Laporan kasus ini dibuat untuk melengkapi persyaratan Kepaniteraan Klinik Senior di
bagian Ilmu Kesehatan Bedah RSUD dr. Pirngadi Medan
Oleh:
Pembimbing:
dr. Azwarto Lubis, Sp.B
Nilai :
Dokter Pembimbing,
Puji syukur kita ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat dan karunia-
Nya penulis dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul “CA KOLOREKTAL“
dalam rangka melengkapi persyaratan Kepaniteraan Klinik Senior (KKS) di Departemen
Ilmu Kesehatan Bedah RSUD dr. Pirngadi Medan.
Penyusunan laporan kasus ini tidak lepas dari bimbingan, pengarahan dan bantuan
dari berbagai pihak. Oleh karena itu dengan rasa hormat penulis menyampaikan terimakasih
kepada dr. Azwarto Lubis, Sp.B atas bimbingan dan arahannya selama mengikuti KKS di
Departemen Ilmu Kesehatan Bedah RSUD dr. Pirngadi Medan.
Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini masih memiliki banyak kekurangan. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang sifatnya membangun sangat penulis harapkan agar dapat
menjadi pedoman untuk perbaikan laporan kasus ini dikemudian hari.
Harapan penulis semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat dan menambah
pengetahuan serta dapat menjadi arahan dalam mengimplementasikan ilmu di kesehatan
bedah di klinikdan di masyarakat.
Suci Handayani,
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN
i
BAB I
PENDAHULUAN
Kanker kolorektal (colo – rectal carcinoma) atau yang biasa disebut sebagai
kanker usus besar merupakan suatu tumor ganas terbayak diantara tumor lainnya yang
menyerang saluran pencernaan. Lebih dari 60 persen tumor ganas kolorektal berasal
dari colon atau rectum. Colon merupakan bagian lain dari usus besar yang terletak di
atas pinggul. Rectum merupakan bagian 15 cm terakhir dari usus besar dan terletak di
dalam rongga panggul di tengah tulang pinggul. Colon dan rectum adalah bagian dari
usus besar pada sistem pencernaan yang disebut dengan traktus gastrointestinal.
Traktus gastrointestinal berfungsi sebagai penghasil energi bagi tubuh dan membuang
zat – zat yang tidak diperlukan tubuh.
Berdasarkan data Wisconsin Reporting System, kanker kolorektal menempati
urutan ketiga penyebab kematian tertinggi di dunia setelah kanker payudara dan kanker
paru-paru yaitu terdapat 9,5% kasus dari jumlah penduduk dunia yang meninggal
akibat kanker kolorektal atau mencapai 1,23 juta kematian pertahun (Wisconsin Cancer
Reporting System, 2017: 8). American Cancer Society memperkirakan pada tahun
2017 di U.S Amerika terjadi sebanyak 95.520 kasus baru kanker kolon yang didiagnosa
dan sebanyak 39.910 kasus kematian yang diperkirakan akan terjadi akibat kanker ini.
Kasus kanker kolorektal di Indonesia pada perempuan adalah terbanyak ketiga setelah
kanker payudara dan kanker serviks. Sedangkan pada laki-laki, ia menempati urutan
kedua setelah kanker paru, diikuti yang ketiga kanker prostat (American Cancer
Society, 2017).
Dari data Globocan 2012, insiden kanker kolorektal di Indonesia adalah 12,8
per 100.000 penduduk usia dewasa, dengan mortalitas 9,5% dari seluruh kasus kanker.
Saat ini, kanker kolorektal di Indonesia menempati urutan nomor tiga (Globocan
IARC, 2012), kenaikan tajam yang diakibatkan oleh perubahan pada diet orang
Indonesia, baik sebagai konsekuensi peningkatan kemakmuran serta pergeseran ke
arah cara makan orang Barat (Westernisasi) yang lebih tinggi lemak serta rendah serat.
Sekitar 25% pasien kanker kolorektal baru terdiagnosa pada stadium lanjut saat
kanker sudah menyebar ke organ lain. Hal ini mengkhawatirkan, karena pengobatan
jadi lebih sulit dan mahal, serta tingkat keberhasilan juga menurun (Yayasan Kanker
1
2
Indonesia, 2017). Pada tahap awal, biasanya kanker tidak menunjukkan gejala, oleh
karena itu pemeriksaan dini dapat mempermudah penyembuhan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3
4
Vaskularisasi usus besar diatur oleh arteri mesenterika superior dan inferior.
Arteri mesenterika superior memvaskularisasi kolon bagian kanan (mulai dari sekum
sampai dua pertiga proksimal kolon transversum). Arteri mesenterika superior
mempunyai tiga cabang utama yaitu arteri ileokolika, arteri kolika dekstra, dan arteri
kolika media. Sedangkan arteri mesenterika inferior memvaskularisasi kolon bagian
kiri (mulai dari sepertiga distal kolon transversum sampai rektum bagian proksimal).
Arteri mesenterika inferior mempunyai tiga cabang yaitu arteri kolika sinistra, arteri
hemorroidalis superior, dan arteri sigmoidea. Vaskularisasi tambahan daerah rektum
diatur oleh arteria sakralis media dan arteria hemorroidalis inferior dan media. (Taylo,
2005)
Adventisia menutupi sebagian rektum, dan serosa menutupi sisanya. Banyak pembuluh
darah ditemukan di submukosa dan adventitia (Fiore, 2008)
2.3 Fisiologi kolon dan rektum
Fungsi utama kolon adalah absorbsi air dan elektrolit dari kimus untuk
membentuk feses yang padat dan penimbunan bahan feses sampai dapat dikeluarkan
(Guyton, 2008), kolon mengubah 1000-2000mL kimus isotonik yang masuk setiap hari
dari ileum menjadi tinja semipadat dengan volume sekitar 200-250mL (Ganong, 2008).
Sebagian besar absorpsi dalam usus besar terjadi pada pertengahan proksimal
kolon, sehingga bagian ini dinamakan kolon pengabsorpsi, sedangkan kolon bagian
distal pada prinsipnya berfungsi sebagai tempat penyimpanan feses sampai waktu yang
tepat untuk ekskresi feses dan oleh karena itu disebut kolon penyimpanan. Banyak
bakteri, khususnya basil kolon, bahkan terdapat secara normal pada kolon
pengabsorpsi. Bakteri-bakteri ini mampu mencernakan sejumlah kecil selulosa, dengan
cara ini menyediakan beberapa kalori nutrisi tambahan untuk tubuh (Guyton, 2008).
Kanker kolorektal adalah suatu penyakit neoplasma ganas yang berasal atau
tumbuh di dalam saluran usus besar (kolon) dan atau rektum (Sander, 2012). Kanker
kolorektal adalah keganasan yang berasal dari jaringan usus besar, terdiri dari kolon
(bagian terpanjang dari usus besar) dan atau rektum (bagian kecil terakhir dari usus
besar sebelum anus) (IKABDI, 2014).
2.4.2 Epidemiologi
Secara epidemiologis kejadian kanker kolorektal di dunia mencapai urutan
keempat, dimana jumlah pasien laki-laki sedikit lebih banyak daripada perempuan
dengan perbandingan 19,4 dan 15,3 per 100.000 penduduk (Sudoyo, 2009). Pada tahun
6
2011 diestimasikan bahwa sekitar 141,210 kasus baru dan 49,380 kematian terjadi
akibat kanker kolorektal di Amerika Serikat. Sekitar 72% kasus tersebut terjadi pada
bagian kolon dan 28% pada rektum (SEER, 2013). Dari data yang dikeluarkan oleh
International Agency for research on Cancer pada tahun 2013, berdasarkan
GLOBOCAN 2012 terjadi peningkatan sebanyak 14,1 juta kasus baru kanker di dunia
dengan 1,4 juta atau 9.7% didiagnosis sebagai kanker kolorektal.
Kanker kolorektal merupakan kanker urutan ketiga terbanyak menyerang pria
setelah kanker prostat dan kanker paru dengan persentase 10,0% serta penyebab
kematian keempat pada pasien kanker pria setelah kanker paru, kanker hepar, kanker
lambung dengan presentase 8% per 100.000 penduduk dunia. Selain itu, kanker
kolorektal menjadi kanker kedua terbanyak pada wanita dengan persentase 9,2%
setelah kanker payudara dan menjadi penyebab kematian ketiga dengan presentase 9%
setelah kanker payudara dan kanker paru (Globocan, 2012)
Embriologi usus besar berasal dari usus tengah dan usus belakang. Bagian
traktus digestivus yang berasal dari usus tengah dimulai dari duodenum tepat di sebelah
distal muara duktus biliaris dan berlanjut ke tautan dua pertiga proksimal kolon
trasnversum dengan sepertiga distalnya. Bagian traktus digestivus yang embriologinya
berasal dari usus tengah mendapatkan perdarahan yang berasal dari arteri mesenterika
superior. Sepertiga distal kolon transversum, kolon descenden, kolon sigmoid, rektum
dan bagian atas kanalis analis berasal dari usus belakang dan mendapatkan perdarahan
dari arteri mesenterika inferior. Berdasarkan embriologi inilah kolon dapat dibagi
menjadi 2, yaitu kolon kanan yang terdiri dari caecum, kolon ascenden, fleksura
hepatika dan dua pertiga proksimal kolon transversum serta kolon kiri yang terdiri dari
sepertiga distal kolon transversum, fleksura lienalis, kolon descenden, kolon sigmoid
dan rektum (Sadler, 2012). Menurut lokasi, kanker kolorektal dapat diklasifikasikan
menjadi kanker kolon kanan, kanker kolon kiri, dan kanker rektum. Lokasi tumor pada
kanker kolorektal mempengaruhi gejala klinis pada pasien (Riwanto et al, 2012).
2.4.5 Patogenesis
Perjalanan penyakit dari kanker kolorektal terjadi akibat perubahan pada gen
kunci pengatur pertumbuhan yaitu APC, tp53, TGF- β Tumor-Suppressor Pathway.
a. APC
Kanker kolorektal terjadi akibat banyak perubahan genetic, tetapi jalur sinyal
tertentu secara jelas dipilih sebagai faktor kunci dalam pembentukan tumor. tumor.
Aktifasi dari jalur sinyal Wnt menjadi awal dari kejadian kanker kolorektal. APC
merupakan komponen dari kompleks degradasi protein β-catenin yaitu proteolisis.
Mutasi kanker kolorektal yang paling sering adalah menginaktifasi gen-gen yang
mengkode protein APC. Akibat ketidakberadaan fungsi APC, Wnt memberi sinyal
secara tidak wajar. Mutasi dari gen APC menyebabkan poliposis adenomatous familial,
hampir 100% karier dari gen ini merupakan resiko dari kanker kolorektal pada usia 40
tahun.
b. TP53
9
Inaktifasi dari jalur p53 akibat mutasi dari TP 53 merupakan kunci genetik
kedua dari tahapan kanker kolorektal. Pada kebanyakan tumor, dua alel Tp53
diinaktifasi, biasanya oleh kombinasi dari mutasi missense yang menginaktifasi
aktivitas transkripsi p53 dan delesi kromosom 17p yang mengeliminasi alel kedua
Tp53. Inaktifasi dari TP53 sering terjadi dengan transisi dari adenoma besar menjadi
karsinoma invasif. Pada kebanyakan kanker kolorektal dengan mismatch dan
kerusakan proses perbaikan, aktivitas dari jalur p53 berkurang oleh mutasi pada BAX
yang merupakan penginduksi dari apoptosis.
Mutasi dari sinyal TGF-β merupakan tahap ketiga dari progresi kanker
kolorektal. Mutasi somatik menginaktifasi TGFBR2 sekitar sepertiga dari kanker
kolorektal. Kurang lebih setengah dari semua kanker kolorektal dengan gangguan
perbaikan tipe wild, sinyal dari TGF-β dihancurkan oleh inaktifasi mutasi missense
pada domain TGFBR2 kinase. Mutasi yang menginaktifasi jalur TGF-β terjadi dengan
transisi dari adenoma ke high grade dysplasia atau karsinoma (Markowitz dan
Bertagnolli, 2009).
Gambar 3. Jalur gen-gen dan faktor pertumbuhan yang mengontrol progresi dari
kanker kolorektal (Molecular Basis of Colorectal, N Engl J Med).
2.4.6 Manifestasi Klinis
Menurut Japaries (2017) kanker kolorektal dibagi menjadi dua stadium yaitu :
1. Stadium dini
a. Tanda iritasi usus dan perubahan kebiasaan defekasi: sering buang
air besar, diare atau obstipasi, kadang kala obstipasi dan diare
bergantian, tanesmus, anus turun tegang, sering terdapat nyeri samar
pada abdomen. Pada pasien lansia, hal ini sukar disadari karena
tubuh mulai kurang sensitif terhadap nyeri. Sehingga kadang kala
setelah terjadi perforasi tumor, peritonitis baru merasakan nyeri dan
berobat.
b. Hematokezia: pasien sering mengeluhkan adanya bercak darah saat
buang air besar, berwarna merah segar atau merah gelap, biasanya
tidak banyak dan intermitten.
c. Ileus: Merupakan tanda lanjut dari kanker kolon. Ileus kolon sisi kiri
sering ditemukan. Kanker kolon tipe ulseratif atau hiperplastik
menginvasi ke sekitar dinding usus membuat lumen usus
menyempit hingga ke ileus, sering berupa ileus mekanik nontotal
kronis, mula-mula timbul perut kembung, rasa tak enak perut, lalu
timbul sakit perut intermitten, borborigmi, obstipasi atau feses
menjadi kecil-kecil bahkan tak dapat buang angin atau feses.
Sedangkan ileus akut umumnya disebabkan karsinoma kolon tipe
infiltratif. Tidak jarang terjadi intussusepsi dan ileus karena tumor
pada lansia, maka pada lansia dengan intususepsi harus memikirkan
kemungkinan karsinoma kolon. Pada ileus akut maupun kronik,
gejala muntah tidak menonjol, bila terdapat muntah, mungkin usus
kecil (khususnya proksimal) sudah terinvasi tumor.
d. Massa abdominal: ketika tumor tumbuh hingga batas tertentu, di
daerah abdomen dapat diraba adanya massa, sering diemukan pada
kolon belahan kanan. Pasien lansia umumnya berat badan menurun,
dinding abdomen relatif longgar, massa mudah diraba. Pada
awalnya massa bersifat mobile, setelah menginvasi sekitar menjadi
terfiksasi.
11
2. Stadium lanjut
Selain gejala lokal tersebut di atas, pada fase akhir progresi kanker usus besar
timbul gejala stadium lanjut yang sesuai. Misal, invasi luas tumor dalam kavum pelvis
menimbulkan nyeri daerah lumbosakral, iskialgia dan neuralgia daerah obturatoria; ke
anterior menginvasi mukosa vagina dan vesika urinaria menimbulkan perdarahan per
vaginam atau hematuria, bila parah dapat timbul fistel rektovaginal, fistel rektovesikal;
obstruksi ureter bilateral menimbulkan anuria, uremia; tekanan pada uretra
menimbulkan retensi urin; asites, hambatan saluran limfatik atau tekanan pada vena
iliaka menimbulkan udem tungkai, skrotal, labial; perforasi menimbulkan peritonitis
akut, abses abdomen; metastasis jauh seperti ke hati menimbulkan hepatomegali,
ikterus, asites; metastasis ke paru menimbulkan batuk, nafas memburu, hemoptisis;
metastasis ke otak dapat menyebabkan koma. Akhirnya dapat timbul kakeksia,
kegagalan sistemik (Japaries, 2017)
Gejala klinis kanker kolorektal pada lokasi tumor di kolon kiri berbeda dengan
kanan. Tumor di kolon kiri sering bersifat skirotik sehingga lebih banyak menimbulkan
stenosis dan obstruksi karena feses sudah menjadi padat. Tumor pada kolon kiri dan
rektum menyebabkan perubahan pola defekasi seperti konstipasi atau defekasi dengan
tenesmi, semakin distal letak tumor feses semakin menipis atau seperti kotoran
kambing atau lebih cair disertai darah atau lendir. Pada kanker kolon kanan jarang
terjadi stenosis karena feses masih cair. Gejala umumnya adalah dispepsia, kelemahan
umum penurunan berat badan dan anemia. Pada kanker di kolon kanan didapatkan
massa di perut kanan bawah. Selain itu, nyeri pada kolon kiri lebih nyata daripada kolon
kanan. Tempat yang dirasa nyeri berbeda karena asal embriogenik yang berlainan.
Nyeri dari kolon kiri bermula di bawah umbilikus, sedangkan dari kolon kanan di
epigastrium (Riwanto et al).
2.4.7 Diagnosis
Diagnosis untuk kanker kolorektal dapat ditegakkan dengan cara ;
1. Anamnesa
12
CT Scan dan MRI sulit untuk membedakan lesi jinak dan ganas, kelebihan
utama pemeriksaan ini adalah menunjukkan situasi terkenanya jaringan seitar, ada
tidaknya metastasis kelenjar limfe atau organ jauh, sehingga membantu dalam
14
penentuan stadium klinis dan perkiraan operasi. Pemeriksaan ini juga peka dalam
menemukan massa dalam kavum pelvis, berguna dalam diagnosis rekurensi pasca
operasi karsinoma rektal.
c. Biomarker tumor
d. Biopsi
Guaiac fecal occult blood test menggunakan bahan kimia guaiac untuk
memeriksa darah yang tidak terlihat secara langsung oleh mata pada feses/kotoran.
Pemeriksaan ini dapat dilakukan dengan menggunakan kit yang telah disediakan.
15
2.4.8 Stadium
M (Metastasis) = Penyebaran
MX : Tidak dapat menilai ada tidaknya
M0 : Tidak ada metastasis
M1 : Terdapat metastasis
2.4.9 Histopatologi
Klasifikasi histologis kanker kolorektal yang diterima secara internasional yang
diusulkan oleh World Health Organization (Tabel 2.2) direkomendasikan oleh College
of American Pathologists (CAP). Menurut klasifikasi ini, mayoritas kanker kolorektal
adalah adenokarsinoma tanpa tipe khusus. Subkelompok khusus perlu diperhatikan
karena mereka mungkin terkait dengan genotipe dan prognosis tertentu. Penilaian
kolorektal kolorektal, secara keseluruhan, didasarkan pada fitur arsitektur dan fitur
sitologi (misalnya, pleomorfisma, hiperkromatisme, dan produksi musin), tetapi
tingkat pembentukan kelenjar secara luas dianggap sebagai fitur yang paling penting
dalam penilaian. Sebagian besar sistem stratifikasi tumor menjadi tiga kelas: kelas 1
(terdiferensiasi dengan baik), kelas 2 (cukup terdiferensiasi), dan tingkat 3 (kurang
terdiferensiasi) (Niederhuber et al, 2016).
Untuk gambaran tipe histologi, secara internasional klasifikasi histopatologi
untuk tumor kolorektal menggunakan klasifikasi menurut World Health Organization
18
Adenocarcinoma
Mucinous adenocarcinoma
Signet ring carcinoma
Small cell carcinoma
Adenosquamous carcinoma
Squamous cell carcinoma
Undifferentiated carcinoma
2.4.10 Tatalaksana
1. Terapi kemoterapi
Sepertiga pasien yang menjalani operasi kuratif akan mengalam rekurensi.
Kemoterapi dapat diberikan sebegai terapi adjuvant, neoadjuvant atau paliatif.
Kemoterapi adjuvan diberikan untuk menurunkan tingkat rekurensi kanker kolorektal
setelah operasi. Pasien Dukes A jarang mengalami rekurensi sehingga tidak perlu terapi
adjuvan. Pasien kanker kolorektal Dukes C yang mendapat levamisol dan 5 FU secara
signifikan meningkatkan harapan hidup dan masa interval bebas tumor (disease free
interval). Kemoterapi adjuvan tidak berpengaruh pada kanker kolorektal Dukes B
(Abdullah, 2014).
2. Tindakan Operasi
Mayoritas pasien dengan kanker kolon stadium I dan II menjalani kolektomi
parsial atau total, sementara sekitar dua pertiga dari mereka dengan kanker kolon
stadium III (juga beberapa dengan penyakit stadium II) menerima kemoterapi selain
kolektomi untuk menurunkan risiko kekambuhan. Untuk pasien dengan kanker rektal,
proctectomy atau proctocolectomy adalah perawatan yang paling umum untuk penyakit
stadium I, dan sekitar setengahnya juga menerima radiasi dan/atau kemoterapi. Kanker
rektum stadium II dan III ditatalaksana dengan kemoterapi neoadjuvant plus radiasi.
19
Kolostomi (biasanya sementara) lebih sering diperlukan selama operasi untuk pasien
dengan kanker rektum daripada untuk mereka yang menderita kanker kolon.
Kemoterapi adalah pengobatan utama untuk kanker rektum stadium IV (Miller et al,
2016).
2.4.11 Kegadaruratan Ca Kolorekral
2.4.12 Pencegahan
Peran deteksi dini dan diagnosis pada pengelolaan kanker kolorektal adalah
untuk meningkatnya ketahanan hidup, menurunnya tingkat morbiditas dan mortalitas
pasien kanker kolorektal.
1. Screening
Sebagian besar kanker kolorektal muncul dari polip adenomatosa.
Perkembangan polip adenomatosa dari polip kecil, polip yang lebih besar, hingga polip
dyspastic, dan akhirnya kanker terjadi paling tidak selama 10 tahun. Tujuan skrining
adalah mendeteksi polip sebelum berubah menjadi kanker. Pedoman untuk skrining
memperhitungkan efektivitas, sensitivitas, spesifisitas, biaya, dan morbiditas
2. Pencegahan Primer
Obat anti-inflamasi nonsteroid (NSAID), kalsium, folat, dan estrogen dapat
mencegah perkembangan polip. Konsumsi tinggi daging merah / olahan dan diet
rendah ikan dikaitkan sebagai faktor-faktor peningkatan risiko kanker kolorektal.
Namun, untuk aktivitas fisik mungkin memiliki efek perlindungan terhadap kejadian
kanker kolorektal (Chabner dan Longo, 2014).
BAB III
LAPORAN KASUS
Vital Sign :
Sensorium : Compos mentis
Tekanan darah : 130/90 mmHg
20
21
HR : 84 x/i
RR : 28 x/i
T : 36,4 °C
Pemeriksaan Fisik
Kepala : conjunctiva palpebra inferior anemis (-), mata cekung (-)
Leher : tidak dijumpai kelainan
Thorax : tidak dijumpai kelainan
Abdomen : dalam status lokalisata
Ekstremitas : tidak dijumpai kelainan
Genitalia : pasien seorang perempuan, tidak dijumpai kelainan
Status Lokalisata
Abdomen
• Inspeksi : Simetris, distensi (+)
• Perkusi : Hipertimpani
• Rectal Toucher
Perineum normal, sphincter ani ketat, mukosa licin, nyeri tidak jelas, pada
ampula terdapat feses.
Pemeriksaan Penunjang
Radiologi
Diagnosa Kerja:
Post laparatomi eksplorasi d/t Ca Sigmoid
23
Penatalaksanaan:
• IVFD RL 20 tetes/menit
American Cancer Society, 2017. Colorectal Cancer Facts & Figures 2017-2019,
American Cancer Society, Atlanta.
Chabner, B. A. & Longo, D. L. 2014. Harrison’s Manual of Oncology, 2nd edn,
McGraw-Hill Education, United States.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2007. Profil Kesehatan Indonesia
2006, Jakarta.
Evelyn, C. P. 2009. Anatomi dan fisiologi untuk Para Medis. PT Gramedia,
Jakarta.
Feldman, M., Friedman, L.S. & Brandt, L.J. 2016. Sleisenger and Fordtran’s
Gastrointestinal and Liver Disease: Anatomy, Histology, Embryology,
and Development anomalies of the small and large intestine, 10th edn,
Saunders Elseviers, United States of America, 1649-1678.
Fleming, M., Ravula, S., Tatishchey, S., Wang, H. 2012. Pathologic aspects of
colorectal carcinoma, Journal of Gastrointestinal Oncology, Los
Angeles, California, USA, 153-173.
Florensia, F. 2014. Karakteristik Pasien Kanker Kolorektal di RSUP Haji Adam
Malik Tahun 2011 – 2013, Medan, Universitas Sumatera Utara.
Globocan, 2012. Estimated Cancer Incidence, Mortality and Prevalence
Worldwide in 2012: Indonesia, Accessed 24 April 2018, Available at:
http://globocan.iarc.fr/Pages/fact_sheets_population.aspx
Iacobuzio-Donahue, C. A. & Montgomery, E. 2015. Gastrointestinal and Liver
Pathology, Elsevier Saunders, Philadelpia.
IKABDI, 2014. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Kanker Kolorektal,
Komite Penanggulangan Kanker Nasional, Jakarta.
Japaries, W. 2017. Buku Ajar Onkologi Klinis, 2nd edn, Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, Jakarta.
Markowitz, S. & Bertagnolli, M. 2009. Molecular Basis of Colorectal Cancer,
New English Journal Medicine, Boston.
Niederhuber, J. E., Armitage, J. O., Doroshow, J. H., Kastan, M. B. & Tepper, J.
E. 2014. Abeloff’s clinical oncology: Colorectal Cancer, Saunders
Elseviers, China, 1278-1335.
25
Riwanto, I., Hamami, A. H., Pieter, J., Tjambolang ,T. & Ahmadsyah, I. 2012.
Usus Halus, Appendiks, Kolon, dan Anorektum. Dalam: Buku Ajar Ilmu
Bedah, 3rd edn, EGC, Jakarta, 731-98.
Sander, M.A. 2012. Profil Penderita Kanker Kolon dan Rektum di RSUP Hasan
Sadikin Bandung, Malang, Universitas Muhammadiyah Malang.
SEER, Cancer Statistics Factsheets, 2018. Colon and Rectum Cancer, Accessed
24 April 2018, Available at:
http://seer.cancer.gov/statfacts/html/colorect.html.
Sudoyo, A., Setiyohadi, B., Alwi, I., Simadibrata, M., Setiati, S. 2009. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam, InternaPublisihing, Jakarta.
Tortora, G.J, Derrickson, B. 2009. Principle of Anatomy and Physiology, 12th
edn, John Wiley & Sons, United States of America.