Anda di halaman 1dari 42

LAPORAN PENDAHULUAN

PASIEN DENGAN ANAFILAKSIS

Oleh :
NI LUH SUCI NOVI ARIANI
(P07120319008)
PRODI NERS

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN DENPASAR
TAHUN AJARAN 2019
LAPORAN PENDAHULUAN
PASIEN DENGAN ANAFILAKSIS

A. KONSEP TEORI
1. Pengertian
Anafilaksis adalah suatu reaksi alergi yang bersifat akut, menyeluruh dan
bisa menjadi berat. Anafilaksis terjadi pada seseorang yang sebelumnya telah
mengalami sensitisasi akibat pemaparan terhadap suatu alergen. ( Brunner dan
Suddarth.2001).
Anafilaksis adalah reaksi sistemik yang mengancam jiwa dan mendadak
terjadi pada pemajanan substansi tertentu. Anafilaksis diakibatkan oleh reaksi
hipersensitivitas tipe I , dimana terjadi pelepasan mediator kimia dari sel mast
yang mengakibatkan vasodilatasi massif, peningkatan permeabilitas kapiler, dan
penurunan peristaltic. Anafilaksis adalah suatu respons klinis hipersensitivitas
yang akut, berat dan menyerang berbagai macam organ. Reaksi hipersensitivitas
ini merupakan suatu reaksi hipersensitivitas tipecepat (reaksi hipersensitivitas tipe
I), yaitu reaksi antara antigenspesifik dan antibodi spesifik (IgE) yang terikat pada
sel mast. Sel mast dan basofil akan mengeluarkan mediator yang mempunyai efek
farmakologik terhadap berbagai macam organ tersebut. (Suzanne C. Smeltze,
2001).
Anafilaksis tidak terjadi pada kontak pertama dengan alergen. Pada pemaparan
kedua atau pada pemaparan berikutnya, terjadi suatu reaksi alergi. Reaksi ini terjadi
secara tiba-tiba, berat dan melibatkan seluruh tubuh. (Pearce C, Evelyn.2009).
Anafilaktik bifasik adalah reaksi alergi yang muncul kembali setelah
munculnya reaksi alergi pertama, padahal penderita tidak terpapar alergen lagi.
Syok anafilaktik terjadi ketika pembuluh darah di hampir seluruh bagian tubuh
melebar, sehingga menyebabkan tekanan darah rendah sampai sedikitnya 30% di
bawah tekanan darah normal orang tersebut. Diagnosis anafilaksis bifasik
ditegakkan ketika gejala di atas muncul kembali dalam waktu 1–72 jam kemudian
meskipun tidak ada kontak baru antara pasien dengan alergen. Beberapa studi
menyatakan bahwa kasus anafilaksis bifasik mencakup sampai dengan 20% kasus.
Biasanya gejala-gejala tersebut muncul kembali dalam waktu 8 jam. Reaksi kedua
tersebut diatasi dengan cara yang sama dengan anafilaksis awal.
2. Etiologi
Anafilaksis bisa tejadi sebagai respon terhadap berbagai allergen. Penyebab
yang sering ditemukan adalah:
a. Gigitan/sengatan serangga.
b. Serum kuda (digunakan pada beberapa jenis vaksin).
c. Alergi makanan
d. Alergi obat, serbuk sari dan alergen lainnya jarang menyebabkan
anafilaksis.
Anafilaksis mulai terjadi ketika alergen masuk ke dalam aliran darah dan
bereaksi dengan antibodi IgE. Reaksi ini merangsang sel-sel untuk melepaskan
histamin dan zat lainnya yang terlibat dalam reaksi peradangan kekebalan.
Beberapa jenis obat-obatan (misalnya polymyxin, morfin, zat warna untuk
rontgen), pada pemaparan pertama bisa menyebabkan reaksi anafilaktoid (reaksi
yang menyerupai anafilaksis). Hal ini biasanya merupakan reaksi idiosinkratik
atau reaksi racun dan bukan merupakan mekanisme sistem kekebalan seperti yang
terjadi pada anafilaksis sesungguhnya.

Tabel 1 Pencetus Terjadinya Reaksi Anafilaksis


Pencetus Terjadinya Reaksi Anafilaksis
Obat-obatan antibiotic Penisilin
Sefaloporin
Streptomisin
Tetrasiklin
Ciprofloxacin
Amphotericin B
Nitrofurantoin
Vankomisin
Enzim Tripsin
Chymotripsin
L-Asparaginase
Penicillinase
As-paraginase
Chymotrypsin
Penicillinase
Streptokinase.
Toxin ATS
ADS
SABU
Ekstrak allergen untuk uji kulit dextran
Bahan yang digunakan Zat radioopac
untuk prosedur diagnose Bromsulfalein
Benzilpenisiloipolilisin
Sodium dehydrocholate
Sulfobromophthalein
Bahan yang dihasilkan Bisa ular
hewan atau serangga Bisa lebah
Racun serangga
Lobster
Udang
Kepiting
Semut api
Makanan Kacang-kacangan (kenari, mete, pistachio)
Ikan (tuna, salmon, cod)
Molusca (kerang, udang, lobster)
Putih telur
Susu
Buah Rambutan
Nanas
Semangka
Anastesi Lidocain
Procain
Darah lengkap atau produk Gamaglobulin
darah Kriopresipitat
Hormone Insulin
ACTH (adrenocorticotrophic hormone)
TSH (thyroid-stimulating hormone)
ADH (antidiuretic hormone, vasopressin)
Paratiroid (parathormone).
Lain-lain Seminal fluid (air mani)
Latex
Karet
Logam emas

3. Klasifikasi
Klasifikasi derajat klinis reaksi hipersensitifitas/anafilaksis oleh Brown (2004)
yaitu.

1. Ringan (hanya melibatkan kulit dan jaringan dibawah kulit) seperti:


eritema generalisata, urtikaria, angioedema/edema periorbita.

2. Sedang (melibatkan sistem respirasi, kardiovaskuler, gastrointestinal)


seperti : sesak nafas, stridor, mengi, mual, muntah, pusing (pre syncope),
rasa tidak enak di tenggorokan dan dada serta nyeri perut.

3. Berat (hipoksia, hipotensi, syok dan manifestasi neurologis), seperti:


sianosis (SpO2 ≤ 90%), hipotensi (SBP < 90 mmHg pada dewasa), kolaps,
penurunan kesadaran dan inkontinensia.

Reaksi dengan derajat ringan dikenal sebagai reaksi hipersensitifitas akut,


sedangkan untuk derajat sedang dan berat merupakan gambaran klinis
anafilaksis.

4. Patofisiologi
Reaksi anafilaksis merupakan reaksi hipersensitvitas tipe I atau reaksi
cepat dimana reaksi segera muncul setelah terkena alergen. Perjalanan reaksi
ini dibagi menjadi tiga fase, yaitu fase sensitisasi, fase aktivasi, dan fase
efektor.
Fase sensitisasi dimulai dari masuknya antigen ke dalam tubuh lalu
ditangkap oleh sel imun non spesifik kemudian di fagosit dan dipersentasikan
ke sel Th2. Sel ini akan merangsang sel B untuk membentuk antibodi sehingga
terbentuklah antibodi IgE. Antibodi ini akan diikat oleh sel yang memiliki
reseptor IgE yaitu sel mast, basofil, dan eosinofil. Apabila tubuh terpajan
kembali dengan alergen yang sama, alergen yang masuk ke dalam tubuh itu
akan diikat oleh IgE dan memicu degranulasi dari sel mast. Proses ini disebut
dengan fase aktivasi.
Pada fase aktivasi, terjadi interaksi antara IgE pada permukaan sel mast
dan basofil dengan antigen spesifik pada paparan kedua sehingga
mengakibatkan perubahan membran sel mast dan basofil akibat metilasi
fosfolipid yang diikuti oleh influks Ca++ yang menimbulkan aktivasi
fosfolipase, kadar cAMP menurun, menyebabkan granul-granul yang penuh
berisikan mediator bergerak kepermukaan sel. Terjadilah eksositosis dan isi
granul yang mengandung mediator dikeluarkan dari sel mast dan basofil.
Adanya degranulasi sel mast menimbulkan pelepasan mediator inflamasi,
seperti histamin, trptase, kimase, sitokin. Bahan-bahan ini dapat meningkatkan
kemampuan degranulasi sel mast lebih lanjut sehingga menimbulkan dampak
klinis pada organ organ tubuh yang dikenal dengan fase efektor.
Hal ini menyebabkan penyempitan saluran udara, sehingga terdengar
bunyi mengi (bengek), gangguan pernafasan dan timbul gejala-gejala saluran
pencernaan berupa nyeri perut, kram, muntah dan diare. Histamin
menyebabkan pelebaran pembuluh darah (yang akan menyebabkan penurunan
tekanan darah) dan perembesan cairan dari pembuluh darah ke dalam jaringan
(yang akan menyebabkan penurunan volume darah), sehingga terjadi syok.
Cairan bisa merembes ke dalam kantung udara di paru-paru dan menyebabkan
edema pulmoner.
Seringkali terjadi kaligata (urtikaria) dan angioedema. Angioedema bisa
cukup berat sehingga menyebabkan penyumbatan saluran pernafasan.
Anafilaksis yang berlangsung lama bisa menyebabkan aritimia jantung. Pada
kepekaan yang ekstrim, penyuntikan allergen dapat mengakibatkan kematian
atau reaksi subletal.
Gambar 1. Hipersensitivitas tipe I yang mendasari Reaksi Anafilaksis
(Elseviere.com, 2009)

Reaksi hipersensitivitas ada empat antara lain:


a. Reaksi tipe I
Reaksi hipersensitivitas ini juga dikenal sebagai reaksi cepat atau reaksi
anafilaksis, dimana reaksi muncul segera setelah alergen masuk ke dalam
tubuh. Alergen atau antigen yang masuk nantinya akan ditangkap oleh fagosit,
diproses dan dipresentasikan pada sel Th2, yang merupakan sel yang akan
melepas sitokin dan merangsang sel B untuk membentuk IgE. IgE sendiri akan
diikat oleh sel yang memiliki reseptor seperti sel mast, basofil, dan eosinofil.
Apabila tubuh terpapar ulang dengan alergen yang sama, alergen tersebut akan
diikat oleh IgE spesifik yang berada di permukaan sel mast, dan nantinya akan
menimbulkan degranulasi sel mast. Degranulasi tersebut melepaskan berbagai
mediator seperti histamin yang akan menimbulkan gejala klinis pada reaksi
alergi ini. Selain histamin, mediator lain seperti prostaglandin dan leukotrin
yang dihasilkan dari metabolisme asam arakhidonat juga berperan pada fase
lambat dari reaksi tipe I, dimana muncul gejala beberapa jam setelah paparan.
Beberapa gejala yang segera muncul setelah paparan alergen antara lain asma
bronkial, rinitis, urtikaria, dan dermatitis atopik.
b. Reaksi tipe II
Reaksi tipe II atau reaksi sitotoksik terjadi karena terbentuknya antibodi IgG
atau IgM karena paparan antigen. Ikatan antibodi antigen tersebut nantinya dapat
mengaktifkan komplemen dan menimbulkan lisis sel. Lisis dari suatu sel sendiri
juga dapat terjadi melalui sensitisasi sel NK yang berperan sebagai efektor
antibody dependent cell cytotoxicity. Contoh dari reaksi tipe II adalah destruksi sel
darah merah akibat reaksi transfusi dan juga kasus anemia hemolitik. Sebagian
kerusakan jaringan pada penyakit autoimun seperti miastenia gravis dan
tirotoksikosis juga timbul melalui mekanisme ini.
c. Reaksi tipe III
Reaksi tipe III yang juga disebut reaksi kompleks imun terjadi akibat adanya
endapan kompleks antigen-antibodi dalam jaringan atau pembuluh darah.
Antibodi yang berperan pada kasus ini adalah IgG atau IgM. Kompleks tersebut
akan mengaktifkan komplemen yang kemudian melepaskan berbagai mediator
terutama macrophage chemotactic factor. Makrofag yang dikerahkan ke tempat
tersebut nantinya akan merusak jaringan sekitar. Antigen sendiri dapat berasal dari
infeksi kuman patogen yang persisten seperti malaria, bahan yang terhirup seperti
spora jamur, atau bahkan dari jaringan sendiri seperti pada kasus autoimun.

d. Reaksi tipe IV
Reaksi tipe ini muncul lebih dari 24 jam setelah paparan antigen, sehingga
disebut juga dengan reaksi hipersensitivitas tipe lambat. Reaksi ini dibagi menjadi
+
delayed type hypersensitivity (DTH) yang terjadi melalui peran CD4 dan T cell
+ +
mediated cytolysis dengan peran CD8 . Pada DTH, sel CD4 Th1 yang
mengaktifkan makrofag berperan sebagai sel efektor. Sel tersebut melepas sitokin
interferon gamma yang nantinya akan mengaktifkan makrofag dan menginduksi
inflamasi. Kerusakan jaringan pada reaksi tipe ini diakibatkan oleh produk
makrofag yang teraktivasi seperti enzim hidrolitik, oksigen reaktif intermediet,
oksida nitrat, dan sitokin proinflamasi. Contoh reaksi DTH adalah reaksi
tuberkulin, dermatitis kontak, dan reaksi granuloma. Reaksi hipersensitivitas
selular merupakan suatu reaksi autoimunitas, oleh karena itu reaksi yang muncul
pada umumnya terbatas pada satu organ saja dimana kerusakan yang terjadi
+
merupakan akibat dari CD8 yang langsung membunuh sel target. Sebagai contoh
pada infeksi virus hepatitis, virus tersebut tidak bersifat sitopatik namun
kerusakan yang ada ditimbulkan oleh respon cytotoxic T lymphocyte terhadap
hepatosit yang terinfeksi.

5. Manifestasi klinis
Gambaran kilinis anafilaksis sangat bervariasi, baik cepat dan lamanya reaksi
maupun luas dan beratnya reaksi. Gejala dapat dimulai dengan gejala prodromal
baru menjadi berat. Keluhan yang sering dijumpai pada fase permulaan adalah
rasa takut, perih dalam mulut, gatal pada mata dan kulit, panas dan kesemutan pada tungkai,
sesak, mual, pusing, lemas dan sakit perut. Adapun gejala-gejala yang secara
umum, bisa pula ditemui pada suatu anafilaksis adalah:
a. Gatal di seluruh tubuh
b. Hidung tersumbat
c. Kesulitan dalam bernafas
d. Batuk
e. Kulit kebiruan (sianosis), juga bibir dan kukuf)
f. Pusing, berbicara tidak jelas
g. Denyut nadi yang berubah-ubah
h. Jantung berdebar-debar (palpitasi)
i. Mual, muntah dan kulit kemerahan.

Tanda dan gejala dari anafilaksis menurut dapat berupa antara lain:
1. Kulit, subkutan, mukosa (80-90% kasus)
 Kemerahan, gatal, urtikaria, angioedema, pilor erection
 Gatal di periorbital, eritema dan edema, eritema konjunctiva, mata berair
Gatal pada bibir, lidah, palatum, kanalis auditori eksternus, bengkak di
bibir, lidah, dan uvula.
 Gatal di genital, telapak tangan dan kaki.

2. Respirasi (70%)
 Gatal di hidung, bersin-bersin, kongesti, rinorea, pilek
 Gatal pada tenggorokan, disfonia, suara serak, stridor, batuk kering.dry
staccato cough
 Peningkatan laju nafas, susah bernafas, dada terasa terikat, wheezing,
sianosis, gagal nafas.

3. Gastrointestinal (45%)
 Nyeri abdomen, mual, muntah, diare, disfagia.

4. Sistem kardiovaskuler (45%)


 Nyeri dada, takikardia, bradikardia (jarang), palpitasi, hipotensi, merasa
ingin jatuh, henti jantung. Manifestasi primer pada jantung tampak dari
perubahan EKG yaitu T-mendatar, aritmia supraventrikular, AV block.

5. Sistem saraf pusat (15%)


 Perubahan mood mendadak seperti iritabilitas, sakit kepala, perubahan
status mental, kebingungan.

6. Komplikasi
a. Henti jantung (cardiac arrest) dan nafas.
b. Bronkospasme persisten.
c. Oedema Larynx (dapat mengakibatkan kematian).
d. Relaps jantung dan pembuluh darah (kardiovaskuler).
e. Kerusakan otak permanen akibat syok.
f. Urtikaria dan angoioedema menetap sampai beberapa bulan

7. Pemeriksaan Diagnostik/Penunjang
Untuk menentukan diagnose terhadap pasien yang mengalami reaksi
anafilaksis, maka dapat dilakukan pemeriksaan darah lengkap, SGOT, LDH, ECG
dan foto paru.
a. Pada pemeriksaan Hematologi Lengkap : hitung sel meningkat
hemokonsentrasi, trombositopenia eosinofil naik/ normal/ turun
b. X photo : hiperinflasi dengan atau tanpa atelektasis karena mucus plug
c. EKG : gangguan konduksi, atrial dan ventrikuler distrimia, kimia
meningkat, sereum tritaase meningkat.
Selain itu ada beberapa tes alergi yang dapat digunakan untuk memperkuat
dagnosa terhadap terjadinya rekasi anafilaktik, antara lain:
Ada beberapa macam tes alergi, yaitu :
a. Skin Prick Test (Tes tusuk kulit).
Tes ini untuk memeriksa alergi terhadap alergen hirup dan makanan,
misalnya debu, tungau debu, serpih kulit binatang, udang, kepiting dan lain-
lain. Tes ini dilakukan di kulit lengan bawah sisi dalam, lalu alergen yang diuji
ditusukkan pada kulit dengan menggunakan jarum khusus (panjang mata
jarum 2 mm), jadi tidak menimbulkan luka, berdarah di kulit. Hasilnya dapat
segera diketahui dalam waktu 30 menit Bila positif alergi terhadap alergen
tertentu akan timbul bentol merah gatal.
Syarat tes ini :
1) Pasien harus dalam keadaan sehat dan bebas obat yang mengandung
antihistamin (obat anti alergi) selama 3 – 7 hari, tergantung jenis obatnya.
2) Umur yang di anjurkan 4 – 50 tahun.
b. Patch Tes (Tes Tempel).
Tes ini untuk mengetahui alergi kontak terhadap bahan kimia, pada
penyakit dermatitis atau eksim. Tes ini dilakukan di kulit punggung. Hasil tes
ini baru dapat dibaca setelah 48 jam. Bila positif terhadap bahan kimia
tertentu, akan timbul bercak kemerahan dan melenting pada kulit.
Syarat tes ini :
1) Dalam 48 jam, pasien tidak boleh melakukan aktivitas yang berkeringat,
mandi, posisi tidur tertelungkup, punggung tidak boleh bergesekan.
2) 2 hari sebelum tes, tidak boleh minum obat yang mengandung steroid atau
anti bengkak. Daerah pungung harus bebas dari obat oles, krim atau salep.
c. RAST (Radio Allergo Sorbent Test).
Tes ini untuk mengetahui alergi terhadap alergen hirup dan makanan. Tes
ini memerlukan sampel serum darah sebanyak 2 cc. Lalu serum darah tersebut
diproses dengan mesin komputerisasi khusus, hasilnya dapat diketahui setelah
4 jam. Kelebihan tes ini adalah dapat dilakukan pada usia berapapun, tidak
dipengaruhi oleh obat-obatan.
d. Skin Test (Tes kulit).
Tes ini digunakan untuk mengetahui alergi terhadap obat yang disuntikkan.
Dilakukan di kulit lengan bawah dengan cara menyuntikkan obat yang akan di
tes di lapisan bawah kulit. Hasil tes baru dapat dibaca setelah 15 menit. Bila
positif akan timbul bentol, merah, gatal.
e. Tes Provokasi.
Tes ini digunakan untuk mengetahui alergi terhadap obat yang diminum,
makanan, dapat juga untuk alergen hirup, contohnya debu. Tes provokasi
untuk alergen hirup dinamakan tes provokasi bronkial. Tes ini digunakan
untuk penyakit asma dan pilek alergi. Tes provokasi bronkial dan makanan
sudah jarang dipakai, karena tidak nyaman untuk pasien dan berisiko tinggi
terjadinya serangan asma dan syok. tes provokasi bronkial dan tes provokasi
makanan sudah digantikan oleh Skin Prick Test dan IgE spesifik metode
RAST.
Untuk tes provokasi obat, menggunakan metode DBPC (Double Blind
Placebo Control) atau uji samar ganda. caranya pasien minum obat dengan
dosis dinaikkan secara bertahap, lalu ditunggu reaksinya dengan interval 15 –
30 menit. Dalam satu hari hanya boleh satu macam obat yang dites, untuk tes
terhadap bahan/zat lainnya harus menunggu 48 jam kemudian. Tujuannya
untuk mengetahui reaksi alergi tipe lambat.
Ada sedikit macam obat yang sudah dapat dites dengan metode RAST.
Semua tes alergi memiliki keakuratan 100 %, dengan syarat persiapan tes
harus benar, dan cara melakukan tes harus tepat dan benar.
8. Penatalaksanaan Medis/Keperawatan
Penanganan anafilaksis adalah sebagai berikut:
a. Oksigenasi
Prioritas pertama dalam pertolongan adalah pernafasan. Jalan nafas yang
etrbuka dan bebas harus dijamin, kalau perlu lakukan sesuai dengan ABC-
nya resusitasi.
Penderita harus mendapatkan oksigenasi yang adekuat. Bila ada tanda-
tanda pre syok/syok, tempatkan penderita pada posisi syok yaitu tidur
terlentang datar dengan kaki ditinggikan 30o – 45º agar darah lebih banyak
mengalir ke organ-organ vital. Bebaskan jalan nafas dan berikan oksigen
dengan masker. Apabila terdapat obstruksi laring karena edema laring atau
angioneurotik, segera lakukan intubasi endotrakeal untuk fasilitas
ventilasi. Ventilator mekanik diindikasikan bila terdapat spasme bronkus,
apneu atau henti jantung mendadak.
b. Epinefrin
Epinefrin atau adrenalin bekerja sebagai penghambat pelepasan histamine
dan mediator lain yang poten. Mekanismenya adalah adrenalin
meningkatkan siklik AMP dalam sel mast dan basofil sehingga
menghambat terjadinya degranulasi serta pelepasan histamine dan
mediator lainnya. Selain itu adrenalin mempunyai kemampuan
memperbaiki kontraktilitas otot jantung, tonus pembuluh darah perifer dan
otot polos bronkus. Dosis yang dianjurkan adalah 0,25 mg sub kutan
setiap 15 menit sesuai berat gejalanya. Bila penderita mengalami presyok
atau syok dapat diberikan dengan dosis 0,3 – 0,5 mg (dewasa) dan 0,01
mg/ KgBB (anak) secara intra muskuler dan dapat diulang tiap 15 menit
samapi tekanan darah sistolik mencapai 90-100 mmHg. Cara lain adalah
dengan memberikan larutan 1-2 mg dalam 100 ml garam
fisiologis secara intravena, dilakukan bila perfusi otot jelek karena syok
dan pemberiannya dengan monitoring EKG. Pada penderita tanpa kelainan
jantung, adrenalin dapat diberikan dalam larutan 1 : 100.000 yaitu
melarutkan 0,1 ml adrenalin dalam 9,9 ml NaCl 0,9% dan diberikan
sebanyak 10 ml secara intravena pelan-pelan dalam 5 – 10 menit.
Adrenalin harus diberikan secara hati-hati pada penderita yang mendapat
anestesi volatile untuk menghindari terjadinya aritmia ventrikuler.

Tabel 2. Dosis Adrenalin Intramuskular untuk Anak – anak

c. Pemberian cairan intravena


Pemberian cairan infuse dilakukan bila tekanan sistolik belum mencapai
100 mmHg (dewasa) dan 50 mmHg (anak). Cairan yang dapat diberikan
adalah RL/NaCl, Dextran/ Plasma. Pada dewasa sering dibutuhkan cairan
sampai 2000ml dalam jam pertama dan selanjutnya diberikan 2000 – 3000
ml/m² LPB/ 24 jam. Plasma / plasma ekspander dapat diberikan segera
untuk mengatasi hipovolemi intravaskuler akibat vasodilatasi akut dan
kebocoran cairan intravaskuler ke interstitial karena plasma / plasma
ekspander lebih lama berada di dalam intravaskuler dibandingkan
kristaloid. Karena cukup banyak cairan yang diberikan, pemantauan CVP
dan hematokrit secara serial sangat membantu.
d. Obat – obat vasopressor
Bila pemberian adrenalin dan cairan infuse yang dirasakan cukup adekwat
tetapi tekanan sistolik tetap belum mencapai 90 mmHg atau syok belum
teratasi, dapat diberikan vasopressor. Dopamin dapat diberikan secara
infus dengan dosis awal 0,3mg/KgBB/jam dan dapat ditingkatkan secara
bertahap 1,2mg/KgBB/jam untuk mempertahankan tekanan darah yang
membaik. Noradrenalin dapat diberikan untuk hipotensi yang tetap
membandel.
e. Aminofilin
Sama seperti adrenalin, aminofillin menghambat pelepasan histamine dan
mediator lain dengan meningkatkan c-AMP sel mast dan basofil. Jadi
kerjanya memperkuat kerja adrenalin. Dosis yang diberikan 5mg/kg
i.v pelan-pelan dalam 5-10 menit untuk mencegah terjadinya hipotensi dan
diencerkan dengan 10 ml D5%. Aminofillin ini diberikan bila spasme
bronkus yang terjadi tidak teratasi dengan adrenalin. Bila perlu aminofillin
dapat diteruskan secara infuse kontinyu dengan dosis 0,2 -1,2 mg/kg/jam.
f. Kortikosteroid
Berperan sebagai penghambat mitosis sel precursor IgE dan juga
menghambat pemecahan fosfolipid menjadi asam arakhidonat pada fase
lambat. Kortikosteroid digunakan untuk mengatasi spasme bronkus yang
tidak dapat diatasi dengan adrenalin dan mencegah terjadinya reaksi
lambat dari anafilaksis. Dosis yang dapat diberikan adalah 7-10 mg/kg
i.vprednisolon dilanjutkan dengan 5 mg/kg tiap 6 jam atau dengan
deksametason 40-50 mg i.v. Kortisol dapat diberikan secara i.v dengan
dosis 100 -200 mg dalam interval 24 jam dan selanjutnya diturunkan
secara bertahap.
g. Antihistamin
Bekerja sebagai penghambat sebagian pengaruh histamine terhadap sel
target. Antihistamin diindikasikan pada kasus reaksi yang memanjang atau
bila terjadi edema angioneurotik dan urtikaria. Difenhidramin dapat
diberikan dengan dosis 1-2mg/kg sampai 50 mg dosis tunggal i.m. Untuk
anak-anak dosisnya 1mg/kg tiap 4 -6 jam.
h. Resusitasi jantung paru
Resusitasi jantung paru (RJP) dilakukan apabila terdapat tanda-tanda
kagagalan sirkulasi dan pernafasan. Untuk itu tindakan RJP yang
dilakukan sama seperti pada umumnya.
i. Bilamana penderita akan dirujuk ke rumah sakit lain yang lebih baik
fasilitasnya, maka sebaiknya penderita dalam keadaan stabil terlebih
dahulu. Sangatlah tidak bijaksana mengirim penderita syok anafilaksis
yang belum stabil penderita akan dengan mudah jatuh ke keadaan yang
lebih buruk bahkan fatal. Saat evakuasi, sebaiknya penderita dikawal oleh
dokter dan perawat yang menguasai penanganan kasus gawat darurat.
j. Penderita yang tertolong dan telah stabil jangan terlalu cepat dipulangkan
karena kemungkinan terjadinya reaksi lambat anafilaksis. Sebaiknya
penderita tetap dimonitor paling tidak untuk 12-24 jam. Untuk keperluan
monitoring yang kektat dan kontinyu ini sebaiknya penderita dirawat di
Unit Perwatan Intensif. (Alirifan, 2011)

B. TINJAUAN ASKEP
1. Pengkajian
a. Anamnesa / wawancara
Anamnesis meliputi identitas pasien dan penanggung jawab, riwayat
kesehatan sekarang dan pemeriksaan fisik difokuskan pada gejala sekarang
dan gejala yang pernah dialami.
1) Alasan dirawat atau Keluhan utama
2) Riwayat kesehatan dan penyakit yang lalu
3) Masalah kesehatan yang sedang dialami
b. Pengkajian pola kesehatan
Menurut pola fungsi Gordon 1982, terdapat 11 pengkajian pola fungsi
kesehatan (Potter, Patricia. A. 1996) :
1) Pola Persepsi dan Pemeliharaan Kesehatan : Pada pasien dengan
anafilaksis pada pola persepsi dan pemeliharaan kesehatan yang dikaji
mengenai :
a) Apakah orang tua pasien mengetahui tentang anafilaksis?
b) Apakah orang tua memahami keadaan kesehatan anaknya?
c) Apakah jika sakit pasien segera berobat ke dokter, ataukah
menggunakan obat tradisional?
2) Pola Nutrisi : Pada pola ini, untuk pasien anafilaksis, fokus yang dapat
dikaji mengenai:
a) Apakah pasien mengalami kehilangan nafsu makan (anoreksia) ?
b) Apakah pasien mengalami penurunan atau peningkatan berat
badan?
c) Apakah pasien mangalami mual muntah ?
d) Apakah terjadi penimbunan cairan di perut pasien ?
3) Pola Eliminasi: Pada pola pengkajian pasien anafilaksis, fokus yang
dikaji mengenai:
a) Apakah urine pasien berwarna bening kekuningan ?
b) Apakah pasien mengalami konstipasi atau diare ?
c) Bagaimana konsistensi dari feses pasien ?
d) Apakah feses pasien berwarna seperti kuning kecoklatan ?
4) Aktivitas dan Latihan: Pada pola ini pasien anafilaksis, fokus yang
dikaji mengenai :
a) Kemampuan Perawatan Diri
Kemampuan diri seperti makan, toleting, naik turun tangga,
berkemih dan memenuhi kebutuhan sehari-harinya.
b) Aktivitas sehari-hari
 Apakah tanda gejala dari penyakit anafilaksis mengganggu
aktifitasnya ?
 Apakah pasien mengalami kelemahan, kelelahan dan malaise
umum selama beraktifitas ?
5) Olah raga
Apakah pasien suka melakukan kegiatan olah raga? Jika iya, jenis olah
raga apa yang dilakukan pasien?
6) Tidur dan Istirahat : Pada pola pengkajian pasien anafilaksis, fokus
yang dikaji mengenai:
a) Bagaimanakah pola tidur pasien selama sakit? Yang digambarkan
dengan pukul berapa pasien mulai tidur dan sampai pukul berapa
pasien tidur saat malam hari?
b) Bagaimana frekuensi tidur pasien selama sakit? Yang digambarkan
dengan berapa lama pasien tidur malam?
c) Apakah pasien mengalami pola tidur NREM (Non-Rapid Eye
Movement)? Ataukah pasien mengalami pola tidur REM (Rapid
Eye Movement)?
7) Sensori, Presepsi dan Kognitif : Pada pola ini anafilaksis, fokus yang
dikaji mengenai :
a) Bagaimana cara pembawaan pasien saat bicara? Apakah normal,
gagap, atau berbicara tak jelas?
b) Bagaimanakah tingkat ansietas pada pasien?

8) Konsep diri : Pada pola ini pasien anafilaksis pada umumnya dikaji
mengenai:
a) Body image/gambaran diri
 Adakah prosedur pengobatan yang mengubah fungsi alat
tubuh?
 Apakah pasien memiliki perubahan ukuran fisik?
 Adakah perubahan fisiologis tumbuh kembang?
 Apakah pernah operasi?
 Bagaimana proses patologi penyakit?
 Apakah fungsi alat tubuh pasien terganggu?
 Adakah keluhan karena kondisi tubuh?
b) Role/peran
 Apakah pasien mengalami overload peran?
 Adakah perubahan peran pada pasien?
c) Identity/identitas diri
 Apakah pasien merasa kurang percaya diri?
d) Self esteem/harga diri
 Apakah pasien menunda tugas selama sakit?
e) Self ideals/ideal diri
 Apakah pasien tidak ingin berusaha selama sakit
9) Seksual dan Repruduksi : Pada pola ini pasien anafilaksis pada
umumnya dikaji mengenai :
a) Apakah ada riwayat penyakit sebelumnya ?
b) Apakah orang tau rajin membersihkan alat genetalia anak ?
10) Pola Peran Hubungan : Pada pola ini pasien anafilaksis pada umumnya
dikaji mengenai :
a) Apakah pasien sudah sekolah?
b) Bagaimanakah pasien berhubungan dengan orang lain?
11) Manajemen Koping Stress : Pada pola ini pasien anafilaksis pada
umumnya dikaji mengenai bagaimana orang tua pasien menangani
masalah yang dimiliki anaknya dan bagaimana cara orang tua pasien
menggunakan system pendukung dalam menghadapi masalah.
c. Pemeriksaan Fisik
1) Status respirasi
Respirasi meningkat, dan dangkal (pada fase kompensasi) kemudian
menjadi lambat (pada syok septik, respirasi meningkat jika kondisi
menjelek)
2) Fungsi metabolik
Asidosis akibat timbunan asam laktat di jaringan (pada awal syok
septik dijumpai alkalosis metabolik, kausanya tidak diketahui).
Alkalosis respirasi akibat takipnea
3) Keseimbangan asam basa
Pada awal syok pO2 dan pCO2 menurun (penurunan pCO2 karena
takipnea, penurunan pO2 karena adanya aliran pintas di paru)
4) Kulit
a) Suhu raba dingin (hangat pada syok septik hanya bersifat
sementara, karena begitu syok berlanjut terjadi hipovolemia)
b) Warna pucat (kemerahan pada syok septik, sianosis pada syok
kardiogenik dan syok hemoragi terminal)
c) Basah pada fase lanjut syok (sering kering pada syok septik).
5) Status jantung
a) Takikardi, pulsus lemah dan sulit diraba
b) Tekanan darah
c) Hipotensi dengan tekanan sistole < 80 mmHg (lebih tinggi pada
penderita yang sebelumnya mengidap hipertensi, normal atau
meninggi pada awal syok septik)
6) Status mental
Gelisah, cemas, agitasi, tampak ketakutan. Kesadaran dan orientasi
menurun, spoor sampai koma
7) Pemeriksaan fisik head to toe
a) Keadaan umum (kesadaran, BB, TB, suhu, nadi, pernapasan,
tekanan darah)
b) Kepala (bentuk, keadaan rambut dan kepala, adanya kelainan)
c) Mata (bentuk bola mata, pergerakan, keadaan pupil,
konjungtiva,dll)
d) Hidung (adanya secret, pergerakan cuping hidung, adanya suara
napas tambahan, dll)
e) Telinga (kebersihan, keadaan alat pendengaran)
f) Mulut (kebersihan daerah sekitar mulut, keadaan selaput lender,
keadaan gigi, keadaan lidah)
g) Leher (pembesaran kelenjar/pembuluh darah, kaku kuduk,
pergerakan leher)
h) Thoraks (bentuk dada, irama pernapasan, tarikan otot bantu
pernapasan, adanya suara napas)
i) Jantung (bunyi, pembesaran)
j) Persarafan ( reflex fisiologis, reflex patologis)
k) Abdomen ( bentuk, pembesaran organ, keadaan pusat, nyeri pada
perabaan, distensi)
l) Ekstremitas (kelainan bentuk, pergerakan, reflex lutut, adanya
edema )
m) Alat kelamin
n) Anus
d. Pemeriksaan penunjang
1) Pemeriksaan Laboratorium
2) Hematologi : darah (Hb, hematokrit, leukosit, golongan darah), kadar
elektrolit, kadar ureum, kreatinin, glukosa darah. Hitung sel
meningkat, Hemokonsentrasi, trombositopenia, eosinophilia naik/
normal / turun
3) Kimia : Plasma Histamin meningkat, sereum triptaase meningkat
4) Analisa gas darah
5) Radiologi
6) X foto : Hiperinflasi dengan atau tanpa atelektasis karena mukus, plug.
7) EKG : Gangguan konduksi, atrial dan ventrikular disritmia
e. Pengelompokan data
1) Data subjektif :
a) Klien mengatakan sesak nafas atau sulit dalam bernafas
b) Klien mengatakan dirinya sangat lemas
c) Klien mengeluh mual dan muntah
d) Klien mengatakan cemas dan gelisah
e) Klien mengatakan gatal – gatal pada kulit dan hidung
2) Data objektif :
a) Klien tampak sesak, tampak bernafas dengan mulut, tampak
pembengkakan pada mukosa hidung,tampak penggunaan otot
bantu nafas, pernafasan cuping hidung, terpasang oksigen
b) Tampak bengkak di sekitar tubuh dan hidung klien
c) Klien tampak pucat, akral dingin, gambaran EKG gelombang T
mendatar dan terbalik
d) Tanda – tanda vital terutama tekanan darah menurun
e) Klien tampak lemah
f) Klien tampak cemas
g) Klien tampak menggaruk – garuk badannya, tampak adanya
pruritus (ada hives) urtikaria
2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawtan yang muncul sesuai dengan SDKI tahun 2017 antara
lain:
a. Bersihan jalan nafas tidak efektif
Penyebab :
Fisiologis
• Spasme jalan nafas
• Hipersekresi jalan nafas
• Disfungsi neuromuscular
• Benda asing dalam jalan nafas
• Adanya jalan nafas buatan
• Sekresi yang tertahan
• Hyperplasia dinding jalan nafas
• Proses infeksi
• Respon alergi
• Efek agen
• Farmakologis
Situasional
• Merokok aktif
• Merokok pasif
• Terpajan polutan
Gejala dan tanda mayor
Subjektif (tidak tersedia)
Objektif
o Batuk tidak efektif
o Tidak mampu batuk
o Sputum berlebih
o Mengi, wheezing dan/atau ronkhi kering
o Meconium di jalan napas (pada neontus)
Gejala dan tanda minor
Subjektif
o Dyspnea
o Sulit bicara
o Ortopnea
Objektif
1. Gelisah
2. Sianosis
3. Bunyi napas menurun
4. Frekuensi napas berubah
5. Pola nafas berubah
Kondisi klinis terkait
o Gullian bare syndrome
o Sclerosis multiple
o Myasthenia gravis
o Prosedur diagnostic
o Depresi system saraf pusat
o Cedera kepala
o Stroke
o Kuadriplegia
o Sindrom aspirasi meconium
o Infeksi saluran nafas
b. Pola napas tidak efektif
Penyebab:
 Depresi pusat pernapasan
 Hambatan upaya napas
 Deformitas dinding dada
 Deformitas tulang dada
 Gangguan neuromuscular
 Gangguan neurologis
 Penurunan energy
 Obesitas
 Posisi tubuh yang menghambat ekspansi paru
 Sindrom hipoventilasi
 Kerusakan inervasi diafragma
 Cedera pada medulla spinalis
 Efek agen farmakologis
 Kecemasan
Gejala dan tanda mayor
Subjektif : Dyspnea
Objektif
o Penggunaan otot bantu pernafasan
o Fase ekspirasi memanjang
o Pola nafas abnormal
Gejala dan tanda minor
Sujektif : Ortopnea
Objektif
o Pernafasan pursed lips
o Pernapasan cuping hidung
o Diameter thoraks anterior posterior meningkat
o Ventilasi semenit menurun
o Kapasitas vital menurun
o Tekanan ekspirasi menurun
o Tekanan inspirasi menurun
o Ekskursi dada berubah
Kondisi klinis terakait:
• Depresi system saraf pusat
• Cedera kepala
• Trauma thoraks
• Gullian bare syndrome
• Multiple sclerosis
• Myasthenia gravis
• Stroke
• Kuadriplegia
• Intoksikasi alcohol
c. Penuruanan curah jantung
Penyebab
o Perubahan irama jantung
o Perubahan frekuensi jantung
o Perubahan preload
o Perubahan afterload
Gejala dan Tanda Mayor
Subjektif:
o Perubahan irama jantung : palpitasi
o Perubahan preload: lelah
o Perubahan afterload: dispnea
Objektif:
o Perubahan irama jantung: Gambaran EKG aritmia, bradikardi, atau
takikardi
o Perubahan preload: edema, distensi vena jugularis
o Perubahan afterload: tekanan darah meningkat/ menurun, nadi
perifer lemah, capilary refill time > 2 detik, oliguria, dan warna kulit
pucat dan atau sianosis
Gejala dan Tanda Minor
Subjektif:
Perilaku emosional: Cemas dan gelisah
Objektif :
 Perubahan preload: mumur jantung, berat badan bertambah,
Pulmonary artery wedge pressure (PAWP) menurun
 Perubahan afterload: Pulmonary vascular resistance (PVR)
meningkat/ menurun, systemic vascular resistance (SVR) meningkat
atau menurun
 Perubahan kontraktilitas : cardiac index (CI) menurun, Left
ventricular stroke work index (LVSWI) menurun, stroke volume
index (SVI) menurun
Kondisi Klinis Terkait:
o Gagal jantung kongestif
o Sindrom coroner akut
o Stenosis mitral
o Aritmia
o Penyakit jantung bawaan
d. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer
Penyebab
 Hiperglikemia
 Penurunan kosentrasi hemoglobin
 Peningatan tekanan darah
 Kekurangan volume cairan
 Penurunan akiran arteri dan/atau vena
 Kurang terpapar informasi tentang faktor pemberat (mis. Merokok,
gaya hidup menoton, trauma, obesitas, asupan garam, imobilitas)
 Kurang terpapar informasi tentang proses penyakit (mis. Diabetes
melitus, hyperlipidemia)
 Kurang aktivitas fisik

Gejala dan Tanda Mayor


Subjektif: tidak tersedia
Objektif:
 CRT> 2 detik
 Nadi perifer menurun atau tidak teraba
 Akral teraba dingin
 Warna kulit pucat
 Turgor kulit menurun
Gejala dan Tanda Minor
Subjektif : Parastesia dan nyeri ekstremitas (klaudikasi intemiten)
Objektif:
 Edema
 Penyembuhan luka lambat
 Indeks ankle brachial < 0,90
 Bruit femoral
Kondisi klinis terkait
 Tromboflebitis
 Diabetes Melitus
 Anemia
 Gagal jantung kongestif
 Trombosis arteri
 Kelainan jantung kongenital
 Varises
 Tombosis vena dalam
 Sindrom kompartemen

e. Kerusakan integritas kulit


Penyebab
 Bahan kimia iritatif
 Suhu lingkungan yang ekstrem
 Faktor mekanis (mis. Penekanan pada tulang, gesekan, garukan, atau faktor
elektris seperti energi listrik bertegangan tinggi)
 Efek samping terapi radiasi
 Kelembaban
 Neuropati perifer
 Perubahan hormonal
Gejala dan Tanda Mayor
Subjektif (tidak tersedia)
Objektif
 Kerusakan jaringan dan/ atau lapisan kulit
Gejala dan tanda Minor
Subjektif (tidak tersedia)
Objektif:
 Nyeri
 Perdarahan
 Kemerahan
 Hematoma
Kondisi Klinis Terkait
 Imobilisasi
 Gagal Jantung Kongestif
 Gagal Ginjal
 Diabetes Melitus
 Imunnodefisiensi (Mis. AIDS)
f. Risiko Hipovolemia
Penyebab:
 Kehilangan cairan aktif
 Gangguan absorbs cairan
 Usia lanjut
 Kelebihan berat badan
 Status hipermetabolik
 Kegagalan mekanisme regulasi
 Evaporasi
 Kekurangan intake cairan
 Efek agen farmakologis
Kondisi klinis terkait
 Penyakit Addison
 Trauma/Perdarahan
 Luka bakar
 AIDS
 Penyakit Crohn
 Muntah
 Diare
 Kolilits ulseratif
3. Intervensi Keperawatan

No Diagnosa Keperawatan Standar Luaran Keperawatan Standar Intervensi Keperawatan Indonesia


Indonesia
1 Bersihan Jalan Napas Tidak Efektif SLKI : SIKI
Respirasi Latihan batuk efektif
Penyebab : Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1. Observasi
Fisiologis selama …. X…. jam, maka bersihan o Identifikasi kemampuan batuk
o Spasme jalan napas jalan nafas meningkat dengan kriteria o Monitor adanya retensi spuntum
o Hipersekresi jalan napas hasil : o Monitor tanda dan gejala infeksi
o Disfungsi neuromuskuler o Batuk efektif meningkat o Monitor input dan output cairan (mis.
o Benda asing dalam jalan napas o Produksi spuntum menurun Jumlah dan karakteristik)
o Adanya jalan napas buatan o Mengi menurun 2. Terapeutik
o Sekresi yang tertahan o Wheezing menurun o Atur posisi semi fowler
o Hyperplasia dnding jalan napas o Meconium (pada neonates) o Buang secret pada tempat spuntum
o Proses infeksi menurun 3. Edukasi
o Respon alergi o Frekusni nafas membaik o Jelaskan tujuan dan prosedur batuk
o Efek agen farmakologi (misal. o Pola nafas membaik efektif
Anastesi) 4. Kolaborasi
Situasional o Kolaborasi pemberian mukolitik atau
o Merokok aktif ekspektoran, jika perlu
o Merokok pasif Manajemen jalan nafas
o Terpajan polutan 1. Observasi
o Monitor pola nafas (frekuensi,
Gejala dan tanda : kedalaman, usaha nafas)
Mayor o Monitor bunyi nafas tambahan (mis.
Subjektif Gurgling,mengi,wheezing,ronkhi)
Tidak tersedia 2. Terapeutik
Obyektif o Posisikan semi fowler
o Batuk tidak efektif o Berikan minuman hangat
o Tidak mampu batuk o Berikan oksigen
o Sputum berlebih 3. Edukasi
o Mengi, wheezing dan/atau ronkhi o Anjurkan asupan cairan 200 ml/hari,
kering jika tidak kontraindikasi
o Meconium di jalan napas (pada o Ajarkan teknik batuk efektif
neonatus) 4. Kolaborasi
b. Minor o Kolaborasi pemberian bronkodilator,
Subyektif ekspektoran, mukolitik, jika perlu
o Dispnea
o Sulit bicara Pemantauan respirasi
o Ortopnea 1. Observasi
Obyektif o Monitor frekuensi, irama, kedalaman,
o Batuk tidak efektif dan upaya nafas
o Tidak mampu batuk o Monitor pola nafas (seperti bradipnea,
o Bunyi napas menurun takipnea, hiperventilasi, kussmaul,
o Frekuensi napas berubah cheyne-stokes, ataksisk)
o Pola napas berubah o Monitor saturasi oksigen
o Auskultasi bunyi nafas
Kondisi klinis terkait o Palpasi kesimetrisan ekspansi paru
o Gullian barre syndrome o Monitor nilai AGD
o Sclerosis multiple o Monitor hasil x-ray thoraks
o Myasthenia gravis 1.Terapeutik
o Prosedur diagnostic (mis. o Atur interval pemantauan respirasi
Bronkoskopi, transesophageal sesuai kondisi pasien
echocardiography [TEE]) o Dokumentasikan hasil
o Depresi system saraf pusat pemantauandukasi
o Cedera kepala o Jelaskan tujuan dan prosedur
o Stroke pemantauan
o Kuadriplegia o Informasikan hasil pemantauan, jika
o Sindrom aspirasi meconium perlu
o Infeksi saluran napas
2 Pola nafas tidak efektif SLKI SIKI
Penyebab Respirasi : Manajemen jalan nafas
 Depresi pusat pernapasan Setelah dilakukan tindakan keperawatan
 Hambatan upaya napas 3x24jam, maka pola nafas tidak efektif 1. Observasi
menigkat dengan kriteria hasil :  Monitor pola nafas (frekuensi,
 Deformitas dinding dada
kedalaman, usaha nafas)
 Deformitas tulang dada  Penggunaan otot bantu nafas  Monitor bunyi nafas tambahan (mis.
 Gangguan neuromuscular menurun Gurgling, mengi, wheezing, ronkhi)
 Gangguan neurologis  Dispnea menurun 2. Terapeutik
 Penurunan energy  Pemanjangan fase ekspirasi menurun  Posisikan semi fowler
 Obesitas  Frekuensi nafas membaik  Berikan minuman hangat
 Posisi tubuh yang menghambat
ekspansi paru  Kedalaman nafas membaik  Berikan oksigen
 Sindrom hipoventilasi 3. Edukasi
 Kerusakan inervasi diafragma  Anjurkan asupan cairan 200 ml/hari,
 Cedera pada medulla spinalis jika tidak kontraindikasi
 Efek agen farmakologis  Ajarkan teknik batuk efektif
 Kecemasan 4. Kolaborasi
Gejala dan tanda mayor  Kolaborasi pemberian bronkodilator,
Subjektif ekspektoran, mukolitik, jika perlu
 Dyspnea Pemantauan respirasi
Objektif 1. Observasi
 Penggunaan otot bantu  Monitor frekuensi, irama, kedalaman,
pernafasan dan upaya nafas
 Fase ekspirasi memanjang  Monitor pola nafas (seperti bradipnea,
 Pola nafas abnormal takipnea, hiperventilasi, kussmaul,
Gejala dan tanda minor cheyne-stokes, ataksisk)
Sujektif  Monitor saturasi oksigen
 Ortopnea  Auskultasi bunyi nafas
Objektif  Palpasi kesimetrisan ekspansi paru
 Pernafasan pursed lips  Monitor nilai AGD
 Pernapasan cuping hidung  Monitor hasil x-ray thoraks
 Diameter thoraks anterior 2. Terapeutik
posterior meningkat  Atur interval pemantauan respirasi
 Ventilasi semenit menurun sesuai kondisi pasien
 Kapasitas vital menurun  Dokumentasikan hasil pemantauan
 Tekanan ekspirasi menurun 3. Edukasi
 Tekanan inspirasi menurun  Jelaskan tujuan dan prosedur
 Ekskursi dada berubah pemantauan
Kondisi klinis terkait  Informasikan hasil pemantauan, jika
 Depresi system saraf pusat perlu
 Cedera kepala
 Trauma thoraks
 Gullian bare syndrome
 Multiple sclerosis
 Myasthenia gravis
 Stroke
 Kuadriplegia
 Intoksikasi alcohol
3 Penurunan curah jantung SLKI SLKI
Penyebab Setelah dilakukan tindakan keperawatan Manajemen aritmia
o Perubahan irama jantung 3x24jam, maka curah jantung Observasi
meningkat dengan kriteria hasil:  Monitor saturasi oksigen
o Perubahan frekuensi jantung
Kriteria hasil:  Identifikasi jenis aritmia
o Perubahan preload  Monitor respon hemodinamik akibat
 Kekuatan nadi perifer meningkat
o Perubahan afterload  Stroke volume meningkat aritmia
Gejala dan Tanda Mayor  Bradikardi menurun Terapiutik
Subjektif:  Takikardi menrun  Berikan oksigen sesuai kebutuhan
o Perubahan irama jantung :  Gambaran EKG aritmia menurun  Pasang monitor jantung
palpitasi  Dispnea menurun Kolaborasi
o Perubahan preload: lelah  Oliguria menurun  Kolaborasi pemberian antiaritmia, jika
o Perubahan afterload:  Pucat menurun perlu
dyspnea  Batuk menurun Manajemen syok anafilatik
Objektif:  Tekanan darah membaik Observasi
 Capillary refill time (CRT)  Monitor status oksigenasi
o Perubahan irama jantung:
membaik  Monitor status cairan
Gambaran EKG aritmia, bradikardi,
 Monitor tingkat keasadaran
atau takikardi Terpiutik
o Perubahan preload: edema, distensi  Pertahankan jalan napas yang paten
vena jugularis  Berika oksigen untuk mempertahankan
o Perubahan afterload: tekanan darah saturasi oksigen >94%
meningkat/ menurun, nadi perifer  Pasang jalur IV
lemah, capilary refill time > 2 detik,  Pasang kateter urine untuk mengetahui
oliguria, dan warna kulit pucat dan produksi urine
atau sianosis Kolaborasi
Gejala dan Tanda Minor  Kolaborasi pemberian epinefrin
 Kolaborasi pemberian dipenhidramin,
Subjektif:
jika perlu
 Perilaku emosional: Cemas dan
 Kolaborasi pemberian krikotiroidotomi
gelisah
jika perllu
Objektif :  Kolaborasi pemberian resusitasi cairan
 Perubahan preload: mumur jika perlu
jantung, berat badan bertambah,
Pulmonary artery wedge
pressure (PAWP) menurun
 Perubahan afterload: Pulmonary
vascular resistance (PVR)
meningkat/ menurun, systemic
vascular resistance (SVR)
meningkat atau menurun
 Perubahan kontraktilitas :
cardiac index (CI) menurun, Left
ventricular stroke work index
(LVSWI) menurun, stroke
volume index (SVI) menurun
Kondisi Klinis Terkait:
o Gagal jantung kongestif
o Sindrom coroner akut
o Stenosis mitral
o Aritmia
o Penyakit jantung bawaan

4 Perfusi perifer tidak efektif SLKI SIKI


Penyebab Perfusi perifer Manajemen ensasi perifer
 Hiperglikemia Setelah dilakukan tindakan keperawatan Observasi
3x24jam, maka perfusi perifer meningkat  Idenifikasi penyebab perubahan sensasi
 Penurunan kosentrasi hemoglobin
dengan kriteria hasil :  Monitor perubahan kulit
 Peningatan tekanan darah  Periksa perbedaan sensasi tajam atau
Kriteria hasil:
 Kekurangan volume cairan  Denyut nadi perifer meningkat tumpul
 Penurunan akiran arteri dan/atau  Warna kulit pucat menurun  Periksa perbedaan sensasi panas atau
vena  Kelemahan otot menurun dingin
 Kurang terpapar informasi  Kram otot menurun  Periksa kemampuan mengidentifikasi
tentang faktor pemberat (mis.  Edema perifer menurun lokasi atau tekstur benda
Merokok, gaya hidup menoton,  Nekrosis menurun Terapiutik
trauma, obesitas, asupan garam,  Akral cukup membaik  Hindari pemakian benda-benda yang
imobilitas)  Turgor kulit membaik berlebihan suhunya
 Kurang terpapar informasi  Tekanan darah membaik
Edukasi
tentang proses penyakit (mis.
 Anjurkan penggunaan thermometer
Diabetes melitus, hyperlipidemia)
untuk menguji suhu air
 Kurang aktivitas fisik  Anjurkan penggunaan sarung tangan
Gejala dan Tanda Mayor termal saat memasak
Subjektif: tidak tersedia  Anjurkan memakai sepatu lembut dan
Objektif: bertumit rendah
 CRT> 2 detik Kolaborasi
 Nadi perifer menurun atau tidak  Kolaborasi pemberian analgesic
teraba  Kolaborasi pemberian kortikosteroid
 Akral teraba dingin jika perlu
 Warna kulit pucat
Manajemen syok anafilatik
 Turgor kulit menurun Observasi
Gejala dan Tanda Minor  Monitor status oksigenasi
Subjektif : Parastesia dan nyeri  Monitor status cairan
ekstremitas (klaudikasi intemiten)  Monitor tingkat keasadaran
Objektif: Terpiutik
 Edema  Pertahankan jalan napas yang paten
 Berika oksigen untuk mempertahankan
 Penyembuhan luka lambat
saturasi oksigen >94%
 Indeks ankle brachial < 0,90
 Pasang jalur IV
 Bruit femoral  Pasang kateter urine untuk mengetahui
Kondisi klinis terkait produksi urine
 Tromboflebitis Kolaborasi
 Diabetes Melitus  Kolaborasi pemberian epinefrin
 Kolaborasi pemberian dipenhidramin,
 Anemia
jika perlu
 Gagal jantung kongestif
 Kolaborasi pemberian krikotiroidotomi
 Trombosis arteri jika perllu
 Kelainan jantung kongenital  Kolaborasi pemberian resusitasi cairan
 Varises jika perlu
 Tombosis vena dalam
 Sindrom kompartemen
5 Gangguan Integritas Kulit SLKI SIKI
Integritas Kulit Perawatan integritas kulit
Penyebab
Setelah dilakukan tindakan keperawatan Observasi
 Bahan kimia iritatif 3x24jam, maka integritas kulit meningkat  Identifikasi penyebab gangguan
 Suhu lingkungan yang ekstrem dengan kriteria hasil: integritas kulit
Kriteria Hasil: Terapiutik
 Faktor mekanis (mis. Penekanan  Elastisitas meningkat  Ubah posisi setiap 2 jam jika tirah
pada tulang, gesekan, garukan, atau  Perfusi jaringan meningkat baring
 Nyeri menurun  Bersihkan perineal dengan air hangat
faktor elektris seperti energi listrik
 Perdarahan menurun terutama selama periode diare
bertegangan tinggi)  Kemerahan menurun  Hindari produk berbahan dasar alcohol
 Efek samping terapi radiasi  Jaringan parut menurun  Gunakan produk berbahan ringan atau
 Hematoma menurun alami dan hipoalergik pada kulit
 Kelembaban  Pigmentasi abnormal menurun sensitive
 Neuropati perifer  Suhu kulit membaik Edukasi
 Sensasi kulit membaik  Anjurkan menggunakan pelembab
 Perubahan hormonal
 Tektrur kulit membaik  Anjurkan minum air yang cukup
Gejala dan Tanda Mayor  Anjurkan meningkatkan asupan nutrisi
Subjektif (tidak tersedia) seperti buah dan sayur
 Anjurkan mandi dan menggunakan
Objektif
sabun secukupnya
 Kerusakan jaringan dan/ Pemberian obat kulit
atau lapisan kulit Observasi
 Identifikasi kemungkinan alergi
Gejala dan tanda Minor  Verifikasi order obat sesuai dengan
Subjektif (tidak tersedia) indikasi
Objektif:  Monitor efek local dan efek samping
obat
 Nyeri Terapiutik
 Perdarahan  Lakukan prinsip enam benar
 Cuci tangan dan pasang sarung tangan
 Kemerahan  Bersihkan kulit dan hilangkan obat
 Hematoma sebelumnya
 Oleskan atau taburkan obat topical pada

kulit yang iritasi atau mengalami luka
Kondisi Klinis Terkait atau sensitive
 Imobilisasi Edukasi
 Jelaskan jens obat, alas an emberian, dan
 Gagal Jantung Kongestif
efek samping obat sebelum pemberian
 Gagal Ginjal  Ajarkan teknik pemberian obat secara
 Diabetes Melitus mandiri
 Imunnodefisiensi (Mis.
AIDS)

6 Risiko hypovolemia SLKI SIKI


Penyebab: Status cairan Manajemen hypovolemia
 Kehilangan cairan aktif Setelah dilakukan tindakan keperawatan Observasi
3x24jam, diharapkan risiko hypovolemia  Periksa tanda dan gejala hypovolemia
 Gangguan absorbs cairan
tidak terjadi dengan kriteria hasil:
 Usia lanjut  (mis. Frekuensi nadi meningkat, nadi
Kriteria Hasil:
 Kelebihan berat badan  terba lemah, tekanan darah menurun
 Kekuatan nadi meningkat
 Status hipermetabolik  tekanan nadi menyempit, turgor
 Turgor kulit meningkat
 Kegagalan mekanisme  kulit menurun, membrane mukosa
 Ortopnea menurun
regulasi  kering, volume urin menurun
 Dyspnea menurun
 Evaporasi  hematocrit meningkat, haus, lemah
 Frekuensi nadi membaik
 Kekurangan intake cairan  Monitor intake dan output cairan
 Tekanan darah membaik
 Efek agen farmakologis Terapeutik
 Tekanan nadi membaik
Kondisi klinis terkait  Hitung kebutuhan cairan
 Membrane mukosa membaik
 Penyakit Addison  Berikan posisi mified tredelenburg
 Kadar hb membai
 Trauma/Perdarahan  Berikan asupan cairan oral
 Kadar ht membaik
 Luka bakar
 AIDS  Intake cairan membaik Edukasi
 Penyakit Crohn  Anjurkan memperbanyak asupan cairan
 Muntah oral
 Diare  Anjurkan menghindari perubahan posisi
 Kolilits ulseratif mendadak
Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian cairan IV
isotonis (mis. NaCl, RL)
 Kolaborasi pemberiancairan IV
hipotonis (mis. Glukosa 2,5%,NaCl
0,4%)
 Kolaborasi pemberian cairan koloid,
mis. Albumin
 Kolaborasi pemberian produk darah
4. Implementasi Keperawatan
Implementasi dilakukan sesuai dengan intervensi dan kondisi pasien.
4. Evaluasi Keperawatan
Menurut Poer. (2012), proses evaluasi dibagi menjadi 2 tahap yaitu:
a. Evaluasi Formatif (Merefleksikan observasi perawat dan analisis terhadap
klien terhadap respon langsung pada intervensi keperawatan)
b. Evaluasi Sumatif (Merefleksikan rekapitulasi dan sinopsis analisis
mengenai status kesehatan klien terhadap waktu)
1) Bersihan jalan nafas efektif
2) Pola napas tidak efektif
3) Penurunan curah jantung
4) Perfusi perifer tidak efektif
5) Risiko hipovolemia
DAFTAR PUSTAKA

Krause, Richard. 29 April 2005. Anaphylaxis. eMedicine. Accessed 17 September


2019 www.emedicine.com/emerg/topic25.htm

Lieberman P et al. “The Diagnosis and Management of Anaphylaxis:An Updated


Practice Parameter.” The Journal of Allergy and Clinical Immunology 115
(2005)483-523.

Rusznak, Csaba. “Anaphylaxis and Anaphylactoid Reactions: A Guide to


Prevention, Recognition, and Emergent Treatment.” Postgraduate Medicine
111 (2002): 1-4.

Ellis, Anne and James Day. “Diagnosis and Management of Anaphylaxis ”


Canadian Medical Association Journal 169(2003): 1-4.

Ewan,Pamela. “ABC of Allergies:Anaphylaxis” British Medical Journal 316


(1998): 1442-1445.

Janeway, C.A., Travers, P., Walport, M., Schlomchik, M. Immunobiology 6th Ed:
The Immune System in Health and Disease. New York: Garland Publishing,
2005.

Sampson, Hugh. “Anaphylaxis and Emergency Treatment.” Pediatrics 111 (2003):


1601-1608.

Stern, David. 6 November 1997. Anaphylaxis:Life-Threatening Allergy. Asthma


and Allergy Information and Research. Accessed 17 September 2019 <
http://www.users.globalnet.co.uk/~aair/index.html

Persatuan Perawat Nasional Indonesia. 2017. Standar Diagnosis Keperawatan


Indonesia : Definisi dan Indikator diagnostik. Jakarta : DPP PPNI

Persatuan Perawat Nasional Indonesia. 2017. Standar Luaran Keperawatan


Indonesia. Jakarta : DPP PPNI

Persatuan Perawat Nasional Indonesia. 2017. Standar Intervensi Keperawatan


Indonesia. Jakarta : DPP PPNI
Klungkung, 16 September 2019
Nama Pembimbing / CI
Nama Mahasiswa

...................................................
NI LUH SUCI NOVI ARIANI
NIP. NIM. P07120319008

Nama Pembimbing / CT

...................................................

NIP.

Anda mungkin juga menyukai