Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Difteri merupakan salah satu penyakit yang sangat menular
(contagious disease). Penyakit ini disebabkan oleh infeksi bakteri
Corynebacterium diphtheria. Sebelum era vaksinasi, racun yang dihasilkan
oleh kuman ini sering meyebabkan penyakit yang serius, bahkan dapat
menimbulkan kematian. Tapi sejak vaksin difteri ditemukan dan imunisasi
terhadap difteri digalakkan, jumlah kasus penyakit dan kematian akibat
kuman difteri menurun dengan drastis.
Penderita difteri umumnya anak-anak, usia dibawah 15 tahun.
Dilaporkan 10 % kasus difteri dapat berakibat fatal, yaitu sampai
menimbulkan kematian. Selama permulaan pertama dari abad ke-20, difteri
merupakan penyebab umum dari kematian bayi dan anak-anak muda.
Penyakit ini juga dijumpai pada daerah padat penduduk dengan sanitasi
rendah. Sejak diperkenalkan vaksin DPT (Dyptheria, Pertusis, Tetanus),
penyakit difteri jarang dijumpai. Vaksi imunisasi difteri diberikan pada anak-
anak untuk meningkatkan system kekebalan tubuh agar tidak terserang
penyakit tersebut. Anak-anak yang tidak mendapatkan vaksi difteri akan lebih
rentan terhadap penyakit yang menyerang saluran pernafasan ini.
Penyebaran atau penularan bakteri ini melalui udara, berupa infeksi
droplet, selain itu dapat pula melalui benda atau makanan yang
terkontaminasi, dan yang sering terjangkit penyakit ini adalah anak-anak.
Sebagai petugas kesehatan perawat wajib memberikan asuhan
keperawatan pada klien yang menderita difteri termasuk anak-anak, dengan
tidak hanya memperhatikan keadaan umum klien tetapi juga memperhatikan
aspek tumbuh kembang dari anak tersebut yang mengalami penyakit
difteri sehingga usaha untuk mencapai kesejahteraan anak terwujud.
Maka dari itu salah satu tujuan penulis membuat makalah ini adalah
untuk mengetahui sejauh mana penyakit difteri ini dapat mempengaruhi
tumbuh kembang pada anak.

1
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan hal di atas, maka dalam pembahasan makalah ini
selanjutnya akan penulis bahas lebih dalam dengan rumusan masalah sebagai
berikut :
1.2.1 Konsep penyakit difteri;
1.2.2 Asuhan keperawatan pada anak dengan difteri.
1.3 Tujuan
1.3.1 Mengetahui dan memahami definisi difteri;
1.3.2 Mengetahui dan memahami etiologi difteri;
1.3.3 Mengetahui dan memahami manifestasi klinis difteri;
1.3.4 Mengetahui dan memahami patofisiologi difteri;
1.3.5 Mengetahui dan memahami penatalaksanaan difteri;
1.3.6 Mengetahui dan memahami pencegahan penyakit difteri;
1.3.7 Mengetahui dan memahami komplikasi dari difteri;
1.3.8 Mengetahui dan memahami pengaruh penyakit difteri terhadap
tumbuh kembang anak;
1.3.9 Mengetahui dan memahami asuhan keperawatan pasien dengan
difteri.

2
BAB II
TINJAUAN TEORI

2.1 Pengertian
Difteri adalah suatu infeksi akut yang disebabkan oleh bakteri
penghasil toksik (racun) Corynebacterium diphteriae. (Iwansain.2008).
Difteri adalah infeksi saluran pernafasan yang disebabkan oleh
Corynebacterium diphteriae dengan bentuk basil batang gram positif
(Jauhari,nurudin. 2008).
Difteri adalah suatu infeksi akut yang disebabkan oleh bakteri
penghasil racun Corynebacterium diphteriae. (Fuadi, Hasan. 2008).
Jadi kesimpulannya Dipteria / diphtheri merupakan salah satu
penyakit yang disebabkan oleh infeksi bakteri Corynebacterium diphtheria.
Bakteri ini mampu menghasilkan eksotoksin (racun yang dialirkan melalui
darah) yang menghambat sintesis protein. Kemampun eksotoksin ini
menyebabkan penyakit Dipteria memiliki gambaran klinis yang tersebar tidak
hanya di lokasi infeksi, melainkan di organ-organ yang lain. Penyakit ini
sering menyerang tonsil, faring, laring, hidung dan kadang menyerang selaput
lendir atau kulit bahkan kadang menyerang konjungtiva atau vagina. Difteri
mudah menular, dan menyerang organ tubuh bagian lain terutama saluran
napas bagian atas, dengan gejala demam tinggi, pembengkakan amandel
(tonsil) dan terlihat selaput putih kotor yang makin lama makin membesar
dan dapat menutup jalan napas.

2.2 Etiologi
Disebabkan oleh corynebacterium diphtheria, bakteri gram positif yang
bersifat polimorf, tidak bergerak dan tidak membentuk spora, aerobic dan
dapat memproduksi eksotoksin.
Penyakit ini ditularkan melalui droplet saat batuk ataupun berbicara.
Bahkan, diketahui pula dapat menyebar melalui pencemaran air dan melalui
benda atau makanan yang terkontaminasi. Ketika telah masuk dalam tubuh,
bakteri melepaskan toksin atau racun. Toksin ini akan menyebar melalui

3
darah dan bisa menyebabkan kerusakan jaringan di seluruh tubuh, terutama
jantung dan saraf. Karena penyebaran melalui droplet ini, penyakit dipteri
mudah terjadi pada pemukiman yang padat dengan sanitasi yang buruk,
karena manusia merupakan reservoir (istilah untuk menunjukkan organisme
tempat hidup Corynebacterium diphtheria).

2.3 Prognosis Penyakit difteri


1. Umur pasien. Makin muda usianya makin jelek prognosisnya
2. Perjalanan penyakit; makin terlambat diketemukan makin buruk
keadaannya.
3. Letak lesi difteria. Bila di hidung tergolong ringan.
4. Keadaan umum pasien, bila keadaan gizi buruk, juga buruk.
5. Terdapatnya komplikasi miokorditas sangat memperburuk prognosis.
6. Pengobatan, terlambat pemberian ads, prognosis makin buruk.

2.4 Manifestasi Klinis


Secara klasik bermanifestasi pada anak berusia 1-9 tahun, tetapi dapat
terjadi pada orang dewasa yang tidak diimunisasi. Terjadi tergantung pada
lokasi infeksi, imunitas penderita, ada/tidaknya toksin difteri yang beredar
dalam sirkulasi darah.
Masa inkubasi umumnya 2-5 hari. (range 1-10 hari), pada difteri butan
adalah 7 hari sesudah infeksi primer pada kulit.
1. Gejala umum :
a) Demam, suhu tubuh meningkat sampai 38,9 derjat Celcius,
b) Batuk dan pilek yang ringan.
c) Sakit dan pembengkakan pada tenggorokan
d) Mual, muntah , sakit kepala.
e) Adanya pembentukan selaput di tenggorokan berwarna putih ke abu-
abuan kotor
f) Kaku leher

4
2. Gejala lokal :
a) Difteri Tonsil Dan Faring
Gejala biasanya tidak khas berupa malaise, anoreksia, sakit
tenggorok dan demam. Difteri tonsil dan faring khas ditandai dengan
adanya adenitis / periadenitis cervical, kasus yang berat ditandai
dengan bullneck (limfadenitis disertai edema jaringan lunak leher).
Suhu dapat normal atau sedikit meningkat tetapi nadi biasanya cepat.
Pada kasus ringan membran biasanya akan menghilang antara
7-10 hari dan penderita tampak sehat. Pada kasus sangat berat ditandai
dengan gejala-gejala toksemia berupa lemah, pucat, nadi cepat dan
kecil, stupor, koma dan meninggal dalam 6-10 hari. Pada kasus sedang
penyembuhan lambat disertai komplikasi seperti miokarditis dan
neuritis.
b) Difteri Hidung
Kira-kira 2% kasus difteri dan gejalanya paling ringan.
Biasanya ditandai oleh adanya sekret hidung dan tidak khas. Sekret ini
biasanya menempel pada septum nasi, absorpsi toksin dari tempat ini
cepat menghilang dengan pemberian antitoksin, bila tidak diobati maka
sekret akan berlangsung berminggu-minggu dan merupakan sumber
utama penularan. Bentuk penyakit ini paling sering ditemukan pada
bayi.
c) Difteri Laring
Kebanyakan merupakan penjalaran dari difteri faring. Tetapi
kadang-kadang berdiri sendiri. Penyakit ini disertai panas dana batuk
serta suara serak. Pada kasus ringan dengan pemberian antitoksin
gejala obstruksi akan hilang dan membran hilang pada hari 6-10. Pada
kasus sangat berat penyumbatan diikuti dengan anoksemia yang
ditandai dengan gelisah., sianosis, lemah, koma dan meninggal.
Jackson membagi derajat dispnea laring proresif menjadi 4 stadium :
1) Stadium 1
a. Terdapat cekungan ringan suprasternal
b. Keadaan ini tidak mengganggu dan penderita tampak tenang

5
2) Stadium 2
a. Cekungan suprasternal menjadi lebih dalam ditambah
cekungan di epigastrium
b. Penderita mulai nampak gelisah
3) Stadium 3
a. Tampak cekungan suprasternal, supraclavicur, infraclavicular,
epigastrum dan intercostal
b. Penderita sangat gelisah dan tampak sukar untuk bernafas
4) Stadium 4
a. Gejala diatas semakin berat
b. Penderita sangat gelisah dan berusaha sekuat tenaga untuk
bernafas
c. Tampak seperti ketakutan dan pucat / sianosis
d) Difteria Kulit, Vulvovaginal, Konjungtiva, dan Telinga
Merupakan tipe difteria yang tidak lazim (unusual). Difteria
kulit berupa tukak di kulit, tepi jelas, dan terdapat membran pada
dasarnya. Kelainan cenderung menahun. Difteria pada mata dengan
lesi pada konjungtiva berupa kemerahan, edema dan membran pada
konjungtiva palpebra. Pada telinga berupa otitis eksterna dengan secret
purulen dan berbau.

2.5 Patofisiologi (pathway)


Basil hidup dan berkembangbiak pada traktus respiratorius
bagian atas terutama bila terdapat peradangan kronis pada tonsil, sinus, dan
lain-lain. Selain itu dapat juga pada vulva, kulit, mata, walaupun jarang
terjadi. Pada tempat-tempat tersebut basil membentuk pseudomembran dan
melepaskan eksotoksin. Pseudomembran timbul local kemudian
menjalar ke faring, tonsil, laring, dan saluran nafas atas. Kelenjar
getah bening sekitarnya akan membengkak dan mengandung toksin.
Eksotoksin bila mengenai otot jantung akan menyebabkan
miokarditis toksik atau jika mengenai jaringan saraf perifer

6
sehingga timbul paralysis terutama otot-otot pernafasan. Toksin juga dapat
menimbulkan nefritis interstitialis.
Kematian pasien difteria pada u m u m n ya d i s e b a b k a n o l e h
t e r j a d i n ya s u m b a t a n j a l a n n a f a s a k i b a t pseudomembran pada
laring dan trakea, gagal jantung karena miokardititis, atau gagal nafas akibat
terjadinya bronkopneumonia. Penularan penyakit difteria adalah melalui
udara (Droplet infection), tetapi dapat juga melalui perantaraan alat
atau benda yang terkontaminasi oleh kuman difteria. Penyakit
dapat mengenai bayi tapi kebayakan pada anak u s i a balita.
P e n ya k i t D i f t e r i a d a p a t b e r a t a t a u r i n g a n b e r g a n t u n g d a r i
v irulensi, banyaknya basil, dan daya tahan tubuh anak. Bila ringan
hanya berupa keluhan sakit menelan dan akan sembuh sendiri serta dapat
menimbulkan kekebalan pada anak jika daya tahan tubuhnya baik.

2.6 Klasifikasi
Klasifikasi penyakit difteri secara klinis adalah menurut lokasinya sebagai
berikut:
1. Difteri nasal anterior
2. Difteri nasal posterior
3. Difteri fausial (farinks)
4. Difteri laryngeal
5. Difteri konjungtiva
6. Difteri kulit
7. Difteri vulva/vagina
Menurut tingkat keparahannya:
1. Infeksi ringan, apabila pseudomembrane hanya terdapat pada mukosa
hidung dengan gejala hanya pilek dan nyeri waktu menelan
2. Infeksi sedang, apabila pseudomembrane telah menyerang sampai faring
dan laring sehingga keadaan pasien terlihat lesu dan agak sesak
3. Infeksi berat, apabila terjadi sumbatan nafas yang berat dan adanya gejala-
gejala yang ditimbulkan oleh eksotoksin seperti miokarditis, paralisis dan
nefritis.

7
2.7 Komplikasi
Pengobatan difteri harus segera dilakukan untuk mencegah
penyebaran sekaligus komplikasi yang serius, terutama pada penderita anak-
anak. Diperkirakan hampir satu dari lima penderita difteri balita dan berusia
di atas 40 tahun yang meninggal dunia diakibatkan oleh komplikasi.
Jika tidak diobati dengan cepat dan tepat, toksin dari bakteri difteri
dapat memicu beberapa komplikasi yang berpotensi mengancam jiwa.
Beberapa di antaranya meliputi:
1. Masalah pernapasan. Sel-sel yang mati akibat toksin yang diproduksi
bakteri difteri akan membentuk membran abu-abu yang dapat
menghambat pernapasan. Partikel-partikel membran juga dapat luruh dan
masuk ke paru-paru. Hal ini berpotensi memicu inflamasi pada paru-paru
sehingga fungsinya akan menurun secara drastis dan menyebabkan gagal
napas.
2. Kerusakan jantung. Selain paru-paru, toksin difteri berpotensi masuk ke
jantung dan menyebabkan inflamasi otot jantung atau miokarditis.
Komplikasi ini dapat menyebabkan masalah, seperti detak jantung yang
tidak teratur, gagal jantung dan kematian mendadak.
3. Kerusakan saraf. Toksin dapat menyebabkan penderita mengalami
masalah sulit menelan, masalah saluran kemih, paralisis atau kelumpuhan
pada diafragma, serta pembengkakan saraf tangan dan kaki. Masalah
saluran kemih dapat menjadi indikasi awal dari kelumpuhan saraf yang
akan memengaruhi diagfragma. Paralisis ini akan membuat pasien tidak
bisa bernapas sehingga membutuhkan alat bantu pernapasan atau
respirator. Paralisis diagfragma dapat terjadi secara tiba-tiba pada awal
muncul gejala atau berminggu-minggu setelah infeksi sembuh. Karena itu,
penderita difteri anak-anak yang mengalami komplikasi apa pun umumnya
dianjurkan untuk tetap di rumah sakit hingga 1,5 bulan dan di isolasi untuk
mencegah penularan.
4. Difteri hipertoksik. Komplikasi ini adalah bentuk difteria yang sangat
parah. Selain gejala yang sama dengan difteri biasa, difteri hipertoksik
akan memicu pendarahan yang parah dan gagal ginjal.

8
Komplikasi bisa dipengaruhi oleh virulensi kuman, luas membran,
jumlah toksin, waktu antara timbulnya penyakit dengan pemberian antitoksin.
Komplikasi difteri terdiri dari :
a. Infeksi sekunder, biasanya oleh kuman streptokokus dan stafilokokus
b. Infeksi Lokal : obstruksi jalan nafas akibat membran atau oedema jalan
nafas
c. Infeksi Sistemik karena efek eksotoksin

2.8 Pemeriksaan Diagnostik


Bakteriologik. Preparat apusan kuman difteri dari bahan apusan
mukosa hidung dan tenggorok (nasofaringeal swab)
1. Darah rutin : Hb, leukosit, hitung jenis, eritrosit, albumin
2. Urin lengkap : aspek, protein dan sedimen
3. Enzim CPK, segera saat masuk RS
4. Ureum dan kreatinin (bila dicurigai ada komplikasi ginjal)
5. Tes schick.
Uji Schick ialah pemeriksaan untuk mengetahui apakah seseorang
telah mengandung antitoksin. Dengan titer antitoksin 0,03ml satuan per
millimeter darah cukup dapat menahan infeksi difteria. Untuk pemeriksaan
ini digunakan dosis 1/50 MLD yang diberikan intrakutan dalam bentuk
larutan yang telah diencerkan sebanyak 0.1 ml. pada seseorang yang tidak
mengandung antitoksin, akan timbul vesikel pada bekas suntikan dan
hilang setelah beberapa minggu. Pada yang mengandung antitoksin
rendah, uji Schick dapat positif, pada bekas suntikan timbul warna merah
kecoklatan dalam 24 jam. Uji Schick dikatakan negatif bila tidak
didapatkan reaksi apapun pada tempat suntikan dan ini terdapat pada orang
dengan imunitas atau mengandung antitoksin yang tinggi. Positif palsu
terjadi akibat reaksi alergi terhadap protein antitoksin yang akan
menghilang dalam 72 jam. (FKUI kapita selekta)

9
2.9 Pencegahan
Difteri dapat berujung pada kematian apabila tidak segera diberi
pengobatan secara tepat. Penggunaan antitoksin maupun antibiotik dapat
menyembuhkan penyakit ini. Selain itu, penderita difteri sebaiknya dirawat
secara intensif di rumah sakit dikarenakan penyebaran dari bakteri C.
Diphteria yang sangat cepat melalui air liur, seperti contohnya ketika seorang
penderita difteri maupun pembawa bakteri (carrier) bersin dan udaranya
terhirup orang lain. Selain itu penggunaan gelas secara bersamaan tanpa
dicuci terlebih dahulu juga dapat menularkan bakteri tersebut.
Dengan melakukan upaya pencegahan, wabah penyakit difteri dapat
ditanggulangi serta jumlah angka kematian pada anak yang disebabkan oleh
penyakit ini juga akan mengalami penurunan. Untuk itu, kesadaran
masyarakat terutama orang tua mengenai pentingnya pemberian vaksin
Difteri kepada anak-anak tentunya sangat diharapkan sebagai wujud
kontribusi dalam memberantas penyakit difteri demi peningkatan mutu
kesehatan masyarakat terutama anak-anak. Berikut adalah upaya pencegahan
yang dapat dilakukan untuk mencegah penyakit difteri, sebagai berikut:
1. Memberikan kekebalan pada anak-anak dengan cara:
a. Imunisasi DPT/HB untuk anak bayi. Imunisasi di berikan sebanyak 3
kali yaitu pada saat usia 2 bulan, 3 bulan, dan 4 bulan.
b. Imunisasi DT untuk anak usia sekolah dasar (usia kurang dari 7 tahun).
Imunisasi ini di berikan satu kali.
c. Imunisasi dengan vaksin Td dewasa untuk usia 7 tahun ke atas.
2. Hindari kontak dengan penderita langsung difteri.
3. Jaga kebersihan diri.
4. Menjaga stamina tubuh dengan makan makanan yang bergizi dan
berolahraga cuci tangan sebelum makan.
5. Melakukan pemeriksaan kesehatan secara teratur.
6. Bila mempunyai keluhan sakit saat menelan segera memeriksakan ke Unit
Pelayanan Kesehatan terdekat.
7. Isolasi penderita

10
Penderita harus diisolasi dan baru dapat dipulangkan setelah pemeriksaan
kuman difteri dua kali berturut-turut negative. Isolasi ketat dilakukan
terhadap penderita difteria faringeal, isolasi untuk difteria kulit dilakukan
terhadap kontak hingga 2 kultur dari sampel tenggorokan dan hidung (dan
sampel dari lesi kulit pada difteria kulit hasilnya negatif tidak ditemukan
basil. Jarak 2 kultur ini harus dibuat tidak kurang dari 24 jam dan tidak
kurang dari 24 jam setelah penghentian pemberian antibiotika. Jika kultur
tidak mungkin dilakukan maka tindakan isolasi dapat diakhiri 14 hari
setelah pemberian antibiotika yang tepat

2.10 Imunisasi Difteri


Imunisasi DPT (Difteri, pertussis dan tetanus). Vaksin ini akan
melindungi tubuh terhadap difteri, tetanus dan pertussis. DPT (DTP) dan
DTaP adalah vaksin yang sama, namun bentuknya saja yang berbeda.
Vaksin diberikan dengan suntikan. Pemberian vaksin ini terbukti
menghilangkan kemungkinan terkena difteri dan tetanus pada masa kanak-
kanak, serta mengurangi secara nyata kasus pertussis. Di beberapa negara
maju, pada saat mendaftar, calon murid sekolah harus bisa menunjukkan
keterangan telah mendapatkan vaksin ini secara lengkap.
a. Jadwal pemberian
Diberikan sebagai satu seri yang terdiri dari 5 kali suntik. Yaitu pada
usia 2 bulan, 4 bulan, 6 bulan, 15 s/d 18 bulan dan terakhir saat sebelum
masuk sekolah (4 s/d 6 tahun). Dianjurkan untuk mendapatkan vaksin
Td (penguat terhadap difteri dan tetanus) pada usia 11 s/d 12 tahun atau
paling lambat 5 tahun setelah imunisasi DTP terakhir. Setelah itu
direkomendasikan untuk mendapatkan Td setiap 10 tahun.
b. Resiko yang mungkin timbul
Seringkali pemberian vaksin ini menimbulkan panas badan ringan atau
panas di sekitar bekas suntikan yang diakibatkan oleh komponen
pertussis dalam vaksin.
c. Menunda Pemberian :
1. Bila anak sakit lebih dari sekedar panas badan ringan.

11
2. Bila anak memiliki kelainan syaraf atau tidak tidak tumbuh secara
normal, komponen pertussis dari vaksin dianjurkan untuk tidak
diberikan danhanya DT (difteri & tetanus) saja.
3. Bila setelah mendapatkan vaksin DTP (DTaP) timbul gejala seperti
dibawah konsultasikan dengan dokter anak sebelum mendapatkan
vaksin lainnya :
a) kejang-kejang dalam 3 s/d 7 hari setelah imunisasi
b) kejang-kejang yang makin memburuk dibanding sebelumnya
apabila pernah mengalaminya
d. Reaksi Alergi
1. kesulitan makan atau gangguan pada mulut, tenggorokan atau muka
panas badan lebih dari 40 derajat Celcius (105 derajat Fahrenheit)
2. pingsan dalam 2 hari pertama setelah imunisasi
3. terus menangis lebih dari 3 jam di 2 hari pertama setelah imunisasi
e. Setelah Pemberian :
Anak mungkin mengalami panas badan ringan dan atau kemerah-
merahan di sekitar bekas suntikan. Untuk mencegah panas badan
kadangkala dokter anak memberikan resep obat sebelum imunisasi.

12
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN

Kasus :
Anak L usia 6 tahun dibawa ke rumah sakit karena sesak dan demam. Dari
pemeriksaan fisik anak L didiagnosa difteri laring dan faring, kemudian dari hasil
EKG didapatkan tachicardi. Anak L rewel dan tidak mau makan, sehingga
dipasang NGT dan juga terpasang nasal kanul dengan 3 tpm. Menurut pengkuan
ibunya anak L sudah pernah mendapat imunisasi DPT tetapi hanya 1 kali ketika
masih bayi, dan tidak diulang karena katanya tidak tahu kalau harus diulang.

3.1 Pengkajian
A. Identitas Klien
1. Nama : Anak L
2. Umur : 6 Tahun
3. Jenis Kelamin : Laki-Laki
4. Berat Badan : 18 Kg
5. Tinggi Badan : 113 Cm
6. Riwayat kehamilan : 40 Minggu
7. Tempat tinggal : (Biasanya terjadi pada penduduk di tempat-
tempat pemukiman yang rapat-rapat, higine dan sanitasi jelek dan
fasilitas kesehatan yang kurang)
8. Pendidikan: Kelas 2 SD
9. Agama : Islam
10. No. RM : 555309
11. Diagnosis medic : Difteri Laring, Faring, dan komplikasi
12. Tanggal masuk : 22 Maret 2015
13. Tanggal pengkajian : 22 Maret 2015
B. Keluhan Utama :
Keluhan utama yang di rasakan pasien adanya sesak nafas, demam,
dan tidak nafsu makan.

13
C. Riwayat Kesehatan Sekarang
Sebelum masuk rumah sakit Anak L demam sejak 1 minggu yang
lalu dan hanya diberikan obat penurun panas, anak L kemudian mengalami
sesak nafas dan tidak mau makan sehingga anak L dibawa ke rumah sakit.
D. Riwayat Kesehatan Lalu :
Menurut pengkuan ibunya anak L sudah pernah mendapat
imunisasi DPT tetapi hanya 1 kali ketika masih bayi, dan tidak diulang
karena katanya tidak tahu kalau harus diulang. Dikeluarga anak L belum
pernah ada yang mengalami sakit yang sama, dan anak. L sebelumnya
belum pernah mengalami sakit seperti sekarang.
E. Riwayat Kesehatan Keluarga dan Genogram :
Menurut pengakuan ibunya di keluarga belum pernah ada yang
menderita penyakit difteri. Namun klien tinggal di tempat yang kumuh dan
padat penduduk.
F. Pemeriksaan Fisik
1. B1 : RR tak efektif (Sesak nafas)
2. B2 : Tachicardi
3. B3 : Normal
4. B4 : Normal
5. B5 : Anorexia, nyeri menelan, kekurangan nutrisi
6. B6 : Lemah pada lengan, turgor kulit kering
G. ADL
1. Pola Makan :-
2. Pola Istirahat dan Tidur :-
3. Pola BAB dan BAK :-
H. Data Psikologi :
Anak L cemas, takut dan sedih karena seusianya dia harus berada di ruang
isolasi dan tidak bisa ikut bermain bersama teman-temannya.
I. Sosio
Karena anak L berada di ruang isolasi anak, anak L tidak bisa
bersosialisasi dengan teman seusianya. Anak L hanya bisa bersosialisasi
dengan perawat maupun anggota keluarga yang mendampinginya saja.

14
J. Spritual
Anak L beragama islam selama di rumah sakit ibunya sering membacakan
do’a untuk anak L
K. Data Penunjang :-
L. Program Terapi dan Penatalaksanaan : -

3.2 Diagnosa Keperawatan


1. Tidak efektif bersihan jalan nafas berhubungan dengan obstruksi pada
jalan nafas
2. Resiko infeksi berhubungan dengan organism virule.
3. Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan terlepasnya eksotoksin
4. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
intake nutrisi yang kurang.
5. Hambatan komunikasi verbal berhubungan dengn paralisis palatumoele

3.3 Rencana Intervensi


1. Tidak efektif bersihan jalan nafas berhubungan dengan obstruksi pada
jalan nafas
Tujuan :
Perbaikan ventilasi dan oksigenasi jaringan dengan GDA dalam rentang
normal dan tidak ada distres pernafasan.
Hasil yang diharapkan :
a. Menunjukkan adanya perbaikan ventilasi dan oksigenasi jaringan
INTERVENSI RASIONAL
Kaji frekuensi atau kedalaman Takypnea, pernapasan dangkal, dan
pernapasan pergerakan dada gerakan dada tidak simetris sering
terjadi karena ketidaknyamanan
gerakan dinding dada dan atau cairan
paru
Auskultasi area paru, satat area Penurunan aliran udara terjadi pada
penurunan atau tidak ada aliran udara area konsolidasi dengan cairan.
dan bunyi napas adventisius, mis. Bunyi napas bronchial dapat juga
Crackles, mengi terjadi pada area konsolidasi.
Crackles, ronchi dan mengi terdengar
pada inspirasi dan atau ekspirasi pada
respon terhadap pengupulan cairan,
sekret kental dan spasme jalan napas

15
atau obstruksi.
Bantu pasien latian nafas sering. Nafas dalam memudahkan ekspansi
Tunjukan atau bantu pasien
maksimum paru-paru atau jalan nafas
mempelajari melakukan batuk,
lebih kecil. Batuk adalah mekanisme
misalnya menekan dada dan batuk pembersian jalan nafas alami,
efektif sementara posisi duduk tinggimembantu silia untuk
mempertahankan jalan nafas paten.
Penekanan menurunkan
ketidaknyamanan dada dan posisi
duduk memungkinkan upaya nafas
lebih dalam dan lebih kuat
Berikan cairan sedikitnya 2500 ml Cairan (khususnya yang hangat)
perhari (kecuali kontraindikasi). memobilisasi dan mengeluarkan
Takaran air hangat daripada dingin sekret. Memudahkan pengenceran
dan pembuangan sekret.
Kolaborasi
Bantu mengawasi efek pengobatan Alat untuk menurunkan spasme
nebulizer dan fisioterapi lain, mis. bronkus dengan mobilisasi sekret.
Spirometer insentif, IPPB, tiupan Analgesic diberikan untuk
botol, perkusi, postural drainage. memperbaiki baruk dengan
Lakukan tindakan diantara waktu menurunkan ketidaknyamanan tetapi
makan dan batasi cairan bila harus digunakan secara hati-hati,
mungkin. Berikan obat sesuai karena dapat menurunkan upaya
indikasi mukolitik, ekspektoran, batuk atau menekan pernafasan.
bronchodilator, analgesic

2. Resiko infeksi berhubungan dengan organism virulen


Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama proses keperawatan
diharapkan Resiko infeksi tidak terjadi
Kriteria Hasil :
Tidak ada tanda-tanda infeksi
INTERVENSI RASIONAL
Observasi TTV klien Demam dapat terjadi karena infeksi
atau dehidrasi
Turunkan faktor resiko nosocomial Faktor ini paling sederhana tetapi
melalui cuci tangan yang tepat pada paling penting untuk mencegah
semua perawat infeksi di rumah sakit
Anjurkan keluarga klien untuk Menurunkan transmisi c. organisme
menyiapakn wadah sekali pakai melalui cairan
untuk sputum, contohnya tissue
Pertahankan hidrasi adekuat dan Membantu memperbaiki tahanan
nutrisi umum untuk penyakit dan
menurunkan resiko infeksi

16
Berikan antimicrobial sesuai Satu atau lebih agen dapat
indikasi digunakan tergantung pada
identifikasi pathogen bila infeksi
terjadi.

3. Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan terlepasnya eksotoksin


Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapakan suhu tubuh klien
diharapkan normal.
Kriteria hasil :
a. Suhu tubuh normal (36,50C-37,50C.
b. Akral hangat.
INTERVENSI RASIONAL
Kaji suhu klien Untuk mengidentifikasi pola
demam klien
Berikan kompres dengan air hangat Vasodilatasi pembuluh darah akan
pada daerah dahi, axila, lipatan paha. melepaskan panas tubuh
Anjurkan minum yang banyak sesuai Peningkatan suhu tubuh meningkat
toleransi klien sehingga perlu diimbangi dengan
asupan cairan yang banyak
Kolaborasi dengan dokter dalam Obat antipiretik membantu klien
pemberian terapi (antipiretik) menurunkan suhu tubuh.

3.4 Evaluasi
a. perbaikan ventilasi da oksigenasi dalam rentang normal dan tidak ada
distress pernafasan
b. resiko infeksi teratasi
c. hipertermi teratasi, suhu tubuh dalam rentan normal

17
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Difteri adalah penyakit yang disebabkan oleh kuman Corynebacterium
diphtheriae, oleh karena itu penyakitnya diberi nama serupa dengan kuman
penyebabnya. Menurut tingkat keparahannya, penyakit ini dibagi menjadi 3
tingkat yaitu: Infeksi ringan, Infeksi sedang dan Infeksi berat. Menurut lokasi
gejala difteria dibagi menjadi : Difteri hidung, difteri faring, difteri laring dan
difteri kutaneus dan vaginal Gejala klinis penyakit difteri ini adalah :
a. Panas lebih dari 38 °C.
b. Ada psedomembrane bisa di pharynx, larynx atau tonsil.
c. Sakit waktu menelan.
d. Leher membengkak seperti leher sapi (bullneck), disebabkan karena
pembengkakan kelenjar leher.
4.2 Saran
Difteri adalah penyebab kematian pada anak-anak, Difteri ini bisa
mengakibatkan miokarditis untuk itu mencegah penyebaran infeksi
merupakan tindakan yang harus dilakukan, untuk itu petugas kesehatan
(perawat) harus tahu hal itu dan keluarga harus sensitif terhadap keadaan anak
jika mengidap difteri.
Maka dari itu penulis menyarankan kepada pembaca untuk
memberikan penyuluhan kesehatan kepada masyarakat tentang penyakit ini,
dan juga upaya pencegahan pada anak-anak untuk diberikan imunisasi yaitu
vaksin dpt yang merupakan wajib pada anak.

18
DAFTAR PUSTAKA

Hidayat, aziz alimul A. 2008. Pengantar ilmu keperawatan anak. Jilid 2. Jakarta:
Salemba Medika.
Nurarif, Amin Huda dkk. 2013. Aplikasi asuhan keperawatan berdasarkan
diagnose medis & NANDA. Jakarta: Medi Action.
Suriadi, dan Rita Yuliani. 2010. Asuhan Keperawatan pada Anak. Edisi 2.
Jakarta: Sagung seto.
Ibrahim, M. (2011). Pengertian Difteri, Pencegahan dan Pengobatannya. [Online]
.Tersedia:http://www.lawangpost.com/read/pengertian-difteri-
pencegahan-dan-pengobatannya/1438/. [7 Maret 2011].
Aziz, Abdul. (2013). Askep Difteri. [Online]. Tersedia : http://abdulaziz
fkp10.web.unair.ac.id/artikel_detail-79303-respirasi-
Askep%20Difteri.html [20 Mei 2013]

19

Anda mungkin juga menyukai