1
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Citra Aditya Bakti, 2012) , hlm.3.
B. Manusia, Masyarakat, dan Hukum
Manusia dan hukum adalah dua entitas yang tidak bisa dipisahkan.
Bahkan dalam ilmu hukum, terdapat adagium yang terkenal yang berbunyi:
“ Ubi societas ibi jus ” (di mana ada masyarakat di situ ada hukumnya).
Artinya bahwa dalam setiap pembentukan suatu bangunan struktur sosial
yang bernama masyarakat, maka selalu akan dibutuhkan bahan yang
bersifat sebagai “semen perekat” atas berbagai komponen pembentuk dari
masyarakat itu, dan yang berfungsi sebagai “semen perekat” tersebut adalah
hukum.
Manusia, disamping bersifat sebagai makhluk individu, juga
berhakekat dasar sebagai makhluk sosial, mengingat manusia tidak
dilahirkan dalam keadaaan yang sama (baik fisik, psikologis, hingga
lingkungan geografis, sosiologis, maupun ekonomis) sehingga dari
perbedaan itulah muncul inter dependensi yang mendorong manusia untuk
berhubungan dengan sesamanya. Berdasar dari usaha pewujudan hakekat
sosialnya di atas, manusia membentuk hubungan sosio-ekonomis di antara
sesamanya, yakni hubungan di antara manusia atas landasan motif
eksistensial yaitu usaha pemenuhan kebutuhan hidupnya (baik fisik maupun
psikis).2
Komponen hukum yang pertama adalah substansi atau isi hukum
yang bersangkutan. Suatu hukum agar benar-benar mampu menciptakan
keadilan bagi masyarakat, maka isi dari hukum itu sendiri harus benar-benar
berfungsi sebagai manifestasi nilai-nilai dan rasa keadilan serta nilai-nilai
normatif yang diidealkan masyarakat. Disamping itu, agar hukum tersebut
dapat berjalan, substansi hukum tersebut juga tidak boleh bertentangan
dengan substansi hukum lain yang telah ada. Sehingga suatu hukum agar
dapat bekerja, maka ia harus bersifat koheren dengan keseluruhan sistem
norma sosial yang ada dalam lingkungan masyarakat yang bersangkutan.
Komponen yang kedua adalah struktur, yaitu lembaga yang
memiliki kewenangan untuk menegakkan hukum. Sebuah hukum, sebaik
2
R. Soeroso, S.H., Pengantar Ilmu Hukum. 2006. Jakarta: Sinar Grafika. hlm.298.
apapun substansi yang dikandungnya tidak akan mampu berjalan jika tidak
ada lembaga yang memiliki kekuasaan untuk menjalankan hukum tersebut.
Lembaga yang memiliki kekuasaan untuk menjalankan hukum ini terdiri
dari setiap subyek yang memiliki kewenangan untuk itu, mulai dari instansi
penyidik seperti aparat kepolisian, instansi penuntut umum seperti
kejaksaan, dan pengadilan.
Komponen yang ketiga sekaligus yang terakhir adalah komponen
kultur atau budaya dari masyarakat hukum yang bersangkutan. Suatu hukum
yang ideal adalah hukum yang merupakan produk langsung dari budaya
masyarakat yang bersangkutan, sehingga sistem nilai yang diusung oleh
produk hukum tersebut akan sesuai (karena merupakan manifestasi) dengan
kesadaran nilai ( value consciousness ) yang dimiliki masyarakat.
Dari penjabaran ini, maka diketahui bahwa kerja hukum sebagai alat
pengaturan masyarakat adalah bersifat sistemis. Yakni kerja sinergis yang
sempurna antara komponen- komponen yang dibutuhkan agar tujuan hukum
dapat terlaksana dan mencapai sasarannya (memberikan keadilan bagi
individu-individu dalam masyarakat) yang satu sama lain tidak dapat
dipisah-pisahkan, yaitu: substansi hukum yang baik, struktur hukum yang
kokoh (memiliki kekuatan dan berintegritas), serta kultur yang kondusif
(kesesuaian ideologi hukum dengan budaya masyarakat yang bersangkutan)
untuk penegakan hukum tersebut.
Pada akhirnya, bagaimana hukum itu dibuat dan untuk apa hukum
itu ditujukan berpulang sepenuhnya pada kesadaran (kehendak) manusia
yang bersangkutan itu sendiri. Hukum dapat bersifat membebaskan umat
manusia dari ketertindasan, namun sebaliknya hukum juga dapat juga
digunakan sebagai sarana penindasan. Karena hukum hanyalah berfungsi
sebagai alat (tool), yaitu alat manusia untuk menciptakan keteraturan
dengan pewujudan keadilan atas interaksi antar manusia tersebut, dan di atas
dunia ini tidak ada satu alat pun yang tidak dapat disalah gunakan. Begitu
pula dengan hukum.
Kemudian masyarakat membentuk suatu system yang disebut
dengan masyarakat hukum. Kemudian membentuk budaya hukum. Maksud
disini yaitu untuk menunjuk tradisi hukum yang digunakan untuk mengatur
kehidupan didalam suatu masyarakat. Dengan masyarakat yang sadar akan
hukum,persamaan dan kesadaran akan tinggi guna menjunjung tinggi rasa
keadilan dan menghargai orang lain.
Kesatuan hukum yang membentuk masyarakat hukum itu dapat
berupa individu, kelompok, organisasi atau badan hukum Negara, serta
kesatuan-kesatuan lainnya sedangkan alat yang dipergunakan untuk
mengatur hubungan antar kesatuan hukum tersebut itu disebut hukum, yaitu
suatu kesatuan system hukum yang tersusun atas berbagai komponen serta
diakui oleh suatu Negara sebagai pengesahannya tersebut.3
3
Lili Rasjidi dkk. Hukum Sebagai Suatu Sistem. 2003. Bandung: Mandar Maju.
6. Memelihara kemampuan masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan
kondisi kehidupan yang berubah, yaitu dengan cara merumuskan
kembali hubungan-hubungan esensial antara anggota-anggota
masyarakat.
C. Kaidah Hukum
4
Mochtar Kusumaatmadja dan Arief Sidharta. Pengantar Ilmu Hukum. 2009. Bandung: Alumni.
hlm. 15.
5
Dedi Ismatullah dan Wawan Muhwan Hariri, Pengantar Ilmu Hukum, (Bandung : Pustaka
Setia, 2012), Cet. I
UU dan faktor – faktor yang mempengaruhi berlakunya hukum dalam
masyarakat, sehingga hukum tersebut berlaku efektif.
Maka dapat disimpulkan bahwa kaidah hukum adalah aturang
yang terbentuk sesuai dengan prosedur yang berlaku, yang
memperhatikan perbuatan lahiriyah (tampak) saja yang memiliki
kondisi dan konsekuensi.
2. Ciri, Sifat, Tujuan, Jenis, dan Isi Kaidah Hukum
Menurut sifatnya, kaidah hukum terbagi 2, yaitu :
a. Hukum yang imperatif
Maksudnya kaidah hukum itu bersifat apriori harus ditaati,
bersifat mengikat dan memaksa. Artinya, suatu kaidah hukum dalam
keadaan berbuat tidak dapat dikesampingkan. Tidak ada
pengecualian untuk seorang pun di mata hukum (equality before the
law).
b. Hukum yang fakultatif
Maksudnya ialah hukum itu tidak secara apriori mengikat.
Kaidah fakultatif bersifat sebagai pelengkap. Artinya, suatu kaidah
hukum yang dalam keadaan konkret dapat dikesampingkan dengan
perjanjian oleh para pihak. Contohnya, setiap warga negara berhak
untuk mengemukakan pendapat. Apabila seorang berada di dalam
forum, maka ia dapat mengeluarkan pendapatnya atau tidak
mengeluarkan sama sekali.
6
R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hlm. 222.
Contoh : Dalam UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 1 menentukan
bahwa, “perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara
pria dan wanita yang mempunyai tujuan untuk
membentuk keluarga yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”
b. Kaidah hukum yang berisi larangan (verbod)
Contoh : UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 8, mengenai larangan
perkawinan antara dua orang pria dan wanita dalam
keadaan tertentu.
c. Kaidah hukum yang berisi perkenan (mogen)
Contoh : UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 29 mengenai perjanjian
perkawinan, yakni pada waktu perkawinan atau
sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua belah
pihak dapat/boleh mengadakan perjanjian tertulis
yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan.
7
Ibid., hlm. 218
manusia menghendaki agar manusia selalu berbuat baik, maka pribadi-
pribadi manusia yang hidup di tengah masyarakat itu juga baik, dalam
pergaulan mereka tidak menimbulkan sesuatu yang tercela, akhirnya
kehidupan masyarakat tertib dan damai.8
Begitupun kaidah hukum dengan kaidah kesopanan memiliki
hubungan yang erat. Anggota masyarakat yang mengetahui kaidah
kesopanan akan selalu bertingkah laku sopan, tidak mengganggu orang
lain, sehingga jika semua anggota masyarakat berperilaku seperti itu
masyarakat akan tertib dan damai, dan tujuan kaidah hukum pun dapat
dicapai.
Ketiga kaidah sosial seperti kesopanan, kesusilaan, dan agama
belum cukup menjamin tata tertib dalam masyarakat, pergaulan hidup
bermasyarakat karena tidak adanya ancaman yang cukup dirasakan
sebagai paksaan dari luar. Oleh karenanya, diperlukan norma hukum yang
bersifat memaksa untuk melindungi kepentingan manusia dalam
pergaulan hidupnya di masyarakat.9
8
Ibid., hlm. 220
9
Ibid., hlm. 221
DAFTAR PUSTAKA