Anda di halaman 1dari 64

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penyakit arteri perifer (PAD) adalah penyakit oklusif arteri kronis pada
ekstremitas bawah yang disebabkan oleh aterosklerosis yang mengarah ke stenosis
atau oklusi yang ditandai dengan penurunan aliran darah ke anggota tubuh, karena
obstruksi atau penyempitan pembuluh darah.1,2,3,8,32 Individu dengan PAD
memiliki tiga hingga empat kali lipat peningkatan risiko morbiditas dan mortalitas
penyakit kardiovaskular (CVD) dibandingkan dengan individu tanpa PAD. 1
Diperkirakan 20% populasi di seluruh dunia menderita PAD dan terdapat lebih
dari 25% individu berusia di atas 75 tahun yang menderita PAD. 2 Dalam praktik
kesehatan primer di seluruh Amerika Serikat, 29% pasien yang berusia lebih dari
70 tahun atau yang berusia lebih dari 50 tahun dengan riwayat merokok atau
diabetes telah dilaporkan mengalami PAD.3,5-7 PAD sering terlambat terdiagnosis,
tidak diobati, kurang dipahami oleh masyarakat. 3,4 Tingkat amputasi pada pasien
PAD di Amerika Serikat sangat tinggi. Dari tahun 2000 hingga 2008 di Amerika
Serikat menemukan 186.338 penderita PAD dilakukan amputasi selama waktu
itu.9,10 PAD dikaitkan dengan tingkat kematian dalam 1 tahun sebesar 20% dan
tingkat kehilangan anggota badan dalam 1 tahun sebesar 20%. 11,12,13 Pengeluaran
tahunan rata-rata per individu untuk pasien dengan PAD adalah $11.553 hingga
$42.613 di Amerika Serikat.14 Namun belum ada data lengkap tentang jumlah
penderita PAD di Indonesia.

Beberapa tes untuk mendiganosis PAD diantaranya digital subtraction


angiography (DSA), computed tomography angiography (CTA), whole body
magnetic resonance angiography (WBMRA). Namun, penggunaan beberapa tes
ini terbatas dan mempunyai kekurangan karena radiasi dari alat yang digunakan
dan juga karena risiko komplikasi lokal dan sistemik yang timbul dan penggunaan
media kontras yang bersifat nefrotoksik.15
1
Setelah kemajuan teknik CT angiografi, kita dapat menilai aliran darah
ekstremitas bawah dalam beberapa detik. Optimalisasi kontras intravena dengan
aliran darah dan pemindaian CT memberikan resolusi spasial yang lebih tinggi
dan cakupan lebih dari 120cm.16 Pencitraan seluruh arteri dimungkinkan
menggunakan CT angiografi dan telah menemukan kesesuaian yang sangat baik
dengan DSA.17 Namun, pemeriksaan CT angiografi memiliki kekurangan karena
kontras yang digunakan dapat bersifat nefrotoksik, resiko alergi, biaya mahal dan
tidak semua layanan kesehatan memilikinya. USG Doppler adalah metode yang
baik untuk skrining dan tindak lanjut, serta untuk diagnosis definitif penyakit
arteri perifer.20 Sensitivitas, spesifisitas dan akurasi Doppler USG adalah 96.55%,
61.53%, and 78.84% untuk mendiagnosis lesi arteri distal ekstremitas bawah.141
USG Doppler adalah teknik noninvasif yang tidak memerlukan penggunaan
kontras, persiapan pasien sebelum pemeriksaan, atau paparan radiasi, biaya murah
dan hampi semua layanan kesehatan memilikinya.18,19 Namun, pemeriksaan USG
doppler memiliki keterbatasan yaitu bergantung dengan kemampuan operator.

Mengingat ultrasonografi doppler merupakan pemeriksaan yang sensitif,


non invasif, murah, bersifat non toksis untuk mendiagnosis penyakit arteri perifer,
maka dari itu dipandang perlu dilakukan penelitian tentang sensitivitas dan
spesifisitas ultrasonografi doppler yang dibandingkan dengan CT angiografi
sebagai standar baku emas dalam menentukan lesi PAD yang belum pernah diteliti
sebelumnya di Sumatera Selatan.

1.2 Rumusan Masalah


Bagaimana sensitivitas dan spesifisitas ultrasonografi doppler
dibandingkan dengan CT angiografi dalam mendiagnosa peripheral arterial
disease (PAD)?

1.3 Tujuan Penelitian


1. 3. 1 Tujuan Umum

2
Mengetahui sensitivitas dan spesifisitas ultrasonografi doppler
dibandingkan dengan CT angiografi sebagai standar baku emas dalam
mendiagnosa peripheral arterial disease (PAD) di RSUP Dr.
Mohammad Hoesin.
1. 3. 2 Tujuan Khusus
a. Mendiagnosa lesi pembuluh darah penderita peripheral
arterial disease (PAD) berdasarkan ultrasonografi doppler

b. Mendiagnosa lesi pembuluh darah penderita peripheral


arterial disease (PAD) berdasarkan CT angiografi

c. Menilai sensitivitas ultrasonografi doppler dibandingkan


dengan CT angiografi dalam menentukan lesi peripheral
arterial disease (PAD).

d. Menilai spesifisitas ultrasonografi doppler dibandingkan


dengan CT angiografi dalam menentukan lesi peripheral
arterial disease (PAD).

e. Menilai nilai duga positif ultrasonografi doppler dibandingkan


dengan CT angiografi dalam menentukan lesi peripheral
arterial disease (PAD).

f. Menilai nilai duga negatif ultrasonografi doppler dibandingkan


dengan CT angiografi dalam menentukan lesi peripheral
arterial disease (PAD).

g. Menilai likelihood ratio ultrasonografi doppler dibandingkan


dengan CT angiografi dalam menentukan lesi peripheral
arterial disease (PAD).

1.4 Manfaat Penelitian

3
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk klinisi kesehatan dalam
mendiagnosa PAD dengan akurat, mudah dan non invasif
b. Sebagai data epidemiologi mengenai karakteristik lesi pembuluh darah pada
pasien PAD di RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang.
c. Sebagai pertimbangan efesiensi biaya untuk penegakan diagnosa PAD

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Peripheral Arterial Disease (PAD)


2.1.1 Definisi
Penyakit arteri perifer (PAD) adalah penyakit oklusif arteri kronis
pada ekstremitas bawah yang disebabkan oleh aterosklerosis yang
mengarah ke stenosis atau oklusi yang ditandai dengan penurunan aliran
darah ke anggota tubuh, karena obstruksi atau penyempitan pembuluh
darah dan berhubungan dengan morbiditas dan mortalitas yang
signifikan.1,2,3,8,21,22,32
2.1.2 Epidemiologi

4
Sekitar 20% dari populasi di dunia menderita PAD, dan
prevalensinya sama pada pria dan wanita.23 Terdapat hubungan yang kuat
antara usia lanjut dan prevalensi PAD. Hampir 25% orang dewasa yang
berusia lebih dari 70 tahun menderita PAD.24 Pada populasi lansia dengan
hipertensi dari hipertensi sistolik pada perkumpulan lansia, prevalensi PAD
adalah 38% pada pria kulit hitam, 25% pada pria kulit putih, 41% pada
wanita kulit hitam, dan 23% pada wanita kulit putih.

Klaudikasio adalah gejala PAD; Namun, ini terjadi lebih jarang


daripada yang telah dilaporkan sebelumnya. Pasien mungkin mengalami
klaudikasio klasik, nyeri kaki atipikal, nyeri saat istirahat, ulkus, gangren,
atau tanpa gejala sama sekali. Faktanya, penyakit tanpa gejala dapat terjadi
pada 50% pasien dengan PAD.6 Dari 460 pasien dalam Walking and Leg
Ciculation Study, 19,8% tidak menderita nyeri kaki saat aktivitas, 28,5%
menderita nyeri kaki atipikal, 32,6% menderita klaudikasio intermiten
klasik, dan 19,1% menderita nyeri saat istirahat. 25 Penelitian Rotterdam
menyimpulkan prevalensi PAD 19,1% dalam populasi kohort mereka;
namun, klaudikasio dilaporkan hanya 6,3% pada kelompok PAD.26 Dalam
Edinburgh Artery Study, prevalensi klaudikasio di antara 1.592 orang
berusia 55 hingga 74 tahun adalah 4,5%, sedangkan PAD asimpomatik
terjadi pada 8,0% orang.27

2.1.3 Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis PAD terdiri dari empat kategori: asimptomatik,


klaudikasio, CLI, dan acute limb ischemia (ALI).28,29 Pasien yang
asimptomatik tidak memiliki gejala klaudikasio tipikal. Identifikasi dari
PAD asimptomatik pada pasien-pasien ini menunjukkan bahwa terdapat
aterosklerosis dan memerlukan strategi pengurangan risiko untuk
menurunkan faktor risiko kardiovaskular. Klaudikasio didefinisikan
sebagai kelelahan, ketidaknyamanan, atau rasa nyeri di ekstremitas

5
bawah, yang gejalanya diperberat dengan beraktifitas dan berkurang
dengan istirahat. CLI didefinisikan oleh nyeri iskemik kronis, nyeri saat
istirahat di malam hari, atau lesi pada kulit dengan manifestasi ulkus atau
gangren.30 Gejala biasanya muncul paling sedikit selama 2 minggu. ALI
mengacu pada pasien dengan penurunan aliran darah ekstremitas
mendadak yang menyebabkan ancaman langsung terhadap viabilitas
tungkai.30 Gejalanya dapat terjadi hingga 2 minggu sejak timbulnya
gejala. ALI ditandai dengan "6 Ps" Pain, Paralysis, Paresthesia,
Pulselessness, Poikilothermia, and Pallor.

"Klasik" Klaudikasio, sebagaimana didefinisikan oleh San Diego


Population Study, didefinisikan oleh rasa sakit di daerah betis saat
berjalan, tidak terjadi saat duduk atau berdiri, yang tidak hilang selama
berjalan dan menyebabkan penderita berhenti atau melambat berjalan,
dan gejala berkurang dalam waktu 10 menit setelah berhenti berjalan.
Meskipun gejala paling sering terlokalisasi pada betis, namun paha atau
bokong juga bisa terkena.31

PAD memiliki beberapa gambaran klinis yang berbeda (Tabel II.1).


Karena sulit bagi pasien untuk menyangkal bahwa mereka mengeluh rasa
sakit, akan sangat membantu untuk menulis ulang pertanyaan untuk
menanyakan apakah mereka merasa tidak nyaman ketika berjalan. Pasien-
pasien dengan penyakit oklusi aortoiliaca mungkin mengalami
ketidaknyamanan saat bekerja pada pinggul, bokong, atau paha. Jika
pasien berjalan sampai gejalanya menjadi sangat parah sehingga mereka
tidak bisa berjalan lagi, keluhan nya tidak ada berkurang selama 15 atau
20 menit (karena akumulasi asam laktat di otot) dan perlu untuk duduk.
Ketidaknyamanan klaudikasio biasanya dialami satu tingkat lebih distal
dari tingkat obstruksi (yaitu, obstruksi femoralis atau popliteal superfisial

6
menyebabkan klaudikasio pada betis; obstruksi aortoiliaca menyebabkan
klaudikasio paha, pinggul, atau bokong).

TABEL II.1. Manifestasi Klinis Pasien dengan PAD


Klaudikasio klasik
Nyeri, tidak nyaman, berat, lelah, sesak, kram, atau terbakar di betis, paha, pinggul,
dan bokong yang (1) yang disebabkan lama berjalan yang sama dari hari ke hari, (2)
menghilang setelah beberapa menit berdiri, dan (3) terjadi pada jarak yang sama setelah
berjalan kembali
Nyeri kaki atipikal
Ketidaknyamanan ekstremitas bawah yang muncul tetapi tidak secara konsisten
terjadi pada jarak yang sama dengan berjalan dan mungkin memerlukan periode waktu
yang lebih lama untuk menghilangkan gejala atau mengharuskan pasien untuk duduk
atau mengubah posisi tubuh
Asimptomatik
Tanpa gejala yang jelas, tetapi biasanya berhubungan dengan
gangguan fungsional pada tes pengujian

Dikutip dari Peripheral Vascular Diseases, 2nd ed.33

Dari sudut pandang eksterimitas bawah, prognosis pasien dengan


PAD lebik baik karena klaudikasio tetap stabil pada 70% hingga 80%
pasien selama periode 10 tahun.6 Peringatan untuk penderita bahwa gejala
ini dapat berkembang menjadi klaudikasio berat, CLI yang memerlukan
revaskularisasi, atau amputasi.6,32

Manifestasi klinis paling umum dari CLI meliputi nyeri saat


istirahat, ulkus iskemik, dan gangren. Prognosis sangat buruk pada pasien
yang PAD berkembang menjadi CLI.6,32

Nyeri iskemik saat istirahat biasanya dimulai dari distal di jari kaki
dan kaki, lebih buruk jika posisi kaki harus diangkat (misalnya, pada
malam hari ketika pasien di tempat tidur), dan lega dengan
ketergantungan (menggantung kaki di sisi tempat tidur, berdiri atau duduk
di kursi). Ketika tingkat iskemia memburuk, pasien akan mengalami
parestesia, ekstremitas yang dingin, kelemahan otot, dan kekakuan sendi
kaki dan pergelangan kaki (Tabel II.1).

7
Kondisi paling umum yang terkait dengan gejala-gejala yang
mungkin dibiaskan dengan klaudikasio adalah stenosis spinal atau
radikulopati lumbal. Lebih lanjut, pasien lanjut usia mungkin mengalami
PAD dari aterosklerosis dan stenosis spinal (pseudoklaudikasio). Hanya
dengan riwayat yang jelas seseorang dapat membedakan mana dari dua
kondisi umum ini yang menyebabkan gejala pada penderita (Tabel II.2).33

TABEL II.2. Perbedaan antara klaudikasio intermiten dan pseudokaludikasio

Deskripsi Gejala Klaudikasio intermiten Pseudoklaudikasio

Sama dan ditambah


kesemutan,
Gambaran Nyeri, keram, kencang, berat, kelemahan, dan
ketidaknyamanan lelah dan rasa terbakar kebas

Lokasi Pantat, pinggul, paha, betis dan


ketidaknyamanan kaki Sama
Disebabkan aktifitas
latihan Ya Ya atau tidak
Jarak terjadinya
klaudikasio Teratur Bervariasi
Terjadi ketika berdiri Tidak Ya
Sering harus duduk
atau merubah posisi
Membaik Ketika jalan dan berdiri tubuh

Dikutip dari Peripheral Vascular Diseases, 2nd ed.33

2.1.4 Faktor Resiko

Faktor risiko PAD berhubungan dengan aterosclerosis


serebrovascular dan koroner; riwayat keluarga dengan kasus yang sama,
usia, merokok, diabetes mellitus, hiperlipidemia, dan hipertensi. 34-38
Merokok dan diabetes berhubungan dengan prognosis yang buruk.39

2.1.4.1 Usia

8
Orang yang berusia 65 tahun atau lebih dalam Framingham Heart
Study dengan prevalensi 9% dan orang yang berusia 70 tahun atau lebih
dalam Natioanl Heart and Nutrition Examination Survey (NHANES)
dengan prevalensi 14% berada pada risiko yang meningkat untuk
terjadinya PAD.6 Prevalensi adalah 4,3% pada orang dengan usia lebih dari
40 tahun dibandingkan dengan 14,5% pada orang dengan usia lebih dari 70
tahun.40

2.1.4.2 Merokok

Merokok adalah faktor risiko tunggal paling penting yang dapat


dimodifikasi untuk kejadian PAD. Tidak diketahui mengapa hubungan
antara PAD dan merokok sekitar dua kali lebih kuat dari hubungan antara
PAD dan penyakit arteri koroner (CAD).41 Perokok memiliki risiko PAD
yaitu 4 kali lipat dari yang bukan perokok dan mengalami timbulnya gejala
lebih cepat hampir satu dekade sebelumnya. Lebih lanjut, perokok
memiliki angka lama hidup yang lebih buruk, memiliki kemungkinan lebih
besar untuk berkembang menjadi CLI dan amputasi, dan penurunan
tingkat patensi bypass arteri graft bila dibandingkan dengan bukan
perokok. Baik bekas perokok aktif dan perokok aktif saat ini memiliki
peningkatan risiko PAD. Namun, pasien yang mampu berhenti merokok
lebih kecil kemungkinannya untuk mengembangkan CLI dan telah
meningkatkan angka lama hidup.42

2.1.4.3 Diabetes mellitus

Diabetes meningkatkan risiko terjadinya PAD simptomatik dan


asimptomatik 1,5 hingga 4 kali lipat dan mengarah pada peningkatan
risiko kejadian kardiovaskular dan mortalitas dini. 43-45 Di NHANES,49 26%
orang dengan PAD diidentifikasi menderita diabetes, sedangkan dalam
Edinburgh Artery Study, prevalensi PAD lebih besar pada orang dengan

9
diabetes atau gangguan toleransi glukosa (20,6%) dibandingkan mereka
yang normal (12,5%). Diabetes mellitus adalah faktor risiko yang lebih
kuat untuk PAD pada wanita daripada pria, dan prevalensi PAD lebih
tinggi pada populasi diabetes Afrika-Amerika dan Hispanik. 45-48 Diabetes
(dan perawatan kaki yang buruk) adalah penyebab paling umum amputasi
di Amerika Serikat.45

2.1.4.4 Hiperlipidemia

Dalam Studi Framingham, peningkatan kadar kolesterol dikaitkan


dengan peningkatan risiko klaudikasio 2 kali lipat. 46 Di NHANES, lebih
dari 60% pasien dengan PAD memiliki hiperkolesterolemia, sedangkan di
PARTNERS (PAD awarness, risk, and treatment: New Resources for
Survival), prevalensi hiperlipidemia pada pasien dengan PAD yang
diketahui adalah 77%.35,49 Hiperlipidemia meningkatkan kemungkinan
terjadinya kasus PAD sebesar 10% untuk setiap 10 mg / dL kenaikan total
kolesterol ( untuk mengkonversi ke mmol / L, dikalikan dengan 0,0259) . 50
The 2001 national cholestrol education program adult treatment panel III
menganggap risiko PAD setara risiko Coronary Artery Disease (CAD).51

2.1.4.5 Hipertensi

Hampir setiap penelitian telah menunjukkan hubungan yang kuat


antara hipertensi dan PAD, dan sebanyak 50% hingga 92% dari pasien
dengan PAD menderita hipertensi.52 Risiko pengembangan klaudikasio
meningkat 2,5 hingga 4 kali lipat pada pria dan wanita dengan hipertensi. 46
Dalam Hipertensi Sistolik di Program Lansia, 5,5% dari penderita
memiliki indeks brakialis (ABI) di bawah 0,90.53 Secara kumulatif, studi
ini menggarisbawahi prevalensi PAD yang tinggi pada pasien dengan
hipertensi.

2.1.4.6 Ras dan Etnis


10
Faktor-faktor risiko lain yang berhubungan dengan peningkatan
prevalensi PAD termasuk ras dan etnis (orang Amerika keturunan Afrika
dan keturunan Hispanik memiliki risiko lebih tinggi), penyakit ginjal
kronis, sindrom metabolik, dan tingkat protein C-reaktif, β2-
microglobulin, cystatin C, lipoprotein (a), dan homosistein.47,53-60

2.1.5 Pemeriksaan Penunjang

2.1.5.1 Ankle Brachial Index

Diagnosis PAD dapat ditegakkan dengan ABI. Dengan


menggunakan perangkat Doppler, ABI dapat diukur dengan mengambil
hasil yang lebih tinggi dari 2 tekanan sistolik di dorsalis pedis atau arteri
tibialis posterior di setiap kaki dan dibagi dengan tekanan darah sistolik
arteri brakial yang lebih tinggi di setiap lengan. Nilai ABI abnormal
adalah diagnostik untuk PAD.61

ABI normal adalah antara 1,00 dan 1,40. Nilai ABI ≤ 0,90
menunjukkan sensitivitas 90% dan spesifisitas 95% untuk PAD dan
merupakan nilai batas yang diterima untuk diagnosis.61,62 Nilai antara 0,91
dan 1,00 dianggap nilai borderline ; namun, angka kejadian
kardiovaskular untuk ABI dalam rentang ini meningkat 10% hingga
20%.61 Pada tingkat> 1,40, identifikasi PAD tidak akurat karena adanya
kalsifikasi arteri dan nonkompresibilitas pembuluh darah, temuan yang
sering dijumpai pada orang lanjut usia dan pada mereka dengan diabetes
dan penyakit ginjal kronis. Indeks toe-brachial digunakan dan dianggap
tidak normal ketika <0,70.61,63 Ada hubungan yang kuat dan konsisten
antara ABI abnormal dan adanya penyakit koroner atau
serebrovaskular.34,64,65

ABI merupakan pemeriksaan yang sensitif dan sensitif. Pemeriksaan


ABI adalah evaluasi untuk penyakit arteri perifer yang harus didahului

11
dengan riwayat medis, pemeriksaan sistem kardiovaskular, dan
pemeriksaan fisik terfokus di mana seseorang harus:

• Ukur tekanan darah di kedua lengan

• Auskultasi untuk memeriksa bruit di atas arteri karotid, abdominal, dan


femoralis

• Lakukan palpasi denyut nadi pada ekstremitas bawah dan aorta


abdominalis

• Periksa kaki dan kaki untuk memeriksa kulit yang menipis, rambut
rontok, penebalan kuku (yang merupakan tanda-tanda nonspesifik), dan
ulserasi.

Namun, pemeriksaan fisik memiliki sensitivitas dan spesifitas


terbatas untuk mendiagnosis penyakit arteri perifer. Secara umum, temuan
yang paling dapat dipercaya adalah tidak adanya pulsasi arteri tibialis
posterior, yang telah dilaporkan memiliki spesifisitas 71% dan sensitivitas
91% untuk penyakit arteri perifer.66

ABI adalah pemeriksaan garis pertama untuk kedua skrining untuk


penyakit arteri perifer dan untuk mendiagnosisnya. Pemeriksaan ini murah
dan non-invasif dan memiliki sensitivitas tinggi (79% hingga 95%) dan
spesifisitas (95% hingga 96%) dibandingkan dengan angiografi sebagai
gold standard.67-72 Pemeriksaan ABI dapat diukur dengan mudah, dan
setiap ahli medis yang peduli dengan pasien yang berisiko penyakit
kardiovaskular dapat dilatih untuk mengukurnya secara kompeten.

Sebagai alternatif, ABI dapat diukur dalam laboratorium vaskular


noninvasif sebagai bagian dari pemeriksaan yang lebih detail yang
memungkinkan untuk menilai tekanan darah dan bentuk gelombang
(Doppler atau rekaman pulsasi volume) pada beberapa segmen sepanjang
12
ekstremitas. Pemeriksaan vaskular yang lebih rinci ini umumnya
diperuntukkan bagi pasien dengan penyakit arteri perifer untuk
menemukan level dari lokasi penyumbatan pembuluh darah atau untuk
pasien di mana dilakukan revaskularisasi ekstremitas bawah.

Penggunaan stetoskop untuk mengukur tekanan darah untuk ABI


telah dipelajari dalam beberapa penelitian,73,74 tetapi dianggap kurang
akurat dibandingkan dengan Doppler, terutama dalam pengaturan
gangguan oklusi arteri yang signifikan. Karena itu, dianjurkan bahwa
perangkat Doppler digunakan untuk mengukur seluruh tekanan darah
dalam pemeriksaan ABI.

ABI dihitung dengan membagi tekanan darah sistolik pergelangan


kaki di setiap kaki yang lebih tinggi dengan tekanan darah sistolik
brakialis yang lebih tinggi. Tekanan sistolik brakialis yang lebih tinggi
digunakan sebagai dasar untuk memperhitungkan kemungkinan stenosis
arteri subklavia, yang dapat menurunkan tekanan darah di ekstremitas atas.
Indeks ankle-brachial dihitung pada setiap kaki, dan nilai yang lebih
rendah adalah keseluruhan nilai ABI pasien. Nilai abnormal di kedua kaki
menunjukkan penyakit arteri perifer.

13
INFORMATION BASED ON 2011 Writing Group Members; 2005 Writing Committee Members; ACCF/AHA Task Force
Members. 2011 ACCF/AHA Focused Update of the Guide-line for the Management of patients with peripheral artery disease (updating
the 2005 guideline): a report of the American College of Cardiology Foundation/ American Heart Association Task Force on practice
guidelines. Circulation 2011; 124:2020–2045.

Gambar II.1. Cara perhitungan ABI (Ankle Brachial Index)80

Sementara cara lain untuk menghitung ankle-brachial indeks, seperti


mengukur rata-rata tekanan sistolik di setiap pergelangan kaki atau menilai
nilai terendah dari dua tekanan pergelangan kaki, metode ini tidak standar
untuk digunakan dalam praktik klinis.

Demikian pula, penggunaan alat tekanan darah oscillometric yang


akan menghilangkan penggunaan perangkat Doppler dan ahli yang terlatih
dalam penggunaannya. Hasil dari beberapa studi menunjukan validasi
pengukuran oscillometric dari ankle-brachial index tidak konsisten,
kemungkinan karena alat dirancang untuk mengukur tekanan darah pada
lengan dan terutama kaki yang normal.75–79 Secara umum, perangkat
oscillometric cenderung melebih-lebihkan tekanan pergelangan kaki,
memberikan indeks ankle-brachial yang rancu pada pasien dengan
14
penyakit arteri perifer sedang hingga berat.75 Skrining untuk penyakit arteri
perifer belum dievaluasi secara luas, studi berbasis populasi. Upaya untuk
mengembangkan dan memvalidasi oscillometric untuk mendiagnosis
penyakit arteri perifer sedang berlangsung.

Kriteria diagnostik untuk ABI distandarkan pada tahun 2011 (Tabel


II.1) .80 Kebanyakan orang dewasa yang sehat memiliki nilai lebih dari 1.0.
Nilai kurang dari 0,91 dapat dihubungkan dengan penyakit arteri perifer
secara signifikan, dan nilai yang lebih rendah dari 0,40 saat istirahat
umumnya menunjukkan penyakit berat. Nilai antara 0,91 dan 0,99 adalah
batas abnormal dan tidak mengesampingkan penyakit arteri perifer. Nilai
lebih dari 1,40 menunjukan nonkompresibilitas arteri tungkai bawah (lihat
di bawah).

Tabel II.2 Kriteria Diagnostik ABI80

Interpretasi Nilai ABI

Nilai Interpretasi

1,00 – 1,40 Normal

0,91 – 0,99 Borderline

0,41 - 0,90 Peripheral Arterial Disease

< 0,41 Critical limb ischemia

> 1,40 Kalsifikasi arteri

Pada pasien yang diduga kuat memiliki penyakit arteri perifer tetapi
memiliki indeks ankle-brachial normal saat istirahat, dan terutama jika
nilai istirahat adalah nilai borderline (yaitu, 0,91-0,99), pengukuran harus
diulang setelah latihan, pemeriksaan ini sangat sensitif untuk mendeteksi
penyakit arteri perifer “ringan”.79 Dengan latihan, peningkatan aliran

15
melalui stenosis tetap menyebabkan penurunan tekanan pergelangan kaki
yang signifikan dan nilai ABI yang lebih rendah. Dalam satu penelitian, 81
Nilai ABI turun di bawah 0,9 setelah berolahraga pada 31% pasien rawat
jalan dengan gejala yang awalnya diuji normal.

Latihan ini secara optimal dilakukan pada treadmill. Beberapa


protokol untuk memeriksa ABI setelah excercise telat dibuat dengan cara
mengukur ABI dan pulsasi ankle dicatat pada kedua sisi saat istirahat,
setelah itu pasien biasanya berjalan selama 5 menit pada tingkat 12% pada
2,0 mph atau sampai gejala memaksa pasien untuk berhenti. Keuntungan
dari pengujian treadmill adalah kemampuan untuk menilai kapasitas
fungsional dengan mengukur waktu untuk timbulnya rasa sakit dan total
waktu berjalan.

Alternatif lain, manuver fleksi plantar (mengangkat tumit) atau


berjalan ke titik di mana gejala dapat muncul dan dapat dilakukan jika
treadmill tidak tersedia, meskipun ini bukan pendekatan yang disukai dan
tidak memenuhi syarat sebagai uji latihan formal. Pasien diminta untuk
mengangkat tumit dengan tinggi dan secepat mungkin selama 30 detik atau
sampai gejala nyeri terjadi. Hasil dengan manuver ini telah terbukti
berkorelasi dengan baik dengan tes latihan teadmill.82

Segera setelah setiap latihan manuver, tekanan lengan dan


pergelangan kaki diukur kembali dan indeks ankle-brachial bilateral
dicatat. Penurunan tekanan pergelangan kaki atau ABI setelah latihan
(umumnya, penurunan lebih dari 20%) mendukung diagnosis penyakit
arteri perifer. Jika pasien mengeluhkan nyeri pada kaki selama latihan dan
nilai ABI nya turun secara signifikan, ini juga mendukung gangguan
vaskulogenik pada ekstremitas bawah.82

16
Nilai ABI yang lebih besar dari 1,40 menunjukan klasifikasi arteri
dan tidak bisa dikompresi oleh cuff tensimeter. Ini dianggap abnormal,
meskipun tidak secara khusus mendiagnostik penyakit arteri perifer. Arteri
kaki yang tidak terkompresi merupakan hal umum pada pasien dengan
diabetes mellitus atau penyakit ginjal stadium akhir, dan juga dapat
ditemukan pada pasien obesitas.82

Karena arteri kaki pada umumnya dapat dikompresi, ABI dapat


diperoleh untuk mengkonfirmasi diagnosis penyakit arteri perifer dalam
kasus ini. Ini dihitung dengan mengukur tekanan darah di jempol kaki
menggunakan manset tekanan darah digital kecil dan probe Doppler atau
sensor aliran plethysmographic. Indeks toe-brachial dihitung dengan
membagi tekanan darah jari kaki oleh yang lebih tinggi dari dua tekanan
arteri brakialis; nilai 0,7 atau kurang secara umum menunjukkan penyakit
arteri perifer.82

2.1.5.2 Ultrasonografi Doppler

Ultrasonografi doppler adalah metode yang aman (tidak ada radiasi


atau zat kontras) dan hemat biaya untuk secara akurat menentukan tingkat
keparahan dan lokasi stenosis dan membedakan stenosis dari oklusi.
Gambaran B-mode atau greyscale menampilkan gambar 2 dimensi dari
dinding arteri dan lumen, dapat mengevaluasi sekilas lesi dan
karakteristik ateroma. Aliran warna Doppler dan gelombang berdenyut
Doppler dapat mengestimasi tingkat keparahan stenosis berdasarkan
kriteria aliran Doppler.83 Dupleks ultrasonografi adalah metode yang
akurat untuk menentukan tingkat stenosis atau panjang oklusi arteri yang
menyuplai pembuluh darah ekstremitas bawah.84-86

Lebih lanjut, dupleks ultrasonografi mungkin berguna dalam


follow-up pasien yang telah menjalani operasi endovaskular (angioplasti

17
transluminal perkutan / stent) atau revaskularisasi. Beberapa dokter
secara rutin merujuk pasien mereka ke dalam program pengawasan
ultrasound setelah angioplasti atau stent, dan sebagian besar ahli bedah
melakukannya setelah operasi bypass ekstremitas bawah. Tujuan dari
program semacam itu adalah untuk mengidentifikasi masalah (dan
mencegah terjadinya) jika hal itu terjadi.87

2.1.5.2.1 Anatomi Arteri Ekstremitas Bawah pada USG doppler


Arteri dapat dibedakan dari vena di USG doppler dengan beberapa
karakteristik. Pertama, arteri berbentuk bulat dengan gambar transversal,
sedangkan vena agak oval. Kedua, arteri lebih kecil dari vena. Ketiga,
arteri memiliki dinding yang terlihat dan kadang-kadang memiliki plak
yang terkalsifikasi di dinding. Keempat, ketika pembuluh dikompresi oleh
transduser, arteri sebagian terkompresi, sementara vena kolaps.88

USG Doppler dari ekstremitas bawah dimulai pada lipatan inguinalis


dengan menempatkan transduser pada arteri femoralis umum di bidang
transversal dengan pasien dalam posisi terlentang (Gambar II.3). Arteri
femoralis yang umum terlihat lateral dari vena Femoralis, yang muncul
dari vena saphenous yang lebih besar secara anteromedial pada daerah
inguinal (Gambar II.4). Tepat di bawah lipatan inguinalis, arteri femoralis
superfisialis dan arteri femoralis dalam hadir di sepanjang vena femoralis,
menunjukkan bentuk yang mengingatkan wajah Mickey Mouse pada
gambaran transversal (Gambar II.4). Arteri femoralis yang umum, arteri
femoralis superficialis bercabang dan arteri femoralis dalam terlihat pada
konfigurasi fallen-Y dalam gambaran longitudinal (Gambar II.3). Dari
paha proksimal ke distal, pemindaian dilakukan dengan menggerakkan
transduser secara distal sepanjang arteri femoralis superfisial ke dalam otot
sartorius. Arteri femoral superfisial berjalan bersama dengan vena
femoralis (Gambar II.3).

18
Arteri poplitea dievaluasi dari tingkat lipatan lutut pada bidang
transversal dan kemudian ditelusuri secara proksimal hingga ke kanal
adduktor pada tingkat suprakondilaris tulang paha (Gambar II.3). Arteri
poplitea terlihat di bagian tengah fossa poplitea antara kepala medial dan
lateral otot-otot gastrocnemius. Evaluasi arteri tibialis posterior dapat
dimulai dari asalnya di level tibioperoneal, jika dilihat secara distal, atau
dari pergelangan kaki di belakang medial maleolus, jika dilihat secara
proksimal (Gambar II.5). Arteri peroneal dilihat sepanjang sisi lateral betis
posterior dan divisualisasikan di sepanjang tulang fibula (Gambar II.5).

Evaluasi arteri tibialis anterior dapat dimulai dari pergelangan kaki


anterior ke leher talus dan berlanjut secara proksimal atau dimulai dari
tungkai anterolateral proksimal antara tibia dan fibula dan dilanjutkan ke
distal (Gambar II.5). Transduser dilacak dari pergelangan kaki anterior ke
kaki dorsal untuk mengevaluasi arteri dorsalis pedis, berlanjut ke arteri
metatarsal dorsal pertama antara tulang metatarsal pertama dan kedua
(Gambar II.5)

19
Gambar II.3 Langkah-langkah ultrasonografi Doppler berwarna untuk ekstremitas
bawah di atas lutut, dengan posisi pasien ditunjukkan pada gambar.
Kotak persegi panjang merah adalah posisi tempat pemeriksaan USG untuk arteri
femoralis dan arteri poplitea. Angka-angka di dalam kotak mewakili langkah-
langkah umum pemeriksaan. Skema dalam kotak menunjukkan fitur USG khas
arteri dan vena di setiap pemeriksaan. GSV (greater saphenous vein); FV (femoral
vein); CFA (common femoral artery); SFA (superficial femoral artery); DFA (deep
femoral artery); SSV (small saphenous vein); POPV (popliteal vein); POPA
(popliteal artery).

Gambar II.4 Ultrasonografi Doppler warna normal pada arteri femoralis di daerah
inguinal.
A. CFA berposisi lateral ke FV pada pemeriksaan posisi transversal pada lipatan
inguinalis. Perhatikan bahwa ukuran kotak warna sekecil mungkin. B. SFA dan
DFA membentuk bentuk seperti telinga Mickey Mouse, dan FV membentuk wajah
Mickey Mouse.

20
Gambar II.5 Langkah-langkah ultrasonografi Doppler warna untuk ekstremitas
bawah di bawah lutut, dengan posisi pasien ditunjukkan pada gambar. Posterior
tibial artery (PTA) terlihat di sepanjang tibia (Ti) di sisi medial betis posterior
(kotak 1) dan di belakang medial malleolus (MM) pergelangan kaki (kotak 2).
Peroneal artery (PA) digambarkan bersama fibula (F) di sisi lateral betis posterior
dalam posisi tengkurap (kotak 3). Anterior tibial artery (ATA) dideteksi melalui
interoseus (garis putus-putus hitam) antara tibia (Ti) dan fibula (F) di sisi
anterolateral betis (kotak 4). Pada tingkat pergelangan kaki, ATA terlihat di
anterior tibia plafond (Ti) dan talus (T) (kotak 5) dan terus ke dorsalis pedis artery
(DOA) distal ke pergelangan kaki dan metatarsal artery (MA) antara tulang
metatarsal (kotak 6).

21
Gambar II.6 Sonogram Doppler berwarna dan gelombang denyut dari arteri
ekstremitas bawah normal dengan parameter.
Atas: Dalam gambar warna dari sonogram Doppler gelombang denyut, kotak
warna dimiringkan sejajar dengan sumbu arteri menggunakan tombol "steer".
Sudut Doppler (θ) adalah 60 ° dalam kasus ini dan dibentuk oleh garis pandang
Doppler (S) dan sumbu aliran arteri (a). SV, volume sampel; LT FA (left femoral
artery); PSV (peak systolic velocity); EDV (end-diastolic velocity); MDV
(minimum diastolic velocity); RI (resistivity index). RI = (PSV-EDV) / PSV.
Bawah: Pada spektrum Doppler, waktu (detik) direpresentasikan pada sumbu x.
Kecepatan aliran darah (cm / detik) ditampilkan pada sumbu y (garis putus-putus).
Arah aliran relatif terhadap transduser ditunjukkan dalam kaitannya dengan
baseline spektrum (panah). "High-Q" adalah garis biru spektrum Doppler (panah).

22
Gambar II.7 Penyesuaian ultrasonografi Doppler gelombang denyut dalam
segmen arteri stenotis. Artefak pada spektrum Doppler dapat disesuaikan dengan
menurunkan garis dasar (panah) dan meningkatkan skala. Perhatikan perluasan
spektral (panah) dalam spektrum Doppler karena stenosis arteri. Parameter untuk
Doppler color flow (CF) dan pulsed-wave (PW) adalah peak systolic velocity
(PSV) 129 cm / detik, end diastolic velocity (EDV) 15,4 cm / detik, minumum
diatolic velocity (MDV) 8,9 cm / detik, resistivity index (RI) 0,88, dan wall filter
(WF) 120 Hz dalam CF dan 60 Hz dalam PW. SV, volume sampel.

23
Gambar II.8 Seorang pria berusia 56 tahun dengan oklusi arteri. Aliran warna
tidak ada dalam arteri femoralis superfisial (panah) pada sonogram Doppler warna
pada tingkat inguinal, mewakili oklusi lengkap. Pembuluh darah merah adalah
arteri femoralis dalam dan pembuluh darah biru adalah vena femoralis yang
kolaps.

2.1.5.2.2 Tehnik USG doppler

2.1.5.2.2.1 Posisi Transduser dan Pasien

Transduser linier dengan frekuensi ultrasonik variabel 9-15 MHz


umumnya digunakan, tetapi transduser cembung dengan frekuensi yang
lebih rendah dapat dipilih untuk evaluasi arteri iliaca di rongga pelvis. 89
Transduser ditempatkan di atas arteri untuk pemindaian transversal, dan
kemudian diputar 90° untuk pemindaian longitudinal. Arteri harus dilihat
pada bidang longitudinal selama mungkin. Operator harus memutar atau

24
memindahkan transduser dengan hati-hati untuk menjaga visualisasi arteri.
USG Doppler gelombang denyut dilakukan pada bidang longitudinal.

Pemeriksaan biasanya dilakukan dengan pasien ditempatkan pada


posisi terlentang. Pinggul pasien umumnya diabduksi dan diputar secara
eksternal, dan lutut dilenturkan seperti kaki katak untuk dengan mudah
mendekati arteri poplitea di fossa poplitea dan arteri tibialis posterior di
betis medial (Gambar II.3). Posisi dekubitus lateral kiri atau posisi
tengkurap adalah alternatif untuk mengevaluasi arteri poplitea, arteri
tibialis posterior, dan arteri peroneal (Gambar II.5). Arteri tibialis anterior
dan arteri dorsalis pedis dipindai pada posisi terlentang (Gambar II.5).

2.1.5.2.2.2 Parameter dan Optimalisasi USG Doppler

Operator harus mengetahui parameter warna dan Doppler gelombang


denyut dan bagaimana menyesuaikan parameter ini untuk mendapatkan
gambar Doppler yang optimal. Di antara parameter ini, kotak warna,
perolehan warna, skala kecepatan warna, dan inversi sering digunakan
selama pemindaian USG Doppler berwarna. Kotak warna adalah area
persegi dalam sonogram abu-abu tempat semua informasi Doppler warna
ditampilkan (Gambar II.4). Ukuran dan lokasi kotak dapat disesuaikan,
dan resolusi serta kualitas gambar dipengaruhi oleh ukuran dan kedalaman
kotak.90 Kotak harus dibuat sekecil mungkin dan ditempatkan di
permukaan semaksimal mungkin, sehingga memaksimalkan hasil USG.
Kotak warna harus dimiringkan menggunakan tombol "steer" sesuai
dengan sumbu arteri selama pemindaian longitudinal (Gambar II.6).
Penguatan warna mengacu pada amplifikasi data aliran untuk
meningkatkan penggambaran aliran.90 Gain warna ("Gain" tombol pada
mesin USG) harus ditetapkan setinggi mungkin tanpa menampilkan latar
belakang suara warna. Kecepatan warna adalah rentang kecepatan aliran
yang digambarkan dalam warna USG Doppler.90 Jika skala kecepatan
25
(tombol "skala" pada mesin USG) pengaturan lebih rendah dari kecepatan
aliran arteri, artefak aliasing akan muncul. Operator dapat mendeteksi
aliran warna dalam arteri lumen dengan meningkatkan gain atau
mengurangi skala. Aliran warna artefak di luar arteri harus dihilangkan
dengan mengurangi mendapatkan. Warna homogen aliran arteri dapat
diperoleh dengan meningkatkan skala. Aliran menuju transduser biasanya
muncul warna merah pada sonogram Doppler ketika warna merah muncul
di atas garis dasar pada bar warna. Inversi dapat secara elektronik
membalikkan arah aliran, yang dapat mempersulit interpretasi arah aliran.
Oleh karena itu, arah aliran harus ditafsirkan berdasarkan pengaturan bar
warna. Filter dinding (WF) menghilangkan kebisingan frekuensi rendah
yang mungkin timbul dari gerakan dinding pembuluh darah di bawah
ambang batas frekuensi yang ditentukan operator. 90,91 Pengaturan WF
biasanya disetel oleh pabrikan (Gambar II.7). Penting untuk memahami
arti parameter dari USG Doppler gelombang denyut dan cara
menyesuaikannya. Contoh kursor volume terdiri dari garis paralel di kedua
sisi garis sumbu arteri. Volume sampel harus ditempatkan dalam lumen
arteri, dan kisaran ukuran volume sampel umumnya dari sepertiga hingga
setengah dari diameter luminal.92 Sudut Doppler dibentuk oleh garis
Doppler dan sumbu aliran arteri dan harus antara 45° dan 60° untuk
akurasi optimal.91 Pada USG Doppler, garis di tengah arteri menunjukkan
sumbu aliran arteri. Garis yang hampir vertikal adalah garis pandang
Doppler (Gambar II.6). Spektrum Doppler adalah grafik yang
menunjukkan campuran frekuensi selama periode waktu yang singkat. 91
Frekuensi Doppler didefinisikan sebagai perbedaan antara frekuensi yang
diterima dan yang ditransmisikan ketika sel darah bergerak. Elemen kunci
dari spektrum Doppler adalah skala waktu dan kecepatan.91 Pada spektrum
Doppler, waktu (detik) diwakili pada sumbu x, dan skala kecepatan (cm /
detik) ditunjukkan pada sumbu y (Gambar II.6). Arah aliran relatif

26
terhadap transduser ditunjukkan dalam kaitannya dengan baseline
spektrum. Aliran menuju transduser diwakili oleh kecepatan positif di atas
garis dasar (Gambar II.6). "High-Q" atau kecepatan puncak adalah garis
biru yang mengelilingi spektrum Doppler. Berdasarkan gambaran ini,
kecepatan sistolik puncak (PSV), kecepatan diastolik minimum (MDV),
kecepatan diastolik akhir (EDV), dan indeks resistivitas (RI) dapat
diperoleh secara numerik (Gambar II.6,7). PSV adalah kecepatan sistolik
tertinggi, MDV adalah kecepatan diastolik terendah, dan EDV adalah
kecepatan end-diastolik tertinggi. RI adalah salah satu pengukuran populer
dari pulsatilitas yang mewakili resistensi aliran perifer. 91 Jika artefak hadir
dalam spektrum Doppler, garis dasar dapat dikurangi atau skala
ditingkatkan untuk mengoptimalkan rentang kecepatan (Gambar II.7). Itu
dapat secara otomatis dioptimalkan dengan menekan tombol "i-scan".

2.1.5.2.2 Spektrum USG doppler pada arteri ekstremitas bawah


yang normal

Bentuk gelombang Doppler dari arteri ekstremitas bawah saat


istirahat diklasifikasikan sebagai bentuk gelombang pulsatilitas tinggi dan
ditandai oleh pola aliran trifasik.91 Selama setiap detak jantung, puncak
sistolik yang tinggi, sempit, dan tajam pada fase pertama diikuti oleh aliran
balik diastolik awal pada fase kedua, dan kemudian oleh aliran maju
diastolik lanjut pada fase ketiga (Gambar II.6). Aliran balik diastolik
merupakan hasil dari resistensi perifer yang tinggi dari arteri ekstremitas
normal.91 Dalam arteri ekstremitas normal, percepatan aliran dalam sistol
adalah cepat, yang berarti bahwa kecepatan puncak dicapai dalam
beberapa ratus detik setelah kontraksi ventrikel dimulai. Darah di pusat
arteri bergerak lebih cepat daripada darah di pinggiran, yang digambarkan
sebagai aliran laminar.91 Ketika aliran laminar, sel-sel darah bergerak
dengan kecepatan yang sama. Fitur-fitur arteri normal ini menghasilkan

27
ruang yang jelas, yang dikenal sebagai jendela spektral, di bawah spektrum
Doppler.

2.1.5.2.3 Temuan abnormal pada USG

USG Doppler ekstremitas bawah dapat dilakukan dengan


memperoleh gambar abu-abu sebelum studi Doppler warna; Namun,
evaluasi skala abu-abu terkadang opsional dan dapat dianggap sebagai
langkah kedua ketika studi Doppler warna menghasilkan temuan yang
mencurigakan untuk stenosis atau oklusi. Pada gambar skala abu-abu,
keberadaan dan ukuran plak harus dijelaskan, serta apakah plak
dikalsifikasi atau tidak. Ukuran plak dapat diukur dalam tinggi dan
panjang yang diperoleh menggunakan scan transversal dan longitudinal,
masing-masing.93 Tiga dimensi USG baru-baru ini digunakan untuk
mengukur volume plak, dengan reproduktifitas intraobserver dan
interobserver yang baik.94

Pada USG Doppler bewarna, jika ada oklusi di arteri, aliran warna
tidak ada di dalam lumen (Gambar II.8). Spektrum Doppler pada segmen
arteri yang sangat stenotik dan segmen arteri distal poststenotic atau post-
obstruktif diulas secara singkat di bawah ini. Kecepatan puncak sistolik
(PSV) pada segmen stenotik meningkat sampai diameter berkurang
sebesar 70%, yang sesuai dengan pengurangan 90% pada area. 95 Area
gangguan aliran yang menunjukkan perluasan spektral terjadi dalam 2 cm
di luar area stenosis karena hilangnya pola aliran laminar (Gambar II.7).
Perluasan spektral menonjol, dengan pengurangan diameter 20% -50%.
Bentuk gelombang arteri ekstremitas bawah dapat dikonversi menjadi
bentuk resistensi rendah dengan pulsatilitas rendah setelah latihan atau
sebagai akibat dari oklusi arteri yang lebih proksimal. 95 Jika bentuk
gelombang monofasik, itu berarti bahwa seluruh bentuk gelombang berada
di atas atau di bawah garis dasar spektrum Doppler, tergantung pada
28
orientasi transduser USG.91 Ini ditandai dengan pola "teredam", yang
berarti bahwa percepatan aliran sistolik melambat, kecepatan sistolik
puncak berkurang, dan aliran diastolik meningkat.96 Bentuk gelombang
monofasik ini terlihat di tempat stenotis dan di arteri distal dalam kasus
stenosis parah dengan pengurangan diameter lebih dari 50%.

USG Doppler telah ditemukan untuk membedakan antara stenosis


dengan pengurangan diameter lebih besar dari atau kurang dari 50%
(sesuai dengan pengurangan area 70%) dengan sensitivitas 77%-82% dan
spesifisitas 92% -98%.95,97-101 Pemindaian lengkap dari kedua ekstremitas
bawah mungkin memerlukan hingga 2 jam tergantung pada pengalaman
operator.95 Namun, jika operator terbiasa dengan anatomi dari arteri
ekstremitas bawah dan memahami parameter dan bentuk gelombang
Doppler dari USG Doppler, hasil diagnostik yang akurat dapat dihasilkan
dengan waktu yang lebih singkat.

2.1.5.3 Magnetic resonance angiography (MRA)

MRA dari aorta dan pembuluh darah perifer dapat dilakukan


dengan cepat dengan kualitas gambar yang sangat baik. Sebagian besar
studi vaskular dilakukan dengan MRA 3-dimensi yang ditingkatkan
gadolinium, memperoleh gambar seperti angiografi.102-105 Kualitas MRA
sangat baik sehingga (atau computed tomographic angiography [CTA])
telah hampir menggantikan angiografi diagnostik dalam menentukan
jenis intervensi apa yang layak. Keberhasilan MRA dalam
mengidentifikasi temuan pembuluh darah kecil menyamai atau
melampaui kemampuan diagnostik catheter-based angiography.106
Dengan teknologi saat ini, MRA 3-dimensi kontras memiliki sensitivitas
sekitar 90% dan spesifisitas sekitar 97% pada deteksi stenosis yang
signifikan secara hemodinamik pada arteri ekstremitas bawah mana pun
dibandingkan dengan DSA.
29
2.1.5.4 Computed Tomographic Angiography (CTA)

Multidetektor CTA memberikan kualitas gambar resolusi tinggi


dengan cepat.107 Alat multidetektor saat ini memerlukan hingga 250
simultan heliks. CTA memiliki beberapa keunggulan dibandingkan
angiografi konvensional, termasuk akuisisi volumetrik, yang
memungkinkan visualisasi anatomi dari berbagai sudut dan dalam
beberapa bidang dalam 1 kali pemeriksaan; peningkatan visualisasi
jaringan lunak dan struktur anatomi yang berdekatan lainnya; dan lebih
sedikit invasif dan komplikasi lebih sedikit. 87,108,109 CTA juga memiliki
beberapa keunggulan dibandingkan MRA, termasuk resolusi spasial yang
lebih tinggi, tidak adanya fenomena aliran yang dapat mendistorsi
gambar MRA, dan kapasitas untuk memvisualisasikan kalsifikasi dan
implan logam seperti endovaskular stent atau stent graft. Sensitivitas dan
spesifisitas lebih besar dari 95% untuk mengidentifikasi stenosis lebih
besar dari 50% dan untuk mengidentifikasi oklusi.110

Kerugian utama CTA dibandingkan dengan MRA adalah radiasi


ber-ion dan kebutuhan untuk menggunakan agen kontras ber-ion.

2.1.5.4.1 Anatomi Arteri Ekstremitas Bawah pada CT angiografi

Setiap arteri ekstremitas bawah terlihat dengan vena yang


menyertainya, memanjang dari arteri iliaca ke arteri poplitea. Arteri tibialis
anterior, arteri tibialis posterior, dan arteri peroneal terlihat dengan dua
vena homonm. Keseluruhan anatomi arteri di ekstremitas bawah
ditunjukkan pada CT angiografi pada (Gambar II.9). Arteri iliaca utama
terbagi menjadi arteri iliaca internal dan arteri iliaca eksterna di rongga
pelvis. Arteri iliaca eksterna kontinyu dengan arteri femoralis (Gambar
II.9). Ligamentum inguinal adalah landmark untuk persimpangan arteri
iliaca eksterna dan arteri femoralis. Ligamentum inguinalis terletak lebih

30
proksimal dari lipatan inguinalis. Arteri femoralis adalah segmen pendek,
umumnya sekitar 4 cm, dan bercabang dua ke dalam arteri femoralis
superfisialis medial dan arteri femoralis dalam lateral. 111 Arteri femoralis
superfisialis turun tanpa percabangan yang menonjol antara kelompok otot
quadratrus dan adduktor di anteromedial paha. Di paha distal, arteri
femoralis superficialis memasuki kanal adduktor. Saat meninggalkan
hiatus adduktor, nama arteri menjadi arteri poplitea di fossa poplitea dan
berakhir dengan bercabang dua ke dalam arteri tibialis anterior dan
tibioperoneal pada sisi posterior proksimal betis.112

Di bawah lutut, arteri tibialis anterior lewat dari posterior ke anterior,


dan kemudian turun sepanjang membran interoseus di belakang otot
tibialis anterior dan otot ekstensor pada anterolateral kaki. Tibioperoneal
membelah menjadi posterior arteri tibialis secara medial dan arteri
peroneum lateral (Gambar II.9). Arteri tibialis posterior berjalan di
sepanjang ruang intermuskular antara otot tibialis posterior dan otot-otot
soleus. Arteri peroneal memanjang ke bawah antara otot tibialis posterior
dan otot fleksor halusis longus.

Di daerah pergelangan kaki dan kaki, arteri tibialis anterior berlanjut


ke dorsalis pedis arteri distal ke retinakulum ekstensor.112 Arteri dorsalis
pedis membentuk arteri arkuata di dasar metatarsal dan menjadi arteri
metatarsal dorsal. Arteri tibialis posterior melewati belakang medial
malleolus tibia, membentuk arteri plantar medial dan lateral. Lengkungan
plantar yang dalam dari arteri plantar medial dan lateral bercabang menjadi
arteri metatarsal dan arteri digital plantar.112

31
Gambar II.9 Anatomi arteri ekstremitas bawah pada CT angiografi
A. Pada coronal maximal intensity projection (MIP) gambar CT di atas
lutut, arteri iliaca eksternal adalah kontinu dengan arteri femoralis yang
bercabang menjadi arteri femoralis superfisialis dan arteri femoralis dalam.
SFA kontinu dengan arteri poplitea.
B. Pada gambar MIP CT koronal di bawah lutut, arteri poplitea membagi
arteri tibialis anterior dan tibioperoneal yang bercabang menjadi arteri
tibialis posterior dan arteri peroneal. Arteri iliaca utama; Arteri iliaka
internal.

2.1.5.5 Digital Subtraction Angiography (DSA)

Pencitraan vaskular dengan ultrasonografi, CTA, dan MRA telah


menggantikan teknik berbasis kateter dalam evaluasi diagnostik awal
pasien PAD dalam sebagian besar keadaan. Meskipun ada pergeseran
paradigma dari angiografi berbasis kateter sebagai teknik diagnostik
utama, kepentingannya dalam intervensi telah meningkat secara cepat.

Keuntungan utama dari DSA adalah kemampuan untuk selektif


mengevaluasi pembuluh darah pasien memperoleh informasi fisiologis
seperti tekanan gradien, dan mencitrakan lapisan dinding pembuluh darah
dengan ultrasonografi intravaskuler dan sebagai platform untuk intervensi
perkutan. Paparan radiasi ber-ion, penggunaan agen kontras teriodiasi,
dan risiko terkait akses vaskular dan kateterisasi adalah keterbatasan
teknik ini.

2.2 Klasifikasi PAD


32
2.2.1 Klasifikasi berdasarkan manifestasi klinis
2.2.1.1 Klasifikasi Fontaine
Sistem klasifikasi pertama muncul dari Perhimpunan Bedah
Kardiovaskular Eropa pada tahun 1952 dan diterbitkan pada tahun 1954
oleh Fontaine dkk.132 Sistem klasifikasi ini membagi presentasi klinis
pasien menjadi empat tahap. Sistem ini hanya didasarkan pada gejala
klinis, tanpa tes diagnostik lainnya, dan biasanya digunakan untuk
penelitian klinis dan tidak secara rutin digunakan dalam perawatan pasien.

Tabel II.3 Klasifikasi Fontaine

Grade Gejala

Kelas I Asimptomatik, obstruksi pembuluh


darah inkomplit

Kelas II Nyeri klaudikasio ringan pada tungkai

Kelas IIA Klaudikasio pada jarak > 200m

Kelas IIB Klaudikasio pada jarak < 200m

Kelas III Nyeri saat istirahat, terutama di kaki

Kelas IV Nekrosis dan / atau gangren di tungkai

2.2.1.2 Klasifikasi Rutherford


Klasifikasi simptomatik diadaptasi oleh Rutherford pada tahun
1986,133 dengan revisi pada tahun 1997.134 Rutherford mengklasifikasikan
PAD menjadi akut limb iskemik dan kronis limb iskemik, menekankan
bahwa setiap presentasi memerlukan algoritma pengobatan yang berbeda.
Rutherford juga menghubungkan gejala klinis pasien dengan temuan
objektif, termasuk Doppler, ABI, dan rekaman volume nadi (PVR).
Presentasi akut atau kronis membedakan waktu onset gejala; Namun,
Rutherford tidak memasukkan kriteria temporal yang ketat dalam definisi.
Kedua klasifikasi telah digunakan secara luas dalam pengaturan klinis
untuk mengarahkan manajemen pasien serta untuk tujuan penelitian.
33
Klasifikasi CLI Rutherford paling menyerupai klasifikasi Fontaine,
dengan penambahan data noninvasif obyektif.134 Evaluasi untuk setiap
pasien dengan CLI harus mencakup evaluasi gejala yang dijelaskan dalam
klasifikasi Rutherford. Karakteristik nyeri dan onset pasien harus
dievaluasi. Onset klaudikasio harus ditentukan, dan dapat diverifikasi
secara baik dengan tes berjalan / treadmill di laboratorium diagnostik non-
invasif. Tes latihan Treadmill dengan dan tanpa ABI pra-latihan dan pasca-
latihan membantu membedakan klaudikasio dari pseudoclaudication pada
pasien-pasien dengan keluhan tungkai nya. Tes latihan Treadmill mungkin
berguna untuk mendiagnosis PAD dengan ABI istirahat yang normal tetapi
ABI pasca latihan yang berkurang. Tes latihan Treadmill dapat secara
objektif mendokumentasikan besarnya batasan gejala pada pasien dengan
klaudikasio. Protokol Treadmill dijelaskan dengan baik dalam publikasi
lain.135,136 Pasien yang tidak dapat melakukan tes treadmill dapat menjalani
pengujian stres yang serupa menggunakan fleksi plantar atau kompresi
manset tekanan darah paha untuk menyebabkan hiperemia reaktif.
Klasifikasi ALI Rutherford membagi ekstremitas ke dalam kategori
baik, terancam, atau rusak permanen. Semua pasien dengan ALI pada
awalnya ditatalaksana dengan heparin intravena kecuali ada
kontraindikasi. Pasien dengan iskemia kategori I dan IIa dengan onset
dalam 14 hari dan risiko rendah mionekrosis atau kerusakan saraf iskemik
sering diobati dengan metode endovaskular termasuk trombolisis yang
diarahkan kateter. Pasien kategori IIb memerlukan revaskularisasi segera
karena risiko lebih tinggi cedera saraf / jaringan permanen dan nekrosis
otot; ini sering dilakukan dengan trombektomi operatif dan fasciotomi
ketika diindikasikan secara klinis. Pasien dengan iskemia kategori III
dengan tungkai yang tidak dapat diselamatkan dan diobati dengan
amputasi.
Tabel II.4 Klasifikasi Rutherford untuk PAD12

34
Stage 0 Jika pasien tanpa gejala
Stage 1 Jika terdapat klaudikasio intermiten ringan
Stage 2 Jika tedapat klaudikasio intermiten sedang
Stage 3 Jika tedapat klaudikasio intermiten berat
Stage 4 Jika terdapat nyeri iskemik saat istirahat
Stage 5 Jika terdapat kehilangan jaringan minor
Stage 6 Jika tedapat ulkus atau gangren

2.2.2 Klasifikasi berdasarkan anatomi


Klasifikasi TASC II (Trans-Atlantic Inter-Society Consensus
Document II)
2.2.2.1 Sejarah
Empat belas perkumpulan yang mewakili disiplin dalam kedokteran,
bedah vaskular, radiologi intervensi, dan kardiologi dari Eropa dan
Amerika Utara berkumpul bersama-sama pada tahun 2000 untuk
membentuk konsensus dalam klasifikasi dan pengobatan pasien dengan
PAD. Fokusnya adalah untuk memberikan rekomendasi dalam
epidemiologi PAD, evaluasi klinis, diagnosis, pengobatan, dan follow-up
pasien dengan klaudikasio intermiten, ALI, dan CLI. Dokumen yang
dihasilkan disebut sebagai Trans-Atlantic Inter-Society Consensus
Document (TASC).113 Pada tahun 2007, konsensus telah diperbarui dan
melibatkan perwakilan tambahan dari Australia, Afrika Selatan, dan
Jepang dan disebut sebagai TASC II.63 TASC II komprehensif dalam
meninjau hal yang berkaitan dengan PAD hingga 2007.

2.2.2.2. Klasifikasi Anatomi TASC

35
TASC II membagi distribusi anatomi lesi menjadi aorto-iliaca dan
femoral popliteal. Pola lesi dikelompokkan menjadi grup A – D.
Berdasarkan rekomendasi kelompok ini, TASC A lesi adalah kasus yang
memiliki hasil yang sangat baik dari manajemen endovaskular saja. Lesi
TASC B adalah kasus yang harus memiliki hasil yang baik dari
manajemen endovaskular, namun intervensi endoluminal harus menjadi
pendekatan pengobatan pertama. Lesi TASC C adalah kasus yang
manajemen pembedahannya menyediakan hasil jangka panjang yang baik
dan teknik endovaskular harus disediakan untuk pasien yang berisiko
tinggi dengan pembedahan. Sementara, lesi TASC D harus ditatalaksana
dengan operasi terbuka. Sementara TASC II menyediakan kerangka kerja
untuk membandingkan teknik terapeutik, kemajuan teknik endovaskular
telah menyebabkan banyak percobaan yang menunjukkan bahwa
manajemen endovaskular dari TASC II C dan lesi D adalah pengobatan
alternatif yang potensial.114-123

TABEL II.8 Klasifikasi TASC II


TASC A TASC B TASC C TASC D
Aortoiliaca - Stenosis - Stenosis pendek - Oklusi bilateral - Oklusi
unilateral atau (≤3 cm) pada CIA aortoiliaca
bilateral pada aortaa infrarenal - Stenosis bilateral infrarenal
CIA - Unilateral oklusi pada EIA dengan - Penyakit difusa
- Stenosis pada CIA panjang 3–10 cm, yang melibatkan
unilateral atau - Stenosis tunggal tidak sampai ke aorta dan kedua
bilateral pendek atau multipel CFA arteri iliaca
(≤3 cm) pada total panjang 3- - Stenosis unilateral - Stenosis
EIA 10cm pada EIA, pada EIA dan multipel difusa
namun tidak memanjang yang melibatkan
sampai ke CFA hingga ke CFA unilateral CIA,
- Oklusi unilateral - Oklusi unilateral EIA dan CFA
pada EIA tidak pada EIA dan - Oklusi unilateral
sampai ke iliaca memanjang dari kedua CIA
interna atau hingga pangkal dan EIA
CFA iliaca internal dan - Oklusi bilateral

36
atau CFA pada EIA
- Oklusi unilateral - Stenosis iliaca
kalsifikasi berat pada pasien
pada EIA dengan AAA yang tidak
atau tanpa bisa dilakukan
melibatkan iliaca endograft
interna atau CFA

Femoropoplitea - Stenosis - Lesi multipel - Stenosis atau - Oklusi kronik


tunggal dengan (stenosis atau oklusi multipel total pada
panjang ≤10cm oklusi), masing- dengan panjang CFA atau SFA
- Oklusi tunggal masing ≤5 cm >15 cm, dengan (>20 cm,
dengan panjang - Stenosis atau atau tanpa melibatkan
≤5 cm oklusi tunggal kalsifikasi berat arteri poplitea)
≤15 cm, tidak - Stenosis atau - Oklusi kronik
melibatkan oklusi rekuren total pada arteri
arteri poplitea setelah gagal poplitea dan
infrageniculata terapi pembuluh darah
- Oklusi unilateral trifucatio
kalsifikasi berat proximal
pada EIA
dengan panjang
≤5 cm
- Stenosis
poplitea tunggal

Dikutip dari Norgren et al. dan Jaff et al.

AAA: abdominal aortic aneurysm; CFA : common femoral artery; CIA : common iliac
artery; EIA: external iliac artery; SFA : superficial femoral artery; TASC : Trans-
Atlantic Inter-Society Consensus.

37
2.3 Kerangka Teori

Penderita dengan faktor resiko PAD :


1. Usia > 50 tahun, menderita diabetes dan atherosklerosis
(merokok,dislipidemia,hipertensi atau hiperhomosisteinemia)
2. Usia > 70 tahun
3. Gejala pada kaki saat aktivitas (curiga klaudikasio) atau nyeri iskemik saat istirahat
4. Pemeriksaan abnormal pulsasi tungkai bawah
5. Atherosklerosis koroner, karotis atau arteri renalis

Riwayat gangguan berjalan dan / atau gejala iskemik tungkai :


1. Ketidaknyamanan tungkai saat aktifitas
2. Nyeri tungkai saat istirahat, luka yang tidak sembuh, gangren

Tidak Nyeri Gejala klaudikasio klasik 1. Nyeri kaki iskemik pada Onset mendadak
nyeri kaki atipikal PAD saat aktifitas,
(lelah Tidak PAD
istirahat gejala iskemik
ketidak nyamanan, nyeri 2. Luka yang tidak sembuh tungkai atau gejala
Gambar otot pada kaki yang 3. Gangren ALI
II.12. hilang dengan istirahat
Kerangka Teori Penelitian

Lakukan Pemeriksaan Ankle Brachial Index (ABI)

2.4 Kerangka Konsep

38
ABI

ABI > 1,3 ABI : 0,91-1,3 ABI ≤ 0,9

USG doppler Treadmill Tes

normal abnormal normal abnormal

1. Usia
2. Obesitas
3. Diabetes
PAD Mellitus
4. Merokok
5. Hipertensi
6. Dislipidemia

USG doppler CT angiografi

Evaluasi lesi ekstremitas bawah


1. Aortoiliaca
2. Femoropoplitea
3. Infrapoplitea

Gambar II.13. Kerangka Konsep Penelitian

BAB III
METODE PENELITIAN

39
3.1. Desain Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian uji diagnostik yang menguji sensitivitas
dan spesifisitas ultrasonografi doppler dalam mendiagnosa PAD yang
dibandingkan dengan CT angiografi sebagai standar baku emas.

3.2. Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian ini dilakukan di Divisi Bedah Vaskular dan Endovaskular FK
UNSRI/RSMH Palembang.

3.3. Populasi, Sampel, dan Teknik Pengambilan Sampel


3.3.1. Populasi dan Sampel
Populasi adalah penduduk Sumatera Selatan, populasi terjangkau adalah
pasien PAD yang datang berobat ke Divisi Bedah Vaskular dan Endovaskular FK
UNSRI/RSMH, yang memenuhi kriteria inklusi dan kriteria eksklusi.

3.3.2. Kriteria pemilihan sampel


Kriteria Inklusi:
a. Menderita PAD yang telah di skrining awal dengan ABI
b. Bersedia menandatangani informed consent

Kriteria eksklusi:
a. Penderita yang punya riwayat amputasi tungkai
b. Penderita dengan gangguan fungsi ginjal
c. Penderita dengan riwayat alergi zat kontras
d. Wanita hamil

3.3.4. Teknik pengambilan sampel


Sampel diambil dengan teknik consecutive sampling. Semua pasien PAD
yang datang berobat ke RSMH yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.

40
3.4. Besar Sampel
Besar sampel pada penelitian ini dihitung dengan rumus :

n : Z α2 x sen x (1-sen)
d2 x p
n : (1,96)2 x 0,97 x (1-0,97)
0,152 x 0,2
n : 24,84
n : 25

n : jumlah sampel / subjek


Zα : tingkat kemaknaan (1,96)
Sen : sensitivitas dari parameter klinis = 97%141
d : tingkat ketepatan absolut yang dikehendaki = 15%
P : proporsi prevalensi PAD = 20%

3.5. Variabel Penelitian


1) Lesi aortoiliaca
2) Lesi femoropoplitea
3) Lesi infrapoplitea
4) Panjang stenosis atau oklusi
5) Jenis kelamin
6) Usia
7) Merokok
8) Indeks massa tubuh
9) Riwayat diabetes mellitus
10) Riwayat hipertensi
11) Hiperlipidemia

3.6. Definisi Operasional


Variabel Batasan Cara Penilaian Hasil Ukur Skala
Operasional

Lesi Gambaran Dilakukan Terdapat lesi atau tidak terdapat Nominal


aortoiliaca stenosis atau dengan
41
oklusi pembuluh ultrasonografi lesi
darah di doppler dan CT
aortoiliaca yang angiografi
didapat melalui
pemeriksaan
dan interpretasi

Lesi Gambaran Dilakukan Terdapat lesi atau tidak terdapat Nominal


femoropop stenosis atau dengan lesi
litea oklusi pembuluh ultrasonografi
darah di doppler dan CT
femoropoplitea angiografi
yang didapat
melalui
pemeriksaan
dan interpretasi

Lesi Gambaran Dilakukan Terdapat lesi atau tidak terdapat


Infrapoplit stenosis atau dengan lesi
ea oklusi pembuluh ultrasonografi
darah di doppler dan CT
infrapoplitea angiografi
yang didapat
melalui
pemeriksaan
dan interpretasi

Panjang Ukuran stenosis Berdasarkan Kurang dari 5cm, 5cm-10cm, atau nominal
stenosis atau oklusi ukuran stenosis lebih dari 10cm
atau oklusi terpanjang dan oklusi
dalam terpanjang yang
centimeter dinilai dari
ultrasonografi
doppler

Jenis Jenis kelamin Melihat Laki-laki atau perempuan Nominal


Kelamin yang dibedakan identitas di
menjadi dua rekam medis

Usia Usia saat Melihat 30-39 tahun, 40-49 tahun, 50-59 Nominal
dilakukan identitas di tahun, 60-69 tahun, 70-79 tahun
pemeriksaan rekam medis

Merokok Kebiasaan Klasifikasi Merokok atau tidak merokok Nominal


merokok harian perokok adalah
pasien hingga orang yang
pertama kali menghisap
42
terkena PAD rokok minimal 1
batang tiap hari
hingga pertama
kali terkena
PAD

Indeks Hasil berat Mengukur berat Underweight (kurang dari sama Nominal
Massa badan (kg) / badan pasien dengan 18,5), normalweight
Tubuh tinggi badan dengan (18,5-24,9), overweight (25,0-
(m)2 timbangan 29,9), obesitas (lebih dari sama
digital omron dengan 30)
dan tinggi badan
menggunakan
tali ukur dalam
satuan
centimeter dan
dimasukan
kedalam rumus,
hasil dibedakan
menjadi empat

Diabetes Gangguan Anamnesis, Tidak DM (HbA1c < 6,5), DM Nominal


mellitus metabolisme hasil (HbA1c ≥ 6,5)
tubuh yang laboratorium
ditandai dengan
tinggi nya kadar
gula dalam
darah

Hipertensi Tekanan darah Pemeriksaan Normotensi (sistolik dibawah Nominal


sistolik dan fisik 120, diastolik dibawah 80), pre
diastolik pasien hipertensi (sistolik 120-139,
yang diukur di diastolik 80-89), hipertensi grade
brachialis, 1 (sistolik 140-159, diastolik 90-
dibedakan 99), hipertensi grade 2 (sistolik
menjadi lebih dari sama dengan 160 dan
menurut AHA diastolik lebih dari sama dengan
2017 100)

Hiperlipid Golongan Hasil Normal (kurang dari sama dengan Nominal


emia lipoprotein yang laboratorium, 100mg/dl) atau tinggi (lebih dari
mengangkut dibedakan 100mg/dl)
kolestrol dari menjadi dua
hati ke jaringan

43
3.7. Prosedur penelitian :
Pasien PAD yang memenuhi kriteria penelitian, diterangkan mengenai
tujuan penelitian, pemeriksaan yang akan dilakukan, hasil pemeriksaan
dirahasiakan dan diminta menandatangani surat persetujuan (informed
consent). Setelah surat persetujuan ditandatangani, dilakukan pemeriksaan
jasmani umum, tekanan darah, berat badan, tinggi badan, dan nilai. Data
yang diperoleh dicatat dalam formulir penelitian dan disimpan dalam dengan
format microsoft excell. Pasien diberikan pengantar untuk dilakukan
pemeriksaan CT angiografi, hasil CT angiografi akan diolah untuk dilakukan
kesimpulan hasil pemeriksaan.

3.8. Analisis Statistik


1. Pengolahan data dilakukan dengan program SPSS 20, hasil Penelitian
ditampilkan dalam bentuk tabel-tabel.
2. Data dianalisis untuk melihat distribusi letak lesi, lokasi dan panjang
stenosis atau oklusi pembuluh darah dari hasil CT angiografi digambarkan
dalam bentuk tabel distribusi.

3.9 Rencana Tabel


3.9.1 Letak Lesi Aortoiliaca
CT Angiografi Terdapat lesi aortoiliaca Tidak terdapat lesi
USG doppler
aortoiliaca
Terdapat lesi aortoiliaca A B
Tidak terdapat lesi C D
aortoiliaca

3.9.2 Letak Lesi Femoropoplitea


CT Angiografi Terdapat lesi Tidak terdapat lesi
USG doppler
femoropoplitea femoropoplitea
Terdapat lesi A B
femoropoplitea

44
Tidak terdapat lesi C D
femoropoplitea

3.9.3 Letak Lesi Infrapoplitea


CT Angiografi Terdapat lesi Tidak terdapat lesi
USG doppler
infrapoplitea infrapoplitea
Terdapat lesi A B
infrapoplitea
Tidak terdapat lesi C D
infrapoplitea

Sensitivitas : A/A+C
Spesifisitas : D/B+D
Nilai Duga Positif : A/A+B
Nilai Duga Negatif : D/C+D
RK positif : ((A/A+C) / (B/B+D))
RK negatif : ((C/A+C) / (D/B+D))

3.10 Alur Penelitian

Pasien Curiga PAD

ABI

PAD Tidak PAD 45


Ultrasonografi
CT angiografidoppler

Lesi Aortoiliaca Lesi Infrapoplitea Lesi femoropolitea


Panjang stenosis atau oklusi

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif prospektif. Data yang


digunakan langsung dari pasien, hasil laboratorium, dan hasil rontgen. Sampel
penelitian adalah semua pasien diabetic foot ulcer yang berobat ke sub bagian
bedah vaskular dan endovaskular di RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang
pada 1 Januari 2018 hingga 31 Maret 2018. Dalam rentang waktu tersebut
terdapat 41 orang pasien yang didiagnosis sebagai diabetic foot ulcer yang
berobat ke sub bagian bedah vaskular dan endovaskular dengan data yang
lengkap.

4.1 Jenis Kelamin


Dari 41 kasus diabetic foot ulcer yang berobat ke sub bagian bedah vaskular
dan endovaskular di RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang periode 1 Januari
2018 hingga 31 Maret 2018 didapatkan penderita diabetic foot ulcer yang berobat
ke sub bagian bedah vaskular dan endovaskular dengan jenis kelamin laki-laki
yaitu sebanyak 20 orang dan perempuan sebanyak 21 orang.
46
Grafik 4.1 Distribusi pasien dengan diabetic foot ulcer berdasarkan jenis
kelamin

Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan penelitian Fauci dkk (2008)
menyebutkan salah satu faktor risiko yang bisa menyebabkan terjadinya ulkus
kaki dan amputasi yaitu penderita berjenis kelamin laki- laki. 49 hasil penelitian
yang dilakukan oleh Decroli dkk di RSUP Dr. M. Djamil Padang juga
menyebutkan bahwa penderita diabetic foot ulcer berjenis kelamin laki-laki lebih
banyak dibanding perempuan.14 Begitu juga dengan penelitian yang dilakukan
oleh Tentolouris menunjukan bahwa laki-laki lebih banyak menderita
diabetic foot ulcer di banding wanita.¹¹ Namun sesuai dengan hasil penelitian
yang dilakukan oleh Kahuripan dkk di RSUD dr. H. Abdul Moeloek Lampung
dengan menggunakan metode cross sectional secara retrospektif dari data rekam
medis pasien ulkus diabetik yang diobati sejak 1 Januari 2005 sampai 30
Mei 2009 melaporkan, penderita diabetic foot ulcer paling banyak diderita oleh
perempuan (65,3%).13

4.2 Usia
Di RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang selama periode 1 Januari 2018
hingga 31 Maret 2018, usia termuda pasien dengan diabetic foot ulcer yang
berobat ke sub bagian bedah vaskular dan endovaskular yaitu 32 tahun, sedangkan
47
usia tertua yaitu 73 tahun, dengan rerata usia penderita diabetic foot ulcer yang
berobat ke sub bagian bedah vaskular dan endovaskular yaitu 54,1 tahun.

Grafik 4.2 Distribusi pasien dengan diabetic foot ulcer berdasarkan usia

Seperti yang tersaji pada grafik di atas (Grafik 4.2), dari 41 pasien dengan
diabetic foot ulcer yang berobat ke sub bagian bedah vaskular dan endovaskular
di RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang pada periode waktu 1 Januari 2018
hingga 31 Maret 2018. Sebaran berdasarkan usia yaitu terdapat 3 pasien dalam
kelompok usia 30-39 tahun, 8 pasien dalam kelompok usia 40-49 tahun, 18 pasien
dalam kelompok usia 50-59 tahun, 10 pasien dalam kelompok usia 60-69 tahun,
dan 2 pasien dalam kelompok usia 70-79 tahun. Distribusi usia ≥ 45 tahun yaitu
sebanyak 38 pasien (86%) dan < 45 tahun sebanyak 3 pasien (14%).
Di Amerika Serikat sendiri, kasus diabetic foot ulcer yang berusia lebih
dari 60 tahun memiliki persentase lebih besar dibandingkan usia kurang dari
sama dengan 60 tahun. Senada dengan hasil penelitian Utami yang melaporkan
bahwa penderita diabetic foot ulcer kebanyakan ditemukan pada responden yang
berusia 55-60 tahun.57 Menurut Agency for Healthcare Research and Quality
(AHRQ) tahun 2008, diabetic foot ulcer paling banyak ditemukan pada kategori
usia 45-54 tahun.58 Menurut Gupta dkk , Dekade 4 dan 5 merupakan kelompok
umur yang paling umum dari penderita diabetes yang berimplikasi kepada kaki.59

48
Umur merupakan faktor risiko DM yang tidak dapat dimodifikasi dan
umur wanita pada rentang usia menopause (40-45 tahun) akan mempercepat
penurunan produksi esterogen dan resistensi insulin. Semakin cepat wanita
menopause maka semakin berisiko terhadap diabetes mellitus tipe 2. Pada
wanita post menopause adanya gangguan metabolisme, obesitas, dan gangguan
hormone steroid meningkatkan kejadian sindroma metabolik, DM tipe 2 ,
penyakit kardiovaskular, dan keganasan.53,60,61,62

4.3 Kebiasaan Merokok


Di RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang selama periode 1 Januari 2018
hingga 31 Maret 2018, kebiasaan merokok yang menjadi faktor risiko pada pasien
diabetic foot ulcer didapatkan pada 17 orang pasien merokok, sedangkan pada 24
pasien lainnya tidak merokok.

Grafik 4.3 Distribusi pasien dengan diabetic foot ulcer berdasarkan


kebiasaan merokok

Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan Norwood (2011) yang menyatakan
riwayat merokok merupakan salah satu faktor risiko penyebab terjadinya diabetic
49
foot ulcer.63 Hasil penelitian ini juga tidak sesuai dengan Baker dkk (2005), pasien
diabetes melitus yang memiliki riwayat atau kebiasaan merokok berisiko 10-16
kali lebih besar terjadinya peripheral arterial disease. Sumbatan pada pembuluh
darah mengakibatkan penurunan jumlah sirkulasi darah pada kaki dan
menurunkan jumlah oksigen yang dikirim ke jaringan dan menyebabkan
iskemia dan ulserasi atau diabetic foot ulcer.30

4.4 Indeks Massa Tubuh


Di RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang selama periode 1 Januari
2018 hingga 31 Maret 2018, hasil hitung indeks massa tubuh pasien diabetic foot
ulcer adalah tidak ada penderita dengan kategori underweight, 11 orang dengan
kategori normoweight, 28 orang dengan kategori overweight, 2 orang dengan
kategori obesitas.

Grafik 4.4 Distribusi pasien dengan diabetic foot ulcer berdasarkan indeks
massa tubuh

Hasil penelitian ini sesuai dengan temuan penelitian Mariam dkk yang
menunjukkan bahwa pasien diabetes dengan overweight 2,1 kali lebih beresiko
terkena diabetic foot ulcer dibandingkan dengan mereka yang memiliki berat
badan normal [AOR = 2,1; 95% CI: 1.15, 3.10].64 Hal ini sesuai dengan penelitian
yang dilakukan di Ethiopia, Kenya, dan Nigeria.65,66,67 Alasan yang mungkin

50
terjadi karena adanya tekanan kaki yang lebih tinggi pada badan yang lebih berat
dan dengan pasien diabetes dengan indeks massa tubuh (BMI) yang lebih tinggi
serta obesitas dan kelebihan berat badan dapat menurunkan secara intensif pola
sirkulasi darah normal pada ekstremitas bawah; Akibatnya, ini bisa menyebabkan
timbulnya diabetic foot ulcer.

4.5 Lama Menderita DM


Di RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang selama periode 1 Januari 2018
hingga 31 Maret 2018, tercatat 14 orang pasien menderita diabetes mellitus
kurang dari sama dengan 5 tahun dan 27 orang pasien menderita diabetes mellitus
lebih dari 5 tahun.

Grafik 4.5 Distribusi pasien dengan diabetic foot ulcer berdasarkan lama
menderita DM
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian di India oleh Shahi tahun 2012
pada 678 pasien diabetes melltius menunjukkan hasil lama menderita diabetes
melitus ≥ 5 tahun merupakan faktor risiko terjadinya ulkus diabetikum. Hasil
penelitian ini sesuai dengan penelitian Shahi dkk yang menyatakan pasien
diabetic foot ulcer lebih banyak terjadi pada pasien dengan lama DM ≥ 5 tahun. 69
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Boyko yang mendapatkan bahwa
pasien diabetic foot ulcer rata-rata mengalami DM selama 11.4 tahun. 70 Menurut
Mayfield dkk, lama DM ≥ 5 tahun merupakan faktor risiko terjadiya diabetic foot
51
ulcer karena neuropati cenderung terjadi sekitar 5 tahun lebih atau sama dengan
setelah menderita DM.71 Hal tersebut dikarenakan semakin lama menderita DM
maka kemungkinan terjadinya hiperglikemia kronik semakin besar. Hiperglikemia
kronik dapat menyebabkan komplikasi DM yaitu retinopati, nefropati, PJK, dan
diabetic foot ulcer.

4.6 Hipertensi
Di RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang selama periode 1 Januari 2018
hingga 31 Maret 2018, tercatat 17 orang tidak punya riwayat hipertensi, 7 orang
dengan pre hipertensi, 11 orang dengan hipertensi grade 1, 6 orang dengan
hipertensi grade 2.

Grafik 4.6 Distribusi pasien dengan diabetic foot ulcer berdasarkan riwayat
hipertensi

52
Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan penelitian Chuan dkk pada 364
pasien DFU menunjukkan hasil pasien dengan hipertensi terdapat 179 orang dan
pasien tanpa hipertensi terdapat 185 orang.

4.7 Gagal Ginjal Kronik


Di RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang selama periode 1 Januari 2018
hingga 31 Maret 2018, tercatat 20 orang tanpa gagal ginjal kronik, 2 orang dengan
gagal ginjal grade 1, 4 orang dengan gagal ginjal grade 2, 8 orang dengan gagal
ginjal grade 3, 4 orang dengan gagal ginjal grade 4, 3 orang dengan gagal ginjal
grade 5.

Grafik 4.7 Distribusi pasien dengan diabetic foot ulcer berdasarkan gagal
ginjal kronik

Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan penelitian Chuan dkk pada 364
pasien DFU menunjukkan hasil pasien dengan gagal ginjal kronik terdapat 156
orang dan pasien tanpa gagal ginjal kronik terdapat 208 orang.

4.8 Nilai HbA1C


Di RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang selama periode 1 Januari 2018
hingga 31 Maret 2018, dari hasil pemerikasaan HbA1C didapatkan hasil tidak ada
orang dengan hasil HbA1C normal dan 41 orang dengan hasil HbA1C tinggi.

53
Grafik 4.8 Distribusi pasien dengan diabetic foot ulcer berdasarkan nilai
HbA1C

Hiperglikemia berpengaruh terhadap perkembangan komplikasi diabetes


melalui beberapa jalur metabolisme yang berlangsung didalam tubuh. 72 Pada
orang dengan pengendalian glukosa darah yang buruk berkemungkinan 5,8 kali
untuk terjadinya diabetic foot ulcer dibandingkan dengan orang yang
mengendalikan glukosa darahnya dengan baik. Pengendalian kadar gula darah
penting dilakukan dengan pemeriksaan HbA1c minimal 2 x setahun disamping
tetap mengikuti tatalaksana DM dengan baik.73 Pengendalian kadar gula darah
berpengaruh terhadap terjadinya infeksi. Disamping itu infeksi juga dapat
memperburuk kendali glukosa darah. Kadar glukosa darah yang tinggi akan
meperburuk kondisi infeksi.74

4.9 Nilai LDL


Di RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang selama periode 1 Januari 2018
hingga 31 Maret 2018, dari hasil pemerikasaan LDL didapatkan hasil 26 orang
dengan hasil LDL normal dan 15 orang dengan hasil LDL tinggi.

54
Grafik 4.9 Distribusi pasien dengan diabetic foot ulcer berdasarkan nilai LDL

Hasil Penelitian ini sesuai dengan penelitian Chuan dkk, dari 364 pasien
didapatkan 179 orang dengan nilai LDL tinggi dan 185 orang dengan LDL
normal.76
Hiperlipidemia pada penderita DM merupakan salah satu penyebab
disfungsi endotel dan meningkatkan produksi radikal bebas oksigen yang
menonaktifkan nitrit oksida, sehingga LDL-C akan tertimbun dalam lapisan
intima ditempat meningkatnya permeabilitas endotel.89
Akumulasi LDL-C di dinding vaskular pada lapisan intima ditambah lagi
dengan perubahan kimiawi lemak yang di picu oleh radikal bebas di dinding arteri
akan menghasilkan LDL-C teroksidasi yang berperan dan mempercepat timbulnya
plak ateromatosa.89,90
Growth factor dan growth hormon menstimulasi proliferasi dan migrasi
makrofag dan sel otot polos vaskular membentuk plak atersklerosis. Proliferasi sel
otot polos dan pengendapan matriks ekstra sel di intima mengubah bercak
perlemakan menjadi ateroma fibrofatty matang dan berperan menyebabkan
pertumbuhan lesi aterosklerotik dan membentuk plak aterosklerosis.90,91
Hal ini menyebabkan terjadinya proses makroangiopati pada pembuluh
darah sehingga sirkulasi jaringan menurun yang ditandai oleh hilang atau
berkurangnya denyut nadi pada arteri dorsalis pedis, tibialis dan poplitea, kaki

55
menjadi atrofi, dingin dan kuku menebal. Kelainan selanjutnya terjadi nekrosis
jaringan sehingga timbul ulkus yang biasanya dimulai dari ujung kaki atau
tungkai.92

4.10 Hasil Rontgen Pedis


Di RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang selama periode 1 Januari 2018
hingga 31 Maret 2018, dari hasil pemeriksaan rontgen pedis didapatkan hasil 16
orang terdiagnosis osteomielitis dan 25 orang terdiagnosis tidak osteomielitis.

Grafik 4.10 Distribusi pasien dengan diabetic foot ulcer berdasarkan hasil
rontgen pedis
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Rodrigues dkk yang
mengidentifikasi faktor risiko Lower Limb Amputation (LLB) pada penderita
diabetic foot ulcer salah satunya adalah riwayat osteomielitis.75 Sehingga
osteomielitis bisa dijadikan salah satu pertimbangan untuk menentukan prognosis
dari diabetic foot ulcer.

4.11 PEDIS Score

56
Di RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang selama periode 1 Januari 2018
hingga 31 Maret 2018, dari pemeriksaan perfusion didapatkan hasil 6 orang tidak
menderita PAD, 23 orang menderita PAD, 12 orang menderita CLI, dari hasil
pemeriksaan extent didapatkan hasil 1 orang dengan skin intact, 4 orang dengan
luka kurang dari 1cm2, 19 orang dengan luka 1cm2 sampai 3cm2, 17 orang dengan
luka lebih dari 3cm2, dari pemeriksaan depth didapatkan hasil tidak ada orang
dengan kedalaman luka skin intact, 8 orang dengan kedalaman luka superficial, 24
orang dengan kedalaman luka pada fascia atau otot atau tendon, 9 orang dengan
kedalaman luka pada tulang atau sendi, dari pemeriksaan infection didapatkan
hasil 2 orang tidak infeksi, 17 orang dengan infeksi pada permukaan luka, 19
orang dengan infeksi abses, 3 orang dengan infeksi SIRS, dari pemeriksaan
sensation didapatkan hasil 9 orang dengan masih ada sensasi, 32 orang dengan
hilang sensasi. Dengan PEDIS score lebih dari sama dengan 7 didapatkan 28
orang dan PEDIS score kurang dari 7 didapatkan 13 orang.

Grafik 4.11.1 Distribusi pasien dengan diabetic foot ulcer berdasarkan PEDIS
score kategori perfusion

57
Grafik 4.11.2 Distribusi pasien dengan diabetic foot ulcer berdasarkan PEDIS
score kategori extent

Grafik 4.11.3 Distribusi pasien dengan diabetic foot ulcer berdasarkan PEDIS
score kategori depth

58
Grafik 4.11.4 Distribusi pasien dengan diabetic foot ulcer berdasarkan PEDIS
score kategori infection

Grafik 4.11.5 Distribusi pasien dengan diabetic foot ulcer berdasarkan PEDIS
score kategori sensation

59
Grafik 4.11.6 Distribusi pasien dengan diabetic foot ulcer berdasarkan PEDIS
score

Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan hasil penelitian Chuan dkk
menjelaskan dari pemeriksaan perfusion penderita diabetic foot ulcer yang tidak
PAD adalah kasus terbanyak, diikuti yang mengalami PAD dan CLI. Hasil
penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Chuan dkk menjelaskan dari
pemeriksaan extent didapatkan luas luka 1cm2-3cm2 adalah kasus terbanyak,
diikuti luas luka lebih dari 3cm2, kurang dari 1cm2, skin intact. Hasil penelitian ini
sesuai dengan hasil penelitian Chuan dkk menjelaskan dari pemeriksaan depth
didapatkan kedalaman luka fascia atau otot atau tendon adalah kasus terbanyak,
diikuti tulang atau sendi, superficial, skin intact. Hasil penelitian ini tidak sesuai
dengan hasil penelitian Chuan dkk menjelaskan dari pemeriksaan infection
didapatkan infeksi pada permukaan luka adalah kasus terbanyak, diikuti dengan
infeksi abses, infeksi SIRS, dan tidak mengalami infeksi. Dari pemeriksaan
sensation didapatkan hasil penderita dengan hilang sensasi adalah kasus
terbanyak, diikuti dengan yang masih ada sensasi.76
Hasil penelitian Chuan dkk menjelaskan Larger Extent (OR, 2,461, 95% CI,
1,373-4,412, P = 0,002), Deeper wound (OR, 12,494, 95% CI, 4,076-38,297, P
<0,001), Severe Infection (OR, 7,202 , 95% CI, 3,407-15,224, P <0,001), dan Loss

60
Sensation (OR, 9,545, 95% CI, 3,184-28,611, P <0,001) berpengaruh dalam
meningkatkan kejadian diabetic foot ulcer.76
Diabetic foot ulcer merepresentasikan kondisi patologis yang heterogen,
yang disebabkan oleh berbagai faktor etiologi pada populasi pasien yang
beragam.77 Lawrence dkk78 menunjukkan hubungan antara tingkat keparahan
infeksi dan angka kejadian untuk amputasi, namun faktor lain yang terkait dengan
efek samping tidak dijelaskan. Selain itu, Oyibo dkk 79 dan penelitian sebelumnya
menjelaskan kejadian diabetic foot ulcer dipengaruhi oleh suplai darah, adanya
infeksi, kedalaman ulkus dan luas luka. Sistem klasifikasi PEDIS berisi lima
kategori yang membahas relevansi klinis pasien, dan dari data pengamatan ini
menunjukan bahwa peningkatan keparahan setiap subkategori berkorelasi dengan
hasil akhir diabetic foot ulcer. Selain itu, dengan analisis multivariat, data
penelitian menunjukkan bahwa kelima kategori memiliki dampak independen
terhadap hasil akhir diabetic foot ulcer. Kecenderungan nilai dan independensi
faktor-faktor ini mendukung nilai klinis dari sistem klasifikasi PEDIS dalam
memprediksi hasil klinis. 1,80,81
Banyak sistem skor diabetic foot ulcer telah dipakai dengan tujuan untuk
memfasilitasi keputusan klinis yang cepat dan akurat. Monteiro dkk82
menggunakan analisis kurva ROC untuk menilai keakuratan sistem diagnostik
yang berbeda untuk diagnostik diabetic foot ulcer dan menganggapnya sebagai
metode terbaik untuk mengukur sistem penilaian diabetic foot ulcer.83,84 Selain
analisis kurva ROC, Monteiro dkk juga menggunakan nilai AUC untuk
memastikan keakuratan diagnostik sistem skor PEDIS untuk memprediksi hasil
diabetic foot ulcer. Hasil penelitian Monteiro dkk menunjukkan bahwa sistem
skor PEDIS juga memiliki kemampuan yang sangat baik untuk memprediksi hasil
diabetic foot ulcer. Selain itu, penelitian Chuan dkk menunjukkan bahwa nilai
kategori PEDIS dengan skor 7 atau lebih diasosiasikan dengan kemungkinan
kesulitan penyembuhan yang jauh lebih besar. Chuan dkk menjelaskan bahwa
sistem skor PEDIS harus diterapkan secara luas dalam praktik klinis.76

61
BAB V
RINGKASAN

1. Selama rentang waktu antara 1 Januari 2018 hingga 31 Maret 2018 di RSUP
Dr. Mohammad Hoesin Palembang didapatkan 41 penderita diabetic foot
ulcer dengan data rekam medik yang lengkap.
2. Distribusi penderita diabetic foot ulcer berjenis kelamin laki-laki berjumlah
20 (48,8%) orang dan perempuan berjumlah 21 (51,2%) orang.
3. Usia termuda pasien dengan diabetic foot ulcer adalah 32 tahun. Sedangkan
usia tertua adalah 73 tahun. Dengan rerata usia 54,1 tahun.
4. Penderita diabetic foot ulcer dalam penelitian ini terdapat 17 (41,5%) orang
pasien dengan kebiasaan merokok dan 24 (58,5%) pasien lainnya tidak
merokok.
5. Penderita diabetic foot ulcer dalam penelitian ini dengan kategori indeks
massa tubuh tidak ada penderita dengan kategori underweight, 11 orang

62
dengan kategori normoweight, 28 orang dengan kategori overweight, 2
orang dengan kategori obesitas.
6. Lama menderita diabetes mellitus didapatkan 14 orang pasien menderita
diabetes mellitus kurang dari sama dengan 5 tahun dan 27 orang pasien
menderita diabetes mellitus lebih dari 5 tahun.
7. Hipertensi didapatkan 17 orang tidak punya riwayat hipertensi, 7 orang
dengan pre hipertensi, 11 orang dengan hipertensi grade 1, 6 orang dengan
hipertensi grade 2.
8. Gagal Ginjal Kronik didapatkan 20 orang tanpa gagal ginjal kronik, 2 orang
dengan gagal ginjal kronik grade 1, 4 orang dengan gagal ginjal kronik
grade 2, 8 orang dengan gagal ginjal kronik grade 3, 4 orang dengan gagal
ginjal kronik grade 4, 3 orang dengan gagal ginjal kronik grade 5.
9. Hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan penderita diabetic foot ulcer
pada penelitian ini tidak ada orang dengan hasil Hba1c < 6,5 dan 41 orang
dengan hasil Hba1c ≥ 6,5.
10. Hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan penderita diabetic foot ulcer
pada penelitian ini 26 orang dengan nilai LDL ≤ 100 dan 15 orang dengan
nilai LDL > 100.
11. Hasil pemeriksaan rontgen pedis penderita diabetic foot ulcer pada
penelitian ini didapatkan hasil 16 orang terdiagnosis osteomielitis dan 25
orang terdiagnosis tidak osteomielitis.
12. Hasil pemeriksaan PEDIS score, perfusion didapatkan hasil 6 orang tidak
menderita PAD, 23 orang menderita PAD, 12 orang menderita CLI, dari
hasil pemeriksaan extent didapatkan hasil 1 orang dengan skin intact, 4
orang dengan luka kurang dari 1cm2, 19 orang dengan luka 1cm2 sampai
3cm2, 17 orang dengan luka lebih dari 3cm2, dari pemeriksaan depth
didapatkan hasil tidak ada orang dengan kedalaman luka skin intact, 8 orang
dengan kedalaman luka superficial, 24 orang dengan kedalaman luka pada
fascia atau otot atau tendon, 9 orang dengan kedalaman luka pada tulang
atau sendi, dari pemeriksaan infection didapatkan hasil 2 orang tidak infeksi,
17 orang dengan infeksi pada permukaan luka, 19 orang dengan infeksi
abses, 3 orang dengan infeksi SIRS, dari pemeriksaan sensation didapatkan
63
hasil 9 orang dengan masih ada sensasi, 32 orang dengan hilang sensasi.
Dengan PEDIS score lebih dari sama dengan 7 didapatkan 28 orang dan
PEDIS score kurang dari 7 didapatkan 13 orang.

64

Anda mungkin juga menyukai