Anda di halaman 1dari 4

Nama : Syafira Ramata

NIM : 25000118130325
Kelas : F 2018
Penyakit Paru Obstruksi Kronik dan Kesehatan Jiwa/Mental

A. Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK)

Penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) adalah penyakit peradangan paru yang
berkembang dalam jangka waktu panjang. Penyakit ini menghalangi aliran udara dari
paru-paru karena terhalang pembengkakan dan lendir atau dahak, sehingga
penderitanya sulit bernapas. Sebagian besar pederita PPOK adalah orang-orang yang
berusia paruh baya dan perokok. Penderita penyakit ini memiliki risiko untuk
mengalami penyakit jantung dan kanker paru-paru.
Gejala PPOK :

 Batuk berdahak yang tidak kunjung sembuh dengan warna lendir dahak
berwarna agak kuning atau hijau.
 Pernapasan sering tersengal-sengal, terlebih lagi saat melakukan aktivitas
fisik.
 Mengi atau napas sesak dan berbunyi.
 Lemas.
 Penurunan berat badan.
 Nyeri dada.
 Kaki, pergelangan kaki, atau tungkai menjadi bengkak.
 Bibir atau kuku jari berwarna biru.

Penyebab dan faktor risiko PPOK :

 Rokok. Pajanan asap rokok pada perokok aktif maupun pasif merupakan
faktor utama yang dapat memicu PPOK, serta sejumlah penyakit pernapasan
lainnya. Bahan kimia berbahaya dalam rokok dapat merusak lapisan paru-paru
dan jalan napas. Diperkirakan, sekitar 20-30 persen perokok aktif menderita
PPOK. Menghentikan kebiasaan merokok dapat mencegah kondisi PPOK
bertambah parah.
 Pajanan polusi udara, misalnya asap kendaraan bermotor, debu, atau bahan
kimia. Polusi udara dapat menggangggu kerja paru-paru dan meningkatkan
risiko penyakit paru obstruktif kronis.
 Usia. PPOK akan berkembang secara perlahan selama bertahun-tahun. Gejala
penyakit umumnya muncul di usia 40 tahunan.
 Penyakit asma. Penderita penyakit asma, terutama yang merokok, rentan
mengalami penyakit paru obstruktif kronis.
 Faktor keturunan. Jika memiliki anggota keluarga yang menderita PPOK,
Anda juga memiliki risiko untuk terkena penyakit yang sama. Selain itu,
adanya defisensi antitripsin alfa-1 juga dapat meningkatkan risiko
terjadinya PPOK. Antitripsin alfa-1 adalah zat yang melindungi paru-paru.
Defisiensi antitripsin alfa-1 dapat bermula pada usia di bawah 35 tahun,
terutama jika penderita gangguan ini juga merokok.

Pengobatan PPOK :

 Penggunakan obat-obatan. Obat yang umumnya diberikan dokter paru untuk


mengatasi gejala PPOK adalah inhaler (obat hirup). Contohnya adalah
kombinasi bronkodilator yang melebarkan saluran pernapasan, dengan obat
hirup kortikosteroid yang mengurangi peradangan pada jalan napas. Jika obat
hirup belum bisa mengendalikan gejala PPOK, maka dokter dapat
memberikan obat minum berupa kapsul atau tablet. Obat yang biasa diberikan
adalah teofilin untuk melegakan napas dan membuka jalan napas, mukolitik
untuk mengencerkan dahak atau lendir, kortikosteroid untuk mengurangi
peradangan jalan napas jangka pendek saat gejala bertambah parah, serta obat
antibiotik jika terjadi tanda-tanda infeksi paru-paru.
 Fisioterapi dada. Program fisioterapi dada atau dikenal juga
dengan rehabilitasi paru-paru merupakan program yang dilakukan untuk
memberikan edukasi mengenai PPOK, efeknya terhadap kondisi psikologi,
dan pola makan yang sebaiknya dilakukan, serta memberikan latihan fisik dan
pernapasan untuk penderita PPOK seperti berjalan dan mengayuh sepeda.
 Tindakan operasi. Tindakan ini hanya dilakukan pada penderita PPOK yang
gejalanya tidak dapat direndakan dengan pemberian obat atau terapi.
Contohnya adalah transplantasi paru-paru, yaitu operasi pengangkatan
paru-paru yang rusak untuk diganti dengan paru-paru sehat dari donor.

Ada beberapa upaya yang bisa dilakukan oleh penderita untuk menghambat
bertambahnya kerusakan pada paru-paru. Di antaranya adalah:

 Berhenti merokok atau menghindari pajanan asap rokok. Ini merupakan


langkah utama agar PPOK tidak bertambah parah.
 Menghindari polusi udara, misalnya asap kendaraan bermotor.
 Memasang alat pelembap udara ruangan (air humidifier).
 Menjaga pola makan yang sehat.
 Rutin berolahraga.
 Menjalani vaksinasi secara rutin, contohnya vaksin flu dan vaksin
pneumokokus.
 Memeriksakan diri secara berkala ke dokter agar kondisi kesehatan bisa tetap
terpantau.

B. Kesehatan Jiwa/Mental

Gangguan mental atau gangguan jiwa adalah penyakit yang memengaruhi emosi, pola
pikir, dan perilaku penderitanya. Sama halnya dengan penyakit fisik, penyakit mental juga
ada obatnya. Gangguan mental bisa diobati dengan psikoterapi dan obat-obatan. Pada
kasus tertentu, dokter akan memberikan kombinasi kedua metode pengobatan tersebut
serta menyarankan pasien menjalani gaya hidup yang sehat.
Gejala gangguan jiwa/mental :

 Waham atau delusi, yaitu meyakini sesuatu yang tidak nyata atau tidak sesuai
dengan fakta yang sebenarnya.
 Halusinasi, yaitu sensasi ketika seseorang melihat, mendengar, atau merasakan
sesuatu yang sebenarnya tidak nyata.
 Suasana hati yang berubah-ubah dalam periode-periode tertentu.
 Perasaan sedih yang berlangsung hingga berminggu-minggu, bahkan
berbulan-bulan.
 Perasaan cemas dan takut yang berlebihan dan terus menerus, sampai
mengganggu aktivitas sehari-hari.
 Perubahan pada pola makan, misalnya merasa takut berat badan bertambah,
cenderung memuntahkan makanan, atau makan dalam jumlah banyak.
 Perubahan pada pola tidur, seperti mudah mengantuk dan tertidur, sulit tidur,
serta gangguan pernapasan dan kaki gelisah saat tidur.
 Kecanduan nikotin dan alkohol, serta penyalahgunaan NAPZA.
 Marah berlebihan sampai mengamuk dan melakukan tindak kekerasan.
 Perilaku yang tidak wajar, seperti teriak-teriak tidak jelas, berbicara dan
tertawa sendiri, serta keluar rumah dalam kondisi telanjang.

Penyebab Gangguan Mental


Belum diketahui secara pasti apa penyebab gangguan mental. Namun, kondisi ini
diketahui terkait dengan faktor biologis dan psikologis, sebagaimana akan diuraikan
di bawah ini:

Faktor biologis (atau disebut gangguan mental organik)

 Gangguan pada fungsi sel saraf di otak.


 Infeksi, misalnya akibat bakteri Streptococcus.
 Kelainan bawaan atau cedera pada otak.
 Kerusakan otak akibat terbentur atau kecelakaan.
 Kekurangan oksigen pada otak bayi saat proses persalinan.
 Memiliki orang tua atau keluarga penderita gangguan mental.
 Penyalahgunaan NAPZA dalam jangka panjang.
 Kekurangan nutrisi.

Faktor psikologis

 Peristiwa traumatik, seperti kekerasan dan pelecehan seksual.


 Kehilangan orang tua atau disia-siakan di masa kecil.
 Kurang mampu bergaul dengan orang lain.
 Perceraian atau ditinggal mati oleh pasangan.
 Perasaan rendah diri, tidak mampu, marah, atau kesepian.
Pencegahan Gangguan Mental
Tidak semua gangguan mental dapat dicegah. Namun, ada beberapa langkah yang
bisa dilakukan untuk mengurangi risiko serangan gangguan mental, yaitu:

 Tetap berpartisipasi aktif dalam pergaulan dan aktivitas yang disenangi.


 Berbagilah dengan teman dan keluarga saat menghadapi masalah.
 Lakukan olahraga rutin, makan teratur, dan kelola stres dengan baik.
 Tidur dan bangun tidur teratur pada waktu yang sama setiap harinya.
 Jangan merokok dan menggunakan NAPZA.
 Batasi konsumsi minuman beralkohol dan minuman berkafein.
 Konsumsi obat-obatan yang diresepkan dokter, sesuai dosis dan aturan pakai.
 Segera ke dokter bila muncul gejala gangguan mental.

Anda mungkin juga menyukai