Anda di halaman 1dari 26

CONTOH MAKALAH

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Hak merupakan unsur normatif yang melekat pada diri setiap
manusia sejak manusia masih dalam kandungan sampai akhir
kematiannya. Di di dalamnya tidak jarang menimbulkan gesekan-
gesekan antar individu dalam upaya pemenuhan HAM pada dirinya
sendiri. Hal inilah yang kemudian bisa memunculkan pelanggaran
HAM seorang individu terhadap individu lain,kelompok terhadap
individu, ataupun sebaliknya.
Setelah reformasi tahun 1998, Indonesia mengalami kemajuan
dalam bidang penegakan HAM bagi seluruh warganya. Instrumen-
instrumen HAM pun didirikan sebagai upaya menunjang komitmen
penegakan HAM yang lebih optimal. Namun seiring dengan kemajuan
ini, pelanggaran HAM kemudian juga sering terjadi di sekitar kita.
Untuk itulah kami menyusun makalah yang berjudul “Contoh Kasus
Pelanggaran Hak asai Manusia di Indonesia”,untuk memberikan
informasi tentang apa itu pelanggaran HAM.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka permasalahan
dapat dirumuskan sebagai berikut.
1. Apa Pengertian Pelanggaran Hak Asasi Manusia ?
2. Apa sajafaktor – faktor penyebab pelanggaran Hak Asasi Manusia?
3. Apa contoh dari kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia ?

C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk
1. Mendeskripsikan faktor-faktor yang memengaruhi kasus pelanggaran
Hak Asasi Manusia di Indonesia.
2. Mendeskripsikan contoh-contoh kasus pelanggaran Hak Asasi
Manusia yang pernah ada di Indonesia.
BAB II
LANDASAN TEORI

Secara teoritis Hak Asasi Manusia adalah hak yang melekat pada
diri manusia yang bersifat kodrati dan fundamental sebagai suatu
anugerah Tuhan yang harus dihormati, dijaga, dan dilindungi.
Sedangkan hakikat Hak Asasi Manusia sendiri adalah merupakan
upaya menjaga keselamatan eksistensi manusia secara utuh melalui
aksi keseimbangan antara kepentingan perseorangan dengan
kepentingan umum. Begitu juga upaya menghormati, melindungi, dan
menjunjung tinggi Hak Asasi Manusiamenjadi kewajiban dan tangung
jawab bersama antara individu, pemeritah (Aparatur Pemerintahan
baik Sipil maupun Militer), dan negara.
Kasus-Kasus Pelanggaran HAM di Indonesia Menurut Pasal 1
Ayat 6 No. 39 Tahun 1999 yang dimaksud dengan pelanggaran hak
asasi manusia setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang
termasuk aparat negara, baik disengaja maupun tidak disengaja atau
kelalaian yang secara hukum mengurangi, menghalangi, membatasi
dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang
yang dijamin oleh undang-undang dan tidak mendapatkan atau
dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyesalan hukum yang adil
dan benar berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku. Pada
tingkatan operasional, berbagai perencanaan program nasional telah
dicanangkan untuk menangani masalah pelanggaran HAM pada anak
antara lain penghapusan bentuk-bentuk terburuk pekerja anak,
penghapusan perdagangan perempuan dan anak, penghapusan
eksploitasi seksual komersial pada anak, penanganan terhadap anak
jalanan. Namun berbagai peraturan perundang-undangan yang ada
terhadap anak itu belum dapat memberikan jaminan bagi peningkatan
kualitas anak Indonesia. Banyaknya faktor yang menghambat
implementasi peraturan perundang-undangan di lapangan
menunjukkan bahwa masalah pembinaan kualiatas anak merupakan
masalah yang kompleks.
Faktor yang menghambat pengimplementasian ketentuan tersebut
dapat bersifat internal maupun eksternal. Untuk dapat mengentaskan
anak-anak dari kondisi demikian, yang perlu dilakukan pertama-tama
adalah: kenali masalah yang terdapat di dalam lingkungan terdekat
anak, yaitu keluarga.
Fungsi perlindungan atau proteksi kepada anak merupakan salah
satu fungsi yang penting karena dimaksudkan untuk menumbuhkan
rasa aman dan kehangatan dalam keluarga. Bila fungsi ini dapat
dikembangkan dengan baik, keluarga akan menjadi tempat
perlindungan yang aman secara lahiriah dan batin bagi seluruh
anggotanya. Namun, selain fungsi perlindungan keluarga juga
memiliki fungsi ekonomi. Fungsi itu menjadi pendukung kemampuan
kemandirian keluarga dan anggotanya dalam batas-batas ekonomi
masyarakat, bangsa, dan negara dimana keluarga itu hidup. Apabila
dikembangkan dengan baik fungsi ini dapat memberikan kepada
setiap keluarga kemampuan untuk mandiri dalam bidang ekonominya,
sehingga mereka dapat memilih bentuk dan arahan sesuai
kesanggupannya.
Dengan berkembangnya waktu, fenomena pekerja anak banyak
berkaitan erat dengan dengan alasan ekonomi keluarga (kemiskinan)
dan kesempatan memperoleh pendidikan. Pendapatan orangtua yang
sedikit tidak dapat mencukupi kebutuhan hidup keluarga sehingga
memaksa mereka untuk bekerja. Di lain pihak, biaya pendidikan di
Indonesia yang masih tinggi telah pula ikut memperkecil kesempatan
untuk mengikuti pendidikan.
Perbenturan kepentingan antara kedua fungsi inilah yang kadang
menimbulkan dilema bagi keluarga yag kehidupan ekonominya
kurang membahagiakan. Di satu sisi, keluarga harus mampu
memberikan perlindungan kepada anggotanya, termasuk anak-anak.
Namun di sisi lain, adanya fungsi ekonomi juga telah menuntut para
anggotanya untuk ikut memberikan sumbangan agar kebutuhan hidup
keluarga dapat terpenuhi, yaitu dengan bekerja. Karena itu tidak heran
jika kemudian muncul fenomena pekerja anak.
Fenomena pekerja anak di Indonesia pada awalnya banyak
berkaitan dengan tradisi atau budaya membantu orangtua, yang
banyak dianut oleh masyarakat Indonesia pada umunya. Ada beberapa
alasan yang dapat dikemukakan mengapa anak dilatih untuk bekerja.
Pertama, sebagian orangtua masih beranggapan bahwa memberi
pekerjaan kepada anak-anak merupakan upaya proses pembelajaran
agar anak mengerti arti tanggung jawab. Kedua, tindakan itu juga
dapat melatih dan memperkenalkan anak kepada dunia kerja. Ketiga,
untuk membantu meringankan beban kerja keluarganya.
Bahkan lebih parah lagi, saat ini fenomena pekerja anak masih
ditambah dengan munculnya fenomena anak jalanan di kota-kota
besar, yang makin menambah kompleksnya permasalahan. Jika kita
menyusuri jalan-jalan di sekitar Jakarta, dengan mudah kita akan
mendapatkan anak-anak usia sekolah yang mengamen atau sekedar
meminta-minta di lampu merah. Tidak jarang pula kita menemukan
mereka di dalam bis-bis kota. Mereka kemudian dikenal dengan
sebutan ‘anak jalanan’. Entah sebutan itu cocok atau tidak untuk
mereka. Sebagaimana anak-anak lain, anak jalanan juga menginginkan
hidup normal. Mereka anak kita juga yang membutuhkan tempat
untuk tinggal, rasa aman, nyaman, dan ingin diterima oleh masyarakat.
Fenomena anak jalanan merupakan ekses lingkaran setan
kemiskinan bangsa Indonesia. Kendala yang dihadapi mobilitas anak-
anak itu cukup tinggi. Anak-anak yang dibimbing di rumah singgah,
setelah keluar, kadang kembali menjadi anak-anak jalanan. Sebab,
kebutuhan ekonomi tidak terelakkan. Sayangnya, perhatian kepada
anak-anak terkesan digelar pada momen-momen tertentu saja. mereka
yang hidup di jalanan sebagai, pengamen, pedagang asongan,
pengemis, dan pelacur. Paru-paru mereka tidak hanya menghirup
kerasnya udara yang mengandung timbal dan karbon monoksida tapi
juga menghisap asap kekerasan purba langsung dari akarnya.
Secara, struktural negara bisa disalahkan sebagai penyebab
buruknya kondisi anak-anak di negeri ini. Karena negara sebagai
pemegang kekuasaan membuat kebijakan yang sering tak berpihak
pada masyarakat bawah. Kebijakan itu menyebabkan orang miskin
yang makin terbelenggu dan tidak berdaya. Kemiskinan menjadi satu
faktor pemicu terjadinya pelanggaran hak asasi manusia (HAM) pada
anak. Anak dalam keluarga miskin mengalami subordinasi ganda,
yaitu ada supremasi dari yang kaya dan orang dewasa. Hak anak bisa
dilanggar karena dia anak-anak dan miskin.
Menyalahkan negara sebagai satu-satunya pihak yang
bertanggung jawab tak secara otomatis membawa kehidupan anak
menjadi lebih baik. Kita semua, tanpa disadari, telah menjadi orang
dewasa, para orang tua yang merangkap sebagai eksekutor bagi anak-
anak kita sendiri. Algojo yang menghukum anak secara tidak
proporsional. Hukuman yang menghabiskan seluruh energi kehidupan
dan masa depan anak-anak dalam bayang-bayang trauma jalanan, dan
debu peperangan.
BAB III
PEMBAHASAN

A. Pengertian pelanggaran Hak Asasi manusia


Menurut Pasal 1 Angka 6 No. 39 Tahun 1999 yang dimaksud
dengan pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan
seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara, baik
disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara hukum
mengurangi, menghalangi, membatasi dan atau mencabut hak asasi
manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh undang-
undang dan tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak akan
memperoleh penyesalan hukum yang adil dan benar berdasarkan
mekanisme hukum yang berlaku.
Menurut UU no 26 Tahun 2000 tentang pengadilan HAM,
Pelanggaran HAM adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok
orng termasuk aparat negara baik disengaja atau kelalaian yang secara
hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut Hak
Asasi Manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh
Undang-Undang ini, dan tidak didapatkan, atau dikhawatirksn tidak
akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar,
berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.
Dengan demikian pelanggaran HAM merupakan tindakan
pelanggaran kemanusiaan baik dilakukan oleh individu maupun oleh
institusi negara atau institusi lainnya terhadap hak asasi individu lain
tanpa ada dasar atau alasan yuridis dan alasan rasional yang menjadi
pijakanya.

B. Faktor - faktor penyebab Pelanggaran Hak Asasi Manusia


Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) disebabkan oleh faktor –
faktor berikut :
Faktor internal, yaitu dorongan untuk melakukan pelanggaran
HAM yang berasal dari diri pelaku pelanggar HAM, diantaranya
adalah:
1. Sikap egois atau terlalu mementingkan diri sendiri.
Sikap ini akan menyebaabkan seseorang untuk selalu
mennuntutkan haknya, sementara kewajibabannya sering diabaikan.
Seseorang yang mempunyi sikap seperti ini, akan menghalalkan
segala cara supaya haknya bisa terpenuhi, meskipun caranya tersebut
dapan melanggar hak orang lain
2. Rendahnya kesadaran HAM.
Hal ini akan menyebabkan pelaku pelanggaran HAM berbuat
seenaknya. Pelaku tidak mau tahu bahwa orang lain pun mempunyai
hak asasi yang harus dihormati. Sikap tidak mau tahu itu berakibat
muncul perilaku atau tindakan penyimpangan terhadap hak asasi
manusia
3. Sikap tidak toleran
Sikap ini akan menyebabkan munculnya saling tidak menghargai
dan tidak menghormati atas kedudukan atau keberadaan orang lain.
Sikap ini pada akhirnya akan mendorong orang untuk melakukan
diskriminasi kepada orang lain.
Faktor eksternal, yaitu faktor-faktor di luar diri manusia yang
mendorong seorang atau sekelompok orang melakukan pelanggaran
HAM, diantaranya sebagai berikut:
1. Penyalahgunaan kekuasaan
Di Masyarakat terdapat banyak kekuasaan yang berlaku.
Kekuasaan disini tidak hanya menunjuk pada kekuasaan pemerintah,
tetapi juga bentuk – bentuk kekuasaan lain yang terdapat di
masyarakat.
2. Ketidaktegasan aparat penegak huku,
Aparat penegak hukum yang tidak bertindak tegas terhadap setiap
pelanggaran HAM, tentu saja akan mendorong timbulya pelanggaran
HAM lainnya.
3. Penyalahgunaan teknologi
Kemajuan teknologi dapat memberikan pengaruh yang positif,
tetapi bisa juga memberikan pengaruh negatif bahkan dapat memicu
timbulnya kejahatan.

4. Kesenjangan sosial dan ekonomi yang tinggi


Kesenjangan menggambarkan telah terjadinya ketidakseimbangan
yang mencolok didalam kehidupan masyarakat.

C. Contoh – contoh kasus pelanggaran HAM


Di Indonesia, meskipun pemerintah telah mengeluarkan peraturan
perundangan – undangan mengenai HAM, namun pelanggaran HAM
tetap selalu ada baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun olej
masyarkat sendiri.
Berikut ini beberapa contoh kasus pelanggaran HAM yang pernah
terjadi di Indonesia :
1. Kasus Trisakti dan Semanggi
Kasus pelanggaran HAM Trisakti dan Semanggi ini erat berkaitan
dengan gerakan reformasi pada 1998 lalu. Dipicu oleh krisis ekonomi
pada tahun 1997 dan tindakan KKN pada masa kepemimpinan
Presiden Soeharto, maka terjadilah gerakan reformasi besar-besaran
yang dipelopori oleh mahasiswa. Para mahasiswa pun melakukan
demo yang berujung pada bentrok fisik dengan aparat. Hal inilah yang
akhirnya menyebabakan tewasnya 4 mahasiswa dari Universitas
Trisakti akibat tembakan peluru aparat. Sedangkan tragedi Semanggi
terjadi 6 bulan kemudian pada 13 November 1998 yang menewaskan
5 mahasiswa. Dua peristiwa ini memicu kerusuhan di seluruh wilayah
Indonesia. Kerusuhan dan kekerasan pun terjadi di mana-mana dan
menewaskan ribuan warga. Peristiwa kerusuhan Mei 1998 ini pun
dicatat sebagai salah satu tahun kelam sejarah bangsa Indonesia.
2. Kasus Marsinah
Kasus pelanggaran HAM Marsinah terjadi pada tanggal 3 dan 4
Mei 1993. Kasus ini berawal dari unjuk rasa dan pemogokan yang
dilakukan buruh PT.CPS. Marsinah dan 12 buruh lain menuntut
kepada perusahaan untuk mencabut status PHK pada mereka. Namun
berselang 5 hari kemudian, Marsinah ditemukan tewas di hutan
Wilangan, kota Nganjuk dalam keadaan yang mengenaskan.
3. Kasus Bom Bali
Kasus Bom Bali juga menjadi salah satu kasus pelanggaran HAM
terbesar di Indonesia. Peristiwa ini terjadi pada 12 November 2002, di
mana terjadi peledakan bom oleh kelompok teroris di daerah Legian
Kuta, Bali. Total ada 202 orang yang meninggal dunia, baik dari
warga lokal maupun turis asing mancanegara yang sedang berlibur.
Akibat peristiwa ini, terjadi kepanikan di seluruh Indonesia akan
bahaya teroris yang terus berlangsung hingga tahun-tahun berikutnya.
4. Kasus Pembunuhan Munir
Kasus pembunuhan Munir merupakan salah satu pelanggaran
HAM di Indonesia yang kasusnya belum terselesaikan hingga
akhirnya ditutup. Munir Said Thalib bukan sembarang orang, dia
adalah seorang aktivis HAM yang pernah menangani kasus-kasus
pelanggaran HAM. Ia meninggal pada tanggal 7 September 2004 di
dalam pesawat Garuda Indonesia dalam perjalanan menuju kota
Amsterdam di Belanda. Banyak yang menganggap bahwa Munir
meninggal karena dibunuh atau diracuni oleh suatu kelompok tertentu.
Sayangnya hingga kini kasus kematian Munir ini belum jelas dan
kasusnya sendiri akhirnya ditutup.
5. Peristiwa Tanjung Priok
Kasus pelanggaran HAM di Indonesia lain pernah terjadi di
wilayah Tanjung Priok, Jakarta Utara. Kasus ini murni pelanggaran
HAM. Bermula ketika warga sekitar Tanjung Priok, Jakarta Utara
melakukan demonstrasi beserta kerusuhan karena adanya upaya
pemindahan makam keramat Mbah Priok untuk kepentingan lain. Hal
ini lalu mengakibatkan bentrok antara warga dengan kepolisian dan
anggota TNI yang mengakibatkan sebagian warga tewas dan luka-
luka.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
HAM adalah hak-hak dasar yang dimiliki oleh manusia sesuai
dengan kiprahnya. Setiap individu mempunyai keinginan agar HAM-
nya terpenuhi, tapi satu hal yang perlu kita ingat bahwa Jangan pernah
melanggar atau menindas HAM orang lain. Dalam kehidupan
bernegara HAM diatur dan dilindungi oleh perundang-undangan RI,
dimana setiap bentuk pelanggaran HAM baik yang dilakukan oleh
seseorang, kelompok atau suatu instansi atau bahkan suatu Negara
akan diadili dalam pelaksanaan peradilan HAM, pengadilan HAM
menempuh proses pengadilan melalui hukum acara peradilan HAM
sebagaimana terdapat dalam Undang-Undang pengadilan HAM.

B. Saran
Sebagai makhluk sosial kita harus mampu mempertahankan dan
memperjuangkan HAM kita sendiri. Di samping itu kita juga harus
bisa menghormati dan menjaga HAM orang lain jangan sampai kita
melakukan pelanggaran HAM. Dan Jangan sampai pula HAM kita
dilanggar dan dinjak-injak oleh orang lain. Jadi dalam menjaga HAM
kita

DAFTAR PUSTAKA
Kaelan. 2007. “Pendidikan Kewarganegaraan”. Paradigma. Jogjakarta

Zaelani, Endang Sukaya.”Pendidikan


Kewarganegaraan”.Paradigma.Jogjakarta

Herdiawanto, Hery.”Pendidikan Kewarganegaraan”.Erlangga.Jakarta

Azra,Azyumardi.”Demokrasi Hak Asasi Manusia Masyarakat Madani”.


ICCE UIN. Jakarta
PENGERTIAN TRI SAKTI
Tragedi Trisakti adalah peristiwa penembakan, pada
tanggal 12 Mei 1998, terhadap mahasiswa pada saat
demonstrasi menuntut Soeharto turun dari jabatannya.
Kejadian ini menewaskan empat mahasiswa
Universitas Trisakti di Jakarta,Indonesia serta puluhan
lainnya luka.
Mereka yang tewas adalah Elang Mulia
Lesmana (1978-1998), Heri Hertanto (1977 -
1998), Hafidin Royan (1976 - 1998), dan Hendriawan
Sie (1975 - 1998). Mereka tewas tertembak di dalam
kampus, terkena peluru tajam di tempat-tempat vital
seperti kepala, tenggorokan, dan dada. Peristiwa
penembakan empat mahasiswa Universitas Trisakti ini
juga digambarkan dengan detail dan akurat oleh
seorang penulis sastra dan jurnalis, Anggie D.
Widowati dalam karyanya berjudul Langit Merah
Jakarta
Ekonomi Indonesia mulai goyah pada awal 1998, yang
terpengaruh oleh krisis finansial Asia sepanjang 1997-
1999. Mahasiswa pun melakukan aksi demonstrasi
besar-besaran ke Gedung Nusantara, termasuk
mahasiswa Universitas Trisakti.
KASUS PELANGGARAN HAM
TRISKATI
Pelanggaran HAM pada Tragedi Trisakti 1998

Hak Asasi Manusia (HAM) adalah hak yang melekat pada diri
setiap manusia sejak awal dilahirkan yang berlaku seumur hidup dan
tidak dapat diganggu gugat oleh siapa pun. Undang-Undang Dasar
1945 sebagai norma hukum tertinggi telah memuat pasal-pasal yang
menjamin perlindungan, pemajuan, penegakkan, dan pemenuhan
HAM. Oleh karena itu, sebagai warga negara yang baik, kita
mempunyai kewajiban untuk menjunjung tinggi nilai hak asasi
manusia tanpa membeda-bedakan golongan, status, keturunan, dan
lain-lain. Sehingga, melanggar hak asasi seseorang bertentangan
dengan hukum yang berlaku di Indonesia dan dengan kita
melanggar hak asasi sesorang, berarti kita telah merenggut hak asasi
orang tersebut.

Pelanggaran hak asasi manusia memang bertentangan dengan


hukum yang berlaku di Indonesia, akan tetapi, masih banyak
ditemukan sejumlah kasus pelanggaran hak asasi manusia di
Indonesia. Salah satu contoh kasus pelanggaran hak asasi manusia
di Indonesia adalah Tragedi Trisakti 1998. Jaminan hak asasi
manusia yang telah dilanggar dalam kasus itu adalah jaminan hak
untuk hidup. Jaminan hak asasi tersebut tercantum pada UUD 1945
Pasal 28A.

Sesuai dengan UUD 1945 Pasal 28A yang berbunyi: “Setiap orang
berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan
kehidupannya.” Dalam pasal 28A tersebut jelas diterangkan bahwa
pasal tersebut menjamin hak seseorang untuk hidup. Tetapi, dalam
kasus Tragedi Trisakti 1998, para anggota polisi dan militer/TNI
yang terlibat dalam kasus itu telah merenggut hak hidup mahasiswa
Universitas Trisakti dengan cara menginjak, memukuli, dan
menembak mahasiswa secara brutal. Akibat dari peristiwa itu, 6
orang dinyatakan tewas dan 16 orang lainnya mengalami luka parah.

Kasus tersebut mengakibatkan beberapa kejadian yang juga


menimbulkan pelanggaran hak asasi manusia. Salah satunya terjadi
amuk massa dimana-mana, bahkan etnis China juga menjadi
sasarannya. Selain membunuh, massa yang mengamuk itu juga
memperkosa para wanita keturunan etnis tersebut. Hanya dari
sebuah kasus yang melanggar satu bahkan lebih jaminan hak asasi
manusia saja, dapat mengakibatkan pelanggaran hak asasi manusia
yang lain.

Kita tidak bisa membiarkan kasus-kasus seperti itu terjadi lagi dan
lagi. Oleh karena itu, sebaiknya hak asasi manusia untuk hidup perlu
adanya peningkatan jaminan perlindungan, pemenuhan, pemajuan,
dan penegakkannya. Tanpa adanya jaminan yang lebih menjamin,
seperti penegakkan hukum, maka kasus-kasus tersebut akan terus
terjadi. Karena jika penegakkan hukum tidak dilakukan, khawatir
nantinya akan banyak orang yang tidak segan untuk melanggarnya.

Penegakkan hukum untuk menjamin perlindungan dan pemenuhan


dari hak asasi manusia, dapat dilakukan dengan memberatkan sanksi
kepada pelanggar hak asasi manusia. Dengan sanksi yang berat,
serta para penegak hukum yang tegas, jujur, dan adil, dapat
meminimalisir kasus pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia.
Kita sebagai warga negara yang baik, harus terus berupaya agar hak
asasi manusia untuk hidup terjamin perlindungan, pemenuhan,
pemajuan, dan penegakkannya. Karena jangan sampai hidup
seseorang terbuang sia-sia hanya karena masalah yang sebenarnya
sepele.

Selain itu, alasan mengapa hak asasi manusia untuk hidup penting
untuk dijamin perlindungan, pemenuhan, pemajuan, dan
penegakkannya adalah karena jika tidak terjamin akan menimbulkan
perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan.
Alasan lainnya adalah karena pemerintah yang berwenang dalam
perlindungan, pemenuhan, pemajuan, dan penegakkan hak asasi
manusia mempunyai kewajiban untuk memenuhi hak warga negara
Indonesia untuk hidup. Jika pemerintah tidak menjaminnya, maka
pemerintah telah melanggar kewajibannya. Sehingga, penting bagi
kita khususnya pemerintah yang berwenang untuk menjamin
perlindungan, pemenuhan, pemajuan, dan penegakkan hak asasi
manusia.

Kasus pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia memang banyak


yang belum terselesaikan atau tuntas. Seperti halnya kasus Tragedi
Trisakti 1998 yang sulit untuk dipecahkan. Kasus Trisakti ini sudah
terjadi bertahun-tahun yang lalu, tetapi para pelaku tidak pernah
terungkap secara jelas atau detail. Salah satu alasan sulitnya
memecahkan kasus ini adalah keterlibatan orang-orang penting
(berkuasa) pada saat itu atau bahkan sampai saat ini. Sehingga
terdapat banyak hal-hal yang menghambat terpecahkannya kasus
tersebut.

Sebenarnya ada beberapa solusi yang dapat mengatasi kasus Trisakti


khususnya kasus yang berkaitan tentang pelanggaran hak asasi
manusia untuk hidup. Pertama, pemerintah melalui Komnas HAM,
harus menyelidiki dengan seksama tentang apa yang terjadi pada
saat itu, penyebab timbulnya masalah, dan siapa saja pelaku yang
berperan serta dalam masalah itu. Kedua, jika ternyata Komnas
HAM dan pemerintah tidak sanggup melakukan penegakan hak
asasi manusia di Indonesia, maka kita harus meminta lembaga yang
lebih tinggi, yaitu PBB. Hal ini bertujuan untuk mengambil alih
kasus ini sebelum kasus ini kadaluarsa dan ditutup.

Ketiga, menghargai hak-hak asasi dari warga negara Indonesia,


dengan mengusahakan secara maksimal agar hak kita untuk hidup
dijunjung tinggi, begitu pula hak asasi lain seperti hak kita untuk
memperoleh penghidupan yang layak, perekonomian yang baik,
kebebasan mengemukakan pendapat, perlakuan yang sama
dihadapan hukum, dan lain sebagainya. Keempat, pemerintah yang
berwenang harus menegakkan/menegaskan hukum yang berlaku
yang berkaitan dengan jaminan hak asasi manusia di Indonesia,
serta memberikan sanksi yang berat dan tegas bagi pelaku
pelanggaran hak asasi manusia. Saya berharap, dengan beberapa
solusi tadi dapat mengurangi kasus-kasus pelanggaran hak asasi
manusia di Indonesia khususnya pelanggaran hak hidup.

Pemerintah akhirnya memutuskan untuk menyelesaikan kasus


pelanggaran berat HAM Tragedi Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II
(kasus TSS) melalui jalur non-yudisial atau rekonsiliasi. Ketua Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia ( Komnas HAM) Imdadun Rahmat
mengatakan, keputusan tersebut diambil berdasarkan sikap politik
pemerintah saat ini. "Pilihan politik pemerintah saat ini kan jalur non-
yudisial atau rekonsiliasi. Pemerintah maunya kan seperti itu. Untuk
penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu ya menempuh jalur non-
yudisial," ujar Imdadun, seusai rapat koordinasi penyelesaian kasus
pelanggaran berat HAM masa lalu dengan Menteri Koordinator bidang
Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto di Kantor Kemenko
Polhukam, Jakarta Pusat, Senin (30/1/2017). Imdadun mengaku sulit
untuk memaksakan penyelesaian kasus TSS melalui jalur pengadilan
HAM ad hoc. Selain karena pilihan politik pemerintah, selama ini pihak
Kejaksaan Agung juga tidak bisa bekerja sama dalam menindaklanjuti
hasil penyelidikan Komnas HAM. "Kami memang mendorong jalur
yudisialnya tapi kalau kemudian Kejaksaan Agung-nya tidak
kooperatif terus, apa yang bisa dilakukan oleh Komnas HAM? Karena
kalau penyelidik itu harus bekerja sama dengan penyidik," kata dia.
Imdadun mengatakan, dengan keadaan politik saat ini, sulit jika upaya
penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu hanya
mengandalkan satu opsi. Komnas HAM akan terus berkomunikasi
dengan pemerintah terkait konsep rekonsiliasi agar tetap memenuhi
prinsip-prinsip universal HAM dan pemenuhan hak korban.
"Bagaimana caranya (rekonsiliasi) masih akan kami bicarakan. Dalam
hal ini Komnas menjaga agar prinsip-prinsip HAM dalam rekonsiliasi
itu terpenuhi," kata Imdadun. Secara terpisah, Menko Polhukam
Wiranto mengatakan, pemerintah menginginkan adanya bentuk
penyelesaian kasus HAM masa lalu tanpa menimbulkan masalah
baru. "Bangsa ini sudah terlalu berat untuk bersaing dengan bangsa
lain terutama dalam situasi sekarang ini, jangan sampai kita
menambah masalah ini, untuk memberikan tekanan pada pihak
pemerintah dan bangsa indonesia yang sedang berjuang," ujar
Wiranto. Sebelumnya, hasil penyelidikan KPP HAM Tragedi Trisakti,
Semanggi I dan II pada bulan Maret 2002, menyatakan bahwa ketiga
tragedi tersebut bertautan satu sama lain. KPP HAM TSS juga
menyatakan, bahwa “…terdapat bukti-bukti awal yang cukup bahwa di
dalam ketiga tragedi telah terjadi pelanggaran berat HAM yang antara
lain berupa pembunuhan, peganiayaan, penghilangan paksa,
perampasan kemerdekaan dan kebebasan fisik yang dilakukan
secara terencana dan sistematis serta meluas…”. Komnas HAM
melalui KPP HAM TSS merekomendasikan untuk melanjutkan
penyidikan terhadap sejumlah petinggi TNI/POLRI pada masa itu.
Namun, hingga saat ini pihak Kejaksaan Agung belum pernah
melakukan penyidikan untuk merespon hasil penyelidikan Komnas
HAM.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Pemerintah


Putuskan Penyelesaian Kasus Trisakti dan Semanggi Melalui Jalur
Rekonsiliasi", https://nasional.kompas.com/read/2017/01/30/2227035
1/pemerintah.putuskan.penyelesaian.kasus.trisakti.dan.semanggi.mel
alui.jalur.rekonsiliasi.

Penulis : Kristian Erdianto

Tragedi ini menambah catatan hitam pelanggaran


HAM berat aparat tehadap masyarakat sipil di masa
Orde Baru. Hingga dua dekade peringatan Reformasi,
penyelesaiannya kasusnya masih menemui jalan
buntu. Berikut merahputih.com merangkum upaya
penyelesaian kasus tersebut;

6 Juni 1998

Tiga minggu setelah tragedi terjadi, pengadilan militer


untuk kasus tragedi Trisakti dimulai di Mahkamah
Militer 11-08 Jakarta dengan terdakwa Lettu Polisi
Agustri Heryanto dan Letda Polisi Pariyo.
31 Maret 1999

Enam terdakwa kasus Trisakti dihukum 2-10 bulan.

18 Juni 2001

Kasus penembakan terhadap empat mahasisiwa


Universitas Trisakti kembali disidangkan di
Mahkamah Militer II-08 Jakarta. Persidangan kali ini
mengajukan sebelas orang anggota Brimob Polri.

9 Juli 2001

Rapat paripurna DPR RI mendengarkan hasil laporan


Pansus TSS, disampaikan Sutarjdjo Surjoguritno. Isi
laporan : 1. F-PDI P, F PDKB, F PKB (3 fraksi )
menyatakan kasus Trisakti, Semanggi I dan II terjadi
unsur pelanggaran HAM Berat. Sedangkan F- Golkar,
F- TNI/Polri, F-PPP, F-PBB, F -Reformasi, F-KKI, F-
PDU (7 fraksi) menyatakan tidak terjadi pelanggaran
HAM berat pada kasus TSS.

30 Juli 2001
Komisi Penyelidik Pelanggaran HAM Trisakti
Semanggi I dan II dibentuk oleh Komnas HAM.

Januari 2002

Sembilan terdakwa kasus penembakan mahasiswa


Trisakti di Pengadilan Militer dihukum 3-6 tahun
penjara.

21 Maret 2002

KPP HAM Trisakti menyimpulkan 50 perwira TNI/Polri


diduga terlibat dalam pelanggaran HAM berat.

11 Maret 2003

Kejaksaan Agung menolak melakukan penyidikan


untuk kasus Trisakti Semanggi I dan II karena tidak
mungkin mengadili kasus sebanyak 2 kali (prinsip ne
bis in idem).

30 Juni 2005
Komisi Hukum dan HAM DPR merekomendasikan
kepada pimpinan DPR RI agar kasus Trisakti
Semanggi I dan II dibuka kembali. Putusan terhadap
hal ini akan dinyatakan dalam rapat paripurna DPR
RI, 5 Juli 2005. Dukungan juga datang dari Fraksi-
fraksi di DPR, yaitu F PKS, F PDIP dan F PDS.

6 Juli 2005

Rapat Pimpinan DPR gagal mengagendakan


pencabutan rekomendasi Pansus DPR 2001 yang
menyatakan kasus TSS bukan pelanggaran HAM
berat. Padahal beberapa hari sebelumnya tingkat
Komisi III DPR telah bersepakat untuk membatalkan
rekomendasi tersebut.

5 Maret 2007

Rapat Tripartit antara Komnas HAM, Komisi III dan


Kejaksaan Agung RI. Dalam rapat ini Kejaksaan
Agung tetap bersikukuh tidak akan melakukan
penyidikan sebelum terbentuk pengadilan HAM ad
hoc. Selain itu, Komisi III juga memutuskan
pembentukan Panitia Khusus (PANSUS) orang
hilang.

13 Maret 2007

Rapat Badan Musyawarah (Bamus) DPR RI


memutuskan tidak akan mengagendakan persoalan
penyelesaian tragedi TSS ke Rapat Paripurna pada
20 Maret nanti. Artinya, penyelesaian kasus TSS
akan tertutup dengan sendirinya dan kembali ke
rekomendasi Pansus sebelumnya.

April 2015

Jaksa Agung HM Prasetyo menyatakan pemerintah


akan membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi
untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM,
termasuk kasus penembakan 12 Mei 1998. Komisi itu
terdiri dari Kementerian Koordinator Politik, Hukum,
dan Keamanan; Kejaksaan Agung; Kepolisian Negara
RI, Tentara Nasional Indonesia; Badan Intelijen
Negara; serta Komnas HAM.

30 Januari 2017

Pemerintah akhirnya memutuskan untuk


menyelesaikan kasus pelanggaran berat HAM
Tragedi Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II (kasus
TSS) melalui jalur non-yudisial atau rekonsiliasi.
Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia ( Komnas
HAM) Imdadun Rahmat mengatakan, keputusan
tersebut diambil berdasarkan sikap politik pemerintah
saat ini. (Zai)

Anda mungkin juga menyukai