Anda di halaman 1dari 17

PROSES PEMBENTUKKAN HARGA DALAM ISLAM

PENDAHULUAN

Tujuan utama dari penulisan makalah ini adalah untuk menganalisa proses pembentukan
harga dalam Islam. Seperti yang kita ketahui, banyak sekali teori yang menjelaskan bagaimana
harga dapat terbentuk, baik itu teori yang berasal dari kalangan filusuf ekonomi Barat maupun
filusuf ekonomi Islam. Dalam makalah ini tidak akan membahas dengan panjang lebar bagaimana
teori-teori filusuf Barat tentang pembentukan harga. Tetapi penulis hanya akan menyajikan
sepintas saja supaya bisa dijadikan sumber pengetahuan dan perbandingan dengan teori-teori
pembentukan harga yang dikemukakan oleh filusuf-filusuf ekonomi Islam.
Saat ini banyak sekali teori yang menjelaskan tentang bagaimana terbentuknya harga dan
faktor-faktor apa saja yang mempengaruhinya. Tetapi. Perlu kita ketahui bahwa sampai
pertengahan abad kedelapan belas, hanya sedikit sekali catatan-catatan mengenai proses
pembentukan harga di kalangan filusuf-filusuf ekonomi barat. Namun yang menarik adalah pada
abad ketiga belas, Ibnu Taimiyyah telah memiliki konsep tentang proses penentuan harga dan
mekanisme pasar yang komprehensif, melebihi pemikiran-pemikiran ekonomi barat pada
zamannya1[1].

PROSES PEMBENTUKAN HARGA MENURUT FILUSUF BARAT


Menurut Schumpeter, proses pembentukan harga ditentukan oleh kelangkaan atau
kelimpahan relatif barang dan uang. Kemudian harga juga sangat dipengaruhi oleh biaya
produksi2[2]. Sedangkan pandangan mazhab Klasik menyatakan bahwa harga sangat ditentukan
oleh tenaga kerja, seperti yang diungkapkan oleh Adam Smith dan David Richardo. Tetapi dalam
hubungan yang lain Adam Smith dan David Richardo juga mengungkapkan bahwa sebenarnya
harga suatu barang itu ditentukan oleh semua biaya/faktor produksi, bukan hanya oleh tenaga kerja
saja3[3]. Disini kita melihat adanya inkonsistensi teori yang dikemukakan oleh para pemikir barat
tersebut.
David Richardo juga menyatakan bahwa suatu barang dapat diperjualbelikan jika barang
tersebut memiliki nilai guna (utilitas). Sebab jika barang tersebut tidak memiliki nilai guna maka
barang tersebut tidak bisa ditukar dengan barang lain yang memiliki nilai guna. Kemudian dia juga
berpendapat bahwa banyaknya atau langkanya suatu barang juga dapat mempengaruhi harga
barang tersebut. Pemikiran David Richardo yang paling menonjol adalah pendapatnya mengenai
harga barang yang berkaitan dengan jumlah pekerjaan yang diperlukan untuk menghasilkan atau
memperoleh barang yang bersangkutan. Inti pokok dari pemikirannya adalah nilai dan harga
barang bersumber pada pekerjaan tenaga manusia, yang pada akhirnya akan sangat mempengaruhi
upah tenaga kerja4[4]. Upah harus selalu berada pada tingkat equilibrium. Jika upah berada diluar
titik equilibrium maka itu hanya bersifat sementara saja. Oleh karena itu teorinya tentang upah
disebut sebagai hukum besi (iron law of wages). Tingkat upah yang tinggi akan menaikan harga
barang yang kemudian barang tersebut juga dibutuhkan oleh pekerja, dan sebaliknya tingkat upah
yang rendah akan menurunkan tingkat harga.
Pemikir ekonomi barat yang lain adalah Thomas Aquinas yang menyatakan bahwa semua
keuntungan yang dibuat dalam perdagangan harus berhubungan dengan tenaga kerja5[5]. Aquinas
juga menitikberatkan pembentukan harga ini pada salah satu faktor produksi, yaitu tenaga kerja.
Pendapat ini sama dengan apa yang telah dikemukakan oleh Adam Smith dan David Richardo
yang menyatakan bahwa tenaga kerja menjadi factor yang sangat penting dalam proses
pembentukan harga. Inti dari teori ini adalah jika pengusaha bisa memproduksi suatu barang
dengan upah kerja yang murah maka dia dapat menjaul barang dengan biaya yang murah sehingga
bisa mendapatkan keuntungan yang maksimal. Dengan demikian ini akan merugikan buruh karena
buruh akan dibayar dengan uah yang rendah sehingga akan terjadi eksploitasi terhadap kaum
buruh. Disini kita dapat melihat bahwa David Richardo menitikberatkan faktor penentu naik
turunya harga barang hanya pada tingkat upah. Padahal seperti yang kita ketahui dewasa ini bahwa
tingkat upah tidak hanya dipengaruhi oleh factor tenaga kerja saja tetapi oleh semua biaya produksi
seperti bahan baku dan lain sebagainya.
Kemudian Aquinas juga menyatakan bahwa harga terbentuk oleh adanya kekuatan
permintaan dan penawaran. Ketika di suatu tempat terdapat banyak penawaran/pasokan barang
maka hal itu akan menurunkan harga barang tersebut, dan sebaliknya jika penawaran/pasokan
barang sedikit maka ini akan cenderung menaikan harga barang tersebut. Dia membenarkan
perilaku pedagang yang membeli barang di suatu tempat yang harganya murah dan barangnya
melimpah untuk dijual kembali pada tempat yang memiliki pasokan barang yang sedikit agar bisa
dijual dengan harga yang mahal. Menurutnya hal ini boleh dilakukan karena transaksi atau
kegiatan tersebut saling menguntungkan setiap orang. Alasan lain adalah bahwa untuk membawa
barang tersebut dari tempat yang melimpah pada tempat yang langka adalah karena adanya risiko
transportasi yang besar. Hal itu tentunya diimbangi dengan keuntungan yang besar pula untuk
pedagang. Kemudian pedagang juga telah beerjasa dalam penyebaran barang dari tempat yang
melimpah ke tempat yang langka, dimana barang tersebut sangat dibutuhkan.
Thomas Aquinas juga mengadopsi teori tentang utilitas dari Aristoteles dan teori biaya
produksi (tenaga kerja ditambah biaya)6[6]. Disini kita juga dapat melihat bahwa Aquinas sama
dengan Adam Smith dan David Richardo yang tidak konsisten terhadap pemikirannya mengenai
proses pembentukan harga barang. Di satu sisi dia menyatakan bahwa hanya tenaga kerja saja yang
mempengaruhi naik turunnya harga, di sisi lain dia juga menyatakan bahwa harga dipengaruhi
oleh semua biaya produksi.

PROSES PEMBENTUKAN HARGA MENURUT FILUSUF ISLAM


1. Imam Al-Ghazali
Imam Al-Ghazali dilahirkan di kota Ghazlah, Kurasam yang sekarang dikenal dengan
negara Iran pada tahun 450 H/1058 M. Oleh karena itu ia dikenal sebagai Imam Al-Ghazali. Nama
aslinya yaitu Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ta’us Ath-Thusi Asy-
Syafi’I Al-Ghazali. Imam Al-Ghazali hidaup pada masa dinasti Abasiyyah yang saat itu dipimpin
oleh Bani Saljuk. Pada masa pemerintahan tersebut Islam berada pada puncak keemasannya.
Kemajuan di bidang politik, ekonomi, dan ilmu pengetahuan umat Islam pada saat itu melebihi
kemajuan bangsa manapun di dunia pada masanya7[7].
Menurut Al-Ghazali pasar adalah suatu tempat bertemunya penjual dan pembeli. Pasar
sendiri terbentuk dari kesulitan yang dirasakan dari sistem barter, yang sangat sulit untuk
mempertemukan kedua pihak yang saling berkepentingan, yaitu penjual dan pembeli. Al-Ghazali
juga menekankan pentingnya uang sebagai alat hitung dan alat tukar, sebagai solusi dalam sistem
barter yang sangat sulit sekali mempertemukan antara orang yang memiliki kebutuhan yang sama-
sama dibutuhkannya. Lebih lanjut Al-Ghazali mengatakan uang yang dimaksud zatnya tidak dapat
memberikan manfaat bagi manusia. Dengan demikian fungsi uang menurut Al-Ghazali hanya
sebagai alat tukar dan alat hitung saja, bukan sebagai alat penyimpan kekayaan.
Jauh sebelum para pemikir barat yang berkembang pada abad ke delapan belas, pada abad
ke sebelas Imam Al-Ghazali telah memberikan pemikirannya tentang konsep permintaan dan
penawaran8[8]. Jika penawaran meningkat atau permintaan menurun maka itu akan menurunkan
harga barang. Begitupula sebaliknya, ketika penawaran menurun atan permintaan bertambah maka
itu akan menaikkan harga barang. Berbeda dengan Aquinas yang membolehkan seorang pedagang
menjual barang yang langka dengan harga tinggi dengan alasan adanya risiko transportasi, maka
Al-Ghazali membatasi barang tersebut hanya barang-barang yang bukan merupakan kebutuhan
pokok saja. Adapun bagi barang kebutuhan pokok, pedagang tidak boleh menjual dengan harga
yang sangat tinggi meskipun barangnya itu langka. Itu karena barang kebutuhan pokok bersifat
inelastis, artinya perubahan perubahan kuantitas barang yang diperjual belikan akan lebih kecil
daripada perubahan harga yang terjadi. Hal itu sangat wajar, karena meskipun harganya sangat
mahal orang akan tetap sangat membutuhkannya. Tetapi jika harganya terlalu mahal maka ini akan
membuat kesengsaraan rakyat dan akan menambah kemiskinan serta menurunkan perekonomian.
Al-Ghazali belum mengaitkan antara hubungan keuntungan dari harga barang dengan
biaya dan pendapatan. Bagi Al-Ghazali keuntungan adalah kompensasi dari kepayahan perjalanan,
resiko bisnis, dan ancaman keselamatan diri si pedagang. Dan keuntungan inilah yang menjadi
motivasi bagi pedagang. Tetapi Al-Ghazali menekankan bahwa para pedagang hendaknya
mengambil keuntungan yang wajar dan melarang para pedagang untuk mengambil keuntungan
secara berlebihan.

2. Ibnu Taimiyyah
Ibu Taimiyyah lahir pada tanggal 22 Januari 1263 M (10 Rabiul Awwal 661 H) di kota
Harran. Nama lengkapnya yaitu Taqi al-Din Ahmad bin Abd. Al-Halim bin Abd. Salam bin
Taimiyah9[9]. Pada usia yang relatif muda, Ibnu Taimiyyah telah menguasai berbagai macam
disiplin ilmu seperti tafsir, hadis, fiqih, matematika, dan filsafat. Bahkan ketika usianya baru
menginjak 17 tahun, ia telah diberi kewenangan oleh salah seorang gurunya yaitu Syamsudin Al-
Maqdisi untuk mengeluarkan fatwa. Banyak sekali karya yang dihasilkan oleh Ibnu Taimiyyah
mulai dari masalah yang berkaitan dengan hukum, ekonomi, filsafat dan lain sebagainya. Bahkan
dalam bidang ekonomi, karya Ibnu Taimiyyah yang terkenal yaitu kitab Majmu’ fatawa Syaikh al-
Islam, Al-Hisbah fi al Islam (Lembaga Hisbah dalam Islam), dan Al-Siyasah al Syar’iyyah fi
Ishlah al Ra’I wa al Ra’iyah (Hukum Publik dan privat dalam Islam).
Ibnu Taimiyyah sudah memiliki pandangan bahwa harga ditentukan oleh kekuatan
permintaan dan penawaran. Jika permintaan naik atau penawaran turun sehingga barang menjadi
langka maka itu akan menaikkan harga barang. Begitupun sebaliknya, jika permintaan turun atau
penawaran naik sehingga barang menjadi melimpah maka hal ini akan menurunkan harga barang.
Pada masa Ibnu Taimiyyah terdapat indikasi bahwa terjadinya kenaikkan harga barang disebabkan
oleh ketidaksempurnaan pasar atau terjadi kecurangan/kedzaliman yang dilakukan oleh penjual.
Dengan tegas Ibnu Taimiyyah menyatakan bahwa kenaikan harga tidak selalu terjadi akibat
terjadinya kecurangan penjual saja, tetapi bisa saja alasan naik turunnya harga itu disebabkan oleh
kekuatan pasar. Yang menentukan besar kecilnya perubahan harga adalah besarnya perubahan dari
permintaan dan atau penawaran. Jika transaksi sudah sesuai dengan aturan, tetapi harga tetap saja
naik maka itu merupakan kehendak Illahiyyah (hukum alam/sunatullah). Pemikiran seperti ini
dalam mazhab klasik dikenal dengan invisible hand (tangan yang tidak nampak) seperti apa yang
diutarakan Adam Smith dalam The Wealth of Nation-nya. Invisible Hand sendiri adalah suatu
istilah yang berarti bahwa kekuatan pasar sebagai penentu harga. Adam Smith lebih memilih
istilah invisible hand daripada kehendak Illahiyyah. Hal itu wajar mengingat sebagian besar orang-
orang Eropa menganut ideologi sekuler yang memisahkan agama dengan kehidupan duniawi.

Gambar 1. Keseimbangan Pasar

Pada gambar diatas bisa kita lihat bahwa jika permintaan sebesar D dan penawaran sebesar
S maka titik equilibrium atau harga dan kuantitas keseimbangannya adalah pada titik E. Harga
keseimbangannya adalah pada P1 dan kuantitan keseimbangnnya pada Q1.
Ibnu Taimiyyah sudah menganalisi bahwa terjadinya penurunan penawaran bisa saja
terjadi akibat inefisiensi produksi, penurunan jumlah impor barang, atau karena adanya tekanan
pasar sehingga harga barang menjadi naik10[10]. Jika kita gambarkan dalam bentuk kurva adalah
sebagai berikut:

Gambar 2. Perubahan Harga Akibat Inefisiensi Produksi

Pada kurva diatas kita dapat lihat bahwa kurva penawaran mengalami pergeseran yang
diakibatkan oleh inefisiensi produksi sehingga biaya produksi menjadi naik. Dengan demikian
maka akan tercipta titik equilibrium baru yang awalnya E bergeser ke El. Dengan bergesernya titik
equilibrium ini maka harga keseimbangan akan mengalami kenaikan dari P1 ke P2 dan kuantitas
keseimbangan akan menurun dari Q1 ke Q2.
Menurut Ibnu Taimiyah penawaran bisa datang dari penawaran domestik dan penawaran
impor. Impor dilakukan untuk menambah penawaran domestik atau sebagai suatu kebijakan untuk
menurunkan harga barang domestik. Kemudian faktor yang dapat mempengaruhi permintaan
menurut Ibnu Taimiyah yaitu selera konsumen dan pendapatan. Jika selera dan pendapatan
meningkat maka hal ini akan meningkatkan permintaan. Hal ini tentu saja akan merubah harga
keseimbangan pasar karena penawaran diasumsikan tetap dan belum bisa mengimbangi
peningkatan permintaan yang diakibatkan oleh peningkatan selera dan pendapatan. Tetapi dengan
meningkatnya harga ini, dalam jangka panjang akan mendorong pedagang untuk memproduksi
barang lebih banyak agar bisa mendapatkan keuntungan yang lebih banyak pula atau akan
dilakukan impor barang untuk memenuhi peningkatan peningkatan domestic tersebut. Dengan
demikian dalam harga akan kembali turun. Begitupula sebaliknya, ketika selera dan pendapatan
konsumen menurun ini akan mengurangi permintaan. Pada awalnya penawaran adalah tetap
sehingga barang akan melimpah dan kondisi seperti ini akan mendorong penurunan harga. Hal ini
tentu saja akan mengurangi gairah pedagang sehingga dalam jangka panjang pedagang akan
mengurangi penawarannya. Dengan demikian harga akan kembali naik dan kembali kepada
keseimbangan awal.

Gambar 3. Perubahan Harga Akibat Naiknya Selera dan Pendapatan

Pada gambar diatas dapat kita lihat bahwa kurva permintaan awal adalah D dan kurva
penawaran S maka akan menghasilkan equilibrium di E. harga keseimbangan ada di P 1 dan
kuantitas keseimbangan ada di Q1. Karena adanya peningkatan selera dan pendapatan maka kurva
permintaan bergeser ke Dl sehingga merubah equilibrium ke El. Dengan demikian kondisi ini akan
menaikan harga keseimbangan dari P1 ke P2 dan meningkatkan kuantitas keseimbangan dari Q1 ke
Q2. Dalam jangka panjang ini akan menambah gairah pedagang yang kemudian akan menambah
produksinya atau melakukan impor sehingga akan menggeser pula kurva penawaran dari S ke S l.
Dengan demikian akan ada equilibrium baru yaitu di Ell. Kondisi ini akan menurunkan kembali
harga keseimbangan dari P2 ke P1 kembali dan akan menambah kuantitas keseimbangan dari Q2
ke Q3.
Adapun faktor lain yang mempengaruhi permintaan dan penawaran barang menurut Ibnu
Taimiyah adalah intensitas dan besarnya permintaan, kelangkaan atau melimpahnya barang,
kondisi kepercayaan, serta diskonto dari pembayaran tunai11[11]. Jika seseorang cukup mampu
dan terpercaya untuk membayar kredit maka ini akan membuat pedagang senang untuk melakukan
transaksi dengan orang tersebut dan cenderung untuk memberikan harga lebih murah sehingga
keadaan ini akan meningkatkan transaksi. Sebaliknya jika kredibilitas dan tingkat kepercayaan
seseorang rendah maka pedagang akan merasa malas untuk melakukan transaksi dengan orang
tersebut dan cenderung akan memasang harga tinggi sehingga keadaan ini akan menurunkan
transaksi yang terjadi.
Ibnu Taimiyah juga menganalisis bahwa untuk transaksi secara kredit, para pedagang akan
mempertimbangkan risiko ketidakpastian pembayaran pada masa yang akan dating. Kemudian
Ibnu Taimiyah juga telah mampu untuk menganalisis kemungkinan pedagang akan memberikan
diskon untuk transaksi yang terjadi secara tunai. Pada masanya Ibnu Taimiyah telah mampu
menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan harga bukan hanya faktor permintaan
dan penawaran saja, tetai lebih jauh Ibnu Taimiya juga mengindikasikan faktor lainnya yang juga
dapat mempengaruhi harga yaitu insentif, disinsentif, ketidakpastian di masa yang akan datang,
dan risiko yang terlibat di transaksi pasar12[12].
Harga juga dipengaruhi oleh jenis mata uang yang dibayarkan dalam melakukan transaksi.
Jika transaksi itu dilakukan menggunakan mata uang yang umum digunakan di suatu daerah maka
harga yang ditetapkan akan lebih rendah dibandingkan dengan jika pembayaran tersebut
menggunakan mata uang yang kurang umum digunakan di daerah tersebut.
Faktor lain yang juga mempengaruhi harga menurut Ibnu Taimiyah adalah biaya yang
dikeluarkan oleh produsen untuk memproduksi suatu barang. Apabila biaya yang dikeluarkan kecil
atau pedagang dapat mengefisienkan produksinya maka hal ini akan membuat pedagang bisa
menjual dengan harga yang murah dan produsen juga dapat memproduksi barang lebih banyak.
Tentunya harga yang murah akan lebih disukai konsumen sehingga kemampuan daya beli
konsumen menjadi meningkat yang pada akhirnya ini akan meningkatkan transaksi dan menambah
keuntungan bagi pedagang pula.
Ibnu Taimiyah membedakan antara peningkatan harga yang disebabkan oleh kekuatan-
kekuatan pasar dan yang disebabkan oleh ketidakadilan seperti penimbunan dan monopoli. Untuk
kasus peningkatan harga yang disebabkan oleh ketidakadilan maka Ibnu Taimiyah mendukung
untuk dilakukannya pengendalian harga oleh pemerintah. Ini dilakukan untuk kemaslahatan
bersama, agar tidak ada pihak yang merasa dirugikan. Tetapi untuk kasus kenaikkan harga yang
disebabkan oleh kekuatan-kekuatan pasar seperti permintaan dan penawaran maka Ibnu Taimiyah
menentang untuk dilakukannya pengendalian harga oleh pemerintah. Misalkan saja ketika
produksi menurun atau ketika terjadi peningkatan populasi penduduk yang pada akhirnya akan
meningkatkan permintaan sehingga harga akan naik. Maka untuk kasus seperti ini pemerintah
tidak perlu melakukan pengendalian harga dan campur tangan dalam mekanisme pasar.
Mengenai ketidaksempurnaan pasar akibat adanya kecurangan dari pedagang seperti
penimbunan dan monopoli yang terjadi di pasar maka Ibnu Taimiyah berpendapat pemerintah
harus turun tangan melarang kegiatan tersebut. Ia juga melarang para pedagang menjual barang
pada harga yang tinggi diatas harga pasar pada barang-barang kebutuhan pokok yang sangat
dibutuhkan masyarakat karena perbuatan tersebut adalah perbuatan yang dzolim dan akan
menyengsarakan masyarakat. Konsep Ibnu Taimiyah ini sama dengan apa yang disebut dengan
konsep harga yang adil.
Ibnu Taimiyah menggunakan dua istilah dalam membahas persoalan mengenai harga yang
adil ini, yaitu13[13]:
1. Kompensasi yang setara/adil (’Iwad al-Mitsl) yakni penggantian yang sama yang merupakan nilai
harga sepadan dari sebuah benda menurut adat kebiasaan.
2. Harga yang setara/adil (tsaman al-Mitsl) yakni nilai harga dimana orang-orang menjual barangnya
dan diterima secara umum sebagai hal yang sepadan dengan barang yang dijual ataupun barang-
barang yang sejenis lainnya di tempat dan waktu tertentu.
Beliau membedakan antara dua jenis harga, yakni harga yang tidak adil dan dilarang serta
harga yang adil dan disukai. Ibnu Taimiyah menganggap harga yang setara sebagai harga yang
adil. Konsep Ibnu Taimiyah mengenai kompensasi yang setara (‘iwadh al-mitsl) tidak sama
dengan harga yang adil (tsaman al-mitsl). Persoalan tentang kompensasi yang adil atau setara
(‘iwadh al-mitsl) muncul ketika mengupas persoalan kewajiban moral dan hukum. Beliau
menggunakan istilah kompensasi yang setara ketika menelaah dari sisi legal etik dan harga yang
setara ketika meninjau dari aspek ekonomi.
Bagi Ibnu Taimiyah, kompensasi yang setara itu relatif merupakan sebuah fenomena yang dapat
bertahan lama akibat terbentuknya kebiasaan, sedangkan harga yang setara itu bervariasi,
ditentukan oleh kekuatan permintaan dan penawaran serta dipengaruhi oleh kebutuhan dan
keinginan masyarakat.
3. Ibnu Khaldun

Ibnu Khaldun dikenal sebagai salah satu bapak ilmu ekonomi. bahkan ahli sejarah ekonomi
terkemuka, Joseph Schumpeter, mencatat nama Ibnu Khaldun di dua tempat dalam bukunya
History of Economic Analysis. buku Ibnu Khaldun yang paling terkenal adalah Al-Muqaddimah
yang menjadi sumber dari berbagai ilmul sosial seperti sejarah, psikologi, geografi, ekonomi, dan
sebagainya. Beliau lahir di Tunisia (1332) dan wafat di Kairo (1406). Beliau juga diakui oleh
penasihat ekonomi Presiden Reagen sebagai inspirator teori pajak yang dikenal dengan nama
"Kurva Laffer"14[14].
Ibnu Khaldun membagi barang menjadi dua jenis yaitu barang kebutuhan pokok dan
barang pelengkap. barang kebutuhan pokok akan selalu menjadi prioritas dibandingkan dengan
barang pelengkap.beliau berpendapat bahwa harga barang di kota besar akan lebih murah
dibandingkan dengan di kota kecil. Hal itu dikarenakan di kota besar terdapat penawaran atau
supply barang kebutuhan pokok yang besar dikarenakan setiap orang berusaha untuk memenuhi
kebutuhannya sehingga mereka memiliki surplus yang besar. Dengan demikian penduduk di kota
besar memiliki makanan yang melebihi kebutuhannya. Akibatnya harga menjadi turun. Sedangkan
di kota kecil, mereka memiliki supply makanan yang lebih sedikit akibat sedikitnya penduduk dan
supply kerja yang kecil. Sehingga hal ini menyebabkan kekhawatiran para penduduk akan
kehabisan makanan. oleh karena itu mereka akan menyimpan cadangan makanan untuk dirinya
sendiri dan supply makanan di pasar menjadi sedikit. hal ini tentunya akan menaikkan harga.
Gambar 4. Harga Kebutuhan Pokok di Kota Besar dan di Kota Kecil

Pada gambar diatas kita bisa lihat bahwa di kota kecil memiliki penawaran (S) yang kecil
dan permintaan (D) yang kecil pula. Maka titik equilibrium terletak di E dan harga
keseimbangannya di P1 serta kuantitas keseimbangannya beradi di Q1. Sementara di kota besar
memiliki permintaan di Dl dan penawaran di Sl, lebih besar dibandingkan dengan permintaan dan
penawaran di kota kecil. Maka titik equilibriumnya berada di El serta harga dan kuantitas
keseimbangannya masing-masing berada di P2 dan Q2. Jika kita lihat pada kurva diatas maka di
kota besar memiliki kuantitas keseimbangan yang lebih besar dan harga keseimbangan yang lebih
murah dibandingkan dengan di kota kecil.
Sejalan dengan peningkatan kesejahteraan penduduk di kota besar maka hal ini akan
menyebabkan bergesernya gaya hidup penduduk di kota besar sehingga permintaan untuk barang-
barang mewah akan meningkat pula. tetapi berbeda dengan barang kebutuhan pokok, penambahan
permintaan terhadap barang mewah tidak diimbangi dengan besarnya penawaran. Akibatnya harga
barang-barang mewah akan naik.
Gambar 5. Naiknya Permintaan dan Harga Barang Mewah

Pada gambar diatas bisa kita lihat bahwa pada awalnya kurva penawaran dan permintaan
masing-masing adalah S dan D. Pada keadaan ini akan menghasilkan equilibrium di E. Harga
keseimbangan ada di P1 dan kuantitas keseimbangan ada di Q1.Dikarenakan adanya peningkatan
disposable income yang akan meningkatkan pula marginal propensity to consume masyarakat
maka hal ini akan menambah permintaan sehingga kurva permintaan bergeser dari D ke D l.
Sehingga keadaan ini akan menyebabkan berpindahnya equilibrium dari E ke El dan harga dan
kuantitas keseimbangan naik dari P1 ke P2 dan dari Q1 ke Q2.
Dari uraian-uraian diatas, dapat kita lihat bahwa Ibnu Khaldun memiliki pandangan yang
sama dengan Ibnu Taimiyah bahwa terdapat pengaruh yang besar dari permintaan dan penawaran
terhadap harga. Apabila permintaan tinggi dan penawaran rendah maka ini akan membuat harga
menjali mahal. Sebaliknya apabila penawaran tinggi dan permintaan rendah maka ini akan
membuat harga menjadi murah.
Bahkan Ibnu Khaldun telah dapat menganalisis pengaruh pajak terhadap kenaikan harga
dikarenakan pajak tersebut akan menambah biaya produksi. Beliau juga berpendapat bahwa
sebaiknya para pedagang mengambil keuntungan secara wajar karena hal itu akan mendorong
tumbuhnya perdagangan. Keuntungan yang rendah akan membuat lesu perdagangan karena para
pedagang akan kehilangan motivasi. Sebaliknya keuntungan yang terlalu tinggi juga akan
melesukan perdagangan karena itu akan menurunkan tingkat permintaan.

PENUTUP

Dari penjelasan diatas dapat kita simpulkan bahwa pemikiran ekonomi Islam jauh lebih
dahulu jika dibandingkan dengan pemikiran ekonomi Barat yang baru berkembang pada abad
kedelapan belas. Perkembangan ekonomi Islam telah berkembang pada abad ketiga belas. Bahkan
hal ini diperkuat dengan ungkapan seorang ahli sejarah ekonomi Barat terkemuka, Joseph
Schumpeter yang menyatakan bahwa sampai pertengahan abad kedelapan belas, hanya sedikit
sekali catatan-catatan mengenai proses pembentukan harga di kalangan filusuf-filusuf ekonomi
barat.
Kalau kita lihat dalam sejarah pemikiran ekonomi dunia terjadi ‘penghilangan’ fakta-fakta
sejarah, dimana andil pemikir-pemikir muslim tertutupi. Joseph Schumpeter dalam Magnum Opus
nya menyatakan adanya great gap dalam sejarah pemikiran ekonomi selama 500 tahun (dark
ages), rentang antara Aristoteles (367-322 SM) sampai dengan St. Thomas Aquinas (1225-1274
M) suatau masa yang panjang. Periode inilah sebenarnya masa kejayaan Islam terjadi, dan para
Mahasiswa eropa berbondong-bondong belajar kenegeri muslim. Mereka menjadi inspirator dan
pelopor pencerahan eropa setelah mencuri ide-ide dari negeri muslim, St. Thomas Aquinas
misalnya pemikiran ekonominya banyak bertentangan dengan dogma gereja sehingga para
sejarawan menduga dia telah mencuri ide-ide itu dari ekonom muslim.
Jika kita melihat tentang pemikiran ekonomi Barat seperti Thomas Aquinas maka
pemikiran ekonominya tidak sekomprehensif pemikir-pemikir Islam seperti Ibnu Taimiyah dan
Ibnu Khaldun. Analisis ekonomi Barat pada saat itu hanya mampu menganalisis faktor-faktor yang
menyebabkan perubahan harga hanya dari sisi penawaran saja, misalkan biaya produksi dan
utilitas dari barang yang diperjaualbelikan. Sedangkan para pemikir Islam telah mampu
menganalisis sebab-sebab perubahan harga baik dari sisi penawaran maupun dari sisi permintaan.
Dari sisi penawaran misalnya Al-Ghazali menyatakan bahwa yang jumlah penawaran dan biaya
dapat mempengaruhi harga. Sedangkan dari segi permintaan beliau mengatakan bahwa pendapatan
masyarakat bisa mempengaruhi harga.
Begitupun dengan Ibnu Taimiyah yang juga telah bisa menganalisis pengaruh permintaan
dan penawaran terhadap harga, sama seperti pemikiran Al-Ghazali dan Thomas Aquinas.
Perbedaannya adalah dalam penentuan harga barang yang langka. Thomas Aquinas membolehkan
pedagang untuk menjual barang tersebut dengan harga yang tinggi sebagai kompensasi risiko
transportasi, sedangkan bagi Ibnu Taimiyah melarang hal itu jika barang tersebut adalah barang
kebutuhan pokok yang dibutuhkan masyarakat. Bahkan Ibnu Taimiyah merumuskan kebijakan
yang harus dilakukan pemerintah agar melakukan kontrol harga dengan cara menambah
penawaran baik dengan menambah produksi domestik atau melalui impor. Jika kelangkaan
tersebut disebabkan dari kecurangan/ketidaksempurnaan pasar seperti terjadi penimbunan
sehingga barang menjadi langka maka pemerintah harus campur tangan dalam penentuan harga
atau menindak pelaku penimbunan tersebut. Lebih jauh Ibnu Khaldun menganjurkan agar para
pedagang mengambil keuntungan yang wajar karena hal itulah yang akan mendorong tumbuhnya
perdagangan. Keuntungan yang terlalu tinggi atau terlalu rendah akan membuat lesu perdagangan.
Lebih jauh lagi Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa faktor lain yang mempengaruhi
permintaan dan penawaran adalah intensitas dan besarnya permintaan, kelangkaan atau
melimpahnya barang, kondisi kepercayaan, jenis mata uang yang biasa dipakai, serta diskonto dari
pembayaran tunai. Bahkan Ibnu Khaldun telah mampu menganalisis pengaruh pajak terhadap
perubahan harga, mendahului pemikiran-pemikiran ekonomi barat.
DAFTAR PUSTAKA

Adiwarman A. Karim. Ekonomi Mikro Islami, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2010), cet.ke-3, h. 141-
151.
Sumitro Djodjohadikusumo. Perkembangan Pemikiran Ekonomi, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1991),
cet.ke-1, h. 33-34.
. (2012). Harga Tidak Adil: Semacam Penipuan. [online]. Tersedia:
http://translate.google.co.uk/translate?hl=id&langpair=en|id&u=http://en.wikipedia.org/wiki/Just
_price (24 Oktober 2012).
. (2012). Mekanisme Pasar Menurut Ibnu Taimiyyah. [online]. Tersedia:
http://ekisonline.com/mikro/item/36-mekanisme-pasar-menurut-ibnu-taimiyah (24 Oktober
2012).
. (2012). Pemikiran Ekonomi Al-Ghazali, Ibnu Taimiyyah, dan Ibnu Hazm.
http://idoycdt.wordpress.com/2011/04/19/pemikiran-ekonomi-al-ghazali-ibnu-taimiyah-dan-
ibnu-hazm/. (24 Oktober 2012).

Anda mungkin juga menyukai