan 30- 40% dari
kalori non protein. Kelebihan lemak dapat mengakibatkan disfungsi neutrofil dan
limfosit, menghalangi sistem fagositik mononuklear, merangsang hipoksemia
yang dikarenakan oleh gangguan perfusi-ventilasi dan cedera membran
alveolokapiler, merangsang steatosis hepatik, dan meningkatkan sintesis PGE2.
Dalam keadaan katabolik, protein otot dan viseral dipergunakan sebagai energi
di dalam otot dan untuk glukoneogenesis hepatic (alanin dan glutamin).
Kebutuhan protein melebihi kebutuhan protein normal yaitu 1,2 g/kg/protein/hari.
Kuantitas protein sebaiknya memenuhi 15 . 20% dari kebutuhan kalori total
dengan rasio kalori non protein/ nitrogen adalah 80:1 sampai dengan 110:1.
(Mustafa, 2005 : Zauner C,2001).
3. Nutrisi pada Penyakit Ginjal Akut (Acute Renal Failure)
ARF secara umum tidak berhubungan dengan peningkatan kebutuhan
energi. Meski demikian kondisi traumatik akut yang menetap dapat meningkatkan
REE (misalnya pada sepsis meningkat hingga 30%). Adanya penurunan toleransi
terhadap glukosa dan resistensi insulin menyebabkan uremia akut, asidosis
ataupeningkatan glukoneogenesis. Pada pasien ARF membutuhkan perhatian
yang hati-hati terhadap kadar glukosa darah dan penggunaan insulin
dimungkinkan dalam larutan glukosa untuk mencapai kadar euglikemik.
Pemberian lipid harus dibatasi hingga 20-25% dari energi total. Meski demikian
lipid sangatlah penting karena osmolaritasnya yang rendah, sebagai sumber
energi, produksi CO2 yang rendah dan asam lemakessensial. Protein atau
asamamino diberikan 1,0-1,5 g/kg/hari tergantung dari beratnya penyakit, dan
dapat diberikan lebih tinggi (1,5-2,5 g/kg/hari) pada pasien ARF yang lebih berat
dan mendapat terapi menggunakan CVVH, CVVHD, CVVHDF, yang memiliki
klirens urea mingguan yang lebih besar. (Leonard, 2007 : Mustafa, 2005)
4. Nutrisi pada Pankreatitis Akut
Nutrisi enteral dapat diberikan, namun ada beberapa bukti bahwa
pemberian nutrisi enteral dapat meningkatkan keparahan penyakit. Nutrisi
parenteral pada pankreatitis akut berguna sebagai tambahan pada pemeliharaan
nutrisi. Mortalitas dilaporkan menurun seiring dengan peningkatan status nutrisi,
terutama pada pasien-pasien pankreatitis akut derajat sedang dan berat. Pada
pasien dengan penyakit berat pemberian nutrisi isokalorik maupun hiperkalorik
dapat mencegah katabolisme protein. Oleh karena itu, pemberian energi
hipokalorik sebesar 15-20 kkal/kg/hari lebih sesuai pada keadaan katabolik awal
pada pasien-pasien non bedah dengan MOF. Pemberian protein sebesar 1,2-1,5
g/kg/hari optimal untuk sebagian besar pasien pankreatitis akut. Pemberian
nutrisi peroral dapat mulai diberikan apabila nyeri sudah teratasi dan enzim
pancreas telah kembali normal. Pasien awalnya diberikan diet karbohidrat dan
protein dalam jumlah kecil, kemudian kalorinya ditingkatkan perlahan dan
diberikan lemak dengan hati-hati setelah 3-6 hari (Leonard, 2007 : Mustafa,
2005)
5. Nutrisi pada Penyakit Hati
Pada penyakit hati terjadi peningkatan lipolisis, sehingga lipid harus
diberikan dengan hati-hati untuk mencegah hipertrigliseridemia, yaitu tidak lebih
dari 1 g/kg perhari. Pembatasan protein diperlukan pada ensefalopati hepatik
kronis, mulai dari 0,5 g/kg perhari, dosis ini dapat ditingkatkan dengan hati-hati
menuju ke arah pemberian normal. Ensefalopati hepatic menyebabkan hilangnya
Branched Chain Amino Acids (BCAAs) mengakibatkan peningkatan pengambilan
asam amino aromatik serebral, yang dapat menghambat neurotransmiter. Pada
pasien dengan intoleransi protein, pemberian nutrisi yang diperkaya dengan
BCAAs dapat meningkatkan pemberian protein tanpa memperburuk ensefalopati
yang sudah ada. Kegagalan fungsi hati fulminan dapat menurunkan
glukoneogenesis sehingga terjadi hipoglikemia yang memerlukan pemberian
infus glukosa. Lipid dapat diberikan, karena masih dapat ditoleransi dengan baik.
(Leonard, 2007).
1.4 Mengkaji Jurnal
Jurnal 1

PENGARUH ASUPAN MAKANAN TERHADAP KEJADIAN MALNUTRISI DI


RUMAH SAKIT

Latar Belakang

Malnutrisi merupakan salah satu permasalahan yang dihadapi rumah sakit


dalam upaya penyembuhan pasien. Angka malnutrisi ini cukup tinggi dan merata
hampir di semua rumah sakit untuk semua jenis penyakit maupun sosial ekonomi
penderita. Malnutrisi dapat timbul sejak sebelum dirawat di rumah sakit yang
disebabkan karena penyakitnya atau masukan zat gizi yang tidak cukup, namun
tidak jarang pula malnutrisi ini timbul selama dirawat inap.

Metode :
Penelitian ini adalah penelitian observasional dengan rancangan studi
kohor prospektif, yang dilakukan pada dua bangsal yaitu bangsal penyakit dalam
dan saraf di tiga rumah sakit yaitu RS Dr. M. Jamil Padang, RS Dr. Sardjito
Yogyakarta dan RS Sanglah Denpasar sejak bulan Oktober 2002 sampai
Februari 2003. Penelitian ini merupakan bagian dari suatu penelitian yang
dirancang untuk melihat pengaruh makanan, status gizi dan faktor lain terhadap
hospital outcomes.
Data yang dikumpulkan meliputi asupan makanan diperoleh dengan
menggunakan metode Comstock dan Food Recall 24 jam yang dilihat selama
dirawat di rumah sakit. Asupan makanan ini dikonversikan dalam bentuk energi
dan protein dengan menggunakan software Food Processor 2 yang kemudian
dibandingkan dengan kebutuhan pasien yang ditentukan dengan menggunakan
rumus Harris Benedict, kemudian dikelompokkan menjadi dua kelompok yaitu
asupan makanan cukup bila •75% dari kebutuhan dan asupan makanan tidak
cukup bila <75% kebutuhan. Data yang berkaitan dengan kejadian malnutrisi di
rumah sakit dilihat dari perubahan berat badan.
Hasil dan Pembahasan
Analisis multivariat dilakukan untuk melihat risiko asupan makanan dan variabel
lain terhadap terjadinya malnutrisi di rumah sakit. Hasil dari analisis ini terlihat
bahwa asupan energi, jenis kelamin dan asal rumah sakit bermakna signifikan
dengan malnutrisi (p<0,05) (tabel 6).

Subjek dengan asupan energi tidak cukup berisiko 3,2 kali lebih besar untuk
mengalami malnutrisi dibandingkan subjek dengan asupan energi cukup, subjek
dengan jenis kelamin perempuan berisiko 2 kali lebih besar untuk mengalami
malnutrisi dibandingkan dengan subjek laki-laki, serta subjek yang dirawat di RS
Dr. Sardjito Yogyakarta dan RS Dr.M. Jamil Padang berisiko 4,9 dan 2,6 kali
lebih besar untuk malnutrisi bila dibandingkan dengan subjek yang dirawat di RS
Sanglah Denpasar.

Berdasarkan hasil penelitian ini, terlihat bahwa ada pengaruh yang signifikan
antara asupan energi dengan malnutrisi (p<0,05). Dilihat dari Odds Ratio subjek
dengan asupan energi tidak cukup mempunyai risiko 2,1 kali lebih besar
dibandingkan dengan subjek dengan asupan energi cukup. Ini berarti bahwa
dukungan gizi pada penderita yang dirawat di rumah sakit sangat diperlukan,
seperti penelitian yang dilakukan oleh McWhirter dan Pennington (3) yang
menunjukkan bahwa pasien yang mendapatkan dukungan nutrisi yang tepat
ternyata mengalami kenaikan berat badan rata-rata sebesar 7,9%. Pada analisis
multivariat terlihat bahwa RS Dr. Sardjito paling berisiko terjadi malnutrisi, yaitu
4,9 kali lebih besar dibandingkan faktor risiko yang lain. Tingginya risiko ini
disebabkan karena persentase penyakit noninfeksi dan terapi medis cukup tinggi
dibandingkan dua rumah sakit lainnya, yaitu berturut-turut sebesar 80% dan
43%. Berdasarkan penelitian Naber et al., ditemukan bahwa pasien yang infeksi
dan noninfeksi berisiko mengalami malnutrisi berturut-turut sebesar 1,4 dan 1,5
kali. Hal ini berarti risiko pasien yang menderita penyakit noninfeksi lebih besar
daripada yang menderita penyakit infeksi.

Faktor lain yang paling berisiko untuk malnutrisi adalah asupan energi. Subjek
dengan asupan energi tidak cukup berisiko 3,2 kali lebih besar daripada subjek
dengan asupan energi cukup. Risiko untuk terjadinya malnutrisi ini dapat
diminimalkan apabila rata-rata asupan minimal pasien yang dirawat di rumah
sakit dapat dipenuhi. Asupan pasien dikategorikan cukup selama dirawat di
rumah sakit bila rata-rata asupan makanannya lebih dari 75% dibanding
kebutuhan energi dan 80% dibanding kebutuhan protein.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian ini, dapat ditarik kesimpulan yaitu rata-rata


asupan energi dan protein selama di rumah sakit berhubungan dengan rata-rata
asupan tiga hari pertama dirawat di rumah sakit dan pasien dengan asupan
energi tidak cukup selama di rumah sakit mempunyai risiko lebih besar untuk
malnutrisi dibandingkan dengan pasien dengan asupan energi cukup.

JURNAL 2
NUTRISI PADA PENDERITA SAKIT KRITIS
LATAR BELAKANG

Malnutrisi adalah masalah umum yang dijumpai pada kebanyakan pasien


yang masuk ke rumah sakit. Malnutrisi mencakup kelainan yang disebabkan oleh
defisiensi asupan nutrien, gangguan metabolisme nutrien, atau kelebihan nutrisi.
pasien kritis yang dirawat di Intensive Care Unit (ICU) sering kali menerima
nutrisi yang tidak adekuat akibat dokter salah memperkirakan kebutuhan nutrisi
dari pasien dan juga akibat keterlambatan memulai pemberian nutrisi. Pasien-
pasien yang masuk ke ICU umumnya bervariasi, yaitu pasien elektif pasca
operasi mayor, pasien emergensi akibat trauma mayor, sepsis atau gagal napas.
Kebanyakan dari pasien-pasien tersebut ditemukan malnutrisi sebelum
dimasukkan ke ICU.
Malnutrisi sering dikaitkan dengan peningkatan morbiditas, mortalitas
akibat perburukan pertahanan tubuh, ketergantungan dengan ventilator,
tingginya angka infeksi dan penyembuhan luka yang lama, sehingga
menyebabkan lama rawat pasien memanjang dan peningkatan biaya perawatan.
Pentingnya nutrisi terutama pada perawatan pasien-pasien kritis mengharuskan
para klinisi mengetahui informasi yang benar tentang faktor-faktor yang
mempengaruhi manajemen pemberian nutrisi dan pengaruh pemberian nutrisi
yang adekuat terhadap outcome penderita kritis yang dirawat di ICU.

METODE

Penelitian menunjukkan bahwa rumus perkiraan kebutuhan energi dengan


menggunakan prosedur ini cenderung berlebih dalam perhitungan energi
expenditure pada pasien dengan sakit kritis hingga 15%.Sejumlah ahli
menggunakan perumusan yang sederhana “Rule of Thumb” dalam menghitung
kebutuhan kalori, yaitu 25-30 kkal/kgbb/hari. Selain itu penetapan Resting
Energy Expenditue (REE) harus dilakukan sebelum memberikan nutrisi. REE
adalah pengukuran jumlah energi yang dikeluarkan untuk mempertahankan
kehidupan pada kondisi istirahat dan 12 - 18 jam setelah makan. REE sering
juga disebut BMR (Basal Metabolic Rate), BER (Basal Energy Requirement),
atau BEE (Basal Energy Expenditure). Perkiraan REE yang akurat dapat
membantu mengurangi komplikasi akibat kelebihan pemberian nutrisi
(overfeeding) seperti infiltrasi lemak ke hati dan pulmonary compromise.

HASIL

Penilaian secara objektif status nutrisi pasien di ICU adalah sulit, karena proses
dari penyakit mengacaukan metode penilaian yang kita gunakan. Status nutrisi
adalah fenomena multi dimensional yang memerlukan beberapa metode dalam
penilaian, termasuk indikator-indikator nutrisi, intake nutrisi, dan pemakaian /
pengeluaran energi. Secara umum dapat diuraikan tujuan pemberian dukungan
nutrisi pada kondisi kritis adalah meminimalkan keseimbangan negatif kalori dan
protein dan kehilangan protein dengan cara menghindari kondisi starvasi,
mempertahankan fungsi jaringan khususnya hati, sistem imun, sistem otot dan
otot-otot pernapasan, dan memodifikasi perubahan metabolik dan fungsi
metabolik dengan menggunakan substrat khusus.

Anda mungkin juga menyukai