Dosen Pembimbing :
Disusun Oleh :
2019
LAPORAN PENDAHULUAN
A. Pengertian
Klasifikasi Kegawatdaruratan
Klasifikasi kegawatdaruratan gangguan jiwa adalah pengelompokkan pasien
gangguan jiwa berdasarkan fungsi urgensinya yang dimaksudkan untuk mendapatkan
kebutuhan asuhan yang spesifik. (Downey, Zun and Burke. 2015).
Fungsi layanan triage kesehatan mental adalah untuk menentukan sifat dan
tingkat keparahan masalah kesehatan mental. Inti dari fungsi triage tersebut adalah
untuk menentukan apakah pasien berisiko merugikan diri sendiri atau orang lain
sebagai akibat dari kondisi mental mereka, dan untuk menilai risiko lainnya yang
terkait dengan penyakit mental. Seperti model triase lainnya, petugas triage kesehatan
mental harus menetapkan kategori urgensi untuk kasus yang dicatat menggunakan
indikator triage pada pasien gangguan jiwa dari kategori Immediate (segera) sampai
Non-urgen.
Penilaian triage pada pasien gangguan mental sangat penting karena dapat
mengetahui data kusus tentang tingkat kegawatan kesehatan mental pasien. Dari data
pengkategorian triage kita dapat mengetahui gambaran kondisi kesehatan pasien
berdasarkan kategori triage yang telah ditentukan dan mengetahui angka tertinggi
masalah pasien jiwa jika dilihat dari kategori tingkat kegawatan kesehatan mental
ketika pertama kali masuk ke IGD.
B. Etiologi
1. Tindak kekerasan
2. Perubahan perilaku
C. Psikopatologi
1. Etiologi Resiko Bunuh Diri
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya resiko bunuh diri ada
dua faktor, yaitu factor predisposisi (faktor risiko) dan factor presipitasi (faktor
pencetus).
a. Faktor predisposisi
1) Diagnosis psikiatri
Tiga gangguan jiwa yang membuat klien berisiko untuk bunuh diri
yaitu gangguan alam perasaan, penyalahgunaan obat, dan skizofrenia.
2) Sifat kepribadian
Tiga aspek kepribadian yang berkaitan erat dengan peningkatan
resiko bunuh diri adalah rasa bermusuhan, impulsif, dan depresi.
3) Lingkungan psikososial
Baru mengalami kehilangan, perpisahan atau perceraian,kehilangan
yang dini, dan berkurangnya dukungan sosial merupakan faktor
penting yang berhubungan dengan bunuh diri.
4) Biologis
Banyak penelitian telah dilakukan untuk menemukan penjelasan
biologis yang tepat untuk perilaku bunuh diri. Beberapa peneliti
percaya bahwa ada gangguan pada level serotonin di otak, dimana
serotonin diasosiasikan dengan perilaku agresif dan kecemasan.
Penelitian lain mengatakan bahwa perilaku bunuh diri merupakan
bawaan lahir, dimana orang yang suicidal mempunyai keluarga yang
juga menunjukkan kecenderungan yang sama. Walaupun demikian,
hingga saat ini belum ada faktor biologis yang ditemukan
berhubungan secara langsung dengan perilaku bunuh diri
5) Psikologis
Secara psikologis, individu yang beresiko melakukan bunuh diri
mengidentifikasi dirinya dengan orang yang hilang tersebut. Dia
merasa marah terhadap objek kasih sayang ini dan berharap untuk
menghukum atau bahkan membunuh orang yang hilang tersebut.
Meskipun individu mengidentifikasi dirinya dengan objek kasih
sayang, perasaan marah dan harapan untuk menghukum juga
ditujukan pada diri. Oleh karena itu, perilaku destruktif diri terjadi
6) Sosiokultural
Perilaku bunuh diri sebagai hasil dari hubungan individu dengan
masyarakatnya, yang menekankan apakah individu terintegrasi dan
teratur atau tidak dengan masyarakatnya
b. Faktor presipitasi
Pencetus dapat berupa kejadian yang memalukan, seperti masalah
interpersonal, dipermalukan di depan umum,kehilangan pekerjaan, atau
ancaman pengurungan. Selain itu, mengetahui seseorang yang mencoba atau
melakukan bunuh diri atau terpengaruh media untuk bunuh diri, juga
membuat individu semakin rentan untukmelakukan perilaku bunuh diri.
2. Perilaku Kekerasan
Umumnya klien dengan Perilaku Kekerasan dibawa dengan paksa ke
Rumah Sakit Jiwa. Sering tampak klien diikat secara tidak manusiawi disertai
bentakan dan pengawalan oleh sejumlah anggota keluarga bahkan polisi.
Perilaku Kekerasan adalah perilaku individu yang dapat membahayakan
orang, diri sendiri baik secara fisik, emosional dan seksualitas. Perilaku
kekerasan terhadap orang lain adalah rentan melakukan perilaku yang individu
menunjukkan bahwa ia dapat membahayakan orang lain secara fisik,
emosional, dan / atau seksual. Marah merupakan perasaan jengkel yang timbul
sebagai respon terhadap kecemasan, kebutuhan yang tidak terpenuhi yang
dirasakan sebagai ancaman. Pengertian Perilaku Kekerasan merupakan suatu
bentuk ekspresi kemarahan yang tidak sesuai dimana seseorang melakukan
tindakan-tindakan yang dapat membahayakan/ mencederai diri sendiri, orang
lain bahkan dapat merusak lingkungan.
1. Muka merah, pandangan tajam, otot tegang, nada suara yang tinggi,
berdebat
2. Sering pula tampakklien memaksakan kehendak : merampas makanan,
memukul jika tidak senang
3. Emosi : tidak adekuat, tidak aman, rasa terganggu, marah, dendam,
jengkel
4. Intelektual : mendominasi, bawel, serkasme, berdebat, meremehkan
5. Spiritual : kemahakuasaan, kebenaran diri, keraguan, tidak bermoral,
kebejatan
6. Sosial : menarik diri, pengasingan, penolakan, kekerasan, ejekan dan
humor
Psikopatologi
1. Faktor Predisposisi
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya perilaku kekerasan menurut
teori biologik, teori psikologi, dan teori sosiokultural, adalah:
a. Teori biologik
Teori biologik terdiri dari beberapa pandangan yang berpengaruh terhadap
perilaku:
1) Neurobiologik
Ada 3 area pada otak yang berpengaruh terhadap proses impuls agresif:
sistem limbik, lobus frontal dan hypothalamus. Neurotransmitter juga
mempunyai peranan dalam memfasilitasi atau menghambat proses impuls
agresif. Sistem limbik merupakan sistem informasi, ekspresi, perilaku, dan
memori. Apabila ada gangguan pada sistem ini maka akan meningkatkan
atau menurunkan potensial perilaku kekerasan. Adanya gangguan pada
lobus frontal maka individu tidak mampu membuat keputusan, kerusakan
pada penilaian, perilaku tidak sesuai, dan agresif. Beragam komponen dari
sistem neurologis mempunyai implikasi memfasilitasi dan menghambat
impuls agresif. Sistem limbik terlambat dalam menstimulasi timbulnya
perilaku agresif. Pusat otak atas secara konstan berinteraksi dengan pusat
agresif.
2) Biokomia
Berbagai neurotransmitter (epinephrine, norepinefrine, dopamine,
asetikolin, dan serotonin) sangat berperan dalam memfasilitasi atau
menghambat impuls agresif. Teori ini sangat konsisten dengan fight atau
flight yang dikenalkan oleh Selye dalam teorinya tentang respons terhadap
stress.
3) Genetik
Penelitian membuktikan adanya hubungan langsung antara perilaku agresif
dengan genetik karyotype XYY.
4) Gangguan otak
Sindroma otak organik terbukti sebagai faktor predisposisi perilaku agresif
dan tindak kekerasan. Tumor otak, khususnya yang menyerang sistem
limbik dan lobus temporal; trauma otak, yang menimbulkan perubahan
serebral; dan penyakit seperti ensefalitis, dan epilepsi, khususnya lobus
temporal, terbukti berpengaruh terhadap perilaku agresif dan tindak
kekerasan.
b. Teori psikologi
1) Teori psikoanalitik
Teori ini menjelaskan tidak terpenuhinya kebutuhan untuk mendapatkan
kepuasan dan rasa aman dapat mengakibatkan tidak berkembangnya ego
dan membuat konsep diri rendah. Agresi dan tindak kekerasan
memberikan kekuatan dan prestise yang dapat meningkatkan citra diri dan
memberikan arti dalam kehidupannya. Perilaku agresif dan kekerasan
merupakan pengungkapan secara terbuka terhadap rasa ketidakberdayaan
dan rendahnya harga diri.
2) Teori pembelajaran
Anak belajar melalui perilaku meniru dari contoh peran mereka, biasanya
orang tua mereka sendiri. Contoh peran tersebut ditiru karena
dipersepsikan sebagai prestise atau berpengaruh, atau jika perilaku tersebut
diikuti dengan pujian yang positif. Anak memiliki persepsi ideal tentang
orang tua mereka selama tahap perkembangan awal. Namun, dengan
perkembangan yang dialaminya, mereka mulai meniru pola perilaku guru,
teman, dan orang lain. Individu yang dianiaya ketika masih kanak-kanak
atau mempunyai orang tua yang mendisiplinkan anak mereka dengan
hukuman fisik akan cenderung untuk berperilaku kekerasan setelah
dewasa.
3) Teori sosiokultural
Pakar sosiolog lebih menekankan pengaruh faktor budaya dan struktur
sosial terhadap perilaku agresif. Ada kelompok sosial yang secara umum
menerima perilaku kekerasan sebagai cara untuk menyelesaikan
masalahnya. Masyarakat juga berpengaruh pada perilaku tindak kekerasan,
apabila individu menyadari bahwa kebutuhan dan keinginan mereka tidak
dapat terpenuhi secara konstruktif. Penduduk yang ramai/padat dan
lingkungan yang ribut dapat berisiko untuk perilaku kekerasan. Adanya
keterbatasan sosial dapat menimbulkan kekerasan dalam hidup individu.
2. Faktor Presipitasi
Faktor-faktor yang dapat mencetuskan perilaku kekerasan sering kali berkaitan
dengan:
a. Ekspresi diri, ingin menunjukkan eksistensi diri atau simbol
solidaritas seperti dalam sebuah konser, penonton sepak bola, geng
sekolah, perkelahian masal dan sebagainya.
b. Ekspresi dari tidak terpenuhinya kebutuhan dasar dan kondisi
sosial ekonomi.
c. Kesulitan dalam mengkomunikasikan sesuatu dalam keluarga
serta tidak membiasakan dialog untuk memecahkan masalah cenderung
melalukan kekerasan dalam menyelesaikan konflik.
d. Ketidaksiapan seorang ibu dalam merawat anaknya dan
ketidakmampuan dirinya sebagai seorang yang dewasa.
e. Adanya riwayat perilaku anti sosial meliputi penyalahgunaan
obat dan alkoholisme dan tidak mampu mengontrol emosinya pada saat
menghadapi rasa frustasi.
f. Kematian anggota keluarga yang terpenting, kehilangan
pekerjaan, perubahan tahap perkembangan, atau perubahan tahap
perkembangan keluarga.
1. Bunuh Diri
Bunuh diri adalah tindakan agresif yang merusak diri sendiri dan dapat
mengakhiri kehidupan. Perilaku bunuh diri yang tampak pada seseorang disebabkan
karena stress yang tinggi dan kegagalan mekanisme koping yang digunakan dalam
mengatasi masalah.
Perilaku bunuh diri atau dekstruktif diri langsung terjadi terus menerus
dan intensif pada diri kehidupan seseorang. Perilaku yang tampak adalah
berlebihan, gejala atau ucapan verbal ingin bunuh diri, luka atau nyeri. Bunuh diri
adalah setiap aktivitas yang jika tidak dicegah dapat mengarah pada kematian.
Risiko bunuh diri dapat diartikan sebagai resiko individu untuk menyakitidiri
sendiri, mencederai diri, serta mengancam jiwa. (Nanda, 2012). Pikiran bunuh
diri biasanya muncul pada individu yang mengalami gangguan mood, terutama
depresi. Bunuh diri adalah tindakan yang dilakukan dengan sengaja untuk
membunuh diri sendiri.
a. Secara garis besar bunuh diri dapat dibagi menjadi 3 kategori besar
yaitu :
1) Upaya bunuh diri (Suicide attempt) yaitu sengaja melakukan
kegiatan menuju bunuh diri, dan bila kegiatan itu sampai tuntas akan
menyebabkan kematian.
2) Isyarat bunuh diri (Suicide gesture) yaitu bunuh diri yang
direncanakan untuk mempengaruhi perilaku orang lain.
3) Ancaman bunuh diri (Suicide threat) yaitu suatu peringatan
baik secara langsung atau tidak langsung, verbal atau no verbal
bahwa seseorang sedang mengupayakan bunuh diri.
b. Tanda – tanda dan gejala bunuh diri yang mungkin terjadi :
1) Bicara mengenai kematian : bicara tentang keinginan
menghilang, melompat, menembak diri sendiri atau ungkapan
membahayakan diri.
2) Baru saja kehilangan : kematian, perceraian, putus dengan
pacar atau kehilangan pekerjaan, semuanya bisa mengarah pada
pemikiran bunuh diri atau percobaan bunuh diri. Kehilangan lainnya
yang bisa menandakan bunuh diri termasuk hilangnya keyakinan
beragama dan hilangnya ketertarikan pada seseorang atau pada
aktivitas yang sebelumya dinikmati.
3) Perubahan kepribadian : seseorang mungkin memperlihatkan
tanda-tanda kelelahan, keraguan atau kecemasan yang tidak biasa.
4) Perubahan perilaku : kurangnya konsentrasi dalam bekerja,
sekolah atau kegiatan sehari-hari, seperti pekerjaan rumah tangga.
5) Perubahan pola tidur : tidur berlebihan, insomnia dan jenis
gangguan tidur lainnya bisa menjadi tanda-tanda dan gejala bunuh
diri.
6) Perubahan kebiasaan makan : kehilangan nafsu makan atau
bertambahnya nafsu makan. Perubahan lain yang bisa terjadi
penambahan atau penurunan berat badan.
7) Berkurangnya ketertarikan seksual : perubahan seperti ini bisa
mencakup impotensi, keterlambatan atau ketidakteraturan menstruasi
8) Harga diri rendah : gejala bunuh diri ini bisa diperlihatkan
melalui emosi seperti seperti malu, minder atau membenci diri sendiri
9) Ketakutan atau kehilangan kendali : seseorang khawatir akan
kehilangan jiwanya dan khawatir membahayakan dirinya atau orang
lain
10) Kurangnya harapan akan masa depan : sesorang merasa bahwa
tidak ada harapan untuk masa depan dan segala hal tidak akan pernah
bertambah baik.
Strategi Intervensi Krisis Pada Pasien Kegawatdaruratan Jiwa
2) Proses De-eskalasi
1. Bina hubungan saling percaya
2. Kaji faktor pencetus
3. Dorong pasien untuk mengeskpresikan perasaan
4. Berikan terapi relaksasi untuk menurunkan ketegangan
5. Observasi dan catat respon perkembangan pasien
6. Tentukan perencanaan tindakan keperawatan selanjutnya
7. Buat keputusan sesuai perkembangan pasien.
E. Konsep Proses Keperawatan
1) Pengkajian
2) Intervensi keperwatan
Ah. Yusuf,dkk. (2014). Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta. Salemba Medika
Ardiyanti, Dhiny, Arum Pratiwi, S.Kp.,M.Kes. (2016). Kategori Pasien Gangguan Jiwa
Berdasarkan Triage di Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Jiwa di Surakarta. Hal: 7-8.