Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH UNDANG-UNDANG DAN KESELAMATAN KERJA

PENGELOLAAN PENAMBANGAN EMAS DI GUNUNG BOTAK ,

DESA DAFA DUSUN WAMSAID KECAMATAN WAEAPO KEBUPATEN BURU

PROPINSI MALUKU KAJIAN HUKUM LINGKUNGAN

OLEH

Denny Prananda Libriyon (15137033)

S1 TEKNIK PERTAMBANGAN

JURUSAN TEKNIK PERTAMBANGAN

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS NEGERI PADANG

2017
I. PENDAHUUAN

A. LATAR BELAKANG

Dewasa ini berbagai daerah di Indonesia telah banyak terjadi perubahan ekosistem yang
disebabkan oleh aktifitas manusia. Peran manusia dalam menciptakan ekosistem buatan, dimana
manusia mampu mengontrol, melestarikan dan memulihkan lingkungan yang berada
disekitar.Salah satu kegiatan manusia yang dapat merubah ekosistem adalah terjadi di Maluku
Tengah pulau Buru kecamatan Waeapo yakni pengelolaan penambangan liar di Gunung Botak.
Penambangan emas yang dilakukan digunung Botak pulau Buru oleh masyarakat setempat
dan para pendatang masih mengunakan cara yang sangat sederhana. Para penambang mengali
lubang baik secara vertikal maupun horisontal, 5 sampai 10 meter untuk mengambil pendapatan
yang cukup bagi para penambangan , sehingga banyak masyarakat yang tergiur untuk melakukan
kegitan penambangan dan meninggalkan pekerjaan mereka yang lama.
Besarnya penghasilan yang didapat penambang emas di Gunung Botak diikuti pula dengan
besarnya dampak yang terjadi akibat adanya penambangan emas yakni dari sisi lingkungan.
Daerah Gunung Botak menjadi rawan longsor karena adanya pengalian – pengalian lubang untuk
pertambangan. Banyak pohon yang ditebang / dirusak untuk keperluan para penambang
membuat tenda dan membuat lubang tambang, daerah yang mulanya merupakan ekosistem hutan
berubah menjadi lubang tambang yang ditinggalkan penambang tanpa dilakukan rehabilitasi, hal
ini sangat merusak lingkungan. Kerusakan ekosistem hutan berdampak pada ketidakseimbangan
sistim alam yang berdampak pada sungai yang mulanya bersih menjadi kotor dan tercemar
mercury,
Salah satu dampak yang timbul akibat penambangan emas yakni terjadi penurunan kualitas
air , air yang biasanya digunakan untuk kebutuhan manusia untuk minum tidak dapat
dimanfaatkan karena terjadinya kekeruhan air.Terjadipeningkatan konsentrasi logam berat
seperti adanya merkuri yang biasanya ditemukan dibadan sungai akibat limbah hasil
pengelolahan. Para penambang juga tidak memiliki kuasa / izin untuk pertambangan , sehingga
para penambang melakukan kegiatan tidak sesuai dengan aturan – aturan yang berlaku.Dari
dampak yang ditimbulkan dari aktifitas penambangan emas sangat tidak sesuai dengan UU No
32 tahun 2009 tentang Pengelolaan Dan Perlindungan Lingkungan Hidup .
Maka sangat dibutuhkan perhatian pemerintah dalam hal ini pemerintah kabupaten Buru
untuk melakukan kewenangan sesuai dengan aturan yang berlaku. Oleh karena itu
penyelengaraan pembinaan dan Pengawasan harus dilakukan berdasarkan pedoman dan standar
yang baku diperoleh kejelasan dan kepastian bagi pelaku usaha yang melakukan kegiatan usaha
dibidang mineral dan batubara.

B. RUMUSAN MASALAH

Adanya masalah yang diketahu dalam pembuatan makalah ini adalah :

1. Bagaimana kegiatan penambangan emas di Gunung Botak


2. Bagaimana pengelolaan pertambangan di Gunung Botak
3. Apa penegakan hukum tambang emas di Gunung Botak

C. TUJUAN MAKALAH

1. Mengetahui kegiatan penambangan emas di Gunung Botak


2. Mengetahui cara pengelolaan pertambangan di Gunung Botak
3. Mengetahui penegakan hukum tambang emas Gunung Botak
II. PEMBAHASAN

A. TAMBANG EMAS PULAU BURU DI GUNUNG BOTAK

Pulau Buru merupakan salah satu pulau besar di Kepulauan Maluku. Pulau Buru menempati
urutan ketiga setelah pulau Halmahera di Maluku Utara dan pulau Seram di Maluku Tengah.
Pulau ini terkenal sebagai pulau pengasingan bagi para tahanan politik pada zaman pemerintahan
Orde Baru Presiden Soeharto. Letak geografis Kabupaten Buru pada 2º25’ - 3º55’ Lintang
Selatan dan 125º70’ - 127º21’ Bujur Timur. Pulau Buru 9.599 Km2, memiliki panjang 140 km
dan lebar 90 km dengan puncak gunung tertinggi Kan Palatmada 2.429 m. Dengan tiga
pegunungan yang dipisahkan oleh struktur kelurusan lembah. Pada bagian barat tapak
Palatmada dengan ketinggian diatas 2000 m, yang dibatasi oleh lembah depresi Sungai Nibe-
Danau Rana dan Sungai Wala. Pada blok tengah dengan ketinggian diatas 1000 m yang dibentuk
oleh Teluk Kayeli dan Lembah Apu, blok selatan dibentuk oleh Lembah Kalua dengan Gunung
Batabual 1.731 m.

Tambang emas di Gunung Botak pulau Buru menjadi harapan baru bagi masyarakat Buru
pada khususnya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Buru. Emas adalah unsur kimia
dengan nomor atom 79 dan massa atom 196,967 berupa logam dengan titik lebur 1.063° C dan
titik didih 2.600° C, emas merupakan logam yang paling lenting dan mudah ditempa, juga
konduktor yang baik. [6] Cara penambangan emas tergantung pada keadaan geologi bentuk dan
letak. Endapan emas sekunder, ditambang secara sederhana dengan cara terbuka, dengan sistem
pendulangan atau dengan tambang semprot yang melibatkan banyak pekerja, tanpa
menggunakan peralatan besar dan padat teknologi serta modal yang besar.

Penambangan endapan emas primer memerlukan modal besar dan padat teknologi.
Penambangan emas yang dilakukan di Gunung Botak pulau Buru oleh masyarakat setempat dan
para pendatang masih menggunakan cara yang sangat sederhana. Para penambang menggali
lubang fertikal maupun horizontal, 5 sampai dengan 10 meter untuk mengambil batuan yang
mengandung emas. Kegiatan penambangan tersebut melalui beberapa tahap antara lain; pemilik
lahan atau lubang, penggali lubang terowongan, dan orang yang bertugas memikul atau
membawa hasil galian. Aktifitas pada proses ini dapat menghasilkan pendapatan yang cukup
bagi para penambang. Sehingga banyak masyarakat yang tergiur untuk melakukan kegiatan
penambangan dan meninggalkan pekerjaan mereka yang lama.

Besarnya penghasilan yang di dapat penambang dari kegiatan penambangan emas di Gunung
Botak diikuti pula dengan besarnya dampak yang dapat terjadi akibat adanya penambangan emas
tersebut. Dalam tulisan ini dampak sosial yang ditimbulkan dari adanya penambangan emas di
Gunung Botak dapat dilihat dari beberapa sisi, diantaranya dari sisi ekonomi, kesehatan,
kemanan, lingkungan dan hukum.

Dari sisi ekonomi, harga barang melonjak melebihi standar harga yang berlaku. Kajian
ekonomi regional propinsi maluku triwulan I – 2012, empat imbas yang timbul akibat
ditemukannya tambang emas di Buru, antara lain : Pertama, peralihan tenaga kerja dari sektor
pertanian ke sektor pertambangan. Hasildari penambangan emas yang menggiurkan dan
menghasilkan uang dalam wakturelatif singkat dibandingkan dengan bertani membuat banyak
masyarakat yangmeninggalkan sawah dan ladang untuk pergi ke area penambangan emas.Kedua,
peningkatan upah buruh tani. Adanya tambang emas membuat standarupah buruh meningkat
karena buruh membandingkan hasil yang lebih menjanjikan jika bekerja menjadi penambang
dibandingkan dengan bertani. Hal ini membuat petani sulit mendapatkan buruh tani dengan upah
yang murah. Ketiga, penduduk Buru terancam kekurangan pasokan beras karena produksi yang
menurun. Mengacu pada perhitungan, Bulog berencana membeli 4000 ton/tahun untuk
didistribusikan ke wilayah Maluku. Namun saat ini kondisi terbalik 180 derajat. Buru menjadi
daerah yang kekurangan beras. Untuk menutupi kekurangan tersebut, Bulog Maluku menyuplai
raskin dari Ambonke Buru. Sejak bulan Januari 2011 sebanyak 1700 ton raskin darigudang di
Ambon sudah dikirim ke Pulau Buru. Padahal pada tahun-tahun sebelumnya Buru merupakan
pemasok raskin ke Ambon yang didistribusikan ke wilayah Maluku.Keempat, terdapat
persaingan antara Bulog dan para penambang untuk mendapatkan beras yang terbatas. Bulog
Maluku membeli beras dari para petanidengan harga Rp6.600,00/kg sedangkan para penambang
yang memiliki daya belidi atas rata-rata yakni sebesar Rp8.000,00/kg. Menurutcatatan Bulog,
dari target pembelian sebanyak 4000 ton pada tahun 2012, sampaitriwulan I-2012, Bulog
mendapatkan 65 ton.

Dari sisi kesehatan salah satunya, virus mematikan: HIV/AIDS teridentifikasi di pulau Buru,
empat pekerja seks komersial (PSK) diketahui positif mengidap HIV. Kondisi ini mendapat
perhatian serius pemerintah Kabupaten Buru yang langsung melakukan berbagai sosialisasi
pencegahan penularan virus tersebut. Pemerintah bersama aparat kepolisian juga melakukan
razia di hotel dan penginapan yang ada di Pulau Buru. Limbah mercury yang sudah diluar
ambang batas toleransi akan memberikan dampak buruk bagi kesehatan secara luas terhadap
mas-yarakat Kabupaten Buru, terlebih khusus lagi mereka yang terkon-taminasi limbah tersebut
Kesulitan penambang memperoleh air bersih dan penambangan dilakukan berhari- hari tanpa
memperhatikan kesehatan, para penambang banyak yang menderita penyakit kulit.

Dari sisi lingkungan, daerah Gunung Botak menjadi rawan longsor karena adanya pengalian-
pengalian lubang untuk pertambangan. Banyak pohon ditebang/ dirusak untuk keperluan para
penambang membuat tenda dan membuat lubang tambang, daerah yang mulanya merupakan
ekosistem hutan berubah menjadi lubang tambang yang ditinggalkan penambang tanpa dilakukan
rehabilitasi hal ini sangat merusak lingkungan. Hilangnya ekosistem hutan yang berganti menjadi
daerah pertambagan telah menghilangkan fungsi ekosistem hutan sebagai pertukaran
energi,siklus hidrologi, rantai makanan mahluk hidup, mempertahankan keanrkaragaman hayati,
daur nutrient dan pengendali ketika terjadi pencemaran. Kerusakan ekosistem hutan berdampak
pada keetidakseimbangan sistem alam. Sungai yang mulanya menjadi kotor dan tecemar
mercuri.

B. PENGELOLAAN PERTAMBANGAN DI GUNUNG BOTAK

Sumber daya mineral sebagai salah satu kekayaan yang dimiliki bangsa Indonesia, apabila
dikelola dengan baik akan memberikan kontribusi terhadap pembangunan ekonomi didaerah.
Dalam hal pemerintah sebagai penguasa sumber daya tersebut, sesuai amanah Undang – Undang
Dasar 1945, pemerintah harus mengatur tingkat pengunaannya untuk mencegah pemberosan
potensi yang dikuasainya dan dapat mengoptimalkan pendapatan dari penguasaan sumber daya
tersebut sehingga dapat diperoleh manfaat yang sebesar – besarnya bagi kesejahteraan rakyat.

Dalam pengelolaan pertambangan di Gunung Botak akan membawa dampak negatif terhadap
lingkungan. Hal ini menyebabkan kerusakan permanen pada pohon, Senyawa yang sangat
beracun juga digunakan untuk memisahkan emas dari sedimen dan batuan. Mercuri yang
dilepaskan ke sungai ini akan memasuki rantai makanan .serta air sungai menjadi tercemar.
Berdasrkan pasal 1 Undang – Undang No 11 tahun 1967 tenatng Ketentuan – Ketentaun
Pokok Pertambangan menyatakan bahwa “Semua bahan galian yang terdapat dalam wilayah
hukum pertambangan Indonesia yang merupakan endapan-endapan alam sebagai karunia Tuhan
Yang Maha Esa, adalah kekayaan nasional bangsa Indonesia dan oleh karenanya dikuasai dan
dipergunakan oleh Negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat “.

Pasal tersebut membuktikan bahwa setiap warga Negara Indonesia dapat memanfaatkan
sumber daya alam yang ada, namun tetap mematuhi peraturan-peraturan daerah yang ada,
bahwasanya setiap pendirian bangunan ataupun usaha harus ada izinnya.

Penambangan emas tanpa izin yang resmi dari Pemerintah, tentu dan sudah pasti dilarang dan
merupakan suatu aktifitas yang illegal. Diwajibkannya setiap usaha untuk mengantongi izin
usaha ialah merupakan upaya pemerintah dalam pengelolaan dan pemantauan terhadap
lingkungan, seperti yang tercantum dalam Pasal 15 ayat (1) UU No. 11 Tahun 1967, bahwa “
Usaha pertambangan yang ada hanya dapat dilakukan oleh perusahaan atau perseorangan yang
tersebut dalam pasal 6,7,8 dan 9, apabila kepadanya telah diberi kuasa pertambangan “. Isi pasal
tersebut menunjukkan bahwa yang dapat dan dibolehkan untuk menjalankan usaha
pertambangan ialah mereka yang telah mengantongi izin dan syarat-syarat lain yang menyertai
dikeluarkannya izin tersebut.

Istilah pertambangan liar terjadi karena keluarnya Surat Keputusan Mentri Pertambangan dan
Energi No. 01P/201/M.PE/1986 tentang Pedoman Pengelolaan Pertambangan Rakyat Bahan
Galian Strategis dan Vital (golongan A dan B ). Di dalam Kepmen tersebut disebutkan bahwa
usaha pertambangan rakyat yang dilakukan setelah adanya kuasa penambangan atau kontrak
karya dianggap tidak sah dan dapat digolongkan sebagai penambangan liar. Ini artinya
pertambangan rakyat yang tidak mendapat kuasa tambang digolongkan sebagai pertambangan
liar.

Tiga faktor utama munculnya penambangan liar yaitu : Pertama, faktor ekonomi. Masalah
kemiskinan dan tidak ada alternatif sumber pendapatan lain mendorong masyarakat mengambil
jalan pintas untuk memenuhi kebutuhan ekonomi dengan menggali bahan tambang secara liar.
Hal ini diperparah dengan adanya pelaku ekonomi bermodal yang tergiur untuk mendapat rente
ekonomi secara jangka pendek dengan membiayai kegiatan penambangan liar. Kedua, faktor
peraturan dan kapasitas aparatur. Tidak ada perangkat aturan dan kebijakan yang tegas,
konsisten, dan transparan yang mengatur usaha pertambangan termasuk di antaranya dalam
perizinan, pembinaan, kewajiban, dan sanksi. Lemahnya pemahaman aparat pemerintah lokal
dalam pemahaman tata laksana penambangan yang benar (good mining practices) dan perilaku
aparat yang berusaha mengambil manfaat pribadi atas kegiatan penambangan liar, menjadi faktor
penting tumbuhnya penambangan liar. Ketiga, faktor pola hubungan dan kebijakan perusahaan
berizin. Hubungan antara penambangan liar dan perusahaan berizin yang dijarah dilandasi oleh
rasa curiga dan konflik. Dengan pola hubungan seperti ini dan penerapan kebijakan yang represif
untuk mengusir penambangan liar sesegera mungkin, mungkin akan menjadikan penambangan
liar sulit diberantas.

Ciri-ciri pertambangan tanpa izin, diantaranya: Pertama, produktifitas rendah, karena


kemampuan yang terbatas dalam cara penambangan, lebih banyak disebabkan oleh
kesederhanaan cara kerja alat dan hanya ingin memperoleh keuntungan secara cepat. Kedua,
mengabaikan lingkungan, disebabkan kemudahan untuk memperoleh emas, umumnya tidak
memperhatikan cara-cara penambangan dan pengolahan yang benar. Ketiga, kurang
memperhatikan keselamatan kerja, ketidak tahuan mengenai K3 dan teknik penambangan
menyebabkan sering terjadinya kecelakaan yang dapat merenggut nyawa penambang. Keempat,
tidak memperhatikan konservasi bahan galian.

Melihat faktor penyebab dan ciri-ciri pertambangan tanpa izin diatas, kegiatan penambangan
emas yang dilakukan di Gunung Botak memenuhi unsur kedua komponen tersebut untuk
dikatakan sebagai pertambangan tanpa izin. Para penambang di Gunung Botak juga dapat
disebut sebagai penambang liar karena tidak memiliki kuasa atau izin untuk pertambangan.

Perizinan merupakan instrumen hukum administrasi. Salah satu otoritas pemerintah dalam
rangka pengelolaan pertambangan yang baik adalah dengan menerapkan izin pertambangan. Izin
hanya merupakan otoritas dan monopoli dari penguasa atau pemerintah. Tidak ada lembaga lain
di luar pemerintah yang bisa memberikan izin pengelolaan pertambangan, dan ini berkaitan
dengan prinsip kekuasaan negara atas semua sumber daya alam demi kepentingan hayat hidup
orang banyak.Izin sebagai landasan hukum, sebagai instrumen untuk menjamin kepastian
hukum, sebagai instrumen untuk melindungi kepentingan. Menurut Siti Sundari Rangkuti bahwa
pengelolaan lingkungan hanya dapat berhasil menunjang pembangunan berkelanjutan apabila
pemerintahan berfungsi efektif dan terpadu.

Berdasarkan Undang – Undang No 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan


lingkungan hidup adalah upaya penguatan tentang prinsip-prinsip perlindungan dan pengelolaan
lingkungna hidup yan didasarkan pada tata kelola pemerintah yang baik karena dalam setiap
proses perumusan dan penerapan instrumen pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan
lingkungan hidup serta penangulangan dan penegakan hukum mewajibkan ada asapek
transparasi,partisipasi, akuntabilitas dan keadilan.

Dari temuan di Gunung Botak pengelolaan yang dilakukan untuk penambangan sangat
sederhana, tetapi dampak telah terjadi kerusakan pada lingkungan sekitarnya , serta terjadi
konflik antara penambang dan masayrakat adat sehingga terjadi pembunuhan .

C. PENEGAKAN HUKUM TAMBANG EMAS GUNUNG BOTAK

Pengaturan mengenai Pertambangan di Indonesia memiliki dasar konstitusional sebagaimana


diatur dlam pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang menyebutkan bahwa “ Bumi, dan air,dan kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat”

Pengaturan berdasarkan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 telah menimbulkan konsep penguasaan
oleh negara. Dalam hal ini, rumusan kata ”dikuasai oleh negara” tentunya memiliki makna
yuridis konstitusional dalam penyelenggaraan negara. Yang dimaksud dengan ”dikuasai oleh
negara” sebagaimana diatur dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menunjukkan kepada makna
kekuasaan hukum (rechtsmacht) dalam bidang hukum publik. Kekuasaan hukum terkait dengan
wewenang dalam bidang hukum publik terutama dalam bidang hukum administrasi
pemerintahan. Kekuasaan hukum menunjuk kepada wewenang Pemerintah Pusat dan diatur
dalam norma pemerintahan.

Norma pemerintahan memiliki dasar pengaturan secara konstitusional tentang kekuasaan


pemerintahan dari pada Pemerintah. Hal tersebut diatur dalam ketentuan Bab III tentang
Kekuasaan Pemerintahan Negara pada Pasal 4 Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 yang menyebutkan bahwa ”Presiden Republik Indonesia memegang
kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar”. Oleh karena itu, arti ”dikuasai oleh
negara” menunjuk kepada tindakan hukum publik dalam hal ini tindakan pemerintahan.

Penyelenggaraan urusan pemerintahan negara dari aspek wewenang Pemerintah secara tegas
telah diatur dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Tentu saja dalam penyelenggaraan urusan
pemerintahan terkait pula dengan penyelenggaraan pemerintahan daerah sebagaimana diatur
dalam Pasal 18 UUD 1945. Pengaturan dalam UUD 1945 bahwa penyelenggaraan urusan
pemerintahan yang merupakan tindakan hukum publik dalam tindakan pemerintahan dilakukan
oleh tingkatan pemerintahan, baik di pusat maupun di daerah. Dalam hal ini pengaturan
penyelenggaraan urusan pemerintahan di tingkat pusat (Pasal 4) dan pada tingkatan
penyelenggaraan pemerintahan, maka penyelenggaraan urusan pemerintahan tersebut pula
dilaksanakan di daerah oleh pemerintahan daerah (Pasal 18).

Penekanan adanya hubungan antara Pemerintah dengan Pemerintah Daerah dalam


penyelenggaraan urusan pemerintahan dapat dilihat dalam rumusan Pasal 18 ayat (5) UUD 1945
yakni: ”Pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan
yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat”. Rumusan ini tentunya
mengisyaratkan bahwa Pemerintah Daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam
otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang merupakan urusan Pemerintah Pusat.

Terkait dengan itu, penyelenggaraan urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 juga merupakan penyelenggaraan urusan pemerintahan yang dapat
dilakukan oleh Pemerintah Daerah. Hubungan konstitusionalitas inilah yang merupakan dasar
konstitusional bagi daerah dalam pengelolaan sumberdaya alam melalui wewenang dalam bidang
perizinan.Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan
terkait dengan pemenuhan kepentingan hidup bangsa dan negara Republik Indonesia.

Hal ini berarti, wewenang daerah dalam bidang perizinan pengelolaan sumberdaya alam
memiliki dasar konstitusionalitas sebagaimana diaturdalam Pasal 4, Pasal 18 dan Pasal 33
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Lebih lanjut diperlukan adanya
pengaturan pola pembagian wewenang sebagai bagian dari pembagian kekuasaan negara.

Melalui prinsip otonomi yang dimiliki oleh pemerintahan daerah, maka penyelenggaraan
urusan pemerintahan yang sebelumnya didasarkan pada Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, dalam
sistem ketatanegaraan Republik Indonesia telah dilakukan pembagian kekuasaan vertikal,
sehingga pemerintah daerah juga memiliki wewenang dalam kaitannya dengan makna kata
”dikuasai oleh negara”. Itu berarti penyelenggaraan wewenang perizinan dalam pengelolaan
sumber daya alam termasuk pertambangan emas juga merupakan wewenang daerah.

Penegakan hukum terhadap kegiatan penambangan emas di Gunung Botak didaasrkana pada
peraturan perundang – Undangan yang berkaitan secara langsung dilakukan pada beberapa hal:

i. Pengendalian Pemerintah

Aktivitas penambangan emas di Gunung Botak telah dilakukan secara bebas tanpa
batas dan pemerintah daerah tidak dapat melakukan tindakan apapun untuk
mengendalikan pengelolaan penambangan emas. Didasarkan pada Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2009, setiap orang yang akan melakukan aktivitas penambangan emas
harus memperoleh IUP. Oleh karena Gunung Botak masih berada dalam wilayah
Kabupaten Buru, maka Pemerintah Daerah terutama Bupati berwenang untuk
memberikan IUP baik kepada badan usaha, koperasi maupun perorangan dalam
melakukan pengelolaan eksplorasi maupun operasi produksi dalam penambangan emas.
Namun selama ini – hingga ditutup untuk sementara – oleh Pemerintah Daerah tidak
pernah dikendalikan. Wewenang Pemerintah Daerah merupakan wewenang atributif yang
diberikan oleh UU sebagai pengejewantahan UUD 1945.

ii. Izin Pertambangan

Setiap kegiatan pertambangan emas harus memperoleh IUP dari Pemerintah Daerah,
baik badan usaha, koperasi maupun perorangan. Badan usaha ini dapat berbentuk badan
swasta, BUMN dan BUMD.Untuk kegiatan penambangan emas harus diberikan IUP
mineral logam, karena emas termasuk salah satu jenis mineral logam. Fakta hukum izin
hingga saat ini belum pernah dilakukan oleh Pemerintah Daerah. Malah aktivitas
penambangan lebih bersifat penambangan liar tanpa kendali apapun.

iii. Perlunya Produk Hukum Daerah


Penambangan liar ini lebih dulu dikendalikan oleh Pemerintah Daerah, yang ditindak
lanjuti dengan adanya pembentukan Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan
Pertambangan Mineral dan Batubara di daerah yang memberikan wewenang bagi daerah
untuk mengendalikan aktivitas apapun. Apabila kondisi tidak memungkinkan, maka
Pemerintah Daerah dapat mengeluarkan Peraturan Bupati untuk mengisi kekosongan
hukumnya.

iv. Kerjasama dengan Pemerintah

Sebagai upaya untuk menjawab permasalahan yang saat ini terjadi, Pemerintah
Daerah dapat meminta Pemerintah untuk memfasilitasi dalam melakukan eksplorasi
tambang emas terkait dengan kandungan emas yang ada. Hal ini akan menentukan
adanya IUP atau IPR. Dengan kapasitas emas yang terbatas dan investasi yang sifatnya
juga terbatas, maka Pemerintah Daerah dapat mengembangkan IPR yang dikelola oleh
koperasi untuk kepentingan masyarakat di sekitarnya.

v. Dampak Lingkungan Hidup

Akibat dilakukannya aktivitas penambangan emas secara liar di Gunung Botak, tanpa
pengendalian limbahnya telah mengakibatkan tercemarnya lingkungan di Pulau Buru.
Kondisi ini akan berdampak bagi sumber daya manusia maupun sumber daya alam di
Pulau Buru.

III. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
Dari apa yang telah diuraikan penulis, maka kesimpulan adalah; Dalam pengelolaan
pertambangan emas tidak memperhatikan proses- proses pengelolaannya sehingga
lingkungan disekitar pertambangan tercemar oleh merkuri dan sianida dan akan berdampak
pula kepada manusia . Pemerintah kurang memperhatikan antara penambang dan
masyarakat adat sehingga dapat berakibat konflik.serta kurang ada perhatian dari
pemerintah mengenai izin untuk melakukan penambang.

B. Saran

Berdasarkan pada uraian kesimpulan diatas, maka saran adalah , Unttuk menghindari
adanya penambangan liar di gunung Botak, pemerintah daerah Buru dapat membuat suatu
aturan khusus mengenai pertambangan yang disusun atas dasar prinsip – prinsip lingkungan
dan hukum. Pemerintah daerah juga dapat mengeluarkan berbagai peraturan yang lebih
meningkatkan peran dan partisipasi masyarakat adat yang didalamnya memuat pembagian
zona wilayah pertambangan, mencegah terjadinya tumpang tindih kepentingan.

Anda mungkin juga menyukai