Blok 6.2
Oleh :
Al as’ari
G1A116030
Dosen Pembimbing
UNIVERSITAS JAMBI
2018/2019
PATOGENESIS1,2
lnokulasi pada mencit yang telah diambil timusnya dengan diikuti iradiasi 900
r, sehingga kehilangan respons imun selularnya, akan menghasilkan granuloma penuh
kuman terutama di bagian tubuh yang relatif dingin, yaitu hidung, cuping telinga,
kaki, dan ekor. Kuman tersebut selanjutnya dapat diinokulasikan lagi, berarti
memenuhi salah satu postulat Koch, meskipun be-lum seluruhnya dapat dipenuhi.
KLASIFIKASI1,3
PENGOBATAN4,5
Beberapa obat yang berkaitan erat dengan sulfonamid telah digunakan secara
efektif dalam penanganan jangka-panjang kusta. Yang paling luas digunakan adalah
dapson (diaminodifenilsulfon). Seperti sulfonamid, obat ini menghambat sintesis
folat. Resistensi dapat muncul dalam populasi M. leprae yang besar, mis. pada kusta
lepromatosa, jika diberikan dosis yang sangat rendah. Karena itu, untuk terapi awal
dianjurkan kombinasi dapson, rifampisin, dan klofazimin. Dapson juga dapat
digunakan untuk mencegah dan mengobati pneumonia Pneumocystis jiroveci pada
pasien AIDS.
Sulfon diserap dengan baik di usus dan tersebar luas di jaringan dan cairan tubuh.
Waktu-paruh dapson adalah 1-2 hari dan obat ini cenderung tertahan di kulit, otot,
hati, dan ginjal. Kulit yang terinfeksi berat oleh M. leprae mungkin mengandung obat
beberapa kali lipat dibandingkan dengan kulit normal. Sulfon diekskresikan ke dalam
empedu dan diserap kembali di usus. Ekskresi ke dalam urin bervariasi, dan sebagian
besar obat mengalami asetilasi. Pada gagal ginjal, dosis mungkin perlu disesuaikan.
RIFAMPISlN
Baberapa pasien yang makan obat ini selama 10 tahun tidak timbul masalah,
tetapi resistensi tlmbul dalam waktu 3-4 tahun, Atas dasar inilah penggunaan
rifampisin pada penyakit lepra hanya dianjurkan dalam kombinasi dengan obat lain.
Kini di beberapa negara sedang dicoba penggunaan dirafmpisin bersama dapson
untuk M. leprae yang sensitif terhadap dapson, serta kombinasi rifampisin dengan
klofazimin atau etionamid untuk M.leprae yang resisten terhadap dapson. Dosisnya
uniuk semua jenis lepra adalah 600 mg/hari. Kini juga sedang diteliti paduan yang
menggunakan rifampisin dosis 300 mg/hari atau untuk penggunaan intermiten dengan
dosis 600 mg sampai 1500 mg.
KLOFAZIMIN
Penyerapan klofazimin dari usus bervariasi, dan sebagian besar dari obat ini
diekskresikan di feses. Klofazimin disimpan secara luas di jaringan retikuloendotel
dan kulit, dan kristalnya dapat dijumpai di dalam sel retikuloendotel fagositik. Obat
ini dibebaskan secara perlahan dari endapan-endapan ini sehingga waktu-paruh serum
dapat mencapai 2 bulan.
Pada pemberian oral, obat ini diserap dan ditimbun dalam jaringan tubuh.
Keadaan ini memungkinkan pemberian obat secara berkala dengan jarak waktu antar
dosis 2 minggu atau lebih. Efek bakterisid klofazimin baru terlihat setelah 50 hari
terapi. Dosis klofazimin untuk segala bentuk lepra ialah 100 mg sehari. Untuk
mengendalikan reaksi lepromatosis mungkin diperlukan dosis sampai 3 kali 100 mg
sehari, yang harus segera dikurangi bila timbul keluhan saluran cema. Kulit dapat
mengalami pigmentasi merah dan hitam yang mengganggu bagi pasien berkulit putih.
Klofazimin tersedia sebagai kapsul 100 mg.
AMITIOZON
Efek samping yang paling sering terjadi ialah anoreksia, mual, dan muntah.
Anemia karena depresi sumsum tulang terlihat pada sebagian besar pasien.
Leukopenia dan agranulositosis dapat terjadi, tetapi yang berat ~eadaannya terdapat
pada 0,5% pasien. Anemia hemolitik akut dapat terjadi dengan dosis tinggi. Ruam
kulit dan albuminuria tidak jarang pula terlihat. Kejadian ikterus cukup tinggi dan
gejala ini menandakan obat bersifat hepatotoksik tetapi sifatnya reversibel.
Amitiozon mudah diserap melalui saluran cerna dan ekskresinya melalui urin.
Dosis permulaan ialah 50 mg setiap hari selama 1-2 minggu, kemudian dosis dapat
dinaikkan perlahan-lahan sampai mencapai 200- mg. obat ini sama efektif baik pada
pemberian dosis tunggal maupun dosis terbagi.
ANAK
Daftar pustaka
1. Adhi Djuanda, dkk. 2011. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi 6. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
2. Brunton, Laurence L., Parker, Keith L., Blumenthal, Donald K., Buxton, Lain
L.O., 2010, Goodman & Gilman The Pharmacological Basis of Therapeutics,
Twelfth Edition.
3. Departemen Kesehatan RI. Profil Kesehatan Indonesia 2015. Jakarta:
Departemen Kesehatan RI; 2016.
4. Katzung, B.G. 2001. Farmakologi Dasar dan Klinik : Reseptor- reseptor Obat
dan Farmakodinamik. Penerbit Buku Kedokteran EGC.
5. Nafriadi, Gunawan, dan Gan Sulistia. (2012). Farmakologi Dan Terapi.
Departemen Farmakologi Dan Terapeutik FKUI. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI.
6. Aditama., TY. (2012). Pedoman Nasional Program Pengendalian Penyakit
Kusta. Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
Kementerian Kesehatan RI. Jakarta