Lap Lmpur Aktif
Lap Lmpur Aktif
Oleh :
Kelompok : 5
Nama : Nevy Puspitasari NIM. 111431020
Nur Fauziyyah Ambar NIM. 111431021
Nurul Latipah NIM. 111431022
Octaviani Ratnasari NIM. 111431023
Kelas : 2A
2013
A. Tujuan Praktikum
1. Menentukan konsentrasi awsal kandungan organik dalam lumpur aktif dan
konsentrasi kandungan organik setelah percobaan berlangsung selama seminggu
2. Menentukan kandungan Mixed Liquor Volatile Solid (MLVSS) yang mewakili
kandungan mikroorganisme dalam lumpur aktif
3. Menentukan konsentrasi nutrisi bagi mikroorganisme pendegradasi air limbah dalam
lumpur aktif
4. Menghitung efisiensi pengolahan dengan cara menentukan persen (%) kandungan
bahan organik yang didekomposisi selama seminggu oleh mikroorganisme dalam
lumpur aktif terhadap kandungan bahan organik mula-mula
B. Dasar Teori
Pengolahan air limbah pada umumnya dilakukan dengan menggunakan
metode Biologi. Metode ini merupakan metode yang paling efektif dibandingkan dengan
metode Kimia dan Fisika. Proses pengolahan limbah dengan metode Biologi adalah
metode yang memanfaatkan mikroorganisme sebagai katalis untuk menguraikan material
yang terkandung di dalam air limbah. Mikroorganisme sendiri selain menguraikan dan
menghilangkan kandungan material, juga menjadikan material yang terurai tadi sebagai
tempat berkembang biaknya. Metode pengolahan lumpur aktif (activated sludge) adalah
merupakan proses pengolahan air limbah yang memanfaatkan proses mikroorganisme
tersebut.Metode lumpur aktif banyak dikembangkan da lam pengolahan limbah cair
dengan kandungan bahan organik yang tinggi. Telah diteliti bahwa penggunaan metode
lumpur aktif dalam pengolahan limbah dapat menurunkan BOD dan COD.
Lumpur aktif (activated sludge) adalah proses pertumbuhan mikroba
tersuspensi. Proses ini pada dasarnya merupakan pengolahan aerobik yang mengoksidasi
material organik menjadi CO2 dan H2O, NH4 dan sel biomassa baru. Proses ini
menggunakan udara yang disalurkan melalui pompa blower (diffused) atau melalui
aerasi mekanik. Sel mikroba membentuk flok yang akan mengendap di tangki
penjernihan. Kemampuan bakteri dalam membentuk flok menentukan keberhasilan
pengolahan limbah secara biologi, karena akan memudahkan pemisahan partikel dan air
limbah. Metode lumpur aktif memanfaatkan mikroorganisme (terdiri ± 95% bakteri,
sisanya protozoa, rotifer, dan jamur) sebagai katalis untuk menguraikan material yang
terkandung di dalam air limbah. Proses lumpur aktif merupakan proses aerasi
(membutuhkan oksigen). Pada proses ini mikroba tumbuh dalam flok (lumpur) yang
terdispersi sehingga terjadi proses degradasi. Proses ini berlangsung dalam reactor yang
dilengkapi recycle/umpan balik lumpur dan cairannya. Oksigen yang dibutuhkan untuk
reaksi mikroorganisme tersebut diberikan dengan cara memasukkan udara ke dalam
tangki aerasi dengan blower.Aerasi ini juga berfungsi untuk mencampur limbah cair
dengan lumpur aktif, hingga terjadi kontak yang intensif.Sesudah tangki aerasi,
campuran limbah cair yang sudah diolah dan lumpur aktif dimasukkan ke tangki
sedimentasi di mana lumpur aktif diendapkan, sedangkan supernatant dikeluarkan
sebagai effluen dari proses.
Bakteri merupakan unsur utama dalam flok lumpur aktif. Lebih dari 300 jenis
bakteri yang dapat ditemukan dalam lumpur aktif. Bakteri tersebut bertanggung jawab
terhadap oksidasi material organik dan tranformasi nutrien, dan bakteri menghasilkan
polisakarida dan material polimer yang membantu flokulasi biomassa mikrobiologi.
Genus yang umum dijumpai adalah : Zooglea, Pseudomonas, Flavobacterium,
Alcaligenes, Bacillus, Achromobacter, Corynebacterium, Comomonas, Brevibacterium,
dan Acinetobacter, disamping itu ada pula mikroorganisme berfilamen, yaitu
Sphaerotilus dan Beggiatoa, Vitreoscilla yang dapat menyebabkan sludge bulking.
Dikarenakan tingkat oksigen dalam difusi terbatas, jumlah bakteri aktif aerobik menurun
karena ukuran flok meningkat (Hanel, 1988). Bagian dalam flok yang relatif besar
membuat kondisi berkembangnya bakteri anaerobik seperti metanogen. Kehadiran
metanogen dapat dijelaskan dengan pembentukan beberapa kantong anaerobik didalam
flok atau dengan metanogen tertentu terhdap oksigen (Wu et al., 1987). Oleh karena itu
lumpur aktif cukup baik dan cocok untuk material bibit bagi pengoperasian awal reaktor
anaerobik.
C. Alat dan Bahan
D. Langkah Kerja
1. Penentuan COD sebelum proses pendekomposisian oleh mikroba
a. Standarisasi Larutan FAS
Pemipetan 25 mL K2Cr2O7
kedalam erlenmeyer
Penambahan 10 mL H2SO4
kedalam erlenmeyer
Penambahan indikator
feroin 3 tetes
b. Penentuan COD
Sampel limbah
E. Data pengamatan
Proses Pengamatan
Standarisasi FAS Ketika K2Cr2O7 ditambahkan larutan asam
sulfat, warnanya tidak berubah tetap
berwarna orange. Ketika ditambah feroin
warnanya berubah menjadi warna hijau dan
ketika dititrasi warnanya menjadi coklat
(TA)
Penentuan COD Ketika sampel ditambah K2Cr2O7 dan
asam sulfat larutan berwarna orange.
Setelah direfluks larutan terdapat 3 warna
yaitu coklat kuning dan orange. Ketika
dititrasi dengan penambahan indikator
feroin awalnya larutan berwarna hijau dan
berubah warna menjadi coklat (TA)
F. Data percobaan dan Perhitungan
Pengukuran Keadaan Awal
- DO = 5,4 mg/L
- pH = 7,13
- Temperatur = 26,40C
VSS (mg/L) =
(𝑐𝑎𝑤𝑎𝑛 𝑝𝑖𝑗𝑎𝑟+𝑒𝑛𝑑𝑎𝑝𝑎𝑛+𝑘𝑒𝑟𝑡𝑎𝑠 𝑠𝑎𝑟𝑖𝑛𝑔 𝑝𝑎𝑑𝑎 𝑜𝑣𝑒𝑛)− (𝑐𝑎𝑤𝑎𝑛 𝑝𝑖𝑗𝑎𝑟+𝑒𝑛𝑑𝑎𝑝𝑎𝑛+𝑘𝑒𝑟𝑡𝑎𝑠 𝑠𝑎𝑟𝑖𝑛𝑔 𝑝𝑎𝑑𝑎 𝑓𝑢𝑟𝑛𝑎𝑐𝑒)
× 106
𝑚𝐿 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙
0,2394 N + 0,2251 N
Rata − Rata = = 0,2273 N
2
Pengenceran : 100 X
Efisiensi pengolahan
6691,72 − 275
Efisiensi pengolahan = × 100%
6691,72
3. Nutrisi
C6H12O6 + 6O2 6CO2 + 6 H2O
gram
Mol =
Mr
1
Mol C6 H12 O6 = x 0,2344 = 0,0391 mol
6
Gram C6 H12 O6 = 0,0391 x 180
= 7,0380 gram
Hasil penimbangan glukosa pada praktikum = 7,0389 gram
- Kebutuhan Nitrogen
5
gram N = x 7,038 = 0,3519 gram
100
101
gram KNO3 = x 0,3519 = 2,5387 gram
14
Hasil penimbangan KNO3 pada praktikum = 2,5368 gram
- Kebutuhan Fosfor
1
gram P = x 7,038 = 0,0704 gram
100
136
gram KH2 PO4 = x 0,0704 = 0,3089 gram
31
Pada percobaan ini dilakukan pengolahan limbah dengan metode lumpur aktif.
Kedalam sampel limbah ditambahkan nutrisi, nutrisi yang ditambahkan adalah sumber
makanan untuk mikroorganisme yang akan mendekomposisi bahan organik, hal ini yang
menyebabkan kandungan organik dalam sampel dapat diturunkan. Untuk mengetahui
efisiensi pengolahan maka dilakukan pengukuran kandungan organik sebelum dan setelah
proses sehingga dilakukan pengukuran COD sebelum dan setelah proses. Sedangkan MLVSS
untuk mengetahui kuantitas mikroba yang mendekomposisi bahan organik. Pada proses
pendokomposisian oleh mikroba ini yang diperhatikan adalah adanya oksigen (aerasi) sebagai
sumber oksigen bagi mikroba untuk menghasilkan energi untuk mendekomposisi bahan
organik.
Sebelum dilakukan pengukuran COD setelah proses pendekomposisian, kedalam
sampel dimasukan sejumlah nutrisi sebagai sumber makanan untuk mikroba pendekomposisi.
Nutrisi yang ditambahkan adalah glukosa, KNO3 dan KH2PO4. Untuk glukosa ditambahkan
sebagai sumber karbohidrat atau gula, sedangkan KNO3 sebagai sumber nitrogen dan
KH2PO4 sebagai sumber posfor dimana perbandingan yang diberikan adalah glukosa:
KNO3:KH2PO4 100:5:1, hal ini dikarenakan mikroba dapat tumbuh pada komposisi nutrien
tersebut.
Pada percobaan dilakukan pengukuran COD yaitu untuk mengetahui kandungan
organik dalam sampel, pengukuran COD ini untuk mengetahui berapa banyak oksigen yang
dibutuhkan untuk mengoksidasi kandungan organik dalam sampel, sehingga bila semakin
banyak zat yang dibutuhkan untuk mengoksidasi zat organik maka semakin banyak pula
kandungan zat organiknya. Artinya semakin tinggi nilai COD maka kandungan organik
dalam sampel semakin banyak atau kualitas air semakin buruk. Sebelum dilakukan analisis
pada COD, sebelumnya dilakukan terlebih dahulu standarisasi FAS oleh K2Cr2O7, dimana
reaksi yang terjadi reaksi redoks dalam keadaan asam karena penambahan H2SO4 dimana
dalam keadaan asam ini berfungsi untuk mengasamkan larutan sehingga K2Cr2O7 dapat
mengoksidasi Fe dengan reaksi:
Cr2O72- + 14H+ + 6e 2Cr3+ + 7H2O
Fe2+ Fe3+ + e
Cr2O72- + 14H+ + 6 Fe2+ 2Cr3+ + 7H2O + 6Fe3+
Berdasarkan percobaan terlihat bahwa nilai COD pada sampel limbah sebelum proses
degradasi adalah tinggi yaitu sebesar 6691,72 mgO2/L. Nilai COD sebelum proses masih
tinggi sehingga dilakukanlah proses dekomposisi bahan organik untuk menurunkan
kandungan organiknya. Sedangkan nilai COD setelah proses selama 5 hari adalah sebesar
275 mgO2/L. Nilai COD setelah proses ini lebih kecil dibanding nilai COD sebelum proses.
Hal ini menunjukan adanya penurunan kandungan organik pada sampel limbah, dimana
penurunan kandungan organik ini disebabkan mikroorganisme yang mendekomposisi bahan
organik tersebut menjadi CO2, H2O dan NH4 sehingga kandungan organik setelah proses
menjadi turun. Besarnya penurunan kandungan organik ini menghasilkan efisiensi sebesar
95,89%, sedangkan berdasarkan literatur pengolahan limbah menggunakan lumpur aktif
dapat menurunkan konsentrasi COD >85 % (Lestari, 2003). Bila dibandingkan dengan
literatur, hasil percobaan efisiensi penurunan COD sudah melebihi dari 85%, sehingga dapat
dikatakan bahwa proses ini sudah optimum untuk menurunkan COD dalam sampel air limbah.
Walaupun penurunan bahan organik dalam sampel limbah telah optimum, akan tetapi hasil
akhir dari proses ini menghasilkan kandungan organik yang masih tinggi dimana nilai ini
masih lebih besar bila dibandingkan dengan standar kualitas air bersih dimana batas COD
adalah 100 mgO2/L ( Peraturan Menteri Kesehatan RI. 416/Menkes/Per/IX/1990), sehingga
dapat dikatakan dari hasil COD setelah proses ini kandungan organiknya masih tinggi dan
tidak memenuhi syarat kualitas air bersih. Maka hasil proses pengolahan ini bila diterapkan
tidak dapat langsung dibuang ke lingkungan sehingga harus diolah kembali untuk
menurunkan nilai COD hingga batas yang diperbolehkan. Kandungan organik setelah proses
dekomposisi yang masih tinggi dari nilai yang diperbolehkan diakibatkan karena pada
percobaan ini kurangnya pengecekan lingkungan pada bak proses seperti pH dan suhu.
Dimana kedua parameter ini tentunya harus selalu dicek secara rutin, untuk pH seharusnya
pH dalam keadaan netral dimana mikroba dapat bekerja, serta temperatur tidak boleh terlalu
tinggi ataupu terlalu rendah, sehingga temperatur berada pada suhu dimana mikroba dapat
bekerja optimal. Selain pH dan temperatur yang harus diperhatikan adalah oksigen yang
ditambahkan (aerasi), dimana keadaan aerasi ini seharusnya dicek secara rutin dimana adanya
oksigen tidak boleh kurang (jika kurang oksigen tidak akan cukup digunakan oleh mikroba
untuk mendekomposisi bahan organik) dan juga tidak boleh lebih (jika oksigen berlebih maka
akan menjadi racun untuk mikroba itu sendiri), sehingga jumlah oksigen kedalam bak aerasi
harus cukup mengingat bak aerasi dan dekomposisi ini adalah bak diam dan statis/tidak
mengalir sehingga jumlah oksigen yang ditambahkan adalah faktor penting. Parameter-
parameter ini merupakan kondisi yang mendukung untuk proses lumpur aktif, sehingga
kemungkinan tidak optimalnya parameter ini memungkinkan mikroba yang mendekomposisi
bahan organik tidak bekerja secara optimal yang menyebabkan efisiensi pengolahan belum
efektif.
Sedangkan untuk pengukuran MLVSS dilakukan pada sampel limbah sebelum proses
dimana nilai MLVSS sama dengan nilai VSS. Nilai VSS adalah bahan organik yang mudah
teruapkan, dimana jumlahnya mewakili jumlah mikroorganisme yang ada didalamnya. Hal
ini dikarenakan bahan organik yang mudah menguap seperti protein, karbohidrat, glukosa, dll.
ada dalam bakteri sehingga jumlahnya mewakili banyaknya bakteri didalam sampel. Dari
hasil percobaan nilai TSS dari sampel adalah sebesar 37.637,5 mg/L. Berdasarkan literatur,
nilai TSS yang diperbolehkan adalah sebesar 50 mg/L (Pergub Bali No. 8 Tahun 2007). Bila
dibandingkan hasil percobaan dengan nilai literatur maka nilai TSS pada sampel, diatas nilai
yang diperbolehkan sehingga padatan tersuspensi yang terendapkannya cukup tinggi.
Sedangkan untuk mengetahui jumlah mikroba yang mendekomposisi bahan organik
dilakukan dengan mengukur VSS dimana pengukuran VSS ini didapat dari berat yang
dipanaskan pada oven dengan berat yang dipanaskan pada furnace, sehingga dapat diketahui
berat yang teruapkan dimana berat ini menunjukan banyaknya mikroorganisme yang ada
pada sampel. Dari hasil VSS didapat nilai VSS adalah sebesar. 37.596,25 mg/L. Hal ini
mewakili banyaknya kandungan organik yang akan didekomposisi oleh mikroorganisme pada
proses lumpur aktif. Dari nilai yang didapat, nilai VSS masih tinggi sehingga kandungan
organik yang akan didekomposisipun tinggi, sehingga membutuhkan banyak mikroba untuk
mendekomposisinya pada proses. Sedangkan untuk FSS atau padatan yang tidak mudah
teruapkan yang didapat adalah sebesar 41,25 mg/L. Pada ketiga parameter tersebut baik nilai
VSS, TSS maupun FSS masih tinggi dalam sampel limbah, hal ini dikarenakan belum adanya
pengolahan bahan organik pada limbah yang menyebabkan masih tingginya kandungan
padatan organik dan anorganik. Pada proses pengolahan limbah, padatan organik dalam
sampel didekomposisi oleh organik sehingga bila MLVSS diukur setelah proses maka jumlah
MLVSS akan berkurang (Kadarohman, 2004).
Sedangkan untuk pengukuran DO pada awal proses DO pada sampel air limbah adalah
sebesar 5,4 mg/L dimana oksigen terlarut pada sampel masih kecil (bila dibandingkan dengan
literatur SNI 01-3553-1996 dimana DO tidak boleh kurang dari 500 mg/L), bila nilai DO
diukur setelah proses lumpur aktif maka seharusnya nilai DO akan meningkat, dimana dari
hasil proses akan terjadi aerasi yang akan mengalirkan O2 kedalam sampel sehingga akan
menghasilkan okigen yang akan larut dalam sampel (McKinney, 1962). sedangkan pH pada
sampel limbah sudah netral.
KESIMPULAN
Dari percobaan yang dilakukan dapat disimpulkan:
1. Konsentrasi awal kandungan organik atau nilai COD sebelum proses adalah sebesar
6691,72 mg O2/L serta nilai COD setelah proses adalah sebesar 275 mg O2/L
2. Nilai efisiensi pengoalahan adalah sebesar 95,89%. Berdasarkan litertur efisiensi yang
efektif untuk penurunan COD adaah >85% (Lestari, 2003) sehingga penurunan COD
pada percobaan ini sudah efektif
3. Nilai TSS pada sampel adalah sebesar 37.637,5 mg/L, nilai FSS adalah sebesar 41,25
mg/L sedangakan nilai MLVSS atau VSS pada sampel adalah sebesar 37.596,25
mg/L
4. Nutrisi yang ditambahkan pada sampel, glukosa sebanyak 7,0384 gram, KNO3
sebanyak 2,5368 gram dan KH2PO4 sebanyak 0,3088 gram kedalam sampel limbah
yang telah di aerasi
DAFTAR PUSTAKA