Anda di halaman 1dari 10

B.

Ekosistem Laut
1. Ciri-ciri Ekosistem Laut
Lautan memiliki ciri yang penting secara ekologi sebagai berikut:
a. Lautan menutupi sebanyak 70% permukaan bumi (Soetjipta, 1992).
Sedangkan menurut McNaughton dan Wolf (1992) lautan menutupi 361
juta km2, dimana hampir menutup 71% dari permukaan bumi.
b. Terdapat kehidupan disemua kedalaman (Istamar, 1993). Rerata
kedalaman laut adalah 3750 m, dan laut yang paling dalam mencapai
10.750 (McNaughton dan Wolf, 1992). Lautan itu dalam dan makhluk
hidup terdapat di semua kedalaman. Walaupun tampaknya tidak ada
zone abiotik di dalam lautan, kehidupan lebih rapat di sekitar tepi benua
dan tepi laut (Soetjipta, 1992).
c. Ekosistem laut saling bersambungan, dan memiliki kemungkinan untuk
bercampur karena adanya sirkulasi air laut (Istamar, 1993). Lautan itu
berkesinambungan. Habitat lautan itu tidak terpisah-pisah seperti
habitat daratan dan habitat air tawar. Semua lautan itu berhubungan,
suhu, salinitas, serta kedalaman merupakan barier utama untuk gerakan
bebas makhluk lautan (Soetjipta, 1992).
d. Lautan berada dalam sirkulasi yang kontinyu. Perbedaan suhu udara di
antara kutub dan ekuator menimbulkan angin yang kuat sehingga angin
bertiup ke arah yang sama sepanjang tahun (Soetjipta, 1992).
Permukaan lautan dipengaruhi oleh arus, dimana massa air bergerak
akibat gradien temperatur dan angin permukaan (McNaughton dan
Wolf, 1992) .
e. Lautan didominasi oleh gelombang yang macamnya banyak dan oleh
pasang surut. Proses pasang-surut terutama penting di dalam zone yang
terletak ke arah pantai, yang merupakan tempat hidup makhluk lautan
(Soetjipta, 1992).
f. Lautan itu asin. Berkadar garam sekitar 0,3%, yang mirip dengan
kepekatan protoplasma (Istamar, 1993). Rerata salinitas atau
kandungan garam di lautan adalah 35 bagian garam menurut berat per
1000 bagian air lautan atau 3.5%. (Soetjipta, 1992).
g. Rantai makanan relatif panjang dengan kata lain disepanjang rantai
makanan terjadi pemborosan energi.
h. Konsentrasi zat hara yang terlarut rendah dan merupakan faktor
pembatas yang penting dalam menentukan besarnya populasi makhluk
lautan.
i. Bersifat paradoksik bahwa lautan dan beberapa makhluk yang hidup
didalamnya lebih tua daripada dasar lautan yang secara konstan berubah
dan diperbaharui oleh proses tektonik dan proses sedimenter (Soetjipta,
1992).
2. Macam-macam Ekosistem Laut
Biota lautan sangatlah bervariasi. Sehingga sukar untuk menemukan
kelompok yang dominan seperti di habitat perairan tawar (Soetjipta, 1992).
Di lautan digunakan istilah pelagik yang meliputi plankton, nekton, dan
neuston, atau semua yang hidup di perairan lautan terbuka. Dasar lautan di
paparan benua dibedakan menjadi zona litoral atau zona pasang-surut,
dilanjutkan dengan zona neritik sebagai lereng kontinental, perairan di luar zona
neritik disebut zona oseanik (Soetjipta, 1992).
Secara vertikal, kedalaman diantara 2000-5000 meter disebut daerah
abyssal dan lebih dalam lagi disebut daerah hadal. Lapisan air yang masih dapat
dikenai oleh penetrasi cahaya disebut lapisan eufotik yang di perairan jernih
dapat mencapai kedalaman sampai 200 meter, sedangkan di dekat pantai yang
tidak begitu jernih kedalaman tersebut hanya mencapai 30 meter (Soetjipta,
1992). Di kedalamam tersebut, laju fotosintesis tinggi dan produktifitas lebih
tinggi daripada respirasi (Istamar, 1993).
Dibawah lapisan eufotik pada zona oesanik dan zona neritik yang dalam
terdapat lapisan afotik (Soetjipta, 1992). Afotik, kedalaman lebih dari 2000
meter, cahaya matahari benar-benar tidak ada, keadaannya gelap gulita. Di zona
ini tidak terdapat fotosintesis, dan produktifitasnya sama dengan nol. Di zona ini
terdapat hewan-hewan yang beradaptasi terhadap kondisi gelap, salinitas, unsur
hara, dan tekanan air tinggi, dan mereka mendapatkan makanan dari sisa-sisa
yang jatuh dari atas, seperti bangkai atau sisa-sisa organisme lainnya (Istamar,
1993).
McNaughton dan Wolf (1992), membagi laut menjadi enam zona, yaitu:
1. Littoral, dimana laut dan masa daratan bertemu sepanjang garis
pantai,
2. Neritik, dimana masa daratan meluas keluar sepanjang dataran
kontinental (diluar batas tak terhingga dimana kedalaman air 200 m).
3. Upwelling
Upwelling menurut Soetjipta (1992) yaitu proses dimana angin
secara konsisten menggerakkan air permukaan ke arah yang
menjauhi kemiringan pantai terjal, menuju ke permukaan air yang
dingin yang kaya zat hara yang terakumulasi di dasar lautan. Wilayah
yang paling produktif yaitu terletak di daerah upwelling yang
merupakan lautan dengan perikanan yang paling subur di dunia (). Di
Indonesia sendiri berdasarkan hasil penelitian Denny Wijaya
Kusuma (2016) proses upwelling yang umumnya terjadi di bulan
agustus terdapat di perairan selatan pulau jawa, bali dan nusa
tenggara.
4. Pelagik, perairan yang lebih luas di laut terbuka;
5. Coral reef.
Daerah terumbung karang. Terumbu karang distribusinya
terdapat di perarian lautan yang tergolong dangkal dengan suhunya
di atas 18o C, dengan kisaran antara garis lintang utara 30o sampai
garis lintang selatan 30o. Terumbu karang yang terbesar didunia
terletak di dalam perairan lautan di sebelah timur laut benua
Australia, disebut The Great Barrier, termasuk tujuh keajaiban dunia.
Terumbu karang dibedakan menjadi (1) terumbu barrier yang di
sepanjang pantai benua, (2) terumbu cincin yang dikelilingi pulau,
dan (3) terumbu atoll, merupakan terumbu berbentuk tapal-kuda atau
terbentuk seperti cincin dengan tengahnya ada pulau, yang dikelilingi
oleh lagoon.
Meskipun terumbu karang masuk dalam kingdom Animalia
(phylum Coelenterate), suatu terumbu karang bukan suatu komunitas
heterotrofik, tetapi merupakan suatu ekosistem dengan struktur trofik
yang melibatkan biomassa yang besar terdiri atas alage. Terumbu
karang merupakan salah satu contoh symbiosis mutualismus antara
makhluk tumbuhan dan makhluk hewan. Terumbu karang bernilai
estetik dan rekreasional, disamping itu berguna sebagai pembentuk
daratan, dan sebagai penahan gempuran ombak terhadap pantai
(Soetjipta, 1992).
6. Estuaria
Estuaria pada umumnya juga tergolong dalam ekosistem laut,
meskipun mereka kenyataannya mempunyai biome transisi antara
perairan tawar dan laut. Hal ini mengakibatkan daerah estuari
mempunyai air yang bersalinitas lebih rendah dibandingkan lautan
terbuka (McNaughton dan Wolf, 1992).
Estuari dapat dianggap sebagai zona transisi antara air tawar dan
habitat lautan. Pada estuari terdapat fluktuasi perubahan salinitas
yang berlangsung secara tetap yang berhubungan dengan gerakan
pasang surut. Adanya perubahan salinitas tersebut mengakibatkan
organisme-organisme laut tidak dapat hidup di daerah estuari.
Sebagian besar jenis flora dan fauna yang hidup di daerah
estuari adalah organisme yang telah beradaptasi dengan kondisi
terbatas. Di kawasan ekosistem estuari terdapat tipe ekosistem yang
khas yaitu padang lamun dan hutan mangrove. Hutan mangrove di
dominasi oleh tanaman bakau, kayu api, dan bogem.
Mangrove adalah vegetasi yang tahan salinitas hidup di daerah
pasang-surut, antara lain terdiri spesies tumbuhan yang emergent
(memiliki akar tunggang dan akar pernafasan). Rhizophora mangle
ialah contoh spesies yang tumbuh paling jauh ke arah laut dan
Avicennia nitida adalah contoh spesies yang tumbuh kearah daratan.
Mangrove menghasilkan serasah yang akan mengalami proses
dekomposisi yang kemudian dimanfaatkan sebagai sumber hara bagi
tanaman dan juga merupakan sumber makanan bagi ikan serta
invertebrata yang penting. Mangrove penting sebagai daerah ipukan
makhluk hewan termasuk berbagai ikan, udang dan lainnya. Banyak
hewan lain yang menjadi penghuni ekosistem mangrove (Soetjipta,
1992)
Lebih lanjut McNaughton dan Wolf (1992) mengemukakan bahwa,
lautan pada zona pasang surut atau disebut sebagai daerah litoral juga merupakan
salah satu ekosistem laut. Daerah litoral laut kaya akan organisme hidup.
Setidaknya ada dua pengelompokan habitat daerah litoral, (1) Habitat batuan
sepanjang pantai, distribusi organismenya ditempati oleh ganggang hijau-biru
yang tipis, dimana aliran pasang surut air jarang namun batuan-batuan basah
oleh semburan air yang mengandung garam. Daerah intertidal yang berbatu-batu
didominasi oleh ganggang merah dan ganggang coklat, terutama rumput laut.
Limpet dan herbivora pada daerah ini juga berlimpah. Daerah ini, karna kaya
akan jenis rumput laut sehingga sering dilihat sebagai hutan Laminaria, yang
mana cukup dekat dengan garis pasang surut serta kaya akan avertebrata dan
bintang laut. (2) Habitat pasir sepanjang pantai, ekosistem pada daerah ini sangat
khas oleh sel-sel alga, sel-sel bakteri, dan partikel-partikel bahan organik yang
ikut menyusun komposisi pasir pada habitat ini. Terdapat tiga daerah utama pada
daerah pantai pasir; daerah kelembapan supertidal, daerah intertidal, dan
subtidal. Daerah intertidal didominasi oleh hewan-hewan yang membuat lubang
di pasir selama terjadi pasang rendah, seperti kepiting berhantu, clam, keong,
dsb.
Konservasi Ekosistem Laut
1. Kerusakan pada ekosistem laut
Kerusakan ekosistem saat ini hampir sepenuhnya dipengaruhi oleh
manusia. Diperparah dengan pola konsumsi manusia, ancaman terhadap
ekosistem dipercepat oleh peningkatan populasi manusia secara cepat.
Setidaknya ada dua kerusakan ekosistem laut saat ini yang menjadi perhatian
beberapa kalangan. (1) Pencemaran ekosistem laut, (2) Kepunahan.
a. Pencemaran Ekosistem Laut di Indonesia
Indonesian Center for Environmental Law melaporkan bahwa sebagian
batu bara saat ini ataupun yang akan dibangun pada masa mendatang
berada di pesisir. Berdasarkan pemberitaan Kompas, desember 2018,
“perlindungan perairan pesisir Indonesia dari dampak limbah buangan
pembangkit listrik tenaga uap batubara lemah, Aturan saat ini tak cukup
memastikan laut terbebas pencemaran limbah cair dari penyimpanan
batubara dan abu hasil pembakaran dan operasional termal”. Lebih lanjut,
diberitakan bahwa “Pihak ICEL mengeluarkan Kertas Kebijakan Urgensi
Peraturan Khusus Mengenai Baku Mutu Pembuangan Air Limbah PLTU
Batubara ke Laut. Sejumlah potensi limbah cair beserta risiko dipaparkan.
Baku mutu suhu limbah bahang pada Permen LH No 8/2009
membolehkan kenaikan suhu 40 derajat celsius saat dibuang ke badan air
penerima limbah. Dengan suhu rata-rata air Jaut di Indonesia 29,5 derajat
celsius, kenaikan suhu air laut seharusnya tak lebih dari 31,5 derajat
celsius. Kenaikan suhu tinggi mengakibatkan hewan karang stres dan mati.
ICEL mengkhawatirkan perubahan pola migrasi dan reproduksi biota taut.
Selain itu, kapal angkutan batu bara secara langsung merusak tatanan
terumbu karang di beberapa daerah, seperti contoh pada kepualuan
Karimanjuana, Bali. Kapal tongkang pengangkut batu bara yang markir di
perairan laut Karimanjuana, telah merusak tatanan terumbu karang. Belum
lagi, tumpahan batu bara telah mencemari perairan laut dan mengancam
kehidupan organisme laut. Penyebab lainnya dari kerusakan ekosistem laut
yaitu pencemaran air laut oleh sampah plastik.
b. Kepunahan
Banyak negara di dunia, populasi penyu laut telah menurun hingga kurang
dari 1% dari jumlah semula. Populasi penyu telah terancam oleh berbagai
faktor sekaligus, termasuk rusaknya habitat karena pengembangan pantai,
penangkapan penyu dewasa, dan pengumpulan telur penyu untuk
makanan. Penyu juga mengalami tingkat kematian yang tinggi akibat
tersangkut alat tangkap ikan (Indrawan, 2007). Sama halnya dengan
penyu, setidaknya ada 8 biota laut yang masuk dalam kategori dilindungi
penuh oleh KKP (Kementrian Kelautan dan Perikanan) karena terancam
mengalami kepunahan. Seperti yang diberitakan oleh kompas pada agustus
2019, delapan biota laut yang termasuk dalam kategori "Dilindungi
Penuh", yakni dugong (Dugong dugong), ikan hiu paus (Rhincodon typus),
ikan pari manta (Manta sp), ikan pari gergaji (Pristis sp), kima (Hippopus
sp), lumba-lumba (Cetacean sp), Paus (Cetacean sp), dan penyu
(Testudinata sp).
2. Konservasi Ekosistem Laut
Secara umum, konservasi, mempunyai arti pelestarian yaitu melestarikan
atau mengawetkan daya dukung, mutu, fungsi, dan kemampuan lingkungan
secara seimbang (MIPL, 2010; Anugrah, 2008; Wahyudi dan DYP Sugiharto
(ed), 2010). Kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh manusia, jika terjadi
secara terus menerus, akan berdampak pada kepunahan beberapa spesies.
Sehingga untuk mengatasi hal tersebut, upaya konservasi dilakukan dalam
berbagai cara, guna untuk melestarikan atau mengawetkan keanekaragaman
hayati bahkan ekosistem lingkungan yang terancam punah dan rusak.
Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumber
Daya Ikan yang merupakan turunan dari Undang-Undang No. 31 Tahun 2004
tentang Perikanan, dan Undang-Undang No. 45 Tahun 2009 tentang Perubahan
UU 31/2004, menjelaskan bahwa konservasi sumber daya ikan adalah upaya
perlindungan, pelestarian, dan pemanfaatan sumber daya ikan, termasuk
ekosistem, jenis dan genetik untuk menjamin keberadaan, ketersediaan dan
kesinambungannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai
dan keanekaragaman sumber daya ikan. Dalam konteks konservasi sumber
daya ikan, konservasi ekosistem merupakan upaya melindungi, melestarikan
dan memanfaatkan fungsi ekosistem sebagai habitat penyangga kehidupan
biota perairan pada waktu sekarang dan yang akan datang.
Dalam Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 lebih jauh dikemukakan
bahwa kawasan konservasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah
kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil dengan ciri khas tertentu yang dilindungi
untuk mewujudkan pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil secara
keberlanjutan.
Pengelolaan kawasan konservasi adalah dengan sistem ZONASI,
Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan diatur dengan sistem ZONASI.
Paling tidak, ada 4 (empat) pembagian zona yang dapat dikembangkan di
dalam Kawasan Konservasi Perairan, yakni: zona inti, zona perikanan
berkelanjutan, zona pemanfaatan dan zona lainnya. Zona perikanan
berkelanjutan tidak pernah dikenal dan diatur dalam regulasi, jelas hal ini
merupakan pemenuhan hak-hak bagi masyarakat lokal, khususnya nelayan.
Masyarakat diberikan ruang pemanfaatan untuk perikanan di dalam kawasan
konservasi (zona perikanan berkelanjutan, zona pemanfaatan, maupun zona
lainnya), misalnya untuk budidaya dan penangkapan ramah lingkungan
maupun pariwisata bahari dan lain sebagainya. Pola-pola seperti ini dalam
konteks pemahaman konservasi terdahulu belum banyak dilakukan. Kini,
peran Pemerintah pusat dalam konteks paradigma ini, hanya memfasilitasi dan
menetapkan kawasan konservasi, sedangkan proses inisiasi, identifikasi,
pencadangan maupun pengelolaannya secara keseluruhan dilakukan dilakukan
sepenuhnya oleh pemerintah daerah (Dermawan, 2014).
Renstra KKJI (Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan) 2010-2014 memuat
dua indikator capaian, yaitu: 1) kawasan konservasi perairan yang
diidentifikasi, dipetakan, dilindungi, dilestarikan dan dimanfaatkan secara
berkelanjutan; dan 2) jumlah jenis ikan terancam punah, langka, endemik yang
diidentifikasi, dipetakan, dilindungi, dilestarikan, dan dimanfaatkan secara
berkelanjutan. Demi mencapai target konservasi di Indonesia (Dermawan,
2014).
Tercantum dalam sumber, adapun bentuk konservasi ekosistem laut yang
ada di Indonesia saat ini adalah: (1) Taman Nasional laut; (2) Taman Wisata
Alam Laut; (3) Suaka Margasatwa Laut; (4) Cagar Alam Laut, yang tersebar
dibeberapa wilayah di Indonesia, salah satu yang terkenal adalah: Taman Laut
Bunaken, wilayah konservasi taman laut ini memiliki keindahan terumbu
karang yang tidak kalah dengan Great Barrier Reef yang ada di Australia.
Taman laut Bunaken menempati wilayah seluas 89.065,00 hektar dari lima
pulau yang ada di Manado (Dermawan, 2013).
Terdapat sekitar 200 jenis ikan di bawah permukaan lautnya, mulai dari
ikan neon, ikan kupu-kupu, ikan koral, ikan napoleon hingga ikan purba
choelacant atau ikan raja laut yang dapat hidup di kedalaman 80 meter.
Berbagai jenis biota laut hidup di sini. Anda bisa menikmati keindahan bawah
lautnya dengan menaiki kapal semi selam di lepas pantai Pulau Bunaken.
Taman Wisata Alam Laut Wakatobi. Kepulauan Wakatobi yang seluas
306.590 hektar atau sekitar 13.000 km dijadikan wilayah konservasi sejak
1995. Kemudian, sedikit mengalami perubahan fungsi menjadi Taman
Nasional seluas 1.390.000 hektar pada 1996. Keindahan pemandangann bawah
lautnya, terumbu karang, puncak bukit yang dramatis serta kebun karang yang
luas membentang bagaikan lapangan besar yang ditumbuhi bunga-bunga liar
di bawah laut. Terdapat 30 lokasi selam yang juga menjadi daya tariknya.
Taman Laut Wakatobi saat ini sering dikunjungi untuk keperluan penelitian.
Konservasi dalam upaya mencegah penyu mengalami kepunahan, tengah
dilakukan oleh berbagai kalangan, salah satunya yaitu WWF-Indonesia (World
Wide Fund for Nature). Peran WWF-Indonesia sejak 1984 terlibat dalam
beberapa proyek dan program konservasi Penyu Laut yaitu: mempromosikan
dan memfasilitasi pembentukan Kawasan Konservasi Perairan (KKP) berbasis
Penyu Laut, pembentukan Kebijakan “Konsesi Penolakan Telur”,
pembentukan kesepakatan dengan masyarakat terhadap perburuan Penyu
Belimbing, peningkatan kepedulian terhadap status konservasi Penyu
Belimbing di Berau dan Pulau Kei Kecil, implementasi alat tangkap ramah
Penyu Laut dan penanganan terhadap Penyu Laut sebagai bycatch langsung di
atas kapal nelayan, serta penandatanganan sejumlah nota kesepahaman dalam
rangka perlindungan dan komitmen dari berbagai pihak terkait untuk
kelangsungan hidup Penyu Laut di Indonesia.
Salah satu daerah konservasi penyu adalah pantai Krisik, Kulon Progo
Yogyakarta, yaitu kawasan konservasi mini penyu jenis Lekang (Lepidochelys
oliviacea) yang mendarat dan membuat sarang di sana.

Anda mungkin juga menyukai