Anda di halaman 1dari 28

BAB I

Pendahuluan

Retensi urin akut adalah ketidakmampuan secara mendadak untuk urinasi


(miksi) dan biasanya merupakan kondisi simptomatik dari prekursor kondisi lain
yang memerlukan penanganan medis yang segera. Kateterisasi uretra adalah
prosedur medis rutin yang memfasilitasi drainase langsung dari kandung kemih.
Pemasangan kateter uretra menjadi terapi akut pada pasien yang mengalami retensi
urin akut.1

Salah satu penyebab striktur uretra adalah pemasangan kateter dalam waktu
yang cukup lama. Pola penyakit striktur uretra yang ditemukan di Rumah Sakit
Hasan Sadikin Bandung menyebutkan sebagian besar pasien (82%) masuk dengan
retensi urin. Penyebab utama terjadinya striktur adalah manipulasi uretra (44%),
trauma (33%), dan infeksi.2 Salah satu manipulasi uretra adalah pemasangan kateter
Folley.

Studi yang dilakukan di India menyebutkan penyebab dari striktur uretra


meliputi trauma pelvis (54%), post-kateterisasi (21,1%), infeksi (15,2%), dan post-
instrument (5,6%). Study ini menunjukkan kesimpulan bahwa etiologi diatas
menentukan prognosis dari penatalaksanaan striktur uretra.6 Studi yang dilakukan
oleh Lumen,et all juga mendapatkan hasil7 sebanyak 45,5% striktur uretra
disebabkan iatrogenik yang didalamnya termasuk reseksi transuretral, kateterisasi
uretra, cystoscopy, prostatectomy, brachytherapy, dan pembedahan hypospadia.
Penelitian ini menjadi penting mengingat prosedur pemasangan kateter uretra
merupakan prosedur rutin pada penanganan kasus retensi urin akut seperti benign
prostat hiperplasia, adanya bekuan darah, urethritis, kronik obstruksi yang
menyebabkan hidronefrosis, dan dekompresi kantung kemih akibat permasalahan
saraf.

Keteterisasi urin merupakan salah satu tindakan yang membantu eliminasi


urin maupun ketidakmampuan melakukan urinasi. Prosedur pemasangan kateter
uretra merupakan tindakan invasif. Pasien akan dipasangkan sejenis alat yang
disebut kateter Dower pada muara uretra. Dalam melakukan prosedur ini diperlukan
keprofesionalan. Banyak pasien merasa cemas, takut akan rasa nyeri, dan tidak
nyaman pada saat dilakukan kataterisasi uretra. Hasil studi11 dari Mushhab,2006
menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara lama waktu terpasang kateter
dengan tingkat kecemasan pada pasien yang terpasang kateter uretra.

BAB II
STATUS PENDERITA

I.1 Identitas
Nama : Tn. S
Umur : 48 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Status : Menikah
Agama : Islam
Bangsa : Indonesia
Alamat : Bayung Lencir
Pekerjaan : Petani
MRS : 15 Oktober 2018

I.2 Anamnesis
Keluhan Utama:
Tidak bisa buang air kecil (BAK) sejak 3 hari SMRS

Riwayat Perjalanan Penyakit:


Pasien datang dengan keluhan tidak bisa BAK sejak 3 hari SMRS. Pasien
merupakan pasien rujukan dari RS Bayung lencir dengan diagnoas retensi
urine ec. Striktur uretra/DD BPH.
 1 bulan SMRS penderita sering mengeluh sulit BAK. BAK terputus-
putus (+), nyeri saat BAK (+), mengedan lama saat BAK (+), Pancaran
kencingnya lemah (+), rasa tidak puas setelah BAK (+), kencingnya
menetes (+), sering kencing pada malam hari (+), tak bisa menahan BAK
dalam waktu yang lama (-), nyeri pinggang(-), demam(-). Keluhan
dirasakan untuk pertama kali. riwayat BAK keluar batu (-), riwayat BAK
berdarah (-), riwayat sering BAK pada malam hari (-), riwayat merasa
tidak puas setelah selesai BAK (-), riwayat pemasangan selang kencing
melalui penis disangkal, riwayat operasi di daerah genital disangkal,
riwayat infeksi genital sebelumnya disangkal,riwayat sering menahan
BAK (+), riwayat jatuh terduduk dari atas sepeda (+) karena pekerjaan
penderita yang menggunakan sepeda setiap hari.
 3 hari SMRS, pasien tidak bisa BAK sama sekali meskipun penderita
sudah mengedan dan penis terasa nyeri (+) Penderita lalu berobat ke
puskesmas dan dilakukan pemasangan selang kencing namun gagal
karena kateter tidak bisa masuk (seperti ada tahanan). Lalu penderita
dirujuk ke RS di Bayung Lencir dan dilakukan blast pungsi, keluar urin
sebanyak ±1500 cc. Lalu dilanjutkan dengan pemasangan sistostomi
suprapubik. Lalu pasien di rujuk ke RS Mataher untuk mendapatkan
penanganan lebih lanjut.

Riwayat Penyakit Dahulu:


- Riwayat infeksi saluran kemih (+) 6 bulan yang lalu
- Riwayat sakit kencing manis (-)
- Riwayat hipertensi (-)
- Riwayat trauma ada (jatuh terduduk saat mengendarai sepeda)
- Riwayat infeksi menular seksual (-)

Riwayat Penyakit dalam Keluarga:


Riwayat penyakit dengan keluhan yang sama disangkal

I.3 Pemeriksaan Fisik


A. Status Generalis
Keadaan Umum : Sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis
Tekanan Darah : 110/70 mmHg
Pernafasan : 20x/ menit
Nadi : 82x/menit
Suhu : 37,3 0C
Kepala : konjungtiva pucat (-), sclera ikterik (-/-)
Leher : Tidak ada kelainan
Pupil : Isokor/ Reflek Cahaya +/+
KGB : Tidak ada kelainan
Thorax :
Cor :
I: Iktus Cordis tidak terlihat,
P: Iktus Cordis teraba di ICS V line
midclavivularis sinistra,
P: batas jantung dbn
A: BJ I/II reguler, murmur (-), gallop (-).
Pulmo :
I: Pergerakan dinding dada simetris, jejas (-)
P: fremitus taktil kiri=kanan, nyeri tekan (-),
P: sonor di semua lapangan paru,
A: vesikuler di semua lapangan paru, Rh (-/-), Wh (-/-)
Abdomen :
I : Datar (+), sikatrik (-)
P: Soepel, massa (-)
P: Thympani
A: Bising usus (+) Normal
Genitalia Eksterna : (status urologikus)
Ektremitas atas dan bawah : Akral hangat, CRT <2 detik, sianosis (-)

B. Status Urologikus
Regio Costo Vertebrae Angle (CVA) dextra et sinistra:
Inspeksi : Bulging (-)
Palpasi : Ballotement (-)
Perkusi : Nyeri ketok -/-

Regio Genitalia Eksterna :


Inspeksi : bloody discharge (-),sudah di sirkumsisi (+)
Palpasi : edema minimal, hangat, nyeri (+), jaringan keras di korpus
Spongiosum (-), stenosis pada MUE (-), batu (-)

Rectal Toucher
Inspeksi : Massa (-), darah (-), sikatrik (-), fistel (-)
Palpasi : Massa (-), Tonus Sfingter Ani ketat, mukosa recti licin,
teraba prostat tidak membesar, konsistensi kenyal, nodul (-), lobus
kanan dan kiri simetris, darah (-), BCR (+)

I.4 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan Darah Rutin (15-10-2018)
Hb : 14,3 g/dl (L: 14-18 g/dl)
Ht : 36 vol% (L: 40-48 vol%)
Leukosit : 11.050/mm3 (L: 4000-10.000/mm3)
Trombosit : 246.000/mm3 (200.000-500.000/mm3)

Faal Ginjal (15- 10- 2018)


Ureum : 22 mg/dl (15-39 mg/dl)
Creatinin : 0,9 mg/dl (L: 0,9-1,3 P: 0,6-1,0)
Asam Urat : 7,5 mg/dl (L: 3,5-7.2, P: 2,6-6,0)

Radiologi
USG (15-10-2018)
- Ginjal bilateral Normal
- Buli-buli Normal
- Kesan: Striktur uretra
1.5 Usulan Pemeriksaan
- Urinalisis
- Uretrografi
- Uroflowmetri
I.6 Diagnosis Banding
Retensio urin e.c Striktur uretra
Retensio urin e.c neurogenic bladder
Retensio urin e.c Benign Prostat Hiperplasia
Retensio urin ec. Batu uretra

I.7 Diagnosis Kerja


Retensio urin ec. striktur uretra

I.8 Penatalaksanaan
- Pemasangan kateter sistostomi suprapubik
- IVFD RL 20 tpm
- Ceftriaxone 2x1gr (IV)
- Paracetamol 500mg/8 jam (PO)
- Pro Uretrotomi internal (Sachse)
Tanggal : 16 – 10 2018
Diagnosa : Retensi urine ec. Striktur uretra
Operasi : Uretrotomi internal (Sachse)
Operator : dr. Hendra, Sp.U

I.9 Prognosis
Quo ad vitam : bonam
Quo ad functionam : bonam

FOLLOW UP
TGL S O A P
16/10/2018 Nyeri saat BAK KU: Sakit Sedang Retensi urin ec. IVFD RL 20 tpm
(+), Berdarah (-) GCS : 15 E4V5M6 Striktur uretra Inj. Ceftriaxone 1x1
TD: 120/80 N: 80x/m gr
RR: 18x/m T: 37,3oC Rencana : Op
Uretrotomi Interna
(Sachse)
Status Urologikus
Operator:
Regio Costo Vertebrae Dr. Hendra, Sp.U
Angle (CVA) dextra et
Instruksi Post Op:
sinistra: 1. Bed rest 24 jam
2. Diet bubur
I : Bulging (-)
bertahap
P: Ballotement (-) 3. IVFD RL:D5% =
2:1 20 tpm
P: Nyeri ketok -/-
4. Ceftriaxone 2x1gr
(IV)
Regio Suprapubik: 5. Ketorolac
3x30mg (IV)
I:Bulging (-), terpasang
6. Omz 1x8mg (IV)
kateter cystostomi, 7. As.Tranexamat
2x500mg (IV)
urine lancar dan warnah
8. Kateter
kuning jernih, darah (-) dipertahankan
selama 4 minggu
P: Nyeri tekan (-)

RegioGenitalia
Eksterna :
I: bloody discharge (-)

KU: Sakit Sedang


17/10/2018 Nyeri pada penis GCS : 15 E4V5M6 Post Internal 1. IVFD RL:D5% =
(+), berdarah (-), TD: 120/80 N: 80x/m Uretrotomi 2:1 20 tpm
RR: 18x/m T: 36,8oC (Sache) Hari-1 2. Ceftriaxone 2x1gr
ec. Striktur (IV) (hari ke2)
Uretra 3. Ketorolac
Status Urologikus
3x30mg (IV)
Regio Costo Vertebrae 4. Omz 1x8mg (IV)
5. As.Tranexamat
Angle (CVA) dextra et
2x500mg (IV)
sinistra:
I : Bulging (-) 6. Kateter
dipertahankan
P: Ballotement (-)
selama 4 minggu
P: Nyeri ketok -/-

Regio Suprapubik:
I:Bulging (-), jahitan
luka post cystostomi
P: Nyeri tekan (-)

RegioGenitalia
Eksterna :
I: bloody discharge (-)

KU: Sakit Sedang


GCS : 15 E4V5M6
18/10/2018 Nyeri pada penis Post Internal
TD: 120/80 N: 80x/m
(-), berdarah (-), Uretrotomi 1. IVFD RL:D5% =
RR: 18x/m T: 36,8oC
(Sache) Hari-2 2:1 20 tpm
ec. Striktur 2. Ceftriaxone 2x1gr
Status Urologikus Uretra (IV) (hari ke2)
3. Ketorolac
Regio Costo Vertebrae
3x30mg (IV)
Angle (CVA) dextra et 4. Omz 1x8mg (IV)
5. As.Tranexamat
sinistra:
2x500mg (IV)
I : Bulging (-) 6. Kateter
dipertahankan
P: Ballotement (-)
selama 4 minggu
P: Nyeri ketok -/-

Regio Suprapubik:
I:Bulging (-), jahitan
luka post cystostomi
P: Nyeri tekan (-)
RegioGenitalia
Eksterna :
I: bloody discharge (-)

KU: Sakit Sedang


19/10/2018 Nyeri pada penis Post Internal
GCS : 15 E4V5M6
(-), berdarah (-), Uretrotomi 1. IVFD RL:D5% =
TD: 120/80 N: 80x/m
(Sache) Hari-3 2:1 20 tpm
RR: 18x/m T: 36,8oC
ec. Striktur 2. Ceftriaxone 2x1gr
Uretra (IV) (hari ke3)
Status Urologikus 3. Ketorolac
3x30mg (IV)
Regio Costo Vertebrae
4. Omz 1x8mg (IV)
Angle (CVA) dextra et 5. As.Tranexamat
2x500mg (IV)
sinistra:
6. Kateter
I : Bulging (-) dipertahankan
selama 4 minggu
P: Ballotement (-)
P: Nyeri ketok -/-

Regio Suprapubik:
I:Bulging (-), jahitan
luka post cystostomi
P: Nyeri tekan (-)

RegioGenitalia
Eksterna :
I: bloody discharge (-)

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Struktur anatomi dan fisiologi sistem urinaria bagian bawah


A. Vesika Urinaria2
Vesika urinaria adalah organ berongga yang terdiri atas 3 lapis otot
detrusor yang saling bernyaman, yakni (1) terletak paling dalam adalah otot
longitudinal (2) ditengah merupakan otot sirkuler, dan (3) paling luar
merupakan otot longitudinal. Mukosa buli-buli terdiri atas 3 permukaan,
yaitu (1) permukaan superior yang berbatasan dengan rongga peritoneum,
(2) dua permukaan inferiolateral, dan (3) permukaan posterior. Permukaan
superior merupakan lokus minoris (daerah terlemah) dinding buli-buli.
Buli-buli berfungsi menampung urine dari ureter dan kemudian
mengeluarkan melalui uretra dalam mekanisme miksi (berkemih). Dalam
menampung urine, buli-buli mempunyai kapasitas maksimal, yang
volumenya untuk orang dewasa ± 300-450 cc.
Sistem urinaria bagian bawah terdiri atas bulu-buli dan uretra yang
keduanya harus bekerja sinergis untuk mendapat fungsinya dalam
menyimpan

Gambar 1. Anatomi vesika urinari dan uretra


B. Uretra
Uretra adalah saluran yang dimulai dari orifisium uretra interna
dibagian buli-buli sampai orifisium uretra eksterna glands penis, dengan
panjang yang bervariasi. Uretra pria dibagi menjadi dua bagian, yaitu bagian
anterior dan bagian posterior. Uretra posterior dibagi menjadi uretra pars
prostatika dan uretra pars membranasea. Uretra anterior dibagi menjadi
meatus uretra, pendulare uretra dan bulbus uretra. Dalam keadaan normal
lumen uretra laki-laki 24 ch, dan wanita 30 ch. Kalau 1 ch = 0,3 mm maka
lumen uretra laki-laki 7,2 mm dan wanita 9 mm.
1. Uretra bagian anterior
Uretra anterior memiliki panjang 18-25 cm (9-10 inchi). Saluran
ini dimulai dari meatus uretra, pendulans uretra dan bulbus uretra. Uretra
anterior ini berupa tabung yang lurus, terletak bebas diluar tubuh,
sehingga kalau memerlukan operasi atau reparasi relatif mudah.
2. Uretra bagian posterior
Uretra posterior memiliki panjang 3-6 cm (1-2 inchi). Uretra yang
dikelilingi kelenjar prostat dinamakan uretra prostatika. Bagian
selanjutnya adalah uretra membranasea, yang memiliki panjang
terpendek dari semua bagian uretra, sukar untuk dilatasi dan pada bagian
ini terdapat otot yang membentuk sfingter. Sfingter ini bersifat volunter
sehingga kita dapat menahan kemih dan berhenti pada waku berkemih.
Uretra membranacea terdapat dibawah dan dibelakang simpisis pubis,
sehingga trauma pada simpisis pubis dapat mencederai uretra
membranasea.

C. Neurifisiologi vesika urinari dan uretra2


Sistem saluran kemih bagian bawah mendapatkan inervasi dari
serabut saraf aferen yang berasal dari VU, serta saraf eferen berupa
parasimpatetik, simpatetik, dan somatik. Serabut aferen dari dinding VU
yang menerima impuls stretch reseptor (reseptor regangan) dari dinding
VU yang dibawa oleh nervus pelvikus ke korda spinalis S2-4 dan
diteruskan sampai ke otak melalui traktus spinotalamikus. Signal ini akan
memberikan informasi kepada otak tentang volume urine di dalam VU.
Jalur aferen dari sfingter uretra eksterna dan uretra mengenal sensasi
suhu, nyeri, dan adanya aliran urine di dalam uretra. Impuls ini dibawa
oleh nervus pudendus menuju ke korda spinalis S2-4.
Serabut eferen parasimpatik berasal dari korda spinalis S2-4 dibawa
oleh nervus pelvikus dan memberikan inervasi pada otot detrusor.
Asetilkolin (Ach) adalah neurotransmiter yang berperan dalam
penghantaran signal saraf kolinergik, yang setelah berikatan dengan
reseptor muskarinik menyebabkan kontraksi otot detrusor. Reseptor
muskarinik banyak berperan di dalam kontraksi buli-buli adalah M2 dan
M3. Peranan sistem parasimpatik pada proses miksi berupa kontraksi
detrusor dan terbukanya sfingter uretra.
Serabut simpatis berasal dari korda spinalis segmen thorakal-lumbal
(T10-L2) yang dibawa oleh nervus hipogastrikus menuju VU dan uretra.
Terdapat 2 jenis reseptor adrenergik yang letaknya berada di dalam VU
dan di uretra, yaitu reseptor adrenergik α, yang banyak terdapat pada
leher VU (sfingter interna) dan uretra posterior, serta reseptor β yang
banyak terdapat pada fundus VU. Rangsangan pada reseptor adrenergik
α menyebabkan konraksi, sedangkan pada β menyebabkan relaksasi.
Sistem simpatis ini berperan pada fase pengisian yaitu menyebabkan
terjadinya: (1) relaksasi otot detrusor karena stimulasi adrenergik α yang
bertujuan untuk mempertahankan resistensi uretra agar selama fase
pengisian urine tidak bocor (keluar) dari VU.
Serabut saraf somatik berasal dari nukleus Onuf yang berada di
kornu anterior korda spinalis S2-4 yang dibawa oleh nervus pudendus dan
menginervasi otot bergaris sfingter uretra eksterna dan otot-otot dasar
panggul. Perintah dari korteks serebri (secara disadari) menyebabkan
terbukanya sfingter eksterna pada saat miksi.
Pada saat buli terisi oleh urine dari kedua ureter, volume buli-buli
bertambah besar karena ototnya mengalami peregangan. Regangan itu
menyebabkan stimulasi pada stretch receptor yang berada pada dinding
VU yang kemudian memberikan signal kepada otak tentang jumlah urine
yang mengisi buli. Setelah kurang lebih terisi separuh dan kapasitasnya
mulai dirasakan oleh otak karena adanya urine yang mengisi buli.

Gambar. Inervasi otonomik pada proses miksi


Pada saat buli sedang terisi, terjadi stimulasi pada sistem simpatetik
yang mengakibatkan kontraksi sfingter uretra interna (menutupnya leher
buli) dan inhibisi sistem parasimpatetik berupa relaksasi otot detrusor.
Kemudian pada saat buli terisi penuh dan timbul keinginan untuk miksi,
timbul stimulasi sistem parasimpatetik dan menyebabkan otot detrusor,
serta inhibisi simpatik yang menyebabkan relaksasi sfingter interna
(terbukanya leher buli. Miksi kemudian terjadi jika terdapat relaksasi
sfingter uretra eksterna dan tekanan intravesikal melebihi tekanan
intrauretra.
Kelainan pada unit vesiko-uretra dapat terjadi pada fase pengisian
atau pada fase miksi. Kegagalan buli dalam menyimpan urine
menyebabkan urine tidak sempat tersimpan di dalam buli dan bocor
keluar buli, yaitu pada inkontinensia urine, sedangkan pada fase miksi
menyebabkan urine tertahan di dalam buli sampai terjadi retensi urine.
Gambar. Bagan disfungsi proses miksi

2.2 Retensi Urine


Retensi urine adalah ketidak mampuan seseorang untuk
mengeluarkan urine yang terkumpul di dalam buli-buli hingga kapasitas maksimal
buli-buli terlampaui. Proses miksi terjadi karena adanya koordinasi harmonik antara
otot detrusor buli-buli sebagai penampung dan pemompa urine dengan uretra yang
tindak sebagai pipa untuk menyalurkan urine.
Adanya penyumbatan pada uretra, kontraksi buli-buli yang tidak adekuat, atau
tidak adanya koordinasi antar buli-buli dan uretra dapat menimbulkan terjadinya
retensi urine.
Gambaran klinis pasien mengeluh tertahan kencing keluar sedikit-sedikit.
Keadaan ini harus dibedakan dengan inkontinensia paradoksa yaitu keluarnya urine
secara menetes, tanpa disadari, dan tidak mampu ditahan pasien.
Gambar. Penyebab retensi urine
Pemeriksaan pada genitalia eksterna mungkin teraba batu di uretra anterior,
terlihat batu di meatus uretra eksternum, teraba spongiofibrosis di sepanjang uretra
anterior, terlihat fistel atau abses di uretra, fimosis/parafimosis, atau terlihat darah
keluar dari uretra akibat cedera uretra. Pemeriksaan colok dubur setelah buli-buli
kosong ditujukan untuk mencari adanya hiperplasia prostat/karsinoma prostat, dan
pemeriksaan refleks bulbukavernosa untuk mendeteksi adanya buli-buli
neurogenik.
Pemeriksaan foto polos abdomen menunjukan bayangan buli-buli penuh,
mungkin terlihat bayangan batu opak pada uretra atau pada buli-buli. Pada
pemeriksaan uretrografi tampak adanya striktur uretra.
2.3. Striktur Uretra
Striktur uretra adalah penyempitan lumen uretra karena fibrosis pada
dindingnya. Penyempitan lumen ini disebabkan karena dindingnya mengalami
fibrosis dan pada tingkat yang lebih parah terjadi fibrosis korpus spongiosum.
2.4. Etiologi
Striktur uretra dapat terjadi pada:
1. Kelainan Kongenital, misalnya kongenital meatus stenosis, klep uretra
posterior
2. Cedera uretral
3. Operasi rekonstruksi dari kelainan kongenital seperti hipospadia,
epispadia
4. Trauma, misalnya fraktur tulang pelvis yang mengenai uretra pars
membranasea; trauma tumpul pada selangkangan (straddle injuries)
yang mengenai uretra pars bulbosa, dapat terjadi pada anak yang naik
sepeda dan kakinya terpeleset dari pedal sepeda sehingga jatuh dengan
uretra pada bingkai sepeda pria; trauma langsung pada penis;
instrumentasi transuretra yang kurang hati-hati (iatrogenik) seperti
pemasangan kateter yang kasar, fiksasi kateter yang salah.
5. Post operasi, beberapa operasi pada saluran kemih dapat menimbulkan
striktur uretra, seperti operasi prostat, operasi dengan alat endoskopi.
6. Infeksi, merupakan faktor yang paling sering menimbulkan striktur
uretra, seperti infeksi oleh kuman gonokokus yang menyebabkan uretritis
gonorrhoika atau non gonorrhoika telah menginfeksi uretra beberapa
tahun sebelumnya namun sekarang sudah jarang akibat pemakaian
antibiotik, kebanyakan striktur ini terletak di pars membranasea,
walaupun juga terdapat pada tempat lain; infeksi chlamidia sekarang
merupakan penyebab utama tapi dapat dicegah dengan menghindari
kontak dengan individu yang terinfeksi atau menggunakan kondom.

Gambar. Letak striktur uretra memberikan petunjuk penyebab terjadinya


striktur uretra
2.4. Patofisiologi
Struktur uretra terdiri dari lapisan mukosa dan lapisan submukosa.
Lapisan mukosa pada uretra merupakan lanjutan dari mukosa buli-buli,
ureter dan ginjal. Mukosanya terdiri dari epitel kolumnar, kecuali pada
daerah dekat orifisium eksterna epitelnya skuamosa dan berlapis.
Submukosanya terdiri dari lapisan erektil vaskular. Apabila terjadi
perlukaan pada uretra, maka akan terjadi penyembuhan cara epimorfosis,
artinya jaringan yang rusak diganti oleh jaringan lain (jaringan ikat) yang
tidak sama dengan semula. Jaringan ikat ini menyebabkan hilangnya
elastisitas dan memperkecil lumen uretra, sehinggaterjadi striktur uretra.

Gambar 2. Patofisiologi Striktur Uretra

2.5. Derajat Penyempitan


Sesuai dengan derajat penyempitan lumennya, striktur uretra dibagi
menjadi tiga tingkatan, yaitu derajat:
1. Ringan : jika oklusi yang terjadi kurang dari 1/3 diameter lumen uretra
2. Sedang: jika terdapat oklusi 1/3 sampai dengan ½ diameter lumen uretra
3. Berat : jika terdapat oklusi lebih besar dari ½ diameter lumen uretra
Pada penyempitan derajat berat kadang kala teraba jaringan keras di
korpus spongiosum yang dikenal dengan spongiofibrosis.

2.6. Gambaran Klinis


Gejala dari striktur uretra yang khas adalah pancaran buang air seni
kecil dan bercabang. Gejala yang lain adalah iritasi dan infeksi seperti
frekuensi, urgensi, disuria, inkontinensia, urin yang menetes, kadang-
kadang dengan penis yang membengkak, infiltrat, abses dan fistel. Gejala
lebih lanjutnya adalah retensi urin.

1. Pemeriksaan Fisik
Anamnesa:
Untuk mencari gejala dan tanda adanya striktur uretra dan juga mencari
penyebab striktur uretra.
Pemeriksaan fisik dan lokal:
Untuk mengetahui keadaan penderita dan juga untuk meraba fibrosis di
uretra, infiltrat, abses atau fistula.

2. Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium
Urin dan kultur urin untuk mengetahui adanya infeksi
Ureum dan kreatinin untuk mengetahui faal ginjal
Uroflowmetri
Uroflowmetri adalah pemeriksaan untuk menentukan kecepatan
pancaran urin. Volume urin yang dikeluarkan pada waktu miksi dibagi
dengan lamanya proses miksi. Kecepatan pancaran urin normal pada
pria adalah 20 ml/detik dan pada wanita 25 ml/detik. Bila kecepatan
pancaran kurang dari harga normal menandakan ada obstruksi.
Radiologi
Diagnosa pasti dibuat dengan uretrografi, untuk melihat letak
penyempitan dan besarnya penyempitan uretra. Untuk mengetahui lebih
lengkap mengenai panjang striktur adalah dengan membuat foto bipolar
sistouretrografi dengan cara memasukkan bahan kontras secara antegrad
dari buli-buli dan secara retrograd dari uretra. Dengan pemeriksaan ini
panjang striktur dapat diketahui sehingga penting untuk perencanaan
terapi atau operasi.
Instrumentasi
Pada pasien dengan striktur uretra dilakukan percobaan dengan
memasukkan kateter Foley ukuran 24 ch, apabila ada hambatan dicoba
dengan kateter dengan ukuran yang lebih kecil sampai dapat masuk ke
buli-buli. Apabila dengan kateter ukuran kecil dapat masuk menandakan
adanya penyempitan lumen uretra.
Uretroskopi
Untuk melihat secara langsung adanya striktur di uretra. Jika
diketemukan adanya striktur langsung diikuti dengan uretrotomi interna
(sachse) yaitu memotong jaringan fibrotik dengan memakai pisau
sachse.

2.7. Diagnosis
Diagnosis striktur uretra dari hasil anamnesa dan pemeriksaan fisik.
Diagnosis pasti striktur uretra didapat dari pemeriksaan radiologi, tentukan
lokasi dan panjang striktur serta derajat penyempitan dari lumen uretra.

2.8. Penatalaksanaan
Striktur uretra tidak dapat dihilangkan dengan jenis obat-obatan
apapun. Pasien yang datang dengan retensi urin, secepatnya dilakukan
sistostomi suprapubik untuk mengeluarkan urin, jika dijumpai abses dan
infeksi saluran kemih periuretra dilakukan insisi dan pemberian antibiotika.
Pengobatan striktur uretra banyak pilihan dan bervariasi tergantung panjang
dan lokasi dari striktur, serta derajat penyempitan lumen uretra.
Tindakan khusus yang dilakukan terhadap striktur uretra adalah:
1. Bougie (Dilatasi)
Sebelum melakukan dilatasi, periksalah kadar hemoglobin pasien
dan periksa adanya glukosa dan protein dalam urin. Tersedia beberapa jenis
bougie. Bougie bengkok merupakan satu batang logam yang ditekuk sesuai
dengan kelengkungan uretra pria; bougie lurus, yang juga terbuat dari
logam, mempunyai ujung yang tumpul dan umumnya hanya sedikit
melengkung; bougie filiformis mempunyai diameter yang lebih kecil dan
terbuat dari bahan yang lebih lunak. Berikan sedatif ringan sebelum
memulai prosedur dan mulailah pengobatan dengan antibiotik, yang
diteruskan selama 3 hari. Bersihkan glans penis dan meatus uretra dengan
cermat dan persiapkan kulit dengan antiseptik yang lembut. Masukkan gel
lidokain ke dalam uretra dan dipertahankan selama 5 menit. Tutupi pasien
dengan sebuah duk lubang untuk mengisolasi penis. Apabila striktur sangat
tidak teratur, mulailah dengan memasukkan sebuah bougie filiformis;
biarkan bougie di dalam uretra dan teruskan memasukkan bougie filiformis
lain sampai bougie dapat melewati striktur tersebut. Kemudian lanjutkan
dengan dilatasi menggunakan bougie lurus.
Apabila striktur sedikit tidak teratur, mulailah dengan bougie
bengkok atau lurus ukuran sedang dan secara bertahap dinaikkan
ukurannya.
Dilatasi dengan bougie logam yang dilakukan secara hati-hati.
Tindakan yang kasar tambah akan merusak uretra sehingga menimbulkan
luka baru yang pada akhirnya menimbulkan striktur lagi yang lebih berat.
Karena itu, setiap dokter yang bertugas di pusat kesehatan yang terpencil
harus dilatih dengan baik untuk memasukkan bougie. Penyulit dapat
mencakup trauma dengan perdarahan dan bahkan dengan pembentukan
jalan yang salah (false passage). Perkecil kemungkinan terjadinya
bakteremi, septikemi, dan syok septic dengan tindakan asepsis dan dengan
penggunaan antibiotik.

2. Uretrotomi interna
Tindakan ini dilakukan dengan menggunakan alat endoskopi yang
memotong jaringan sikatriks uretra dengan pisau Otis atau dengan pisau
Sachse, laser atau elektrokoter. Otis uretrotomi dikerjakan pada striktur
uretra anterior terutama bagian distal dari pendulans uretra dan fossa
navicularis, otis uretrotomi juga dilakukan pada wanita dengan striktur
uretra. Indikasi untuk melakukan bedah endoskopi dengan alat Sachse
adalah striktur uretra anterior atau posterior masih ada lumen walaupun
kecil dan panjang tidak lebih dari 2 cm serta tidak ada fistel, kateter dipasang
selama 2-3 hari pasca tindakan. Setelah pasien dipulangkan, pasien harus
kontrol tiap minggu selama 1 bulan kemudian 2 minggu sekali selama 6
bulan dan tiap 6 bulan sekali seumur hidup. Pada waktu kontrol dilakukan
pemeriksaan uroflowmetri, bila pancaran urinnya < 10 ml/det dilakukan
bouginasi.

3. Uretrotomi eksterna
Tindakan operasi terbuka berupa pemotongan jaringan fibrosis
kemudian dilakukan anastomosis end-to-end di antara jaringan uretra yang
masih sehat, cara ini tidak dapat dilakukan bila daerah strikur lebih dari 1
cm. Cara Johansson; dilakukan bila daerah striktur panjang dan banyak
jaringan fibrotik. Stadium I, daerah striktur disayat longitudinal dengan
menyertakan sedikit jaringan sehat di proksimal dan distalnya, lalu jaringan
fibrotik dieksisi. Mukosa uretra dijahit ke penis pendulans dan dipasang
kateter selama 5-7 hari. Stadium II, beberapa bulan kemudian bila daerah
striktur telah melunak, dilakukan pembuatan uretra baru.
4. Uretroplasti
Dilakukan pada penderita dengan panjang striktur uretra lebih dari
2 cm atau dengan fistel uretro-kutan atau penderita residif striktur pasca
Uretrotomi Sachse. Operasi uretroplasty ini bermacam-macam, pada
umumnya setelah daerah striktur di eksisi, uretra diganti dengan kulit
preputium atau kulit penis dan dengan free graft atau pedikel graft yaitu
dibuat tabung uretra baru dari kulit preputium/kulit penis dengan
menyertakan pembuluh darahnya.

2.9. Komplikasi
1. Trabekulasi, sakulasi dan divertikel
Pada striktur uretra kandung kencing harus berkontraksi lebih
kuat, maka otot kalau diberi beban akan berkontraksi lebih kuat sampai
pada suatu saat kemudian akan melemah. Jadi pada striktur uretra otot
buli-buli mula-mula akan menebal terjadi trabekulasi pada fase
kompensasi, setelah itu pada fase dekompensasi timbul sakulasi dan
divertikel. Perbedaan antara sakulasi dan divertikel adalah penonjolan
mukosa buli pada sakulasi masih di dalam otot buli sedangkan divertikel
menonjol di luar buli-buli, jadi divertikel buli-buli adalah tonjolan
mukosa keluar bulibuli tanpa dinding otot.
2. Residu urin
Pada fase kompensasi dimana otot buli-buli berkontraksi makin
kuat tidak timbul residu. Pada fase dekompensasi maka akan timbul
residu. Residu adalah keadaan dimana setelah kencing masih ada urine
dalam kandung kencing. Dalam keadaan normal residu ini tidak ada.
3. Refluks vesiko ureteral
Dalam keadaan normal pada waktu buang air kecil urine
dikeluarkan buli-buli melalui uretra. Pada striktur uretra dimana
terdapat tekanan intravesika yang meninggi maka akan terjadi refluks,
yaitu keadaan dimana urine dari buli-buli akan masuk kembali ke ureter
bahkan sampai ginjal.
4. Infeksi saluran kemih dan gagal ginjal
Dalam keadaan normal, buli-buli dalam keadaan steril. Salah
satu cara tubuh mempertahankan buli-buli dalam keadaan steril adalah
dengan jalan setiap saat mengosongkan buli-buli waktu buang air kecil.
Dalam keadaan dekompensasi maka akan timbul residu, akibatnya maka
bulibuli mudah terkena infeksi. Adanya kuman yang berkembang biak
di buli-buli dan timbul refluks, maka akan timbul pyelonefritis akut
maupun kronik yang akhirnya timbul gagal ginjal dengan segala
akibatnya.
5. Infiltrat urine, abses dan fistulasi
Adanya sumbatan pada uretra, tekanan intravesika yang
meninggi maka bisa timbul inhibisi urine keluar buli-buli atau uretra
proksimal dari striktur. Urine yang terinfeksi keluar dari buli buli atau
uretra menyebabkan timbulnya infiltrat urine, kalau tidak diobati
infiltrat urine akan timbul abses, abses pecah timbul fistula di supra
pubis atau uretra proksimal dari striktur.

2.10. Prognosis
Striktur uretra kerap kali kambuh, sehingga pasien harus sering menjalani
pemeriksaan yang teratur oleh dokter. Penyakit ini dikatakan sembuh jika setelah
dilakukan observasi selama satu tahun tidak menunjukkan tanda-tanda
kekambuhan.
BAB III
ANALISIS KASUS

Dari kasus di atas, Tn. S usia 48 tahun datang dengan keluhan tidak bisa
buang air kecil (BAK) sejak 3 hari SMRS. Keadaan ini disebut sebagai retensi urine
adalah ketidak mampuan seseorang untuk mengeluarkan urine yang terkumpul di
dalam buli-buli hingga kapasitas maksimal buli-buli terlampaui. Adanya
penyumbatan pada uretra, kontraksi buli-buli yang tidak adekuat, atau tidak adanya
koordinasi antar buli-buli dan uretra dapat menimbulkan terjadinya retensi urine.
Dari anamnesa didapatkan ± 1 bulan SMRS keluhan berupa sulit BAK,
BAK mengejan, tertahan kencing keluar sedikit-sedikit, setelah BAK penderita
merasa tidak puas dan diikuti oleh pancaran urine yang lemah, dipertengahan miksi
seringkali miksi berhenti kemudian memancar lagi (intermitensi). Keluhan ini
merupakan gejala obstruktif saluran kemih. Jadi kesimpulan yang diambil bahwa
penderita mengalami suatu gejala obstruktif saluran kemih. Ditemukan adanya
keluhan sering berkemih (frequency) terutama pada malam hari (nocturia),
sehingga pasien ini disimpulkan mengalami gejala iritatif dari saluran kemih.
Berdasarkan kondisi faktual diatas pasien ini mengalami gejala obstruktif dan
gejala iritatif saluran kemih yang dikenal dengan LUTS (Lower Urinary Tract
Symptoms). Keluhan keluarnya urine secara menetes, tanpa disadari, dan tidak
mampu ditahan disangkal oleh pasien. Keadaan ini harus dibedakan dengan
inkontinensia paradoksa.
LUTS merupakan suatu gejala yang menunjukkan adanya gangguan pada
saluran kemih bagian bawah yang meliputi gejala obstruktif dan iritatif pada saluran
kemih. Gejala obstruktif pada saluran kemih yaitu mengedan ketika miksi
(straining), menunggu pada awal miksi (hesitancy), pancaran melemah (weakness),
miksi terputus (intermitten), dan tidak lampias setelah miksi. Sedangkan gejala
iritatif meliputi rasa ingin miksi yang tidak bisa ditahan (urgency), sering miksi
(frequency), sering miksi pada malam hari (nocturia), dan nyeri ketika miksi
(dysuria). Dari keluhan utama dan anamnesis pada pasien ini terjadi suatu retentio
urine yang disebabkan adanya sumbatan pada saluran kemih bagian bawah yang
bisa disebabkan oleh gangguan pada vesika urinaria atau infravesika. Gangguan
pada vesika urinaria bisa berupa batu vesika atau gangguan neurogenic pada vesika.
Sedangkan gangguan infravesika berupa pembesaran prostat dan striktur uretra.
Kemudian pada riwayat penyakit dahulu, riwayat infeksi saluran kemih
(+) 1 tahun yang lalu dan ada riwayat trauma jatuh terduduk saat mengendarai
sepeda.
Berdasarkan pemeriksaan fisik pada status generalis pada vital sign
didapatkan suhu tubuh pasien 37,3 C menujukan subfebris, konjungtiva tidak pucat
dan sklera tidak ikterik. Pada status urologikus didapatkan pada regio CVA dextra
et sinistra dalam batas normal tidak ditemukan kelainan, ini menunjukan tidak
adanya gangguan pada ginjal. Pada regio supra pubik didapatkan Inspeksi:
terpasang kateter cystotomi, urine lancar dan warnah kuning jernih, darah (-),
jumlah ±500cc, Palpasi: nyeri tekan (-), massa (-), dan Perkusi: Peka (+). Pada
regio genitalia externa yaitu pada Palpasi: edema minimal, hangat, nyeri, MUE
stenosis (-), batu (-) ini menunjukan retensi ec. Batu ureter dapat disingkirkan,
teraba jaringan keras di korpus spongiosum (+),sehingga kemungkinan
menunjukan adanya penyempitan pada lumen uretra atau striktur uretra yang
menyebabkan retensi urine. Pada pemeriksaan Digital Rectal Examination (Rectal
Toucher) didapatkan tonus spingter ani menjepit kuat tidak longgar saat glans penis
ditekan, ini menyingkirkan retensio urin yang terjadi diakibatkan oleh neurogenic
bladder dan tidak teraba pembesaran prostat sehingga hal ini dapat menyingkirkan
diagnosis bahwa retensio urine akibat hiperplasia prostat dapat disingkirkan.
Pada pemeriksaan darah rutin yang dilakukan didapatkan kadar Hb
normal dan leukosit sedikit meningkat, menunjukan adanya infeksi saluran kemih.
Pada keadaan normal bakteri dalam urine kandung kemih biasanya akan
dikeluarkan sewaktu berkemih, tetapi keadaan ini tidak akan dijumpai bila ada urine
stasis yang beresiko terjadinya infeksi saluran kemih. Pemeriksaan faal ginjal
didapatkan hasil normal, menunjukan tidak adanya gangguan pada ginjal. Pada
pasien tersebut disarankan untuk dilakukan pemeriksaan urinalisa, bertujuan untuk
mengetahui zat-zat yang terkandung di dalam urine serta adanya kelainan-kelainan
pada urine.
Dari pemeriksaan penunjang USG didapatkan ginjal bilateral, buli-buli, dan
prostat normal. Pemeriksaan tersebut dapat menyingkirkan adanya kelainan pada
ginjal karena pada retensio urine dapat terjadi reflak urine karena adanya
peningkatan tekanan pada buli yang nantinya bisa menyebabkan hidroureter dan
hidroneforis yang bisa menyebabkan gangguan ginjal. Pada prostat tampak normal
tidak adanya hiperplasia prostat sehingga dapat menyingkirkan diagnosa retensi
urin ec. BPH. Pada kasus tersebut disarankan untuk dilakukan pemeriksaan
uretrografi. Diagnosa pasti pada striktur uretra dibuat dengan uretrografi, untuk
melihat letak penyempitan dan besarnya penyempitan uretra. Pars membranasea
biasanya disebabkan oleh trauma pelvis dan iatrogenik akibat katerisasi, pars
bulbosa disebabkan oleh cedera selangkangan, pars bulbo pendulare diakibabtkan
oleh fiksasi kateter yang keliru, urettritis anterior, dan pars meatus uretra eksterna
bisa diakibatkan oleh instrumetasi yang kasar, balanitis, meatitis. Dengan
pemeriksaan ini panjang striktur dapat diketahui sehingga penting untuk
perencanaan terapi atau operasi.
Dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang, maka
pasien ini didiagnosa dengan Retensi Urine ec. Striktur Uretra.
Setelah diagnosa sudah ditegakkan, maka dilakukan penatalaksaan lebih
lanjut pada pasien. Pada pasien ini akan ditatalaksana dengan pemberian antibiotik
dan analgetik untuk pengobatan secara simtomatik, kemudian rencana untuk
dilakukan uretrotomi interna dengan pisau sachse. Penatalaksanaan dini pada
pasien ini dilakukan pemasangan sistostomi suprapubik dikarenakan tidak dapat
dilakukan pemasangan kateter seperti ada tahanan dan pemberian, IVFD RL 20
tpm, antibiotik Ceftriaxone 2x1gr (IV) serta Paracetamol 500mg/8 jam (PO)
sebagai terapi simtomatik. Sedangkan penatalaksaan lanjut pada pasien yaitu
direncanakan untuk dilakukan uretrotomi internal (sasche)
Prognosis pada pasien ini secara vitam dan fungsionam bonam.

DAFTAR PUSTAKA
1. Syamsuhidayat, R. Wim de Jong. Buku ajar Ilmu Bedah. EGC. Jakarta : 1997
2. Purnomo, Basuki. Dasar-dasar urologi Edisi ketiga. CV. Sagung Seto. Jakarta :
2012
3. Urethral Stricture Disease. http://www.urologyhealth.org/, diakses tanggal 28
Oktober 2018.
4. Gousse, Angelo. Urethral Stricture, Male Workup.
http://www.emedicine.medscape.com , diakses tanggal 28 Oktober 2018..

Anda mungkin juga menyukai