Anda di halaman 1dari 31

LAPORAN KASUS INDIVIDU

Guillain Bare Syndrome

Oleh:

Sheilla Ulul Mazaya

Pembimbing

dr. Dhimas H Sp. S

SMF NEUROLOGI

RUMAH SAKIT MUHAMMADIYAH LAMONGAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

2019
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan hidayah-

Nya, penulisan dapat menyelesaikan laporan kasus stase syaraf dengan kasus “Guillain Bare

Syndrome”, dimana laporan ini diajukan untuk memenuhi tugas individu stase syaraf.

Sholawat serta salam tidak lupa penulis panjatkan kepada Rasulullah SAW, yang telah

menuntun dari zaman yang gelap pada zaman yang terang benderang.

Dengan terselesaikannya laporan kasus ini kami ucapkan terima kasih yang sebesar

besarnya kepada dr.Kunadi spesialis syaraf, selaku pembimbing, yang telah membimbing dan

menuntun penulis dalam pembuatan laporan kasus ini. Tidak lupa penulis ucapkan terima kasih

kepada orang tua yang selalu memanjatkan doa dan memberi dukungan baik secara lahir

maupun batin sehingga penulis mampu menyelesaikan laporan kasus individu dengan baik.

Penulis menyadari bahwa penulisan laporan ini masih jauh dari sempurna, oleh karena

itu penulis tetap membuka diri untuk kritik dan saran yang membangun. Akhir kata, semoga

laporan kasus ini dapat bermanfaat.

Lamongan, Juli 2019

Penulis
BAB 1
PENDAHULUAN

Sindrom Guillain Barre (GBS) atau dikenali sebagai acute inflammatory

demyelinating polyradiculopathy (AIDP), merupakan jenis neuropati akut yang paling umum

dan dapat terjadi pada semua golongan usia. Kasus terbanyak disebabkan oleh serangan

autoimun pada mielin saraf motor yang kebanyakan dipicu oleh infeksi. Penyebab infeksi

terbanyak yang telah diidentifikasi adalah Campylobacter jejuni, Cytomegalovirus, Eipstein-

Barr virus, Mycoplasma pneumonia, dan Haemophilus influenza. Penyebab lain GBS yang

jarang adalah vaksinasi. Kira-kira dari satu pertiga kasus tidak dapat ditemukan pemicu dari

sistem autoimun.

Sindroma Guillain-Barre (GBS) mempunyai karakteristik yaitu disfungsi saraf kranial

dan perifer dengan onset akut. Infeksi virus pada saluran pernafasan ataupun pencernaan,

imunisasi, atau tindakan bedah biasanya seringkali terjadi 5 hari sampai 4 minggu sebelum

terjadinya gejala neurologis. Gejala dan tanda-tanda terjadinya sindroma Guillain-Barre

termasuk kelemahan secara simetris yang cepat dan progresif, hilangnya refleks tendon,

diplegia wajah, parese otot orofaring dan otot pernafasan, dan terganggunya sensasi pada

tangan dan kaki. Terjadi perburukan kondisi dalam beberapa hari hingga 3 minggu, diikuti

periode stabil dan perbaikan secara bertahap menjadi kembali normal atau mendekati fungsi

normal. Plasmapharesis atau IVIG yang dilakukan lebih awal akan mempercepat penyembuhan

dan memperkecil angka kejadian kecacatan neurologis jangka panjang.


BAB 2
LAPORAN KASUS
2.1 Identitas Pasien
Nama : Nn. U

Umur : 22 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Agama/suku : Islam/Jawa

2.2 Anamnesis

Keluhan utama : Nyeri punggung

Riwayat Penyakit Sekarang :

Pasien datang dengan keluhan nyeri punggung sejak 3 hari SMRS. 7 hari SMRS pasien

mengeluh tebal kedua kaki terlebih dahulu kemudian disusul kesemutan di kedua tangan

sehingga membuat pasien tidak bisa memakaikan kancing baju, lalu pasien pergi ke dokter

setempat tetapi tidak membaik setelah mendapat obat, 2 hari selanjutnya pasien kembali ke

dokter yang berbeda dan mendapat obat tetapi tetap tidak membaik. 2 hari selanjutnya / 3 hari

SMRS keluhan pasien semakin bertambah. Pasien mulai tidak bisa berjalan disusul nyeri pada

lengan atas dan punggung, 2 hari SMRS pasien mengeluh nyeri telan dan mata tidak bisa

menutup rapat ketika merem.

Resume RPS :

- Senin mengeluh kesemutan dikedua kaki terlebih dahulu kemudian kesemutan di

kedua tangan sampai tidak bisa mengancingkan baju

- Senin pasien berobat ke dokter tetapi tidak membaik

- Rabu pasien berobat ke dokter lagi

- Jumat pasien mengeluh tidak berjalan disusul nyeri lengan atas, nyeri punggung

keseluruhan
- Sabtu nyeri telan dan mata tidak bisa menutup rapat ketika merem

- Minggu pagi dibawa ke IGD RSML dengan keluhan nyeri punggung yang sangat dan

badan terasa nyeri semua

Sesak disangkal, mual muntah disangkal, sakit kepala disangkal, riwayat batuk pilek dan

diare dalam beberapa bulan terakhir disangkal. BAK terakhir sabtu sore dan dibawa ke

IGD RSML hari minggu pagi.

Riwayat Penyakit Dahulu :

Post trauma (KLL) 7 tahun yang lalu

Riwayat Penyakit Keluarga :-

Riwayat Sosial : Pasien merupakan mahasiswa tingkat akhir yang sedang

menyusun skripsi

2.3 Pemeriksaan Fisik

Keadaan Umum : Sadar dan tampak lemah

Kesadaran : Compos Mentis

GCS : E4 V5 M6

Tanda-tanda vital

Pemeriksaan di IGD :

Tekanan Darah : 125/81 mmHg

Nadi : 84x/ menit

Frekuensi Nafas : 22x/menit

Temperatur : 36,2 °C
Pemeriksaan di ruangan

Tekanan Darah : 125/81 mmHg

Nadi : 81 x/menit

RR : 20 x/menit

Suhu : 36,8 °C

Status Generalis

Kepala/Leher

Inspeksi :anemia -, ictus -, sianosis -, dispsneu -, mata cowong -, KGB -

Thorax

Paru Jantung

Inspeksi : Bentuk dada normal, pergerakan dinding dada simetris, retraksi -

Palpasi : krepitasi -

Perkusi : Sonor/sonor

Auskultasi : Suara nafas vesikuler/vesikuler

Rh -/-, Wh -/-, S1S2 Tunggal, Murmur -, gallop –

Abdomen

Inspeksi : Flat

Palpasi : Soepel, nyeri tekan epigastrium -, hepar lien tidak teraba

Perkusi : Thympani

Auskultasi : BU + N

Ekstremitas :

Inspeksi : Deformitas(-) oedem (-)

Palpasi : Hangat, kering, merah, CRT<2 detik


Pemeriksaan Neurologis

1. Kepala : Posisi : Normal

Penonjolan : Tidak ada

2. Nervus Kranialis :

a. N.I (Olfaktorius)

Tidak dievaluasi

b. N.II (Optikus)

Tajam Penglihatan : VOD >2/60 VOS >2/60

Lapang Penglihatan : Tidak dievaluasi

Funduskopi : Tidak dievaluasi

c. N. III (Okulomotorius)

Celah kelopak mata : Ptosis : -/-

Exoftalmus : -/-

Lagoptalmus : +/+

Pergerakan bola mata : dbn

Pupil : Pupil bulat isokor 3 mm/ 3 mm

Reflek cahaya : Langsung :+/+

Tidak langsung :+/+

Nistagmus : tidak dievaluasi

d. N.IV (Troklearis)

Posisi Bola Mata : Normal / normal

Pergerakan mata : dbN

e. N.VI (Abdusen)

Pergerakan mata : dbN


f. N.V (Trigeminus)

Sensibilitas : N. V I : dbN

N. V II : dbN

N. V III : dbN

Motorik : Inspeksi : wajah simetris

Palpasi : normal / normal

Mengunyah : Tidak dievaluasi

Menggigit : Tidak dievaluasi

Reflek dagu / masseter : dbN

Reflek kornea : Tidak dievaluasi

g. N.VII (Fasialis)

Motorik :

m. frontalis : Tidak bisa mengangkat kedua alis

m. Corrugators supersilii : Tidak bisa mengernyitkan dahi

m. Oblik okuli : Lagoftalmus +/+

m. oblik oris : Tidak bisa mendekatkan dan menekankan

kedua bibir

m. zygomaticus : Tidak bisa tersenyum

m. bisorius : Tidak bisa meringis

m. bucinator : meniup ?

m. mentalis : Tidak bisa menarik ujung dagu ke atas

m. Platisma : Tidak bisa menarik bibir ke bawah, sudut

mulut ke bawah, menurunkan/menaikkan rahang bawah

pengecap 2/3 lidah depan : Tidak dievaluasi

Kesan bibir tidak tampak lateralisasi


h. N.VIII (Vestibulokoklearis)

Detik arloji : Tidak dievaluasi

Suara gesekan jari : dbN

Tes weber : Tidak dievaluasi

Tes Rinne : Tidak dievaluasi

i. N.IX (Glossofaringeus)

Pengecapan 1/3 (bagian belakang) : Tidak dievaluasi

Sensibilitas faring : Tidak dievaluasi

j. N.X (Vagus)

Posisi arkus faring : Tidak dievaluasi

(istirahat / AAH) : Tidak dievaluasi

Reflek telan/ reflek muntah : Tidak dievaluasi

k. N.XI (Acsessorius)

Mengangkat bahu : Tidak dievaluasi

Memalingkan kepala : Tidak dievaluasi

l. N.XII (Hipoglossus)

Deviasi lidah :-

Fasikulasi :-

Tremor :-

Atrofi :-

3. Leher

Tanda perangsangan selaput otak :

- Kaku kuduk : negatif

- Brudzinski I,II : negatif, negatif

- Kernig : negatif
Kelenjar lymphe : tidak ada pembesaran

Arteri karotis :

- Palpasi : teraba kuat

- Auskultasi : bruit (-)

Kelenjar gondok : tidak ada pembesaran

4. Abdomen

Reflek kulit dinding perut : - -

- -

- -

5. Kolumna vertebralis

Inspeksi : normal

Palpasi : normal

Pergerakan : normal

Perkusi : normal

6. Ekstremitas

Motorik

- Pergerakan : Tidak ada

- Kekuatan :5|5
2|2

- Tonus otot : lengan kiri terdapat nyeri saat di fleksikan,

ekstremitas lain dalam batas normal

Otot yang terganggu :

Reflek fisiologis :

- BPR : +2/ +2
- TPR : +2/ +2

- KPR : +2/ +2

- APR : +2/ +2

Reflek patologis :

- Hoffman-tromner :-/-

- Babinski :-/-

- Chaddock :-/-

- Gordon :-/-

- Schaefer : - /-

- Oppenheim :-/-

- Mendel B :-/-

- Rossolimo :-/-

Atrofi : Tidak ada

Sensibilitas

- Eksteroseptif

Nyeri : normal

Suhu : Tidak dievaluasi

Rasa raba halus : normal

- Proprioseptif

Rasa sikap : normal

Rasa nyeri dalam : Tidak dievaluasi

- Fungsi kortikol

Rasa diskriminasi : normal

stereognosis : normal

Barognosis : Tidak dievaluasi


7. Pergerakan abnormal spontan : negatif

8. Gangguan koordinasi

- Tes jari hidung : Tidak dievaluasi

- Tes pronasi supinasi : Tidak dievaluasi

- Tes tumit lutut : Tidak dievaluasi

9. Gait : Tidak dievaluasi

10. Pemeriksaan fungsi luhur

- Afek / emosi : normal

- Kemampuan bahasa : normal

- Memori : normal

- Visuospasial : normal

- Intelegensia : normal

2.4 Pemeriksaan Laboratorium

- Darah Lengkap :

GDA : 135 mg/dl MCV : 73.30 fl (L)

Hb : 14,6 g/dl MCH : 23.10 pg (L)

LED 1 jam : 16 mm/jam (H) MCHC : 31.5 g/dL

Leukosit : 15,1 (H) RDW-CV : 11 %

Neutrofil : 77.0 (H) Monosit : 2.0 % (L)

Limfosit : 21.0 (L) Natrium : 134 mmol/l (L)

Hematokrit : 46,4 Kalium : 3.9 mmol/L

Trombosit : 426/ul Clorida : 101 mmol/L

Eritrosit : 6.33 juta/ul (H) Ht : 46,4


2.6 Diagnosis

Diagnosis klinik : Paraperese ekstremitas Inferior acute, ascending parese ( Ekstremitas


inferior lebih dahulu), Neuropati pain at regio thorakalis posterior dan
regio humerus sinistra, disfagia, oligouria, Parese N. VII tipe perifer,
Parese N XII tipe UMN

Diagnosis topis : Syaraf Perifer Difuse

Diagnosis etiologis : Guillain Bare Syndrome et causa autoimun or post infection (?)

2.7 Planning Diagnosis

- Lumbal Pungsi

2.8 Planning Terapi

- Nasal kanul O2

- Pemasangan DK

-IV IG plasma exchange

-Glukokortikoid
BAB 3
TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI dan ETIOLOGI GUILLAIN BARRE SYNDROME

Guillain Barre Syndrome (GBS) atau dikenali sebagai acute

inflammatory demyelinating polyradiculopathy (AIDP), merupakan jenis

neuropati akut yang paling umum dan dapat terjadi pada semua golongan usia.

Sindroma Guillain-Barre (GBS) mempunyai karakteristik yaitu disfungsi saraf

kranial dan perifer dengan onset akut. Infeksi virus pada saluran pernafasan

ataupun pencernaan, imunisasi, atau tindakan bedah biasanya seringkali terjadi

5 hari sampai 4 minggu sebelum terjadinya gejala neurologis.

Organisme  Epstein-Barr Virus  Campylobacter jejuni


Penyebab GBS  Mycoplasma  Cytomegalovirus
pneumoniae  HIV

Vaksinasi yang  Rabies vaccine  Influenza vaccine


berpotensi  Oral polio vaccine  Smallpox vaccine
menyebabkan GBS
 Diphteria and  Measles and mumps
tetanus vaccines vaccine
 Hepatitis vaccines

B. EPIDEMIOLOGI GUILLAIN BARRE SYNDROME

Angka kejadian penyakit GBS kurang lebih 0,6-1,6 setiap 10.000-40.000

penduduk. Perbedaan angka kejadian di negara maju dan berkembang tidak

nampak. Kasus ini cenderung lebih banyak pada pria dibandingkan wanita. Data

RS Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta menunjukkan pada akhir tahun 2010-


2011 tercatat 48 kasus GBS dalam satu tahun dengan berbagai varian jumlahnya

per bulan. Pada Tahun 2012 berbagai kasus di RSCM mengalami kenaikan

sekitar 10%.

Keadaan tersebut di atas menunjukkan walaupun kasus penyakit GBS

relatif jarang ditemukan namun dalam beberapa tahun terakhir ternyata jumlah

kasusnya terus mengalami peningkatan. Meskipun bukan angka nasional

negara Indonesia, data RSCM tidak dapat dipisahkan dengan kasus yang terjadi

di negara ini, karena RSCM merupakan salah satu Rumah Sakit pusat rujukan

nasional. Berdasarkan fakta di atas perlu kita mengenal penyakit GBS secara

lebih rinci.

C. ELEKTROFISIOLOGI DAN PATOLOGI

Secara histologis, GBS memiliki ciri-ciri demielinasi segmen fokal dengan

infiltrat

perivaskular dan endonurial yang terdiri dari limfosit, monosit atau makrofag .

Lesi ini tersebar pada saraf, radik saraf, dan saraf kranialis. Pada beberapa lesi

yang parah, terdapat degenerasi akson dan demielinasi segmental. Pada proses

penyembuhan, remielinasi terjadi, namun infiltrate limfosit tidak menghilang.

Kecepatan konduksi saraf berkurang pada GBS, namun dapat

menunjukkan nilai normal pada awal penyakit. Distal latensi sensoris dan

motoris dapat menjadi lebih lama. Karena demielinasi pada radik saraf, latensi

minimal pada gelombang F seringkali meningkat atau tidak ada respon.

Perlambatan konduksi dapat terjadi selama hitungan bulan atau menahun

setelah penyembuhan secara klinis. Secara umum, keparahan abnormalitas


saraf tidak berhubungan dengan derajat pelambatan konduksi, namun berkaitan

dengan melebarnya blockade konduksi atau hilangnya akson. Kelemahan yang

bertahan lama adalah yang paling sering terjadi saat amplitude dari aksi

potensial motoris (CMAP) berkurang hingga kurang dari 20% nilai normal.

D. MANIFESTASI KLINIS GUILLAIN BARRE SYNDROME

GBS seringkali muncul beberapa hari hingga beberapa minggu setelah

gejala infeksi virus atau bakteri pada saluran pernafasan atas atau pada saluran

pencernaan. Biasanya gejala neurologis pertama adalah kelemahan anggota

gerak simetris, seringkali juga diikuti dengan mati rasa. Berlawanan dengan

kebanyakan neuropati, otot proximal kadang terpengaruh lebih besar

dibandingkan dengan otot distal. Pada beberapa kasus, otot wajah, mata, dan

orofaring terpengaruh lebih dahulu. Lebih dari 50% pasien mengalami diplegia

wajah, dan disfagia maupun disartria terjadi dalam jumlah kasus yang serupa.

Beberapa pasien membutuhkan ventilasi mekanik. Refleks tendon bisa normal

dalam beberapa hari awal namun hilang pada hari-hari berikutnya. Derajat

gangguan sensoris memiliki banyak variasi. Pada beberapa pasien, semua

modalitas sensoris terjaga dengan baik, pada kasus lain terdapat penurunan

pada persepsi posisi sendi, getaran, rasa sakit, temperature dengan distribusi

pada telapak tangan dan kaki (glove-stocking). Pasien kadang mengalami

papiledem, ataksia sensoris, dan respon ekstensor plantar yang tidak permanen.
Disfungsi autonom termasuk hipotensi ortostatik, tekanan darah yang labil,

takiaritmia, dan bradiaritmia, atau takikardia menetap sering terjadi pada kasus

yang lebih parah dan menjadi sebab utama morbiditas dan mortalitas. Banyak

juga kejadian nyeri otot, dan bisa terjadi peningkatan sensitivitas saraf pada

penekanan, namun tidak ada tanda iritasi meningen seperti rigiditas nuchal.

Gejala biasanya mencapai puncak keparahan dalam 1 minggu setelah

onset dan berlanjut sampai 3 minggu atau lebih. Kematian jarang terjadi namun

dapat diikuti dengan pneumonia aspirasi, emboli paru, infeksi interkuren, atau

disfungsi autonom. Laju penyembuhan dapat bervariasi. Beberapa kasus terjadi

pengembalian fungsi normal dengan cepat dalam beberapa minggu.

Kebanyakan terjadi secara lambat dan tidak sembuh secara sempurna dalam

hitungan bulan. Penyembuhan dapat dipercepat dengan tindakan

plasmapharesis lebih awal atau terapi immunoglobulin intravena. Pada kejadian

yang tidak diterapi, 35% pasien memiliki residu hiporefleksi permanen, atrofi,

dan kelemahan otot distal atau parese otot wajah. Sebuah penyakit bifasik

dengan penyembuhan sebagian diikuti oleh relaps terjadi pada 10% pasien.

Rekurensi setelah penyembuhan sempurna terjadi pada sekitar 2% pasien.

E. KLASIFIKASI GUILLAIN BARRE SYNDROME

AMAN adalah variasi GBS. Terdapat degenerasi akson motoris dengan

sedikit atau banyak tidak ada inflamasi. Terlepas dari keikutsertaan akson,

proses penyembuhan mirip dengan bentuk demielinasi. AMAN dapat

mengikuti infeksi C. jejuni atau injeksi gangliosida parenteral. Sindroma

Miller-Fisher memiliki ciri-ciri ataksia cara jalan dan parese otot mata.
Abnormalitas pupil kadang terjadi. Dikatakan sebagai varian GBS, karena

seringkali didahului oleh infeksi saluran nafas, memburuk dalam beberapa

minggu, lalu membaik, dan protein CSF meningkat. Tidak ada kelemahan

anggota gerak dan konduksi saraf secara umum normal, walaupun refleks H

dapat terpengaruh. Pada beberapa kasus, MRI menunjukkan lesi hiperinten

pada batang otak. Variasi GBS lainnya adalah AMSAN, neuropati atau

neuronopati sensoris akut, dan neuropati atau pandysautonomia autonom akut.


F. DIAGNOSIS DAN DIFFERENTIAL DIAGNOSIS
GBS didefinisikan dengan karakteristik riwayat perkembangan

neuropati motor atau sensorimotor subakut setelah infeksi virus, proses

persalinan, atau tindakan bedah ditambah dengan dengan elektofisiologi yang

sesuai dan peningkatan kandungan protein CSF dengan jumlah sel yang normal.

Di masa lalu, prinsip sebuah penyakit untuk dibedakan dengan GBS

adalah polineuropati difteri dan poliomyelitis akut. Saat ini keduanya jarang

ditemui di amerika serikat. Polineuropatidifteri biasanya dapat dibedakan

dengan adanya peiode laten yang lama antara infeksi saluran nafas dengan inset

neuritis., frekuensi kelumpuhan akomodasi, dan perkembangan gejala yang

relatif lambat. Poliomyelitis anterior akut dapat dibedakan dengan kelumpuhan

asimetris, tanda iritasi meningeal, demam, dan pleositosis pada CSF. Infeksi

virus akut west nile dapat memberikan gambaran yang sama. Ensefalitis akut

adalah manifestasi neurologis yang paling sering pada west nile, diikuti oleh

sindroma paralisis akut. Kelemahan asimetris atau monomelic menjadi salah

satu karakteristiknya, namun pada beberapa kasus terjadi perkembangan seperti

GBS. Beberapa kasus menimbulkan presentasi prodromal seperti flu tanpa

ensefalitis. Kadang pasien dengan HIV memiliki gangguan yang sama seperti

pasien GBS. Neuropati porphyric mirip dengan GBS secara klinis namun dapat

dibedakan dengan normalnya protein CSF, krisis abdomen yang rekuren, gejala

gangguan mental, onset setelah adanya paparan terhadap obat-obatan barbiturat

atau obat-obatan lainnya, dan tingginya tingkat asam gamma-aminolevulinic

dan porphobilinogen pada urin. Perkembangan sindroma seperti GBS selama


pemberian zat makanan secara parenteral dalam waktu yang lama

meningkatkan kemungkinan terjadinya hipofosfatemia karena disfungsi saraf.

Neuropati toksik disebabkan oleh inhalasi n-hexana atau thalium atau ingesti

arsenic dapat terjadi secara akut dan subakut. Botulism sulit dibedakan dengan

bentuk gangguan GBS yang murni pada motoris karena manifestasi klinisnya

yang sama., namun otot okuler dan pupil seringkali terpengaruh. Tes

elektrofisiologi pada botulism menunjukkan kecepatan konduksi saraf yang

normal dan memberikan respon pada stimulasi saraf berulang. Paralisis tick

yang terjadi hanya pada anak-anak harus dieksklusi dengan pemeriksaan kulit

kepala dengan teliti.


Pungsi lumbar harus dilakukan pada pasien yang dicurigai GBS. Konsentrasi
protein Cerebrospinal fluid (CSF) biasanya normal pada minggu pertama,
tetapi meningkat >90% pada pasien GBS pada akhir minggu kedua setelah
muncul gejala. Peningkatan pleositosis menandakan adanya kemungkinan
penyakit lain seperti infeksi leptomeningeal, Lyme disease, infeksi virus West
Nile, SGB behubungan dengan HIV, atau poliomielitis.
Seperti yang dijelaskan sebelumnya, tes fungsi pulmonari termasuknya NIF dan
FVC, harus dilakukan setelah diagnosis ditetapkan. NIF<20 atau FVC<15cc/kg
merupakan indicator untuk melakukan intubasi endotrakea dan bantuan ventilasi.
Penurunan konsisten parameter ini menandakan kemungkinan akan terjadinya kolaps
respiratori. Syok spinal disebabkan kompresi atau inflamasi pada kordal juga
menimbulkan gejala seperti kelemahan tungkai dan arefleksi. Pasien yang dicurigai
adanya disfungsi kordal spinal (didiskusikan pada seksi selanjutnya) harus dilakukan
pencitraan segera pada kordal, sebaiknya MRI. Walaupun bukannya dilakukan pada
saat emergensi, elektromiografi (EMG) dan studi konduksi saraf dapat membantu
klarifikasi diagnosis. Studi elektrodiagnostik adalah abnormal pada 90% pasien
dalam jangka waktu 5 minggu setelah munculnya gejala, meskipun persentase
signifikan pada minggu pertama atau kedua dapat ditemukan demielinasi pada studi
konduksi saraf.

G. PENATALAKSANAAN GUILLAIN BARRE SYNDROME

Plasmapharesis lebih awal dan terapi IVIG terbukti berguna pada pasien GBS.

Pemberian glukokortikoid tidak memendekkan perjalanan penyakit ataupun

memperngaruhi prognosis. Bantuan nafas mekanik kadang dibutuhkan dan

pencegahan terhadap aspirasi makanan atau isi lambung harus dilakukan jika otot

orofaring terganggu. Paparan pada keratitis harus dicegah pada pasien dengan

diplegia wajah.

Perawatan kegawatdaruratan pada GBS termasuk monitoring respirasi dan

kardiovaskular secara ketat. Bisa didapatkan indikasi untuk dilakukan intubasi.

Gangguan autonom yang labil dapat menimbulkan komplikasi pada penggunaan

obat-obat vasoaktif dan sedatif. Pada kasus yang berat, kelemahan otot dapat

menimbulkan kegagalan nafas. Sebuah penelitian epidemiologis pada tahun 2008

melaporkan bahwa terdapat 2-12% mortalitas walaupun sudah dilakukan managemen

pada ICU.

Plasma exchange dan imunoglobulin intravena bisa menjadi terapi yang

efektif, namun pasien bisa membutuhkan intubasi dan perawatan intensif yang lebih

lama. Setelah keluar rumah sakit, terapi selama rawat jalan dan terapi lewat aktivitas

sehari-hari dapat memberikan perbaikan pada pasien GBS untuk meningkatkan status

fungsional mereka.
Sekitar setengah dari semua pasien penderita GBS mengalami neuropati

residual jangka panjang yang mempengaruhi serabut syaraf bermyelin baik

dengan ukuran besar maupun sedang. Secara keseluruhan, pasien yang

menderita GBS cenderung berkurang kualitas hidup maupun fungsi fisiknya.

Pada kasus yang sangat langka, pasien dapat mengalami rekurensi GBS.

Diantara penderita GBS yang bertahan hidup, Khan et al menemukan

bahwa faktor-faktor berikut berhubungan dengan tingkat fungsi dan kondisi

yang lebih buruk:

- Jenis kelamin perempuan

- Usia yang tua (57 tahun atau lebih)

- Masuk rumah sakit lebih dari 11 hari

- Perawatan di Intensive care unit

- Keluar rumah sakit untuk rehabilitasi

Outcome tidak menunjukkan hubungan dengan derajat keparahan penyakit

saat onset.
Plasma Exchange and Imunoglobulin

Hanya terapi pertukaran plasma (PE) dan imunoglobulin intravena (IVIG) yang

terbukti efektif untuk sindroma Guillain-Barre (GBS). Terapi tersebut dapat

mengurangi produksi autoantibodi dan meningkatkan kelarutan kompleks imun

serta melepaskan kompleks imun. Keduanya telah dibuktikan dapat mempersingkat

waktu penyembuhan hingga 50%. IVIG administrasinya lebih mudah dan lebih

sedikit komplikasinya dibandingkan PE. Ditinjau dari harga dan efektivitas relatif

sama.

Pada penelitian randomized yang meneliti GBS yang parah menunjukkan bahwa

IVIG yang dimulai 4 minggu setelah onset mempercepat proses penyembuhan yang

hampir setara dengan plasma exchange. Menggbungkan PE dengan IVIG tidak

dapat meningkatkan outcome ataupun lebih memendekkan durasi penyakit. IVIG

juga ditemukan lebih aman dan efektif pada pasien pediatri dengan GBS.

Selain itu, IVIG adalah terapi yang lebih cocok pada pasien dengan

ketidakstabilan hemodinamik dan pada pasien yang memiliki keterbatasan

ambulansi (transportasi). Beberapa bukti menunjukkan pada pasien yang tidak

merespon pada IVIG pada dosis inisial, dapat memberikan perbaikan pada

pemberian dosis kedua. Bagaimanapun hal ini masih belum menjadi standar terapi

dan perlu dilakukan penelitian lebih jauh terkait masalah ini.

Kortikosteroid

Kortikosteroid tidak efektif sebagai monoterapi. Menurut bukti bertingkat

sederhana
(moderate-quality evidence), pemberian kortikosteroid sendiri tidak

mempercepat penyembuhan dari GBS atau mempengaruhi hasil jangka panjang

secara signifikan. Menurut bukti bertingkat rendah (low-quality evidence),

pemberian kortikosteroid secara oral akan menunda penyembuhan. Diabetes

yang membutuhkan insulin secara signifikan lebih umum dan hipertensi dengan

pemberian kortikosteroid adalah tidak umum. Ada bukti kuat yang menunjukkan

bahwa pemberian metilprednisolon secara IV tidak memberikan manfaat maupun

bahaya yang signifikan. Pemberian methilprednisolon secara IV secara

kombinasi dengan IVIG, dapat mempercepat penyembuhan namun tidak

signifikan untuk hasil jangka panjang.

Obat yang Masih diinvestigasi

Pada hewan cobaan, pemberian eculizumab secara intravena telah dilaporkan dapat

mencegah kelumpuhan pernapasan dan ciri-ciri khas terminal motor neuropati baik

secara fungsional maupun morfologi. Penelitian pada manusia belum dilaporkan.

Dalam sebuah penelitian kecil secara rawak (randomized control trial), beta interferon

tidak membawa perbaikan klinis yang signifikan jika dibandingkan dengan kontrol.

Mycophenolate mofetil, digunakan sebagai terapi tambahan dengan IVIG, tidak

menunjukkan manfaat dalam sebuah studi. Tinjauan Cochrane dari beberapa penelitian

kecil tidak dapat menemukan bukti untuk mengkonfirmasi atau menolak manfaat atau

kerugian dari obat lain dalam pengobatan GBS akut. Pengobatan yang baru untuk

penyakit ini perlu dikembangkan lagi dan diuji keberhasilannya.


Adsorpsi Imun

Adsorpsi imun merupakan salah satu pengobatan alternatif untuk sindrom Guillain-

Barré yang masih dalam tahap awal penyelidikan. Sebuah penelitian prospektif kecil

melaporkan tidak ada perbedaan hasil antara pasien yang diobati dengan

imunoadsorpsi dan mereka yang diperlakukan dengan pertukaran plasma. Telah

dilaporkan dari sebuah penelitian kecil Jerman bahwa pengobatan dengan selective

immune adsorption (SIA) tampaknya aman dan efektif pada pasien yang sakit kritis.

Terapi sekuensial dengan IVIG tidak lebih efektif jika dibandingkan pengobatan

dengan SIA saja.

Manajemen Nyeri

Analgesik sederhana atau obat NSAID (nonsteroidal anti-inflammatory) dapat

digunakan namun tidak dapat memberikan efek analgesik yang cukup. Dalam sebuah

penelitian kecil yang rawak, penggunaan gabapentin atau carbamazepine di unit

perawatan intensif untuk manajemen selama fase akut dari GBS telah didukung. Terapi

tambahan dengan antidepresan trisiklik, tramadol, gabapentin, carbamazepine, atau

mexiletine mungkin dapat membantu dalam pengelolaan nyeri neuropatik jangka

panjang.

Pencegahan Tromboemboli

Tromboemboli vena adalah salah satu sekuele utama kelumpuhan ekstremitas. Waktu

untuk pengembangan deep vein thrombosis (DVT) atau emboli paru bervariasi antara

4-67 hari setelah onset gejala. Profilaksis dengan gradient compression hose dan low
molecular weight heparin (LMWH) secara subkutan dapat mengurangi kejadian

tromboemboli vena secara dramatis. True gradient compression stockings (30-40 mm

Hg atau lebih tinggi) sangat elastis dan menyebabkan kompresi sepanjang gradien

dengan yang tertinggi pada jari kaki dan secara bertahap menurun ke tingkat paha. Hal

ini mengurangi kapasitas volume vena sekitar 70% dan meningkatkan kecepatan

pengaliran darah di pembuluh darah dalam dengan faktor 5 atau lebih. Ubiquitous white

stockings juga dikenali sebagai stoking antiembolik atau selang penyakit tromboemboli

menghasilkan kompresi maksimum 18 mm Hg dan jarang dipasang sedemikian rupa

untuk menyediakan kompresi gradien yang memadai. Hal ini karena belum ada bukti

bahwa cara ini efektif sebagai profilaksis terhadap tromboemboli.


BAB 4

PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN

PEMBAHASAN

Pada laporan kasus ini diajukan kasus pada pasien perempuan usia 22 tahun yang

datang ke IGD rsml dengan keluhan nyeri punggung dan tidak bisa berjalan 3 hari SMRS. 7

hari SMRS pasien muali mengeluhkan kesemutan dan tebal pada kedua kaki disusul kedua

tangan sehingga membuat pasien kesulitan mengancingkan baju. Pasien sebelumnya juga telah

melakukan dokter shopping namun keadaan tidak membaik bahkan mendapat keluhan

tambahan yang progresif pada 3 hari SMRS hingga membuat pasien tidak bisa berjalan, nyeri

punggung dan hampir seluruh badan termasuk lengan kiri atas pasien juga mengeluh nyeri

telan. Pasien sebelumnya tidak pernah sakit seperti ini. Riwayat post ISPA, diare dan imunisasi

dalam kurun waktu 4 minggu terakhir disangkal. Pasien juga mengalami oliguri dimana pasien

tidak BAK sejak kurang lebih 15 jam SMRS.

Pada pemeriksaan umum yang dilakukan saat pasien datang ke IGD didapatkan GCS

456, dengan tekanan darah 125/81 mmHg, nadi 84 x per menit, suhu badan 36.2 derajat celcius

dan RR 22x / menit. Tidak didapatkan tanda-tanda anemis maupun ikterik pada konjungtiva

dan sklera juga pada pemeriksaan leher, thorax, abdomen dan extremitas dalam batas normal.

Pada pemeriksaan neurologis di IGD didapatkan tanda meningeal sign kaku kuduk negatif

sedangkan pemeriksaan motorik didapatkan paraparese ekstremitas inferior dengan kekuatan

otot ekstermitas inferior 2|2 sedang ekstermitas superior kekuatannya baik tetapi pada saat

dilakukan fleksi pada pemeriksaan tonus tangan sinitra pasien merasakan nyeri pada daerah

lengan atas. Pada pemeriksaan nervus kranialis didapatkan lesi pada nervus VII tipe perifer

dimana pasien kesulitan mengernyitkan kedua sisi dahi, menutup rapat kedua matanya

(lagoptalmus), kesulitan menarik bibir (tersenyum). Diagnosis topis yaitu berada syaraf perifer.

Diagnosis etiologi dilihat dari pemeriksaan dan gejala klinis mengarah pada GBS dimana lesi
dimulai pada ekstremitas inferior (asending) simetris, akut, progresif kemudian disusul pada

keluhan di nervus kranialis yang menyerang pada ototo-otot di wajah hal ini sesuai dengan

teori dimana pasien GBS sebagian besar terkena lesi di bagian otor wajah.

Selama di IGD pasien mendapatkan terapi supportif berupa infus loading RL 500

kemudian maintenance 1500 cc dalam 24 jam, drip NSB. Injeksi Santagesic 3 x 1g prn, injeksi

Wiacid 2x50 mg, diphen 1 amp extra IGD, inj methylprednisolone 2x 500 mg, injeksi

ceftriaxone 2 x 1g dan lanabal 1x1. Kemudian masa perawatan dilakukan observasi ABC

dengan terapi Wiacid 2 x 50 mg. Methylprednisolone 2x500 mg, ceftriaxone 2 x 1 g, lanabal 1

x 1 dan drip NSB.

Setelah MRS beberapa hari, keluhan nyeri pada punggung dan lengan atas berangsur-

angsur berkurang, kekuatan motorik pasien berkembang, dan keluhan nyeri telan juga

berkurang sehingga pasien dapat makan dengan baik.

KESIMPULAN

Guillain Barre Syndrome (GBS) atau dikenali sebagai acute inflammatory

demyelinating polyradiculopathy (AIDP), merupakan jenis neuropati akut yang paling umum

dan dapat terjadi pada semua golongan usia. Sindroma Guillain-Barre (GBS) mempunyai

karakteristik yaitu disfungsi saraf kranial dan perifer dengan onset akut. Infeksi virus pada

saluran pernafasan ataupun pencernaan, imunisasi, atau tindakan bedah biasanya seringkali

terjadi 5 hari sampai 4 minggu sebelum terjadinya gejala neurologis.

Pengenalan tanda dan gejalan dari GBS secara dini penting dilakukan untuk

menghindari komplikasi dari gagal napas dan untuk mendapatkan terapi yang sesuai sehingga

akan menurunkan penyebab kecacatan secara permanen setelah sembuh dari penyakit ini.
DAFTAR PUSTAKA

Anne DW, Gretchen D. 2013. Guillain-Barré Syndrome. American Academy of


Family Physicians. 87:3,p191-197
Rashida YW & Steven CD. 2013. Emergent Management of Guillain-Barre Syndrome.
Medscape Reference.
Shahrizaila N, Yuki N. 2011. Guillain-barré syndrome animal model: the first proof of
molecular
mimicry in human autoimmune disorder. J Biomed Biotechnol. p1-5.
Sue Woodward. 2013. Guillain-Barré syndrome. British Journal of Neuroscience
Nursing.9(2) : 59-61.

Anda mungkin juga menyukai