Anda di halaman 1dari 16

Makalah

ALIRAN MUTAZILAH
(Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Tugas Mata Kuliah Ilmu
Kalam)

Dosen Pengampu :

Oleh Kelompok VII :

Ardi R. Suma

JURUSAN MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SULTAN AMAI GORONTALO


BAB I
PENDAHULUAN
Banyak aliran dan mazhab yang timbul sepanjang sejarah umat Islam. Mulai
dari timbulnya aliran berlatarbelakang politik, yang kemudian aliran tersebut
berevolusi dan memicu kemunculan aliran bercorak akidah (teologi), hingga
bermacam mazhab Fikih, Ushul Fikih dan ilmu-ilmu keislaman lainnya. Jika dilihat
dengan kaca mata positif, maka beragamnya aliran dan mazhab dalam Islam itu
menunjukkan bahwa umat Islam adalah umat yang kaya dengan corak pemikiran.
Ini berarti umat Islam adalah umat yang dinamis, bukan umat yang statis dan bodoh
yang tidak pernah mau berfikir.
Namun dari semua aliran yang mewarnai perkembangan umat Islam itu,
tidak sedikit juga yang mengundang terjadinya konflik dan membawa kontroversi
dalam umat, khususnya aliran yang bercorak atau berkonsentrasi dalam membahas
masalah teologi. Satu diantara golongan/aliran itu adalah Mu’tazilah.
Berbicara perpecahan umat Islam tidaklah ada habis-habisnya, karena terus
menerus terjadi perpecahan dan penyempalan mulai dengan munculnya khowarij
dan syiah kemudian muncullah satu kelompok lain yang berkedok dan berlindung
dibawah syiar akal dan kebebasan berfikir, satu syiar yang menipu dan mengelabuhi
orang-orang yang tidak mengerti bagaimana Islam telah menempatkan akal pada
porsi yang benar. Sehingga banyak kaum muslimin yang terpuruk dan terjerumus
masuk pemikiran kelompok ini. akhirnya terpecahlah dan berpalinglah kaum
muslimin dari agamanya yang telah diajarkan Rasulullah dan para shahabat-
shahabatnya. Akibat dari hal itu bermunculanlah kebidahan-kebidahan yang
semakin banyak dikalangan kaum muslimin sehingga melemahkan kekuatan dan
kesatuan mereka serta memberikan gambaran yang tidak benar terhadap ajaran
Islam, bahkan dalam kelompok ini terdapat hal-hal yang sangat berbahaya bagi
Islam yaitu mereka lebih mendahulukan akal dan dan logika.
Oleh karena itu sudah menjadi kewajiban bagi seorang muslim untuk saling
menasehati saudaranya agar tidak terjerumus kedalam pemikiran kelompok ini
yaitu kelompok Mu’tazilah yang pengaruh penyimpangannya masih sangat terasa
sampai saat ini dan masih dikembangkan oleh para kolonialis kristen dan yahudi
dalam menghancurkan kekuatan kaum muslimin dan persatuannya.
Di era modernisasi sekarang ini mulai bermunculan pemikiran mu’tazilah dengan
nama-nama yang yang cukup menggelitik dan mengelabuhi orang yang
membacanya, mereka menamainya dengan Modernisasi pemikiran, westernasi dan
sekulerisme serta nama-nama lainnya yang mereka buat untuk menarik dan
mendukung apa yang mereka anggap benar dari pemkiran itu dalam rangka usaha
mereka menyusupkan dan menyebarkan pemahaman dan pemikiran ini. Oleh
karena itu, perlunya dibahas dan dikaji lebih dalam lagi tentang pemikiran
Mu’tazilah, dengan tujuan agar diketahui penyimpangan dan penyempalannya dari
Islam, maka dalam makalah ini kami akan membahas berbagai persoalan-
persoalan,ajaran-ajaran, atau aliran-aliran yang berada pada kaum Mu’tazilah.
BAB II
PEMBAHASAN
Pengertian dan Sejarah Munculnya Aliran Mu’tazilah
a. Pengertian
Kata mu’tazilah diambil dari bahasa Arab yaitu ‫ اعتزل‬yang aslinya adalah
kata ‫ عزل‬yang berarti memisahkan atau menyingkirakan. Menurut Ahmad Warson,
kata azala dan azzala mempunyai arti yang sama dengan kata asalnya. Arti yang
sama juga akan kita temui di munjid, meskipun ia menambahkan satu arti yaitu
mengusir.
Penambahan huruf hamzah dan huruf ta pada kata I’tazala adalah untuk
menunjukkan hubungan sebab akibat yang dalam ilmu sharf disebut dengan
muthawa’ah, yang berarti terpisah, tersingkir atau terusir. Maka bentuk pelaku yaitu
al-mu’tazilah berarti orang yang terpisah, tersingkir atau terusir.
Kenapa Hasan Bashri mengatakan “ I’tazala anna washil” bukan dengan
“in’azala anna Washil”, ini karena konotasi yang kedua menunjukakkan perpisahan
secara menyeluruh, sedangkan Washil memang hanya terpisah hanya dari
pengajian gurunya, sedangkan mereka tetap menjalin silaturrahmi hingga gurunya
wafat.
Secara harfiah kata Mu’tazilah berasal dari I’tazala yang berarti berpisah
atau memisahkan diri, yang berarti juga menjauh atau menjauhkan diri secara
teknis, istilah Mu’tazilah menunjuk ada dua golongan. Panggilan atau nama yang
mereka pilih itu yakni Ahli keadilan disebabkan mereka memberi hak asasi bagi
setiap manusia untuk menerima atau menafsirkan eksistensi dari sifat-sifat Allah
maka tidak terdapat paksaan dari Allah bahkan manusia memiliki kekuasaan Qodrat
untuk meletakkan pilihannya dalam hidup ini. Hal ini dianggap satu keadilan
dimana manusia tidak dipaksa bahkan diberi kekuasaan.
Kaum Mu`tazilah merupakan sekelompok manusia yang pernah
menggemparkan dunia Islam selam lebih dari 300 tahun akibat fatwa-fatwa mereka
yang menghebohkan, selama waktu itu pula kelompok ini telah menumpahkan
ribuan darah kaum muslimin terutama para ulama Ahlus Sunnah yang bersikukuh
dengan pedoman mereka.
Kaum Mu’tazilah adalah golongan yang membawa persoalan-persoalan
teologi yang lebih mendalam dan bersifat filosofis daripada persoalan-persoalan
yang dibawa oleh kaum Khawarij dan Murji’ah, dalam pembahasannya mereka
banyak memakai akal, sehingga mereka mendapat nama “ kaum rasionalis islam”
Sejarah munculnya aliran mu’tazilah oleh para kelompok pemuja dan aliran
mu’tazilah tersebut muncul di kota Bashrah (Iraq) pada abad ke 2 Hijriyah, tahun
105 – 110 H, tepatnya pada masa pemerintahan khalifah Abdul Malik Bin Marwan
dan khalifah Hisyam Bin Abdul Malik. Pelopornya adalah seorang penduduk
Bashrah mantan murid Al-Hasan Al-Bashri yang bernama Washil bin Atha’ Al-
Makhzumi Al-Ghozzal.
Mu’tazilah timbul berkaitan dengan peristiwa Washil bin Atha’ (80-131)
dan temannya, amr bin ‘ubaid dan Hasan al-basri, sekitar tahun 700 M. Washil
termasuk orang-orang yang aktif mengikuti kuliah-kuliah yang diberikan al-Hasan
al-Basri di msjid Basrah. suatu hari, salah seorang dari pengikut kuliah (kajian)
bertanya kepada Al-Hasan tentang kedudukan orang yang berbuat dosa besar
(murtakib al-kabair).
Mengenai pelaku dosa besar khawarij menyatakan kafir, sedangkan murjiah
menyatakan mukmin. Ketika Al-hasan sedang berfikir, tiba-tiba Washil tidak setuju
dengan kedua pendapat itu, menurutnya pelaku dosa besar bukan mukmin dan
bukan pula kafir, tetapi berada diantara posisi keduanya (al manzilah baina al-
manzilataini). setelah itu dia berdiri dan meninggalkan al-hasan karena tidak setuju
dengan sang guru dan membentuk pengajian baru. Atas peristiwa ini al-Hasan
berkata, “i’tazalna” (Washil menjauhkan dari kita). dan dari sinilah nama
mu’tazilah dikenakan kepada mereka.
b. Sebab-sebab munculnya nama Mu’tazilah
Ada beberapa versi atau pendapat yang berbeda dalam menerangkan sebab-sebab
munculnya kaum Mu’tazilah ini, yaitu :
1. Ada seorang guru besar di Baghdad, namanya Syeikh Hasan Bashri
(meninggal tahun 110 H). Di antara muridnya ada seorang yang bernama Wasil bin
Atha’ (meninggal pada tahun 131 H). Wasil bin Atha’ tidak sesuai dengan pendapat
gurunya yang mengatakan bahwa “orang Islam yang telah iman kepada Allah dan
Rasul-Nya, tetapi ia kebetulan mengerjakan dosa besar, maka orang itu tetap
muslim tetapi muslim durhaka”. lantas ia membentak, lalu keluar dari majelis
gurunya dan kemudian mengadakan majelis lain di suatu pojok dari Masjid Basrah
itu. Oleh karena ini, maka Wasil bin Atha’ dinamai kaum Mu’tazilah, karena ia
mengasingkan atau memisahkan diri dari gurunya.
2. Adapula orang mengatakan bahwa mereka dinamai Mu’tazilah ialah
karena mengasingkan diri dari masyarakat. Orang-orang Mu’tazilah ini pada
mulanya adalah orang-orang Syi’ah yang patah hati akibat menyerahnya Khalifah
Hasan bin Ali bin Abi Thalib kepada Khalifah Mu’awiyah dari bani Umayyah.
3. Versi lain dikemukakan oleh Al-Baghdadi. Ia mengatakan bahwa
Wasil dan temannya, Amr bin Ubaid bin Bab, diusir oleh Hasan Al Basri dari
majelisnya karena adanya pertikaian diantara mereka tentang masalah qadar dan
orang yang berdosa besar. Keduanya menjauhkan diri dari Hasan Al Basri dan
berpendapat bahwa orang yang berdosa besar itu tidak mukmin dan tidak pula kafir.
Oleh karena itu golongan ini dinamakan Mu’tazilah.
4. Versi lain dikemukakan Tasy Kubra Zadah yang menyatakan bahwa
Qatadah bin Da’mah pada suatu hari masuk mesjid Basrah dan bergabung dengan
majelis Amr bin Ubaid yang disangkanya adalah majlis Hasan Al Basri. Setelah
mengetahuinya bahwa majelis tersebut bukan majelis Hasan Al Basri, ia berdiri dan
meninggalkan tempat sambil berkata, “ini kaum Mu’tazilah.” Sejak itulah kaum
tersebut dinamakan Mu’tazilah.
5. Al-Mas’udi memberikan keterangan tentang asal-usul kemunculan
Mu’tazilah tanpa menyangkut-pautkan dengan peristiwa antara Wasil dan Hasan Al
Basri. Mereka diberi nama Mu’tazilah, katanya, karena berpendapat bahwa orang
yang berdosa bukanlah mukmin dan bukan pula kafir, tetapi menduduki tempat
diantara kafir dan mukmin (al-manjilah bain al-manjilatain). Dalam artian mereka
memberikan status orang yang berbuat dosa besar itu jauh dari golongan mukmin
dan kafir.
c. Pokok-Pokok Ajaran Kaum Mu’tazilah
Abu Hasan Al- Kayyath berkata dalam kitabnya Al- Intisar “Tidak ada seorang pun
yang berhak mengaku sebagai penganut Mu`tazilah sebelum ia mengakui Al- Ushul
Al- Khamsah (lima dasar) yaitu Tauhid, Al- Adl, Al- Wa`du Wal Wai`id, Amar
Ma`ruf Nahi Munkar, dan Al- Manzilah Baina Manzilatain, jika telah menganut
semua nya, maka ia penganut paham Mu`tazilah
Berikut penjelasannya masing-masing yaitu :
1. Tauhid
Memiliki arti “Penetapan bahwa Al-Quran itu adalah makhluk” sebab jika
Al-Quran bukan makhluk, berarti terjadi sejumlah zat qadiim (menurut mereka
Allah adalah Qadiim, dan jika Al-Quran adalah Qadiim, berarti syirik/ tidak
bertauhid).
Menurut mereka tauhid maknanya mengingkari sifat-sifat Allah karena
menetapkannya berarti menetapkan banyak dzat yang qadim, itu sama artinya
menyamakan mahluq dengan khaliq dan menetapkan banyak sang pencipta.
Mereka menta’wil sifat-sifat Allah dengan mengatakan sifat Allah adalah Dzat-
Nya. Sebagai contoh, Allah `Alim (maha mengetahui) maknanya ilmu Allah adalah
Dzat-Nya, dan seterusnya. Diantara sebagian konsekuensinya, mereka mengingkari
ru`yatullah di akhirat dan mengatakan Al-Qur`an itu mahluk.
Abu Al-Huzail menjelaskan apa sebenarnya yang di maksud dengan nafs al
sifat atau peniadaan sifat-sifat Tuhan. Menurut paham Wasil kepada Tuhan
diberikan sifat yang mempunyi wujud tersendiri dan kemudin melekat pada diri
tuhan. Karena dzat tuhan bersifat qadim maka apa yang melekat pada dzat itu
bersifat qadim pula. Dengan demikian sifat adalah bersifat qadim. Ini, menurut
Wasil akan membawa pada adanya dua Tuhan. Karena yang boleh bersifat qadim
hanyalah Tuhan, dengan kata lain , kalau ada sesuatu yang bersifat qadim maka
mestilah itu tuhan. Oleh karena itu, untuk memelihara kemurnian tauhid atau
keesaaan tuhan, tuhan tidak boleh dikatakan mempunyai sifat dalam arti diatas.
Ada beberapa ayat al-qur’an yang membantah kesamaan Tuhan dengan
makhluk. Namun demikian, ada juga ayat-ayat yang berkaitan dengan wajah,
tangan Tuhan dan sebagainya. Pendapat tradisional cenderung menerima ayat-ayat
tersebut itu untuk penilaian tentang wajah mereka tanpa berusaha lebih jauh untuk
menerangkan apa yang diebut dengan wajah dan sebagainya.
Mereka juga menolak paham beatific vision, yaitu pandangan bahwa tuhan
dapat dilihat di akhirat nanti (dengan mata kepala). Satu-satunya sifat tuhan yang
betul-betul tidak mungkin ada pada makhluknya adalah sifat qadim. Paham ini
mendorong mu’tazilah untuk meniadakan sifat-sifat tuhan yang mempunyai wujud
sendiri di luar dzat tuhan. Mu’tazilah menolak paham ini karena tuhan bersifat
immateri, sedangkan mata kepala bersifat materi , yang immateri hanya dapat
diterima oleh yang immateri pula. Oleh karena itu, mu’tazilah berpendapat tuhan
memang dapat dilihat di akhirat, tetapi bukan dengan mata kepala melainkan
dengan mata hati.
Selanjutnya, mu’tazilah berpendapat bahwa hanya dzat tuhan yang bersifat
qadim. Paham ini mendorong mu’tazilah untuk meniadakan sifat-sifat tuhan yang
mempunyai wujud tersendiri terpisah dari dzatnya. Apa yang oleh golongan lain
disebut sifat tuhan, seperti maha mengetahui, maha kuasa, oleh mu’tazilah sifat
tersebut disebut esensi tuhan.
Paham keesaan tuhan mu’tazilah ini bermaksud untuk memurnikan dzat
tuhan dari persaman dengan makhluknya. Dalam paham ini tampak betapa kuat
pengaruh akal dalam pemikiran yang di bangun kaum mu’tazilah itu dan ini
menjadi salah satu indikasi bahwa mu’tazilah layak memandang sebutan kaum
rasional.

2. Al-Adl
Memiliki Arti “Pengingkaran terhadap taqdir” sebab seperti kata mereka bahwa
Allah tidak menciptakan keburukan dan tidak mentaqdirkan nya, apabila Allah
menciptakan keburukan, kemudian Dia menyiksa manusia karena keburukan yang
diciptakannya, berarti Dia berbuat zalim, sedang Allah adil dan tidak berbuat zalim.
Keadilan versi mereka adalah menolak takdir karena menetapkannya berarti Allah
menzholimi hambanya. Imam Ibnu Abil Izz Al-Hanafy berkata: ” mengenahi Al
`Adl mereka menutupi dibaliknya pengingkaran takdir. Mereka mengatakan Allah
tidak menciptakan keburukan dan tidak menghukum dengan adanya perbuatan
jahat, karena jika Allah menciptakan kejahatan kemudian menyiksa mereka atas
kejahatan mereka, itu artinya Allah zholim, padahal Allah adil dan tidak zholim.
Sebagai konsekuensinya mereka menyatakan dalam (kekuasaan) kerajaan Allah
terjadi hal-hal yang tidak diinginkan Allah. Allah menginginkan sesuatu tetapi hal
itu tidak terjadi. Sebab kesesatan mereka ini adalah karena ketidak mampuan
mereka membedakan antara iradah kauniyah dengan iradah syar`iyah.
Paham ini dalah paham Qadriah yang dianjurkan Ma`bad dan Ghailan.
Tuhan kata Wasil bersifat bijksana dan adil. Ia tak dapat berbuat jahat dan zhalim.
Tidak mungkin tuhan menghendaki manusia berbuat hal-hal yang bertentangan
dengan perintahnya. Dengan demikian manusialah sendiri yang mewujudkan
perbuatan baik dan jahat, iman dan kafir serta patuh dan tidak patuhnya kepada
tuhan. Atas perbuatan-perbuatan ini manusia memperoleh balasannya. Dan untuk
mewujudkan perbutan itu tuhan memberikan daya dan kekuatan kepadanya. Tidak
mungkin tuhan menurunkan perintah kepada manusia untuk berbuat sesuatu kalau
manusia tidak punya daya dan kekuatan untuk berbuat.

3. Al- Wa`du Wal Wa`iid (terlaksananya ancaman),


Maksudnya adalah apabila Allah mengancam sebagian hamba-Nya dengan siksaan,
maka tidak boleh bagi Allah untuk tidak menyiksa-Nya dan menyelisih ancaman-
Nya, sebab Allah tidak menginginkan janji, artinya- menurut mereka Allah tidak
memaafkan orang-orang yang dikehendaki-Nya dan tidak mengampuni dosa-dosa
(selain syirik) bagi yang dikehendaki-Nya. Hal ini jelas bertentangan dengan Ahlus
Sunnah Waljama`ah.

4. Al-Manzilah Baina Manzilatain


Artinya orang yang berbuat dosa besar berarti keluar dari iman tetapi tidak masuk
kedalam kekufuran, akan tetapi ia berada dalam satu posisi antara dua keadaan
(tidak mukmin dan tidak juga kafir).
Menurut ajaran ini, orang yang berdosa besar bukan kafir, sebagaimana
disebutkan oleh kaum Khawarij, dan bukan pula mu’min sebagaimana di katakan
kaum Murji`ah, tetapi fasik yang menduduki posisi antara mu’min dan kafir. Kata
mukmin, dalam pendapat Wasil, merupkan sifat baik dan nama pujian yang tak
dapat diberikan kepada orang fasik, dengan dosa besarnya. Tetapi predikat kafir
juga tidak dapat pula diberikan kepadanya, karena di balik dosa besar ia masih
mengucapkan shahadat dan mengerjakan perbuatan baik. Orang serupa ini jika mati
belum bertaubat, akan kekal dalam neraka, hanya siksaan yang di terima lebih
ringan dari siksaan yang diterima kafir.

5. Amar Ma`ruf Nahi Munkar


yaitu bahwa mereka wajib memerintahkan golongan selain mereka untuk
melakukan apa yang mereka lakukan dan melarang golongan selain mereka apa
yang dilarang bagi mereka.
Imam Ibnu Abil ‘Izz berkata: ” adapun amar makruf nahi mungkar, mereka berkata:
” kita wajib menyuruh orang selain kita untuk melaksanakan hal yang di
perintahkan kepada kita dan mewajibkn mereka dengan apa yang wajib kita
kerjakan. Di antara kandungnnya adalah boleh memberontak dengan senjata
melawan penguasa yang dholim.
Pandangan rasional Mu’tazilah dapat dilihat juga dalam uraian mengenai
kedudukan akal dan wahyu. Dalam hal ini ada empat hal yang diperdebatkan oleh
aliran-aliran kalam yaitu 1Mengenai tentang mengetahui Tuhan.2 Kewajiban
mengetahui Tuhan. 3. Mengetahui baik dan jahat. 4.Kewajiban mengatahui baik
dan jahat.

d. Konsep Pemikiran Kalam Aliran Mu’tazilah


a. Ketauhidan
Mu’tazilah menafikan dan meniadakan Allah Ta’ala itu bersifat dengan
sifat-sifat yang azali dari ilmu, qudrat, hayat dan sebagainya sebagai dzat-Nya.
b. Dosa Besar
Orang Islam yang mengerjakan dosa besar, yang sampai matinya belum
taubat, orang tersebut dihukumi tidak kafir dan tidak pula mukmin, tetapi diantara
keduanya itu. Mereka itu dinamakan orang ”fasiq”.
c. Qadar
Mereka berpendapat : Bukanlah Allah yang menjadikan segala perbuatan
makhluk, tetapi makhluk itu sendirilah yang menjadikan dan menggerakkan segala
perbuatannya. Oleh karena itulah, mereka diberi dosa dan pahala.
d. Kedudukan Akal
Sepanjang sejarah telah diketahui bahwa kaum Mu’tazilah membentuk
madzhabnya lebih mengutamakan akal, bukan mengutamakan Al Qur’an dan
Hadist.
e. Kelompok – kelompok Mu’tazilah
Mu’tazilah berdasarkan versi mereka, terbagi menjadi dua kelompok besar :
1. Mu’tazilah Ekstrim
Yaitu, mu’tazilah yang memeaksakan faham mereka kepada orang lain.
Meskipun mayoritas kaum mu’tazilah bersikap moderat tapi ada juga yang ekstrim.
Golongan ini lahir pada masa keemasan mu’tazilah, yaitu mereka
menyalahgunakan kekuasaan Al-Ma’mun.
Golongan ini adalah yang menjunjung tinggi dasar kelima. Golongan ini dikenal
dengan nama Waidiyah (pengancam). Dalam melaksanakan dasar yang kelima ini
mereka tidak segan-segan untuk melakukan kekerasan.
2. Mu’tazilah Moderat
Mayoritas kaum mu’tazilah adalah moderat, hal inilah salah satu yang
membedakannya dengan Syi’ah maupun khawarij. Sikap moderat ini pulalah yang
menjadi salah satu kunci kelanggengan aliran ini selama kurang lebih tiga abad
lamanya.
f. Perkembangan Mu’tazilah
Pada awal perkembangannya, aliran ini tidak mendapat simpati dari umat
Islam, khususnya dikalangan masyarakat awam, karena mereka sulit memahami
ajaran-ajaran Mu’tazilah yang bersifat rasional dan filosofis. Alasan lain adalah
kaum muktazilah dinilai tidak teguh berpegang pada sunah Rasulullah dan para
sahabat.
Kelompok ini baru memperoleh dukungan yang luas, terutama dikalangan
Intelektual, yaitu pada masa pemerintahan Khalifah al-Ma’mun, penguasa
Abbasiyah (198-218H/813-833M). kedudukan Mu’tazilah semakin kuat setelah al-
Ma’mun menyatakan sebagai mazhab resmi Negara. Hal ini disebabkan karena al-
Ma’mun sejak kecil dididik dalam tradisi Yunani yang gemar akan Ilmu
pengetahuan dan filsafat.
Dalam fase kejayaannya itu, Mu’tazilah sebagai golongan yang mendapat
dukungan penguasa memaksakan ajarannya kepada kelompok lain. Pemaksaan
ajaran ini dikenal dalam sejarah dengan peristiwa mihnah. Mihnah itu timbul
sehubungan dengan paham-paham Khalq Al-Quran. Kaum Mu’tazilah berpendapat
bahwa Quran adalah kalam Allah SWT yang tersusun dari suara dan huruf-huruf.
Al-Quran itu makhluk dalam arti diciptakan Tuhan. Karena diciptakan berarti ia
sesuatu yang baru, jadi tidak kadim. Jika Al-quran itu dikatakan kadim, maka akan
timbul kesimpulan bahwa ada yang kadim selain Allah SWT dan hukumnya
Musyrik.
Khalifah al-Ma’mun menginstruksikan supaya diadakan pengujian terhadap
aparat pemerintahan (mihnah) tentang keyakinan mereka akan paham ini. Menurut
al-Ma’mun orang yang mempunyai keyakinan bahwa Al-Quran adalah kadim tidak
dapat dipakai untuk menempati posisi penting dalam pemerintahan. Dalam
pelaksanaannya, bukan hanya aparat pemerintah yang diperiksa melainkan juga
tokoh-tokoh masyarakat. Sejarah mencatat banyak tokoh dan pejabat pemerintah
yang disiksa, diantaranya Imam Hanbali, bahkan ada ulama’ yang dibunuh karena
tidak sepaham dengan ajaran Mu’tazilah. Peristiwa ini sangat menggoncang umat
Islam dan baru berakhir setelah al-Mutawakkil (memerintah 232-247H/847-861M).
Dimasa al-Mutawakkil, dominasi aliran Mu’tazilah menurun dan menjadi
semakin tidak simpatik dimata masyarakat. Keadaan ini semakin buruk setelah al-
Mutawakkil membatalkan pemakaian mazhab Mu’tazilah sebagai mazhab resmi
Negara dan menggantinya dengan aliran Asy’ariyah.
Dalam perjalanan selanjutnya, kaum Mu’tazilah muncul kembali di zaman
berkuasanya Dinasti Buwaihi di Baghdad. Akan tetapi kesempatan ini tidak
berlangsung lama.
Selama berabad-abad, kemudian Mu’tazilah tersisih dari panggung sejarah, tergeser
oleh aliran Ahlusunah waljamaah. Diantara yang mempercepat hilangnya aliran ini
ialah buku-buku mereka tidak lagi dibaca di perguruan-perguruan Islam. Namun
sejak awal abad ke-20 berbagai karya Mu’tazilah ditemukan kembali dan dipelajari
di berbagai perguruan tinggi Islam seperti universitas al-Azhar.

g Tokoh-Tokoh Mu’tazilah dan Pemikirannya


1. Wasil bin Atha’
Wasil bin Atha adalah orang pertama yang meletakkan kerangka dasar
ajaran Muktazilah. Adatiga ajaran pokok yang dicetuskannya, yaitu paham al-
manzilah bain al-manzilatain, paham Kadariyah (yang diambilnya dari Ma’bad dan
Gailan, dua tokoh aliran Kadariah), dan paham peniadaan sifat-sifat Tuhan. Dua
dari tiga ajaran itu kemudian menjadi doktrin ajaran Muktazilah, yaitu al-manzilah
bain al-manzilatain dan peniadaan sifat-sifat Tuhan.
2. Abu Huzail al-Allaf
Abu Huzail al-‘Allaf (w. 235 H), seorang pengikut aliran Wasil bin Atha,
mendirikan sekolah Mu’tazilah pertama di kota Bashrah. Lewat sekolah ini,
pemikiran Mu’tazilah dikaji dan dikembangkan. Sekolah ini menekankan
pengajaran tentang rasionalisme dalam aspek pemikiran dan hukum Islam. Aliran
teologis ini pernah berjaya pada masa Khalifah Al-Makmun (Dinasti Abbasiyah).
Mu’tazilah sempat menjadi madzhab resmi negara. Dukungan politik dari pihak
rezim makin mengokohkan dominasi mazhab teologi ini. Tetapi sayang, tragedi
mihnah telah mencoreng madzhab rasionalisme dalam Islam ini.
3. Abu Huzail al-Allaf
Adalah seorang filosof Islam. Ia mengetahui banyak falsafah yunani dan itu
memudahkannya untuk menyusun ajaran-ajaran Muktazilah yang bercorak filsafat.
Ia antara lain membuat uraian mengenai pengertian nafy as-sifat. Ia menjelaskan
bahwa Tuhan Maha Mengetahui dengan pengetahuan-Nya dan pengetahuan-Nya
ini adalah Zat-Nya, bukan Sifat-Nya; Tuhan Maha Kuasa dengan Kekuasaan-Nya
dan Kekuasaan-Nya adalah Zat-Nya dan seterusnya. Penjelasan dimaksudkan oleh
Abu-Huzail untuk menghindari adanya yang kadim selain Tuhan karena kalau
dikatakan ada sifat (dalam arti sesuatu yang melekat di luar zat Tuhan), berarti sifat-
Nya itu kadim. Ini akan membawa kepada kemusyrikan. Ajarannya yang lain
adalah bahwa Tuhan menganugerahkan akal kepada manusia agar digunakan untuk
membedakan yang baik dan yang buruk, manusia wajib mengerjakan perbuatan
yang baik dan menjauhi perbuatan yang buruk. Dengan akal itu pula menusia dapat
sampai pada pengetahuan tentang adanya Tuhan dan tentang kewajibannya berbuat
baik kepada Tuhan. Selain itu ia melahirkan dasar-dasar dari ajaran as-salãh wa al-
aslah.
4. Al-Jubba’i
Al-Jubba’I adalah guru Abu Hasan al-Asy’ari, pendiri aliran Asy’ariah.
Pendapatnya yang masyhur adalah mengenai kalam Allah SWT, sifat Allah SWT,
kewajiban manusia, dan daya akal. Mengenai sifat Allah SWT, ia menerangkan
bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat; kalau dikatakan Tuhan berkuasa,
berkehendak, dan mengetahui, berarti Ia berkuasa, berkehendak, dan mengetahui
melalui esensi-Nya, bukan dengan sifat-Nya. Lalu tentang kewajiban manusia, ia
membaginya ke dalam dua kelompok, yakni kewajiban-kewajiban yang diketahui
manusia melalui akalnya (wãjibah ‘aqliah) dan kewajiban-kewajiban yang
diketahui melaui ajaran-ajaran yang dibawa para rasul dan nabi (wãjibah syar’iah).
5. An-Nazzam
An-Nazzam : pendapatnya yang terpenting adalah mengenai keadilan
Tuhan. Karena Tuhan itu Maha Adil, Ia tidak berkuasa untuk berlaku zalim. Dalam
hal ini berpendapat lebih jauh dari gurunya, al-Allaf. Kalau Al-Allaf mangatakan
bahwa Tuhan mustahil berbuat zalim kepada hamba-Nya, maka an-Nazzam
menegaskan bahwa hal itu bukanlah hal yang mustahil, bahkan Tuhan tidak
mempunyai kemampuan untuk berbuat zalim. Ia berpendapat bahwa pebuatan
zalim hanya dikerjakan oleh orang yang bodoh dan tidak sempurna, sedangkan
Tuhan jauh dari keadaan yang demikian. Ia juga mengeluarkan pendapat mengenai
mukjizat al-Quran. Menurutnya, mukjizat al-quran terletak pada kandungannya,
bukan pada uslūb (gaya bahasa) dan balāgah (retorika)-Nya. Ia juga memberi
penjelasan tentang kalam Allah SWT. Kalam adalah segalanya sesuatu yang
tersusun dari huruf-huruf dan dapat didengar. Karena itu, kalam adalah sesuatu
yang bersifat baru dan tidak kadim.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Sejarah munculnya aliran Mu’tazilah oleh para kelompok pemuja dan aliran
Mu’tazilah tersebut muncul di kota Bashrah (Iraq) pada abad ke 2 Hijriyah tahun
105 – 110 H, tepatnya pada masa pemerintahan khalifah Abdul Malik Bin Marwan
dan khalifah Hisyam Bin Abdul Malik. Pelopornya adalah seorang penduduk
Bashrah mantan murid Al-Hasan Al-Bashri yang bernama Washil bin Atha’ Al-
Makhzumi Al-Ghozzal, kemunculan ini adalah karena Wasil bin Atha’ berpendapat
bahwa muslim berdosa besar bukan mukmin dan bukan kafir yang berarti ia fasik.
Imam Hasan al-Bashri berpendapat mukmin berdosa besar masih berstatus
mukmin.Inilah awal kemunculan paham ini dikarenakan perselisihan tersebut antar
murid dan Guru, dan akhirnya golongan Mu’tazilah pun dinisbahkan kepadanya.
Mu`tazilah mempunyai lima ajaran dasar, perintah bernuat baik dan larangan
berbuat jahat, dianggap sebagai kewajiban bukan oleh kaum Mu`tazilah saja, tetapi
oleh golongan-golongan umat Islam lainnya.
Aliran kaum Mu`tazilah dipandang sebagai aliran yang menyimpang dari ajaran
Islam, dan dengan demikian tak disenangi oleh sebagian umat Islam, terutama di
Indonesia. Pandangan demikian timbul karena kaum Mu`tazilah dianggap tidak
percaya kepada wahyu dan hanya mengakui kebenaran yang diperoleh rasio.
Sebagai diketahui kaum Mu`tazilah tidak hanya memakai argumen rasional, tetapi
juga memakai ayat-ayat Al-Quran dan hadist untuk menahan pendirian mereka.

DAFTAR PUSTAKA
Nasution, Harun. 1986. Teologi Islam. Jakarta: UI-Press.
Nasir Ahmad, Sahilun.2010. Pemikiran Kalam(teologi islam). Jakarta:Rajawali
pers.
Rozak Abdul, Anwar Rosihon. 2006. Ilmu Kalam. Bandung: CV Pustaka Setia
Yudi Prahara,Erwin. 2008. Buku Paket Materi PAI.Ponorogo: STAIN PERS
Sudarsono. 2004. Filsafat Islam. Jakarta : PT Rineka Cipta.
Supiana dan Karman, M. 2004. Materi Pendidikan Agama Islam. Bandung : PT
Remaja Rosdakarya.

Anda mungkin juga menyukai