Anda di halaman 1dari 32

ASUHAN KEPERAWATAN ILEUS

3.1 DEFINISI

Menurut (Muttaqin, 2011). Ileus adalah suatu kondisi hipomotilitas


(kelumpuhan) saluran gastrointestinal tanpa disertai adanya obstruksi
mekanik pada intestinal. Pada kondisi klinik sering disebut dengan ileus
paralitic.

Perawat sangat perlu melakukan pemantauan pada pasien pasca bedah


abdominal dari kondisi ileus. Setelah 2-3 hari pasca pembedahan abdomen,
ileus merupakan suatu kondisi fisiologis yang normal sekunder dari anastesia
dan efek intervensi bedah. Namun, istilah ileus kondisi kelumpuhan intestinal
dapat bertahan lebih dari tiga hari pasca bedah.

Sebagian besar kasus ileus terjadi setelah operasi intra abdomen. Kembali
normalnya aktivitas usus setelah pembedahan abdominal mengikuti pola yang
dapat diprediksi. Usus kecil biasanya mendapatkan kembali fungsi dalam
beberapa jam. Aktivitas regains lambung dalam 1 - 2 hari dan usus besar
aktivitas regains 3-5 hari (Person, 2006)

Menurut (Nurarif, 2016). Ileus adalah obstruksi usus dapat akut dengan
kronik , partial atau total. Obstruksi usus biasanya mengenai kolon sebagai
akibat karsinoma dan perkembangannya lambat. Sebagian dasar dari
obstruksi justru mengenai usus halus. Obstruksi total usus halus merupakan
keadaan gawat yang memerlukan diagnosis dini dan tindakan pembedahan
darurat bila penderita ingin tetap hidup.

Ada 2 tipe obstruksi yaitu :

1. Mekanis (ileus Obstruktif)


Suatu penyebab fisik menyumbat usus dan tidak dapat diatasi oleh
peristaltik. Ileus obstruktif ini dapat akut seperti pada hernia stragulata
atau kronis akibat kersinoma yang melingkari. Misalnya intusepsi,
tumor polipoid dan neoplasma stenosis, obstruksi batu empedu,
strikura, perlengketan, hernia dan abses.

1
2. Neurogenik / fungsional (ileus paralitik)
Keadaan dimana usus gagal atau tidak mampu melakukan
kontraksi peristaltic untuk menyalurkan isinya. Ileus paralitik ini
bukan suatu penyakit primer, tindakan operasi yang berhubungan
dengan rongga perut, toksin dan obat obatan yang dapat
mempengaruhi kontraksi otot polos usus. Contoh penyakit tersebut
amiloidosis, distropi otot, gangguan endokrin seperti diabetes millitus,
atau gangguan neurologis seperti penyakit Parkinson. (Sudoyo, 2000
dalam buku Nurarif, 2016).

3.2 ETIOLOGI

Walaupun predisposisi ileus biasanya terjadi akibat pascabedah abdomen ,


tetapi ada faktor predisposisi lain yang mendukung peningkatan resiko
terjadinya ileus , di antaranya (Behm,2003 dalam Muttaqin dan Sari, 2013)
sebagai berikut :

1. Sepsis adalah suatu keadaan di mana tubuh bereaksi hebat terhadap


bakteria atau mikroorganisme lain. Sepsis merupakan suatu keadaan yang
mesti ditangani dengan baik yang berhubungan dengan adanya infeksi
oleh bakteri. Bila tidak segera diatasi, Sepsis dapat menyebabkan kematian
penderita.
2. Perlengketan : Lengkung usus menjadi melekat pada area yang sembuh
secara lambat atau pada jaringan perut setelah pembedahan abdomen.
3. Obat – obatan (misalnya : opioid, antasid, coumarin, amitriptyline,
chlorpromazine).
4. Gangguan elektrolit dan metabolik (misalnya : hipokalemia,
hipomagnesemia, hipernatremia, anemia, atau hiposmolalitas).
5. Infark miokard : Karena pada pasien dengan penyakit infark miokard akut
lebih berpotensi untuk terkena penyakit ileus di karenakan kurangnya
asupan yang seharusnya di berikan jantung di daerah gastrointestinal

2
6. Intusepsi : Salah satu bagian dari usus menyusup ke dalam bagian lain
yang ada di bawahnya akibat penyempitan lumen usus. Segmen usus
tertarik kedealam segmen berikutnya oleh gerakan peristaltik yang
memperlakukan segmen itu seperti usus. Paling sering terjadi pada anak
anak dimana kelenjar limfe mendorong dinding ileum ke dalam dan
terpijat disepanjang bagian usus tersebut (ileocaecal) lewat coecum ke
dalam usus besar (colon) dan bahkan sampai sejauh rectum dan anus.
7. Pneumonia : Karena pada pasien dengan gangguan sistem pernapasan
dapat menyebabkan terganggunya organ di gangguan gastrointestinal
8. Trauma (misalnya) : patah tulang iga, cedera spina).
9. Volvulus : usus besar yang mempunyai mesocolon dapat terpuntir sendiri
dengan demikian menimbulkan penyumbatan dengan menutupnya
gelungan usus yang terjadi amat distensi. Keadaan ini dapat juga terjadi
pada usus halus yang terputar pada mesentriumnya.
10. Hernia : protrusi usus melalui urea yang lemah dalam usus atau dinding
dan otot abdomen.
11. Tumor : tumor yang ada di dalam dinding usus meluas ke lumen usus atau
tumor diluar usus menyebabkan tekanan pada usus.
12. Keturunan.
13. Cedera kepala dan prosedur bedah saraf.
14. Inflamasi intra abdomen dan peritonitis.
15. Hematoma retroperitoneal.

3.3 MANIFESTASI KLINIS

a. Obstruksi usus halus


1) Gejala awal biasanya berupa nyeri abdomen sekitar umbilicus atau
bagian epigasterium yang cenderung bertambah sejalan dengan
beratnya obstruksi dan bersifat intermiten (hilang timbul). Jika
obstruksi terletak di bagian tengah atau letak tinggi dari usus halus
(jejunum dan ileum bagian proksimal) maka nyeri bersifat konsten atau
menetap.

3
2) Klien dapat mengeluarkan darah dan mucus, tetapi bukan materi fekal
dan tidak terdapat flatus.
3) Umumnya gejala obstruksi berupa konstipasi yang berakhir pada
distensi abdomen, tetapi pada klien obstruksi partial bisa mengalami
diare.
4) Pada obstruksi komplet, gelombang peristaltic pada awalnya menjadi
sangat keras dan akhirnya berbalik arah dan isi usus terdorong ke arah
mulut.
5) Apabila obstruksi terjadi pada ileum maka muntah fekal dapat terjadi.
Semakin kebawah obstruksi di area gastrointestinal yang terjadi,
semakin jelas adanya distensi abdomen.
6) Jika obstruksi usus terjadi terus dan tidak diatasi maka akan terjadi syok
hipovolemia akibat dehidrasi dan kehilangan volume plasma, dengan
manifestasi klinis takikardi dan hipotensi, suhu tubuh biasanya normal,
tapi kadang – kadang dapat meningkat. Demam menunjukkan obstruksi
strangulata.
7) Pada pemeriksaan abdomen didapatkan abdomen tampak distensi dan
peristaltic meningkat. Pada tahap lanjut dimana obstruksi terus
berlanjut, peristaltic akan melemah dan hilang. Adanya feces bercampur
darah pada pemeriksaan rectal toucher dapat dicurigai adanya
keganasan dan intususepsi.
b. Obstruksi usus besar
1. Nyeri perut yang bersifat kolik dalam kualitas yang sama dengan
obstruksi pada usus halus tetapi intensitasnya jauh lebih rendah.
2. Muntah muncul terakhir terutama bila katup ileosekal kompeten. Pada
klien dengan obstruksi di sigmoid dan rectum, konstipasi dapat menjadi
gejala satu – satunya selama beberapa hari.
3. Akhirnya abdomen menjadi sangat distensi, loop dari usus besar
menjadi dapat dilihat dari luar melalui dinding abdomen.
4. Klien mengalami kram akibat nyeri abdomen bawah

4
3.4 PATOFISIOLOGI

Menurut beberapa hipotesis, ileus pasca bedah dimediasi melalui


penghambatan aktivasi refleks spinal. Secara anatomis, refleks yang terlibat
pada ileus adalah pada pleksus ganglia prevertebral (Mattei, 2006 dalam buku
Muttaqin dan Sari, 2013).

Respons dari stress bedah mengarah pada generasi sistemik dari endokrin
dan mediator inflamasi yang juga mempromosikan perkembangan ileus.
Model tikus telah menunjukkan bahwa laparotomi, penetrasi, dan kompresi
usus yang menyebabkan peningkatan jumlah makrofag, monosit, sel dendritik,
sel T, sel-sel pembunuh alami, dan sel mast, seperti yang ditunjukkan oleh
imunohistokimia. Kalsitonin-peptida, nitrit oksid, peptida vasoaktif intestina,
dan substansi P berfungsi sebagai inhibitor neuro transmitter pada sistem saraf
khusus (Bauer, 2004 dalam buku Muttaqin dan Sari, 2013).

Diferensiasi yang umum untuk ileus adalah pseudo-obstruksi dan obtruksi


usus mekanik. Seperti ileus pada pseudo-obstruksi, terjadi dengan tidak
adanya patologi mekanis. Beberapa teks dan artikel cenderung menggunakan
ileus disama artikan dengan pseudo-obstruksi atau merujuk pada “ileus
kolon”. Namun, kondisi ini jelas merupakan dua entitas yang berbeda.
Pseudo-obstruksi jelas terbatas pada usus besar, sedangkan ileus melibatkan
baik usus kecil dan usus besar. Usus besar yang terlibat dalam pseudo-
obstruksi klasik, yang biasanya terjadi pada lanjut usia dengan gambaran
penyakit ekstra intestinal serius atau trauma. Agen farmakologi, sepsis, dan
ketidakseimbangan elektrolit dapat juga berkontribusi terhadap kondisi ini.
Obstruksi usus mekanik dapat disebabkan oleh adhesi, volvulus, hernia,
intususepsi, benda asing, atau neoplasma. Klinis obstruksi hadir dengan kolik
abdominal yang hebat atau tanda-tanda obstruksi perforasi yang jelas (Loftus,
2002 dalam buku Muttaqin dan Sari, 2013).

Adanya kondisi ileus memberikan berbagai manifestasi masalah


keperawatan yang dilakukan dengan asuhan keperawatan yang komprehensif.
Masalah keperawatan yang muncul pada pasien ileus secara patologis.

5
Tabel 7.11 Perbedaan dari ileus, pseudo-obstruksi, dan obstruksi usus
mekanik.

ileus Pseudo- Obstruksi


obstruksi mekanik usus

Anamnesis Nyeri abdomen Nyeri kram Nyeri kram


ringan, abdominal, mual, abdominal, mual,
kembung, mual, muntah, muntah,
muntah, anoreksia, anoreksia,
obstipasi, obstipasi, obstipasi,
konstipasi. konstipasi. konstipasi.

Pemeriksaan fisik Bising usus Borborygmi, Borborygami,


abdomen hilang, distensi, timpani, gelombang
timpani. gelombang peristaltik, bising
peristaltik, bising usus bernada
usus hiperaktif, tinggi, distensi,
distensi, nyeri nyeri tekan lokal.
tekan lokal.

Foto polos Dilatasi usus Dilatasi isolasi Berbentuk lesi gas


abdomen kecil dan usus pada usus besar, kolon distal,
besar, elevasi elevasi diafragma agak
diafragma. diafragma. tinggi, air-fluid
levels.

(Mukherjee, S, 2008)

6
Gambar 1.1 (Perbandingan usus normal dan ileus )

Sumber: http://www.medicalexhibits.com

7
PATHWAY
Predisposisi sistemik, meliputi : sepsis, obat-
Predisposisi pascaoperatif obatan, gangguan elektrolit dan metabolik,
infarkmiokard, pneumonia, trauma, biller dan
bedah abdominal
ginjal kolik, cedera kepala dan prosedur bedah
saraf, inflamasi intra abdomen dan peritonitis,
ILEUS hematona retroperitoneal.

Hipomotilitas (kelumpuhan)
intestinal

Ketidakmampuan Respons Hilangnya Respons Gangguan


absorpsi air psikologis kemampuan lokal saraf gastrointestinal
misinterpretasi intestinal terhadap
perawatan dan dalam pasase inflamasi
Penurunan intake
material feses Mual,
cairan pengobatan
muntah,
Distensi
kembung,
Risiko Konstipasi abdomen
Kecemasan anoreksia
ketidakseimbangan
pemenuhan
cairan Nyeri
informasi
Asupan
Penurunan volume Risiko tinggi syok nutrisi
Kehilangan cairan
cairan hipovolemik tidak
dan elektrolit
adekuat

Risiko
Ketidakseimbangan
ketidakseimbangan
nutrisi kurang dari
cairan
kebutuhan

Sumber : Muttaqin, A dan Sari, K. (2013)

8
3.5 PENGKAJIAN

Sumber : (Muttaqin dan Sari, 2013).

Pengkajian ileus terdiri atas pengkajian anamnesis, dan pemeiksaan fisik.


Pada pengkajian anamnesis didapatkan sesuai dengan kondisi klinik
perkembangan penyakit.

1. Anamnesis
Identitas Klien
Terdiri dari nama, umur, jenis kelamin, status perkawinan,
pendidikan, pekerjaan, agama, alamat, suku bangsa, tanggal masuk
rumah sakit dan diagnosa medis.
a) Keluhan Utama Klien
Keluhan kembung dan tidak bisa kentut (flatus). Keluhan
adanya kembung dan tidak bisa flatus bersifat akut disertai mual,
muntah, anoreksia, dan nyeri ringan pada abdomen.
b) Riwayat kesehatan Sekarang
Nyeri pada perut, muntah, konstipasi (tidak dapat BAB dan
flatus dalam beberapa hari).
c) Riwayat Kesehatan Masa lalu
Tanyakan faktor predisposisi yang berhubungan dengan ileus,
seperti apakah pasien pernah menderita penyakit yang sama, riwayat
ketergantungan terhadap makanan/minuman, zat dan obat-obatan.
d) Riwayat keluarga
Apakah ada anggota keluarga yang mempunyai penyakit yang
sama dengan pasien.
e) Pola Nutrisi dan Cairan
Klien yang mengalami penyakit ileus mempunyai kebiasaan
makan yang kurang hygienes.
f) Pola Eliminasi

Klien mengalami konstipasi dan tidak bisa flatus karena peristaltik


usus menurun/ berhenti.

9
g) Pola Istirahat dan Tidur
Tidak bisa tidur karena nyeri hebat, kembung dan muntah.
2. Pemeriksaan Fisik
a. Keluhan umum : Keluhan kembung dan tidak bisa kentut (flatus).
Keluhan adanya kembung dan tidak bisa flatus
bersifat akut disertai mual, muntah, anoreksia,
dan nyeri ringan pada abdomen.
b. Tingkat kesadaran : lemah.
c. Pengukuran antropometri : berat badan menurun.
d. Tanda vital : tekanan darah meningkat >120/90 mmHg, suhu
meningkat >37,5 °𝐶 , denyut nadi meningkat >100x/menit, nafas
meningkat >20x/menit.
e. Pemeriksaan Fisik ROS (Reveiw of System).
1. Sistem kardiovaskular : tidak ada distensi vena jugularis, tidak
ada oedema, tekanan darah, BJ I dan BJ
II terdengar normal
2. Sistem respirasi : pernapasan meningkat, bentuk dada normal,
dada simetris, sonor (kanan kiri), tidak ada
wheezing dan tidak ada ronchi
3. Sistem hematologi : terjadi peningkatan leukosit yang
merupakan tanda adanya infeksi.
4. Sistem perkemihan : produksi urin menurun BAK < 500 cc
5. Sistem muskuloskeletal : badan lemah, tidak bisa melakukan
aktivitas secara mandiri
6. Sistem integumen : tidak ada oedema, turgor kulit menurun,
tidak ada sianosis, pucat
7. Sistem gastrointestinal : tampak mengembang atau buncit, teraba
keras, adanya nyeri tekan, hipertimpani,
bising usus >12x/mnt, distensi abdomen.

10
Inspeksi : secara umum akan terlihat kembung dan didapatkan
adanya distensi abdominal.
Auskultasi : terdengar kehadiran episodicgemerincing logam
bernada tinggi dan gelora (rush) diantara masa
tenang. Tetapi setelah beberapa hari dalam
perjalanan penyakit dan usus di atas telah
berdilatasi, maka aktivitas peristaltik (sehingga
juga bising usus) bisa tidak ada atau menurun
parah.
Palpasi : nyeri tekan lokal pada abdominal.
Perkusi : timpani akibat abdominal mengalami kembung

Pengkajian Penatalaksanaan Medis

1. Konservatif
Sebagian besar kasus ileus pascabedah mendapat intervensi
konservatif. Pasien harus menerima hidrasi intravena. Untuk pasien
dengan muntah dan distensi, penggunaan selang nasogastrik diberikan
untuk menurunkan gejala, namun belum ada penelitian dalam literatur
yang mendukung penggunaan selang nasogastrik untuk memfasilitasi
resolusi ileus. Panjang selang ke saluran gastrointestinal tidak memiliki
manfaat atas perbaikan ileus. Untuk pasien dengan ileus berlarut-larut,
obstruksi mekanis harus diperiksa dengan studi kontras. Sepsis dan
gangguan elektrolit yang mendasari, terutama hipokalemia, hiponatremia,
dan hipomagnesemia, dapat memperburuk ileus. Kondisi ini didiagnosis
dan diperbaiki (Mukherjee, 2008 dalam buku Muttaqin dan Sari, 2013).
Cara lainnya adalah menghentikan obat yang memproduksi ileus
(misalnya : opiat). Dalam suatu studi, jumlah morfin yang diberikan
secara langsung akan berhubungan dengan terjadinya ileus (Cali, 2000
dalam buku Muttaqin dan Sari, 2013).
Penggunaan narkotika pascaoperasi dapat dikurangi dengan
suplemen dengan obat anti-inflamasi non-steroid (OAINS). OAINS dapat
menurunkan ileus dengan menurunkan peradangan lokal dan dengan

11
mengurangi jumlah narkotika yang digunakan. Studi mioelektroda
ditempatkan pada usus besar, di mana studi ini telah mengungkapkan
resolusi lebih cepat dari yang diberikan pada pasien ileus versus yang
diberikan ketorolac morfin, namun kelemahan OAINS digunakan
mencakup disfungsi trombosit dan ulserasi mukosa lambung. Kondisi ini
dapat dipertimbangkan dengan penggunaan agen cyclooxygenase-2, untuk
menurunkan efek samping ini (Ferraz, 1995 dalam buku Muttaqin dan
Sari, 2013).
Sampai saat ini belum ada suatu variabel yang secara akurat
memprediksi resolusi ileus. Pemeriksaan kondisi klinis masih menjadi
parameter penting untuk mengevaluasi asupan oral dan fungsi usus yang
baik. Laporan dari pasien bahwa sudah terjadi flatus, harus dinilai ulang
dengan saksama secara pemeriksaan fisik dan diagnostik yang akurat,
serta tidak boleh hanya mengandalkan dari laporan pasien (Mukherjee,
2008 dalam buku Muttaqin dan Sari, 2013).
2. Terapi diet
Umumnya, menunda intake makan oral sampai tanda klinis ileus
berakhir. Namun, kondisi ileus tidak menghalangi pemberian nutrisi
enteral. Pemberian enteral secara hati-hati dan dilakukan secara bertahap
(Ng WQ, 2003 dalam buku Muttaqin dan Sari, 2013). Pada suatu studi
pemberian permen karet menunjukkan bahwa mengunyah permen karet
sebagai bentuk pemberian makanan palsu pada fase pemulihan awal dari
ileus pascabedah setelah laparoskopi colectomy. Sembilan belas pasien
yang menjalani elektif laparoskopi colectomy secara acak. Sepuluh pasien
yang ditetapkan ke grup permen karet dan sembilan untuk kelompok
kontrol. Kelompok permen karet yang digunakan tiga kali sehari dari
pascaoperasi pertama pagi sampai intake oral. Terjadinya flatus lebih
cepat dalam kelompok permen karet dari pada di kelompok kontrol buang
air besar pertama tercatat pada 3.1 hari dalam kelompok permen karet
versus 5,8 hari pada kelompok kontrol (Asao, 2002 dalam buku Muttaqin
dan Sari, 2013).

12
3. Terapi aktivitas
Kebijakan konvensional pada praktik klinik memberikan
pemahaman bahwa ambulasi dini merangsang fungsi usus dan
meningkatkan ileus pascabedah, meskipun hal ini belum ditunjukkan
dalam literatur.
Dalam sebuah studi nonrandomized mengevaluasi 34 pasien,
elektroda bipolar seromuscular ditempatkan di segmen saluran
gastrointestinal setelah laparotomi. Sepuluh pasien ditugaskan untuk
ambulasi pada pascaoperasi hari pertama, dan yang lainnya 24 pasien
ditugaskan untuk ambulasi pada pascabedah hari keempat. Hasil yang
didapat, ternyata tidak ada perbedaan yang signifikan dari hasil
mioelektrik dalam pemulihan di lambung, jejunum, atau usus antara 2
kelompok tersebut (Waldhausen, 1990 dalam buku Muttaqin dan Sari,
2013). Walaupun begitu, ambulasi tetap bermanfaat dalam mencegah
pembentukan atelektasis, obstruksi vena profunda, dan pneumonia tetapi
tidak memiliki peran dalam mengobati ileus.
4. Terapi farmakologis
Sampai saat ini belum terdapat studi yang menilai manfaat
supositoria dan enema untuk pengobatan ileus. Eritromisin, suatu agonis
reseptor motilin, telah digunakan untuk paresis pascaoperasi lambung
namun belum terbukti bermanfaat bagi ileus. Metoklopramid, sebuah
antagonis dopaminergik, sebagi obat antimuntah dan prokinetik. Data
telah menunjukkan bahwa pemberian obat ini dapat benar-benar
memperburuk ileus (Mukherjee, 2008 dalam buku Muttaqin dan Sari,
2013).
Terapi farmakologis yang dianjurkan adalah golongan opioid
antagonis selektif, misalnya alvimopan. Alvimopan ini ditunjukkan untuk
membantu mencegah ileus postoperative reseksi usus (Maron, 2008
dalam buku Muttaqin dan Sari, 2013).

13
5. Operatif
Operasi dilakukan setelah rehidrasi dan dekompresi nasogastrik
untuk mencegah sepsis sekunder. Operasi diawali dengan laparotomi
kemudian disusul dengan teknik bedah yang disesuaikan dengan hasil
eksplorasi selama laparotomi. Berikut ini beberapa kondisi atau
pertimbangan untuk dilakukan operasi: Jika obstruksinya berhubungan
dengan suatu simple obstruksi atau adhesi, maka tindakan lisis yang
dianjurkan. Jika terjadi obstruksi stangulasi maka reseksi intestinal sangat
diperlukan. Pada umumnya dikenal 4 macam cara/tindakan bedah yang
dilakukan pada obstruksi ileus :
1. Koreksi sederhana (simple correction).
Hal ini merupakan tindakan bedah sederhana untuk membebaskan
usus dari jepitan, misalnya pada hernia incarcerata non-strangulasi,
jepitan oleh streng/adhesi atau pada volvulus ringan.
2. Tindakan operatif by-pass.
Membuat saluran usus baru yang “melewati” bagian usus yang
tersumbat, misalnya pada tumor intralurninal, Crohn disease, dan
sebagainya.
3. Membuat fistula entero-cutaneus pada bagian proximal dari tempat
obstruksi, misalnya pada Ca stadium lanjut.
4. Melakukan reseksi usus yang tersumbat dan membuat anastomosis
ujung-ujung usus untuk mempertahankan kontinuitas lumen usus,
misalnya pada carcinoma colon, invaginasi, strangulata, dan
sebagainya. Pada beberapa obstruksi ileus, kadang-kadang dilakukan
tindakan operatif bertahap, baik oleh karena penyakitnya sendiri
maupun karena keadaan penderitanya, misalnya pada Ca sigmoid
obstruktif, mula-mula dilakukan kolostomi saja, kemudian hari
dilakukan reseksi usus dan anastomosis.

14
3.6 PENCEGAHAN

a. Atur pola makan seteratur mungkin.


b. Hindari makanan berlemak tinggi yang menghambat pengosongan isi
lambung (coklat, keju, dll).
c. Hindari makanan yang menimbulkan gas di lambung (kol, kubis, kentang,
melon, semangka, dll).
d. Hindari makanan yang terlalu pedas.
e. Hindari minuman dengan kadar caffeine dan alkohol.
f. Hindari obat yang mengiritasi dinding lambung, seperti obat anti-
inflammatory, misalnya yang mengandung ibuprofen, aspirin, naproxen,
dan ketoprofen. Acetaminophen adalah pilihan yang tepat untuk megobati
nyeri karena tidak mengakibatkan iritasi pada dinding lambung.
g. Kelola stress psikologi se-efisien mungkin.
h. Berhenti merokok.
i. Hindari makan sebelum waktu tidur.
j. Hindari faktor-faktor yang membuat pencernaan terganggu, seperti makan
terlalu banyak, terutama makanan berat dan berminyak, makan terlalu
cepat, atau makan sesaat sebelum olahraga.
k. Pertahankan berat badan sehat.
l. Olah raga teratur.

3.7 DIAGNOSIS KEPERAWATAN

1. Konstipasi b.d hipomotilitas atau kelumpuhan intestinal.

2. Resiko ketidakseimbangan cairan tubuh b.d keluar cairan tubuh dari


muntah, ketidakmampuan absorpsi air oleh intestinal.

3. Aktual/resiko tinggi ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan


tubuh b.d kurangnya intake makanan yang kurang adekuat.

4. Aktual/resiko syok hipovolemik b.d penurunan volume darah, sekunder


dari penurunan hidrasi, ketidakmampuan absorpsi cairan oleh kolon.

15
5. Kecemasan b.d prognosis penyakit.

6. Pemenuhan informasi b.d adanya intervensi medik dan keperawatan,


misinterpretasi informasi.

7. Nyeri berdasarkan iritasi intestinal, distensi abdominal.

3.8 RENCANA KEPERAWATAN

Sumber : (Muttaqin dan Sari, 2013).

Konstipasi b.d hipomotilitas/kelumpuhan intestinal

Tujuan : Dalam waktu 5 x 24 jam terjadi perbaikan konstipasi.

Kriteria evaluasi :

1. Laporan pasien sudah mampu flatus dan keinginan untuk melakukan BAB.
2. Bising usus terdengar normal, frekuensi 5-25 x/menit.
3. Gambaran foto polos abdomen tidak hanya terdapat adanya akumulasi gas
di dalam intestinal.

Intervensi Rasional

Kaji faktor predisposisi terjadinya ileus. Walaupun terjadinya predisposisi


biasanya terjadi akibat pasca bedah
abdomen, tetapi ada faktor predisposisi
lain yang mendukung peningkatan
resiko terjadinya ileus. Hal ini harus
segera dikolaborasikan untuk mendapat
intervensi medis, misalnya adanya
sepsis harus di atasi kondisi gangguan
elektrolit harus dikoreksi.

Monitoring status cairan. Penurunan volume cairan akan


meningkatkan resiko ileus semakin

16
parah karena terjadi gangguan
elektrolit. Peran perawat harus
mendokumentasikan kondisi status
cairan dan harus melaporkan bila di
dapatkan adanya perubahan yang
signifikan.

Evaluasi secara berkala laporan pasien Pemantauan secara rutin dapat


tentang flatus dan periksa kondisi memberikan data dasar pada perawat
bising usus. atau sebagai peran untuk kolaborasi
dengan medis tentang kondisi
perbaikan ileus. Hasil evaluasi harus di
dokumentasikan secara hati – hati pada
dasar medis.

Pasang selang nasogastrik. Pemasangan selang nasogastrik di


lakukan untuk menurunkan keluhan
kembung dan distensi abdomen.
Perawat melakukan pemantauan setiap
4 jam dari pengeluaran pada selang
nasogastrik.

Lakukan teknik ambulasi. Walaupun terdapat studi yang tidak


berhubungan dengan peningkatan
resolusi ileus. Dalam sebuah studi non-
randomized mengevaluasi 34 pasien,
elektroda bipolar seromuskular di
tempatkan di segmen saluran
gastrointestinal setelah laparotomi.
Sepuluh pasien ditugaskan untuk
ambulasi pada pasca operasi hari
pertama, dan yang lainnya 24 pasien
ditugaskan untuk ambulasi pada

17
pascabedah hari ke 4. Hasil yang di
dapat , ternyata tidak ada perbedaan
yang signifikan dari hasil mioelektrik
dalam pemulihan di lambung, jejunum,
atau usus antara 2 kelompok tersebut.
Akan tetapi pelaksanaan ambulasi tetap
bermanfaat dalam mencegah
pembentukan atelektasis, obstruksi
vena profunda, dan pneumonia.

Kolaborasi. Alvimopan ini di tunjukkan untuk


membantu mencegah ileus postoperatif
1. Opoid antagonis selektif
reseksi usus (Maron, 2008).

Resiko ketidakseimbangan cairan tubuh berdasarkan keluar cairan tubuh


dari muntah, ketidakmampuan absorpsi air oleh intestinal.

Tujuan : Dalam waktu 5 x 24 jam tidak terjadi ketidakseimbangan cairan dari


elektrolit

Kriteria evaluasi :

a. Pasien tidak mengeluh pusing, membran mukosa lembap, turgor kulit


normal.
b. TTV dalam batas normal.
c. CRT <3 detik, urine >600 ml/hari.
d. Laboratorium : nilai elektrolit normal.

Intervensi Rasional

Monitoring status cairan (turgor kulit, Jumlah dan dua tipe cairan pengganti di
membran mukosa, urine output). tentukan dari keadaan status cairan.
Penurunan volume cairan

18
mengakibatkan menurunnya produksi
urine, monitoring yang ketat pada
produksi urine < 600 ml/hari
merupakan tanda tanda terjadinya syok
hipovolemik.

Kaji sumber kehilangan cairan. Kehilangan cairan dari muntah dapat di


sertai dengan keluarnya natrium via
oral yang juga akan meningkatkan
resiko gangguan elektrolit.

Dokumentasikan intake dan output Sebagai data dasar dalam pemberian


cairan. terapi cairan dan pemenuhan hidrasi
tubuh secara umum.

Monitor TTV secara berkala. Hipotensi dapat terjadi pada hipovolemi


yang memberikan manifestasi sudah
terlibatnya sistem kardiovaskular untuk
melakukan kompensasi
mempertahankan tekanan darah.

Kaji warna kulit, suhu, sianosis, nadi Mengetahui adanya pengaruh adanya
perifer, dan diaforesis secara teratur. peningkatan tahanan perifer.

Kolaborasi

1. Pertahankan pemberian cairan


Jalur yang paten penting untuk
intravena.
pemberian cairan cepat dan
memudahkan perawat dalam
melakukan kontrol intake dan output
cairan.

2. Evaluasi kadar elektrolit. Sebagai deteksi awal menghindari


gangguan elektrolit sekunder dari
muntah pada pasien peritonitis.

19
Resiko tinggi nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d kurangnya intake
makanan yang adekuat.

Tujuan : Setelah 7 x 24 jam asupan nutrisi dapat optimal dilaksanakan.

a. Bising usus kembali normal dengan frekuensi 5-25 x /menit.


b. Pasien dapat menunjukkan metode menelan makanan yang tepat.
c. Terjadi penurunan gejala kembung dan distensi abdomen.
d. Berat badan pada hari ke 7 pasca bedah meningkat minimal 0,5 kg.

Intervensi Rasional

Evaluasi secara berkala kondisi Sebagai data dasar teknik pemberian


motilitas usus. asupan nutrisi.

Hindari intake apapun secara oral. Umumnya menunda intake makan oral
sampai tanda klinis ileus berakhir.
Namun, kondisi ileus tidak
menghalangi pemberian nutrisi enteral.

Berikan nutrisi parental. Pemberian enteral diberikan secara


hati-hati dan dilakukan secara bertahap
sesuai tingkat tolerasi dari pasien.

Berikan stimulan permen karet. Pada suatu studi pemberian permen


karet menunjukkan bahwa mengunyah
permen karet sebagai bentuk pemberian
makanan palsu pada fase pemulihan
awal dari ileus pasca bedah setelah
laparoskopi colectomy secara acak.
Sepuluh pasien yang ditetapkan ke grup
permen karet dengan durasi 3 kali
sehari pada hari pertama pasca operasi.

20
Terjadi flatus lebih cepat pada
kelompok yang mendapat makanan
palsu permen karet dari pada di
kelompok kontrol.

Pantau intake dan output, anjurkan Berguna dalam mengukur keefektifan


untuk timbang berat badan secara nutrisi dan dukungan cairan.
periodik (sekali seminggu).

Lakukan perawatan mulut. Intervensi ini untuk menurunkan resiko


infeksi oral.

Kolaborasi dengan ahli gizi mengenai Ahli gizi harus terlibat dalam penentuan
jenis nutrisi yang akan digunakan komposisi dan jenis makanan yang
pasien. akan diberikan sesuai dengan
kebutuhan individu.

Aktual/risiko tinggi syok hipovolemik b.d penurunan volume darah,


sekunder dari penurunan hidrasi, ketidakmampuan absorpsi cairan oleh
kolon.

Tujuan : Dalam waktu 1 x 24 jam tidak terjadi syok hipovolemik.

Kriteria evaluasi :

1. Tidak terdapat tanda-tanda syok : pasien tidak mengeluh pusing, TTV


dalam batas normal, kesadaran optimal, urine >600 ml/hari.
2. Membran mukosa lembap, turgor kulit normal, CRT >3 detik.
3. Laboratorium : nilai elektrolit normal, nilai hematokrit dan protein
serum meningkat, BUN/Kreatinin menurun.

Intervensi Rasional

21
Intervensi kedaruratan pemenuhan
cairan.
Parameter penting dalam menentukan
a. Identifikasi adanya tanda-tanda intervensi sesuai dengan kondisi klinik
syok dan status dehidrasi. individu. Pada pasien dengan
perubahan akut TTV dan dehidrasi
berat, maka pemulihan hidrasi menjadi
parameter utama dalam melakukan
tindakan.

b. Kolaborasi skor dehidrasi. Pasien yang mengalami dehidrasi berat


ditandai dengan skor dehidrasi 7-12 dan
mempunyai risiko tinggi terjadinya
syok hipovolemik.

c. Lakukan pemasangan IVFD. Pemasangan IVFD secara dua jalur


harus dapat dilakukan untuk mencegah
syok yang bersifat ireversibel. Pada saat
melakukan pemasangan IVFD dengan
kondisi kolaps diperlukan keterampilan
dan pemahaman struktur anatomis vena
karena pada kondisi klinik sangat sulit
dilakukan oleh perawat pemula.

Perawat dapat menggunakan manset


tekanan darah untuk membendung
darah agar dapat mengisi vena sehingga
memudahkan dalam melakukan fungsi
vena.

d. Lakukan pemasangan dan Pemasangan infus intraoseus sudah


pemberian infus secara dilakukan pada manusia sejak tahun
intraoseus. 1934 dan populer dilakukan pada tahun

22
1940. Intervensi ini hanya bersifat
sementara sebagai bagian resusitasi
vaskular apabila akses vena tidak bisa
dilakukan setelah melakukan
penusukan pada 3 tempat dan dalam
waktu 90 detik (Vreede, 2000).
Kontraindikasi pemasangan ini bila
pasien mengalami fraktur femur pada
sisi ipsilateral, fraktur tibia proksimal,
dan osteomielitis tibia (Woodall,1992).

Kecemasan b.d prognosis penyakit.

Tujuan : Dalam waktu 1 x 24 jam pasien secara subjektif melaporkan rasa cemas
berkurang.

Kriteria evaluasi :

a. Pasien mampu mengungkapkan perasaannya kepada perawat.


b. Pasien dapat mendemontrasikan keterampilan pemecahan masalahnya dan
perubahan koping yang digunakan sesuai situasi yang dihadapi.
c. Pasien dapat mencatat penurunan kecemasan/ketakutan di bawah standar.
d. Pasien dapat rileks dan tidur/istirahat dengan baik.

Intervensi Rasional

Monitor respons fisik, seperti Digunakan dalam mengevaluasi


kelemahan. Perubahan tanda-tanda derajat/tingkat kesadaran/konsentrasi,
vital, gerakan yang berulang-ulang, khususnya ketika melakukan
catat kesesuaian respons verbal dan komunikasi verbal.
nonverbal selama komunikasi.
Pada kondisi klinik pasien biasanya
merasa sedih akibat diagnosis penyakit
dan rencana pembedahan. Pasien yang

23
menjalani pembedahan untuk kolostomi
sementara dapat mengekspresikan rasa
takut dan masalah yang serupa dengan
individu yang memiliki stoma
permanen.

Anjurkan pasien dan keluarga untuk Memberikan kesempatan untuk


mengungkapkan dan mengekspresikan berkonsentrasi, kejelasan dari rasa
rasa takutnya. takut, dan mengurangi cemas yang
berlebihan.

Beri dukungan prabedah. Hubungan emosional yang baik antara


perawat dan pasien akan memengaruhi
penerimaan pasien terhadap
pembedahan. Aktif mendengar semua
kekhawatiran dan keprihatinan pasien
adalah bagian penting dari evaluasi
praoperatif. Keterbukaan mengenai
tindakan bedah yang akan dilakukan,
pilihan anestesi, dan perubahan atau
kejadian pascaoperatif yang
diharapkan, akan menghilangkan
banyak ketakutan tak berdasar terhadap
anestesi. Bagi sebagian besar pasien,
pembedahan adalah suatu peristiwa
hidup yang bermakna. Kemampuan
perawat dan dokter untuk memandang
pasien dan keluarganya sebagai
manusia yang layak untuk didengarkan
dan dimintai pendapat, ikut menentukan
hasil pembedahan. Egbert et al. (1963,
dikutip Gruendemann, 2006)
memperlihatkan bahwa kecemasan

24
pasien yang dikunjungi dan dimintai
pendapat sebelum dioperasi akan
berkurang saat tiba di kamar operasi
dibandingkan mereka yang hanya
sekedar di beri pramedikasi dengan
fenobarbital. Kelompok yang mendapat
pramedikasi melaporkan rasa
mengantuk, tetapi tetap cemas.

Bantu pasien meningkatkan citra tubuh Perubahan yang terjadi pada citra tubuh
dan beri kesempatan pasien dan gaya hidup sering sangat
mengungkapkan perasaannya. mengganggu, dan pasien memerlukan
dukungan empati dalam mencoba
menyesuaikannya. Oleh karena stoma
ditempatkan pada abdomen, pasien
dapat berpikir bahwa setiap orang akan
melihat ostomi. Perawat dapat
membantu mengurangi ketakutan ini
dengan memberikan informasi aktual
tentang prosedur pembedahan dan
pembentukan, serta penatalaksanaan
ostomi. Apabila pasien menghendaki,
diagram, foto, dan alat dapat digunakan
untuk menjelaskan dan memperjelas.
Oleh karena pasien mengalami stress
emosional, perawat perlu mengulang
beberapa informasi. Berikan
kesempatan pada pasien untuk
mengajukan pertanyaan.

Hadirkan pasien yang pernah dilakukan Berdiskusi dengan individu yang


kolostomi. berhasil menghadapi kolostomi, sering
membantu menurunkan kecemasan

25
pasien prabedah.

Berikan privasi untuk pasien dan orang Memberi waktu untuk mengekpresikan
terdekat. perasaan, serta menghilangkan cemas
dan perilaku adaptasi. Adanya keluarga
dan teman-teman yang dipilih pasien
melayani aktivitas dan pengalihan
(misal : membaca) akan menurunkan
perasaan terisolasi.

Kolaborasi :

a. Berikan anticemas sesuai Meningkatkan relaksasi dan


indikasi contohnya diazepam. menurunkan kecemasan.

Pemenuhan informasi b.d adanya intervensi medik dan keperawatan,


misinterpretasi informasi.

Tujuan : Dalam waktu 1 x 24 jam informasi kesehatan terpenuhi.

Kriteria evaluasi :

a. Pasien mampu menjelaskan kembali pendidikan kesehatan yang diberikan.


b. Pasien termotivasi untuk melaksanakan penjelasan yang telah diberikan.

Intervensi Rasional

Kaji tingkat pengetahuan pasien tentang Tingkat pengetahuan dipengaruhi oleh


prosedur diagnostik, pembedahan kondisi sosial ekonomi pasien. Perawat
kolostomi sementara, dan rencana menggunakan pendekatan yang sesuai
perawatan rumah. dengan kondisi individu pasien. Dengan
mengetahui tingkat pengetahuan
tersebut, perawat dapat lebih terarah

26
dalam memberikan pendidikan yang
sesuai dengan pengetahuan pasien
secara efisien dan efektif.

Cari sumber yang meningkatkan Keluarga terdekat dengan pasien perlu


penerimaan informasi. dilibatkan dalam pemenuhan informasi
untuk menurunkan risiko
misinterpretasi terhadap informasi yang
diberikan.

Jelaskan dan lakukan pemenuhan atau


persiapan pembedahan, meliputi :
Pasien dan keluarga harus diberitahu
a. Diskusikan jadwal pembedahan. waktu dimulainya pembedahan.
Apabila rumah sakit mempunyai jadwal
kamar operasi yang padat, lebih baik
pasien dan keluarga diberitahukan
mengenai banyaknya jadwal operasi
yang telah ditetapkan sebelum pasien.

b. Persiapan administrasi dan Pasien sudah menyelesaikan


informed consent. administrasi dan mengetahui secara
finansial biaya pembedahan. Pasien
sudah mendapat penjelasan dan
menandatangani informed consent.

c. Konfirmasi kepada pasien Perawat menginformasi penjelasan ahli


tentang penjelasan yang telah bedah tentang akan dilakukannya
dijelaskan oleh ahli bedah. kolostomi. Hal ini penting dilakukan
karena pada beberapa pasien bisa
terkejut setelah pascabedah terdapat
anus buatan pada dinding perut yang
dapat memberikan manifestasi sedih
pada pasien. Pasien yang menjalani

27
pembedahan untuk kolostomi
sementara dapat mengekpresikan rasa
takut dan masalah yang serupa dengan
individu yang memiliki stoma
permanen.

Berdiskusi dengan individu yang


berhasil menghadapi kolostomi sering
membantu pasien prabedah.
d. Lakukan pendidikan kesehatan
Manfaat dari instruksi preoperatif telah
preoperatif.
dikenal sejak lama. Setiap pasien
diajarkan sebagai seorang individu,
dengan mempertimbangkan segala
keunikan ansietas, kebutuhan, dan
e. Programkan instruksi yang harapan-harapannya.
didasarkan pada kebutuhan
Jika sesi penyuluhan dilakukan
individu, direncanakan dan
beberapa hari sebelum pembedahan,
diimplementasikan pada waktu
pasien mungkin tidak ingat tentang apa
yang tepat.
yang telah dikatakan. Jika instruksi
diberikan terlalu dekat dengan waktu
pembedahan, pasien mungkin tidak
dapat berkonsentrasi atau belajar karena
ansietas atau efek dari medikasi
praanestesi.

28
Nyeri b.d iritasi intestinal, distensi abdominal.

Tujuan : Dalam waktu 2 x 24 jam pascabedah nyeri berkurang atau teradaptasi.

Kriteria evaluasi :

a. Secara subyektif pernyataan nyeri berkurang atau teradaptasi.


b. Skala nyeri 0-1 (0-4).
c. TTV dalam batas normal, wajah pasien rileks.

Intervensi Rasional

Jelaskan dan bantu pasien dengan Pendekatan dengan menggunakan


tindakan pereda nyeri nonfarmakologi relaksasi dan nonfarmakologi lainnya
dan noninvasif. telah menunjukkan keefektifan dalam
mengurangi nyeri.

Lakukan manajemen nyeri


keperawatan, meliputi :
Pendekatan PQRST dapat secara
a. Kaji nyeri dengan pendekatan komprehensif menggali kondisi nyeri
PQRST. pasien. Apabila pasien mengalami skala
nyeri 3 (0-4), keadaan ini merupakan
peringatan yang perlu perawat
waspadai karena keadaan ini
memberikan manifestasi klinik yang
bervariasi dari komplikasi pascabedah
reseksi kolon.

Pemberian oksigen dilakukan untuk


b. Beri oksigen nasal apabila skala
memenuhi kebutuhan oksigen pada saat
nyeri ≥3 (0-4).
pasien mengalami nyeri pascabedah
yang dapat mengganggu kondisi
hemodinamik.

29
c. Istirahatkan pasien pada saat Istirahat secara fisiologis akan
nyeri muncul. menurunkan kebutuhan oksigen yang
diperlukan untuk memenuhi kebutuhan
metabolisme basal.

Pengaturan posisi semifowler dapat

d. Atur posisi fisiologis. membantu merelaksasi otot-otot


abdomen pascabedah sehingga dapat
menurunkan stimulus nyeri dari luka
pascabedah.

Meningkatkan asupan oksigen sehingga


e. Ajarkan teknik relaksasi
akan menurunkan nyeri sekunder dari
pernapasan dalam pada saat
iskemia spina.
nyeri muncul.

Distraksi (pengalihan perhatian) dapat


f. Ajarkan teknik distraksi pada menurunkan stimulus internal.
saat nyeri.
Manajemen sentuhan pada saat nyeri
g. Lakukan manajemen sentuhan berupa sentuhan dukungan psikologis
dapat membantu menurunkan nyeri.

Tingkatkan pengetahuan tentang : Pengetahuan yang akan dirasakan


sebab-sebab nyeri dan menghubungkan membantu mengurangi nyerinya dan
berapa lama nyeri akan berlangsung. dapat membantu mengembangkan
kepatuhan pasien terhadap rencana
terapeutik.

Kolaborasi dengan tim medis untuk


pemberian :
Analgetik diberikan untuk membantu
1. Analgetik via intravena. menghambat stimulus nyeri ke pusat
persepsi nyeri di korteks serebri
sehingga nyeri dapat berkurang.

30
3.9 EVALUASI

Hasil yang diharapkan setelah dilakukan tindakan keperawatan adalah


sebagai berikut :
1. Kemampuan mobilitas pasien meningkat dan konstipasi dapat teratasi.
2. Tidak terjadi ketidakseimbangan cairan tubuh.
3. Asupan nutrisi tubuh optimal.
4. Pasien tidak mengalami syok hipovolemik.
5. Terjadi penurunan respons kecemasan.
6. Terpenuhinya informasi kesehatan.
7. Nyeri terkontrol atau teradaptasi.

31
DAFTAR PUSTAKA

Greenberg, M. I. (2007). Teks Atlas Kedokteran Kedaruratan. Jakarta: Penerbit


Erlangga.

Lynda Juall Carpenito, R. M. (2009). DIAGNOSA KEPERAWATAN Aplikasi


Pada Praktik Klinis. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran.

Mary Digiulio, R. M., Donna Jackson, R. M., & Keogh, J. (2015). Keperawatan
Medikal Bedah. Yogyakarta: Rapha publishing.

Mubarak, Wahit Iqbal, dkk. (2015). Standar Asuhan Keperawatan dan Prosedur
Tetap dalam Praktik Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.

Muttaqin, A dan Sari, K. (2011). Gangguan Gastrointestinal. Jakarta: Salemba


Medika.

Notoadmodjo S. (2010). Metodologi Penelitian Kesehatan. Edisi Revisi. Jakarta :


Rineka Cipta; Hal 138-144
Nurarif, A. H., dan Kusuma, H. (2016). Asuhan Keperawatan Praktis. Jogjakarta:
Media Action.

Nursalam. 2003. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu


Keperawatan. Salemba Medika : Jakarta.
Price, S. A. (2006). Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta:
EGC. Hal 437-450

Pamungkas, Idris Yani. 2008. Pengaruh Pendidikan Kesehatan Terhadap


Penurunan Tingkat kecemasan pada pasien preoperasi hernia di RSUD
Sragen. Program Studi Ilmu Keperawatan UMS.

Anonyms, Jambi. URL : http://id.wikipedia.org/wiki/Jambi.

Anonyms, http://www.medicalexhibits.com

32

Anda mungkin juga menyukai