Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Peraturan Daerah merupakan Peraturan Perundang-undangan yang
dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dengan persetujuan
bersama Kepala Daerah (Gubernur atau Bupati/ Walikota). Pemerintah Daerah
memiliki hak, wewenang, dan kewajiban sebagai daerah otonom untuk mengatur
dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat
setempat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Peraturan Daerah
merupakan produk Perundang-undangan Pemerintah Daerah yang bertujuan
untuk mengatur hidup bersama, melindungi hak dan kewajiban masyarakat,
menjaga keselamatan dan tata tertib masyarakat di daerah yang bersangkutan
termasuk dengan contoh Peraturan Daerah Kota Sukabumi.
Kota Sukabumi merupakan salah satu Kota di Jawa Barat yang terletak
pada bagian Selatan Jawa Barat. Kota Sukabumi terletak 120 km pada wilayah
Selatan Kota Jakarta dan 96 km pada wilayah Barat Kota Bandung, serta
wilayahnya berada di sekitar timur laut Kabupaten Sukabumi. Secara
administratif kota ini seluruhnya berbatasan dengan wilayah Kabupaten
Sukabumi. Kota Sukabumi secara budaya merupakan bagian dari wilayah
Priangan Barat.1
Pemerintah Kota Sukabumi membuat Peraturan Daerah No 10 tahun
2013 tentang Penataan dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima. Kegiatan
pedagang kaki lima sebagai salah satu usaha ekonomi kerakyatan yang
bergerak dalam bidang usaha perdagangan sektor informal. Maka perlu
dilakukannya penataan dan pemberdayaan pedagang kaki lima sehingga tidak
berdampak pada kelancaran lalu lintas, estetika dan kebersihan serta fungsi
prasarana perkotaan.
Adapun dasar-dasar hukum yang digunakan yaitu Peraturan Presiden
Nomor 125 tahun 2012 tentang Koordinasi Penataan dan Pemberdayaan
Pedagang Kaki Lima, Peraturan Menteri Nomor 41 tahun 2012 tentang
Pendoman Penataan dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima, dan Peraturan
Daerah Nomor 10 tahun 2013 tentang Penataan dan Pemberdayaan Pedagang
Kaki Lima.

1
Portal.sukabumikota.go.id di akses pada tanggal 1 July 2019 pukul 09:00 WIB.

1
Daerah kota Sukabumi terdapat jalan yang dilarang oleh Pemerintah
untuk Pedagang Kaki Lima, kenyataannya jalan tersebut masih dipenuhi oleh
Para Pedagang Kaki Lima. Untuk mengatasi permasalahan tersebut dibuatlah
Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2013 tentang Penataan dan Pemberdayaan
Pedagang Kaki Lima. Pada Pasal 22 disebutkan bahwa kepala daerah
menetapkan Lokasi Pedagang Kaki Lima, namun pada kenyataannya belum ada
lokasi untuk Pedagang Kaki Lima.
Kota Sukabumi tidak mempunyai tempat untuk relokasi pedagang kaki
lima dan Pemerintah Kota Sukabumi mengupayakan dalam membuat lokasi
khusus bagi pedagang kaki lima. Adapun beberapa zona yang dilarang untuk
para pedagang kaki lima yaitu terbagi menjadi tujuh zona merah seperti Jalan R.
Syamsudin, Jalan Martadinata, Jalan Suryakencana, Jalan Siliwangi, Jalan
Zaenal Jakse, Jalan Perpustakaan, dan Jalan Perintis Kemerdekaan.
Pemerintah Daerah yang merupakan Walikota dan Perangkat Daerah
sebagai unsur Penyelenggaran Pemerintahan Daerah Kota Sukabumi. Adapun
yang bertanggung jawab penataan dan pemberdayaan adalah Pemerintah Kota
Sukabumi melalui Dinas Koperasi, Perindustrian, dan Perdagangan Kota
Sukabumi (Diskoperindag) yaitu kepala satuan kerja perangkat daerah yang
membidangi pengelolaan pasar, dan Dinas Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol
PP).
Pedagang Kaki Lima (PKL) merupakan pelaku usaha yang melakukan
usaha perdagangan dengan mengggunakan sarana usaha bergerak maupun
tidak bergerak, meggunakan prasarana kota, fasilitas sosial (social facility),
fasilitas umum (public facility), lahan dan bangunan milik pemerintah dan/atau
swasta yang bersifat sementara atau tidak menetap.2
Lokasi Pedagang Kaki Lima dalam menjalankan usahanya berada di
lahan dan bangunan milik pemerintah daerah atau swasta. Sedangkan lokasi
binaan yang telah ditetapkan peruntukannya bagi pedagang kaki lima sudah
diatur oleh pemerintah daerah, bersifat permanen maupun sementara. Pedagang
kaki lima harus mengetahui batas-batas wilayah tertentu sesuai dengan
pemanfaatan wilayah tersebut yang dapat dipergunakan untuk melakukan
kegiatan usaha.
Tujuan Penataan dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima dengan
memberikan kesempatan berusaha melalui penetapan lokasi sesuai dengan

2
Peraturan Daerah No 10 tahun 2013 tentang penataan dan pemberdayaan pedagang kaki lima.

2
peruntukannya, menumbuhkan dan mengembangkan kemampuan usaha
pedagang kaki lima (PKL) menjadi usaha ekonomi mikro yang tangguh dan
mandiri dalam mewujudkan kota yang bersih, indah, tertib dan aman dengan
sarana dan prasarana perkotaan yang memadai dan berwawasan lingkungan.3
Pembentukan Pemerintahan Daerah bertujuan untuk mencapai efektifitas
dan efisiensi dalam pelayanan kepada masyarakat. Menurut Peraturan
perundang-undangan yang berlaku pada saat ini, bahwa daerah otonom terbagi
menjadi tiga pola daerah, yaitu tingkat Provinsi, tingkat Kabupaten/Kota dan
Desa. Provinsi ditetapkan sebagai suatu daerah administrasi dalam
Desentralisasi. Oleh karena itu Gubenur memiliki peranan ganda, yaitu Gubenur
sebagai Kepala Daerah dan Perangkat atau Wakil Pemerintah Pusat.
Peraturan Daerah No 10 tahun 2013 mengatur tentang Penataan dan
Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima terdapat 12 BAB dan 41 Pasal, pasal yang
mengatur secara khusus tentang permasalahan adalah pasal 21 (k) dan 22 (1)
yang berbunyi :

Pasal 21
PKL dilarang melakukan hal-hal sebagai berikut:
a. Melakukan kegiatan usahanya diruang umum yang tidak ditetapkan
untuk lokasi PKL;
b. Merobak, menambah dan mengubah fungsi serta fasilitas yang ada di
tempat atau lokasi usaha PKL yang telah ditetapkan dan/atau
ditentukan Kepala Daerah;
c. Menempati lahan atau lokasi PKL untuk kegiatan tempat tinggal;
d. Berpindah tempat atau lokasi dan/atau memindahtangankan TDU
PKL tanpa sepengetahuan dan seizin Kepala Daerah;
e. Menelantarkan dan/atau membiarkan kosong lokasi tempat usaha
tanpa kegiatan secara terus menerus selama satu bulan;
f. Mengganti bidang usaha dan/atau memperdagangkan barang illegal;
g. Melakukan kegiatan usaha dengan cara merusak dan/atau mengubah
bentuk trotoar, fasilitas umum, dan/atau bangunan disekitarnya;
h. Menggunakan badan jalan untuk tempat usaha, kecuali yang
ditetapkan untuk Lokasi PKL terjadwal dan terkendali;

3
Peraturan daerah No 10 tahun 2013 tentang penataan dan pemberdayaan pedagang kaki lima.

3
i. PKL yang kegiatan usahanya menggunakan kendaraan dilarang
berdagang di tempat-tempat larangan parkir, pemberhentian
sementara, atau trotoar;
j. Memperjualbelikan atau menyewakan tempat usaha PKL kepada
pedagang lainnya;
k. Berdagang pada lokasi sebagai berikut:
1. Jalan R. Syamsudin, S.H;
2. Jalan R.E. Martadinata;
3. Jalan Suryakencana;
4. Jalan Siliwangi;
5. Jalan Zaenal Zakse;
6. Jalan Perpustakaan;
7. Jalan Perintis Kemerdekaan.

Pasal 22
(1) Kepala daerah menetapkan Lokasi PKL, lokasi pembinaan, atau
kawasan berdagang PKL.
(2) Penetapan lokasi PKL, Lokasi Pembinaan, atau kawasan berdagang
PKL sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan
memperhatikan kepentingan umum, sosial, budaya, Estetika,
ekonomi, keamanan, ketertiban, kesehatan, kebersihan lingkungan
dan sesuai dengan Peraturan daerah tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah.
(3) Lokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan lokasi
binaan yang ditetapkan oleh kepala daerah.

Kesemrawutan pusat kota dengan keberadaan pedagang kaki lima (PKL)


memang masih menjadi ‘pekerjaan rumah’ Pemerintah Kota (Pemkot) Sukabumi.
Saat ini pemerintah dibawah kepemimpinan Walikota Sukabumi, Achmad Fahmi
dan Wakil Walikota Sukabumi, Andri Hamami terus menggodok soal
permasalahan tersebut. Kendati demikian, Pemkot Sukabumi mengklaim akan
membersihkan semuanya setelah nanti terwujud pembangunan pasar pelita.
Pemkot mulai mengurangi kesemrawutan di pusat keramaian dengan
penataan lingkungan jalan melalui penertiban PKL dan lahan parkir. Andri
menambahkan, nantinya Pasar Pelita dapat menampung 3.800 PKL, sementara

4
jumlah PKL ada 4.000. Para PKL yang tidak tertampung di Pasar Pelita akan
ditempatkan di pasar induk. “Sisanya itu nanti akan ditempatkan di pasar induk,”
akunya. Sementara itu, Kepala Dinas Satuan Pol PP Kota Sukabumi, Yadi
Mulyadi mengatakan Penertiban PKL sudah dimulai di pusat kota pada
pertengahan pekan ini. Satpol PP Kota Sukabumi berhasil mengosongkan
bagian selatan Jalan Ahmad Yani dan sisi barat Jalan Ciwangi dari PKL.
Sementara PKL diperbolehkan berjualan di seberang sisi jalan tersebut sambil
menunggu proses relokasi. Dalam penertiban PKL, Satpol PP memberikan surat
peringatan (SP) kepada PKL. Ada tiga tahap sebelum dilakukan penyitaan atau
eksekusi, diantaranya SP 1 berupa penempelan stiker warna hijau, SP2 stiker
warna kuning, dan SP3 stiker berwarna merah. “Pemberlakuan tahapan ini untuk
memberikan waku kepada para PKL mencari lokasi usaha mereka yang baru
dengan catatan tidak menambah kesemrawutan kota.,” 4
Dari isi Peraturan Daerah Nomor 10 tahun 2013 tentang Penataan dan
Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima bahwa sudah direncanakan dengan sebaik
baiknya akan tetapi dalam pelaksanaan perda tersebut masih banyak
hambatannya baik dalam pemerintahnya maupun masyarakatnya. Hal ini yang
menjadi akar permasalahan dari perda tesebut adalah lokasi Pedagang Kaki
Lima yang tidak sesuai dengan isi perda tersebut.
Berdasarkan latar belakang masalah yang diuraikan sebelumnya, Maka
dari itu penulis tertarik untuk meneliti dan membahas dalam proposal pengajuan
judul tesis dengan judul “IMPLEMENTASI PERATURAN DAERAH KOTA
SUKABUMI NOMOR 10 TAHUN 2013 TENTANG PENATAAN DAN
PEMBERDAYAAN PEDAGANG KAKI LIMA”.

4
radarsukabumi.com di akses pada tanggal 1 Juli 2019 pukul 09.40 WIB

5
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang penulis paparkan sebelumnya, maka
rumusan masalah yang menjadi pokok pembahasan ini, yaitu:
1. Bagaimana Implementasi Peraturan Daerah No 10 tahun 2013 tentang
Penataan dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima Kota Sukabumi?
2. Apa saja faktor penghambat dan pendukung dari Implementasi Kebijakan
Penataan Dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima di Kota Sukabumi?

C. Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan utama dari penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1. Agar mengetahui Implementasi Peraturan Daerah No 10 tahun 2013
tentang Penataan dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima Kota
Sukabumi.
2. Untuk mengetahui faktor pendukung dan penghambat terhadap
Implementasi Kebijakan Penataan Dan Pemberdayaan Pedagang Kaki
Lima di Kota Sukabumi.

D. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Manfaat Teoritis
1) Penelitian ini diharapkan memberikan ilmu pengetahuan di Program
Magister Ilmu Administrasi khususnya tentang Penataan Dan
Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima.
2) Penelitian ini diharapkan Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya
mengenai kajian-kajian yang berhubungan dengan pemerintahan,
serta memperdalam ilmu pemerintahan khususnya tentang Penataan
Dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima.
b. Manfaat Praktis
1) Penelitian ini dapat menambah ilmu pengetahuan serta
mengembangkan pola pikir yang dinamis bagi penulis.
2) Penelitian ini diharapkan dapat membantu memberikan masukan dan
pemikiran tentang Penataan Dan Pemberdayaan Pedagang Kaki
Lima.

6
3) Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi pemerintah
Kota sukabumi.

E. Kerangka Pemikiran
Alur pikir penelitian ini terkait dengan lima unsur yaitu Peraturan Daerah
Nomor 10 tahun 2013 tentang Penataan dan Pembedayaan Pedagang Kaki
Lima, substansi, proses, prediksi hasil, dan evaluasi.

Perda Kota Sukabumi


Nomor 10 Tahun 2013 Tentang
Penataan dan Pemberdayaan PKL

1. Apakah kehidupan pada PKL


1. Menumbuh Kembangkan Kualitas sudah Sejahtera?
dan Kuantitas Usaha PKL 2. Apakah masih ada PKL di
2. Penetapan Lokasi Binaan dengan lokasi zona merah yang di
memperhatikan berbagai aspek larang sesuai Perda yang
berlaku?

Umpan balik

Kehidupan masyarakat Kota Sukabumi


yang aman tentram dan sejahtera

Gambar 1.1
Kerangka Pemikiran Penelitian

Peraturan Daerah No 10 tahun 2013 tentang Penataan dan


Pembedayaan Pedagang Kaki Lima suatu Peraturan Daerah yang mengatur
Penataan dan Pemberdayaan.
Penataan Pedagang Kaki Lima merupakan salah satu upaya yang
dilakukan oleh Pemerintah Daerah melalui penetapan lokasi binaan untuk
melakukan penetapan, pemindahan, penertiban, dan penghapusan lokasi PKL
dengan memperhatikan kepentingan umum, sosial, estetika, kesehatan,
ekonomi, keamanan, ketertiban, kebersihan lingkungan, dan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
Pemberdayaan Pedangan Kaki Lima yang dilakukan oleh Pemerintah,
Pemerintah Daerah, dunia usaha, dan masyarakat secara sinergis, dilakukan
dalam bentuk penumbuhan iklim usaha dan pengembangan usaha terhadap

7
Pedagang Kaki Lima. Sehingga mampu tumbuh dan berkembang baik kualitas
maupun kuantitas usahanya.
Menurut Bagir Manan menyatakan bahwa keberhasilan suatu Perundang-
undangan tergantung pada penerapan dan penegakannya. Apabila penegakan
hukum itu tidak berjalan sesuai dengan tujuannya bagaimanapun peraturan
perundang-undangan tidak akan sempurna dan kurang memberikan arti sesuai
dengan tujuannya. Sedangkan penegakan hukum merupakan dinamisator
pengaturan perundang-undangan. Dilihat bahwa Peraturan Daerah yang baru
sangat menentukan aturan masyarakat supaya tertata dan tertib. Akan tetapi
dimasyarakat sering kali tidak sesuai dengan realita yang ada.5
Tugas-tugas Negara dalam kerangka pemenuhan kebutuhan dasar setiap
warga Negara yaitu melindungi agama, menegakan hukum dan stabilitas,
memelihara batas negara islam, menyediakan iklim ekonomi yang kondusif,
menyediakan administrasi publik, peradilan, dan pelaksanaan hukum islam,
mengumpulkan pendapat dari berbagai sumber yang tersedia serta menaikannya
dengan menerapkan pajak baru jika situasi menuntutnya, dan memberlanjakan
dana dana baitul mal untuk berbagai tujuan yang telah menjadi kewajibannya.
Adapun Sifat Negara merupakan sebagai wujud dari kedaulatan. Sifat
Negara ini melekat dan menjadi kekuatan yang dapat mempengaruhi prilaku
warga negaranya. Dengan Peraturan yang dibuat Negara, maka akan terjadi
keseimbangan masyarakat. Jika Negara tidak memiliki sifat memaksa, maka
akan terjadi anarki dan konflik, tidak ada aturan yang dipegang bersama.

5
Hendriesipahutar.blogspot.com/2012/10/penegakan-hukum.html?m=1 diakses pada tanggal 1
Juli 2019 pukul 10:00 WIB.

8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Pustaka
A. Implementasi Kebijakan
Kebijakan merupakan keputusan atas sejumlah atau serangkaian
pilihan yang berhubungan satu sama lain yang dimaksud untuk mencapai
tujuan. Dengan demikian, efektivitas suatu kebijakan publik akan
dipengaruhi oleh pelaku kebijakan, kebijakan publiknya itu sendiri dan
lingkungan kebijakan. Menurut Anderson dalam Winarno (2012:21)
Kebijakan merupakan arah tindakan yang mempunyai maksud yang
ditetapkan oleh seorang aktor atau sejumlah aktor dalam mengatasi suatu
masalah atau suatu persoalan.
Kebijakan (Policy) umumnya dipahami sebagai keputusan yang
diambil untuk menangani hal-hal tertentu. Namun, kebijakan bukanlah
sekedar suatu keputusan yang ditetapkan. Menurut Rose dalam Hamdi
(2014:36), mengartikan “kebijakan (policy) lebih sebagai suatu rangkaian
panjang dari kegiatan-kegiatan yang berkaitan dan akibatnya bagi mereka
yang berkepentingan, dari pada hanya sekedar suatu keputusan”.
Jenkins (1978) dalam Parsons (2008:463) mengatakan bahwa:
“Studi implementasi adalah studi perubahan: bagaimana perubahan
terjadi, bagaimana kemungkinan perubahan bisa dimunculkan. Ia
merupakan studi tentang mikrostruktur dari kehidupan politik; bagaimana
organisasi diluar dan didalam sistem politik menjalankan urusan mereka
dan berinteraksi satu sama lain; apa motivasi-motivasi mereka bertindak
seperti itu, dan apa motivasi lain yang mungkin membuat mereka
bertindak secara berbeda”.
Sedangkan Van Meter dan Van Horn (1975), dalam Agustino
(2008:139). Mendefinisikan Implementasi sebagai: Tindakan-tindakan
yang dilakukan baik oleh individu-individu atau pejabat-pejabat atau
kelompok-kelompok pemerintah atau swasta yang diarahkan pada
tercapainya tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam keputusan
kebijaksanaan.
Fokus Van Meter dan Van Horn bahwa Implementasi menyangkut
tiga hal yaitu:

9
1. Adanya Tujuan atau Sasaran Kebijakan
2. Adanya Aktifitas
3. Serta Adanya Kegiatan

B. Unsur-unsur implementasi kebijakan


Pihak yang terutama mempunyai kewajiban untuk melaksanakan
kewajiban publik adalah unit-unit birokrasi menyebutnya dengan istilah
“implementing organization”, maksudnya birokrasi pemerintahan yang
mempunyai tanggung jawab dalam melaksanakan kebijakan publik.
Dalam penelitian tersebut yang menjadi objeknya adalah seluruh
segi kegiatan yang telah selesai meliputi :
a. Hasil yang dicapai dalam suatu kurun waktu tertentu.
b. Biaya yang nyatanya dikeluarkan oleh satu organisasi untuk
mencapai hasil itu dibandingkan dengan biaya untuk mencapai hasil
itu di bandingkan dengan yang tersedia.
c. Tenaga yang dipergunakan.
d. Sarana dan prasarana yang dimanfaatkan, termasuk cara
pemanfaatannya.
e. Efektifitas mekanisme dan prosedur kerja yang telah ditetapkan.

C. Model-model Implementasi Kebijakan


Implementasi kebijakan publik akan lebih mudah dipahami apabila
menggunakan suatu model atau kerangka pemikiran tertentu. Suatu
model akan memberikan gambaran kepada kita secara bulat dan lengkap
mengenai suatu objek, situasi atau proses tertentu.
Model implementasi kebijakan publik tersebut itu tidak hanya ada
satu, namun ada berbagai macam sesuai dengan kerangka berfikir
pembuat model tersebut. Dalam uraian berikut ini tidak akan dibahas
semua macam model, tetapi model yang dianggap cukup penting untuk
diperkenalkan dalam penelitian ini.
Model yang dikembangkan oleh Grindle dalam Mulyadi (2015:66)
dimana model ini dipengaruhi oleh isi kebijakan (content of policy) dan
lingkungan kebijakan (content of implementation). Ide dasarnya adalah
bahwa setelah kebijakan ditransformasikan, barulah Implentasi kebijakan

10
dilakukan. Keberhasilan ditentukan oleh derajat implementability dari
kebijakan tersebut.
Isi kebijakan tersebut mencakup hal-hal berikut:
a. Kepentingan yang terpengaruhi oleh kebijakan
b. Jenis manfaat yang dihasilkan
c. Derajat perubahan yang diinginkan
d. Kedudukan pembuat kebijakan
e. Siapa pelaksana program
f. Sumber daya yang dikerahkan
Sedangkan lingkungan kebijakan (contex of implementation)
mencakup:
a. Kekuasaan, kepentingan dan strategi aktor yang terlibat
b. Karakteristik lembaga dan penguasa
c. Kepatuhan dan daya tanggap
Dapat digambarkan model implementasi kebijakan publik menurut
Grindle dapat dipahami bahwa keunikan model ini terletak pada
pemahaman yang komprehensif akan konteks kebajikan, khususnya yang
menyangkut dengan impelementor, penerimaan implementasi, dan arena
konflik yang mungkin terjadi diantara para aktor implementasi, serta
kondisi-konsisi sumberdaya implementasi yang diperlukan.
Selanjutnya model Edward III dalam Mulyadi (2015:68)
mengemukakan beberapa 4 variabel yang mempengaruhi impelentasi
kebijakan yakni komunikai, sumberdaya, disposisi dan struktur birokrasi.
Keempat variabel tersebut saling berhubungan satu sama lain:
a. Komunikasi
Keberhasilan implementasi kebijakan mnsyaratkan agar
implementator mengetahui apa yang harus dilakukan. Apa yang menjadi
tujuan dan sasaran kebijakan harus di transmisikan kepada kelompok
sasaran (target group) sehingga akan mengurangi diskorsi implementasi.
Apabila tujuan dan sasaran suatu kebijakan tidak jelas atau bahkan tidak
diketahui sama sekali oleh kelompok sasaran, maka kemungkinan akan
terjadi resistensi dari kelompok sasaran
b. Sumberdaya
Walaupun isi kebijakan sudah dikomunikasikan secara jelas dan
konsisten, tetapi apabila implementor kekurangan sumberdaya untuk

11
melaksanakan, implementasi tidak akan berjalan efektif. Sumberdaya
tersebut dapat berwujud sumberdaya manusia, yakni kompetensi
implementor, dan sumberdaya finansial. Sumberdaya adalah faktor
penting untuk implementasi kebijakan agar efektif. Tanpa sumberdaya
kebijakan hanya tinggal dikertas menjadi dokumen saja.
c. Disposisi
Disposisi adalah watak dan karakteristik yang dimiliki implementor,
seperti komitmen, kejujuran, sifat demokratis apabila implementor
mendapatkan disposisi yang baik, maka ia dapat menjalankan kebijakan
dengan baik seperti apa yang diinginkan oleh pembuat kebijakan, maka
proses implementasi kebijkan juga menjadi tidak efektif.
d. Struktur birokrasi
Struktur organisasi yang bertugas mengimplementasikan
kebijakan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap implementasi
kebijakan. Salah satu dari aspek struktur yang penting dari setiap
organisasi adalah adanya perosedur operasi yang standar (standart
operating procedurst) atau SOP menjadi pedoman bagi setiap
implementor dalam bertindak. Struktur organisasi yang terlalu panjang
akan cenderung melemahkan pengawasan dan menimbulkan red-tape,
yakni prosdur birokrasi yang rumit dan kompleks. Ini pada gilirannya
menyebabkan aktivitas organisasi tidak fleksibel.
Dapat dilihat bahwa teori Edward III mengemukakan ada 4
(empat) variabel yakni mempengaruhi kesuksesan terhadap implementasi
kebijakan yakni komunikasi, sumberdaya, disposisi, dan struktur birokrasi.
Keempat variabel tersebut saling berhubungan satu sama lain, sehingga
untuk mencapai kinerja implementasi kebijakan perlu diinternalisasikan
dengan sinergi dan intensif.
Selanjutnya Mazmania dan Sabatier dalam Mulyadi (2015:70)
menjelaskan bahwa ada tiga kelompok variabel yang mempengaruhi
keberhasilan implementasi, yakni:
1. Karakteristik dari masalah (tractability of the problems) , indikatornya:
a. Tingkat kesulitan teknis dari masalah yang bersangkutan
b. Tingkat kemajemukan dari kelompok sasaran
c. Proporsi kelompok sasaran terhadap total populasi
d. Cakupan perubahan perilaku yang diharapkan

12
2. Karakteristik kebijakan / undang-undang (ability of statute of struture
implementation) , indikatornya:
a. Kejelasan isi kebijakan
b. Seberapa jauh kebijakan tersebut memiliki dukungan teoritis
c. Besarnya alokasi sumberdaya financial terhadap kebijakan
tersebut
d. Seberapa besar adanya keterpautan dan dukungan antar
berbagai institusi pelaksana
e. Kejelasan dan konsistensi aturan yang ada pada badan
pelaksana
f. Tingkat komitmen aparat terhadap tujuan kebijakan
g. Seberapa luas akses kelompok-kelompok luar untuk
berpartisipasi dalam implementasi kebijakan.
3. Variabel lingkungan (nonstatutory variables affecting implementation).
Indikator nya:
a. Kondisi sosial ekonomi masyarakat dan tingkat kemajuan
teknologi
b. Dukungan publik terhadap sebuah kebijakan
c. Sikap dari kelompok pemilih (constituency groups)
d. Tingkat komitmen dan keterampilan dari aparat dan implentor
Ada enam variabel menurut Metter dan Horn, yang mempengaruhi
kinerja kebijakan publik tersebut adalah sebagai berikut (Winarno,
2012:158):
1. Ukuran danTujuan Kebijakan
Variabel ini didasarkan pada kepentingan utama terhadap
faktor-faktor yang menentukan kebijakan. Menurut Van Metter dan
Van Horn, identifikasi indikator-indikator kinerja merupakan tahap
yaang krusial dalam analisis implementasi kebijakan. Indikator-
indikator kinerja ini menilai sejauh mana ukuran dasar dan tujuan-
tujuan kebijakan telah direalisasikan. Ukuran-ukuran dasar dan tujuan
berguna dalam menguraikan tujuan-tujuan keputusan kebijakan
secara menyeluruh. Disamping itu, ukuran-ukuran dasar dan tujuan-
tujuan merupakan bukti itu sendiri dapat diukur dengan mudah dalam
beberapa kasus.

13
2. Sumberdaya
Disamping ukuran-ukuran dasar dan tujuan kebijakan, yang
perlu mendapatkan perhatian dalam proses implementasi kebijakan
adalah sumber-sumber yang tersedia. Keberhasilan proses
implementasi kebijakan sangat tergantung dari kemampuan
memanfaatkan sumberdaya yang tersedia. Manusia merupakan
sumberdaya yang terpenting dalam menentukan suatu keberhasilan
proses implementasi. Tahap-tahap tertentu dari keseluruhan proses
implementasi menuntut adanya sumberdaya manusia yang
berkualitas sesuai dengan pekerjaan yang diisyaratkan oleh
kebijakan yang telah ditetapkan secara politik. Tetapi ketika
kompetensi dan kapabilitas dari sumberdaya-sumberdaya itu tidak
ada, maka kinerja kebijakan publik sangat sulit untuk diharapkan.
Tetapi di luar sumberdaya manusia, sumberdaya-sumberdaya
lain yang perlu diperhitungkan juga, ialah sumberdaya finansial dan
sumberdaya waktu. Karena, mau tidak mau ketika sumberdaya
manusia yang kompeten telah tersedia sedangkan kucuran dana
melalui anggaran tidak tersedia, maka menjadi perosalan pelik untuk
merealisasikan apa yang hendak dituju oleh kebijakan publik.
Demikian pula halnya dengan sumberdaya waktu, saat
sumberdaya manusia giat bekerja dan kucuran dana berjalan dengan
baik, tetapi terbentur dengan persoalan waktu yang terlalu ketat,
maka hal ini pun dapat menjadi penyebagian ketidakberhasilan
implementasi kebijakan.
3. Karakteristik Agen Pelaksana
Pusat perhatian pada agen pelaksana meliputi organisasi formal
dan organisasi informal yang akan terlibat pengimplementasian kebijakan
publik. Hal ini sangat penting karena kinerja kebijakan (publik) akan
sangat banyak dipengaruhi oleh ciri-ciri yang tepat serta cocok dengan
para agen pelaksananya. Selain itu, cakupan atau luas wilayah
implementasi kebijakan perlu juga diperhitungkan manakala hendak
menentukan agen pelaksana. Semakin luas cakupan implementasi
kebijakan, maka seharusnya semakin besar pula agen yang dilibatkan.

14
4. Sikap atau Kecenderungan
Sikap penerimaan atau penolakan dari (agen) pelaksana akan
sangat banyak mempengaruhi keberhasilan atau tidaknya kinerja
kebijakan publik. Hal ini sangat mungkin terjadi oleh karena kebijakan
yang dilaksanakan bukanlah hasil formulasi warga setempat yang
mengenal betul persoalan dan permasalahan yang mereka rasakan.
Tetapi kebijakan yang akan implementor laksanakan adalah kebijakan
dari atas (top-down) yang sangat mungkin para pengambil keputusannya
tidak pernah mengetahui (bahkan tidak mampu menyentuh) kebutuhan,
keinginan, atau permasalahan yang warga ingin selesaikan.
5. Komunikasi Antarorganisasi dan Aktivitas Pelaksana
Koordinasi merupakan mekanisme yang ampuh dalam
implementasi kebijakan publik. Semakin baik koordinasi komunikasi di
antara pihak-pihak yang terlibat dalam suatu proses implementasi, maka
asumsinya kesalahan-kesalahan akan sangat kecil untuk terjadi. Dan,
begitu pula sebaliknya.
6. Lingkungan Ekonomi, Sosial, dan Politik
Hal terakhir yangperlu juga diperhatikan guna memenuhi kinerja
implementasi kebijakan publik dalam perspektif yang ditawarkan oleh
Metter dan Horn adalah sejauh mana lingkungan eksternal turut
mendorong keberhasilan kebijakan publik yang telah ditetapkan.
Lingkungan sosial, ekonomi, dan politik yang tidak kondusif dapat menjadi
biang keladi dalam kegagalan kinerja implementasi kebijakan. Karena itu,
upaya untuk mengimplementasikan kebijakan harus pula memperhatikan
kekondusifan kondisi lingkungan eksternal.

D. Kerangka Kerja Kebijakan Publik


Kerangka kerja kebijakan publik akan ditentukan oleh beberapa
variabel sebagai berikut dalam Taufiqurokhman (2014: 15-16) :
1. Tujuan yang akan dicapai. Ini mencakup kompleksitas tujuan yang
akan dicapai.
2. Prefensi nilai seperti apa yang perlu dipertimbangkan dalam
pembuatan kebijakan.
3. Sumber daya yang mendukung kebijakan.
4. Kemampuan aktor yang terlibat dalam pembuat kebijakan.

15
5. Lingkungan yang mencakup lingkungan sosial, ekonomi, politik, dan
sebagainya.
6. Strategi yang digunakan untuk mencapai tujuan dan sebagainya.

E. Proses Kebijakan Publik


Proses kebijakan publik adalah serangkaian aktivitas intelektual
yang dilakukan dalam proses kegiatan yang bersifat politis. Aktivitas
politis tersebut nampak dalam serangkaian kegiatan yang mencakup
penyusunan agenda, formulasi kebijakan, adopsi kebijakan, implementasi
kebijakan, dan penilaian kebijakan. Sedangkan aktivitas perumusan
masalah, forecasting, rekomendasi kebijakan, monitoring, dan evaluasi
kebijakan adalah aktivitas yang lebih bersifat intelektual.
Menurut Subarsono (2005:8) proses analisis kebijakan publik
adalah serangkaian aktivitas intelektual yang dilakukan dalam proses
kegiatan yang bersifat politis. Aktivitas politis tersebut nampak dalam
serangkaian kegiatan yang mencangkup penyusunan agenda, formulasi
kebijakan, adopsi kebijakan, implementasi kebijakan, dan penilaian
kebijakan. Sedangkan aktivitas perumusan masalah, forecasting,
rekomendasi kebijakan, monitoring dan evaluasi kebijakan adalah
aktivitas yang lebih bersifat intelektual.

F. Pedagang Kaki Lima


a. Pengertian Pedagang Kaki Lima
Menurut Peraturan Daerah Kota Sukabumi No. 10 Tahun 2013
tentang penataan dan pemberdayaan pedagang kaki lima menyatakan
bahwa:
“Pedagang kaki lima yang selanjutnya disingkat PKL adalah
pelaku usaha yang melakukan usaha perdagangan dengan
menggunakan sarana usaha bergerak maupun tidak bergerak,
menggunakan prasarana kota, fasilitas sosial, fasilitas umum, lahan dan
bangunan milik pemerintah dan/atau swasta yang besifat sementara/tidak
menetap”.
Menurut Bromley, dalam Manning dan Efendi (1996:228),
”Pedagang Kaki Lima (street trading), adalah salah satu pekerjaan yang
paling nyata dan penting di kebanyakan kota di Afrika, Asia Timur

16
Tengah, atau Amerika Latin”. Pekerjaan pedagang kaki lima merupakan
jawaban terakhir yang berhadapan dengan proses urbanisasi yang
serangkaian dengan migrasi dari desa ke kota yang besar, pertumbuhan
penduduk yang pesat, pertumbuhan kesempatan kerja yang lambat di
sektor industri, dan penyerapan teknologi yang padat moral, serta
keberadaan tenaga kerja yang berlebihan.
Berdasarkan pengertian-pengertian diatas dapat diinterpretasikan
bahwa pedagang kaki lima merupakan pekerjaan yang termasuk ke
dalam sektor informal yang menggunakan gerobak beroda ataupun lapak
di jalan aspal atau trotoar karena tidak mempunya kios atau toko sebagai
tempat berjualan untuk keberlangsungan ekonominya.

b. Klasifikasi Pedagang Kaki Lima


Menurut Waworoentoe dalam Widjajanti (2009:165) sarana fisik
perdagangan pedagang kaki lima dapat dikelompokkan sebagai berikut:
1. Pedagang dengan pikulan/keranjang, bentuk sarana ini
digunakan oleh para pedagang yang keliling atau semi menetap.
Dengan maksud agar barang dagangan mudah untuk dibawa
ketika berpindah-pindah tempat.
2. Pedagang gelaran/alas, pedagang ini menjajakan barang
dagangan yang dijualnya diatas kain, tikar, dan lain-lain. Bentuk
sarana ini didikategorikan PKL yang semi menetap.
3. Pedagang dengan menggunakan jongko/meja, sarana berdagang
yang menggunakan meja/jongko dan beratap atau tidak beratap.
Sarana ini dikategorikan jenis PKL yang menetap.
4. Pedagang dengan menggunakan gerobak/kereta dorong, sarana
ini ada yang beratap dan tidak beratap. PKL dengan jenis ini
dikategorikan jenis PKL yang menetap dan tidak menetap.
Biasanya untuk menjajakan makanan dan minuman serta rokok.
5. Pedagang dengan tempat warung semi permanen, terdiri dari
beberapa gerobak yang diatur berderet dilengkapi dengan meja
dan bangku-bangku panjang. Bentuk sarana ini mempunyai atap
atap dari bahan terpal ataupun plastik yang tidak tembus air. PKL
dengan bentuk sarana ini dikategorikan PKL menetap dan
biasanya berjualan makanan dan minuman.

17
6. Pedagang dengan sarana kios, pedagang yang menggunakan
bentuk sarana ini dikategorikan pedagang yang menetap, karena
secara fisik jenis ini tidak dapat dipindahkan. Biasanya
merupakan bangunan semi permanen yang dibuat dari papan.

c. Pola Pelayanan Pedagang Kaki Lima


1. PKL tidak menetap, ini ditunjukkan oleh sarana fisik perdagangan
yang mudah dibawa, atau dengan kata lain ciri utama dari PKL ini
merupakan PKL yang berjualan bergerak dari satu tempat ke
tempat lain. Biasanya bentuk sarana fisik perdagangan berupa
kereta dorong, pikulan/kerajang.
2. PKL setengah menetap, merupakan PKL yang pada periode
tertentu menetap pada suatu lokasi kemudian berpindah setelah
waktu \berjualan selesai (pada sore hari atau malam hari).
Sarana fisik berdagang berupa kios beroda, jongko atau
roda/kereta beratap.
3. PKL menetap, merupakan PKL yang berjualan menetap pada
suatu tempat tertentu dengan sarana fisik berdagang berupa kios
atau jongko/roda/kereta beratap.

18
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

A. Metode Penelitian

Metode penelitian pada dasarnya merupakan cara ilmiah untuk


mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu. Metode ini digunakan
untuk meneliti pada kondisi objek ilmiah.
Menurut Sugiyono (2014:3-4) bahwasanya “metode penelitian
administrasi dan manajemen dapat diartikan sebagai cara ilmiah untuk
mendapatkan data yang valid dengan tujuan dapat ditemukan, dibuktikan, dan
dikembangkan suatu pengetahuan tertentu sehingga pada gilirannya dapat
digunakan untuk memahami, memecahkan, dan mengantisipasi masalah dalam
bidang administrasi dan manajemen”.
Menurut Sugiyono (2014:8), “Metode penelitian kualitatif sering disebut
metode penelitian naturalistik karena penelitiannya dilakukan pada kondisi yang
alamiah (natural setting)”. Sedangkan menurut Satori dan Komariah (2013:22),
“Metode penelitian kualitatif adalah penelitian yang menekankan pada quality
atau hal yang terpenting dari sifat suatu barang/jasa. Hal terpenting dari suatu
barang atau jasa berupa kejadian/fenomena/gejala sosial adalah makna dibalik
kejadian tersebut yang dapat dijadikan pelajaran berharga bagi suatu
pengembangan konsep teori. Penelitian kualitatif dapat didesain untuk
memberikan sumbangannya terhadap teori, praktis, kebijakan, masalah-masalah
sosial dan tindakan ”.
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode yang relevan dengan
tujuan penelitian yang sudah dijelaskan pada bab sebelumnya yaitu dengan
menggunakan pendekatan penelitian kualitatif dengan metode studi kasus.

B. Indikator Penelitian
Ada dua maksud yang ingin dicapai peneliti didalam menetapkan fokus,
yang pertama bahwa penetapan fokus dapat membatasi studi, dalam hal ini
fokus akan membatasi inkuiri, kedua bahwa penetapan fokus berfungsi untuk
memenuhi kriteria inklusi-inklusi suatu informasi yang diperoleh di lapangan
(Moloeng, 2002 :62).
Pembatasan masalah merupakan tahap yang sangat menetukan dalam
penelitian kualitatif. Menurut Moloeng, menentukan fokus penting karena :

19
1) Sesuatu penelitian tidak dimulai dari sesuatu yang vakum.
2) Fokus pada dasarnya adalah masalah yang bersumber dari pengalaman
peneliti atau melalui pengetahuan yang diperoleh melalui kepustakaan ilmiah
atau kepustakaan lainnya.
3) Tujuan penelitian pada dasarnya memecahkan masalah yang dirumuskan.
4) Fokus atau masalah yang ditetapkan adalah bersifat tentative, yang dapat
diubah sesuai dengan latar belakang penelitian yang sudah ada.
Berkaitan dengan penelitian tentang Implementasi Kebijakan Tentang
Penataan Dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima di Kota Sukabumi, maka
yang menjadi fokus yaitu mengenai Penataan Pedagang Kaki Lima di Kota
Sukabumi serta beberapa aparatur pemerintah Kota Sukabumi yang
berhubungan dengan Implementasi Kebijakan Tentang Penataan Dan
Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima di Kota Sukabumi.

C. Unit Analisis dan Setting Informan


Dalam rangka melaksanakan penelitian ini, maka yang menjadi unit
penelitian ini adalah unit pelaksana teknis Implementasi Kebijakan Tentang
Penataan Dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima di Kota Sukabumi. Penelitian
kualitatif tidak menggunakan populasi tetapi oleh Spardley dinamakan “Social
Situation” atau situasi sosial yang terdiri atas tiga elemen yaitu; tempat, pelaku,
aktivitas yang berinteraksi secara sinergis. Penelitian kualitatif berangkat dari
kasus tertentu yang ada pada situasi sosial tertentu dan hasil kajiannya tidak
akan diberlakukan pada populasi, tetapi ditansferkan ke tempat lain pada situasi
sosial dalam kasus yang dipelajari. Sampel dalam penelitian kualiattif tidak
disebut responden melainkan narasumber, partisipan atau informan.
Informan merupakan orang yang mengetahui atau yang terlibat langsung
dalam kegiatan penelitian sehingga dapat memberikan manfaat bagi peneliti
melalui pemberian informasi maupun data. Pada penelitian kualitatif,
peneliti memasuki situasi sosial tertentu, melakukan observasi dan
wawancara kepada orang-orang yang dipandang tahu tentang situasi sosial
tersebut. Penentuan sumber data pada orang yang di wawancarai dilakukan
secara purposive sampling yaitu teknik penentuan subjek/objek sesuai tujuan.
Karena tujuan objek penelitian kualitatif yang akan diteliti sudah dipastikan, oleh
karena itu sudah menjadi pertimbangan yang sesuai dengan topik penelitian,

20
peneliti memilih subjek/objek sebagai unit analisis. Peneliti memilih unit analisis
tersebut dengan berdasarkan kebutuhan.
Tabel 3.1
Daftar Informan
No Informan Alasan
1. Informan 1 Sebagai pihak yang bertugas melakukan
penataan dan pemberdayaan terhadap
pedagang kaki lima
2. Informan 2 Sebagai pihak yang mengawasi pedagang
kaki lima di Kota Sukabumi
3. Informan 3 Perwakilan pedagang kaki lima di 7 zona
merah sebagai sasaran kebijakan

D. Teknik Pengumpulan Data


Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling strategis
dalam penelitian. Tujuan utama dari penelitian ini adalah mendapatkan data.
Dalam penelitian kualitatif, pengumpulan data dilakukan pada natural setting
(kondisi yang alamiah), sumber data pimer, dan teknik pengumpulan data lebih
banyak pada observasi berperan serta, wawancara mendalam, dan dokumentasi.

Observasi

Macam Teknik
Wawancara
Pengumpulan
Data
Dokumentasi

Sumber: Sugiyono, 2014


Gambar 3.1
Macam-Macam Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan peneliti adalah sebagai
berikut:
a. Observasi
Menurut Sugiyono (2013:166) dalam buku Metode Penelitian
Administrasi, menyatakan bahwa observasi merupakan suatu proses yang
kompleks, suatu proses yang tersusun dari berbagai proses biologis dan

21
psikologis.dua di antara yang terpenting adalah proses-proses pengamatan
dan ingatan.
Dalam observasi ini, peneliti mulai datang ke tempat tujuan yang akan
diteliti, tetapi tidak ikut terlibat dalam kegiatan yang sedang Macam Teknik
Pengumpulan Data Observasi Wawancara Dokumentasi berlangsung di
tempat tersebut. Namun dalam hal pengumpulan data, peneliti berterus
terang kepada sumber data, bahwasannya peneliti sedang melakukan
penelitian.
Dengan dilakukannya observasi, peneliti dapat melihat sesuatu hal
yang menjanggal dan tidak diamati oleh orang lain khususnya yang berada
pada tempat objek penelitian karena dianggap merupakan hal yang sudah
biasa. Pada tahapan selanjutnya, peneliti mulai menemukan masalah yang
memang belum ada sebelumnya. Oleh karena itu, peneliti melakukan
penjelajahan secara menyeluruh untuk menemukan data-data penunjang
yang dibutuhkan dalam proses penelitian atau yang berhubungan dengan
permasalahan. Namun permasalahan tersebut belum tertata dengan baik
dikarenakan masih belum cukupnya data. Peneliti pun melakukan observasi
selanjutnya, untuk menemukan fokus permasalahan. Sehingga peneliti
mampu menguraikan fokus permasalahan yang ditemukan dan dapat
mencari data yang lebih rinci.
b. Wawancara
Menurut Sugiyono (2014:72) dalam buku Memahami Penelitian
Kualitiatif menjelaskan bahwa wawancara digunakan sebagai teknik
pengumpulan data apabila peneliti ingin melakukan studi pendahuluan untuk
menemukan permasalahan yang harus diteliti, tetapi juga apabila peneliti
ingin mengetahui hal-hal dari responden yang lebih mendalam.
Wawancara adalah teknik pengumpulan data dengan mengadakan
dialog, tanya jawab antara peneliti dengan informan dalam kegiatan
memperoleh informasi langsung dari informan. Wawancara dilakukan dengan
tatap muka secara langsung dan secara lisan.
Wawancara dilaksanakan ketika sudah adanya suatu fokus
permasalah dari hasil observasi awal, peneliti melakukan interview kepada
orang-orang yang terlibat atau berkaitan dengan fokus permasalahan.
Karena adanya fokus permasalahan, peneliti pun harus sudah mengetahui

22
dengan pasti tentang informasi apa yang akan diperoleh atau digali dari pihak
informan.
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan wawancara tidak
terstruktur. Yang mana pertanyaan yang diajukan kepada informan lebih
terbuka agar lebih mendalam tentang subyek yang akan diteliti. Wawancara
tidak terstruktur ini, peneliti tidak menggunakan pedoman wawancara yang
telah tersusun secara sistematis, namun hanya menggunakan garis-garis
besar berupa permasalahan yang akan ditanyakan.
Setelah dilaksanakannya wawancara mendalam dengan informan,
maka hasil wawancara tersebut dituangkan dalam bentuk tulisan ke dalam
catatan lapangan. Untuk mempermudah dan mengidentifikasi tindak lanjut
hasil wawancara yang diperoleh.
c. Dokumentasi
Dokumentasi adalah suatu metode pengumpulan data kualitatif
dengan melihat atau menganalisis dokumen-dokumen yang dibuat subjek
sendiri atau oleh orang lain tentang subjek.
Metode dokumentasi, yaitu mencari data mengenai hal-hal atau
variabel yang berupa catatan, transkip, buku, surat kabar, majalah, prasasti,
notulen rapat, lengger, agenda dan sebagainya.
Dalam kegiatan penelitian sudah pasti harusnya adanya dokumentasi
sebagai bukti nyata dalam pengambilan data, baik itu ketika sedang
observasi maupun wawancara. Karena dengan adanya dokumentasi, data
tersebut akan lebih dapat dipercaya.
d. Validasi Data
Dalam penelitian kualitatif yang diuji adalah datanya. Temuan atau
data dapat dinyatakan valid apabila tidak ada perbedaan antara yang
dilaporkan peneliti dengan apa yang sesungguhnya terjadi pada objek yang
diteliti. Validasi data penelitian kualitatif menunjukan sejauh mana tingkat
interpretasi dan konsep-konsep yang diperoleh memiliki makna yang sesuai
antara peneliti dan partisipan.
Menurut Sugiyono (2005:117) validitas merupakan keakuratan antara
data yang terjadi pada objek penelitian dengan data yang dapat dilaporkan
oleh peneliti. Dengan demikian data yang valid adalah data “yang tidak
berbeda” antara data yang dilaporkan oleh peneliti dengan data yang
sesungguhnya terjadi pada objek penelitian. Validasi data yang silakukan

23
dalam penelitian ini yaitu Uji Kreadibilitas (Uji Validitas Internal). Uji
kreadibilitas adalah uji yang dilakukan untuk mengetahui tingkat kepercayaan
terhadap data yang diteliti. Dalam penelitian ini cara untuk menguji
kreadibilitas data yang digunakan yaitu dengan cara triangulasi. Triangulasi
dalam pengujian kredibilitas ini diartikan sebagai pengecekan data dari
berbagai sumber dengan berbagai cara, dan berbagai waktu.
Menurut Sugiyono (2014:83), dalam teknik pengumpulan data,
triangulasi diartikan sebagai teknik pengumpulan data yang bersifat
menggabungkan dari berbagai teknik pengumpulan data dan sumber yang
ada.
Dengan triangulasi berarti peneliti mengumpulkan data yang sama
dengan cara yang berbeda-beda. Oleh karena itu, dengan menggunakan
teknis triangulasi dalam pengumpulan data, maka data yang diperoleh pun
akan lebih pasti.
Teknik triangulasi adalah teknik pemeriksaan data yang
memandatkan sesuatu yang lain diluar itu untuk keperluan pengecekan atau
pembandingan data. Teknik triangulasi yang dipakai dalam penelitian ini
adalah teknik triangulasi sumber. Triangulasi sumber adalah pengujian untuk
menguji kredibilitas data, dilakukan dengan cara mengecek data yang telah
diperoleh melalui beberapa sumber.
e. Analisis Data
Analisis data kualitatif menurut Bogdan (Sugiyono, 2014: 244) analisis
data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang
diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan bahan-bahan lain,
sehingga dapat mudah dipahami, dan temuannya dapat diinformasikan
kepada orang lain. Analisis data dilakukan dengan mengorganisasikan data,
menjabarkannya kedalam unit-unit, melakukan sintesa, menyusun ke pola,
memilih mana yang penting dan yang akan dipelajari,dan membuat
kesimpulan yang dapat diceritakan kepada orang lain. Analisis data kualitataif
adalah bersifat induktif yaitu suatu analisis berdasarkan data yang diperoleh,
selanjutnya dikembangkan menjadi hipotesis.
Teknik analisis data dilakukan induktif berdasarkan fakta-fakta yang
ditemukan. Dalam rangka penelitian ini analisis data yang digunakan peneliti
yakni analisis data yang difokuskan sejak dan selama proses dilapangan
dengan pengumpulan data yang didapatkan. Teknik analisis data yang

24
digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan langkah-langkah seperti
yang dikemukakan yaitu sebagai berikut:
1. Pengumpulan Data
Pengumpulan data merupakan bagian integral dari kegiatan
analisis data. Kegiatan pengumpulan data pada penelitian hal adalah
dengan menggunakan wawancara dan dokumentasi.
2. Reduksi Data
Reduksi data merupakan proses pemilihan, pemusatan perhatian
pada penyederhanaan dan transformasi data kasar yang muncul dari
catatan-catatan tertulis dilapangan. Reduksi dilakukan sejak
pengumpulan data dimulai dengan membuat ringkasan, menelusur
tema, menulis memo dan sebagainya dengan maksud menyisihkan
data/informasi yang tidak relevan.
Proses analisis yang dilakukan untuk menajamkan,
menggolongkan, mengarahkan hasil penelitian dengan memfokuskan
pada hal-hal yang dianggap penting oleh peneliti. Sumber data yang
diperlukan diklasifikasikan menjadi data primer dan sekunder. Data
sekunder diambil dari informan penelitian yaitu implementor serta
pedagang kaki lima di Kota Sukabumi. Sedangkan data primer diambil
dari berbagai dokumentasi foto, rekaman suara atau literatur yang
berhubungan dengan materi penelitian.
3. Display Data
Display data adalah pendeskripsian sekumpulan informasi
tersusun yang memberikan kemungkinan adanya penarikan kesimpulan
dan pengambilan tindakan. Penyajian data kualitatif disajikan dalam
bentuk teks naratif/uraian singkat.
Sekumpulan informasi tersusun akan memberikan gambaran
penelitian secara menyeluruh. Dengan kata lain menyajikan data secara
terperinci dan menyeluruh dengan mencari pola hubungannya dari
pertanyaan wawancara penelitian dan deskripsi hasil wawancara yang
telah dilakukan.
4. Verifikasi dan Penegasan Kesimpulan
Merupakan kegiatan akhir dari analisis data. Penarikan
kesimpulan berupa kegiatan interpretasi, yaitu menemukan makna data
yang telah disajikan. Antara display data dan penarikan kesimpulan

25
terdapat aktivitas analisis data yang ada. Dalam penelitian ini analisis
data kualitatif merupakan upaya berlanjut, berulang dan terus menerus.
f. Lokasi dan Jadwal Penelitian
1. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan ruas jalan yang menjadi zona merah
Pedagang kaki Lima di Kota Sukabumi.
2. Jadwal Penelitian
Jadwal penelitian merupakan waktu yang telah ditetapkan oleh
peneliti untuk melaksanakan penelitian agar penelitian yang dilakukan
selesai dengan tepat waktu. Adapun jadwal penelitian yang dilakukan
adalah sebagai berikut:
Tabel 3.2
Jadwal Penelitian
Implementasi Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2012 tentang Penataan
dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima.
2018 2019
No Agenda
Jul Agst Sept Okt Nop Des Jan
1 Penyusunan dan
Pengajuan Judul
2 Pengajuan
Proposal
3 Perijinan
4 Pengumpulan Data
5 Analisis Data
6 Penyusunan
Laporan

26

Anda mungkin juga menyukai