3.1 DEFINISI
Sebagian besar kasus ileus terjadi setelah operasi intra abdomen. Kembali
normalnya aktivitas usus setelah pembedahan abdominal mengikuti pola yang
dapat diprediksi. Usus kecil biasanya mendapatkan kembali fungsi dalam
beberapa jam. Aktivitas regains lambung dalam 1 - 2 hari dan usus besar
aktivitas regains 3-5 hari (Person, 2006)
Menurut (Nurarif, 2016). Ileus adalah obstruksi usus dapat akut dengan
kronik , partial atau total. Obstruksi usus biasanya mengenai kolon sebagai
akibat karsinoma dan perkembangannya lambat. Sebagian dasar dari
obstruksi justru mengenai usus halus. Obstruksi total usus halus merupakan
keadaan gawat yang memerlukan diagnosis dini dan tindakan pembedahan
darurat bila penderita ingin tetap hidup.
1
2. Neurogenik / fungsional (ileus paralitik)
Keadaan dimana usus gagal atau tidak mampu melakukan
kontraksi peristaltic untuk menyalurkan isinya. Ileus paralitik ini
bukan suatu penyakit primer, tindakan operasi yang berhubungan
dengan rongga perut, toksin dan obat obatan yang dapat
mempengaruhi kontraksi otot polos usus. Contoh penyakit tersebut
amiloidosis, distropi otot, gangguan endokrin seperti diabetes millitus,
atau gangguan neurologis seperti penyakit Parkinson. (Sudoyo, 2000
dalam buku Nurarif, 2016).
3.2 ETIOLOGI
2
6. Intusepsi : Salah satu bagian dari usus menyusup ke dalam bagian lain
yang ada di bawahnya akibat penyempitan lumen usus. Segmen usus
tertarik kedealam segmen berikutnya oleh gerakan peristaltik yang
memperlakukan segmen itu seperti usus. Paling sering terjadi pada anak
anak dimana kelenjar limfe mendorong dinding ileum ke dalam dan
terpijat disepanjang bagian usus tersebut (ileocaecal) lewat coecum ke
dalam usus besar (colon) dan bahkan sampai sejauh rectum dan anus.
7. Pneumonia : Karena pada pasien dengan gangguan sistem pernapasan
dapat menyebabkan terganggunya organ di gangguan gastrointestinal
8. Trauma (misalnya) : patah tulang iga, cedera spina).
9. Volvulus : usus besar yang mempunyai mesocolon dapat terpuntir sendiri
dengan demikian menimbulkan penyumbatan dengan menutupnya
gelungan usus yang terjadi amat distensi. Keadaan ini dapat juga terjadi
pada usus halus yang terputar pada mesentriumnya.
10. Hernia : protrusi usus melalui urea yang lemah dalam usus atau dinding
dan otot abdomen.
11. Tumor : tumor yang ada di dalam dinding usus meluas ke lumen usus atau
tumor diluar usus menyebabkan tekanan pada usus.
12. Keturunan.
13. Cedera kepala dan prosedur bedah saraf.
14. Inflamasi intra abdomen dan peritonitis.
15. Hematoma retroperitoneal.
3
2) Klien dapat mengeluarkan darah dan mucus, tetapi bukan materi fekal
dan tidak terdapat flatus.
3) Umumnya gejala obstruksi berupa konstipasi yang berakhir pada
distensi abdomen, tetapi pada klien obstruksi partial bisa mengalami
diare.
4) Pada obstruksi komplet, gelombang peristaltic pada awalnya menjadi
sangat keras dan akhirnya berbalik arah dan isi usus terdorong ke arah
mulut.
5) Apabila obstruksi terjadi pada ileum maka muntah fekal dapat terjadi.
Semakin kebawah obstruksi di area gastrointestinal yang terjadi,
semakin jelas adanya distensi abdomen.
6) Jika obstruksi usus terjadi terus dan tidak diatasi maka akan terjadi syok
hipovolemia akibat dehidrasi dan kehilangan volume plasma, dengan
manifestasi klinis takikardi dan hipotensi, suhu tubuh biasanya normal,
tapi kadang – kadang dapat meningkat. Demam menunjukkan obstruksi
strangulata.
7) Pada pemeriksaan abdomen didapatkan abdomen tampak distensi dan
peristaltic meningkat. Pada tahap lanjut dimana obstruksi terus
berlanjut, peristaltic akan melemah dan hilang. Adanya feces bercampur
darah pada pemeriksaan rectal toucher dapat dicurigai adanya
keganasan dan intususepsi.
b. Obstruksi usus besar
1. Nyeri perut yang bersifat kolik dalam kualitas yang sama dengan
obstruksi pada usus halus tetapi intensitasnya jauh lebih rendah.
2. Muntah muncul terakhir terutama bila katup ileosekal kompeten. Pada
klien dengan obstruksi di sigmoid dan rectum, konstipasi dapat menjadi
gejala satu – satunya selama beberapa hari.
3. Akhirnya abdomen menjadi sangat distensi, loop dari usus besar
menjadi dapat dilihat dari luar melalui dinding abdomen.
4. Klien mengalami kram akibat nyeri abdomen bawah
4
3.4 PATOFISIOLOGI
Respons dari stress bedah mengarah pada generasi sistemik dari endokrin
dan mediator inflamasi yang juga mempromosikan perkembangan ileus.
Model tikus telah menunjukkan bahwa laparotomi, penetrasi, dan kompresi
usus yang menyebabkan peningkatan jumlah makrofag, monosit, sel dendritik,
sel T, sel-sel pembunuh alami, dan sel mast, seperti yang ditunjukkan oleh
imunohistokimia. Kalsitonin-peptida, nitrit oksid, peptida vasoaktif intestina,
dan substansi P berfungsi sebagai inhibitor neuro transmitter pada sistem saraf
khusus (Bauer, 2004 dalam buku Muttaqin dan Sari, 2013).
5
Tabel 7.11 Perbedaan dari ileus, pseudo-obstruksi, dan obstruksi usus
mekanik.
(Mukherjee, S, 2008)
6
Gambar 1.1 (Perbandingan usus normal dan ileus )
Sumber: http://www.medicalexhibits.com
7
PATHWAY
Predisposisi sistemik, meliputi : sepsis, obat-
Predisposisi pascaoperatif obatan, gangguan elektrolit dan metabolik,
infarkmiokard, pneumonia, trauma, biller dan
bedah abdominal
ginjal kolik, cedera kepala dan prosedur bedah
saraf, inflamasi intra abdomen dan peritonitis,
ILEUS hematona retroperitoneal.
Hipomotilitas (kelumpuhan)
intestinal
Risiko
Ketidakseimbangan
ketidakseimbangan
nutrisi kurang dari
cairan
kebutuhan
8
3.5 PENGKAJIAN
1. Anamnesis
Identitas Klien
Terdiri dari nama, umur, jenis kelamin, status perkawinan,
pendidikan, pekerjaan, agama, alamat, suku bangsa, tanggal masuk
rumah sakit dan diagnosa medis.
a) Keluhan Utama Klien
Keluhan kembung dan tidak bisa kentut (flatus). Keluhan
adanya kembung dan tidak bisa flatus bersifat akut disertai mual,
muntah, anoreksia, dan nyeri ringan pada abdomen.
b) Riwayat kesehatan Sekarang
Nyeri pada perut, muntah, konstipasi (tidak dapat BAB dan
flatus dalam beberapa hari).
c) Riwayat Kesehatan Masa lalu
Tanyakan faktor predisposisi yang berhubungan dengan ileus,
seperti apakah pasien pernah menderita penyakit yang sama, riwayat
ketergantungan terhadap makanan/minuman, zat dan obat-obatan.
d) Riwayat keluarga
Apakah ada anggota keluarga yang mempunyai penyakit yang
sama dengan pasien.
e) Pola Nutrisi dan Cairan
Klien yang mengalami penyakit ileus mempunyai kebiasaan
makan yang kurang hygienes.
f) Pola Eliminasi
9
g) Pola Istirahat dan Tidur
Tidak bisa tidur karena nyeri hebat, kembung dan muntah.
2. Pemeriksaan Fisik
a. Keluhan umum : Keluhan kembung dan tidak bisa kentut (flatus).
Keluhan adanya kembung dan tidak bisa flatus
bersifat akut disertai mual, muntah, anoreksia,
dan nyeri ringan pada abdomen.
b. Tingkat kesadaran : lemah.
c. Pengukuran antropometri : berat badan menurun.
d. Tanda vital : tekanan darah meningkat >120/90 mmHg, suhu
meningkat >37,5 °𝐶 , denyut nadi meningkat >100x/menit, nafas
meningkat >20x/menit.
e. Pemeriksaan Fisik ROS (Reveiw of System).
1. Sistem kardiovaskular : tidak ada distensi vena jugularis, tidak
ada oedema, tekanan darah, BJ I dan BJ
II terdengar normal
2. Sistem respirasi : pernapasan meningkat, bentuk dada normal,
dada simetris, sonor (kanan kiri), tidak ada
wheezing dan tidak ada ronchi
3. Sistem hematologi : terjadi peningkatan leukosit yang
merupakan tanda adanya infeksi.
4. Sistem perkemihan : produksi urin menurun BAK < 500 cc
5. Sistem muskuloskeletal : badan lemah, tidak bisa melakukan
aktivitas secara mandiri
6. Sistem integumen : tidak ada oedema, turgor kulit menurun,
tidak ada sianosis, pucat
7. Sistem gastrointestinal : tampak mengembang atau buncit, teraba
keras, adanya nyeri tekan, hipertimpani,
bising usus >12x/mnt, distensi abdomen.
10
Inspeksi : secara umum akan terlihat kembung dan didapatkan
adanya distensi abdominal.
Auskultasi : terdengar kehadiran episodicgemerincing logam
bernada tinggi dan gelora (rush) diantara masa
tenang. Tetapi setelah beberapa hari dalam
perjalanan penyakit dan usus di atas telah
berdilatasi, maka aktivitas peristaltik (sehingga
juga bising usus) bisa tidak ada atau menurun
parah.
Palpasi : nyeri tekan lokal pada abdominal.
Perkusi : timpani akibat abdominal mengalami kembung
1. Konservatif
Sebagian besar kasus ileus pascabedah mendapat intervensi
konservatif. Pasien harus menerima hidrasi intravena. Untuk pasien
dengan muntah dan distensi, penggunaan selang nasogastrik diberikan
untuk menurunkan gejala, namun belum ada penelitian dalam literatur
yang mendukung penggunaan selang nasogastrik untuk memfasilitasi
resolusi ileus. Panjang selang ke saluran gastrointestinal tidak memiliki
manfaat atas perbaikan ileus. Untuk pasien dengan ileus berlarut-larut,
obstruksi mekanis harus diperiksa dengan studi kontras. Sepsis dan
gangguan elektrolit yang mendasari, terutama hipokalemia, hiponatremia,
dan hipomagnesemia, dapat memperburuk ileus. Kondisi ini didiagnosis
dan diperbaiki (Mukherjee, 2008 dalam buku Muttaqin dan Sari, 2013).
Cara lainnya adalah menghentikan obat yang memproduksi ileus
(misalnya : opiat). Dalam suatu studi, jumlah morfin yang diberikan
secara langsung akan berhubungan dengan terjadinya ileus (Cali, 2000
dalam buku Muttaqin dan Sari, 2013).
Penggunaan narkotika pascaoperasi dapat dikurangi dengan
suplemen dengan obat anti-inflamasi non-steroid (OAINS). OAINS dapat
menurunkan ileus dengan menurunkan peradangan lokal dan dengan
11
mengurangi jumlah narkotika yang digunakan. Studi mioelektroda
ditempatkan pada usus besar, di mana studi ini telah mengungkapkan
resolusi lebih cepat dari yang diberikan pada pasien ileus versus yang
diberikan ketorolac morfin, namun kelemahan OAINS digunakan
mencakup disfungsi trombosit dan ulserasi mukosa lambung. Kondisi ini
dapat dipertimbangkan dengan penggunaan agen cyclooxygenase-2, untuk
menurunkan efek samping ini (Ferraz, 1995 dalam buku Muttaqin dan
Sari, 2013).
Sampai saat ini belum ada suatu variabel yang secara akurat
memprediksi resolusi ileus. Pemeriksaan kondisi klinis masih menjadi
parameter penting untuk mengevaluasi asupan oral dan fungsi usus yang
baik. Laporan dari pasien bahwa sudah terjadi flatus, harus dinilai ulang
dengan saksama secara pemeriksaan fisik dan diagnostik yang akurat,
serta tidak boleh hanya mengandalkan dari laporan pasien (Mukherjee,
2008 dalam buku Muttaqin dan Sari, 2013).
2. Terapi diet
Umumnya, menunda intake makan oral sampai tanda klinis ileus
berakhir. Namun, kondisi ileus tidak menghalangi pemberian nutrisi
enteral. Pemberian enteral secara hati-hati dan dilakukan secara bertahap
(Ng WQ, 2003 dalam buku Muttaqin dan Sari, 2013). Pada suatu studi
pemberian permen karet menunjukkan bahwa mengunyah permen karet
sebagai bentuk pemberian makanan palsu pada fase pemulihan awal dari
ileus pascabedah setelah laparoskopi colectomy. Sembilan belas pasien
yang menjalani elektif laparoskopi colectomy secara acak. Sepuluh pasien
yang ditetapkan ke grup permen karet dan sembilan untuk kelompok
kontrol. Kelompok permen karet yang digunakan tiga kali sehari dari
pascaoperasi pertama pagi sampai intake oral. Terjadinya flatus lebih
cepat dalam kelompok permen karet dari pada di kelompok kontrol buang
air besar pertama tercatat pada 3.1 hari dalam kelompok permen karet
versus 5,8 hari pada kelompok kontrol (Asao, 2002 dalam buku Muttaqin
dan Sari, 2013).
12
3. Terapi aktivitas
Kebijakan konvensional pada praktik klinik memberikan
pemahaman bahwa ambulasi dini merangsang fungsi usus dan
meningkatkan ileus pascabedah, meskipun hal ini belum ditunjukkan
dalam literatur.
Dalam sebuah studi nonrandomized mengevaluasi 34 pasien,
elektroda bipolar seromuscular ditempatkan di segmen saluran
gastrointestinal setelah laparotomi. Sepuluh pasien ditugaskan untuk
ambulasi pada pascaoperasi hari pertama, dan yang lainnya 24 pasien
ditugaskan untuk ambulasi pada pascabedah hari keempat. Hasil yang
didapat, ternyata tidak ada perbedaan yang signifikan dari hasil
mioelektrik dalam pemulihan di lambung, jejunum, atau usus antara 2
kelompok tersebut (Waldhausen, 1990 dalam buku Muttaqin dan Sari,
2013). Walaupun begitu, ambulasi tetap bermanfaat dalam mencegah
pembentukan atelektasis, obstruksi vena profunda, dan pneumonia tetapi
tidak memiliki peran dalam mengobati ileus.
4. Terapi farmakologis
Sampai saat ini belum terdapat studi yang menilai manfaat
supositoria dan enema untuk pengobatan ileus. Eritromisin, suatu agonis
reseptor motilin, telah digunakan untuk paresis pascaoperasi lambung
namun belum terbukti bermanfaat bagi ileus. Metoklopramid, sebuah
antagonis dopaminergik, sebagi obat antimuntah dan prokinetik. Data
telah menunjukkan bahwa pemberian obat ini dapat benar-benar
memperburuk ileus (Mukherjee, 2008 dalam buku Muttaqin dan Sari,
2013).
Terapi farmakologis yang dianjurkan adalah golongan opioid
antagonis selektif, misalnya alvimopan. Alvimopan ini ditunjukkan untuk
membantu mencegah ileus postoperative reseksi usus (Maron, 2008
dalam buku Muttaqin dan Sari, 2013).
13
5. Operatif
Operasi dilakukan setelah rehidrasi dan dekompresi nasogastrik
untuk mencegah sepsis sekunder. Operasi diawali dengan laparotomi
kemudian disusul dengan teknik bedah yang disesuaikan dengan hasil
eksplorasi selama laparotomi. Berikut ini beberapa kondisi atau
pertimbangan untuk dilakukan operasi: Jika obstruksinya berhubungan
dengan suatu simple obstruksi atau adhesi, maka tindakan lisis yang
dianjurkan. Jika terjadi obstruksi stangulasi maka reseksi intestinal sangat
diperlukan. Pada umumnya dikenal 4 macam cara/tindakan bedah yang
dilakukan pada obstruksi ileus :
1. Koreksi sederhana (simple correction).
Hal ini merupakan tindakan bedah sederhana untuk membebaskan
usus dari jepitan, misalnya pada hernia incarcerata non-strangulasi,
jepitan oleh streng/adhesi atau pada volvulus ringan.
2. Tindakan operatif by-pass.
Membuat saluran usus baru yang “melewati” bagian usus yang
tersumbat, misalnya pada tumor intralurninal, Crohn disease, dan
sebagainya.
3. Membuat fistula entero-cutaneus pada bagian proximal dari tempat
obstruksi, misalnya pada Ca stadium lanjut.
4. Melakukan reseksi usus yang tersumbat dan membuat anastomosis
ujung-ujung usus untuk mempertahankan kontinuitas lumen usus,
misalnya pada carcinoma colon, invaginasi, strangulata, dan
sebagainya. Pada beberapa obstruksi ileus, kadang-kadang dilakukan
tindakan operatif bertahap, baik oleh karena penyakitnya sendiri
maupun karena keadaan penderitanya, misalnya pada Ca sigmoid
obstruktif, mula-mula dilakukan kolostomi saja, kemudian hari
dilakukan reseksi usus dan anastomosis.
14
3.6 PENCEGAHAN
15
5. Kecemasan b.d prognosis penyakit.
Kriteria evaluasi :
1. Laporan pasien sudah mampu flatus dan keinginan untuk melakukan BAB.
2. Bising usus terdengar normal, frekuensi 5-25 x/menit.
3. Gambaran foto polos abdomen tidak hanya terdapat adanya akumulasi gas
di dalam intestinal.
Intervensi Rasional
16
parah karena terjadi gangguan
elektrolit. Peran perawat harus
mendokumentasikan kondisi status
cairan dan harus melaporkan bila di
dapatkan adanya perubahan yang
signifikan.
17
pascabedah hari ke 4. Hasil yang di
dapat , ternyata tidak ada perbedaan
yang signifikan dari hasil mioelektrik
dalam pemulihan di lambung, jejunum,
atau usus antara 2 kelompok tersebut.
Akan tetapi pelaksanaan ambulasi tetap
bermanfaat dalam mencegah
pembentukan atelektasis, obstruksi
vena profunda, dan pneumonia.
Kriteria evaluasi :
Intervensi Rasional
Monitoring status cairan (turgor kulit, Jumlah dan dua tipe cairan pengganti di
membran mukosa, urine output). tentukan dari keadaan status cairan.
Penurunan volume cairan
18
mengakibatkan menurunnya produksi
urine, monitoring yang ketat pada
produksi urine < 600 ml/hari
merupakan tanda tanda terjadinya syok
hipovolemik.
Kaji warna kulit, suhu, sianosis, nadi Mengetahui adanya pengaruh adanya
perifer, dan diaforesis secara teratur. peningkatan tahanan perifer.
Kolaborasi
19
Resiko tinggi nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d kurangnya intake
makanan yang adekuat.
Intervensi Rasional
Hindari intake apapun secara oral. Umumnya menunda intake makan oral
sampai tanda klinis ileus berakhir.
Namun, kondisi ileus tidak
menghalangi pemberian nutrisi enteral.
20
Terjadi flatus lebih cepat pada
kelompok yang mendapat makanan
palsu permen karet dari pada di
kelompok kontrol.
Kolaborasi dengan ahli gizi mengenai Ahli gizi harus terlibat dalam penentuan
jenis nutrisi yang akan digunakan komposisi dan jenis makanan yang
pasien. akan diberikan sesuai dengan
kebutuhan individu.
Kriteria evaluasi :
Intervensi Rasional
21
Intervensi kedaruratan pemenuhan
cairan.
Parameter penting dalam menentukan
a. Identifikasi adanya tanda-tanda intervensi sesuai dengan kondisi klinik
syok dan status dehidrasi. individu. Pada pasien dengan
perubahan akut TTV dan dehidrasi
berat, maka pemulihan hidrasi menjadi
parameter utama dalam melakukan
tindakan.
22
1940. Intervensi ini hanya bersifat
sementara sebagai bagian resusitasi
vaskular apabila akses vena tidak bisa
dilakukan setelah melakukan
penusukan pada 3 tempat dan dalam
waktu 90 detik (Vreede, 2000).
Kontraindikasi pemasangan ini bila
pasien mengalami fraktur femur pada
sisi ipsilateral, fraktur tibia proksimal,
dan osteomielitis tibia (Woodall,1992).
Tujuan : Dalam waktu 1 x 24 jam pasien secara subjektif melaporkan rasa cemas
berkurang.
Kriteria evaluasi :
Intervensi Rasional
23
menjalani pembedahan untuk kolostomi
sementara dapat mengekspresikan rasa
takut dan masalah yang serupa dengan
individu yang memiliki stoma
permanen.
24
pasien yang dikunjungi dan dimintai
pendapat sebelum dioperasi akan
berkurang saat tiba di kamar operasi
dibandingkan mereka yang hanya
sekedar di beri pramedikasi dengan
fenobarbital. Kelompok yang mendapat
pramedikasi melaporkan rasa
mengantuk, tetapi tetap cemas.
Bantu pasien meningkatkan citra tubuh Perubahan yang terjadi pada citra tubuh
dan beri kesempatan pasien dan gaya hidup sering sangat
mengungkapkan perasaannya. mengganggu, dan pasien memerlukan
dukungan empati dalam mencoba
menyesuaikannya. Oleh karena stoma
ditempatkan pada abdomen, pasien
dapat berpikir bahwa setiap orang akan
melihat ostomi. Perawat dapat
membantu mengurangi ketakutan ini
dengan memberikan informasi aktual
tentang prosedur pembedahan dan
pembentukan, serta penatalaksanaan
ostomi. Apabila pasien menghendaki,
diagram, foto, dan alat dapat digunakan
untuk menjelaskan dan memperjelas.
Oleh karena pasien mengalami stress
emosional, perawat perlu mengulang
beberapa informasi. Berikan
kesempatan pada pasien untuk
mengajukan pertanyaan.
25
pasien prabedah.
Berikan privasi untuk pasien dan orang Memberi waktu untuk mengekpresikan
terdekat. perasaan, serta menghilangkan cemas
dan perilaku adaptasi. Adanya keluarga
dan teman-teman yang dipilih pasien
melayani aktivitas dan pengalihan
(misal : membaca) akan menurunkan
perasaan terisolasi.
Kolaborasi :
Kriteria evaluasi :
Intervensi Rasional
26
dalam memberikan pendidikan yang
sesuai dengan pengetahuan pasien
secara efisien dan efektif.
27
pembedahan untuk kolostomi
sementara dapat mengekpresikan rasa
takut dan masalah yang serupa dengan
individu yang memiliki stoma
permanen.
28
Nyeri b.d iritasi intestinal, distensi abdominal.
Kriteria evaluasi :
Intervensi Rasional
29
c. Istirahatkan pasien pada saat Istirahat secara fisiologis akan
nyeri muncul. menurunkan kebutuhan oksigen yang
diperlukan untuk memenuhi kebutuhan
metabolisme basal.
30
3.9 EVALUASI
31
DAFTAR PUSTAKA
Mary Digiulio, R. M., Donna Jackson, R. M., & Keogh, J. (2015). Keperawatan
Medikal Bedah. Yogyakarta: Rapha publishing.
Mubarak, Wahit Iqbal, dkk. (2015). Standar Asuhan Keperawatan dan Prosedur
Tetap dalam Praktik Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.
Anonyms, http://www.medicalexhibits.com
32