Anda di halaman 1dari 4

[1/30, 05:49] Mamskyy �: angsa Indonesia adalah bangsa yang masih rendah kepatuhannya

kepada peraturan dan tata tertib. Lihatlah dijalanan berapa banyak kendaraan yang menerobos
lampu lalulintas yang sudah beralih ke merah ataupun persimpangan kereta yang sudah ditutup
dengan palang. Berapa sering bis kota menurunkan penumpang dari tengah jalan tanpa menepikan
kendaraannya yang membuat macet dan juga membahayakan penumpangnya. Acara pembagian
daging hari raya qurban sering diwarnai dengan masyarakat yang berebutan dan tidak mau
mengantri sehingga menimbulkan korban yang tewas terinjak. Sampah banyak berserakan
dimana-mana karena tidak disiplin membuang sampah di tempatnya ataupun menyimpannya jika
belum menemukan tempat pembuangan. Tempat duduk halte bis kotor dan tak bisa diduduki
karena sering diduduki dengan sepatu. Orang meludah seenaknya di pelataran lantai keramik
stasiun kereta api seperti meludah diatas rumput dan tanah.
Ketidaktertiban dalam hal kecil ini berimbas ke masalah yang lebih besar. Orang yang melakukan
kolusi/korupsi sebenarnya adalah orang yang tidak sabar menunggu giliran dan memilih cara cepat
untuk mendapatkan gilirannya dengan cara menyuap.
Coba lihat bagaimana penduduk di negara tetangga Singapura yang bisa berlaku tertib dan
penduduknya mau sabar mengantri. Pengendara kendaraan mematuhi peraturan lalu lintas dan
rambu-rambu yang sudah dipasang. Tak ada kendaraan yang menerobos lampu lalu lintas yang
sudah menyala merah dan bis kota hanya akan mau menaikkan dan menurunkan penumpang di
halte bis. Di food court orang berlaku tertib dan mengantri dengan sabar menunggu gilirannya.
Yang dikuatirkan adalah jika bangsa kita ini memang tidak bisa tertib kecuali dibuat mekanisme
sedemikian rupa sehingga mau tak mau harus berlaku tertib. Contohnya adalah untuk
mendisiplinkan warga agar naik bis di halte maka pintu masuk bis dibuat tinggi dari tanah dan
hanya bisa dimasuki jika masuk bis lewat halte seperti yang diberlakukan untuk busway.
Jika ini yang terjadi maka untuk mendidik manusia Indonesia berlaku tertib akan memerlukan
biaya yang sangat besar. Semua halte bis harus dibuat tinggi dan semua bis dimodifikasi agar tak
bisa dinaiki kecuali dari halte. Berapa banyak biaya harus dikeluarkan untuk pembuatan halte ini ?
Bagaimana membuat pengendara taat pada lampu lalu lintas ? Apakah perlu dipasang portal yang
akan turun setiap kali lampu beralih ke warna merah ? Atau perlukah dipasang paku duri yang
akan muncul dari jalan jika lampu sudah beralih warna merah ? Hanya dengan cara ini maka
pengendara kendaraan akan berhenti karena jika tidak maka dia akan menabrak portal atau
menginjak ranjau paku yang muncul pada saat lampu merah.
Untuk membudayakan antrian maka seluruh layanan publik harus menyediakan jalur antrian yang
tak memungkinkan orang mendapatkan layanan kecuali masuk kedalam jalur antrian itu. Cara lain
yang lebih mahal adalah dengan menggunakan nomor antrian elektronik seperti yang diterapkan di
berbagai tempat. Masyarakat yang sudah mendapatkan nomor antrian bisa duduk bebas menunggu
dan akan menuju loket layanan jika nomornya dipanggil.
Sayangnya kami belum pernah melihat cara untuk memaksa masyarakat yang suka meludah
sembarangan untuk menghentikan kebiasaanya ataupun memaksa masyarakat agar jika duduk di
halte adalah duduk dengan pantat dan jangan menaikkan sepatu ke atas bangku halte. Apakah
setiap lantai keramik distasiun perlu dipasang sensor cairan yang akan berbunyi nyaring jika ada
yang meludah diatas lantai ? Akankah halte bis perlu memasang sensor khusus untuk mendeteksi
apakah orang menggunakan kaki atau pantat ketika duduk di bangku halte ?
Akan sangat mahal dan memerlukan investasi yang luar biasa besar jika untuk membuat tertib
maka harus menerapkan teknologi yang canggih seperti itu. Oleh karena itu maka tak mungkin
ketertiban diterapkan dengan mengandalkan peraturan dan dukungan sistem. Budaya tertib itu
haruslah jadi budaya bangsa kita dan mari kita mulai dari diri kita sendiri.
[1/30, 05:52] Mamskyy �: berapa waktu lalu saya bertanya kepada seorang sahabat tentang
fenomena jam karet. “Apa memang orang sini suka ‘ngaret’?
Teman saya menjawab bahwa kebiasaan datang terlambat bukan hanya terjadi di Medan saja.
Ketika dia bertugas di beberapa provinsi lain di Sumatera fenomena ‘ngaret’ itu juga biasa terjadi.
Jadi kebiasaan memang majemuk terjadi dimana saja.
Pertanyaan itu berangkat dari pengalaman beberapa kali diundang rapat yang mulainya molor bisa
sampai 1 jam. Padahal saya datang 15 menit sebelum acara dimulai. Undangan jam 7 malam,
menjelang pukul 8 baru dimulai karena banyak peserta yang datang terlambat. Jika satu-dua orang
terlambat mungkin bisa dimaklumi. Satu yang kadang mengesalkan adalah orang yang
mengundang juga ikut-ikutan terlambat. Biasanya tanpa minta maaf, seolah-olah orang mengerti
dengan keterlambatan mereka.
Banyak orang dididik dari kecil untuk datang tepat waktu. Sekolah-sekolah dengan pola disiplin
tinggi bahkan melarang siswa yang datang terlambat untuk ikut pelajaran. Dosen-dosen senior
bahkan punya aturan bahwa tidak ada toleransi bagi mahasiswa yang datang terlambat.
Dulu saya sempat sama-sama merasakan bagaimana kuliah di perguruan tinggi negeri dan swasta.
Begitu banyak perbedaan keduanya khususnya dalam hal disiplin waktu. Dosen yang suka datang
terlambat apa tidak memberi contoh buruk pada mahasiswanya?
Soal tepat waktu, saya selalu ingat bapak yang kebetulan kepala sekolah. Bisa dikatakan beliau
selalu datang sebelum guru-guru yang lain datang. Kecuali pas vespa-nya ngadat. Jadi setiap pagi
selepas mendengar siaran radio BBC Bahasa Indonesia kami berangkat. Begitu setiap harinya
yang membuat Otomatis saya pun ‘terpaksa’ juga datang awal. "Datang lebih awal akan membuat
kita siap untuk apa yang akan kita kerjakan." begitu satu pesan beliau.
Dalam dunia kerja juga begitu. Ketika bekerja di sebuah hotel, kami diharuskan sudah stand by
minimal 30 menit sebelum waktu kerja dimulai. Jadi jika secara aturan kerja mulai pukul 7, pukul
6.30 sudah bergabung dengan shift sebelumnya.Kita d ituntut untuk mengatur waktu sedemikian
rupa. Subuh-subuh sudah harus berangkat, sekalian cari sarapan. Sampai hotel mandi lalu
mempersiapkan diri agar tampil dengan baik.
Lain cerita ketika bekerja di bidang yang menuntut berhubungan dengan aparatur sipil negara di
daerah situasinya berbalik. Sembilan puluh persen acara-acara atau temu janji pasti tidak ada yang
tepat waktu dengan berbagai alasan-alasan klise. Kadang kita heran dengan pola kerja mereka.
Digaji dengan uang rakyat tetapi kerja seenaknya.
Tepat waktu jelas butuh komitmen. Saya ingat dulu awal-awal ikut doa lingkungan suka tidak
tepat waktu dimulainya karena mengkomodir mereka yang datang terlambat. Tetapi akhirnya tiba
pada satu titik bahwa tepat waktu berarti cepat pulang. Sejak itu acara dimulai on time pukul 8
malam, berapapun yang datang. Mereka yang sering datang terlambat akhirnya mengikuti tradisi
baru. Malu juga jika datang ditengah acara karena dipastikan mengganggu kekhusukan ibadat doa.
Persoalan disiplin waktu di Indonesia sebenarnya sama halnya dengan disiplin-disiplin yang lain.
Seperti disiplin berlalu-lintas atau disiplin membuang sampah pada tempatnya. Suka tidak suka
harus kita akui kesadaran bangsa untuk berdisiplin kurang jika dibandingkan negara-negara lain.
Setiap orang asing yang pernah saya kenal selalu salut dan senang dengan orang Indonesia. Orang
Indonesia itu ramah, santun, guyub, bersahabat, dan kebaikan-kebaikan lainnya. Cuma satu yang
sering bikin mereka jengkel dan tidak suka yaitu tidak tertib waktu alias ‘ngaret’. Kecuali untuk
undangan makan-makan.
Mungkin susah untuk dihilangkan karena sepertinya sudah menjadi bagian dari DNA bangsa kita.
Terus terang saya sempat berpikir bahwa itu sebenarnya penyakit menular. Karena untuk
pertemuan-pertemuan yang sudah dipastikan bakal ‘ngaret’ saya pun ikut-ikutan datang terlambat.
Datang tepat waktu seperti tidak ada artinya sama sekali. Toh sudah datang terlambat pun masih
banyak juga rekan yang terlambat. Jadi waktu yang ada sebelumnya dipakai untuk melakukan
pekerjaan lain.
[1/30, 05:55] Mamskyy �: inim Protes, Telat Pun Membudaya
Baik seseorang yang datang tepat waktu maupun seseorang yang terlambat datang, selama ini
tidak ada yang merasa dirugikan. Bagi orang yang datang tepat waktu, ketika keterlambatan
seseorang tidak terlalu berdampak pada jalannya acara, maka terlambat atau tepat waktu tidak
terlalu bermasalah.
Begitupula bagi seseorang yang terlambat. Selama keterlambatannya tidak menjadikannya penuh
sesal karena terlambat memperoleh informasi dan lain sebagainya, maka terlambat saja tak apa.
Selama tidak ada yang merasa rugi, tepat waktu bukanlah hal yang berarti.
Satu dari jutaan kasus terlambat, adakah protes yang berani dilayangkan untuk seseorang yang
terlambat? Sehubungan dengan kasus pertama, ketika tidak ada yang merasa dirugikan, tentu tidak
akan ada protes maupun teguran yang terdengar. Apa karena budaya sungkannya, Indonesia jadi
tak perlu ber-protes-ria hanya demi sebuah keterlambatan?
Keterlambatan dengan permintaan maaf saja tak jarang membuat orang lain kesal. Bagaimana
dengan yang datang terlambat dan tanpa ba-bi-bu langsung menduduki tempat? Orang-orang yang
memilih tepat waktu tentu memiliki kesibukan pula, namun waktunya terbuang sia-sia hanya
untuk menunggu oknum-oknum yang hobi terlambat.
Banyak diantara orang-orang yang terlambat tidak merasa malu atas keterlambatannya. Bisa
dikatakan tidak pula menghargai orang yang secara sukarela meluangkan waktunya untuk tepat
waktu.
Menengok negara-negara yang terkenal dengan disiplinnya, mindset ‘saya tidak ingin
diperlakukan seperti itu, maka saya tidak akan melakukannya’ rasanya begitu melekat. Ibaratnya,
ketika seseorang tidak mau menunggu orang yang terlambat, maka orang tersebut tidak akan
terlambat.
Ketika semua orang datang tepat waktu dan satu orang datang terlambat, penting atau tidak
posisinya dalam acara, secara tak langsung melahirkan rasa bangga karena semua telah
menunggunya. Sepenting itukah posisinya sehingga pantas ditunggu?
Tidak masuk akal, tapi begitulah manusia. Menelisik prosesi tunggu-menunggu di Indonesia
sendiri, bukan hal aneh jika tercetus istilah makin tinggi posisi, makin banyak toleransi.
Saking membudayanya, pembenaran hal-hal yang umum tak jarang ditemukan. Utamanya perihal
keterlambatan. Membenarkan kebiasaan terlambat adalah hal yang wajar. Namun tetap saja, setiap
perbuatan buruk akan menemui dampaknya, apalagi jika sudah dalam kategori budaya.
[1/30, 05:58] Mamskyy �: . Disiplin tepat waktu memang masih menjadi barang langka dan
berharga mahal di tempat kita, baik di sekolah, kampus, kantor, maupun di masyarakat umum.
Rekan penulis yang pernah bertugas di Jerman pun sempat memperbandingkan dengan orang
Jerman, negeri yang warganya dikenal disiplin dan amat tepat waktu.
“Mengapa orang Jerman jarang terlambat? Apa rahasianya?” saya bertanya.
Jawabannya membuat saya tertohok. Dia bilang, orang Jerman menganggap terlambat adalah
sebuah tindakan yang amat kasar dan tidak sopan. Jika Anda datang terlambat memenuhi sebuah
janji/undangan, mau tak mau, Anda membuat seseorang atau beberapa orang menunggu.
“Apa hubungannya menunggu dan sopan santun?” saya mengejar.
Menurut rekan penulis: orang yang dipaksa menunggu hanya bisa berpangku tangan, tidak bisa
berbuat apa-apa. Dia tidak bisa mengerjakan sesuatu yang seharusnya dia kerjakan jika dia punya
waktu. Dia tidak bisa menemui klien lain, atau pergi ke toko untuk membeli buku pesanan
anaknya. Pendeknya, dia kehilangan sepotong waktu gara-gara menunggu Anda.
“Dengan datang terlambat, Anda “merampok” sepotong waktu dari kehidupannya.”
Saya terenyak. Ketika terlambat disamakan dengan sebuah pencurian, mendadak dia jadi punya
makna baru. Tepat waktu bukan hanya soal disiplin semata, tapi juga soal menghargai orang lain.
Kalau kita mengakui keberadaan orang lain dan mengapresiasinya sepenuh hati, maka datang
terlambat sama saja dengan membuang relasi itu ke “tempat sampah”.
Dengan perspektif macam itu, mereka yang terlambat memang melakukan perbuatan tak sopan,
yang tak bisa dimaafkan begitu mudah. Belum lagi kita bercermin dari negara-negara maju seperti
Jepang dan Negara-negara Eropa yang menjunjung tinggi budaya tepat waktu, tak heran negara-
negara ini maju.
Ketika segala sesuatunya terlaksana sesuai dengan jadwal dan kesepakatan maka pekerjaan juga
akan lebih cepat selesai, target yang diharapkan pasti juga akan tercapai, ini dimulai dari hal kecil
yang diabaikan kebanyakan masyarakat di negeri ini tepat waktu.
Kata-kata “mohon maaf Pak/Bu, saya terlambat” masih menjadi pemandangan sehari-hari.
Terlambat masih dianggap hal yang wajar dan biasa, bahkan telah menjadi budaya. Bahkan di
sebuah acara, ada yang telah membuat kesepakatan untuk terlambat selama 30 menit dalam setiap
kali pertemuan. Sungguh mengherankan, kok hal seperti ini perlu disepakati!
Bagaimana mengbah budaya ini? Buya Hamka pernah menyampaikan bahwa jika ingin merubah
sebuah budaya diperlukan keteladanan seorang pemimpin, sistem/aturan yang tegas dan kepatuhan
masyarakat. Budaya memang tidak mudah untuk diubah, dalam waktu yang singkat. Tidak mudah
bukan berarti tidak bisa.
[1/30, 05:58] Mamskyy �: ertama, dipaksa. Untuk membuat perubahan secara masal dan
revolusioner memang tidak cukup menunggu kesadaran dari masing-masing individu, harus ada
peraturan yang memaksa. Konon, orang-orang Barat bisa disiplin bukan hanya karena faktor
individu melainkan ada keteladanan sang pemimpin dan aturan yang tegas dan tidak dapat
ditawar-tawar. Yang salah ditindak tegas, yang benar ada jaminan keselamatan.
Kedua, setelah dipaksa orang akan merasa terpaksa. Orang akan terpaksa bekerja keras agar dapat
mengikuti segala jadwal dan kegiatan secara on time, tidak terlambat. Mereka akan lebih
memanage waktu sebaik-baiknya agar dapat melakukan setiap kegiatan dengan tepat waktu.
Ketiga, setelah terpaksa beberapa lama akhirnya bisa. Tidak bisa bukan karena sulit melainkan
karena belum pernah mencoba untuk tepat waktu.
Keempat, setelah bisa toh akhirnya menjadi biasa. Pada fase ini orang sudah tidak lagi merasakan
berat, apalagi merasa dipaksa dan terpaksa. Semuanya telah berjalan secara otomatis karena saraf
dalam tubuh telah terkondisikan bahwa semuanya harus berjalan sesuai waktu yang ditentukan.
Kelima, kebiasaan yang dilakukan berulang-ulang dan dibumbui dengan penghayatan akhirnya
akan menjadi budaya. Maka terbentuklah budaya disiplin. Marilah kita menghargai diri sendiri
dan orang lain dimulai dengan menghargai waktu.

Anda mungkin juga menyukai