Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Setiap manusia membutuhkan pekerjaan untuk mendapatkan pendapatan,
yang nantinya digunakan dalam memenuhi kebutuhan mereka. Dalam bekerja
Keselamatan dan kesehatan kerja (K3) merupakan faktor yang sangat penting
untuk diperhatikan karena seseorang yang mengalami sakit atau kecelakaan dalam
bekerja akan berdampak pada diri, keluarga dan lingkungannya. Salah satu
komponen yang dapat meminimalisir kecelakaan dalam kerja adalah tenaga
kesehatan. Tenaga kesehatan mempunyai kemampuan untuk menangani korban
dalam kecelakaan kerja dan dapat memberikan penyuluhan kepada masyarakat
untuk menyadari pentingnya keselamatan dan kesehatan kerja.
Dalam melakukan pekerjaan apapun, sebenarnya berisiko untuk
mendapatkan gangguan kesehatan atau penyakit yang ditimbulkan oleh penyakit
tersebut. Pekerjaan yang dilakukan dengan cara yang kurang benar dan di
lingkungan yang tidak terkendali akan menyebabkan banyaknya pajanan yang
diterima oleh seorang pekerja. Pajanan terhadap berbagai bahaya potensial di
tempat kerja, baik berupa fisik, biologi, kimia, mekanik, ergonomi, maupun
psikologi, dapat mengakibatkan penurunan produktifitas kerja yang berdampak
secara langsung terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat, mengingat
kelompok pekerja umumnya merupakan kelompok usia produktif. Gangguan
kesehatan yang paling awal, biasanya berupa rasa tidak nyaman (baik itu pada
aspek perasaan hati ataupun aspek kenyamanan pada saat melakukan pekerjaan).
Bila didiamkan saja akan menimbulkan penyakit, penyakit tersebut dikenal
dengan Penyakit Akibat Kerja, karena penyakit didapat dari lingkungan kerja
ataupun dari pekerjaan yang dilakukan.
Penyakit Akibat Kerja (PAK) dan Kecelakaan Kerja (KK) di kalangan
petugas kesehatan dan non kesehatan kesehatan di Indonesia belum terekam
dengan baik. Sebagai faktor penyebab, sering terjadi karena kurangnya kesadaran
pekerja dan kualitas serta keterampilan pekerja yang kurang memadai. Banyak

1
pekerja yang meremehkan risiko kerja, sehingga tidak menggunakan alat-alat
pengaman walaupun sudah tersedia. Keselamatan dan kesehatan kerja (K3)
merupakan faktor yang sangat penting untuk diperhatikan karena seseorang yang
mengalami sakit atau kecelakaan dalam bekerja akan berdampak pada diri,
keluarga dan lingkungannya. Kerugian akibat kecelakaan kerja tidak hanya
dirasakan oleh tenaga kerja itu sendiri, namun juga bisa berdampak pada
masyarakat sekitar. Oleh karena itu perlu adanya penerapan sebuah sistem
manajemen keselamatan dan kesehatan Kerja (SMK3) di tempat kerja berbasis
paradigma sehat.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan, maka penulis
merumuskan permasalahan sebagai berikut:
1. Apa definisi dari penyakit akibat kerja?
2. Bagaimana epidemiolgi dari penyakit akibat kerja?
3. Apa saja klasifikasi dari penyakit akibat kerja?
4. Apa saja faktor penyabab dari penyakit akibat kerja?
5. Bagaimana langkah-langkah dalam diagnosis penyakit akibat kerja?
C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penulisan makalah ini
adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengatahui definisi penyakit akibat kerja.
2. Untuk mengatahui epidemiolgi penyakit akibat kerja.
3. Untuk mengatahui klasifikasi penyakit akibat kerja.
4. Untuk mengatahui faktor penyabab penyakit akibat kerja.
5. Untuk mengatahui diagnosis penyakit akibat kerja.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Penyakit Akibat Kerja


Penyakit akibat kerja adalah penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan, alat
kerja, bahan, proses maupun lingkungan kerja. Dengan demikian penyakit akibat
kerja merupakan penyakit yang artifisual atau man made disease. Penyakit Akibat
Kerja (PAK) menurut Peraturan Presiden nomor 7 Tahun 2019 tentang Penyakit
Akibat Kerja adalah penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan dan/atau
lingkungan kerja. Penyakit Akibat Kerja (PAK) (Occupational Diseases) adalah
penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan atau lingkungan kerja (Permennaker
No. Per. 01/Men/1981) yang akan berakibat cacat sebagian maupun cacat total.
Cacat sebagian adalah hilangnya atau tidak fungsinya sebagian anggota tubuh
tenaga kerja untuk selama-lamanya. Sedangkan cacat total adalah keadaan tenaga
kerja tidak mampu bekerja sama sekali untuk selama-lamanya.
Pada Simposium Internasional mengenai PAK yang diselenggarakan oleh
ILO (International Labour Organization) di Linz, Austria (1983) dihasilkan
definisi terkait PAK yang masih terpisah sebagai berikut:
1. Penyakit Akibat Kerja (Occuptional Disease)
a. ILO: penyakit akibat kerja adalah penyakit yang mempunyai penyebab
yang spesifik atau asosiasi yang kuat dengan pekerjaan, yang pada
umumnya terdiri dari satu agen penyebab yang sudah diakui.
b. WHO: penyakit akibat kerja berkaitan dengan faktor penyebab spesifik
dalam pekerjaan, sepenuhnya dipastikan dan faktor tersebut dapat
diidentifikasi, diukur dan dikendalikan.
Misalnya keracunan Pb, asbestosis, silikosis, muskuloskeletal disorder
(MSDS), anthrax, tobacosis, pneumokoniosis.
2. Penyakit Akibat Hubungan Kerja (Work Related Disease)
a. ILO: penyakit akibat hubungan kerja adalah penyakit yang mempunyai
beberapa agen penyebab, dimana faktor pada pekerjaan memegang

3
peranan bersama dengan faktor resiko lainya dalam berkembangnya
penyakit yang mempunyai etiologi yang kompleks.
b. WHO: penyakit akibat hubungan kerja adalah penyakit yang dapat
diperberat, dipercepat atau kambuh oleh pemaparan di tempat kerja
dan dapat mengurangi kapasitas kerja.
c. Misalnya asma, hipertensi, kanker dan TBC.
Selanjutnya pada tahun 1987, suatu komite pakar kesehatan dari WHO dan
ILO menawarkan gagasan bahwa “istilah penyakit akibat kerja dan penyakit
akibat hubungan kerja dapat digunakan bukan saja oleh penyakit yang sudah
diakui, tetapi juga gangguan kerja dimana ruang lingkungan kerja dan proses kerja
merupakan salah satu faktor penyebab/resiko lainnya”. Gagasan tersebut
kemudian diadopsi oleh WHO dan ILO pada tahun 1989 sehingga penyakit akibat
hubungan kerja (work related disease) dapat digunakan untuk penyakit akibat
kerja (occuptional disease) yang sudah diakui dan gangguan kesehatan dimana
lingkungan kerja dan proses kerja merupakan salah satu faktor penyebab yang
bermakna.
B. Epidemiologi Penyakit Akibat Kerja
Menurut American Dermatology (1994), dari semua penyakit kulit akibat
kerja, lebih dari 90% berupa dermatitis kontak. Pada tahun 2003, dari 4,4 juta
kecelakaan dan penyakit akibat kerja yang dilaporkan, 6,2% (269.500 kasus)
adalah penyakit akibat kerja. Menurut Belsito (2005) dermatitis kontak okupasi
adalah penyakit kulit okupasi yang peling sering dilaporkan pada banyak negara
di dunia. Dilaporkan bahwa insiden dermatitis kontak okupasi berkisar antara 5
hingga 9 kasus tiap 10.000 karyawan full-time tiap tahunnya. Sedangkan menurut
Emmet (2002), angka kejadian penyakit kulit akibat kerja mengalami penurunan
selama 4 tahun belakangan, hal ini dimungkinkan karena upaya pencegahan yang
lebih baik, adanya kompensasi, dan adanya perubahan dalam pelaporan.
Pada tahun 2001 oleh grup dermatitis kontak Amerika utara dengan studi
multisenter, dilaporkan bahwa 386 kasus terindentifikasi sebagai dermatitis kulit
okupasi, 54% merupakan dermatitis kontak alergi primer, 32% merupakan
dermatitis kontak iritan dan 14% merupakan keadaan selain dermatitis kontak

4
yung diperburuk oleh pekerjaan. Sedangkan berdasarkan hasil survey dari biro
statistik tenaga kerja Amerika Serikat, 90-95 % dari semua penyakit kulit okupasi
ini merupakan dermatitis kontak iritann dan terutama sering ditemukan
berhubungan dengan pekerjaan seseorang. Insidensi dermatitis kontak iritan ini
sebenarnya sulit ditentukan dengan akurat, hal ini dikarenakan data epidemiologi
yang terbatas, selain itu banyak pula pasien dengan dermatitis kontak iritan yang
tidak datang ke sarana kesehatan dan lebih memilih menanganinya dengan
menghindari paparan terhadap agen.
Untuk jumlah kasus penyakit akibat kerja di Indonesia tahun 2011 sampai
2014 terjadi penurunan (tahun 2011= 57.929, tahun 2012= 60.322, tahun
2013=97.144, dan tahun 2014= 40.694). Provinsi dengan jumlah kasus penyakit
akibat kerja tertinggi pada tahun 2011 adalah provinsi Jawa Tengah, Sulawesi
Utara dan Jawa Timur, tahun 2012 adalah Provinsi Sumatera Utara, Sumatera
Selatan dan Jawa Barat, tahun 2013 adalah Provinsi Banten, Gorontalo dan Jambi,
tahun 2014 adalah Provinsi Bali, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan.
C. Klasifikasi Penyakit Akibat Kerja
World Health Organization (WHO) membedakan empat kategori Penyakit
Akibat Kerja (PAK), yaitu:
1. Penyakit yang hanya disebabkan oleh pekerjaan, misalnya
Pneumoconiosis.
2. Penyakit yang salah satu penyebabnya adalah pekerjaan, misalnya
Karsinoma Bronkhogenik.
3. Penyakit dengan pekerjaan merupakan salah satu penyebab diantara
faktor-faktor penyebab lainnya, misalnya Bronkhitis khoronis.
4. Penyakit dimana pekerjaan memperberat suatu kondisi yang sudah ada
sebelumnya, misalnya asma.
Beberapa jenis penyakit Pneumoconiosis yang banyak dijumpai di daerah
yang memiliki banyaka kegiatan industry dan teknologi, yaitu:
1. Penyakit Silikosis
Penyakit Silikosis disebabkan oleh pencemaran debu silika bebas, berupa
SiO2 yang terhisap masuk ke dalam paru-paru dan kemudian mengendap.

5
Debu silika bebas ini banyak terdapat di pabrik besi dan baja, keramik,
pengecoran beton, bengkel yang mengerjakan besi (mengikir, menggerinda,
dll). Selain dari itu, debu silika juka banyak terdapat di tempat di tempat
penampang bijih besi, timah putih dan tambang batubara. Pemakaian batubara
sebagai bahan bakar juga banyak menghasilkan debu silika bebas SiO2. Pada
saat dibakar, debu silika akan keluar dan terdispersi ke udara bersama-sama
dengan partikel lainnya, seperti debu alumina, oksida besi dan karbon dalam
bentuk abu.
Debu silika yang masuk ke dalam paru-paru akan mengalami masa
inkubasi sekitar 2 sampai 4 tahun. Masa inkubasi ini akan lebih pendek, atau
gejala penyakit silicosis akan segera tampak, apabila konsentrasi silika di
udara cukup tinggi dan terhisap ke paru-paru dalam jumlah banyak. Penyakit
silicosis ditandai dengan sesak nafas yang disertai batuk-batuk. Batuk ini
seringkali tidak disertai dengan dahak. Pada silicosis tingkah sedang, gejala
sesak nafas yang disertai terlihat dan pada pemeriksaan fototoraks kelainan
paru-parunya mudah sekali diamati. Bila penyakit silicosis sudah berat maka
sesak nafas akan semakin parah dan kemudian diikuti dengan hipertropi
jantung sebelah kanan yang akan mengakibatkan kegagalan kerja jantung.
Tempat kerja yang potensial untuk tercemari oleh debu silika perlu
mendapatkan pengawasan keselamatan dan kesehatan kerja dan lingkungan
yang ketat sebab penyakit silicosis ini belum ada obatnya yang tepat.
Tindakan preventif lebih penting dan berarti dibandingkan dengan tindakan
pengobatannya. Penyakit silicosis akan lebih buruk kalau penderita
sebelumnya juga sudah menderita penyakit TBC paru-paru, bronchitis, astma
broonchiale dan penyakit saluran pernapasan lainnya.
Pengawasan dan pemeriksaan kesehatan secara berkala bagi pekerja akan
sangat membantu pencegahan dan penanggulangan penyakit-penyakit akibat
kerja. Data kesehatan pekerja sebelum masuk kerja, selama bekerja dan
sesudah bekerja perlu dicatat untuk pemantulan riwayat penyakit pekerja kalau
sewaktu-waktu diperlukan.

6
2. Penyakit Asbestosis
Penyakit Asbestosis adalah penyakit akibat kerja yang disebabkan oleh
debu atau serat asbes yang mencemari udara. Asbes adalah campuran dari
berbagai macam silikat, namun yang paling utama adalah magnesium silikat.
Debu asbes banyak dijumpai pada pabrik dan industri yang menggunakan
asbes, pabrik pemintalan serat asbes, pabrik beratap asbes dan lain sebagainya.
Debu asbes yang terhirup masuk ke dalam paru-paru akan mengakibatkan
gejala sesak napas dan batuk-batuk yang disertai dengan dahak. Ujung-ujung
jari penderitanya akan tampak membesar/melebar. Apabila dilakukan
pemeriksaan pada dahak maka akan tampak adanya debu asbes dalam dahak
tersebut. Pemakaian asbes untuk berbagai macam keperluan kiranya perlu
diikuti dengan kesadaran akan keselamatan dan kesehatan lingkungan agar
jangan sampai mengakibatkan asbestosis ini.
3. Penyakit Bisinosis
Penyakit Bisinosis adalah penyakit pneumoconiosis yang disebabkan oleh
pencemaran debu napas atau serat kapas di udara yang kemudian terhisap ke
dalam paru-paru. Debu kapas atau serat kapas ini banyak dijumpai pada pabrik
pemintalan kapas, pabrik tekstil, perusahaan dan pergudangan kapas serta
pabrik atau bekerja lain yang menggunakan kapas atau tekstil; seperti tempat
pembuatan kasur, pembuatan jok kursi dan lain sebagainya.
Masa inkubasi penyakit bisinosis cukup lama, yaitu sekitar 5 tahun.
Tanda-tanda awal penyakit bisinosis ini berupa sesak napas, terasa berat pada
dada, terutama pada hari Senin (yaitu hari awal kerja pada setiap minggu).
Secara psikis setiap hari Senin bekerja yang menderita penyakit bisinosis
merasakan beban berat pada dada serta sesak nafas. Reaksi alergi akibat
adanya kapas yang masuk ke dalam saluran pernapasan juga merupakan gejala
awal bisinosis. Pada bisinosis yang sudah lanjut atau berat, penyakit tersebut
biasanya juga diikuti dengan penyakit bronchitis kronis dan mungkin juga
disertai dengan emphysema.

7
4. Penyakit Antrakosis
Penyakit antrakosis adalah penyakit saluran pernafasan yang disebabkan
oleh debu batubara. Penyakit ini biasanya dijumpai pada pekerja tambang
batubaru atau pada pekerja-pekerja yang banyak malibatkan penggunaan
batubara, seperti pengumpa batubara pada tanur besi, lokomotif (stoker) dan
juga pada kapal laut bertenaga batubara, serta pekerja boiler pada pusat listrik
tenaga uap berbahan bakar batubara. Masa inkubasi penyakit ini antara 2-4
tahun. Seperti halnya penyakit silicosis dan juga penyakit pneumoconiosis
lainnya, penyakit antrakosis juga sering di tandai dengan adanya rasa sesak
nafas. Karena pada debu batu bara terkadang juga terdapat debu silica maka
penyakit antrakosis juga sering disertai dengan penyakit silicosis. Bila hal ini
terjadi maka penyakitnya di sebut silicoan trakosis.
Penyakit antrakosis ada 3 macam yaitu penyakit antrakosis murni,
penyakit silicoan trkasosis dan penyakit tubercolosilicoan trakosis. Penyakit
antrakosis murni di sebabkan debu batubara. Penyakit ini memerlukan waktu
yang cukup lama untuk menjadi berat, dan relative tidak begitu berbahaya.
Penyakit antrakosis menjadi berat bila disertai dengan kompilkasi atau
episcema yang memungkinkan terjadinya kematian. Kalau terjadi epicema
maka antrakosis murni lebih berat daripada silicoan traksosis karna relative
jarang diikuti oleh epicema. Sebenrnya antara antrakosis murni dan silicaon
traksosis sulit dibedakan, kecuali dari sumber penyebabnya. Sedangkan
penyakit tubercolosilicoan traksosis lebih mudah dibedakan dengan kedua
penyakit antrakosis lainnya. Perbedaan ini mudah dilihat dari foto toraks yang
menunjukkan kelainan pada paru-paru akibat adanya debu batubara dan debu
silica, serta juga adanya baksil tubercolocis yang menyerang paru-paru.
5. Penyakit Beriliosis
Udara yang tercemar oleh debu logam berilium, baik yang berupa logam
murni, oksida, sulfat, maupun dalam bentuk halogenida dapat menyebabkan
penyakit saluran pernafasan yang disebut beriliosis. Debu logam tersebut
dapat mmenyebabkan nasoparingitis, bronchitis dan pneumoconiosis yang
ditandai dengan gejala sedikit demam, batuk kering dan sesak nafas. Penyakit

8
beriliosis dapat timbul pada pekerja-pekerja industri yang menggunakan
logam campuran, berilio, tembaga, pekerja pada pabrik fluorecent, pabrik
pembuatan tabung radio dan juga pda pekerja pengolahan bahan penunjang
industry nuklir. Selain itu, pekerja pekerja yang banyak menggunakan seng
(dalam bentuk silicat) dan juga mangan, dapat juga menyebabkan penyakit
beriliosis yang tertunda atau delayet berryliosis yang disebut juga dengan
beriliosis kronis.
Efek tertunda ini bisa berselang 5 tahun setelah berhenti menghirup udara
yang tercemar oleh debu logam tersebut. Jadi 5 tahun setelah pekerja tersebut
tidak lagi berada di lingkungan yang mengandung debu logam tersebut,
penyakit beriliosis mungkin saja timbul. Penyakit ini ditandai dengan gejala
mudah lelah, berat badan menurun, dan sesak nafas. Oleh karna itu
pemeriksaan kesehatan secara berkala bagi pekerja-pekerja yang telibat
dengan pekerja yang menggunakan logam tersebut perlu dilakasanakan terus
menerus.
D. Faktor Penyebab Penyakit Akibat Kerja
Faktor-faktor penyebab Penyakit Akibat Kerja (PAK) tergantung pada
bahan yang digunakan dalam proses kerja, lingkungan kerja ataupun cara kerja.
Pada umumnya faktor penyebab dapat dikelompokkan dalam 5 golongan:
1. Golongan fisik: suara (bising), radiasi, suhu (panas/dingin), tekanan yang
sangat tinggi, vibrasi, penerangan lampu yang kurang baik.
2. Golongan kimiawi: bahan kimiawi yang digunakan dalam proses kerja,
maupun yang terdapat dalam lingkungan kerja, dapat berbentuk debu, uap,
gas, larutan, awan atau kabut.
3. Golongan biologis: bakteri, virus atau jamur.
4. Golongan fisiologis: biasanya disebabkan oleh penataan tempat kerja dan
cara kerja.
5. Golongan psikososial: lingkungan kerja yang mengakibatkan stress.
E. Diagnosis Penyakit Akibat Kerja
Untuk dapat mendiagnosis Penyakit Akibat Kerja pada individu perlu
dilakukan suatu pendekatan sistematis untuk mendapatkan informasi yang

9
diperlukan dan menginterpretasinya secara tepat. Pendekatan tersebut dapat
disusun menjadi 7 langkah yang dapat digunakan sebagai pedoman:
1. Tentukan diagnosis klinisnya
Diagnosis klinis harus dapat ditegakkan terlebih dahulu dengan
memanfaatkan fasilitas-fasilitas penunjang yang ada, seperti umumnya
dilakukan untuk mendiagnosis suatu penyakit. Setelah diagnosis klinik
ditegakkan kemudian dipikirkan lebih lanjut apakah penyakit tersebut
berhubungan dengan pekerjaan atau tidak. Dalam mendiagnosis suatu
penyakit harus melalui beberapa tahapan yaitu:
a. Anamnesis, yang terdiri dari keluhan utama, riwayat perjalanan
penyakit saat ini, riwayat penyakit keluarga, riwayat penyakit dahulu,
dan riwayat reproduksi wanita ditanyakan kepada pasien secara
lengkap dan mendetail. Suatu anamnesis dapat dilakukan secara
autoanamnesis (secara langsung pada pasien) atau pada keluarga,
teman kerja dan lain-lain (alloanamnesis).
b. Pemeriksaan fisik, dilakukan untuk menentukan kelainan suatu sistem
atau organ tubuh dengan menggunakan 4 cara yaitu inspeksi (melihat),
palpasi (meraba), perkusi (mengetuk) dan auskultasi (mendengar
menggunakan alat stetoskop). Pemeriksaan fisik khusus juga dilakukan
pemeriksaan tanda vital seperti nadi, pernafasan, tekanan darah, suhu
tubuh, status gizi dan tingkat kesadaran juga diperiksa secara detail.
c. Pemeriksaan penunjang, juga dilakuakn untuk memperkuat diagnosis
yang dihasilkan dari pemeriksaan fisik. Pemeriksaan penunjang yang
dilakukan dapat berupa pemeriksaan laboratorium (darah, urin, feses
dll) spirometri, audiometri, rontgen, USG, EKG dll.
2. Tentukan pajanan yang dialami oleh tenaga kerja selama ini
Pengetahuan mengenai pajanan yang dialami oleh seorang tenaga kerja
adalah esensial untuk dapat menghubungkan suatu penyakit dengan
pekerjaannya. Untuk ini perlu dilakukan anamnesis mengenai riwayat
pekerjaannya secara cermat dan teliti, yang mencakup:

10
a. Penjelasan mengenai semua pekerjaan yang telah dilakukan oleh
penderita secara kronologis
b. Lamanya melakukan masing-masing pekerjaan
c. Bahan yang diproduksi
d. Materi (bahan baku) yang digunakan
e. Jumlah pajanannya
f. Pemakaian alat perlindungan diri (masker)
g. Pola waktu terjadinya gejala
h. Informasi mengenai tenaga kerja lain (apakah ada yang mengalami
gejala serupa)
i. Informasi tertulis yang ada mengenai bahan-bahan yang digunakan
(MSDS, label, dan sebagainya)
3. Tentukan apakah pajanan tersebut memang dapat menyebabkan penyakit
tersebut
Apakah terdapat bukti-bukti ilmiah dalam kepustakaan yang mendukung
pendapat bahwa pajanan yang dialami menyebabkan penyakit yang diderita.
Jika dalam kepustakaan tidak ditemukan adanya dasar ilmiah yang
menyatakan hal tersebut di atas, maka tidak dapat ditegakkan diagnosa
penyakit akibat kerja. Jika dalam kepustakaan ada yang mendukung, perlu
dipelajari lebih lanjut secara khusus mengenai pajanan sehingga dapat
menyebabkan penyakit yang diderita (konsentrasi, jumlah, lama, dan
sebagainya).
4. Tentukan apakah jumlah pajanan yang dialami cukup besar untuk dapat
mengakibatkan penyakit tersebut
Jika penyakit yang diderita hanya dapat terjadi pada keadaan pajanan
tertentu, maka pajanan yang dialami pasien di tempat kerja menjadi penting
untuk diteliti lebih lanjut dan membandingkannya dengan kepustakaan yang
ada untuk dapat menentukan diagnosis penyakit akibat kerja.
5. Tentukan apakah ada faktor-faktor lain yang mungkin dapat
mempengaruhi

11
Apakah ada keterangan dari riwayat penyakit maupun riwayat
pekerjaannya, yang dapat mengubah keadaan pajanannya, misalnya
penggunaan APD, riwayat adanya pajanan serupa sebelumnya sehingga
risikonya meningkat. Apakah pasien mempunyai riwayat kesehatan (riwayat
keluarga) yang mengakibatkan penderita lebih rentan/lebih sensitif terhadap
pajanan yang dialami.
6. Cari adanya kemungkinan lain yang dapat merupakan penyebab penyakit
Apakah ada faktor lain yang dapat merupakan penyebab penyakit, apakah
penderita mengalami pajanan lain yang diketahui dapat menjadi penyebab
penyakit. Meskipun demikian, adanya penyebab lain tidak selalu dapat
digunakan untuk menyingkirkan penyebab di tempat kerja.
7. Buat keputusan apakah penyakit tersebut disebabkan oleh pekerjaannya
Sesudah menerapkan ke enam langkah di atas perlu dibuat suatu keputusan
berdasarkan informasi yang telah didapat yang memiliki dasar ilmiah. Seperti
yang telah disebutkan sebelumnya, tidak selalu pekerjaan merupakan
penyebab langsung suatu penyakit, kadang-kadang pekerjaan hanya
memperberat suatu kondisi yang telah ada sebelumnya. Hal ini perlu
dibedakan pada waktu menegakkan diagnosis. Suatu pekerjaan/pajanan
dinyatakan sebagai penyebab suatu penyakit apabila tanpa melakukan
pekerjaan atau tanpa adanya pajanan tertentu, pasien tidak akan menderita
penyakit tersebut pada saat ini. Sedangkan pekerjaan dinyatakan memperberat
suatu keadaan apabila penyakit telah ada atau timbul pada waktu yang sama
tanpa tergantung pekerjaannya, tetapi pekerjaannya/pajanannya
memperberat/mempercepat timbulnya penyakit.
Melalui beberapa tahapan diatas dapat dibuktikan bahwa minimal ada satu
faktor pekerjaan yang berperan sebagai penyebab penyakit yang termasuk
kategori PAK. Tanpa 7 langkah diagnosis diatas, Penyakit Akibat Kerja tidak
dapat ditegakkan. Sehingga pemeriksaan dari segala aspek lingkungan, penderita
dan pajanan dapat saling berhubungan hingga dapat didiagnosis sebagai Penyakit
Akibat Kerja (PAK).

12
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Penyakit Akibat Kerja (PAK) menurut Peraturan Presiden nomor 7 Tahun
2019 tentang Penyakit Akibat Kerja adalah penyakit yang disebabkan oleh
pekerjaan dan/atau lingkungan kerja. Jumlah kasus penyakit akibat kerja di
Indonesia cenderung mengalami penurunan pada periode tahun 2011 sampai 2014
namun angka tersebut masih tergolong tinggi. Faktor risiko PAK antara lain
golongan fisik, kimiawi, biologis atau psikososial di tempat kerja. Faktor tersebut
di dalam lingkungan kerja merupakan penyebab yang pokok dan menentukan
terjadinya penyakit akibat kerja. Tanpa 7 langkah diagnosis, Penyakit Akibat
Kerja tidak dapat ditegakkan. Sehingga pemeriksaan dari segala aspek
lingkungan, penderita dan pajanan dapat saling berhubungan hingga dapat
didiagnosis sebagai penyakit akibat kerja (PAK). Melalui beberapa tahapan
tersebut dapat dibuktikan bahwa minimal ada satu faktor pekerjaan yang berperan
sebagai penyebab penyakit yang termasuk kategori PAK.
B. Saran
Diharapkan untuk memahami tentang penyakit akibat kerja dan
penatalaksanaan pada pasien akibat kecelakaan kerja agar nantinya dapat
memberikan penatalaksanaan yang tepat. Dan diharapkan masyarakat dapat
mengetahui tentang penyakit akibat kecelakaan kerja agar lebih waspada.

13
DAFTAR PUSTAKA

Direktorat Bina Kesehatan Kerja Depkes RI 2007. Penyakit Akibat Kerja. Diakses
05 September 2019: http://www.tempointeraktif.com
Hukum Tenaga Kerja. Penyakit Akibat Kerja. Diakses 06 September 2019:
http://www.hukumtenagakerja.com/perlindungan-tenaga-kerja/penyakit-
akibat-kerja/
Keputusan Presiden No. 22 Tahun 1993. Diakses 06 September 2019:
https://peraturan.bkpm.go.id/jdih/userfiles/batang/Kepres_22_1993.pdf
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 7. 2019. Penyakit Akibat Kerja.
Penyakit Akibat Kerja. Diakses 06 September 2019:
http://ilo.org/wcmsp5/groups/public/-asia/-ro-bangkok/ilo-
jakarta/documents/publication/wcms_237650.pdf
Suyono, Joko.1993. Deteksi Dini Penyakit Akibat Kerja. Jakarta: EGC

14

Anda mungkin juga menyukai