PENDAHULUAN
2
Mengetahui sensitivitas dan spesifisitas ultrasonografi doppler
dibandingkan dengan CT angiografi sebagai standar baku emas dalam
mendiagnosa peripheral arterial disease (PAD) di RSUP Dr.
Mohammad Hoesin.
1. 3. 2 Tujuan Khusus
a. Mendiagnosa lesi pembuluh darah penderita peripheral
arterial disease (PAD) berdasarkan ultrasonografi doppler
3
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk klinisi kesehatan dalam
mendiagnosa PAD dengan akurat, mudah dan non invasif
b. Sebagai data epidemiologi mengenai karakteristik lesi pembuluh darah pada
pasien PAD di RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang.
c. Sebagai pertimbangan efesiensi biaya untuk penegakan diagnosa PAD
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
4
Sekitar 20% dari populasi di dunia menderita PAD, dan
prevalensinya sama pada pria dan wanita.23 Terdapat hubungan yang kuat
antara usia lanjut dan prevalensi PAD. Hampir 25% orang dewasa yang
berusia lebih dari 70 tahun menderita PAD.24 Pada populasi lansia dengan
hipertensi dari hipertensi sistolik pada perkumpulan lansia, prevalensi PAD
adalah 38% pada pria kulit hitam, 25% pada pria kulit putih, 41% pada
wanita kulit hitam, dan 23% pada wanita kulit putih.
5
bawah, yang gejalanya diperberat dengan beraktifitas dan berkurang
dengan istirahat. CLI didefinisikan oleh nyeri iskemik kronis, nyeri saat
istirahat di malam hari, atau lesi pada kulit dengan manifestasi ulkus atau
gangren.30 Gejala biasanya muncul paling sedikit selama 2 minggu. ALI
mengacu pada pasien dengan penurunan aliran darah ekstremitas
mendadak yang menyebabkan ancaman langsung terhadap viabilitas
tungkai.30 Gejalanya dapat terjadi hingga 2 minggu sejak timbulnya
gejala. ALI ditandai dengan "6 Ps" Pain, Paralysis, Paresthesia,
Pulselessness, Poikilothermia, and Pallor.
6
menyebabkan klaudikasio pada betis; obstruksi aortoiliaca menyebabkan
klaudikasio paha, pinggul, atau bokong).
Nyeri iskemik saat istirahat biasanya dimulai dari distal di jari kaki
dan kaki, lebih buruk jika posisi kaki harus diangkat (misalnya, pada
malam hari ketika pasien di tempat tidur), dan lega dengan
ketergantungan (menggantung kaki di sisi tempat tidur, berdiri atau duduk
di kursi). Ketika tingkat iskemia memburuk, pasien akan mengalami
parestesia, ekstremitas yang dingin, kelemahan otot, dan kekakuan sendi
kaki dan pergelangan kaki (Tabel II.1).
7
Kondisi paling umum yang terkait dengan gejala-gejala yang
mungkin dibiaskan dengan klaudikasio adalah stenosis spinal atau
radikulopati lumbal. Lebih lanjut, pasien lanjut usia mungkin mengalami
PAD dari aterosklerosis dan stenosis spinal (pseudoklaudikasio). Hanya
dengan riwayat yang jelas seseorang dapat membedakan mana dari dua
kondisi umum ini yang menyebabkan gejala pada penderita (Tabel II.2).33
2.1.4.1 Usia
8
Orang yang berusia 65 tahun atau lebih dalam Framingham Heart
Study dengan prevalensi 9% dan orang yang berusia 70 tahun atau lebih
dalam Natioanl Heart and Nutrition Examination Survey (NHANES)
dengan prevalensi 14% berada pada risiko yang meningkat untuk
terjadinya PAD.6 Prevalensi adalah 4,3% pada orang dengan usia lebih dari
40 tahun dibandingkan dengan 14,5% pada orang dengan usia lebih dari 70
tahun.40
2.1.4.2 Merokok
9
diabetes atau gangguan toleransi glukosa (20,6%) dibandingkan mereka
yang normal (12,5%). Diabetes mellitus adalah faktor risiko yang lebih
kuat untuk PAD pada wanita daripada pria, dan prevalensi PAD lebih
tinggi pada populasi diabetes Afrika-Amerika dan Hispanik. 45-48 Diabetes
(dan perawatan kaki yang buruk) adalah penyebab paling umum amputasi
di Amerika Serikat.45
2.1.4.4 Hiperlipidemia
2.1.4.5 Hipertensi
ABI normal adalah antara 1,00 dan 1,40. Nilai ABI ≤ 0,90
menunjukkan sensitivitas 90% dan spesifisitas 95% untuk PAD dan
merupakan nilai batas yang diterima untuk diagnosis.61,62 Nilai antara 0,91
dan 1,00 dianggap nilai borderline ; namun, angka kejadian
kardiovaskular untuk ABI dalam rentang ini meningkat 10% hingga
20%.61 Pada tingkat> 1,40, identifikasi PAD tidak akurat karena adanya
kalsifikasi arteri dan nonkompresibilitas pembuluh darah, temuan yang
sering dijumpai pada orang lanjut usia dan pada mereka dengan diabetes
dan penyakit ginjal kronis. Indeks toe-brachial digunakan dan dianggap
tidak normal ketika <0,70.61,63 Ada hubungan yang kuat dan konsisten
antara ABI abnormal dan adanya penyakit koroner atau
serebrovaskular.34,64,65
11
dengan riwayat medis, pemeriksaan sistem kardiovaskular, dan
pemeriksaan fisik terfokus di mana seseorang harus:
• Periksa kaki dan kaki untuk memeriksa kulit yang menipis, rambut
rontok, penebalan kuku (yang merupakan tanda-tanda nonspesifik), dan
ulserasi.
13
INFORMATION BASED ON 2011 Writing Group Members; 2005 Writing Committee Members; ACCF/AHA Task Force
Members. 2011 ACCF/AHA Focused Update of the Guide-line for the Management of patients with peripheral artery disease (updating
the 2005 guideline): a report of the American College of Cardiology Foundation/ American Heart Association Task Force on practice
guidelines. Circulation 2011; 124:2020–2045.
Nilai Interpretasi
Pada pasien yang diduga kuat memiliki penyakit arteri perifer tetapi
memiliki indeks ankle-brachial normal saat istirahat, dan terutama jika
nilai istirahat adalah nilai borderline (yaitu, 0,91-0,99), pengukuran harus
diulang setelah latihan, pemeriksaan ini sangat sensitif untuk mendeteksi
penyakit arteri perifer “ringan”.79 Dengan latihan, peningkatan aliran
15
melalui stenosis tetap menyebabkan penurunan tekanan pergelangan kaki
yang signifikan dan nilai ABI yang lebih rendah. Dalam satu penelitian, 81
Nilai ABI turun di bawah 0,9 setelah berolahraga pada 31% pasien rawat
jalan dengan gejala yang awalnya diuji normal.
16
Nilai ABI yang lebih besar dari 1,40 menunjukan klasifikasi arteri
dan tidak bisa dikompresi oleh cuff tensimeter. Ini dianggap abnormal,
meskipun tidak secara khusus mendiagnostik penyakit arteri perifer. Arteri
kaki yang tidak terkompresi merupakan hal umum pada pasien dengan
diabetes mellitus atau penyakit ginjal stadium akhir, dan juga dapat
ditemukan pada pasien obesitas.82
17
transluminal perkutan / stent) atau revaskularisasi. Beberapa dokter
secara rutin merujuk pasien mereka ke dalam program pengawasan
ultrasound setelah angioplasti atau stent, dan sebagian besar ahli bedah
melakukannya setelah operasi bypass ekstremitas bawah. Tujuan dari
program semacam itu adalah untuk mengidentifikasi masalah (dan
mencegah terjadinya) jika hal itu terjadi.87
18
Arteri poplitea dievaluasi dari tingkat lipatan lutut pada bidang
transversal dan kemudian ditelusuri secara proksimal hingga ke kanal
adduktor pada tingkat suprakondilaris tulang paha (Gambar II.3). Arteri
poplitea terlihat di bagian tengah fossa poplitea antara kepala medial dan
lateral otot-otot gastrocnemius. Evaluasi arteri tibialis posterior dapat
dimulai dari asalnya di level tibioperoneal, jika dilihat secara distal, atau
dari pergelangan kaki di belakang medial maleolus, jika dilihat secara
proksimal (Gambar II.5). Arteri peroneal dilihat sepanjang sisi lateral betis
posterior dan divisualisasikan di sepanjang tulang fibula (Gambar II.5).
19
Gambar II.3 Langkah-langkah ultrasonografi Doppler berwarna untuk ekstremitas
bawah di atas lutut, dengan posisi pasien ditunjukkan pada gambar.
Kotak persegi panjang merah adalah posisi tempat pemeriksaan USG untuk arteri
femoralis dan arteri poplitea. Angka-angka di dalam kotak mewakili langkah-
langkah umum pemeriksaan. Skema dalam kotak menunjukkan fitur USG khas
arteri dan vena di setiap pemeriksaan. GSV (greater saphenous vein); FV (femoral
vein); CFA (common femoral artery); SFA (superficial femoral artery); DFA (deep
femoral artery); SSV (small saphenous vein); POPV (popliteal vein); POPA
(popliteal artery).
Gambar II.4 Ultrasonografi Doppler warna normal pada arteri femoralis di daerah
inguinal.
A. CFA berposisi lateral ke FV pada pemeriksaan posisi transversal pada lipatan
inguinalis. Perhatikan bahwa ukuran kotak warna sekecil mungkin. B. SFA dan
DFA membentuk bentuk seperti telinga Mickey Mouse, dan FV membentuk wajah
Mickey Mouse.
20
Gambar II.5 Langkah-langkah ultrasonografi Doppler warna untuk ekstremitas
bawah di bawah lutut, dengan posisi pasien ditunjukkan pada gambar. Posterior
tibial artery (PTA) terlihat di sepanjang tibia (Ti) di sisi medial betis posterior
(kotak 1) dan di belakang medial malleolus (MM) pergelangan kaki (kotak 2).
Peroneal artery (PA) digambarkan bersama fibula (F) di sisi lateral betis posterior
dalam posisi tengkurap (kotak 3). Anterior tibial artery (ATA) dideteksi melalui
interoseus (garis putus-putus hitam) antara tibia (Ti) dan fibula (F) di sisi
anterolateral betis (kotak 4). Pada tingkat pergelangan kaki, ATA terlihat di
anterior tibia plafond (Ti) dan talus (T) (kotak 5) dan terus ke dorsalis pedis artery
(DOA) distal ke pergelangan kaki dan metatarsal artery (MA) antara tulang
metatarsal (kotak 6).
21
Gambar II.6 Sonogram Doppler berwarna dan gelombang denyut dari arteri
ekstremitas bawah normal dengan parameter.
Atas: Dalam gambar warna dari sonogram Doppler gelombang denyut, kotak
warna dimiringkan sejajar dengan sumbu arteri menggunakan tombol "steer".
Sudut Doppler (θ) adalah 60 ° dalam kasus ini dan dibentuk oleh garis pandang
Doppler (S) dan sumbu aliran arteri (a). SV, volume sampel; LT FA (left femoral
artery); PSV (peak systolic velocity); EDV (end-diastolic velocity); MDV
(minimum diastolic velocity); RI (resistivity index). RI = (PSV-EDV) / PSV.
Bawah: Pada spektrum Doppler, waktu (detik) direpresentasikan pada sumbu x.
Kecepatan aliran darah (cm / detik) ditampilkan pada sumbu y (garis putus-putus).
Arah aliran relatif terhadap transduser ditunjukkan dalam kaitannya dengan
baseline spektrum (panah). "High-Q" adalah garis biru spektrum Doppler (panah).
22
Gambar II.7 Penyesuaian ultrasonografi Doppler gelombang denyut dalam
segmen arteri stenotis. Artefak pada spektrum Doppler dapat disesuaikan dengan
menurunkan garis dasar (panah) dan meningkatkan skala. Perhatikan perluasan
spektral (panah) dalam spektrum Doppler karena stenosis arteri. Parameter untuk
Doppler color flow (CF) dan pulsed-wave (PW) adalah peak systolic velocity
(PSV) 129 cm / detik, end diastolic velocity (EDV) 15,4 cm / detik, minumum
diatolic velocity (MDV) 8,9 cm / detik, resistivity index (RI) 0,88, dan wall filter
(WF) 120 Hz dalam CF dan 60 Hz dalam PW. SV, volume sampel.
23
Gambar II.8 Seorang pria berusia 56 tahun dengan oklusi arteri. Aliran warna
tidak ada dalam arteri femoralis superfisial (panah) pada sonogram Doppler warna
pada tingkat inguinal, mewakili oklusi lengkap. Pembuluh darah merah adalah
arteri femoralis dalam dan pembuluh darah biru adalah vena femoralis yang
kolaps.
24
memindahkan transduser dengan hati-hati untuk menjaga visualisasi arteri.
USG Doppler gelombang denyut dilakukan pada bidang longitudinal.
26
terhadap transduser ditunjukkan dalam kaitannya dengan baseline
spektrum. Aliran menuju transduser diwakili oleh kecepatan positif di atas
garis dasar (Gambar II.6). "High-Q" atau kecepatan puncak adalah garis
biru yang mengelilingi spektrum Doppler. Berdasarkan gambaran ini,
kecepatan sistolik puncak (PSV), kecepatan diastolik minimum (MDV),
kecepatan diastolik akhir (EDV), dan indeks resistivitas (RI) dapat
diperoleh secara numerik (Gambar II.6,7). PSV adalah kecepatan sistolik
tertinggi, MDV adalah kecepatan diastolik terendah, dan EDV adalah
kecepatan end-diastolik tertinggi. RI adalah salah satu pengukuran populer
dari pulsatilitas yang mewakili resistensi aliran perifer. 91 Jika artefak hadir
dalam spektrum Doppler, garis dasar dapat dikurangi atau skala
ditingkatkan untuk mengoptimalkan rentang kecepatan (Gambar II.7). Itu
dapat secara otomatis dioptimalkan dengan menekan tombol "i-scan".
27
ruang yang jelas, yang dikenal sebagai jendela spektral, di bawah spektrum
Doppler.
Pada USG Doppler bewarna, jika ada oklusi di arteri, aliran warna
tidak ada di dalam lumen (Gambar II.8). Spektrum Doppler pada segmen
arteri yang sangat stenotik dan segmen arteri distal poststenotic atau post-
obstruktif diulas secara singkat di bawah ini. Kecepatan puncak sistolik
(PSV) pada segmen stenotik meningkat sampai diameter berkurang
sebesar 70%, yang sesuai dengan pengurangan 90% pada area. 95 Area
gangguan aliran yang menunjukkan perluasan spektral terjadi dalam 2 cm
di luar area stenosis karena hilangnya pola aliran laminar (Gambar II.7).
Perluasan spektral menonjol, dengan pengurangan diameter 20% -50%.
Bentuk gelombang arteri ekstremitas bawah dapat dikonversi menjadi
bentuk resistensi rendah dengan pulsatilitas rendah setelah latihan atau
sebagai akibat dari oklusi arteri yang lebih proksimal. 95 Jika bentuk
gelombang monofasik, itu berarti bahwa seluruh bentuk gelombang berada
di atas atau di bawah garis dasar spektrum Doppler, tergantung pada
28
orientasi transduser USG.91 Ini ditandai dengan pola "teredam", yang
berarti bahwa percepatan aliran sistolik melambat, kecepatan sistolik
puncak berkurang, dan aliran diastolik meningkat.96 Bentuk gelombang
monofasik ini terlihat di tempat stenotis dan di arteri distal dalam kasus
stenosis parah dengan pengurangan diameter lebih dari 50%.
30
proksimal dari lipatan inguinalis. Arteri femoralis adalah segmen pendek,
umumnya sekitar 4 cm, dan bercabang dua ke dalam arteri femoralis
superfisialis medial dan arteri femoralis dalam lateral. 111 Arteri femoralis
superfisialis turun tanpa percabangan yang menonjol antara kelompok otot
quadratrus dan adduktor di anteromedial paha. Di paha distal, arteri
femoralis superficialis memasuki kanal adduktor. Saat meninggalkan
hiatus adduktor, nama arteri menjadi arteri poplitea di fossa poplitea dan
berakhir dengan bercabang dua ke dalam arteri tibialis anterior dan
tibioperoneal pada sisi posterior proksimal betis.112
31
Gambar II.9 Anatomi arteri ekstremitas bawah pada CT angiografi
A. Pada coronal maximal intensity projection (MIP) gambar CT di atas
lutut, arteri iliaca eksternal adalah kontinu dengan arteri femoralis yang
bercabang menjadi arteri femoralis superfisialis dan arteri femoralis dalam.
SFA kontinu dengan arteri poplitea.
B. Pada gambar MIP CT koronal di bawah lutut, arteri poplitea membagi
arteri tibialis anterior dan tibioperoneal yang bercabang menjadi arteri
tibialis posterior dan arteri peroneal. Arteri iliaca utama; Arteri iliaka
internal.
Grade Gejala
34
Stage 0 Jika pasien tanpa gejala
Stage 1 Jika terdapat klaudikasio intermiten ringan
Stage 2 Jika tedapat klaudikasio intermiten sedang
Stage 3 Jika tedapat klaudikasio intermiten berat
Stage 4 Jika terdapat nyeri iskemik saat istirahat
Stage 5 Jika terdapat kehilangan jaringan minor
Stage 6 Jika tedapat ulkus atau gangren
35
TASC II membagi distribusi anatomi lesi menjadi aorto-iliaca dan
femoral popliteal. Pola lesi dikelompokkan menjadi grup A – D.
Berdasarkan rekomendasi kelompok ini, TASC A lesi adalah kasus yang
memiliki hasil yang sangat baik dari manajemen endovaskular saja. Lesi
TASC B adalah kasus yang harus memiliki hasil yang baik dari
manajemen endovaskular, namun intervensi endoluminal harus menjadi
pendekatan pengobatan pertama. Lesi TASC C adalah kasus yang
manajemen pembedahannya menyediakan hasil jangka panjang yang baik
dan teknik endovaskular harus disediakan untuk pasien yang berisiko
tinggi dengan pembedahan. Sementara, lesi TASC D harus ditatalaksana
dengan operasi terbuka. Sementara TASC II menyediakan kerangka kerja
untuk membandingkan teknik terapeutik, kemajuan teknik endovaskular
telah menyebabkan banyak percobaan yang menunjukkan bahwa
manajemen endovaskular dari TASC II C dan lesi D adalah pengobatan
alternatif yang potensial.114-123
36
atau CFA pada EIA
- Oklusi unilateral - Stenosis iliaca
kalsifikasi berat pada pasien
pada EIA dengan AAA yang tidak
atau tanpa bisa dilakukan
melibatkan iliaca endograft
interna atau CFA
AAA: abdominal aortic aneurysm; CFA : common femoral artery; CIA : common iliac
artery; EIA: external iliac artery; SFA : superficial femoral artery; TASC : Trans-
Atlantic Inter-Society Consensus.
37
2.3 Kerangka Teori
Tidak Nyeri Gejala klaudikasio klasik 1. Nyeri kaki iskemik pada Onset mendadak
nyeri kaki atipikal PAD saat aktifitas,
(lelah Tidak PAD
istirahat gejala iskemik
ketidak nyamanan, nyeri 2. Luka yang tidak sembuh tungkai atau gejala
Gambar otot pada kaki yang 3. Gangren ALI
II.12. hilang dengan istirahat
Kerangka Teori Penelitian
38
ABI
1. Usia
2. Obesitas
3. Diabetes
PAD Mellitus
4. Merokok
5. Hipertensi
6. Dislipidemia
BAB III
METODE PENELITIAN
39
3.1. Desain Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian uji diagnostik yang menguji sensitivitas
dan spesifisitas ultrasonografi doppler dalam mendiagnosa PAD yang
dibandingkan dengan CT angiografi sebagai standar baku emas.
Kriteria eksklusi:
a. Penderita yang punya riwayat amputasi tungkai
b. Penderita dengan gangguan fungsi ginjal
c. Penderita dengan riwayat alergi zat kontras
d. Wanita hamil
40
3.4. Besar Sampel
Besar sampel pada penelitian ini dihitung dengan rumus :
n : Z α2 x sen x (1-sen)
d2 x p
n : (1,96)2 x 0,97 x (1-0,97)
0,152 x 0,2
n : 24,84
n : 25
Panjang Ukuran stenosis Berdasarkan Kurang dari 5cm, 5cm-10cm, atau nominal
stenosis atau oklusi ukuran stenosis lebih dari 10cm
atau oklusi terpanjang dan oklusi
dalam terpanjang yang
centimeter dinilai dari
ultrasonografi
doppler
Usia Usia saat Melihat 30-39 tahun, 40-49 tahun, 50-59 Nominal
dilakukan identitas di tahun, 60-69 tahun, 70-79 tahun
pemeriksaan rekam medis
Indeks Hasil berat Mengukur berat Underweight (kurang dari sama Nominal
Massa badan (kg) / badan pasien dengan 18,5), normalweight
Tubuh tinggi badan dengan (18,5-24,9), overweight (25,0-
(m)2 timbangan 29,9), obesitas (lebih dari sama
digital omron dengan 30)
dan tinggi badan
menggunakan
tali ukur dalam
satuan
centimeter dan
dimasukan
kedalam rumus,
hasil dibedakan
menjadi empat
43
3.7. Prosedur penelitian :
Pasien PAD yang memenuhi kriteria penelitian, diterangkan mengenai
tujuan penelitian, pemeriksaan yang akan dilakukan, hasil pemeriksaan
dirahasiakan dan diminta menandatangani surat persetujuan (informed
consent). Setelah surat persetujuan ditandatangani, dilakukan pemeriksaan
jasmani umum, tekanan darah, berat badan, tinggi badan, dan nilai. Data
yang diperoleh dicatat dalam formulir penelitian dan disimpan dalam dengan
format microsoft excell. Pasien diberikan pengantar untuk dilakukan
pemeriksaan CT angiografi, hasil CT angiografi akan diolah untuk dilakukan
kesimpulan hasil pemeriksaan.
44
Tidak terdapat lesi C D
femoropoplitea
Sensitivitas : A/A+C
Spesifisitas : D/B+D
Nilai Duga Positif : A/A+B
Nilai Duga Negatif : D/C+D
RK positif : ((A/A+C) / (B/B+D))
RK negatif : ((C/A+C) / (D/B+D))
ABI
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan penelitian Fauci dkk (2008)
menyebutkan salah satu faktor risiko yang bisa menyebabkan terjadinya ulkus
kaki dan amputasi yaitu penderita berjenis kelamin laki- laki. 49 hasil penelitian
yang dilakukan oleh Decroli dkk di RSUP Dr. M. Djamil Padang juga
menyebutkan bahwa penderita diabetic foot ulcer berjenis kelamin laki-laki lebih
banyak dibanding perempuan.14 Begitu juga dengan penelitian yang dilakukan
oleh Tentolouris menunjukan bahwa laki-laki lebih banyak menderita
diabetic foot ulcer di banding wanita.¹¹ Namun sesuai dengan hasil penelitian
yang dilakukan oleh Kahuripan dkk di RSUD dr. H. Abdul Moeloek Lampung
dengan menggunakan metode cross sectional secara retrospektif dari data rekam
medis pasien ulkus diabetik yang diobati sejak 1 Januari 2005 sampai 30
Mei 2009 melaporkan, penderita diabetic foot ulcer paling banyak diderita oleh
perempuan (65,3%).13
4.2 Usia
Di RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang selama periode 1 Januari 2018
hingga 31 Maret 2018, usia termuda pasien dengan diabetic foot ulcer yang
berobat ke sub bagian bedah vaskular dan endovaskular yaitu 32 tahun, sedangkan
47
usia tertua yaitu 73 tahun, dengan rerata usia penderita diabetic foot ulcer yang
berobat ke sub bagian bedah vaskular dan endovaskular yaitu 54,1 tahun.
Grafik 4.2 Distribusi pasien dengan diabetic foot ulcer berdasarkan usia
Seperti yang tersaji pada grafik di atas (Grafik 4.2), dari 41 pasien dengan
diabetic foot ulcer yang berobat ke sub bagian bedah vaskular dan endovaskular
di RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang pada periode waktu 1 Januari 2018
hingga 31 Maret 2018. Sebaran berdasarkan usia yaitu terdapat 3 pasien dalam
kelompok usia 30-39 tahun, 8 pasien dalam kelompok usia 40-49 tahun, 18 pasien
dalam kelompok usia 50-59 tahun, 10 pasien dalam kelompok usia 60-69 tahun,
dan 2 pasien dalam kelompok usia 70-79 tahun. Distribusi usia ≥ 45 tahun yaitu
sebanyak 38 pasien (86%) dan < 45 tahun sebanyak 3 pasien (14%).
Di Amerika Serikat sendiri, kasus diabetic foot ulcer yang berusia lebih
dari 60 tahun memiliki persentase lebih besar dibandingkan usia kurang dari
sama dengan 60 tahun. Senada dengan hasil penelitian Utami yang melaporkan
bahwa penderita diabetic foot ulcer kebanyakan ditemukan pada responden yang
berusia 55-60 tahun.57 Menurut Agency for Healthcare Research and Quality
(AHRQ) tahun 2008, diabetic foot ulcer paling banyak ditemukan pada kategori
usia 45-54 tahun.58 Menurut Gupta dkk , Dekade 4 dan 5 merupakan kelompok
umur yang paling umum dari penderita diabetes yang berimplikasi kepada kaki.59
48
Umur merupakan faktor risiko DM yang tidak dapat dimodifikasi dan
umur wanita pada rentang usia menopause (40-45 tahun) akan mempercepat
penurunan produksi esterogen dan resistensi insulin. Semakin cepat wanita
menopause maka semakin berisiko terhadap diabetes mellitus tipe 2. Pada
wanita post menopause adanya gangguan metabolisme, obesitas, dan gangguan
hormone steroid meningkatkan kejadian sindroma metabolik, DM tipe 2 ,
penyakit kardiovaskular, dan keganasan.53,60,61,62
Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan Norwood (2011) yang menyatakan
riwayat merokok merupakan salah satu faktor risiko penyebab terjadinya diabetic
49
foot ulcer.63 Hasil penelitian ini juga tidak sesuai dengan Baker dkk (2005), pasien
diabetes melitus yang memiliki riwayat atau kebiasaan merokok berisiko 10-16
kali lebih besar terjadinya peripheral arterial disease. Sumbatan pada pembuluh
darah mengakibatkan penurunan jumlah sirkulasi darah pada kaki dan
menurunkan jumlah oksigen yang dikirim ke jaringan dan menyebabkan
iskemia dan ulserasi atau diabetic foot ulcer.30
Grafik 4.4 Distribusi pasien dengan diabetic foot ulcer berdasarkan indeks
massa tubuh
Hasil penelitian ini sesuai dengan temuan penelitian Mariam dkk yang
menunjukkan bahwa pasien diabetes dengan overweight 2,1 kali lebih beresiko
terkena diabetic foot ulcer dibandingkan dengan mereka yang memiliki berat
badan normal [AOR = 2,1; 95% CI: 1.15, 3.10].64 Hal ini sesuai dengan penelitian
yang dilakukan di Ethiopia, Kenya, dan Nigeria.65,66,67 Alasan yang mungkin
50
terjadi karena adanya tekanan kaki yang lebih tinggi pada badan yang lebih berat
dan dengan pasien diabetes dengan indeks massa tubuh (BMI) yang lebih tinggi
serta obesitas dan kelebihan berat badan dapat menurunkan secara intensif pola
sirkulasi darah normal pada ekstremitas bawah; Akibatnya, ini bisa menyebabkan
timbulnya diabetic foot ulcer.
Grafik 4.5 Distribusi pasien dengan diabetic foot ulcer berdasarkan lama
menderita DM
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian di India oleh Shahi tahun 2012
pada 678 pasien diabetes melltius menunjukkan hasil lama menderita diabetes
melitus ≥ 5 tahun merupakan faktor risiko terjadinya ulkus diabetikum. Hasil
penelitian ini sesuai dengan penelitian Shahi dkk yang menyatakan pasien
diabetic foot ulcer lebih banyak terjadi pada pasien dengan lama DM ≥ 5 tahun. 69
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Boyko yang mendapatkan bahwa
pasien diabetic foot ulcer rata-rata mengalami DM selama 11.4 tahun. 70 Menurut
Mayfield dkk, lama DM ≥ 5 tahun merupakan faktor risiko terjadiya diabetic foot
51
ulcer karena neuropati cenderung terjadi sekitar 5 tahun lebih atau sama dengan
setelah menderita DM.71 Hal tersebut dikarenakan semakin lama menderita DM
maka kemungkinan terjadinya hiperglikemia kronik semakin besar. Hiperglikemia
kronik dapat menyebabkan komplikasi DM yaitu retinopati, nefropati, PJK, dan
diabetic foot ulcer.
4.6 Hipertensi
Di RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang selama periode 1 Januari 2018
hingga 31 Maret 2018, tercatat 17 orang tidak punya riwayat hipertensi, 7 orang
dengan pre hipertensi, 11 orang dengan hipertensi grade 1, 6 orang dengan
hipertensi grade 2.
Grafik 4.6 Distribusi pasien dengan diabetic foot ulcer berdasarkan riwayat
hipertensi
52
Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan penelitian Chuan dkk pada 364
pasien DFU menunjukkan hasil pasien dengan hipertensi terdapat 179 orang dan
pasien tanpa hipertensi terdapat 185 orang.
Grafik 4.7 Distribusi pasien dengan diabetic foot ulcer berdasarkan gagal
ginjal kronik
Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan penelitian Chuan dkk pada 364
pasien DFU menunjukkan hasil pasien dengan gagal ginjal kronik terdapat 156
orang dan pasien tanpa gagal ginjal kronik terdapat 208 orang.
53
Grafik 4.8 Distribusi pasien dengan diabetic foot ulcer berdasarkan nilai
HbA1C
54
Grafik 4.9 Distribusi pasien dengan diabetic foot ulcer berdasarkan nilai LDL
Hasil Penelitian ini sesuai dengan penelitian Chuan dkk, dari 364 pasien
didapatkan 179 orang dengan nilai LDL tinggi dan 185 orang dengan LDL
normal.76
Hiperlipidemia pada penderita DM merupakan salah satu penyebab
disfungsi endotel dan meningkatkan produksi radikal bebas oksigen yang
menonaktifkan nitrit oksida, sehingga LDL-C akan tertimbun dalam lapisan
intima ditempat meningkatnya permeabilitas endotel.89
Akumulasi LDL-C di dinding vaskular pada lapisan intima ditambah lagi
dengan perubahan kimiawi lemak yang di picu oleh radikal bebas di dinding arteri
akan menghasilkan LDL-C teroksidasi yang berperan dan mempercepat timbulnya
plak ateromatosa.89,90
Growth factor dan growth hormon menstimulasi proliferasi dan migrasi
makrofag dan sel otot polos vaskular membentuk plak atersklerosis. Proliferasi sel
otot polos dan pengendapan matriks ekstra sel di intima mengubah bercak
perlemakan menjadi ateroma fibrofatty matang dan berperan menyebabkan
pertumbuhan lesi aterosklerotik dan membentuk plak aterosklerosis.90,91
Hal ini menyebabkan terjadinya proses makroangiopati pada pembuluh
darah sehingga sirkulasi jaringan menurun yang ditandai oleh hilang atau
berkurangnya denyut nadi pada arteri dorsalis pedis, tibialis dan poplitea, kaki
55
menjadi atrofi, dingin dan kuku menebal. Kelainan selanjutnya terjadi nekrosis
jaringan sehingga timbul ulkus yang biasanya dimulai dari ujung kaki atau
tungkai.92
Grafik 4.10 Distribusi pasien dengan diabetic foot ulcer berdasarkan hasil
rontgen pedis
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Rodrigues dkk yang
mengidentifikasi faktor risiko Lower Limb Amputation (LLB) pada penderita
diabetic foot ulcer salah satunya adalah riwayat osteomielitis.75 Sehingga
osteomielitis bisa dijadikan salah satu pertimbangan untuk menentukan prognosis
dari diabetic foot ulcer.
56
Di RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang selama periode 1 Januari 2018
hingga 31 Maret 2018, dari pemeriksaan perfusion didapatkan hasil 6 orang tidak
menderita PAD, 23 orang menderita PAD, 12 orang menderita CLI, dari hasil
pemeriksaan extent didapatkan hasil 1 orang dengan skin intact, 4 orang dengan
luka kurang dari 1cm2, 19 orang dengan luka 1cm2 sampai 3cm2, 17 orang dengan
luka lebih dari 3cm2, dari pemeriksaan depth didapatkan hasil tidak ada orang
dengan kedalaman luka skin intact, 8 orang dengan kedalaman luka superficial, 24
orang dengan kedalaman luka pada fascia atau otot atau tendon, 9 orang dengan
kedalaman luka pada tulang atau sendi, dari pemeriksaan infection didapatkan
hasil 2 orang tidak infeksi, 17 orang dengan infeksi pada permukaan luka, 19
orang dengan infeksi abses, 3 orang dengan infeksi SIRS, dari pemeriksaan
sensation didapatkan hasil 9 orang dengan masih ada sensasi, 32 orang dengan
hilang sensasi. Dengan PEDIS score lebih dari sama dengan 7 didapatkan 28
orang dan PEDIS score kurang dari 7 didapatkan 13 orang.
Grafik 4.11.1 Distribusi pasien dengan diabetic foot ulcer berdasarkan PEDIS
score kategori perfusion
57
Grafik 4.11.2 Distribusi pasien dengan diabetic foot ulcer berdasarkan PEDIS
score kategori extent
Grafik 4.11.3 Distribusi pasien dengan diabetic foot ulcer berdasarkan PEDIS
score kategori depth
58
Grafik 4.11.4 Distribusi pasien dengan diabetic foot ulcer berdasarkan PEDIS
score kategori infection
Grafik 4.11.5 Distribusi pasien dengan diabetic foot ulcer berdasarkan PEDIS
score kategori sensation
59
Grafik 4.11.6 Distribusi pasien dengan diabetic foot ulcer berdasarkan PEDIS
score
Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan hasil penelitian Chuan dkk
menjelaskan dari pemeriksaan perfusion penderita diabetic foot ulcer yang tidak
PAD adalah kasus terbanyak, diikuti yang mengalami PAD dan CLI. Hasil
penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Chuan dkk menjelaskan dari
pemeriksaan extent didapatkan luas luka 1cm2-3cm2 adalah kasus terbanyak,
diikuti luas luka lebih dari 3cm2, kurang dari 1cm2, skin intact. Hasil penelitian ini
sesuai dengan hasil penelitian Chuan dkk menjelaskan dari pemeriksaan depth
didapatkan kedalaman luka fascia atau otot atau tendon adalah kasus terbanyak,
diikuti tulang atau sendi, superficial, skin intact. Hasil penelitian ini tidak sesuai
dengan hasil penelitian Chuan dkk menjelaskan dari pemeriksaan infection
didapatkan infeksi pada permukaan luka adalah kasus terbanyak, diikuti dengan
infeksi abses, infeksi SIRS, dan tidak mengalami infeksi. Dari pemeriksaan
sensation didapatkan hasil penderita dengan hilang sensasi adalah kasus
terbanyak, diikuti dengan yang masih ada sensasi.76
Hasil penelitian Chuan dkk menjelaskan Larger Extent (OR, 2,461, 95% CI,
1,373-4,412, P = 0,002), Deeper wound (OR, 12,494, 95% CI, 4,076-38,297, P
<0,001), Severe Infection (OR, 7,202 , 95% CI, 3,407-15,224, P <0,001), dan Loss
60
Sensation (OR, 9,545, 95% CI, 3,184-28,611, P <0,001) berpengaruh dalam
meningkatkan kejadian diabetic foot ulcer.76
Diabetic foot ulcer merepresentasikan kondisi patologis yang heterogen,
yang disebabkan oleh berbagai faktor etiologi pada populasi pasien yang
beragam.77 Lawrence dkk78 menunjukkan hubungan antara tingkat keparahan
infeksi dan angka kejadian untuk amputasi, namun faktor lain yang terkait dengan
efek samping tidak dijelaskan. Selain itu, Oyibo dkk 79 dan penelitian sebelumnya
menjelaskan kejadian diabetic foot ulcer dipengaruhi oleh suplai darah, adanya
infeksi, kedalaman ulkus dan luas luka. Sistem klasifikasi PEDIS berisi lima
kategori yang membahas relevansi klinis pasien, dan dari data pengamatan ini
menunjukan bahwa peningkatan keparahan setiap subkategori berkorelasi dengan
hasil akhir diabetic foot ulcer. Selain itu, dengan analisis multivariat, data
penelitian menunjukkan bahwa kelima kategori memiliki dampak independen
terhadap hasil akhir diabetic foot ulcer. Kecenderungan nilai dan independensi
faktor-faktor ini mendukung nilai klinis dari sistem klasifikasi PEDIS dalam
memprediksi hasil klinis. 1,80,81
Banyak sistem skor diabetic foot ulcer telah dipakai dengan tujuan untuk
memfasilitasi keputusan klinis yang cepat dan akurat. Monteiro dkk82
menggunakan analisis kurva ROC untuk menilai keakuratan sistem diagnostik
yang berbeda untuk diagnostik diabetic foot ulcer dan menganggapnya sebagai
metode terbaik untuk mengukur sistem penilaian diabetic foot ulcer.83,84 Selain
analisis kurva ROC, Monteiro dkk juga menggunakan nilai AUC untuk
memastikan keakuratan diagnostik sistem skor PEDIS untuk memprediksi hasil
diabetic foot ulcer. Hasil penelitian Monteiro dkk menunjukkan bahwa sistem
skor PEDIS juga memiliki kemampuan yang sangat baik untuk memprediksi hasil
diabetic foot ulcer. Selain itu, penelitian Chuan dkk menunjukkan bahwa nilai
kategori PEDIS dengan skor 7 atau lebih diasosiasikan dengan kemungkinan
kesulitan penyembuhan yang jauh lebih besar. Chuan dkk menjelaskan bahwa
sistem skor PEDIS harus diterapkan secara luas dalam praktik klinis.76
61
BAB V
RINGKASAN
1. Selama rentang waktu antara 1 Januari 2018 hingga 31 Maret 2018 di RSUP
Dr. Mohammad Hoesin Palembang didapatkan 41 penderita diabetic foot
ulcer dengan data rekam medik yang lengkap.
2. Distribusi penderita diabetic foot ulcer berjenis kelamin laki-laki berjumlah
20 (48,8%) orang dan perempuan berjumlah 21 (51,2%) orang.
3. Usia termuda pasien dengan diabetic foot ulcer adalah 32 tahun. Sedangkan
usia tertua adalah 73 tahun. Dengan rerata usia 54,1 tahun.
4. Penderita diabetic foot ulcer dalam penelitian ini terdapat 17 (41,5%) orang
pasien dengan kebiasaan merokok dan 24 (58,5%) pasien lainnya tidak
merokok.
5. Penderita diabetic foot ulcer dalam penelitian ini dengan kategori indeks
massa tubuh tidak ada penderita dengan kategori underweight, 11 orang
62
dengan kategori normoweight, 28 orang dengan kategori overweight, 2
orang dengan kategori obesitas.
6. Lama menderita diabetes mellitus didapatkan 14 orang pasien menderita
diabetes mellitus kurang dari sama dengan 5 tahun dan 27 orang pasien
menderita diabetes mellitus lebih dari 5 tahun.
7. Hipertensi didapatkan 17 orang tidak punya riwayat hipertensi, 7 orang
dengan pre hipertensi, 11 orang dengan hipertensi grade 1, 6 orang dengan
hipertensi grade 2.
8. Gagal Ginjal Kronik didapatkan 20 orang tanpa gagal ginjal kronik, 2 orang
dengan gagal ginjal kronik grade 1, 4 orang dengan gagal ginjal kronik
grade 2, 8 orang dengan gagal ginjal kronik grade 3, 4 orang dengan gagal
ginjal kronik grade 4, 3 orang dengan gagal ginjal kronik grade 5.
9. Hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan penderita diabetic foot ulcer
pada penelitian ini tidak ada orang dengan hasil Hba1c < 6,5 dan 41 orang
dengan hasil Hba1c ≥ 6,5.
10. Hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan penderita diabetic foot ulcer
pada penelitian ini 26 orang dengan nilai LDL ≤ 100 dan 15 orang dengan
nilai LDL > 100.
11. Hasil pemeriksaan rontgen pedis penderita diabetic foot ulcer pada
penelitian ini didapatkan hasil 16 orang terdiagnosis osteomielitis dan 25
orang terdiagnosis tidak osteomielitis.
12. Hasil pemeriksaan PEDIS score, perfusion didapatkan hasil 6 orang tidak
menderita PAD, 23 orang menderita PAD, 12 orang menderita CLI, dari
hasil pemeriksaan extent didapatkan hasil 1 orang dengan skin intact, 4
orang dengan luka kurang dari 1cm2, 19 orang dengan luka 1cm2 sampai
3cm2, 17 orang dengan luka lebih dari 3cm2, dari pemeriksaan depth
didapatkan hasil tidak ada orang dengan kedalaman luka skin intact, 8 orang
dengan kedalaman luka superficial, 24 orang dengan kedalaman luka pada
fascia atau otot atau tendon, 9 orang dengan kedalaman luka pada tulang
atau sendi, dari pemeriksaan infection didapatkan hasil 2 orang tidak infeksi,
17 orang dengan infeksi pada permukaan luka, 19 orang dengan infeksi
abses, 3 orang dengan infeksi SIRS, dari pemeriksaan sensation didapatkan
63
hasil 9 orang dengan masih ada sensasi, 32 orang dengan hilang sensasi.
Dengan PEDIS score lebih dari sama dengan 7 didapatkan 28 orang dan
PEDIS score kurang dari 7 didapatkan 13 orang.
64