Anda di halaman 1dari 50

6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Diabetes melitus

Diabetes Melitus (DM) adalah suatu sindroma klinis kelainan

metabolik, ditandai oleh adanya hiperglikemik yang disebabkan oleh defek

sekresi insulin, defek kerja insulin atau keduanya 5.

Secara klinis terdapat 2 macam diabetes, DM tipe 1 yaitu Insulin

Dependent Diabetes Mellitus (IDDM) dan DM tipe 2 yaitu Non Insulin

Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM). DM tipe 1 adalah kekurangan

insulin pankreas akibat destruksi autoimun sel B pankreas, berhubungan

dengan HLA tertentu pada suatu kromosom 6 dan beberapa autoimunitas

serologik dan cell mediated, DM yang berhubungan dengan malnutrisi dan

berbagai penyebab lain yang menyebabkan kerusakan primer sel beta

sehingga membutuhkan insulin dari luar untuk bertahan hidup. Infeksi

virus pada atau dekat sebelum onset juga disebut-sebut berhubungan

dengan patogenesis diabetes. Diabetes tipe 2 tidak mempunyai hubungan

dengan HLA, virus atau auto imunitas. Terjadi akibat resistensi insulin

pada jaringan perifer yang diikuti produksi insulin sel beta pankreas yang

cukup. DM tipe 2 sering memerlukan insulin tetapi tidak bergantung

kepada insulin seumur hidup6.

Klasifikasi DM menurut American Diabetes Association (ADA),

2005, yaitu :
1) Diabetes Melitus Tipe 1

DM ini disebabkan oleh kekurangan insulin dalam darah yang

terjadi akibat kerusakan dari sel beta pankreas. Gejala yang

menonjol adalah sering kencing (terutama malam hari), sering

lapar dan sering haus, sebagian besar penderita DM tipe ini berat

badannya normal atau kurus. Biasanya terjadi pada usia muda dan

memerlukan insulin seumur hidup.

2) Diabetes Melitus Tipe 2

DM ini disebabkan insulin yang ada tidak dapat bekerja dengan

baik, kadar insulin dapat normal, rendah atau bahkan meningkat

tetapi fungsi insulin untuk metabolisme glukosa tidak ada atau

kurang. Akibatnya glukosa dalam darah tetap tinggi sehingga

terjadi hiperglikemia, dan 75% dari penderita DM type II ini

dengan obesitas atau kegemukan dan biasanya diketahui DM

setelah usia 30 tahun.

3) Diabetes Melitus Tipe lain

a. Defek genetik pada fungsi sel beta

b. Defek genetik pada kerja insulin

c. Penyakit eksokrin pankreas

d. Endokrinopati

e. Diinduksi obat atau zat kimia

f. Infeksi

g. Imunologi
4) DM Gestasional

Komplikasi dari diabetes sendiri ada bermacam macam.

Komplikasi dari DM sendiri dapat di golongkan menjadi komplikasi akut

dan komlikasi kronik. Beberapa contoh dari komplikasi akut adalah :

1) Ketoasidosis diabetik

KAD adalah suatu keadaan dimana terdapat defisiensi insulin

absolut atau relatif dan peningkatan hormon kontra regulator

(glukagon, katekolamin, kortisol dan hormon pertumbuhan).

2) Koma Hiperosmolar Non Ketotik

Ditandai dengan penurunan kesadaran dengan gula darah lebih

besar dari 600 mg% tanpa ketosis yang berartidan osmolaritas

plasma melebihi 350 mosm. Keadaan ini jarang mengenai anak

anak, usia muda atau diabetes tipe non insulin dependen karena

pada keadaan ini pasien akan jatuh kedalam kondisi KAD, sedang

pada DM tipe 2 dimana kadar insulin darah nya masih cukup untuk

mencegah lipolisis tetapi tidak dapat mencegah keadaan

hiperglikemia sehingga tidak timbul hiperketonemia.

3) Hipoglikemia

Ditandai dengan menurunnya kadar glukosa darah < 60 mg% tanpa

gejala klinis atau GDS < 80 mg% dengan gejala klinis. Dimulai

dari stadium parasimpatik: lapar, mual, tekanan darah turun.

Stadium gangguan otak ringan : lemah lesu, sulit bicara gangguan

kognitif sementara. Stadium simpatik, gejala adrenergik yaitu


keringat dingin pada muka, bibir dan gemetar dada berdebar-debar.

Stadium gangguan otak berat, gejala neuroglikopenik : pusing,

gelisah, penurunan kesadaran dengan atau tanpa kejang.

Komplikasi kronik dari diabetes melitus sendiri dapat dibagi

menjadi 2 : komplikasi mikrovaskuler dan makrovaskuler. Komlplikasi

mikrovaskuler terdiri dari:

1) Retinopati diabetik

Pada retinopati diabetik prolferatif terjadi iskemia retina yang

progresif yang merangsang neovaskularisasi yang menyebabkan

kebocoran protein-protein serum dalam jumlah besar.

Neovaskularisasi yang rapuh ini berproliferasi ke bagian dalam

korpus vitreum yang bila tekanan meninggi saat berkontraksi maka

bisa terjadi perdarahan masif yang berakibat penurunan

penglihatan mendadak. Hal tersebut pada penderita DM bisa

menyebabkan kebutaan.

10

2) Neuropati diabetik

Neuropati diabetik perifer merupakan penyakit neuropati yang

paling sering terjadi. Gejala dapat berupa hilangnya sensasi distal.

Berisiko tinggi untuk terjadinya ulkus kaki dan amputasi. Gejala

yang sering dirasakan kaki terasa terbakar dan bergetar sendiri dan

lebih terasa sakit di malam hari 7.

3) Nefropati diabetik

Ditandai dengan albuminura menetap > 300 mg/24 jam atau > 200
ig/menit pada minimal 2x pemeriksaan dalam waktu 3-6 bulan.

Berlanjut menjadi proteinuria akibat hiperfiltrasi patogenik

kerusakan ginjal pada tingkat glomerulus. Akibat glikasi

nonenzimatik dan AGE, advanced glication product yang

ireversible dan menyebabkan hipertrofi sel dan kemoatraktan

mononuklear serta inhibisi sintesis nitric oxide sebagai vasadilator,

terjadi peningkatan tekanan intraglomerulus dan bila terjadi terus

menerus dan inflamasi kronik, nefritis yang reversible akan

berubah menjadi nefropati dimana terjadi keruakan menetap dan

berkembang menjadi chronic kidney disease 8. komplikasi inilah

yang akan dibahas dalam penelitian ini.

Komplikasi makrovaskular yang sering terjadi biasanya merupakan

makroangiopati. Penyakit yang termasuk dalam komplikasi makrovaskular

adalah :

11

1) Penyakit pembuluh darah jantung atau otak

2) Penyakit pembuluh darah tepi

Penyakit arteri perifer sering terjadi pada penyandang diabetes,

biasanya terjadi dengan gejala tipikal intermiten atau klaudikasio,

meskipun sering anpa gejala. Terkadang ulkus iskemik kaki

merupakan kelainan yang pertama muncul 8.

2.2 Nefropati diabetik

Nefropati diabetik adalah penyebab utama penyakit ginjal stadium

akhir di seluruh dunia dan berhubungan dengan peningkatan risiko


penyakit kardiovaskular. Manifestasi klinis awal adalah mikroalbuminuria.

Setelah terdeteksi adanya mikroalbuminuria, laju perkembangan dari

penyakit ginjal stadium akhir dan penyakit kardiovaskular dapat ditunda

oleh manajemen tekanan darah, glukosa, dan lipid.

Nefropati diabetik ditandai dengan albuminura menetap > 300

mg/24 jam atau > 200 ig/menit pada minimal 2x pemeriksaan dalam waktu

3-6 bulan. Berlanjut menjadi proteinuria akibat hiperfiltrasi patogenik

kerusakan ginjal pada tingkat glomerulus 8.

Nefropati diabetik juga sering didefinisikan sebagai sebuah

sindroma klinis yang ditandai dengan albuminuria persisten (> 300 mg / d

atau > 200 mcg / min) yang dikonfirmasi sedikitnya 2 kali berturut-turut

dalam 3-6 bulan terpisah, adanya penurunan laju filtrasi glomerolus

(LFG), dan peningkatan tekanan daerah arterial

12

Progresi umum dari mikroalbuminuria menjadi nefropati

menyebabkan banyak yang menganggap mikroalbuminuria sebagai tanda

nefropati tahap awal. Kelainan ginjal sering terjadi sekunder pada

penderita diabetes yang lama terutama penderita diabetes tipe I. Secara

klinis nefropati diabetik ditandai dengan adanya peningkatan proteinuria

yang progresif, penurunan LFG, hipertensi, dan risiko tinggi untuk

menderita penyakit kardiovaskular. Perjalanan alamiah nefropati diabetik

merupakan sebuah proses dengan progresivitas bertahap setiap tahun.

Diabetes fase awal ditandai dengan hiperfiltrasi glomerulus dan

peningkatan LFG. Hal ini berhubungan dengan peningkatan


perkembangan sel dan ekspansi ginjal, yang mungkin dimediasi oleh

hiperglikemia. Mikroalbuminuria biasanya terjadi setelah 5 tahun

menderita penyakit Diabetes tipe 1 sedangkan nefropati yang ditandai

dengan ekskresi protein urin lebih dari 300 mg/hari, biasanya terjadi dalam

waktu 10-15 tahun. Penyakit ginjal stadium terminal terjadi pada sekitar

50% penderita DM tipe I, yang akan mengalami nefropati dalam 10 tahun

9.

DM tipe II memiliki patogenesis yang lebih bervariasi. Penderita

sering didiagnosis sudah dengan mikroalbuminuria yang disebabkan

karena keterlambatan diagnosis dan faktor lain yang mempengaruhi

ekskresi protein. Sebagian kecil penderita dengan mikroalbuminuria akan

berkembang menjadi penyakit ginjal tahap lanjut. Tanpa intervensi,

sebanyak 30% penderita akan berkembang menjadi nefropati dengan

13

proteinuria yang nyata, dan setelah 20 tahun mengalami nefropati, sekitar

20% akan berkembang menjadi penyakit ginjal tahap akhir. Diabetes yang

lama menyebabkan perubahan pada pembuluh darah kecil yang dapat

menyebabkan kerusakan ginjal dimana kerusakan ginjal tersebut dapat

menyebabkan kegagalan ginjal yang berat. Kerusakan ginjal dapat dimulai

sejak tahun pertama setelah terdiagnosis menderita DM tipe I dan dapat

ditemukan pada saat terdiagnosis DM tipe II. Namun diperlukan waktu

sekitar 5-10 tahun untuk menjadi masalah kerusakan ginjal yang bermakna

10.

Tekanan darah tinggi secara signifikan dapat memberikan


kontribusi pada perkembangan penyakit ginjal. Dan, penyakit ginjal itu

sendiri dapat membuat tekanan darah tinggi, sehingga menciptakan efek

siklus. Faktor-faktor yang menyebabkan nefropati diabetik termasuk

keturunan, diet dan kondisi medis lainnya seperti tekanan darah tinggi.

Kadar gula darah tinggi, penyebab lain nefropati, dapat menyebabkan

ginjal untuk menyaring darah terlalu banyak. Seiring waktu, ini overworks

ginjal dan dapat menyebabkan protein dan limbah bocor ke dalam urin 11.

2.3 Epidemiologi

Berdasarkan data yang diperoleh dari UK Renal Registry pada

tahun 1998, penyakit ginjal diabetik merupakan penyebab utama gagal

ginjal terminal di antara penderita yang menjalani terapi pengganti ginjal

(16%). Dari angka tersebut sebanyak 9,5% disebabkan oleh penyakit ginjal

14

diabetik, (6,8%) dilaporkan disebabkan oleh DM tipe 1 dan 2,7%

disebabkan oleh DM tipe 2. Prevalensi mikroalbuminuria pada penderita

yang menderita DM tipe 1 selama 30 tahun adalah sekitar 30 %.

Sedangkan prevalensi mikroalbuminuria pada penderita yang menderita

DM tipe 2 selama 10 tahun adalah sekitar 20-25%. Sumber lain

menyebutkan dari hasil estimasi 12 sampai 14 juta penderita DM di USA

diperoleh bahwa 30% sampai 40% penderita DM tipe 1 akan mengalami

komplikasi menjadi gagal ginjal terminal sedangkan pada penderita DM

tipe 2 hanya sekitar 5-10% yang berkembang menjadi gagal ginjal terminal

12.

Gambar 1 : diagram menunjukkan prevalensi penyakit yang


menyebabkan Penyakit Ginjal. Penyakit diabetes merupakan penyebab

paling sering prevalensi penyakit gagal ginjal . Sumber: United States

Renal Data System. USRDS 2007 Annual Data Report.

Diabetes 44%

Tekanan Darah Tinggi 27%

Glomerulonef ritis 8%

Penyakit Sistik 2%

Penyakit Urologis 2%

Lain Lain 18%

Penyebab Gagal Ginjal Utama (2005)

15

Pada gambar diatas merupakan data yang didapat dari States Renal

Data System. USRDS tahun 2007, menunjukkan bahwa 43.8% pasien

gagal ginjal terkena diabetes, 26,8% tekanan darah tinggi, 7,6 % terkena

Glomerulonefritis, 2,3% Cystic disease, dan sisanya yang lainnya. dari

data tersebut bisa dilihat jika prevalensi penderita diabetes pada penyakit

gagal ginjal merupakan penyebab yang paling sering.

Gambar 2 : Prevalensi Diabetes Mellitus di New zealand.

Prevalensi (%) dari diabetes ( Tipe 1 dan 2) pada pasien berumur 40-49

tahun di South Auckland. Sumber : Epidemiology of diabetes in New

Zealand: revisit to a changing landscape: Grace Joshy, David Simmons

Pada tabel diatas menunjukkan angka kejadian diabetes (tipe 1 dan

2) di New Zealand. Pada grafik diatas menunjukkan prevalensi angka

0,50%
2,60% 2,80% 2,90%

5,90%

7,70% 8,30% 8,30% 8,60% 9,20%

11,60%

0,00% 2,00% 4,00% 6,00% 8,00% 10,00% 12,00% 14,00%

Cina Eropa Kamboja Vietnam Samoa Timur Tengah Tongan Pulau Cook Asia Selatan Maori New
Zealand

16

kejadian diabetes di South Auckland, New Zealand. Penelitian dilakukan

dengan menghitung jumlah pasien yang mengalami diabetes dengan

dibedakan etnisitasnya. Dari penelitian diatas, menunjukkan jika Etnis

Asia menduduki peringkat ketiga dengan prevalensi 8,6 % dibawah suku

Maori dan warga new Zealand sendiri.

Penelitian di Inggris membuktikan bahwa pada orang Asia jumlah

penderita nefropati diabetik lebih tinggi dibandingkan dengan orang barat.

Hal ini disebabkan karena penderita diabetes melitus tipe 2 orang Asia

terjadi pada umur yang relatif lebih muda sehingga berkesempatan

mengalami nefropati diabetik lebih besar. Di Thailand prevalensi nefropati

diabetik dilaporkan sebesar 29,4%, di Filipina sebesar 20,8%, sedang di

Hongkong 13,1%. Di Indonesia terdapat angka yang bervariasi dari 2,0%

sampai 39,3% 13.

2.4 Patogenesis

Patogenesis terjadinya kelainan ginjal pada diabetes tidak dapat

diterangkan dengan pasti. Pengaruh genetik, lingkungan, faktor metabolik


dan hemodinamik berpengaruh terhadap terjadinya proteinuria.

Bukti ilmiah dari penyebab ND belum diketahui, tetapi dari

beberapa postulasi diduga mekanismenya berasal dari hiperglikemia

(menyebabkan hiperfiltrasi dan injuri renal), terus dihasilkannya produk

glikosilasi, dan aktivasi sitokin. Hipergilkemia meningkatkan transformasi

growth factor – beta (TGF beta) dalam glomerulus dan protein matriks

17

yang secara khusus dipicu oleh sitkonin. TGF-beta mungkin juga berperan

terhadap adanya hipertrofi seluler maupun berlanjutnya sintesis kolagen

yang diketahui pada seseorang dengan ND.

Perubahan utama pada golmerulopati diabetes adalah peningkatan

material ekstraseluler. Abnormalitas nefrologik paling awal pada Nefropati

diabetik adalah adanya penebalan dari membran basalis glomerolus

(MBG) dan perluasan dari mesangium akibat penumpukan dari matriks

ekstraseluler. Mikroskop cahaya menunjukkan adanya peningkatan ruang

solid dari lempeng, sering diketahui sebagai percabangan kasar dari

material padat (reaksi positif dari periodic – acid Schiff) yang juga disebut

dengan glomerolupati diabetes difus. Penumpukan aseluler yang banyak

diketahui juga pada daerah tersebut. pada daerah tersebut juga terdapat

bagian sirkular yang diketahui sebagai lesi atau nodul Kimmelstiel –

Wilson.

Ukuran glomerolus dan ginjal pada awalnya normal atau

meningkat, hal tersebut inilah yang membedakan antara nefropati diabetik

dengan kebanyakan bentuk efisiensi renal lainnya. Dimana ukuran ginjal


berkurang (kecuali amilodisis ginjal dan penyakit ginjal polikistik).

Mikroskop imunoflueresen mungkin bisa menemukan deposisi dari

imunoglobin G disekitar MBG dalam pola yang linear, tetapi hal ini tidak

mempunyai nilai diagnostik maupun imunopatogenik. Deposit imun tidak

dapat diketahui. Secara khas ditemukannya adanya bukti adanya

18

atherosklerosis pembuluh darah ginjal, dan biasanya disertai

hiperlipidemia dan arteriosklerosis hipertensi.

Gambaran histologi jaringan pada nefropati diabetik

memperlihatkan adanya penebalan membran basal glomerulus, ekspansi

mesangial glomerulus yang akhirnya menyebabkan glomerulosklerosis,

hyalinosis arteri eferen dan eferen serta fibrosis tubulo interstitial.

Tampaknya berbagai faktor berperan dalam terjadinya kelainan tersebut.

Peningkatan glukosa yang menahun (glukotoksisitas) pada penderita yang

mempunyai predisposisi genetik merupakan faktor-faktor utama ditambah

faktor lainnya dapat menimbulkan nefropati. Glukotoksisitas terhadap

basal membran dapat melalui 2 jalur 14.

1) Alur metabolik (metabolic pathway):

Faktor metabolik diawali dengan hiperglikemia,glukosa dapat

bereaksi secara proses non enzimatik dengan asam amino bebas

menghasilkan AGE’s (advance glycosilation end-products).

Peningkatan AGE’s akan menimbulkan kerusakan pada glomerulus

ginjal. Terjadi juga akselerasi jalur poliol, dan aktivasi protein

kinase C. Pada alur poliol (polyol pathway) terjadi peningkatan


sorbitol dalam jaringan akibat meningkatnya reduksi glukosa oleh

aktivitas enzim aldose reduktase. Peningkatan sorbitol akan

19

mengakibatkan berkurangnya kadar inositol yang menyebabkan

gangguan osmolaritas membran basal ginjal.

Aldose reduktase adalah enzim utama pada jalur polyol, yang

merupakan sitosolik monomerik oxidoreduktase yang mengkatalisa

NADPH-dependent reduction dari senyawa karbon, termasuk

glukosa. Aldose reduktase mereduksi aldehid yang dihasilkan oleh

ROS (Reactive Oxygen Species) menjadi inaktif alkohol serta

mengubah glukosa menjadi sorbitol dengan menggunakan NADPH

sebagai kofaktor. Pada sel, aktivitas aldose reduktase cukup untuk

mengurangi glutathione (GSH) yang merupakan tambahan stres

oksidatif. Sorbitol dehydrogenase berfungsi untuk mengoksidasi

sorbitol menjadi fruktosa menggunakan NAD – sebagai kofaktor.

Gambar 3 : Metabolisme Kerusakan pada Hiperglikemik

menghasilkan hasil akhir berupa Advanced Glycation End Product

(AGEs)

20

Gambar 4 : diagram menunjukkan mekanisme Polynol

Pathway, dimana mekanisme ini menghasilkan sorbitol karena

peningkatan glukosa
Gambar 5 : masuknya glukosa kedalam Heksosamin

Pathway

21

Glycolytic intermediate fructose-6-phosphate (Fruc-6-P)

dirubah menjadi glucosamine-6-phosphate oleh enzim glutamin:

fructose-6-phosphate amidotransferase (GFAT). Glikosilasi

intraseluler oleh N-acethylglucosamine (GIcNAC) menjadi serin

dan theorenin yang dikalisasi oleh enzim O-GicNAc transferase

(OGT). Peningkatan donasi GicNAC pada residu serin dan

threonine dari faktor transkripsi seperti Sp1, yang biasanya terjadi

pada tempat fosforilasi akan menyebabkan peningkatan produksi

fakor seperti PAI-1 dan TGF-β1, AZA,azaserine; AS-GFAT,

antisense GFAT

Gambar 6 : Mekanisme AGEs mengakibatkan komplikasi

vaskular

22

Mekanisme melalui produksi intracelular prekursor AGE

(Advanced Glycation End-Product) menyebabkan kerusakan

pembuluh darah. Perubahan ikatan kovalen protein intraseluler oleh

prekursor dicarbonyl AGE akan menyebabkan perubahan pada

fungsi selular. Sedangkan adanya perubahan pada matriks protein

ekstraseluler mengakibatkan interaksi abnormal dengan matriks

protein yang lain dan dengan integrin. Perubahan plasma protein

oleh prekursor AGE membentuk rantai yang akan berikatan dengan


reseptor AGE, kemudian menginduksi perubahan pada ekspresi

gen pada sel endotel, sel mesangial, dan makrofag.

Keadaan hiperglikemia dapat menyebabkan penungkatan

DAG ( diacylglycerol ) yang selanjutnya akan mengaktifasi protein

kinase-C. Pengaktifan protein kinase-C ini dapat menyebabkan

beberapa akibat patogenik seperti gangguan endothelial nitric

oxide syntase (eNOS), endotelin-1 (ET-1), vascular endothelial

growth (VEGF), transforming growth factor-β (TGF – β) dan

plasminogen activitor inhibitor-1 dan aktifasi NF-kB dan NAD(P)H

oksidase.

2) Alur Hemodinamik :

Hiperglikemia memicu terjadinya kerusakan ginjal , sehingga

menimbulkan perubahan hemodinamik, metabolisme, disfungsi

endotel, aktifasi sel inflamasi, perubahan ekspresi faktor vaskuler

(Murnah, 2011)

23

Gangguan hemodinamik sistemik dan renal pada penderita

DM terjadi akibat glukotoksisitas yang menimbulkan kelainan pada

sel endotel pembuluh darah. Faktor hemodinamik diawali degan

peningkatan hormon vasoaktif seperti angiotensin II. angiotensin II

juga berperan dalam perjalanan ND. Angiotensin II berperan baik

secara hemodinamik maupun non-hemodinamik. Peranan tersebut

antara lain merangsang vasokontriksi sistemik, meningkatkan

tahanan kapiler arteriol glomerulus, pengurangan luas permukaan


filtrasi, stimulasi protein matriks ekstra selular, serta stimulasi

chemokines yang bersifat fibrogenik.

Hipotesis ini didukung dengan meningkatnya kadar prorenin,

aktivitas faktor von Willebrand dan trombomodulin sebagai

penanda terjadinya gangguan endotel kapiler. Hal ini juga yang

dapat menjelaskan mengapa pada penderita dengan

mikroalbuminuria persisten, terutama pada DM tipe 2, lebih

banyak terjadi kematian akibat kardiovaskular dari pada akibat

penyakit ginjal terminal.

Peran hipertensi dalam patogenesis penyakit ginjal diabetes

masih kontroversial, terutama pada penderita DM tipe 2 dimana

pada penderita ini hipertensi dapat dijumpai pada awal sebelum

diagnosis diabetes ditegakkan. Hipotesis mengatakan bahwa

hipertensi tidak berhubungan langsung dengan terjadinya nefropati

diabetik tetapi mempercepat progesivitas ke arah gagal ginjal

24

terminal pada penderita yang sudah mengalami diabetik kidney

disease.

Dari kedua faktor diatas maka akan terjadi peningkatan TGF

beta yang akan menyebabkan proteinuria melalui peningkatan

permeabilitas vaskuler. TGF beta juga akan meningkatkan

akumulasi ektraceluler matrik yang berperan dalam terjadinya

nefropati diabetik.

Gambar 7 : mekanisme alur hemodinamik


Sistem podosit renin – angiotensin dan mekanisme yang

meningkatkan ekspresi ACE2 dapat menurunkan produksi

angiotensin II lokal. ACE2, angiotensin-converting enzyme 2,

Ang-1-7, angiotensin-(1-7), Ang-1-9, angiotensin-(1-9), AT 1,

angiotensin II reseptor tipe 1, MBG, glomerular basement

membran.

Studi pada pasien dengan nefropati diabetik telah

menunjukkan peningkatan dalam rasio ACE / ACE2 di kedua

glomerulus dan tubulointestinal , terutama disebabkan oleh

penurunan ACE2 ekspresi 15. Penelitian sebelumnya pada tikus

25

diabetes menemukan bahwa baik penghapusan ACE2 global atau

farmakologis penghambatan ACE2 diperburuk pengembangan

nefropati diabetik 16 17. Meskipun studi ini tidak melaporkan setiap

perubahan tekanan darah dengan penghambatan ACE2 kegiatan

atau perbaikan ekspresi nefropati diabetik dengan administrasi

sistemik ACE2 rekombinan atau peningkatan ACE2 sistemik oleh

ekspresi adenoviral dikaitkan dengan penurunan tekanan darah 18 19

, sehingga sulit untuk mengetahui apakah efek menguntungkan

dari ACE2 adalah respon lokal di ginjal atau yang sekunder untuk

Ects eff sistemik pada tekanan darah. Pada glomerulus, podocyte

mengungkapkan banyak komponen RAS, termasuk reseptor renin

(pro), angiotensinogen, ACE, dan angiotensin II reseptor tipe 1 20.

Podocytes juga mengungkapkan ACE2 21, meskipun ekspresi


reseptor glomerulus Mas masih belum jelas. Dalam studi

sebelumnya, Mas tidak terdeteksi di glomeruli tetapi hanya dalam

tubulus proksimal dan daerah juxtamedullary 22, meskipun

penghapusan global Mas menginduksi hyperfiltration dan

albuminuria.

2.5 Klasifikasi

Secara tradisional, pembagian dari nefropati diabetik terbagi

menjadi 5 tahap. Tahapan tahapannya adalah sebagai berikut 23 24 :

26

1) Tahap 1

Pada tahap ini Laju Filtrasi Glomerulus ( LFG ) meningkat sampai

dengan 40 % diatas normal yang disertai pembesaran ginjal.

Albuminuria belum nyata dan biasanya tekanan darah normal.

Tahap ini masih reversibel dan berlangsung 0 – 5 tahun sejak awal

diagnosis DM tipe 1 ditegakkan. Pengendalian glukosa darah yang

ketat dapat menormalkan fungsi maupun struktur ginjal.

2) Tahap 2

Pada tahap kedua ini sering disebut sebagai Silent Stage atau Tahap

Sepi. Terjadi setelah 5 – 10 tahun diagnosis DM ditegakkan dan

perubahan struktur ginjal tetap berlanjut. LFG masih meningkat.

Albuminuria meningkat setelah latihan jasmani, keadaan stress,

atau kendali metabolik yang memburuk.. Progresifitas biasanya

terkait dengan memburuknya keadaan metabolik

3) Tahap 3
Pada tahap ketiga ini merupakan tanda awal dari Nefropati

diabetik. Tahap ini disebut Incipien Diabetic Nephropathy, dimana

Mikroalbuminuria telah nyata. LFG masih tetap tinggi dan tekanan

darah sudah meningkat juga. Biasanya terjadi 10 -15 tahun sejak

diagnosis DM. Masih dapat dicegah dengan kendali glukosa dan

tekanan darah yang ketat. Secara histopatologis, terlihat juga

penebalan pada membrana basalis glomerulus.

27

4) Tahap 4

Merupakan tahap dimana nefropati diabetik bermanifestasi secara

klinis dengan proteinuria yang nyata dengan pemeriksaan biasa,

LFG sudah menurun dibawah normal (10 ml/menit/tahun). Terjadi

15-20 tahun setelah diagnosis DM. Penyulit diabetes sudah dapat

dijumpai : retinopati, neuropati, gangguan profil lemak, dan

gangguan vakular umum. Progresifitas ke arah gagal ginjal dapat

diperlambat dengan pengendalian glukosa darah, lemak darah, dan

tekanan darah

5) Tahap 5

Ini adalah tahap gagal ginjal, saat LFG sudah sedemikian rendah

sehingga penderita menunjukkan tanda-tanda sindrom uremik, dan

memerlukan tindakan khusus yaitu terapi pengganti, dialisis

maupun cangkok ginjal.

Pada DM tipe 2, pada saat diagnosis ditegakkan, sudah banyak

penderita yang mengalami mikro dan makroalbuminuria, karena


sebenarnya DM telah berlangsung bertahun-tahun sebelumnya. Lagipula

keberadaan albuminuria kurang spesifik untuk adanya nefropati diabetik.

Tanpa penanganan khusus 20-40 % dari tahap ini akan berlanjut kepada

nefropati nyata. Setelah terjadinya penurunan LFG maka laju penurunan

akan bervariasi secara individual, akan tetapi 20 tahun setelah keadaan ini,

28

hanya sekitar 20 % pada mereka yang berlanjut menjadi penyakit ginjal

tahap akhir (PGTA). Pada tahap ini tidak ada lagi perbedaan antara DM

tipe I dan tipe II. Begitupun karena usia penderita dengan DM tipe II lebih

tua, maka banyak pula penderita yang diiringi penyakit jantung koroner,

yang sering membuat penderita tak sampai mencapai PGTA. Akan tetapi

karena penanggulangan PJK dewasa ini telah lebih baik, maka banyak pula

penderita DM yang hidupnya cukup lama yaitu sampai mengalami gagal

ginjal.

Menurut Mogensen (1988. 1998) membagi stadium Nefropati

Diabetik menjadi 5 tahap, 24 yaitu :

1) Tahap 1

Terjadi hipertrofi dan hiperfiltrasi pada saat diagnosis ditegakkan.

Laju filtrasi glomerolus dan laju ekskresi albumin dalam urin

meningkat.

2) Tahap 2

Secara klinis belum tampak kelainan yang berarti, laju filtrasi

glomerolus tetap meningkat,ekskresi albumin dalam urin dan

tekanan darah normal. Terdapat perubahan histologis awal berupa


penebalan membrana basalis yang tidak spesifik. Terdapat pula

peningkatan mesangium fraksional

3) Tahap 3

Pada tahap ini ditemukan mikroalbuminuria. Laju filtrasi

glomerulus meningkat atau dapat menurun sampai derajat normal.

29

Laju ekskresi albumin dalam urin adalah 30-300 mg/24 jam.

Tekanan darah mulai meningkat. Secara histologis, didapatkan

peningkatan ketebalan membrana basalis dan volume mesangium

fraksional dalam glomerulus

4) Tahap 4

Merupakan tahap nefropati yang sudah lanjut. Perubahan histologis

lebih jelas, juga timbul hipertensi pada sebagian besar pasien.

Sindroma nefrotik sering ditemukan pada tahap ini. Laju filtrasi

glomerulus menurun, sekitar 10 ml/menit/tahun dan kecepatan

penurunan ini berhubungan dengan tingginya tekanan darah.

5) Tahap 5

Timbulnya gagal ginjal terminal

Tabel 2. Tahapan nefropati diabetik menurut Mogensen

Taha p

Kondisi AER LFG TD Prognosis

1 Hipertropi hiperfungsi

N ↑ N Reversibel
2 Kelainan struktur N ↑/N ↑/N Mungkin reversibel 3 Mikroalbuminuri a persisten 20-200
mg/menit ↑ ↑ Mungkin reversibel 4 Makroalbuniuria Proteinuria >200 mg/menit Rendah
Hipertens i Mungkin bisa stabilisasi 5 Uremia Tinggi/renda h <10 ml/meni t Hipertens Kesintasa
n 2 tahun + 50%

30

Gejala klinis dari Nefropati Diabetik meliputi 25:

1) Diabetes Melitus

Merupakan gelaja klinis yang merupakan sebab utama dari

penyakit ini.

2) Sindroma Uremia

Sindrom uremia yang terdiri dari lemah, letargi, anoreksia, mual

muntah, nokturia, kelebihan volume cairan, neuropati perifer,

pruritus, uremic frost, perikarditis, kejang-kejang sampai koma.

3) Komplikasi

Komplikasi dari penyakit ini bisa bermacam macam, berupa

hipertensi, anemia, osteodistrofi renal, payah jantung, asidosis

metabolik, dan gangguan keseimbangan elektrolit.

Gambaran laboratorium pasien dengan nefropati diabetik meliputi

25:

1) Sesuai dengan penyakit yang mendasarinya : Diabetes Melitus

2) Penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan

kreatinin serum, dan penurunan LFG.

3) Kelainan biokimia darah meliputi penurunan kadar hemoglobin,

peningkatan kadar asam urat, hiper atau hipokalemia,

hiponatremia, asidosis metabolik


31

4) Kelainan urinalisis meliputi proteinuria, hematuria, leukosuria,

cast, isostenuria.

2.6 Diagnosis

Untuk menegakkan diagnosis nefropati diabetes akibat DM tipe 1

atau DM tipe 2 harus dicari manifestasi klinis maupun laboratorium yang

menunjang penyakit dasarnya; Diabetes Melitus, maupun komplikasi yang

ditimbulkannya 23.

Diagnosis nefropati diabetik dimulai dari dikenalinya albuminuria

pada pasien DM, baik tipe 1 maupun tipe 2 23. Pada penderita dengan DM

tipe 1, pemeriksaan dilakukan setelah pubertas atau setelah 5 tahun

didiagnosis menderita DM. Sedangkan pada penderita dengan DM tipe 2

dimana onset penyakit terkadang tidak bisa ditentukan maka pemeriksaan

harus dimulai saat diagnosis DM ditegakkan.

2.7 Faktor resiko

1) Perbedaan tipe Diabetes Melitus

Sebuah studi yang dilakukan honey dkk ditahun 1962 dan

Thompson ditahun 1965 mengindikasikan kira-kira 90% pasien

DM tipe 1 dengan durasi 10 tahun sering ditemukan kejadian

glomerulosklerosis, meskipun separuh angka dari jumlah pasien

tersebut akan berkembang kearah persistensi proteinuria 27.

32

2) Perbedaan ras

Penelitian di Inggris membuktikan bahwa pada orang Asia jumlah


penderita nefropati diabetik lebih tinggi dibandingkan dengan

orang barat. Hal ini disebabkan karena penderita DM tipe 2 orang

Asia terjadi pada umur yang relatif lebih muda sehingga

berkesempatan mengalami nefropati diabetik lebih besar. Di

Thailand prevalensi nefropati diabetik dilaporkan sebesar 29,4%,

di Filipina sebesar 20,8%, sedang di Hongkong 13,1%. Di

Indonesia terdapat angka yang bervariasi dari 2,0% sampai 39,3%

13.

3) Perbedaan genetik

Faktor genetik yang menjadi titik berat disini adalah antigen HLA

B8, yang mempunyai peran dalam kepekaan terhadap nefrotoksis

noksa seperti reaksi vaskuler terhadap hormon vasoaktif, faal

trombosit dan inervasi simpatetik.

Penelitian menyimpulkan, hiperglikemik tak terkendali

meningkatkan faktor resiko nefropati pada DM tipe 1 bila disertai

faktor predisposisi genetik hipertensi 27.

4) Anemia

Brenner menyatakan teori hiperfiltrasi bahwa progresivitas

penyakit ginjal berawal dari perubahan hemodinamik glomerulus.

Kerusakan tubulointerstinal mengakibatkan penurunan laju filtrasi

glomerulus melalui berbagai cara sehingga mengakibatkan jejas

33

iskemia pada nefron.Ginjal merupakan organ perfusi baik, bila

dibandingkan antara berat organ dan asupan oksigen permenit.


Namun tekanan oksigen jaringan pada ginjal lebih rendah

dibandingkan organ lain. Hal ini berhubungan dengan struktur

morfologi korteks dan medulla yang berkelok memungkinkan laju

difusi oksigen dari arteri menuju vena sebelum masuk kapiler,hal

ini mengindikasikan rendahnya tekanan oksigen pada medulla dan

kortek ginjal 27.

5) Lama menderita diabetes melitus

Penelitian dilakukan Warram dkk,1996 pada pasien dengan

menderita diabetes mellitus tipe 1 mengindikasikan bahwa

peningkatan mikroalbuminuria dan persistensi proteinuria

meningkat seiring dengan lama durasi dari deteksi pasien terkena

diabetes. Sesudah 7 tahun pasien awal yang rata-rata berumur 9

tahun akan muncul tanda-tanda nefropati diabetic. Setelah 30 tahun

dievaluasi maka hasinlnya terjadi peningkatan mikroalbuminuria

sebesar 27% 27.

6) Konsumsi protein hewani

Protein hewani yang berlebihan dapat meningkatkan perubahan

perubahan hemodinamik intrarenal pada pasien yang telah

mempunyai dasar penyakit ginjal. Percobaan dari heidlana

dkk,1995 mengindikasikan bahwa diet kaya protein pada binatang

34

percobaan menyebabkan kenaikan filtrasi glomerulus, hipertensi

intraglomerulus, dan berakhir dengan kerusakan nefron 27.

7) Penyakit vaskular lain


Peningkatan vasokontriksi, hipertrofi vaskuler dan refraksi

vaskuler merupakan efek dari peningkatan tekanan darah. Ketiga

gangguan vaskuler tersebut akan meningkatkan tekanan darah yang

berkibat pada peningkatan progresifitas diabetik nefropati 27 .


NEFROPATI DIABETIK

Oleh: Yuyun Rindiastuti

Mahasiswa Fakultas Kedokteran UNS

BAB I

PENDAHULUAN

Nefropati Diabetika adalah komplikasi Diabetes mellitus pada ginjal yang

dapat berakhir sebagai gagal ginjal. Keadaan ini akan dijumpai pada 35-45%

penderita diabetes militus terutama pada DM tipe I. Pada tahun 1981 Nefropati

diabetika ini merupakan penyebab kematian urutan ke-6 di Negara barat dan saat

ini 25% penderita gagal ginjal yang menjalani dialisis disebabkan oleh karena

Diabetes mellitus teritama DM tipe II oleh karena DM tipe ini lebih sering dijumpai.(5)
Dibandingkan DM tipe II maka Nefropati Diabetika pada DM tipe I jauh lebih progresif dan
dramatis.(6) Dengan meremehkan penyakit DM maka bisa

berkomplikasi ke Nefropati diabetika. Berdasar studi Prevalensi mikroalbuminuria

(MAPS), hampir 60% dari penderita hipertensi dan diabetes di Asia menderita

Nefropati diabetik. Presentasi tersebut terdiri atas 18,8 % dengan Makroalbuminuria dan 39,8
% dengan mikroalbuminuria.(1)

Hipertensi merupakan suatu tanda telah adanya komplikasi makrovaskuler

dan mikrovaskuler pada Diabetes, Hipertensi dan diabetes biasanya ada

keterkaitan patofisiologi yang mendasari yaitu adanya resistensi insulin. Pasien

pasien diabetes tipe II sering mempunyai tekanan darah lebih tinggi atau sama
dengan 150/90mmHg. Beberapa penelitian klinik menunjukkan hubungan erat

tekanan darah dengan kejadian serta mortalitas kardiovaskuler, progresifitas

nefropati, retinopati (kebutaan). Kontrol tekanan darah dengan obat anti hipertensi

baik sistol dan diastole dan kontrol gula darah penderita pasien hipertensi dengan

diabetes telah terbukti dari beberapa penelitian. Bahwa terbukti menaikkan “life

expentacy”resiko stroke dan komplikasi kardiovaskuler pada pasien diabetes

meningkat bila disertai hipertensi.

Terutama pada wanita dengan diabetika, hipertensi dan LVH (Left

Ventrikel Hiperthrophy), nefropati diabetika dan disertai edema, pada keadaan ini

sering dipergunakan diuretika justru akan memperburuk prognosis menaikkan

mortalitas. Pasien diabetes, hipertensi, LVH dan nefropati diabetika mempunyai

resiko tinggi terhadap morbiditas dan mortalitas atau CVD (infark dan stroke).

Sebagai faktor prediksi adanya komplikasi vaskuler pada DM dan adanya

mikroalbuminuria. Oleh karena itu perlu adanya perhatian khusus terutama

kalangan medis untuk mencari upaya yang terbaik dalam usaha mencegah dan mengatasi
penyakit ini.(4)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Nefropati Diabetika adalah penyakit ginjal akibat penyakit DM yang merupakan penyebab
utama gagal ginjal di Eropa dan USA.(5) Ada 5 fase

Nefropati Diabetika. Fase I, adalah hiperfiltrasi dengan peningkatan GFR,

AER (albumin ekretion rate) dan hipertropi ginjal. Fase II ekresi albumin
relative normal (<30mg/24j) pada beberapa penderita mungkin masih terdapat

hiperfiltrasi yang mempunyai resiko lebih tinggi dalam berkembang menjadi

Nefropati Diabetik. Fase III, terdapat mikro albuminuria (30-300mg/24j). Fase

IV, Difstick positif proteinuria, ekresi albumin >300mg/24j, pada fase ini

terjadi penurunan GFR dan hipertensi biasanya terdapat. Fase V merupakan

End Stage Renal Disease (ESRD), dialisa biasanya dimulai ketika GFRnya sudah turun sampai
15ml/mnt.(2)

B. Etiologi

Hipertensi atau tekanan darah yang tinggi merupakan komplikasi dari

penyakit DM dipercaya paling banyak menyebabkan secara langsung

terjadinya Nefropati Diabetika. Hipertensi yang tak terkontrol dapat

meningkatkan progresifitas untuk mencapai fase Nefropati Diabetika yang lebih tinggi (Fase V
Nefropati Diabetika).(9)

C. Faktor Resiko

Tidak semua pasien DM tipe I dan II berakhir dengan Nefropati

Diabetika. Dari studi perjalanan penyakit alamiah ditemukan beberapa faktor

resiko antara lain:

1. Hipertensi dan prediposisi genetika

2. Kepekaan (susceptibility) Nefropati Diabetika

a. Antigen HLA (human leukosit antigen)

Beberapa penelitian menemukan hubungan Faktor

genetika tipe antigen HLA dengan kejadian Nefropati

Diabetik. Kelompok penderita diabetes dengan nefropati

lebih sering mempunyai Ag tipe HLA-B9


b. Glukose trasporter (GLUT)

Setiap penderita DM yang mempunyai GLUT 1-5

mempunyai potensi untuk mendapat Nefropati Diabetik.

3. Hiperglikemia 4. Konsumsi protein hewani(10)

D. Patofisiologi

Pada diabetes perubahan pertama yang terlihat pada ginjal adalah

pembesaran ukuran ginjal dan hiperfiltrasi. Glukosa yang difiltrasi akan

direabsorbsi oleh tubulus dan sekaligus membawa natrium, bersamaan dengan

efek insulin (eksogen pada IDDM dan endogen pada NIDDM) yang

merangsang reabsorbsi tubuler natrium, akan menyebabkan volume ekstrasel

meningkat, terjalah hiperfiltrasi. Pada diabetes, arteriole eferen, lebih sensitive

terhadap pengaruh angiotensin II dibanding arteriole aferen,dan mungkin

inilah yang dapat menerangkan mengapa pada diabetes yang tidak terkendali tekanan
intraglomeruler naik dan ada hiperfiltrasi glomerus.(6)

E. Gambaran Klinik

Progresifitas kelainan ginjal pada diabetes militus tipe I (IDDM) dapat

dibedakan dalam 5 tahap:

1. Stadium I (Hyperfiltration-Hypertropy Stage)

Secara klinik pada tahap ini akan dijumpai:

Hiperfiltrasi: meningkatnya laju filtrasi glomerules mencapai 20

50% diatas niali normal menurut usia.

Hipertrofi ginjal, yang dapat dilihat melaui foto sinar x.

Glukosuria disertai poliuria.

Mikroalbuminuria lebih dari 20 dan kurang dari 200 ug/min.


5

2. Stadium II (Silent Stage)

Ditandai dengan:

Mikroalbuminuria normal atau mendekati normal (<20ug/min).

Sebagian penderita menunjukan penurunan laju filtrasi glomerulus

ke normal. Awal kerusakan struktur ginjal

3. Stadium III (Incipient Nephropathy Stage)

Stadium ini ditandai dengan:

Awalnya dijumpai hiperfiltrasi yang menetap yang selanjutnya

mulai menurun

Mikroalbuminuria 20 sampai 200ug/min yang setara dengan

eksresi protein 30-300mg/24j.

Awal Hipertensi.

4. Stadium IV (Overt Nephroathy Stage)

Stadium ini ditandai dengan:

Proteinuria menetap(>0,5gr/24j).

Hipertensi

Penurunan laju filtrasi glomerulus.

5. Stadium V (End Stage Renal Failure)

Pada stadium ini laju filtrasi glomerulus sudah mendekati nol dan

dijumpai fibrosis ginjal.Rata-rata dibutuhkan waktu15-17 tahun untuk

sampai pada stadium IV dan5-7tahun kemudian akan sampai stadiumV.

Ada perbedaan gambaran klinik dan patofisiologi Nefropati

Diabetika antara diabetes mellitus tipe I (IDDM) dan tipe II (NIDDM).


Mikroalbuminuria seringkali dijumpai pada NIDDM saat diagnosis

ditegakkan dan keadaan ini serigkali reversibel dengan perbaikan status

metaboliknya. Adanya mikroalbuminuria pada DM tipe II merupakan

prognosis yang buruk.

F. Diagnosis

Atas dasar penelitian kasus-kasus di Surabaya, maka berdasarkan

visibilitas, diagnosis, manifestasi klinik, dan prognosis, telah dibuat kriteria

diagnosis klasifikasi Nefropati Diabetika tahun 1983 yang praktis dan

sederhana. Diagnosis Nefropati Diabetika dapat dibuat apabila dipenuhi

persyaratan seperti di bawah ini:

1. DM

2. Retinopati Diabetika

3. Proteinuri yang presisten selama 2x pemeriksaan interval 2 minggu tanpa

penyebab proteinuria yang lain, atau proteinuria 1x pemeriksaan plus kadar kreatinin serum
>2,5mg/dl.(8)

Data yang didapatkan pada pasien antara lain pada:

1. Anamnesis

Dari anamnesis kita dapatkan gejala-gejala khas maupun keluhan tidak

khas dari gejala penyakit diabetes. Keluhan khas berupa poliuri, polidipsi,

polipagi, penurunan berat badan. Keluhan tidak khas berupa: kesemutan, luka sukar sembuh,
gatal-gatal pada kulit, ginekomastia, impotens.(8)

2. Pemeriksaan Fisik

a. Pemeriksaan Mata

Pada Nefropati Diabetika didapatkan kelainan pada retina yang


merupakan tanda retinopati yang spesifik dengan pemeriksaan

Funduskopi, berupa :

1). Obstruksi kapiler, yang menyebabkan berkurangnya aliran darah

dalam kapiler retina.

2). Mikroaneusisma, berupa tonjolan dinding kapiler, terutama daerah

kapiler vena.

3). Eksudat berupa :

a). Hard exudate. Berwarna kuning, karena eksudasi plasma yang

lama.

b). Cotton wool patches.

Berwarna putih, tak berbatas tegas, dihubungkan dengan

iskhemia retina.

4). Shunt artesi-vena, akibat pengurangan aliran darah arteri karena

obstruksi kapiler.

5). Perdarahan bintik atau perdarahan bercak, akibat gangguan

permeabilitas mikroaneurisma atau pecahnya kapiler.

6). Neovaskularisasi

Bila penderita jatuh pada stadium end stage (stadium IV-V) atau

CRF end stage, didapatkan perubahan pada :

− Cor

cardiomegali

− Pulmo
oedem pulmo(3)

3. Pemeriksaan Laboratorium

Proteinuria yang persisten selama 2 kali pemeriksaan dengan interval 2

minggu tanpa ditemukan penyebab proteinuria yang lain atau proteinuria satu kali pemeriksaan
plus kadar kreatinin serum > 2,5 mg/dl.(8)

4. Penatalaksanaan

A. Nefropati Diabetik Pemula (Incipatien diabetic nephropathy)

1. Pengendalian hiperglikemia

Pengendalian hiperglikemia merupakan langkah penting untuk

mencegah/mengurangi semua komplikasi makroangiopati dan

mikroangiopati.

a. Diet

Diet harus sesuai dengan rekomendasi dari Sub Unit

Endokrinologi & Metabolisme, misalnya reducing diet khusus

untuk pasien dengan obesitas. Variasi diet dengan pembatasan

protein hewani bersifat individual tergantung dari penyakit

penyerta :

− Hiperkolesterolemia

− Urolitiasis (misal batu kalsium)

− Hiperurikemia dan artritis Gout

− Hipertensi esensial

b. Pengendalian hiperglikemia
1). Insulin

Optimalisasi terapi insulin eksogen sangat penting .

a). Normalisasi metabolisme seluler dapat mencegah

penimbunan toksin seluler (polyol) dan metabolitnya

(myoinocitol)

b). Isnulin dapat mencegah kerusakan glomerulus

c). Mencegah dan mengurangi glikolisis protein

glomerulus yang dapat menyebabkan penebalan

membran basal dan hilangnya kemampuan untuk seleksi

protein dan kerusakan glomerulus (permselectivity).

d). Memperbaiki fatal tubulus proksimal dan mencegah

reabsorpsi glukosa sebagai pencetus nefomegali.

Kenaikan konsentrasi urinary N-acetyl-D

glucosaminidase (NAG) sebagai petanda hipertensi

esensial dan nefropati.

e). Mengurangi dan menghambat stimulasi growth

hormone (GH) atau insulin-like growth factors (IGF-I)

sebagai pencetus nefromegali.

f). Mengurangi capillary glomerular pressure (Poc)

2). Obat antidiabetik oral (OADO)

Alternatif pemberian OADO terutama untuk pasien-pasien

dengan tingkat edukasi rendah sebagai upaya memelihara

kepatuhan (complience). Pemilihan macam/tipe OADO

harus diperhatikan efek farmakologi dan farmakokinetik


antara lain :

a). Eleminasi dari tubuh dalam bentuk obat atau

metabolitnya.

b). Eleminasi dari tubuh melalui ginjal atau hepar.

c). Perbedaan efek penghambat terhadap arterial smooth

muscle cell (ASMC).

d). Retensi Na+ sehingga menyebabkan hipertensi.

2. Pengendalian hipertensi

Pengelolaan hipertensi pada diabetes sering mengalami kesulitan

berhubungan dengan banyak faktor antara lain : (a) efikasi obat

antihipertensi sering mengalami perubahan, (b) kenaikan risiko

efek samping, (c) hiperglikemia sulit dikendalikan, (d) kenaikan

lipid serum.

Sasaran terapi hipertensi terutama mengurangi/mencegah angka

morbiditas dan mortalitas penyakit sistem kardiovaskuler dan

mencegah nefropati diabetik. Pemilihan obat antihipertensi lebih

terbatas dibandingkan dengan pasien angiotensin-corverting (EAC)

a. Golongan penghambat enzim angiotensin-coverting (EAC)

Hasil studi invitro pada manusia penghambat EAC dapat

mempengaruhi efek Ang-II (sirkulasi dan jaringan).

Kontraksi Sel-sel otot polos vaskuler

Hipertensi
Aterosklerosis Faktor pertumbuhan Sel-sel mesangial Glomerulosklerosis Agg-II
Kardiomiosit Hipertrofi ventrikel kiri ↑ Tonus saraf simpangan tetik Sel-sel otot polos
vaskuler Hipertensi Kardiomiosit Hipertrofi ventrikel kiri

Gambar efek patologi angiotensin-II

b. Golongan antagonis kalsium

Mekanisme potensial untuk meningkatkan risiko (efek

samping):

1) Efek inotrofik negatif

2) Efek pro-aritmia

3) Efek pro-hemoragik

Peneliti lain masih mengajurkan nifedipine GITSs atau non

dihydropiridine.

c. Obat-obat antihipertensi lainnya dapat diberikan tetapi harus

memperhatikan kondisi setiap pasien :

10

Blokade β-kardioselektif dengan aktivitaas intrinsik

simpatetik minimal misal atenolol.

Antagonis reseptor α-II misal prozoasin dan doxazosin.

Vasodilator murni seperti apresolin, minosidil kontra

indikati untnuk pasien yang sudah diketahui mengidap

infark miokard.

3. Mikroalbuminuria
a. Pembatasan protein hewani

Sudah lebih ½ abad (50 tahun) diketahui bahwa diet rendah

protein (DRP) mencegah progresivitas perjalanan penyakit dari

penyakit ginjal eksperimen, tetapi mekanismenya masih belum

jelas.

Pembatasan konsumsi protein hewani (0,6-0,8 per kg BB per

hari) dapat mengurangi nefromegali, memperbaiki struktur

ginjal pada nefropati diabetik (ND) stadium dini Hipotesis DRP

untuk mencegah progresivitas kerusakan ginjal:

1) Efek hemodinamik

Perubahan hemodinamik intrarenal terutama penurunan

LFG, plasma flow rate (Q) dan perbedaan tekanan-tekanan

hidrolik transkapiler, berakhir dengan penurunan tekanan

kapiler glomerulus (PGC = capillarry glomerular preessure)

2) Efek non-hemodinamik

Memperbaiki selektivitas glomerulus

Kenaikan permeabilitas dinding kapiler glomerulus

menyebabkan transudasi circulating macromolecules

termasuk lipid ke dalam ruang subendotelial dan

mesangium. Lipid terutama oxidize LDL merangsang

sintesis sitokin dan chemoattractant dan penimbunan

sel-sel inflamasi terutama monosit dan makrofag.


Penurunan ROS

11

Bila pH dalam tubulus terutama lisosom bersifatt asam

dapat menyebabkan disoasi Fe dari transferrin akibat

endositosis. Kenaikan konsentrasi Fe selular

menyebabkan pembentukan ROS.

Penurunan hipermetabolisme tubular

Konsumsi (kebutuhan) O2 meningkat pada nefron yang masih utuh (intac), diikuti peningkatan
transport Na+ dalam tubulus dan merangsang pertukaran Na+/H+.

DRP diharapkan dapat mengurangi energi untuk

transport ion dan akhirnya mengurangi

hipermetabolisme tubulus.

Mengurangi growth factors & systemic hormones

Growth factors memegang peranan penting dalam

mekanisme progresivitas kerusakan nefron (sel-sel

glomerulus dan tubulus).

DRP diharapkan dapat mengurangi :

− Pembentukan transforming growth factor beta

(TGF-β dan platelet-derived growth factors

(PDGF).

− Konsentrasi insulin-like growth factors (IGF-1),

epithelial-derived growth factors (EDGF), Ang-II


(lokal dan sirkulasi), dan parathyroid hormones

(PTH).

3) Efek antiproteinuria dari obat antihipertensi

Penghambat enzim angiotensin-converting (EAC) sebagai

terapi tunggal atau kombinasi dengan antagonis kalsium

non-dihydropiridine dapat mengurangi proteinuria disertai

stabilisasi faal ginjal.

B. Nefropati diabetik nyata (overt diabetic nephropathy)

Manajemen nefropati diabetik nyata tergantung dari gambaran klinis;

tidak jarang melibatkan disiplin ilmu lain.

12

Prinsip umum manajemen nefropati diabetik nyata :

1. Manajemen Utama (esensi)

a. Pengendalian hipertensi

1) Diet rendah garam (DRG)

Diet rendah garam (DRG) kurang dari 5 gram per hari penting untuk mencegah retensi Na+
(sembab dan

hipertensi) dan meningkatkan efektivitas obat antihipertensi

yang lebih proten.

2) Obat antihipertensi

Pemberian antihipertensi pada diabetes mellitus merupakan

permasalahan tersendiri. Bila sudah terdapat nefropati

diabetik disertai penurunan faal ginjal, permasalahan lebih

rumit lagi.
Beberapa permasalahan yang harus dikaji sebelum

pemilihan obat antihipertensi antara lain :

a) Efek samping misal efek metabolik

b) Status sistem kardiovaskuler.

− Miokard iskemi/infark

− Bencana serebrovaskuler

c) Penyesuaian takaran bila sudah terdapat insufisiensi

ginjal.

b. Antiproteinuria

1) Diet rendah protein (DRP)

DRP (0,6-0,8 gram per kg BB per hari) sangat penting

untuk mencegah progresivitas penurunan faal ginjal.

2) Obat antihipertensi

Semua obat antihipertensi dapat menurunkan tekanan darah

sistemik, tetapi tidak semua obat antihipertensi mempunyai

potensi untuk mengurangi ekskresi proteinuria.

a) Penghambat EAC

13

Banyak laporan uji klinis memperlihatkan penghambat

EAC paling efektif untuk mengurangi albuminuria

dibandingkan dengan obat antihipertensi lainnya.

b) Antagonis kalsium

Laporan studi meta-analysis memperlihatkan antagonis

kalsium golongan nifedipine kurang efektif sebagai


antiproteinuric agent pada nefropati diabetik dan

nefropati non-diabetik.

c) Kombinasi penghambat EAC dan antagonis kalsium

non dihydropyridine.

Penelitian invitro dan invivo pada nefropati diabetik

(DMT) kombinasi penghambar EAC dan antagonis

kalsium non dihydropyridine mempunyai efek.

3) Optimalisasi terapi hiperglikemia

Keadaan hiperglikemi harus segera dikendalikan menjadi

normoglikemia dengan parameter HbA1c dengan insulin

atau obat antidiabetik oral (OADO).

2. Managemen Substitusi

Program managemen substitusi tergantung dari kompliaksi kronis

lainnya yang berhubungan dengan penyakit makroangiopati dan

mikroangiopati lainnya.

a) Retinopati diabetik

Terapi fotokoagulasi

b) Penyakit sistem kardiovaskuler

Penyakit jantung kongestif

Penyakit jantung iskemik/infark

c) Bencana serebrovaskuler
Stroke emboli/hemoragik

d) Pengendalian hiperlipidemia

Dianjrkan golongan sinvastatin karena dapat mengurangi

konsentrasi kolesterol-LDL.

14

C. Nefropati diabetik tahap akhir (End Stage diabetic nephropathy)

Gagal ginjal termasuk (GGT) diabetik

Saat dimulai (inisiasi) program terapi pengganti ginjal sedikit berlainan

pada GGT diabetik dan GGT non-diabetik karena faktor indeks ko

morbiditas. Pemilihan macam terapi pengganti ginjal yang bersifat

individual tergantung dari umur, penyakit penyertaa dan faktor indeks

ko-morbiditas.

15

BAB III

KESIMPULAN

1. Nefropati Diabetika adalah komplikasi Diabetes Mellitus pada ginjal yang

dapat berakhir sebagai gagal ginjal.

2. Diagnosa Nefropati Diabetika ditegakkan apabila memenuhi persyaratan

sebagai berikut :

a. DM

b. Retinopati Diabetika

c. Proteinuria yang persisten selama 2 kali pemeriksaan dengan interval 2

minggu tanpa ditemukan penyebab proteinuria yang lain atau proteinuria


satu kali pemeriksaan piks kadarr kreatinin serum > 2,5 mg/dl.

3. Manajemen Nefropati Diabetika tergantung pada presentasi klinis, yaitu saat:

Incipient diabetic nephropathy, Over diabetic nephropathy,atau End stage

diabetic nephropathy.

16

DAFTAR PUSTAKA

1. American Diabetes Association. 2004. Hypertension Management in adults with diabetes


(position statement). Diabetes Care (Suppl 1): S65-S67.

2. American Diabetes Association. 1994. Standards of medical care for patients with diabetes
mellitus. Diabetes Care : pp. 616-623.

3. Beetham W. P. 1963. Visual Prognosis of Proliferating Diabetic Retinopathy. Brit. J. Opth. P.


611.

4. Bergstroom J. 1999. Mechanism of Uremic Supression of Apetite. Journal of Renal Nutrition.


hal 129-132.

5. Daniel W. Foster. 1994. Diabetes Mellitus in Harrison Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam.
Edisi 13, EGC. Jakarta. Hal 2212-2213.

6. Djokomuljanto R. 1999. Insulin Resistance and Other Factors in the Patogenesis of Diabetic
Nephropathy. Simposium Nefropati Diabetik. Konggres Pernefri.

7. Imam Parsudi A. 1993. “Nefropati Diabetik” konggres Nasional Perkemi III 1993: 225-235.

8. Lestariningsih. 2004. Hipergensi pada Diabetik PIT V PERKENI 2004. Semarang. hal 1-5.

9. Saweins Walaa. 2004. The Renal Unit at the Royal Informary of Edinburgh. Scotland, Uk,
Renal @ed.ac.uk.

10. Sukandar E. 1997. Tinjauan Umum Nefropati Diabetik in Nefropati Klinik. Edisi ke-2. Penerbit
ITB. Bandung. Hal 274-281.
2󰀵
penyakit ginjal kronik yang terjadi diakibatkan karena penyakit diabetes yang diderita pasien selama > 17 tahun.
Menurut tahapan Mogensen, pasien ini dapat digolongkan nefropati diabetik tahap 5, karena ditemukan ekskresi
albumin tinggi, LFG yang rendah < 10 ml/menit (6,42), serta hipertensi. Pasien ini didiagnosa dengan CKD stg V
ec susp DKD dd PNC, uremic lung, anemia ringan N-N on CKD, hiponatremia hipoosmolar kronis
asimptomatik, DM, observasi kardiomegali ec suspect HHD/FC II, Hipertensi stadium II. Penatalaksanaan pada
pasien ini diberikan IVFD NS 8 tts/mnt, diet 35 kkal+1,2 gr protein/kgBB/hr, asam folat 2x4 mg, CaCO3 3x 500
mg, captopril 2x25 mg tab, amlodipin 1x10 mg, Irbesartan 1x150mg, novorapid 3x6 IU/hr, HD cito.

2󰀵
DAFTAR PUSTAKA
1.

Foster, D.W., Unger, R.H., (1998), DM, in:


Williams Textbook of Endocrinology
, 9th ed, WB Saunders, Philadelphia, Pg 973-1039. 2.

Waspadji, S., (1996), Komplikasi Kronik DM: Pengenalan dan Penanganannya. dalam:
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
, edisi ketiga, Gaya Baru, Jakarta, hal. 597-614. 3.

Sundoyo, Ari W,
dkk
. (Juni 2006), Penyakit Ginjal Diabetik, dalam:
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Edisi IV Jilid II, Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam, FKUI, Jakarta, Hal. 545-547. 4.

Perkeni.
Konsensus Pengelolaan DM Tipe 2 Di Indonesia
. Jakarta: PB Perkeni; 2006. 5.

Bethesda.”Kidney Disease of Diabetes” Available at: http: // www. kidney. niddk. nih. gov / kudiseases /
pubs / kdd / index.htm. Accessed; Januari 8, 2010. 6.

“Diabetic Nephropathy”, (2006, August 30-last update), Available at:


http://www.diabetes.org.uk/ (Accessed: 8 Januari 2010). 7.
Joshua, A.,”Diabetic Nephropathy”, Available at: http: // www. Cleveland clinicmeded. com /
disease management/ nephrology.htm. (Accessed: 8 Januari 2010) . 8.

Micahl, T. “Diabetic Nephropathy: Common Questions”, Available at:


http://www.aafp.org/afp/20050701/96.html. (Accessed 8 Januari 2010). 9.

Goldman Ausiello. Cecil Essential of Medicine. “Diabetes and The Kidney”. WB Saunders Company, USA,
l997. 10.

DeFronzo RA, (1996), Diabetic Nephropathy. In:


Ellendberg & Rifkin’s DM,
5
th
ed. Connecticut: Appleton Lange. pp: 971-1008. 11.

Hendromartono. (Juni 2006), Nefropati Diabetik. Dalam:


Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
. Edisi IV Jilid III, Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam, FKUI, Jakarta, Hal. 1920-1923 12.

Michael, S., “Diabetic Nephropathy: Clinical Evidence Concise”, Available at:


http://www.aafp.org/afp/20051201/bmj.html, (Accessed 8 Januari 2010). 13.

Micahl, T. “Diabetic Nephropathy: Common Questions”, Available at:


http://www.aafp.org/afp/20050701/96.html. (Accessed 8 Januari 2010). 14.

“Diabetic Nephropathy”. Available at:http://en.wikipedia.org/wiki/ Diabeticnephropathy . (Accessed 8 Januari


2010).
2󰀵
15.

“Diabetic Nephropathy” (2006, July 25 – last update). Available at:


http://renux.dmed.ed.ac.uk/edren/EdRenINFObits/Diabetic_nephLong.html (Accessed 8 Januari 2010). 16.

Nicholas Robertloon, MB, BCh, BAO. Diabetic Kidney Disease: Preventing Dialysis and Transplantation.
Clinical Diabetes. Vol. 21:2. 2003 17.

Perkeni. (2002),
Petunjuk Praktis Pengelolaan DM Tipe 2
. Jakarta: PB Perkeni. 18.

Steigerwalt S, MD, FACP. Management hypertension in Diabetic Patient With Chronic Kidney Disease.
Diabetes Spectrum. Vol.21: 1. 2008 19.

“Diabetes and Cardiovascular Disease Review”, Available at: http: // www. diabetes. org / uedocuments /
ADA cardioreview_2pdf . (Accessed 8 Januari 2010) 20.
Williams G H. Hipertensive vascular disease. In: Harrison’s of internal medicine. 15
th
ed. India: Mc Graw-Hill. 2003; 1: 1414-1377. 21.

Powers AC. DM. In: Harrison’s of internal medicine. 15


th
ed. India: Mc Graw-Hill. 2003; 2: 2109-2137 22.

Chobanian, AV et al.
The Seventh Report of the Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and
Treatment of High Blood Pressure.
JAMA. 2003;289;19; pp
2560-2572

Anda mungkin juga menyukai