Anda di halaman 1dari 49

PENERAPAN TATA KELOLA PERUSAHAAN YANG BAIK (GOOD

CORPORATE GOVERNANCE) DI PT. PLN (PERSERO) UP 3

PURWOKERTO

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Syarat Menyusun Skripsi Pada Fakultas Hukum Universitas

Jenderal Soedirman

DISUSUN OLEH :

MARTHA INDAH RESHMAWATI

E1A015227

KEMENTRIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

FAKULTAS HUKUM

PURWOKERTO

2019
1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kegiatan perekonomian merupakan sebuah tiang penyangga

kehidupan di seluruh negara. Tak terkecuali di negara Indonesia, kegiatan

perekonomian adalah hal yang memiliki kontribusi besar dalam proses

pembangunan bangsa. Dimensi pengaturan ekonomi dan kesejahteraan sosial

ini tertuang di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945 Pasal 33 khususnya ayat (2) dan ayat (3) yang merumuskan

bahwa :

(2) Cabang-cabang produksi penting bagi Negara dan yang menguasai

hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara.

(3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai

oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran

rakyat.

Pasal tersebut merupakan konsekuensi dari tujuan berdirinya negara

Indonesia, yang terdapat dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 pada alinea ke-4 yang merumuskan bahwa :

“Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara


Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban
dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan
sosial.”

Berdasarkan Pasal 33 UUD 1945, penguasaan oleh negara bersifat

penting agar kesejahteraan rakyat terjamin dengan dapatnya rakyat


2

memanfaatkan sumber-sumber kemakmuran rakyat yang berasal dari bumi,

air, dan kekayaan alam didalamnya. Guna menjalankan penguasaan tersebut,

negara melalui pemerintah kemudian membentuk suatu Badan Usaha Milik

Negara (BUMN) yang semula dikenal dengan sebutan Perusahaan Negara.

Keberadaan Perusahaan Negara atau Badan Usaha Milik Negara

(BUMN) sebagai salah satu pilar dalam kegiatan perekonomian Indonesia.

Menurut Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang

Badan Usaha Milik Negara (selanjutnya disebut UU BUMN), BUMN adalah

Badan Usaha yang seluruhnya atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh

Negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan

Negara yang dipisahkan.

Pasal tersebut memberikan suatu penjelasan bahwa BUMN

merupakan suatu unit usaha yang sebagian besar atau seluruh modalnya

berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan untuk membuat suatu produk

atau jasa serta mengelola sumber-sumber alam yang sebesar-besarnya tidak

lain digunakan untuk kemakmuran rakyat.

Pada tahun 1997 bangsa Indonesia mengalami krisis ekonomi dan

pencapaian kinerja BUMN yang terburuk pada masa itu, BUMN yang pada

dasarnya merupakan sebuah badan usaha yang bergerak dibawah pemerintah,

pada era tersebut menjadi sumber pemasukan dana pribadi bagi oknum-

oknum yang memanfaatkan jabatannya untuk mendapatkan keuntungan atau

yang lebih dikenal dengan praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).

Krisis ekonomi tersebut dipandang sebagai akibat dari lemahnya praktik Tata
3

Kelola Perusahaan yang Baik (Good Corporate Governance) pada

perusahaan yang ada. Kondisi tata kelola perusahaan yang buruk ini akan

menyebabkan tidak terjadinya peningkatan nilai dan kinerja perusahaan yang

maksimal.

Istilah Good Corporate Governance (GCG) pertama kali

diperkenalkan oleh Cadbury Committee pada tahun 1992. Cadbury Report

mendefinisikan tata kelola perusahaan yang baik sebagai suatu sistem yang

mengarahkan dan mengendalikan perusahaan dengan tujuan agar mencapai

keseimbangan antara kekuatan kewenangan yang diperlukan oleh perusahaan

untuk menjamin kelangsungan eksistensinya dan pertanggungjawaban kepada

stakeholder.1

Corporate Governance juga dapat didefinisikan sebagai suatu proses

dan struktur yang digunakan oleh organ perusahaan (Pemegang Saham atau

Pemilik Modal, Komisaris atau Dewan Pengawas dan Direksi) untuk

meningkatkan usaha dan akuntabilitas perusahaan guna mewujudkan nilai

pemegang saham dalam jayat panjang dengan tetap memperhatikan

kepentingan stakeholder lainnya, berlandaskan peraturan perundang-

undangan dan nilai etika.2

Praktek GCG mempunyai kontribusi yang cukup besar terhadap

kinerja suatu perusahaan. GCG bukan hanya membentuk sistem Check and

Balance yang efektif dan meminimalisasi mismanagement akan tetapi lebih

1
Indra Surya & Ivan Yustiavandana, Penerapan Good Corporate Governance
(Mengesampingkan Hak-hak Istimewa Demi Kelangsungan Usaha), Kencana, Jakarta 2006, hlm
25
2
Adrian Sutedi, Good Corporate Governance, Sinar Grafika, Jakarta, 2011, hlm 1
4

dari itu Good Corporate Governance akan menjamin kokohnya korporasi

seiring dengan meningkatnya kinerja melalui terciptanya proses pengambilan

keputusan yang lebih baik dan efisien.

Sejak krisis ekonomi tersebut pemerintah mengeluarkan berbagai

regulasi yang mengatur tentang perusahaan dan memuat prinsip-prinsip

mengenai tata kelola perusahaan yang baik. Seperti yang terdapat dalam

penjelasan umum UU BUMN yang menjelaskan bahwa untuk dapat

mengoptimalkan perannya dan mampu mempertahankan keberadaannya

dalam perkembangan ekonomi dunia yang semakin terbuka dan kompetitif,

BUMN perlu menumbuhkan budaya korporasi dan profesionalisme antara

lain melalui pembenahan pengurusan dan pengawasannya. Pengurusan dan

pengawasan BUMN harus dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip tata kelola

perusahaan yang baik (Good Corporate Governance).

Semangat perbaikan ekonomi dan reformasi pasca terjadinya krisis

ekonomi tersebut diwujudkan juga dengan pemberlakuan Peraturan Menteri

Negara Badan Usaha Milik Negara Nomor : Per-01/MBU/2011 tentang

Penerapan Tata Kelola Perusahaan yang Baik (Good Corporate Governance)

pada Badan Usaha Milik Negara menggantikan Keputusan Menteri Badan

Usaha Milik Negara Nomor : KEP-117/M-MBU/2002 tentang Penerapan

Praktek Good Corporate Governance Pada Badan Usaha Milik Negara

(BUMN).

Menurut Peraturan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Nomor

: Per-01/MBU/2011 untuk menjalankan sistem GCG harus sesuai dengan


5

prinsip-prinsip GCG itu sendiri, yaitu prinsip keterbukaan (Transparency),

akuntabilitas (Accountability), pertanggungjawaban (Responsibility),

kemandirian (Indenpendency), dan kewajaran (fairness). Selain harus

berdasarkan pada prinsip-prinsip yang telah ditetapkan, berjalannya suatu

sistem GCG juga bergantung pada kualitas dari sumber daya manusia (SDM)

di suatu perusahaan sebagai pelaksana sistem GCG tersebut.

Sebagai salah satu BUMN, PT. PLN (Persero) memiliki kewajiban

untuk menerapkan GCG sebagaimana diamanatkan di dalam Peraturan

Menteri Negara BUMN Nomor: PER-01/MBU/2011 tentang Penerapan Tata

Kelola Perusahaan Yang Baik (Good Corporate Governance) Pada Badan

Usaha Milik Negara. PT. PLN (Persero) merupakan sebuah perusahaan yang

bertujuan menyelenggarakan usaha penyediaan tenaga listrik bagi

kepentingan umum dalam jumlah dan mutu yang memadai serta memupuk

keuntungan dan melaksanakan penugasan pemerintah di bidang

ketenagalistrikan dalam rangka menunjang pembangunan, maka PT. PLN

(Persero) wajib menerapkan Tata Kelola Perusahaan yang Baik secara

konsisten.

Berkaitan dengan apa yang telah diuraikan di atas, maka peneliti

tertarik untuk meneliti mengenai Tata Kelola Perusahaan yang Baik (Good

Corporate Governance) dan selanjutnya dirumuskan dalam penelitian yang

berjudul “PENERAPAN PRINSIP TATA KELOLA PERUSAHAAN

YANG BAIK (GOOD CORPORATE GOVERNANCE) DI PT. PLN

(PERSERO) UP 3 PURWOKERTO”.
6

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan di atas

maka dapat dirumuskan permasalahan, yaitu bagaimana penerapan prinsip

Tata Kelola Perusahaan yang Baik (Good Corporate Governance) di PT.

PLN (Persero) UP 3 Purwokerto?

C. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini,

maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui penerapan prinsip Tata

Kelola Perusahaan yang Baik (Good Corporate Governance) di PT. PLN

(Persero) UP 3 Purwokerto.

D. Kegunaan Penelitian

1. Secara Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah

kepustakaan ilmu hukum khususnya Hukum Perusahaan yaitu mengenai

penerapan prinsip Tata Kelola Perusahaan yang Baik (Good Corporate

Governance) di PT. PLN (Persero) UP 3 Purwokerto, sehingga hukum

dapat selalu selaras dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.

2. Secara Praktis

Hasil dari penelitian ini diharapkan berguna untuk memberikan

informasi kepada khalayak umum sesuai dengan cara penerapan di

masyarakat penerapan prinsip Tata Kelola Perusahaan yang Baik (Good

Corporate Governance) di PT. PLN (Persero) UP3 Purwokerto. Penelitian


7

ini juga diharapkan bisa menjadi sumbangan pemikiran dalam memahami

ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan Good

Corporate Governance terutama prinsip GCG di lingkungan BUMN, serta

dapat dijadikan sebagai masukan dan menjadi pertimbangan kepada PT.

PLN (Persero) UP 3 Purwokerto dalam melaksanakan prinsip Good

Corporate Governance yang dapat meningkatkan kinerja perusahaan.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Perseroan Terbatas

1. Pengertian Perseroan Terbatas

Perseroan Terbatas pada awalnya dikenal dengan nama Naamloze

Vennootschaap (NV) ialah suatu badan hukum, artinya bahwa ia dapat

mengikatkan diri dan melakukan perbuatan-perbuatan hukum seperti orang

pribadi (Natuurlijk Persoon) dan dapat mempunyai kekayaan atau hutang.3

Istilah perseroan terbatas (selanjutnya disebut PT) terdiri dari dua

kata, yaitu Perseroan dan Terbatas. Perseroan merujuk pada modal PT

yang terdiri atas sero-sero atau saham-saham. Adapun kata terbatas

merujuk pada tanggung jawab pemegang saham yang luasnya hanya

terbatas pada nilai nominal semua saham yang dimilikinya.4

Pada awalnya PT diatur dalam KUHD, namun selama perjalanan

waktu tersebut telah banyak terjadi perkembangan ekonomi dan dunia

usaha, baik nasional maupun internasional. Hal ini mengakibatkan KUHD

tidak sesuai lagi dengan tuntutan perkembangan. Untuk mengatasi hal ini

dan untuk memenuhi kebutuhan hukum yang sesuai dengan tuntutan

perkembangan dan pembangunan nasional, diadakan pembaruan hukum

tentang Perseroan Terbatas. Pada tanggal 7 Maret 1995 diundangkan

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas yang

3
Rochmat Soemitro, Hukum Perseroan Terbatas, Yayasan dan Wakaf, Eresco, Bandung,
1993, hlm 2.
4
Dr. Kurniawan, SH., M.Hum, Hukum Perusahaan: Karakteristik Badan Usaha
Berbadan Hukum Dan Tidak Berbadan Hukum Indonesia, Genta Publishing, Yogyakarta, 2014,
hlm 57
9

sekaligus mencabut ketentuan Pasal 36 sampai 56 KUHD tentang

Perseroan Terbatas.

Namun dalam perkembangan berlakunya, ketentuan dalam Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 1995 tersebut dipandang tidak lagi memenuhi

perkembangan hukum dan kebutuhan masyarakat karena keadaan ekonomi

serta perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan informasi sudah

berkembang begitu pesat khususnya pada era globalisasi. Disamping itu,

meningkatnya tuntutan masyarakat akan layanan yang cepat, kepastian

hukum, serta tuntutan akan perkembangan dunia usaha yang sesuai dengan

prinsip pengelolaan perusahaan yang baik (Good Corporate Governance)

menuntut penyempurnaan dan penggantian Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas. Oleh karena itu, Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1995 disempurnakan dan diganti dengan Undang-Undang

Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang diundangkan di

Jakarta pada tanggal 16 Agustus 2007. 5

Menurut Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007

tentang Perseroan Terbatas (selanjutnya disebut UUPT) yang dimaksud

dengan Perseroan Terbatas adalah:

“Perseroan Terbatas, yang selanjutnya disebut perseroan, adalah


badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan
berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal
dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi
persyaratan yang ditetapkan dalam undang-undang ini serta
peraturan pelaksanaannya.”

5
Prof. Abdulkadir Muhammad, S.H., Hukum Perusahaan Indonesia, PT. Citra Aditya
Bakti, Bandung, 2010, hlm 104-105
10

Berdasarkan pada rumusan Pasal 1 angka (1) UUPT diatas, berikut

dapat dirinci unsur-unsur konsep PT, yaitu :6

a. Berbentuk badan hukum

Setiap perseroan adalah badan hukum. Artinya, badan yang memenuhi

syarat undang-undang sebagai subjek hukum dan memiliki tujuan

tertentu. Untuk mencapai tujuannya itu, perseroan memiliki harta

kekayaan sendiri, terpisah dari harta kekayaan pribadi pendiri atau

pengurusnya. Perseroan terbatas adalah persekutuan modal yang

bertujuan melakukan kegiatan perusahaan.

b. Didirikan berdasar pada perjanjian

Artinya harus ada sekurang-kurangnya dua orang yang bersepakat

mendirikan perseroan, yang dibuktikan secara tertulis dan tersusun

dalam bentuk anggaran dasar, kemudian dimuat dalam akta pendirian

yang dibuat di muka notaris.

c. Melakukan kegiatan usaha

Setiap perseroan melakukan kegiatan usaha, yaitu kegiatan dalam

bidang perekonomian (perindustrian, perdagangan, perjasaan, dan

pembiayaan) yang bertujuan mendapat keuntungan dana atau laba.

Melakukan kegiatan usaha artinya menjalankan perusahaan. Supaya

kegiatan usaha itu sah harus mendapat izin usaha dari pihak yang

berwenang dan didaftarkan dalam daftar perusahaan menurut undang-

undang yang berlaku.

6
Ibid, hlm 109
11

d. Modal dasar

Setiap perseroan harus mempunyai modal dasar yang seluruhnya

terbagi dalam saham. Modal dasar disebut juga modal statuter, dalam

bahasa Inggris disebut authorized capital. Modal dasar merupakan harta

kekayaan perseroan sebagai badan hukum, yang terpisah dari harta

kekayaan pribadi pendiri, organ perseroan, dan pemegang saham.

Menurut ketentuan Pasal 32 ayat (1) UUPT, modal dasar perseroan

sekurang-kurangnya Rp 50 juta.

e. Memenuhi persyaratan undang-undang

Setiap perseroan harus memenuhi persyaratan yang ditentukan UUPT

dan peraturan pelaksanaannya. Ketentuan ini menunjukan bahwa

perseroan menganut sistem tertutup (closed system). Keteraturan

organisasi perseroan sebagai badan hukum dapat diketahui melalui

ketentuan UUPT, anggaran dasar perseroan, anggaran rumah tangga

perseroan, dan keputusan RUPS.

Menurut Soedjono Dirjosisworo, Perseroan Terbatas atau PT

adalah badan hukum yang didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan

kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham,

dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor

40 tahun 2007 sebagaimana telah diubah dengan serta peraturan

pelaksanaannya.7

7
Soedjono Dirjosisworo, Hukum Perusahaan Mengenai Bentuk-bentuk Perusahaan
(badan usaha) di Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 1997, hlm. 48
12

Menurut J. Soedarsono, Perseroan Terbatas adalah suatu

persekutuan untuk menjalankan perusahaan yang memiliki modal usaha

atas saham-saham dimana para pemiliknya turut bagian sebanyak satu atau

lebih saham. Apabila hutang perusahaan melebihi kekayaan perusahaan,

maka kelebihannya tidak menjadi tanggungjawab para pemegang saham.8

2. Syarat dan Prosedur Pendirian Perseroan Terbatas

Untuk mendirikan suatu perseroan perlu dipenuhi syarat-syarat dan

prosedur yang telah ditentukan oleh Undang-undang yaitu :9

a. Didirikan oleh 2 (dua) orang atau lebih

Berdasarkan Pasal 7 ayat (1) UUPT, menjelaskan bahwa perseroan

didirikan oleh dua orang atau lebih dengan akta notaris yang dibuat

dalam bahasa Indonesia. Pengertian “orang” adalah orang

perseorangan, baik warga negara Indonesia maupun asing atau badan

hukum Indonesia atau asing. Ketentuan ini menegaskan prinsip yang

berlaku berdasar pada undang-undang ini bahwa pada dasarnya sebagai

badan hukum, perseroan didirikan berdasar pada perjanjian, karena itu

mempunyai lebih dari satu orang pemegang saham.

b. Berstatus Badan Hukum

Perseroan memperoleh status badan hukum pada tanggal

diterbitkannya Keputusan Menteri mengenai Pengesahan Badan

Hukum Perseroan seperti yang terdapat pada Pasal 7 ayat (4) UUPT.

8
Sudarsono, Kamus Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2009, hlm 58
9
Prof. Abdulkadir Muhammad, S.H., Op.cit, hlm 111-115
13

c. Modal Dasar Perseroan

Modal dasar perseroan paling sedikit Rp 50 juta, akan tetapi Undang-

undang yang mengatur kegiatan usaha tertentu dapat menentukan

jumlah minimum modal dasar perseroan yang lebih besar daripada Rp

50 juta. Perubahan besar modal dasar tersebut berdasarkan pada

ketentuan dalam Pasal 32 UUPT dimana bidang usaha tertentu yang

dimaksud itu antara lain, perbankan, perasuransian, atau ekspedisi

muatan pengangkutan (freight forwarding). Perubahan besar modal

dasar diperlukan untuk mengantisipasi perubahan keadaan

perekonomian.

Setelah syarat-syarat tersebut dipenuhi, pendirian perseroan pun

harus mengikuti langkah-langkah prosedur yang ditentukan oleh undang-

undang, yaitu :

a. Pembuatan akta pendirian di muka notaris

Langkah pertama, pendirian perseroan adalah pembuatan akta

pendirian di muka notaris. Akta pendirian tersebut merupakan

perjanjian yang dibuat secara otentik yang memuat anggaran dasar

peseroan dan keterangan lain sesuai dengan ketentuan Pasal 8 UUPT.

Dalam pembuatan akta pendirian, pendiri dapat diwakili oleh orang

lain berdasar pada surat kuasa khusus.

b. Permohonan pengesahan badan hukum

Langkah kedua, untuk memperoleh Keputusan Menteri mengenai

Pengesahan Badan Hukum Perseroan, pendiri bersama-sama


14

mengajukan permohonan melalui jasa teknologi informasi sistem

administrasi badan hukum secara elektronik kepada menteri dengan

mengisi format isian yang memuat sekurang-kurangnya nama dan

tempat kedudukan perseroan, jangka waktu berdirinya perseroan,

maksud dan tujuan serta kegiatan usaha perseroan, jumlah modal

dasar, modal ditempatkan, dan modal di setor, serta alamat lengkap

perseroan. Pengisian format isian tersebut harus didahului dengan

pengajuan nama perseroan. Dalam hal pendiri tidak mengajukan

sendiri permohonannya, pendiri dapat memberi kuasa kepada notaris.

Ketentuan tersebut berdasarkan pada Pasal 9 UUPT.

c. Pernyataan tidak keberatan oleh Menteri

Berdasarkan ketentuan Pasal 10 ayat (1) dan (3) UUPT, langkah ketiga

apabila format isian dan keterangan mengenai dokumen pendukung

diajukan kepada menteri paling lambat 60 hari sejak tanggal akta

pendirian ditandatangani, telah sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan, menteri langsung menyatakan tidak keberatan

atas permohonan yang bersangkutan secara elektronik.

d. Penyampaian secara fisik surat permohonan

Berdasarkan Pasal 10 ayat (5) UUPT, langkah keempat, dalam jangka

waktu paling lambat 30 hari terhitung sejak tanggal pernyataan tidak

keberatan atas permohonan, pemohon yang bersangkutan wajib

menyampaikan secara fisik surat permohonan yang dilampiri dokumen

pendukung.
15

e. Penerbitan keputusan pengesahan badan hukum

Berdasarkan Pasal 10 ayat (6) UUPT, langkah kelima, apabila semua

persyaratan permohonan serta dokumen pendukung telah dipenuhi

secara lengkap, paling lambat 14 hari menteri menerbitkan Keputusan

tentang Pengesahan Badan Hukum Perseroan yang ditandatangani

secara elektronik.

f. Pencatatan dan pengumuman dalam Tambahan Berita Negara

Berdasarkan Pasal 29 ayat (1) dan Pasal 30 UUPT, langkah keenam

akta pendirian perseroan yang telah disahkan diberitahukan kepada

menteri untuk dicatat dalam daftar perseroan dan oleh menteri

diumumkan dalam Tambahan Berita Negara RI.

3. Organ Perseroan Terbatas

PT mempunyai alat yang disebut organ perseroan, gunanya adalah

untuk menggerakkan perseroan agar badan hukum dapat berjalan sesuai

dengan tujuannya. Berdasarkan Pasal 1 angka (2) UUPT, merumuskan

bahwa organ perseroan terdiri dari Rapat Umum Pemegang Saham

(RUPS), Direksi, dan Dewan Komisaris.

a. Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS)

Pasal 1 angka (4) UUPT, merumuskan pengertian dari RUPS

yaitu :

“Rapat Umum Pemegang Saham, yang selanjutnya disebut


RUPS, adalah Organ perseroan yang mempunyai wewenang
yang tidak diberikan kepada Direksi atau Dewan Komisaris
dalam batas yang ditentukan dalam undang-undang ini dan/atau
anggaran dasar.”
16

Menurut Munir Fuady dalam Rr. Dijan Widijowati

mengungkapkan bahwa Rapat Umum Pemegang Saham merupakan

suatu organ perseroan yang memegang kekuasaan tertinggi dalam

perseroan dan memegang segala kewenangan yang bersifat residual,

yaitu wewenang yang tidak dapat diberikan kepada direksi dan

komisaris yang hanya dapat mengambil keputusan setelah memenuhi

syarat dan prosedur tertentu sebagaimana diatur dalam peraturan

perundang-undangan dan anggaran dasar perseroan.10

Dalam Pasal 78 UUPT mengatur mengenai beberapa macam

Rapat Umum Pemegang Saham yaitu :

1) RUPS biasa (tahunan), yang wajib diselenggarakan sekurang-

kurangnya satu kali dalam tiap tahun buku perseroan. RUPS ini

diselenggarakan dalam waktu paling lambat 6 (enam) bulan setelah

tahun buku berakhir.

2) RUPS luar biasa, yang hanya diselenggarakan secara khusus atas

permintaan Direksi, Komisaris, maupun Pemegang Saham yang

mewakili sekurang-kurangnya 10% (sepuluh persen) dari jumlah

seluruh saham yang telah dikeluarkan dengan sah oleh perseroan.11

b. Dewan Komisaris

Dalam bahasa Inggris Dewan Komisaris sering disebut Board

of Supervisory Directors atau Board of Director. Berdasarkan Pasal 1

angka (6) UUPT, merumuskan bahwa :

10
Rr. Dijan Widijowati, Hukum Dagang, Penerbit Andi, Yogyakarta, 2012, hlm 76
11
Kurniawan, Op.Cit, hlm 69
17

“Dewan Komisaris adalah organ perseroan yang bertugas

melaksanakan pengawasan secara umum dan/atau khusus

sesuai dengan anggaran dasar serta memberi nasihat kepada

Direksi.”

Menurut Munir Fuady, pengertian dari komisaris adalah suatu

organ perusahaan di samping organ perusahaan lainnya, yang

mengawasi pelaksanaan tugas direksi dan jalannya perusahaan pada

umumnya, serta memberikan nasihat-nasihat kepada direksi maupun

kepada pemegang saham/Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS),

baik jika diminta maupun apabila tidak diminta.12

Ditegaskan lebih lanjut bahwa posisi Dewan Komisaris adalah

menjamin pelaksanaan strategi perusahaan, mengawasi manajemen

dalam mengelola perusahaan, serta mewajibkan terlaksananya

akuntabilitas disamping sebagai pusat ketahanan dan kesuksesan

perusahaan.13

Dewan komisaris dipilih dan diberhentikan oleh RUPS dan

karenanya bertanggung jawab kepada RUPS terhadap tugas-tugas yang

diberikan. Fungsi komisaris dalam perseroan adalah untuk mengawasi

dan memberikan nasihat kepada direksi, agar perusahaan tidak

melakukan perbuatan melanggar hukum yang merugikan perseroan

dan stakeholders.

12
Munir Fuady, Perseroan Terbatas Paradigma Baru, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,
2003, hlm 105
13
Agus Budiarto, Kedudukan Hukum dan Tanggung Jawab Pendiri Perseroan Terbatas,
PT. Ghalia Indonesia Anggota IKAPI, 2009, hlm 75
18

c. Direksi

Direksi merupakan alat perlengkapan perseroan terbatas yang

paling vital selain RUPS dan Dewan Komisaris. Direksi adalah organ

yang menjalankan kepengurusan atas perseroan terbatas, baik untuk

pengurusan yang bersifat internal maupun eksternal. Maju mundurnya

suatu perseroan terbatas tergantung dari kepengurusan tersebut dalam

mengelola perusahaan.

Pasal 1 angka 5 UUPT, merumuskan pengertian dari direksi

yaitu :

“Direksi adalah organ perseroan yang berwenang dan


bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan untuk
kepentingan perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan
perseroan, serta mewakili perseroan, baik di dalam maupun di
luar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar.”

Dengan demikian, di dalam menjalankan kepengurusannya,

direksi diberikan hak dan kekuasaan penuh, dengan konsekuensi

bahwa setiap tindakan dan perbuatan yang dilakukan oleh direksi akan

dianggap dan diperlakukan sebagai tindakan dan perbuatan perseroan,

sepanjang mereka bertindak sesuai dengan apa yang ditentukan dalam

anggaran dasar perseroan. Selama direksi tidak melakukan

pelanggaran atas anggaran dasar perseroan, perseroanlah yang

menanggung akibat dari perbuatan direksi tersebut. Sementara itu, bagi

tindakan-tindakan direksi yang merugikan perseroan yang

dilakukannya di luar batas dan kewenangan yang diberikan kepadanya

oleh anggaran dasar dapat tidak diakui oleh perseroan, dan itu berarti
19

direksi bertanggung jawab secara pribadi atas setiap tindakannya yang

di luar batas kewenangan yang diberikan dalam anggaran dasar

perseroan.14

4. Jenis-jenis Perseroan Terbatas

Dalam prakteknya PT dibedakan menjadi beberapa jenis yaitu

Perseroan Terbatas Terbuka, Perseroan Terbatas Publik, Perseroan

Terbatas Tertutup, dan Perseroan Terbatas Kosong.15

Menurut Pasal 1 angka 7 UUPT, merumuskan pengertian Perseroan

Terbatas Terbuka yaitu :

“Perseroan terbatas terbuka adalah perseroan terbatas publik atau

perseroan terbatas yang melakukan penawaran umum saham sesuai

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pasar

modal.”

Jadi PT Terbuka merupakan suatu PT yang saham-sahamnya bisa

dimiliki atau dijual ke masyarakat luas melalui bursa efek atau pasar

modal, sebagai cara memupuk modal untuk investasi usaha PT.

Menurut Pasal 1 angka 8 UUPT, merumuskan pengertian Perseroan

Terbatas Publik yaitu :

“Perseroan terbatas publik adalah perseroan terbatas dengan jumlah

pemegang saham dan modal disetornya memenuhi kriteria dari

ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal.”

14
H. Zaeni Asyhadie, S.H.,M.Hum dan Budi Sutrisno, S.H.,M.Hum, Hukum Perusahaan
dan Kepailitan, Erlangga, Jakarta, 2012, hlm 96
15
Ibid., hlm 75-76
20

Berdasarkan Pasal 1 angka 22 Undang-undang Nomor 8 tahun 1995

tentang Pasar Modal, merumuskan bahwa :

“Perusahaan publik diartikan sebagai perseroan yang sahamnya telah


dimiliki sekurang-kurangnya oleh 300 (tiga ratus) pemegang saham
dan memiliki modal disetor sekurang-kurangnya Rp
3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) atau suatu jumlah pemegang
saham dan modal disetor yang ditetapkan oleh Peraturan
Pemerintah.”

Perseroan Terbatas Tertutup adalah perseroan terbatas yang saham

perusahaannya hanya bisa dimiliki oleh orang-orang tertentu yang telah

ditentukan dan tidak menerima pemodal dari luar secara sembarangan.

Umumnya jenis PT ini adalah perseroan terbatas keluarga atau

kerabat ataupun saham yang sudah tertulis nama pemilik saham sehingga

tidak mudah dipindahtangankan ke orang atau pihak lain. Artinya,

perseroan terbatas tertutup didirikan tanpa sedikitpun bertujuan untuk

menghimpun modal atau asosiasi modal. Mengenai PT Tertutup dapat

disimpulkan sebagai berikut :

a. Dalam akta pendiriannya sudah ditentukan pemegang sahamnya

b. Ciri-cirinya memiliki subjek tertentu, dalam arti tidak mengeluarkan

saham untuk umum, dan biasanya saham tersebut dimiliki hanya dalam

kalangan keluarga sendiri

c. Manfaat dari PT Tertutup adalah sahamnya tetap terkoordinasi.

Selain PT Terbuka dan PT Tertutup, dalam praktik juga dikenal

adanya Perseroan Terbatas Kosong yaitu perseroan terbatas yang sudah

ada izin usaha dan izin lainnya, namun tidak atau belum melakukan

kegiatan.
21

B. Badan Usaha Milik Negara (BUMN)

1. Pengaturan dan Pengertian BUMN

Setiap perusahaan memiliki kepentingan yang berbeda-beda, seperti

BUMN yang memiliki kepentingan untuk mengutamakan kepentingan

umum atau kepentingan negara. Apabila badan hukum dilihat berdasarkan

bentuknya, maka BUMN merupakan suatu badan usaha berstatus badan

hukum yang dimiliki oleh badan hukum publik. Badan hukum publik itu

sendiri merupakan badan hukum yang didirikan dan dimiliki oleh pihak

pemerintah seperti negara, lembaga pemerintahan, badan usaha milik

negara/daerah, dan bank negara.16

Pengaturan mengenai BUMN pada saat ini dapat dilihat dalam

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik

Negara. Undang-undang ini mencabut beberapa undang-undang yang

sebelumnya yang menjadi dasar bagi eksistensi dan kegiatan BUMN,

yakni :17

a. Indonesiche Bedrijvenwet (Staatsblaad Tahun 1927 Nomor 419)

sebagaimana telah diubah dan ditambah terakhir dengan

UndangUndang Nomor 12 Tahun 1955;

b. Undang-Undang Nomor 19 PRP Tahun 1960 tentang Perusahaan

Negara; dan

16
Rr. Dijan Widijowati, Op.Cit, hlm 29.
17
Ridwan Khairandy, Pokok-Pokok Hukum Dagang, FHUII Press, Yogyakarta, 2013,
hlm. 159.
22

c. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1969 tentang Penetapan Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1969 tentang

Bentuk-Bentuk Usaha Negara.

Menurut Pasal 1 angka (1) UU BUMN merumuskan bahwa

pengertian dari BUMN adalah :

“Badan Usaha Milik Negara, yang selanjutnya disebut BUMN,

adalah Badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya

dimiliki oleh Negara melalui penyertaan secara langsung yang

berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan.”

Kamus Hukum Dictionary of Law New Edition, memberikan

pengertian BUMN yaitu suatu badan usaha yang dibentuk Negara dan

seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh Negara melalui

penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan Negara yang

dipisahkan. BUMN juga diartikan sebagai suatu kegiatan usaha berbadan

hukum yang dibentuk pemerintah pusat yang berfungsi untuk

melaksanakan pengelolaan sumber daya ekonomi.18

Menurut Munir Fuady, BUMN merupakan bentuk usaha di

bidang-bidang tertentu, yang umumnya menyangkut dengan kepentingan

umum, dimana peran pemerintah di dalamnya relative lebih besar, minimal

dengan menguasai mayoritas pemegang saham. Eksistensi dari BUMN ini

adalah sebagai konsekuensi dan amanah dari konstitusi dimana hal-hal

18
Dzulkifli Umar & Ustman Handoyo, Kamus Hukum Dictionary of Law New Edition,
Cetakan I, Quantum Media Press, 2010, hlm 60
23

yang penting atau cabang-cabang produksi yang penting dan menguasai

hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.19

Berdasarkan Pasal 2 UU BUMN, menjelaskan maksud dan tujuan

pendirian sebuah BUMN adalah :

a. Memberikan sumbangan bagi perkembangan perekonomian nasional

pada umumnya dan penerimaan Negara pada khususnya;

b. Mengejar keuntungan;

c. Menyelenggarakan kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/

jasa yang bermutu tinggi dan memadai bagi pemenuhan hajat hidup

orang banyak;

d. Menjadi perintis kegiatan-kegiatan usaha yang belum dapat

dilaksanakan oleh sektor swasta dan korporasi;

e. Turut aktif memberikan bimbingan dan bantuan kepada pengusaha

golongan ekonomi lemah, koperasi, dan masyarakat.

Adapun manfaat keberadaan BUMN bagi suatu Negara adalah

sebagai berikut:20

a. Memberi kemudahan kepada masyarakat luas dalam memperoleh

berbagai alat pemenuhan kebutuhan hidup yang berupa barang atau

jasa;

19
Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis :Menata Bisnis Era Modern di Era Global, PT.
Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, hlm 44
20
SahamOK, “Definisi BUMN (Badan Usaha Milik Negara)”,
https://www.sahamok.com/daftar-perusahaan-bumn/definisi-bumn/, diakses pada tanggal 21 Maret
2019 pukul 23.05
24

b. Membuka dan memperluas kesempatan kerja bagi penduduk ayattan

kerja;

c. Mencegah monopoli pasar atas barang dan jasa yang merupakan

kebutuhan masyarakat banyak oleh sekelompok pengusaha swasta

yang bermodal kuat;

d. Meningkatkan kuantitas dan kualitas produksi komoditi ekspor sebagai

sumber devisa, baik migas maupun non migas;

e. Menghimpun dana untuk mengisi kas negara, yang selanjutnya

dipergunakan untuk memajukan dan mengembangkan perekonomian

negara.

Menurut Pandji Anoraga, peranan BUMN di sistem pemerintahan

Indonesia sangatlah besar, BUMN diharapkan dapat berperan baik sebagai

perusahaan biasa yang dituntut menghasilkan laba yang sebesar-besarnya

seperti perusahaan swasta maupun sebagai bagian aparatur negara yang

dibebani berbagai penugasan oleh pemerintah, akan tetapi pendapat

Riyanto mengenai fungsi dan peran BUMN di Negara Indonesia sedikit

unik yakni di satu pihak dituntut sebagai badan usaha pengemban

kebijaksanaan dan program-program pemerintahan atau yang dikenal

dengan sebutan sebagai agen pembangunan, dipihak lain harus tetap

berfungsi sebagai unit usaha komersial biasa dan mampu berjalan dan

beroperasi dengan prinsip usaha yang ketat.21

21
Pandji Anoraga, BUMN: Swasta dan Koperasi (Tiga Pelaku Ekonomi), Pustaka Jaya,
Jakarta,1995, hlm 8
25

2. Pengelompokan BUMN

Dalam usaha membangun ekonomi diusahakan peran serta seluruh

masyarakat dan mengurangi campur tangan pemerintah yang menghambat

perkembangan ekonomi. Dalam iklim yang demikian ini dirumuskan

perundangan yang akan mengatur klasifikasi BUMN yang pada akhirnya

dirumuskan dalam Undang-undang Nomor 9 tahun 1969 tentang Bentuk

Usaha Negara. Undang-undang ini mengelompokan BUMN dalam 3 (tiga)

klasifikasi yaitu : Perusahaan Jawatan (Perjan), Perusahaan Umum

(Perum), dan Perusahaan Perseroan (Persero).

a. Perusahaan Jawatan (Perjan)

Perusahaan Jawatan adalah perusahaan milik negara yang

dibentuk berdasarkan Indonesische Bedrijven Wet (IBW) Stb. 1927-

419 dengan perubahannya, dan diatur lebih lanjut dalam Peraturan

Pemerintah Nomor 7 Tahun 1969.22

Perusahaan jawatan bukan perusahaan perseorangan atau

persekutuan, melainkan perusahaan milik negara, yang berstatus

sebagai pengusaha adalah pemerintah. Perusahaan Jawatan adalah

badan hukum publik tetapi tidak berdiri sendiri, karena merupakan

bagian dari suatu Departemen, Direktorat Jenderal, Direktorat atau

Pemerintah Daerah. Peraturan Hukum yang berlaku juga di lingkungan

jawatan yang bersangkutan berlaku juga terhadap Perusahaan Jawatan.

22
Prof. Abdulkadir Muhammad, S.H., Op.cit, hlm 93
26

Perusahaan Jawatan bertujuan lebih mengutamakan pelayanan

umum, daripada kepentingan komersial yang berupa keuntungan atau

laba, walaupun perusahaan jawatan tidak mengutamakan mencari

keuntungan atau laba, cara menjalankan perusahaan yang baik dan

pengelolaan yang bagus tetap diperlukan.

Modal Perusahaan Jawatan adalah bagian dari anggaran belanja

negara yang diperuntukan bagi jawatan yang bersangkutan.

Keuntungan yang diperoleh menjadi bagian dari pendapatan negara,

oleh sebab itu, pengaturan modal dan keuntungan tunduk pada

pengaturan pertanggungjawaban Anggaran Pendapatan Belanja Negara

(APBN). Perusahaan Jawatan tidak dipimpin oleh Direksi, melainkan

oleh kepala jawatan/direktorat/dinas/kantor pemerintahan dalam mana

perusahaan itu didirikan.

b. Perusahaan Umum (Perum)

Berdasarkan Pasal 1 angka (4) UU BUMN, merumuskan

pengertian Perusahaan Umum yaitu:

“Perusahaan Umum, yang selanjutnya disebut Perum, adalah


BUMN yang seluruh meodalnya dimiliki negara dan tidak
terbagi atas saham, yang bertujuan untuk kemanfaatan umum
berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi
dan sekaligus mengejar keuntungan berdasarkan prinsip
pengelolaan perusahaan.”

Perusahaan umum bukan perusahaan perseorangan atau

persekutuan, melainkan milik negara, yang berstatus pengusaha adalah

pemerintah. Perusahaan Umum adalah badan hukum publik yang

dibentuk berdasarkan peraturan perundang-undangan. Karena


27

perusahaan umum adalah milik negara, dan pemerintah berstatus

sebagai pengusaha, maka Perusahaan Umum harus menjalankan

kebijakan pemerintah.

Perusahaan Umum bertujuan lebih mengutamakan

mewujudkan kesejahteraan umum dari pada kepentingan komersial

semata. Artinya, walaupun bertujuan mencari keuntungan atau laba,

hal itu diperuntukan bagi kesejahteraan umum yang merupakan

kewajiban negara terhadap warga negaranya. Sebagai badan hukum,

perusahaan memiliki harta kekayaan sendiri yang berasal dari harta

kekayaan milik negara yang disisihkan.23

c. Perusahaan Perseroan (Persero)

Perusahaan Perseroan adalah BUMN yang berbentuk perseroan

terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruh atau paling

sedikit 51% (lima puluh satu persen) sahamnya dimiliki oleh Negara

Republik Indonesia yang tujuan utamanya mengejar keuntungan.24

Sebagai Perusahaan Perseroan, semua aturan dan asas hukum

perdata berlaku terhadapnya, namun dengan adanya Undang-Undang

Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, maka segala

ketentuan yang diatur dalam KUHD sudah tidak berlaku lagi. Modal

perusahaan perseroan, seluruh atau sebagiannya adalah milik Negara,

23
Ibid, hlm 96
24
Ridwan Khairandy, Op.Cit, hlm 164
28

maka pengelolaannya sangat tergantung pada kebijaksanaan

pemerintah.25

Pembentukan Persero merupakan kerja sama paling sedikit dua

pihak, maka dalam akta pendirian Persero dinyatakan bahwa satu

bagian saham-saham minimal 51% dimiliki negara, dan satu bagian

lainnya (maksimal 49%) dimiliki oleh pihak swasta, yang kemudian

menjadi anggota Direksi Persero. Setelah penandatanganan akta

pendirian, Direksi Persero menyerahkan semua saham dan hak kepada

negara dengan akta sendiri.

Pengelolaan persero sudah tentu tidak bebas dari peraturan

pemerintah karena dengan perusahaan negara dimaksudkan supaya

pemerintahan berperan serta yang lebih besar dalam dalam

perdagangan dan usaha. Hal ini dilakukan Persero, yang dapat

bertindak leluasa mencari keuntungan jika dibandingkan dengan

Perum.

Beberapa jenis BUMN tersebut adalah pengelompokan berdasarkan

peraturan terdahulu yaitu Undang-undang Nomor 9 tahun 1969 tentang

Bentuk Usaha Negara. Namun setelah berlakunya Undang-undang Nomor

19 tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, sesuai dengan

ketentuan Pasal 9 merumuskan bahwa pengelompokan BUMN dalam 2

(dua) klasifikasi yaitu Perusahaan Umum (Perum) dan Perusahaan

Perseroan (Persero). Untuk Perusahaan Jawatan (Perjan) tidak dikenal lagi

25
Ibid, hlm 97
29

dan diberi waktu paling lama dua tahun harus beralih menjadi Perum atau

Persero.

3. Kepengurusan dan Pengawasan BUMN

Pengurusan BUMN dilakukan oleh Direksi yang bertanggung

jawab penuh atas pengurusan BUMN, tujuan BUMN, serta mewakili

BUMN baik di dalam maupun di luar pengadilan. Anggota Direksi dalam

melaksanakan tugasnya, harus mematuhi anggaran dasar BUMN dan

peraturan perundang-undangan serta wajib melaksanakan prinsip-prinsip

Good Corporate Governance. Pasal 2 Peraturan Menteri Badan Usaha

Milik Negara Nomor: PER-01/MBU/2011 tentang Penerapan Tata Kelola

Perusahaan yang Baik (Good Corporate Governance) pada Badan Usaha

Milik Negara (BUMN) merumuskan bahwa BUMN wajib menerapkan

Good Corporate Governance secara konsisten dan berkelanjutan, dengan

berpedoman pada peraturan menteri ini, dan tetap memperhatikan

ketentuan, dan norma yang berlaku serta anggaran dasar BUMN.

Pengawasan BUMN dilakukan oleh Dewan Komisaris dan dewan

pengawas dalam melakukan tugasnya, komisaris dan dewan pengawas

harus mematuhi anggaran dasar BUMN dan ketentuan Peraturan

Perundang-undangan serta melaksanakan prinsip-prinsip Good Corporate

Governance.

Para anggota Direksi, Dewan Komisaris dan Dewan Pengawas

dilarang mengambil keuntungan pribadi baik secara langsung maupun

tidak langsung dari kegiatan BUMN selain penghasilan yang sah.


30

C. GOOD CORPORATE GOVERNANCE (GCG)

1. Pengertian Tata Kelola Perusahaan yang Baik (GCG)

Secara teoritis, praktek Good Corporate Governance dapat

meningkatkan nilai (value) perusahaan dengan meningkatkan kinerja

keuangan mereka, mengurangi resiko yang mungkin dilakukan oleh dewan

dengan keputusan-keputusan yang menguntungkan diri sendiri, dan

umumnya corporate governance dapat meningkatkan kepercayaan

investor. Sebaliknya corporate governance yang buruk dapat menurunkan

tingkat kepercayaan para investor.

Tata kelola perusahaan yang baik atau GCG memiliki definisi yang

beragam. Pada Pasal 1 angka (1) dalam Peraturan Menteri Negara Badan

Usaha Milik Negara Nomor : PER – 01/MBU/2011 Tentang Penerapan

Tata Kelola Perusahaan Yang Baik (Good Corporate Governance) Pada

Badan Usaha Milik Negara memberikan definisi bahwa:

“Tata Kelola Perusahaan yang Baik (Good Corporate Governance),

yang selanjutnya disebut GCG adalah prinsip prinsip yang

mendasari suatu proses dan mekanisme pengelolaan perusahaan

berlandaskan peraturan perundang-undangan dan etika berusaha.”

Menurut Forum for Corporated Governance in Indonesia (FCGI)

memberikan definisi bahwa :

“Corporated Governance adalah seperangkat peraturan yang


mengatur hubungan antara pemegang, pengurus (pengelola)
perusahaan, baik pihak kreditur, pemerintah, karyawan, serta para
pemegang kepentingan internal dan eksternal lainnya yang
berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban mereka atau dengan kata
lain suatu sistem yang mengendalikan perusahaan. Tujuan
31

Corporated Governance ialah untuk menciptakan nilai tambah bagi


semua pihak yang berkepentingan (stakeholders)”26

Menurut Ernest and Young dalam buku Imam Saputra Tunggal

dan Amin Widjaja Tunggal yang berjudul Membangun Good Corporate

Governance (GCG) mengatakan bahwa Corporate Governance terdiri atas

sekumpulan mekanisme yang saling berkaitan yang terdiri atas pemegang

saham institusional, dewan Direksi, dan Komisaris, para manajer yang

dibayarkan berdasarkan kinerjanya, pasar sebagai pengendali perseroan,

struktur kepemilikan, struktur keuangan, investor terkait dengan

persaingan produk dan manajemen perusahaan terhadap resiko bisnis

merupakan hal yang penting.27

Dalam situs webnya Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan

memberikan definisi kepada prinsip Good Corporate Governance ialah

komitmen, aturan main, serta praktik penyelenggaraan bisnis secara sehat

dan beretika.28

Dari beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa GCG

adalah sebuah prinsip yang diterapkan di dalam sebuah organisasi, yang

ditujukan untuk mengatur hubungan diantara orang-orang yang terlibat

demi terbentuk kinerja yang baik, yang diharapkan dapat memberikan nilai

tambah dari perusahaan tersebut.

26
I Nyoman Tjager, Corporate Governance Tantangan dan Kesempatan bagi Komunitas
Bisnis Indonesia, PT. Prehallindo, Jakarta, 2003, hlm 26
27
Imam Saputra Tunggal dan Amin Widjaja Tunggal, Membangun Good Corporate
Governance (GCG), Havarindo, Jakarta, 2002, hlm 4.
28
Tim GCG, Pengertian Good Corporate Governance,
http://www.bpkp.go.id/dan/konten/299/Good-Corporate.bpkp, diakses pada tanggal 22 Februari
2019
32

Banyaknya definisi tentang GCG ini tidak menjadi penghambat

dalam mempelajari GCG. Hal ini dikarenakan dari setiap definisi tersebut

dapat ditarik beberapa prinsip yang utama yang terdapat dalam Good

Corporate Governance yaitu transparency, accountability, responsibility,

independency, dan fairness. Hal yang serupa lainnya yaitu adanya

perlindungan terhadap stakeholder perusahaan. Stakeholder ini

mempunyai kepentingan dalam perusahaan, sehingga sudah selayaknya

kepentingan stakeholder ini dilindungi juga.29

2. Prinsip-prinsip Tata Kelola Perusahaan yang Baik (GCG)

Sebagai suatu konsep, dipandang perlu untuk menentukan dasar-

dasar atau kaidah yang menjadi landasan dalam menjabarkan konsep Good

Corporate Governance serta menjadi patokan dalam pengujian

keberhasilan aplikasi Good Corporate Governance di masing-masing

perusahaan. 30

Prinsip-prinsip Good Corporate Governance menurut Pasal 3

Peraturan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Nomor : Per-

01/MBU/2011 tentang Penerapan Tata Kelola Perusahaan yang Baik

(Good Corporate Governance) pada Badan Usaha Milik Negara terdiri

dari :

a. Transparansi (transparency) yaitu keterbukaan dalam melaksanakan


proses pengambilan keputusan dan keterbukaan dalam
mengungkapkan informasi material dan relevan mengenai perusahaan;

29
Shalahuddin, Good Corporate Governance dalam Penjualan Tanker VLCC Pertamina,
Universitas Indonesia, Jakarta, 2009, hlm 16
30
Dhiah Indah Astanti, Implementasi Good Corporate Governance Pada Perusahaan
Asuransi, Universitas Diponegoro, Semarang, 2007, hlm 62
33

b. Akuntabilitas (accountability) yaitu kejelasan fungsi pelaksanaan dan


pertanggungjawaban organ sehingga pengelolaan perusahaan
terlaksana secara efektif;
c. Pertanggungjawaban (responsibility) yaitu kesesuaian di dalam
pengelolaan perusahaan terhadap peraturan perundang-undangan dan
prinsip-prinsip korporasi yang sehat;
d. Kemandirian (independency) yaitu keadaan di mana perusahaan
dikelola secara profesional tanpa benturan kepentingan dan
pengaruh/tekanan dari pihak manapun yang tidak sesuai dengan
peraturan perundang-undangan dan prinsip-prinsip korporasi yang
sehat;
e. Kewajaran (fairness) yaitu keadilan dan kesetaraan di dalam
memenuhi hak-hak pemangku kepentingan (stakeholders) yang timbul
berdasarkan perjanjian dan peraturan perundang-undangan.

3. Tujuan Tata Kelola Perusahaan yang Baik (GCG)

Tujuan dari tata kelola perusahaan yang baik adalah untuk

menciptakan nilai tambah bagi semua pihak yang berkepentingan. Apabila

tata kelola perusahaan dalam kepemilikan manajerial dapat berjalan

dengan baik maka dapat meningkatkan usaha dan akuntabilitas

perusahaan.

Berdasarkan Pasal 4 Peraturan Menteri Negara Badan Usaha Milik

Negara Nomor : PER–01/MBU/2011 Tentang Penerapan Tata Kelola

Perusahaan Yang Baik (Good Corporate Governance) Pada Badan Usaha

Milik Negara (BUMN), GCG memiliki tujuan, yakni:

a. mengoptimalkan nilai BUMN agar perusahaan memiliki daya saing


yang kuat, baik secara nasional maupun internasional, sehingga
mampu mempertahankan keberadaannya dan hidup berkelanjutan
untuk mencapai maksud dan tujuan BUMN;
b. mendorong pengelolaan BUMN secara profesional, efisien, dan
efektif, serta memberdayakan fungsi dan meningkatkan kemandirian
Organ Persero/Organ Perum;
c. mendorong agar Organ Persero/Organ Perum dalam membuat
keputusan dan menjalankan tindakan dilandasi nilai moral yang tinggi
dan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan, serta
kesadaran akan adanya tanggung jawab sosial BUMN terhadap
34

pemangku kepentingan maupun kelestarian lingkungan di sekitar


BUMN;
d. meningkatkan kontribusi BUMN dalam perekonomian nasional;
e. meningkatkan iklim yang kondusif bagi perkembangan investasi
nasional.

Menurut Ahmad Daniri terdapat lima macam tujuan utama Good

Corporate Governance yaitu:31

a. melindungi hak dan kepentingan pemegang saham;

b. melindungi hak dan kepentingan para anggota stakeholders non

pemegang saham;

c. meningkatkan nilai perusahaan dan para pemegang saham;

d. meningkatkan efisiensi dan efektifitas kerja Dewan Pengurus atau

Board of Directors dan manajemen perusahaan; dan

e. meningkatkan mutu hubungan Board of Directors dengan

manajemen senior perusahaan.

Penerapan GCG tidak hanya melindungi kepentingan para investor

saja tetapi juga akan dapat mendatangkan banyak manfaat dan keuntungan

bagi perusahaan terkait dan juga pihak-pihak lain yang mempunyai

hubungan langsung maupun tidak langsung dengan perusahaan. Berbagai

manfaat dan keuntungan tersebut antara lain:32

1. Dengan penerapan good corporate governance perusahaan dapat

meminimalkan agency cost, yaitu biaya yang timbul sebagai akibat

31
Mas Achmad Daniri, Good Corporate Governance Konsep dan Penerapannya dalam
Konteks Indonesia, Ray Indonesia, Jakarta, 2005, hlm 5
32
Jojok Dwiridotjahjono, Penerapan Good Corporate Governance:Manfaat dan
Tantangan serta Kesempatan Bagi Perusahaan Publik di Indonesia,
https://media.neliti.com/media/publications/73688-ID-penerapan-good-corporate-governance-
manf.pdf, diakses pada tanggal 16 Mei 2019 pukul 23.15
35

dari pendelegasian kewenangan kepada manajemen, termasuk biaya

penggunaan sumber daya perusahaan oleh manajemen untuk

kepentingan pribadi maupun dalam rangka pengawasan terhadap

perilaku manajemen itu sendiri;

2. Perusahaan dapat meminimalkan cost of capital, yaitu biaya modal

yang harus ditanggung bila perusahaan mengajukan pinjaman kepada

kreditur. Hal ini sebagai dampak dari pengelolaan perusahaan secara

baik dan sehat yang pada gilirannya menciptakan suatu referensi

positif bagi para kreditur;

3. Dengan GCG proses pengambilan keputusan akan berlangsung secara

lebih baik sehingga akan menghasilkan keputusan yang optimal, dapat

meningkatkan efisiensi serta terciptanya budaya kerja yang lebih sehat.

Ketiga hal ini jelas akan sangat berpengaruh positif terhadap kinerja

perusahaan, sehingga kinerja perusahaan akan mengalami peningkatan.

4. Good corporate governance akan memungkinkan dihindarinya atau

sekurang-kurangnya dapat diminimalkannya tindakan penyalahgunaan

wewenang oleh pihak direksi dalam pengelolaan perusahaan. Hal ini

tentu akan menekan kemungkinan kerugian bagi perusahaan maupun

pihak berkepentingan lainnya sebagai akibat tindakan tersebut.

5. Nilai perusahaan di mata investor akan meningkat sebagai akibat dari

meningkatnya kepercayaan mereka kepada pengelolaan perusahaan

tempat mereka berinvestasi.


36

6. Bagi para pemegang saham, peningkatan kinerja dengan sendirinya

juga akan menaikkan nilai saham mereka dan juga nilai dividen yang

akan mereka terima. Bagi negara, hal ini juga akan menaikkan jumlah

pajak yang akan dibayarkan oleh perusahaan yang berarti akan terjadi

peningkatan penerimaan negara dari sektor pajak. Apalagi bila

perusahaan yang bersangkutan berbentuk perusahaan BUMN, maka

peningkatan kinerja tadi juga akan dapat meningkatkan penerimaan

negara dari pembagian laba BUMN.

7. Karena dalam praktik GCG karyawan ditempatkan sebagai salah satu

stakeholder yang seharusnya dikelola dengan baik oleh perusahaan,

maka motivasi dan kepuasan kerja karyawan juga diperkirakan akan

meningkat. Peningkatan ini dalam tahapan selanjutnya tentu akan

dapat pula meningkatkan produktivitas dan rasa memiliki (sense of

belonging) terhadap perusahaan.

8. Dengan baiknya pelaksanaan corporate governance, maka tingkat

kepercayaan para stakeholders kepada perusahaan akan meningkat

sehingga citra positif perusahaan akan naik.

9. Penerapan corporate governance yang konsisten juga akan

meningkatkan kualitas laporan keuangan perusahaan. Manajemen akan

cenderung untuk tidak melakukan rekayasa terhadap laporan

keuangan, karena adanya kewajiban untuk mematuhi berbagai aturan

dan prinsip akuntansi yang berlaku dan penyajian informasi secara

transparan.
37

Dengan berbagai manfaat dan keuntungan yang dapat diberikan

oleh penerapan GCG sebagaimana disebutkan di atas, wajar kiranya semua

stakeholders terutama para pelaku usaha di Indonesia menyadari betapa

pentingnya konsep ini bagi pemulihan kondisi usaha dan sekaligus

tentunya pemulihan kondisi ekonomi secara nasional.

4. Penerapan Tata Kelola Perusahaan yang Baik (GCG)

Tata Kelola Perusahaan yang Baik (GCG) sudah menjadi sebuah

pedoman bagi sebuah perusahaan dalam pengelolaannya. Dalam

pelaksanaan penerapan GCG di perusahaan adalah penting bagi

perusahaan untuk melakukan tahapan yang cermat berdasarkan analisis

situasi dan kondisi perusahaan.

Pada umumnya perusahaan-perusahaan yang telah berhasil dalam

menerapkan Good Corporate Governance menggunakan tahapan

berikut:33

a. Tahap Persiapan, tahap ini terdiri atas 3 langkah utama :

1) Awareness Building

Merupakan langkah sosialisasi awal untuk membangun

kesadaran mengenai arti penting GCG dan komitmen bersama

dalam penerapannya. Upaya ini dapat dilakukan dengan meminta

bantuan tenaga ahli independent dari luar perusahaan. Bentuk

kegiatan dapat dilakukan melalui seminar, lokakarya, dan diskusi

kelompok.

33
Mas Achmad Daniri, Op.Cit., hlm 113-117
38

2) Good Corporate Governance Assesment

Merupakan upaya untuk mengukur atau lebih tepatnya

memetakan kondisi perusahaan dalam penerapan GCG saat ini.

Langkah ini perlu guna memastikan titik awal atau level penerapan

GCG dan untuk mengidentifikasi langkah-langkah yang tepat guna

mempersiapkan infrastruktur dan struktur perusahaan yang

kondusif bagi penerapan GCG secara efektif. Dengan kata lain

GCG Assesment dibutuhkan untuk mengidentifikasi aspek-aspek

apa yang perlu mendapatkan perhatian terlebih dahulu, dan

langkah-langkah apa yang dapat diambil untuk mewujudkannya.

3) Good Corporate Governance Manual Building

Merupakan langkah berikut setelah assessment dilakukan.

Berdasarkan hasil pemetaan tingkat kesiapan perusahaan dan upaya

identifikasi prioritas penerapannya, penyusunan manual atau

pedoman implementasi Good Corporate Governance dapat

disusun. Penyusunan manual dapat dilakukan dengan bantuan

tenaga ahli independen dari luar perusahaan. Manual ini dapat

dibedakan antara manual untuk organ-organ perusahaan dan

manual untuk keseluruhan anggota perusahaan, mencakup berbagai

aspek seperti:

a) Kebijakan Good Corporate Governance Perusahaan


39

b) Pedoman Good Corporate Governance bagi organ-organ

Perusahaan

c) Pedoman perilaku

d) Audit Committee Charter

e) Kebijakan Disklosur dan Transparansi

f) Kebijakan dan Kerangka Manajemen Risiko

g) Roadmap Implementasi

b. Tahap Implementasi

Setelah perusahaan memiliki Good Corporate Governance

Manual, langkah selanjutnya adalah memulai implementasi di

perusahaan. Tahap ini terdiri dari 3 langkah utama yakni :

1) Sosialisasi;

Sosialisasi diperlukan untuk memperkenalkan kepada seluruh

perusahaan berbagai aspek yang terkait dengan implementasi GCG

khususnya mengenai Pedoman Penerapan Good Corporate

Governance. Upaya sosialisasi perlu dilakukan dengan suatu tim

khusus yang dibentuk untuk itu, langsung berada dibawah

pengawasan Direktur Utama.

2) Implementasi;

Implementasi adalah kegiatan yang dilakukan sejalan dengan

Pedoman Good Corporate Governance yang ada, berdasarkan

roadmap yang disusun. Implementasi harus bersifat top down

approach yang melibatkan Dewan Komisaris dan Direksi


40

perusahaan. Implementasi hendaknya mencakup pula upaya

manajemen perubahan (change management) guna mengawal

proses perubahan yang ditimbulkan oleh implementasi Good

Corporate Governance.

3) Internalisasi

Internalisasi adalah tahap jangka panjang dalam implementasi.

Internalisasi mencakup upaya-upaya untuk memperkenalkan GCG

di dalam seluruh proses bisnis perusahaan melalui berbagai

prosedur operasi (misalnya prosedur pengadaan, dan lain-lain),

sistem kerja, dan berbagai peraturan perusahaan. Dengan upaya ini

dapat dipastikan bahwa penerapan Good Corporate Governance

bukan sekadar dipermukaan atau sekedar suatu kepatuhan yang

bersifat superficial, tetapi benar-benar tercermin dalam seluruh

aktifitas perusahaan.

c. Tahap Evaluasi

Merupakan tahap yang perlu dilakukan secara teratur dari waktu

ke waktu untuk mengukur sejauh mana efektivitas penerapan Good

Corporate Governance telah dilakukan, dengan meminta pihak

independen melakukan audit implementasi dan scoring atas praktik

GCG yang ada. Terdapat banyak perusahaan konsultan yang dapat

memberikan jasa audit yang demikian, dan di Indonesia ada beberapa

perusahaan yang melakukan scoring.


41

Evaluasi dalam bentuk assesment, audit atau scoring juga dapat

dilakukan secara mandatori misalnya seperti yang diterapkan di

lingkungan BUMN. Evaluasi dapat membantu perusahaan memetakan

kembali kondisi dan situasi serta capaian perusahaan dalam

implementasi GCG sehingga dapat mengupayakan perbaikan-

perbaikan yang perlu berdasarkan rekomendasi yang diberikan. Dalam

hal membangun Good Corporate Governance, dan terkait dengan

pengembangan sistem, yang diharapkan akan mempengaruhi perilaku

setiap individu dalam perusahaan yang pada gilirannya akan

membentuk kultur perusahaan yang bernuansa Good Corporate

Governance, maka diperlukan langkah-langkah berikut :

1) Menetapkan visi, misi, rencana strategis, tujuan perusahaan, serta

sistem operasional pencapaiannya secara jelas;

2) Mengembangkan suatu struktur yang menjaga keseimbangan peran

dan fungsi organ perusahaan (check and balance);

3) Membangun sistem informasi, baik untuk keperluan proses

pengambilan keputusan maupun keperluan keterbukaan informasi

material dan relevan mengenai perusahaan;

4) Membangun sistem audit yang handal, yang tak terbatas pada

kepatuhan terhadap peraturan dan prosedur operasi standar, tetapi

juga mencakup pengendalian risiko perusahaan;

5) Membangun sistem yang melindungi hak-hak pemegang saham

secara adil (fair) dan setara diantara para pemegang saham;


42

6) Membangun sistem pengembangan SDM, termasuk pengukuran

kinerjanya.

Tahapan tersebut menjelaskan langkah yang ditempuh sebuah

perusahaan untuk menerapkan prinsip GCG. Secara umum prinsip

GCG memberikan sebuah perubahan di Indonesia tepatnya pada sektor

hukum, dimana adanya reformasi hukum.

Berbagai bentuk cara dilakukan dalam rangka mensosialisasikan

penerapan Good Corporate Governance, baik dengan dibentuknya

Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG) yang menjadi

sejarah perkembangan GCG di Indonesia yaitu suatu komite yang

membidangi GCG yang memiliki tujuan untuk menjaga

kesinambungan program corporate governance sehingga dapat

menarik minat berusaha dan berinvestasi pengusaha domestik maupun

internasional. Komite Nasional mengembangkan suatu rekomendasi

tentang corporate governance yang meliputi:34

i. Pembuatan pedoman Good Corporate Governance termasuk

mensosialisasikan pedoman tersebut;

ii. Struktur dan mekanisme peraturan untuk membantu pelaksanaan

pedoman tersebut;

iii. Membantu pendirian institusi-institusi, baik permanen maupun

sementara untuk membantu pelaksanaan pedoman.

34
Catur Ari Wulandari, Tinjauan Pelaksanaan Good Corporate Governance, Universitas
Indonesia, Jakarta,2009, hal.5
43

Sistem corporate governance memberikan kepastian dan

perlindungan yang efektif kepada para pemegang saham dan kreditur

(investor). Sistem corporate governance juga membantu menciptakan

lingkungan yang kondusif bagi pertumbuhan sektor usaha yang efisien

dan berkesinambungan.

Selain KNKG juga dengan dibuatnya aturan yang dapat

melandasi penerapan Good Corporate Governance di Indonesia,

beberapa program atau inisiatif yang menjadi landasan tersebut

diantaranya:35

a. Revisi Undang-Undang Korporasi/PT

b. Revisi Undang-Undang Pasar Modal

c. Dikeluarkannya berbagai acuan pelaksanaan Good Corporate

Governance yaitu, Keputusan Menteri BUMN Nomor Kep117/M-

MBU/2002 tanggal 31 Juli 2002 yang telah diperbaharui menjadi

Peraturan Menteri Badan Usaha Milik Negara Nomor: Per-

01/MBU/2011 tentang Penerapan Praktek Good Corporate

Governance pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

35
I Nyoman Tjager, Op.Cit., hlm 75
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Metode Pendekatan

Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah

yuridis normatif, yaitu penelitian yang mengkonsepkan hukum sebagai apa

yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan (laws in book) atau

hukum dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan

berperilaku manusia yang dianggap pantas dengan pendekatan perundang-

undangan.36

Metode pendekatan lain yang digunakan adalah pendekatan analitis

(analytical approach). Pendekatan ini dimaksudkan untuk mengetahui

makna yang dikandung oleh istilah-istilah yang digunakan dalam peraturan

perundang-undangan secara konsepsional sekaligus mengetahui

penerapannya dalam praktik.37

B. Spesifikasi Penelitian

Spesifikasi penelitian yang digunakan adalah bersifat deskriptif-

analitis sesuai dengan masalah dan tujuan dalam penelitian ini. Deskriptif-

analitis adalah menggambarkan peraturan perundang-undangan yang

berlaku dikaitkan dengan teori-teori hukum dari praktek-praktek

36
Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2006, hlm118.
37
Nayla Alawiya, Materi Kuliah Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, Universitas
Jenderal Soedirman, Purwokerto, 2014, hlm 4-5.
45

pelaksanaan hukum positif yang menyangkut permasalahan dalam

penelitian ini.38

C. Lokasi Penelitian

1. UPT Perpustakaan Universitas Jenderal Soedirman.

2. Pusat Informasi Ilmiah Fakultas Hukum Universitas Jenderal

Soedirman.

3. PT. PLN (Persero) UP 3 Purwokerto.

D. Sumber Data

1. Data Sekunder

Data yang digunakan dalam penelitian ini lebih menitikberatkan

kepada Data Sekunder dengan pendukung berupa Data Primer. Data

Sekunder merupakan data yang diperoleh dari bahan-bahan pustaka.

Data sekunder mencakup :

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang terdiri atas

peraturan perundang-undangan yang diurutkan berdasarkan

hierarki Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang

(UU)/Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perpu), Peraturan

Pemerintah (PP), Peraturan Presiden (Perpres), Peraturan Daerah

(Perda).39 Bahan hukum yang dimaksud dalam penelitian ini

adalah:

38
Ronny Hanitijo Soemitro, Metode Penelitian Hukum dan Jurumetri, Ghalia Indonesia,
Jakarta, 1999, hlm 97-98.
39
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang, Cetakan
Keempat, Bayumedia Publishing, 2008, hlm. 295
46

1) Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD);

2) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan

Terbatas;

3) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha

Milik Negara;

4) Peraturan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara No. Per-

01/MBU/2011 tentang Penerapan Tata Kelola Perusahaan

Yang Baik (Good Corporate Governance) Pada Badan Usaha

Milik Negara.

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang memberikan

penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti buku-buku

bacaan, peraturan perundang-undangan, dokumen-dokumen, dan

tulisan-tulisan dari surat kabar yang berisikan informasi tentang

bahan primer.

c. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier adalah bahan yang memberikan

petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan

hukum sekunder seperti kamus hukum, ensiklopedi.

2. Data Primer

Data Primer adalah data yang diperoleh langsung dari sumber

data pertama lokasi penelitian. Data primer diperoleh dari narasumber

secara langsung yaitu PT. PLN (Persero) UP 3 Purwokerto.


47

E. Metode Pengumpulan Data

Dalam mengumpulkan data diusahakan sebanyak mungkin data

yang diperoleh atau dikumpulkan mengenai masalah-masalah yang

berhubungan dengan penelitian ini, di sini penulis akan mempergunakan

data primer dan sekunder, yaitu data yang diperoleh dengan cara:

1. Data Sekunder

Metode pengumpulan data sekunder diperoleh dengan cara studi

kepustakaan dan studi dokumenter. Studi kepustakaan dilakukan

terhadap norma atau kaidah dasar dan peraturan perundang-undangan

serta literatur, jurnal dan buletin ilmiah dalam bidang hukum dan

melakukan studi dokumenter terhadap arsip-arsip dan dokumen-

dokumen di PT. PLN (Persero) yang relevan dengan masalah yang

diteliti kemudian diidentifikasi dan dipelajari sebagai kesatuan yang

utuh.

2. Data Primer

Data Primer digunakan untuk melengkapi data sekunder. Metode

pengumpulan data primer diperoleh secara langsung dari lapangan

dengan teknik wawancara dengan narasumber. Teknik wawancara yang

digunakan adalah teknik secara bebas terpimpin yaitu wawancara akan

dilakukan secara bebas dan terpimpin sehingga kewajaran dapat dicapai

dengan maksimal dan mempermudah untuk memperoleh data yang

mendalam. Dalam hal ini, untuk memperoleh data-data dengan


48

menggunakan tanya jawab (wawancara) dengan pihak yang

berkompeten dari PT. PLN (Persero) UP 3 Purwokerto.

F. Metode Penyajian Data

Penyajian bahan hukum dalam penelitian ini menggunakan bentuk

teks naratif, yaitu data yang sudah diolah dalam uraian teks narasi.

Penyajian teks naratif ini merupakan sebuah uraian yang disusun secara

sistematis, logis, dan rasional. Dalam arti keseluruhan data yang diperoleh

akan dihubungkan satu dengan yang lainnya disesuaikan dengan pokok

permasalahan yang diteliti, sehingga merupakan suatu kesatuan yang utuh.

G. Metode Analisis Data

Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

metode data normatif kualitatif. Metode analisis data normatif kualitatif

yaitu pembahasan dan penjabaran yang disusun secara logis terhadap hasil

penelitian terhadap norma, kaidah, maupun teori hukum yang relevan

dengan pokok permasalahan.40

40
Ronny Hanitijo Soemitro, Op.Cit., hlm 98.

Anda mungkin juga menyukai