Oleh :
NI LUH SUCI NOVI ARIANI
(P07120319008)
PRODI NERS
A. KONSEP TEORI
1. Pengertian
Anafilaksis adalah suatu reaksi alergi yang bersifat akut, menyeluruh dan
bisa menjadi berat. Anafilaksis terjadi pada seseorang yang sebelumnya telah
mengalami sensitisasi akibat pemaparan terhadap suatu alergen. ( Brunner dan
Suddarth.2001).
Anafilaksis adalah reaksi sistemik yang mengancam jiwa dan mendadak
terjadi pada pemajanan substansi tertentu. Anafilaksis diakibatkan oleh reaksi
hipersensitivitas tipe I , dimana terjadi pelepasan mediator kimia dari sel mast
yang mengakibatkan vasodilatasi massif, peningkatan permeabilitas kapiler, dan
penurunan peristaltic. Anafilaksis adalah suatu respons klinis hipersensitivitas
yang akut, berat dan menyerang berbagai macam organ. Reaksi hipersensitivitas
ini merupakan suatu reaksi hipersensitivitas tipecepat (reaksi hipersensitivitas tipe
I), yaitu reaksi antara antigenspesifik dan antibodi spesifik (IgE) yang terikat pada
sel mast. Sel mast dan basofil akan mengeluarkan mediator yang mempunyai efek
farmakologik terhadap berbagai macam organ tersebut. (Suzanne C. Smeltze,
2001).
Anafilaksis tidak terjadi pada kontak pertama dengan alergen. Pada pemaparan
kedua atau pada pemaparan berikutnya, terjadi suatu reaksi alergi. Reaksi ini terjadi
secara tiba-tiba, berat dan melibatkan seluruh tubuh. (Pearce C, Evelyn.2009).
Anafilaktik bifasik adalah reaksi alergi yang muncul kembali setelah
munculnya reaksi alergi pertama, padahal penderita tidak terpapar alergen lagi.
Syok anafilaktik terjadi ketika pembuluh darah di hampir seluruh bagian tubuh
melebar, sehingga menyebabkan tekanan darah rendah sampai sedikitnya 30% di
bawah tekanan darah normal orang tersebut. Diagnosis anafilaksis bifasik
ditegakkan ketika gejala di atas muncul kembali dalam waktu 1–72 jam kemudian
meskipun tidak ada kontak baru antara pasien dengan alergen. Beberapa studi
menyatakan bahwa kasus anafilaksis bifasik mencakup sampai dengan 20% kasus.
Biasanya gejala-gejala tersebut muncul kembali dalam waktu 8 jam. Reaksi kedua
tersebut diatasi dengan cara yang sama dengan anafilaksis awal.
2. Etiologi
Anafilaksis bisa tejadi sebagai respon terhadap berbagai allergen. Penyebab
yang sering ditemukan adalah:
a. Gigitan/sengatan serangga.
b. Serum kuda (digunakan pada beberapa jenis vaksin).
c. Alergi makanan
d. Alergi obat, serbuk sari dan alergen lainnya jarang menyebabkan
anafilaksis.
Anafilaksis mulai terjadi ketika alergen masuk ke dalam aliran darah dan
bereaksi dengan antibodi IgE. Reaksi ini merangsang sel-sel untuk melepaskan
histamin dan zat lainnya yang terlibat dalam reaksi peradangan kekebalan.
Beberapa jenis obat-obatan (misalnya polymyxin, morfin, zat warna untuk
rontgen), pada pemaparan pertama bisa menyebabkan reaksi anafilaktoid (reaksi
yang menyerupai anafilaksis). Hal ini biasanya merupakan reaksi idiosinkratik
atau reaksi racun dan bukan merupakan mekanisme sistem kekebalan seperti yang
terjadi pada anafilaksis sesungguhnya.
3. Klasifikasi
Klasifikasi derajat klinis reaksi hipersensitifitas/anafilaksis oleh Brown (2004)
yaitu.
4. Patofisiologi
Reaksi anafilaksis merupakan reaksi hipersensitvitas tipe I atau reaksi
cepat dimana reaksi segera muncul setelah terkena alergen. Perjalanan reaksi
ini dibagi menjadi tiga fase, yaitu fase sensitisasi, fase aktivasi, dan fase
efektor.
Fase sensitisasi dimulai dari masuknya antigen ke dalam tubuh lalu
ditangkap oleh sel imun non spesifik kemudian di fagosit dan dipersentasikan
ke sel Th2. Sel ini akan merangsang sel B untuk membentuk antibodi sehingga
terbentuklah antibodi IgE. Antibodi ini akan diikat oleh sel yang memiliki
reseptor IgE yaitu sel mast, basofil, dan eosinofil. Apabila tubuh terpajan
kembali dengan alergen yang sama, alergen yang masuk ke dalam tubuh itu
akan diikat oleh IgE dan memicu degranulasi dari sel mast. Proses ini disebut
dengan fase aktivasi.
Pada fase aktivasi, terjadi interaksi antara IgE pada permukaan sel mast
dan basofil dengan antigen spesifik pada paparan kedua sehingga
mengakibatkan perubahan membran sel mast dan basofil akibat metilasi
fosfolipid yang diikuti oleh influks Ca++ yang menimbulkan aktivasi
fosfolipase, kadar cAMP menurun, menyebabkan granul-granul yang penuh
berisikan mediator bergerak kepermukaan sel. Terjadilah eksositosis dan isi
granul yang mengandung mediator dikeluarkan dari sel mast dan basofil.
Adanya degranulasi sel mast menimbulkan pelepasan mediator inflamasi,
seperti histamin, trptase, kimase, sitokin. Bahan-bahan ini dapat meningkatkan
kemampuan degranulasi sel mast lebih lanjut sehingga menimbulkan dampak
klinis pada organ organ tubuh yang dikenal dengan fase efektor.
Hal ini menyebabkan penyempitan saluran udara, sehingga terdengar
bunyi mengi (bengek), gangguan pernafasan dan timbul gejala-gejala saluran
pencernaan berupa nyeri perut, kram, muntah dan diare. Histamin
menyebabkan pelebaran pembuluh darah (yang akan menyebabkan penurunan
tekanan darah) dan perembesan cairan dari pembuluh darah ke dalam jaringan
(yang akan menyebabkan penurunan volume darah), sehingga terjadi syok.
Cairan bisa merembes ke dalam kantung udara di paru-paru dan menyebabkan
edema pulmoner.
Seringkali terjadi kaligata (urtikaria) dan angioedema. Angioedema bisa
cukup berat sehingga menyebabkan penyumbatan saluran pernafasan.
Anafilaksis yang berlangsung lama bisa menyebabkan aritimia jantung. Pada
kepekaan yang ekstrim, penyuntikan allergen dapat mengakibatkan kematian
atau reaksi subletal.
Gambar 1. Hipersensitivitas tipe I yang mendasari Reaksi Anafilaksis
(Elseviere.com, 2009)
d. Reaksi tipe IV
Reaksi tipe ini muncul lebih dari 24 jam setelah paparan antigen, sehingga
disebut juga dengan reaksi hipersensitivitas tipe lambat. Reaksi ini dibagi menjadi
+
delayed type hypersensitivity (DTH) yang terjadi melalui peran CD4 dan T cell
+ +
mediated cytolysis dengan peran CD8 . Pada DTH, sel CD4 Th1 yang
mengaktifkan makrofag berperan sebagai sel efektor. Sel tersebut melepas sitokin
interferon gamma yang nantinya akan mengaktifkan makrofag dan menginduksi
inflamasi. Kerusakan jaringan pada reaksi tipe ini diakibatkan oleh produk
makrofag yang teraktivasi seperti enzim hidrolitik, oksigen reaktif intermediet,
oksida nitrat, dan sitokin proinflamasi. Contoh reaksi DTH adalah reaksi
tuberkulin, dermatitis kontak, dan reaksi granuloma. Reaksi hipersensitivitas
selular merupakan suatu reaksi autoimunitas, oleh karena itu reaksi yang muncul
pada umumnya terbatas pada satu organ saja dimana kerusakan yang terjadi
+
merupakan akibat dari CD8 yang langsung membunuh sel target. Sebagai contoh
pada infeksi virus hepatitis, virus tersebut tidak bersifat sitopatik namun
kerusakan yang ada ditimbulkan oleh respon cytotoxic T lymphocyte terhadap
hepatosit yang terinfeksi.
5. Manifestasi klinis
Gambaran kilinis anafilaksis sangat bervariasi, baik cepat dan lamanya reaksi
maupun luas dan beratnya reaksi. Gejala dapat dimulai dengan gejala prodromal
baru menjadi berat. Keluhan yang sering dijumpai pada fase permulaan adalah
rasa takut, perih dalam mulut, gatal pada mata dan kulit, panas dan kesemutan pada tungkai,
sesak, mual, pusing, lemas dan sakit perut. Adapun gejala-gejala yang secara
umum, bisa pula ditemui pada suatu anafilaksis adalah:
a. Gatal di seluruh tubuh
b. Hidung tersumbat
c. Kesulitan dalam bernafas
d. Batuk
e. Kulit kebiruan (sianosis), juga bibir dan kukuf)
f. Pusing, berbicara tidak jelas
g. Denyut nadi yang berubah-ubah
h. Jantung berdebar-debar (palpitasi)
i. Mual, muntah dan kulit kemerahan.
Tanda dan gejala dari anafilaksis menurut dapat berupa antara lain:
1. Kulit, subkutan, mukosa (80-90% kasus)
Kemerahan, gatal, urtikaria, angioedema, pilor erection
Gatal di periorbital, eritema dan edema, eritema konjunctiva, mata berair
Gatal pada bibir, lidah, palatum, kanalis auditori eksternus, bengkak di
bibir, lidah, dan uvula.
Gatal di genital, telapak tangan dan kaki.
2. Respirasi (70%)
Gatal di hidung, bersin-bersin, kongesti, rinorea, pilek
Gatal pada tenggorokan, disfonia, suara serak, stridor, batuk kering.dry
staccato cough
Peningkatan laju nafas, susah bernafas, dada terasa terikat, wheezing,
sianosis, gagal nafas.
3. Gastrointestinal (45%)
Nyeri abdomen, mual, muntah, diare, disfagia.
6. Komplikasi
a. Henti jantung (cardiac arrest) dan nafas.
b. Bronkospasme persisten.
c. Oedema Larynx (dapat mengakibatkan kematian).
d. Relaps jantung dan pembuluh darah (kardiovaskuler).
e. Kerusakan otak permanen akibat syok.
f. Urtikaria dan angoioedema menetap sampai beberapa bulan
7. Pemeriksaan Diagnostik/Penunjang
Untuk menentukan diagnose terhadap pasien yang mengalami reaksi
anafilaksis, maka dapat dilakukan pemeriksaan darah lengkap, SGOT, LDH, ECG
dan foto paru.
a. Pada pemeriksaan Hematologi Lengkap : hitung sel meningkat
hemokonsentrasi, trombositopenia eosinofil naik/ normal/ turun
b. X photo : hiperinflasi dengan atau tanpa atelektasis karena mucus plug
c. EKG : gangguan konduksi, atrial dan ventrikuler distrimia, kimia
meningkat, sereum tritaase meningkat.
Selain itu ada beberapa tes alergi yang dapat digunakan untuk memperkuat
dagnosa terhadap terjadinya rekasi anafilaktik, antara lain:
Ada beberapa macam tes alergi, yaitu :
a. Skin Prick Test (Tes tusuk kulit).
Tes ini untuk memeriksa alergi terhadap alergen hirup dan makanan,
misalnya debu, tungau debu, serpih kulit binatang, udang, kepiting dan lain-
lain. Tes ini dilakukan di kulit lengan bawah sisi dalam, lalu alergen yang diuji
ditusukkan pada kulit dengan menggunakan jarum khusus (panjang mata
jarum 2 mm), jadi tidak menimbulkan luka, berdarah di kulit. Hasilnya dapat
segera diketahui dalam waktu 30 menit Bila positif alergi terhadap alergen
tertentu akan timbul bentol merah gatal.
Syarat tes ini :
1) Pasien harus dalam keadaan sehat dan bebas obat yang mengandung
antihistamin (obat anti alergi) selama 3 – 7 hari, tergantung jenis obatnya.
2) Umur yang di anjurkan 4 – 50 tahun.
b. Patch Tes (Tes Tempel).
Tes ini untuk mengetahui alergi kontak terhadap bahan kimia, pada
penyakit dermatitis atau eksim. Tes ini dilakukan di kulit punggung. Hasil tes
ini baru dapat dibaca setelah 48 jam. Bila positif terhadap bahan kimia
tertentu, akan timbul bercak kemerahan dan melenting pada kulit.
Syarat tes ini :
1) Dalam 48 jam, pasien tidak boleh melakukan aktivitas yang berkeringat,
mandi, posisi tidur tertelungkup, punggung tidak boleh bergesekan.
2) 2 hari sebelum tes, tidak boleh minum obat yang mengandung steroid atau
anti bengkak. Daerah pungung harus bebas dari obat oles, krim atau salep.
c. RAST (Radio Allergo Sorbent Test).
Tes ini untuk mengetahui alergi terhadap alergen hirup dan makanan. Tes
ini memerlukan sampel serum darah sebanyak 2 cc. Lalu serum darah tersebut
diproses dengan mesin komputerisasi khusus, hasilnya dapat diketahui setelah
4 jam. Kelebihan tes ini adalah dapat dilakukan pada usia berapapun, tidak
dipengaruhi oleh obat-obatan.
d. Skin Test (Tes kulit).
Tes ini digunakan untuk mengetahui alergi terhadap obat yang disuntikkan.
Dilakukan di kulit lengan bawah dengan cara menyuntikkan obat yang akan di
tes di lapisan bawah kulit. Hasil tes baru dapat dibaca setelah 15 menit. Bila
positif akan timbul bentol, merah, gatal.
e. Tes Provokasi.
Tes ini digunakan untuk mengetahui alergi terhadap obat yang diminum,
makanan, dapat juga untuk alergen hirup, contohnya debu. Tes provokasi
untuk alergen hirup dinamakan tes provokasi bronkial. Tes ini digunakan
untuk penyakit asma dan pilek alergi. Tes provokasi bronkial dan makanan
sudah jarang dipakai, karena tidak nyaman untuk pasien dan berisiko tinggi
terjadinya serangan asma dan syok. tes provokasi bronkial dan tes provokasi
makanan sudah digantikan oleh Skin Prick Test dan IgE spesifik metode
RAST.
Untuk tes provokasi obat, menggunakan metode DBPC (Double Blind
Placebo Control) atau uji samar ganda. caranya pasien minum obat dengan
dosis dinaikkan secara bertahap, lalu ditunggu reaksinya dengan interval 15 –
30 menit. Dalam satu hari hanya boleh satu macam obat yang dites, untuk tes
terhadap bahan/zat lainnya harus menunggu 48 jam kemudian. Tujuannya
untuk mengetahui reaksi alergi tipe lambat.
Ada sedikit macam obat yang sudah dapat dites dengan metode RAST.
Semua tes alergi memiliki keakuratan 100 %, dengan syarat persiapan tes
harus benar, dan cara melakukan tes harus tepat dan benar.
8. Penatalaksanaan Medis/Keperawatan
Penanganan anafilaksis adalah sebagai berikut:
a. Oksigenasi
Prioritas pertama dalam pertolongan adalah pernafasan. Jalan nafas yang
etrbuka dan bebas harus dijamin, kalau perlu lakukan sesuai dengan ABC-
nya resusitasi.
Penderita harus mendapatkan oksigenasi yang adekuat. Bila ada tanda-
tanda pre syok/syok, tempatkan penderita pada posisi syok yaitu tidur
terlentang datar dengan kaki ditinggikan 30o – 45º agar darah lebih banyak
mengalir ke organ-organ vital. Bebaskan jalan nafas dan berikan oksigen
dengan masker. Apabila terdapat obstruksi laring karena edema laring atau
angioneurotik, segera lakukan intubasi endotrakeal untuk fasilitas
ventilasi. Ventilator mekanik diindikasikan bila terdapat spasme bronkus,
apneu atau henti jantung mendadak.
b. Epinefrin
Epinefrin atau adrenalin bekerja sebagai penghambat pelepasan histamine
dan mediator lain yang poten. Mekanismenya adalah adrenalin
meningkatkan siklik AMP dalam sel mast dan basofil sehingga
menghambat terjadinya degranulasi serta pelepasan histamine dan
mediator lainnya. Selain itu adrenalin mempunyai kemampuan
memperbaiki kontraktilitas otot jantung, tonus pembuluh darah perifer dan
otot polos bronkus. Dosis yang dianjurkan adalah 0,25 mg sub kutan
setiap 15 menit sesuai berat gejalanya. Bila penderita mengalami presyok
atau syok dapat diberikan dengan dosis 0,3 – 0,5 mg (dewasa) dan 0,01
mg/ KgBB (anak) secara intra muskuler dan dapat diulang tiap 15 menit
samapi tekanan darah sistolik mencapai 90-100 mmHg. Cara lain adalah
dengan memberikan larutan 1-2 mg dalam 100 ml garam
fisiologis secara intravena, dilakukan bila perfusi otot jelek karena syok
dan pemberiannya dengan monitoring EKG. Pada penderita tanpa kelainan
jantung, adrenalin dapat diberikan dalam larutan 1 : 100.000 yaitu
melarutkan 0,1 ml adrenalin dalam 9,9 ml NaCl 0,9% dan diberikan
sebanyak 10 ml secara intravena pelan-pelan dalam 5 – 10 menit.
Adrenalin harus diberikan secara hati-hati pada penderita yang mendapat
anestesi volatile untuk menghindari terjadinya aritmia ventrikuler.
B. TINJAUAN ASKEP
1. Pengkajian
a. Anamnesa / wawancara
Anamnesis meliputi identitas pasien dan penanggung jawab, riwayat
kesehatan sekarang dan pemeriksaan fisik difokuskan pada gejala sekarang
dan gejala yang pernah dialami.
1) Alasan dirawat atau Keluhan utama
2) Riwayat kesehatan dan penyakit yang lalu
3) Masalah kesehatan yang sedang dialami
b. Pengkajian pola kesehatan
Menurut pola fungsi Gordon 1982, terdapat 11 pengkajian pola fungsi
kesehatan (Potter, Patricia. A. 1996) :
1) Pola Persepsi dan Pemeliharaan Kesehatan : Pada pasien dengan
anafilaksis pada pola persepsi dan pemeliharaan kesehatan yang dikaji
mengenai :
a) Apakah orang tua pasien mengetahui tentang anafilaksis?
b) Apakah orang tua memahami keadaan kesehatan anaknya?
c) Apakah jika sakit pasien segera berobat ke dokter, ataukah
menggunakan obat tradisional?
2) Pola Nutrisi : Pada pola ini, untuk pasien anafilaksis, fokus yang dapat
dikaji mengenai:
a) Apakah pasien mengalami kehilangan nafsu makan (anoreksia) ?
b) Apakah pasien mengalami penurunan atau peningkatan berat
badan?
c) Apakah pasien mangalami mual muntah ?
d) Apakah terjadi penimbunan cairan di perut pasien ?
3) Pola Eliminasi: Pada pola pengkajian pasien anafilaksis, fokus yang
dikaji mengenai:
a) Apakah urine pasien berwarna bening kekuningan ?
b) Apakah pasien mengalami konstipasi atau diare ?
c) Bagaimana konsistensi dari feses pasien ?
d) Apakah feses pasien berwarna seperti kuning kecoklatan ?
4) Aktivitas dan Latihan: Pada pola ini pasien anafilaksis, fokus yang
dikaji mengenai :
a) Kemampuan Perawatan Diri
Kemampuan diri seperti makan, toleting, naik turun tangga,
berkemih dan memenuhi kebutuhan sehari-harinya.
b) Aktivitas sehari-hari
Apakah tanda gejala dari penyakit anafilaksis mengganggu
aktifitasnya ?
Apakah pasien mengalami kelemahan, kelelahan dan malaise
umum selama beraktifitas ?
5) Olah raga
Apakah pasien suka melakukan kegiatan olah raga? Jika iya, jenis olah
raga apa yang dilakukan pasien?
6) Tidur dan Istirahat : Pada pola pengkajian pasien anafilaksis, fokus
yang dikaji mengenai:
a) Bagaimanakah pola tidur pasien selama sakit? Yang digambarkan
dengan pukul berapa pasien mulai tidur dan sampai pukul berapa
pasien tidur saat malam hari?
b) Bagaimana frekuensi tidur pasien selama sakit? Yang digambarkan
dengan berapa lama pasien tidur malam?
c) Apakah pasien mengalami pola tidur NREM (Non-Rapid Eye
Movement)? Ataukah pasien mengalami pola tidur REM (Rapid
Eye Movement)?
7) Sensori, Presepsi dan Kognitif : Pada pola ini anafilaksis, fokus yang
dikaji mengenai :
a) Bagaimana cara pembawaan pasien saat bicara? Apakah normal,
gagap, atau berbicara tak jelas?
b) Bagaimanakah tingkat ansietas pada pasien?
8) Konsep diri : Pada pola ini pasien anafilaksis pada umumnya dikaji
mengenai:
a) Body image/gambaran diri
Adakah prosedur pengobatan yang mengubah fungsi alat
tubuh?
Apakah pasien memiliki perubahan ukuran fisik?
Adakah perubahan fisiologis tumbuh kembang?
Apakah pernah operasi?
Bagaimana proses patologi penyakit?
Apakah fungsi alat tubuh pasien terganggu?
Adakah keluhan karena kondisi tubuh?
b) Role/peran
Apakah pasien mengalami overload peran?
Adakah perubahan peran pada pasien?
c) Identity/identitas diri
Apakah pasien merasa kurang percaya diri?
d) Self esteem/harga diri
Apakah pasien menunda tugas selama sakit?
e) Self ideals/ideal diri
Apakah pasien tidak ingin berusaha selama sakit
9) Seksual dan Repruduksi : Pada pola ini pasien anafilaksis pada
umumnya dikaji mengenai :
a) Apakah ada riwayat penyakit sebelumnya ?
b) Apakah orang tau rajin membersihkan alat genetalia anak ?
10) Pola Peran Hubungan : Pada pola ini pasien anafilaksis pada umumnya
dikaji mengenai :
a) Apakah pasien sudah sekolah?
b) Bagaimanakah pasien berhubungan dengan orang lain?
11) Manajemen Koping Stress : Pada pola ini pasien anafilaksis pada
umumnya dikaji mengenai bagaimana orang tua pasien menangani
masalah yang dimiliki anaknya dan bagaimana cara orang tua pasien
menggunakan system pendukung dalam menghadapi masalah.
c. Pemeriksaan Fisik
1) Status respirasi
Respirasi meningkat, dan dangkal (pada fase kompensasi) kemudian
menjadi lambat (pada syok septik, respirasi meningkat jika kondisi
menjelek)
2) Fungsi metabolik
Asidosis akibat timbunan asam laktat di jaringan (pada awal syok
septik dijumpai alkalosis metabolik, kausanya tidak diketahui).
Alkalosis respirasi akibat takipnea
3) Keseimbangan asam basa
Pada awal syok pO2 dan pCO2 menurun (penurunan pCO2 karena
takipnea, penurunan pO2 karena adanya aliran pintas di paru)
4) Kulit
a) Suhu raba dingin (hangat pada syok septik hanya bersifat
sementara, karena begitu syok berlanjut terjadi hipovolemia)
b) Warna pucat (kemerahan pada syok septik, sianosis pada syok
kardiogenik dan syok hemoragi terminal)
c) Basah pada fase lanjut syok (sering kering pada syok septik).
5) Status jantung
a) Takikardi, pulsus lemah dan sulit diraba
b) Tekanan darah
c) Hipotensi dengan tekanan sistole < 80 mmHg (lebih tinggi pada
penderita yang sebelumnya mengidap hipertensi, normal atau
meninggi pada awal syok septik)
6) Status mental
Gelisah, cemas, agitasi, tampak ketakutan. Kesadaran dan orientasi
menurun, spoor sampai koma
7) Pemeriksaan fisik head to toe
a) Keadaan umum (kesadaran, BB, TB, suhu, nadi, pernapasan,
tekanan darah)
b) Kepala (bentuk, keadaan rambut dan kepala, adanya kelainan)
c) Mata (bentuk bola mata, pergerakan, keadaan pupil,
konjungtiva,dll)
d) Hidung (adanya secret, pergerakan cuping hidung, adanya suara
napas tambahan, dll)
e) Telinga (kebersihan, keadaan alat pendengaran)
f) Mulut (kebersihan daerah sekitar mulut, keadaan selaput lender,
keadaan gigi, keadaan lidah)
g) Leher (pembesaran kelenjar/pembuluh darah, kaku kuduk,
pergerakan leher)
h) Thoraks (bentuk dada, irama pernapasan, tarikan otot bantu
pernapasan, adanya suara napas)
i) Jantung (bunyi, pembesaran)
j) Persarafan ( reflex fisiologis, reflex patologis)
k) Abdomen ( bentuk, pembesaran organ, keadaan pusat, nyeri pada
perabaan, distensi)
l) Ekstremitas (kelainan bentuk, pergerakan, reflex lutut, adanya
edema )
m) Alat kelamin
n) Anus
d. Pemeriksaan penunjang
1) Pemeriksaan Laboratorium
2) Hematologi : darah (Hb, hematokrit, leukosit, golongan darah), kadar
elektrolit, kadar ureum, kreatinin, glukosa darah. Hitung sel
meningkat, Hemokonsentrasi, trombositopenia, eosinophilia naik/
normal / turun
3) Kimia : Plasma Histamin meningkat, sereum triptaase meningkat
4) Analisa gas darah
5) Radiologi
6) X foto : Hiperinflasi dengan atau tanpa atelektasis karena mukus, plug.
7) EKG : Gangguan konduksi, atrial dan ventrikular disritmia
e. Pengelompokan data
1) Data subjektif :
a) Klien mengatakan sesak nafas atau sulit dalam bernafas
b) Klien mengatakan dirinya sangat lemas
c) Klien mengeluh mual dan muntah
d) Klien mengatakan cemas dan gelisah
e) Klien mengatakan gatal – gatal pada kulit dan hidung
2) Data objektif :
a) Klien tampak sesak, tampak bernafas dengan mulut, tampak
pembengkakan pada mukosa hidung,tampak penggunaan otot
bantu nafas, pernafasan cuping hidung, terpasang oksigen
b) Tampak bengkak di sekitar tubuh dan hidung klien
c) Klien tampak pucat, akral dingin, gambaran EKG gelombang T
mendatar dan terbalik
d) Tanda – tanda vital terutama tekanan darah menurun
e) Klien tampak lemah
f) Klien tampak cemas
g) Klien tampak menggaruk – garuk badannya, tampak adanya
pruritus (ada hives) urtikaria
2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawtan yang muncul sesuai dengan SDKI tahun 2017 antara
lain:
a. Bersihan jalan nafas tidak efektif
Penyebab :
Fisiologis
• Spasme jalan nafas
• Hipersekresi jalan nafas
• Disfungsi neuromuscular
• Benda asing dalam jalan nafas
• Adanya jalan nafas buatan
• Sekresi yang tertahan
• Hyperplasia dinding jalan nafas
• Proses infeksi
• Respon alergi
• Efek agen
• Farmakologis
Situasional
• Merokok aktif
• Merokok pasif
• Terpajan polutan
Gejala dan tanda mayor
Subjektif (tidak tersedia)
Objektif
o Batuk tidak efektif
o Tidak mampu batuk
o Sputum berlebih
o Mengi, wheezing dan/atau ronkhi kering
o Meconium di jalan napas (pada neontus)
Gejala dan tanda minor
Subjektif
o Dyspnea
o Sulit bicara
o Ortopnea
Objektif
1. Gelisah
2. Sianosis
3. Bunyi napas menurun
4. Frekuensi napas berubah
5. Pola nafas berubah
Kondisi klinis terkait
o Gullian bare syndrome
o Sclerosis multiple
o Myasthenia gravis
o Prosedur diagnostic
o Depresi system saraf pusat
o Cedera kepala
o Stroke
o Kuadriplegia
o Sindrom aspirasi meconium
o Infeksi saluran nafas
b. Pola napas tidak efektif
Penyebab:
Depresi pusat pernapasan
Hambatan upaya napas
Deformitas dinding dada
Deformitas tulang dada
Gangguan neuromuscular
Gangguan neurologis
Penurunan energy
Obesitas
Posisi tubuh yang menghambat ekspansi paru
Sindrom hipoventilasi
Kerusakan inervasi diafragma
Cedera pada medulla spinalis
Efek agen farmakologis
Kecemasan
Gejala dan tanda mayor
Subjektif : Dyspnea
Objektif
o Penggunaan otot bantu pernafasan
o Fase ekspirasi memanjang
o Pola nafas abnormal
Gejala dan tanda minor
Sujektif : Ortopnea
Objektif
o Pernafasan pursed lips
o Pernapasan cuping hidung
o Diameter thoraks anterior posterior meningkat
o Ventilasi semenit menurun
o Kapasitas vital menurun
o Tekanan ekspirasi menurun
o Tekanan inspirasi menurun
o Ekskursi dada berubah
Kondisi klinis terakait:
• Depresi system saraf pusat
• Cedera kepala
• Trauma thoraks
• Gullian bare syndrome
• Multiple sclerosis
• Myasthenia gravis
• Stroke
• Kuadriplegia
• Intoksikasi alcohol
c. Penuruanan curah jantung
Penyebab
o Perubahan irama jantung
o Perubahan frekuensi jantung
o Perubahan preload
o Perubahan afterload
Gejala dan Tanda Mayor
Subjektif:
o Perubahan irama jantung : palpitasi
o Perubahan preload: lelah
o Perubahan afterload: dispnea
Objektif:
o Perubahan irama jantung: Gambaran EKG aritmia, bradikardi, atau
takikardi
o Perubahan preload: edema, distensi vena jugularis
o Perubahan afterload: tekanan darah meningkat/ menurun, nadi
perifer lemah, capilary refill time > 2 detik, oliguria, dan warna kulit
pucat dan atau sianosis
Gejala dan Tanda Minor
Subjektif:
Perilaku emosional: Cemas dan gelisah
Objektif :
Perubahan preload: mumur jantung, berat badan bertambah,
Pulmonary artery wedge pressure (PAWP) menurun
Perubahan afterload: Pulmonary vascular resistance (PVR)
meningkat/ menurun, systemic vascular resistance (SVR) meningkat
atau menurun
Perubahan kontraktilitas : cardiac index (CI) menurun, Left
ventricular stroke work index (LVSWI) menurun, stroke volume
index (SVI) menurun
Kondisi Klinis Terkait:
o Gagal jantung kongestif
o Sindrom coroner akut
o Stenosis mitral
o Aritmia
o Penyakit jantung bawaan
d. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer
Penyebab
Hiperglikemia
Penurunan kosentrasi hemoglobin
Peningatan tekanan darah
Kekurangan volume cairan
Penurunan akiran arteri dan/atau vena
Kurang terpapar informasi tentang faktor pemberat (mis. Merokok,
gaya hidup menoton, trauma, obesitas, asupan garam, imobilitas)
Kurang terpapar informasi tentang proses penyakit (mis. Diabetes
melitus, hyperlipidemia)
Kurang aktivitas fisik
Janeway, C.A., Travers, P., Walport, M., Schlomchik, M. Immunobiology 6th Ed:
The Immune System in Health and Disease. New York: Garland Publishing,
2005.
...................................................
NI LUH SUCI NOVI ARIANI
NIP. NIM. P07120319008
Nama Pembimbing / CT
...................................................
NIP.