Anda di halaman 1dari 15

LAPORAN PENDAHULUAN

PADA PASIEN DENGAN BENINGNA PROSTAT HIPERPLASIA (BPH)

DI RUANG POLIKLINIK UROLOGI

RS ISLAM FAISAL

OLEH:

TINA RUANI

PO714201161090

CI LAHAN CI INSTITUSI

( ) ( )

DIV KEPERAWATAN

POLTEKKES KEMENKES MAKASSAR

2017-2018
BENIGNA PROSTATE HYPERPLASI (BPH)

A. Pengertian
1. Hiperplasia prostat jinak (BPH) adalah penyakit yang disebabkan oleh penuaan.
Price&Wilson (2005)
2. Hiperplasia prostat jinak adalah pembesaran kelenjar prostat nonkanker, (Corwin,
2000)
3. BPH adalah suatu keadaan dimana prostat mengalami pembesaran memanjang
keatas kedalam kandung kemih dan menyumbat aliran urin dengan cara menutupi
orifisium uretra. (Smeltzer dan Bare, 2002)
4. Hiperplasi prostat adalah pembesaran progresif dari kelenjar prostat (secara
umum pada pria > 50 tahun) yang menyebabkan berbagai derajat obstruksi uretra
dan pembiasan aliran urinarius. (Doenges, 1999)
5. Menurut Doenges (1999) dan Engram (1998) untuk mengatasi BPH, tindakan
infasif medikal yang sering digunakan oleh Rumah Sakit adalah prostatektomy,
yaitu tindakan pembedahan bagian prostat (sebagian/seluruh) yang memotong
uretra bertujuan untuk memperbaiki aliran urin dan menghilangkan retensi
urinaria akut.
Kesimpulan BPH (benign prostatic hyperplasia) adalah suatu penyakit yang
disebabkan oleh faktor penuaan, dimana prostat mengalami pembesaran
memanjang keatas kedalam kandung kemih dan menyumbat aliran urin dengan
cara menutupi orifisium uretra. Prostatektomy merupakan tindakan pembedahan
bagian prostate (sebagian/seluruh) yang memotong uretra, bertujuan untuk
memeperbaiki aliran urin dan menghilangkan retensi urinaria akut.

B. Etiologi
Menurut Purnomo (2000), hingga sekarang belum diketahui secara pasti
penyebab prostat hiperplasi, tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa hiperplasi
prostat erat kaitannya dengan peningkatan kadar dehidrotestosteron (DHT) dan
proses penuaan. Beberapa hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya
hiperplasi prostat adalah :
1. Adanya perubahan keseimbangan antara hormon testosteron dan estrogen pada
usia lanjut
2. Peranan dari growth factor (faktor pertumbuhan) sebagai pemicu pertumbuhan
stroma kelenjar prostat
3. Meningkatnya lama hidup sel-sel prostat karena berkurangnya sel yang mati
4. Teori sel stem, menerangkan bahwa terjadi proliferasi abnormal sel stem
sehingga menyebabkan produksi sel stroma dan sel epitel kelenjar prostat
menjadi berlebihan.
Pada umumnya dikemukakan beberapa teori :
- Teori Sel Stem, sel baru biasanya tumbuh dari sel stem. Oleh karena suatu sebab
seperti faktor usia, gangguan keseimbangan hormon atau faktor pencetus lain.
Maka sel stem dapat berproliferasi dengan cepat, sehingga terjadi hiperplasi
kelenjar periuretral.
- Teori kedua adalah teori Reawekering (Neal, 1978) menyebutkan bahwa jaringan
kembali seperti perkembangan pada masa tingkat embriologi sehingga jaringan
periuretral dapat tumbuh lebih cepat dari jaringan sekitarnya.
- Teori lain adalah teori keseimbangan hormonal yang menyebutkan bahwa dengan
bertambahnya umur menyebabkan terjadinya produksi testosteron dan terjadinya
konversi testosteron menjadi estrogen. (Kahardjo, 1995).

C. Patofisiologi
Kelenjar prostat adalah salah satu organ genetalia pria yang terletak di sebelah
inferior buli-buli, dan membungkus uretra posterior. Bentuknya sebesar buah kenari
dengan berat normal pada orang dewasa ± 20 gram. Menurut Mc Neal (1976) yang
dikutip dan bukunya Purnomo (2000), membagi kelenjar prostat dalam beberapa
zona, antara lain zona perifer, zona sentral, zona transisional, zona fibromuskuler
anterior dan periuretra (Purnomo, 2000). Sjamsuhidajat (2005), menyebutkan bahwa
pada usia lanjut akan terjadi perubahan keseimbangan testosteron estrogen karena
produksi testosteron menurun dan terjadi konversi tertosteron menjadi estrogen pada
jaringan adipose di perifer. Purnomo (2000) menjelaskan bahwa pertumbuhan
kelenjar ini sangat tergantung pada hormon testosteron, yang di dalam sel-sel kelenjar
prostat hormon ini akan diubah menjadi dehidrotestosteron (DHT) dengan bantuan
enzim alfa reduktase. Dehidrotestosteron inilah yang secara langsung memacu m-
RNA di dalam sel-sel kelenjar prostat untuk mensintesis protein sehingga terjadi
pertumbuhan kelenjar prostat.
Oleh karena pembesaran prostat terjadi perlahan, maka efek terjadinya perubahan
pada traktus urinarius juga terjadi perlahan-lahan. Perubahan patofisiologi yang
disebabkan pembesaran prostat sebenarnya disebabkan oleh kombinasi resistensi
uretra daerah prostat, tonus trigonum dan leher vesika dan kekuatan kontraksi
detrusor. Secara garis besar, detrusor dipersarafi oleh sistem parasimpatis, sedang
trigonum, leher vesika dan prostat oleh sistem simpatis. Pada tahap awal setelah
terjadinya pembesaran prostat akan terjadi resistensi yang bertambah pada leher
vesika dan daerah prostat. Kemudian detrusor akan mencoba mengatasi keadaan ini
dengan jalan kontraksi lebih kuat dan detrusor menjadi lebih tebal. Penonjolan serat
detrusor ke dalam kandung kemih dengan sistoskopi akan terlihat seperti balok yang
disebut trahekulasi (buli-buli balok). Mukosa dapat menerobos keluar diantara serat
aetrisor. Tonjolan mukosa yang kecil dinamakan sakula sedangkan yang besar
disebut divertikel. Fase penebalan detrusor ini disebut Fase kompensasi otot dinding
kandung kemih. Apabila keadaan berlanjut maka detrusor menjadi lelah dan akhirnya
mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga terjadi
retensi urin.Pada hiperplasi prostat digolongkan dua tanda gejala yaitu obstruksi dan
iritasi. Gejala obstruksi disebabkan detrusor gagal berkontraksi dengan cukup lama
dan kuat sehingga kontraksi terputus-putus (mengganggu permulaan miksi), miksi
terputus, menetes pada akhir miksi, pancaran lemah, rasa belum puas setelah miksi.
Gejala iritasi terjadi karena pengosongan yang tidak sempurna atau pembesaran
prostat akan merangsang kandung kemih, sehingga sering berkontraksi walaupun
belum penuh atau dikatakan sebagai hipersenitivitas otot detrusor (frekuensi miksi
meningkat, nokturia, miksi sulit ditahan/urgency, disuria).
Karena produksi urin terus terjadi, maka suatu saat vesiko urinaria tidak mampu
lagi menampung urin, sehingga tekanan intravesikel lebih tinggi dari tekanan sfingter
dan obstruksi sehingga terjadi inkontinensia paradox (overflow incontinence). Retensi
kronik menyebabkan refluks vesiko ureter dan dilatasi. ureter dan ginjal, maka ginjal
akan rusak dan terjadi gagal ginjal. Kerusakan traktus urinarius bagian atas akibat
dari obstruksi kronik mengakibatkan penderita harus mengejan pada miksi yang
menyebabkan peningkatan tekanan intraabdomen yang akan menimbulkan hernia dan
hemoroid. Stasis urin dalam vesiko urinaria akan membentuk batu endapan yang
menambal. Keluhan iritasi dan hematuria. Selain itu, stasis urin dalam vesika urinaria
menjadikan media pertumbuhan mikroorganisme, yang dapat menyebabkan sistitis
dan bila terjadi refluks menyebabkan pyelonefritis (Sjamsuhidajat, 2005)

D. Manifestasi Klinis
Gambaran klinis pada hiperplasi prostat digolongkan dua tanda gejala yaitu
obstruksi dan iritasi. Gejala obstruksi disebabkan detrusor gagal berkontraksi dengan
cukup lama dan kuat sehingga mengakibatkan: pancaran miksi melemah, rasa tidak
puas sehabis miksi, kalau mau miksi harus menunggu lama (hesitancy), harus
mengejan (straining) kencing terputus-putus (intermittency), dan waktu miksi
memanjang yang akhirnya menjadi retensio urin dan inkontinen karena overflow.
Gejala iritasi, terjadi karena pengosongan yang tidak sempurna atau pembesaran
prostat akan merangsang kandung kemih, sehingga sering berkontraksi walaupun
belum penuh atau dikatakan sebagai hipersenitivitas otot detrusor dengan tanda dan
gejala antara lain: sering miksi (frekwensi), terbangun untuk miksi pada malam hari
(nokturia), perasaan ingin miksi yang mendesak (urgensi), dan nyeri pada saat miksi
(disuria) (Mansjoer, 2000)

Derajat berat BPH menurut Sjamsuhidajat (2005) dibedakan menjadi 4 stadium :


1. Stadium I
Ada obstruktif tapi kandung kemih masih mampu mengeluarkan urine sampai
habis.
2. Stadium II
Ada retensi urine tetapi kandung kemih mampu mengeluarkan urine walaupun
tidak sampai habis, masih tersisa kira-kira 60-150 cc. Ada rasa tidak enak BAK
atau disuria dan menjadi nokturia.
3. Stadium III
Setiap BAK urine tersisa kira-kira 150 cc.
4. Stadium IV
Retensi urine total, buli-buli penuh pasien tampak kesakitan, urine menetes
secara periodik (over flow inkontinen).

Menurut Brunner and Suddarth (2002) menyebutkan bahwa :


Manifestasi dari BPH adalah peningkatan frekuensi penuh, nokturia, dorongan
ingin berkemih, anyang-anyangan, abdomen tegang, volume urine yang turun dan
harus mengejan saat berkemih, aliran urine tak lancar, dribbing (urine terus menerus
setelah berkemih), retensi urine akut.
Adapun pemeriksaan kelenjar prostat melalui pemeriksaan di bawah ini :
1. Rectal Gradding
Dilakukan pada waktu vesika urinaria kosong :
a. Grade 0 : Penonjolan prostate 0-1 cm ke dalam rektum.
b. Grade 1 : Penonjolan prostate 1-2 cm ke dalam rektum.
c. Grade 2 : Penonjolan prostate 2-3 cm ke dalam rektum.
d. Grade 3 : Penonjolan prostate 3-4 cm ke dalam rektum.
e. Grade 4 : Penonjolan prostate 4-5 cm ke dalam rektum.
2. Clinical Gradding
Banyaknya sisa urine diukur tiap pagi hari setelah bangun tidur, disuruh kencing
dahulu kemudian dipasang kateter.
a. Normal : Tidak ada sisa
b. Grade I : sisa 0-50 cc
c. Grade II : sisa 50-150 cc
d. Grade III : sisa > 150 cc
e. Grade IV : pasien sama sekali tidak bisa kencing.

E. Pathway
F. Komplikasi
1. Perdarahan
2. Inkotinensia
3. Batu kandung kemih
4. Retensi urine
5. Impotensi
6. Epididimitis
7. Haemorhoid, hernia, prolaps rectum akibat mengedan
8. Infeksi saluran kemih disebabkan karena catheterisasi
9. Hydronefrosis

G. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium
a. Pemeriksaan darah lengkap, faal ginjal, serum elektrolit dan kadar gula
digunakan untuk memperoleh data dasar keadaan umum klien.
b. Pemeriksaan urin lengkap dan kultur.
c. PSA (Prostatik Spesific Antigen) penting diperiksa sebagai kewaspadaan
adanya keganasan.
2. Pemeriksaan Uroflowmetri
Salah satu gejala dari BPH adalah melemahnya pancaran urin. Secara
obyektif pancaran urin dapat diperiksa dengan uroflowmeter dengan
penilaian :
a. Flow rate maksimal > 15 ml / dtk = non obstruktif.
b. Flow rate maksimal 10 – 15 ml / dtk = border line.
c. Flow rate maksimal < 10 ml / dtk = obstruktif.
3. Pemeriksaan Imaging dan Rontgenologik
a. BOF (Buik Overzich ) :Untuk melihat adanya batu dan metastase pada
tulang.
b. USG (Ultrasonografi), digunakan untuk memeriksa konsistensi, volume
dan besar prostat juga keadaan buli – buli termasuk residual urin.
Pemeriksaan dapat dilakukan secara transrektal, transuretral dan supra
pubik.
c. IVP (Pyelografi Intravena)
Digunakan untuk melihat fungsi ekskresi ginjal dan adanya
hidronefrosis.
4. Pemeriksaan Panendoskop : untuk mengetahui keadaan uretra dan buli –
buli.
5. Pemeriksaan CT- Scan dan MRI
Computed Tomography Scanning (CT-Scan) dapat memberikan gambaran
adanya pembesaran prostat, sedangkan Magnetic Resonance Imaging (MRI)
dapat memberikan gambaran prostat pada bidang transversal maupun sagital pada
berbagai bidang irisan, namun pameriksaan ini jarang dilakukan karena mahal
biayanya.
6. Pemeriksaan sistografi
Dilakukan apabila pada anamnesis ditemukan hematuria atau pada
pemeriksaan urine ditemukan mikrohematuria. pemeriksaan ini dapat memberi
gambaran kemungkinan tumor di dalam kandung kemih atau sumber perdarahan
dari atas apabila darah datang dari muara ureter atau batu radiolusen di dalam
vesica. Selain itu sistoscopi dapat juga memberi keterangan mengenai besar
prostat dengan mengukur panjang urethra pars prostatica dan melihat penonjolan
prostat ke dalam urethra.

H. Penatalaksanaan
Modalitas terapi BPH adalah :
1. Observasi
Yaitu pengawasan berkala pada klien setiap 3 – 6 bulan kemudian setiap
tahun tergantung keadaan klien
2. Medikamentosa
Terapi ini diindikasikan pada BPH dengan keluhan ringan, sedang, dan
berat tanpa disertai penyulit. Obat yang digunakan berasal dari:
phitoterapi (misalnya: Hipoxis rosperi, Serenoa repens, dll), gelombang alfa
blocker dan golongan supresor androgen.
3. Pembedahan
Indikasi pembedahan pada BPH adalah :
a. Klien yang mengalami retensi urin akut atau pernah retensi urin akut.
b. Klien dengan residual urin > 100 ml.
c. Klien dengan penyulit.
d. Terapi medikamentosa tidak berhasil.
e. Flowmetri menunjukkan pola obstruktif.

Pembedahan dapat dilakukan dengan :


a. TURP (Trans Uretral Resection Prostatectomy)
Yaitu pengangkatan sebagian atau keseluruhan kelenjar prostat melalui
sitoskopi atau resektoskop yang dimasukkan malalui uretra.
b. Prostatektomi Suprapubis
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat melalui insisi yang dibuat pada kandung
kemih.
c. Prostatektomi retropubis
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat melalui insisi pada abdomen bagian
bawah melalui fosa prostat anterior tanpa memasuki kandung kemih.
d. Prostatektomi Peritoneal
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat radikal melalui sebuah insisi diantara
skrotum dan rektum.
e. Prostatektomi retropubis radikal
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat termasuk kapsula, vesikula seminalis dan
jaringan yang berdekatan melalui sebuah insisi pada abdomen bagian bawah,
uretra dianastomosiskan ke leher kandung kemih pada kanker prostat.
4. Terapi Invasif Minimal
a. Trans Uretral Mikrowave Thermotherapy (TUMT)
Yaitu pemasangan prostat dengan gelombang mikro yang disalurkan ke
kelenjar prostat melalui antena yang dipasang melalui /pada ujung kateter.
b. Trans Uretral Ultrasound Guided Laser Induced Prostatectomy (TULIP)
c. Trans Uretral Ballon Dilatation (TUBD)

I. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian Fokus
a. Eliminasi
Gejala : Penurunan kekuatan/dorongan aliaran urin, tetes,
ragu-ragu berkemih, nokturia, disuria, hematuria.

Tanda : Massa padat dibawah abdomen bawah


(Distensi Kandung kemih, nyeri tekan kandung kemih ).
b. Nyeri/ kenyamanan
Gejala : Nyeri suprapubis, panggul,punggung bawah
c. Sirkulasi : Peninggian tekanan darah
d. Psikososial : Ekspresi takut akibat inkontinensia, gangguan
Seksualitas
e. Pemeriksaan Diagnostik

1) Urinalisa : Warna kuning,coklat gelap,merah gelap atau terang


( berdarah ),PH 7 atau lebih.
2) Kultur urin : Ada staphylococcus Aureus, E.Colly, Proteus,
Pseudomonas.

3) BUN / Kreatinin: Meningkat pada gangguan ginjal

4) SDP : Lebih dari 11.000

5) Ultrasonografi transrektal dan suprapubic untuk mengetahui ukuran


prostat.

2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada pasien dengan Benigna
Prostate Hyperplasi (BPH), antara lain :
a. Retensi Urin ( Akut/kronik ) b.d. obstruksi mekanik, pembesaran prostat,
dekompensasi otot detrusor, ketidakmampuan kandung kemih untuk
berkontraksi dengan adekuat.
Data pendukung : Frekuensi, keragu-raguan, ketidakmampuan
mengosongkan kandung kemih dengan lengkap, inkontinensia/menetes,
distensi kandung kemih dan residu urin lebih dari 50 cc.

Hasil yang diharapkan :


Pasien menunjukan :
- Peningkatan pola BAK
- Tidak teraba distensi abdomen
- Menunjukan residu setelah berkemih kurang dari 50 ml, tidak adanya
tetesan/kelebihan aliran.
Intervensi/tindakan:
1) Dorong pasien untuk berkemih tiap 2 – 4 jam atau bila pasien tiba-tiba
merasa untuk berkemih.
Rasional : Meminimalkan terjadinya retensi urin yang berlebihan pada
kandung kemih.
2) Awasi dan catat waktu, jumlah setiap berkemih, perhatikan penurunan
haluaran urin.
Rasional : Untuk mengetahui kemampuan ginjal untuk berfungsi secara
normal
3) Palpasi area supra pubik.
Rasional : Retensi urin dapat diketahui dengan palpasi daerah
suprapubik, yaitu teraba adanya masa pada daerah abdomen bawah.
4) Anjurkan pasien untuk mengintake cairan 3000 ml/hari ( 10 – 15 gelas
perhari.
Rasional : Peningkatan intake cairan dapat mempertahankan perfusi ke
ginjal dan kandung kemih dari pertumbuh bakteri
5) Observasi tanda-tanda vital setiap jam.Awasi terjadinya hipertensi,
edema perifer, perubahan mental.Timbang berat badan setiap hari,ukur
intake dan output cairan setiap hari.
Rasional : Kehilangan fungsi ginjal menyebabkan penurunan eliminasi
cairan dan akumulasi sisa toksik ; dapat berlanjut pada terjadinya gagal
ginjal total.
6) Lakukan kompres hangat atau rendam duduk.
Rasional : Untuk meningkatkan relaksasi otot, menurunkan edema dan
merangsang untuk berkemih.
7) Tindakan kateterisasi menggunakan Kateter coude
Rasional : Mengurangi dan mencegah retensi urin. Kateter Coude
diperlukan karena ujungnya lengkung sehingga memudahkan masuknya
selang melalui uretra prostat.
8) Kolaborasi pemberian antispasmodik misalnya oksibutinin klorida
(Ditropan).
Rasional : Menghilangkan spasme kandung kemih sehubungan dengan
iritasi kateter.
9) Memberiakan antibiotik
Rasional : Untuk melawan infeksi.
10) Siapkan untuk drainase urin, misalnya sistostomy.
Rasional : untuk mengalirkan urin selama episode akut dengan azotemia.
11) Lakukan hipertermi transuretral ( pemanasan bagian sentral prostat
dengan memasukan elemen pemanas melalui uretra)
Rasional : Mengecilkan prostat ( 1 - 2 kali/ minggu )
b. Nyeri Akut b.d. iritasi mukosa ; distensi kandung kemih, kolik ginjal; infeksi
urinaria; terapi radiasi.
Data Pendukung :
Keluhan nyeri,penyempitan ureter; perubahan tonus otot, meringis, gelisah,
respon otonomik.
Kriteria evaluasi / hasil yang diharapkan :
Pasien akan :
- Memberitahukan nyeri hilang/ terkontrol
- Tampak rileks
- Istirahat dengan tenang.
Intervensi :
1) Kaji dan catat kualitas, lokasi dan durasi nyeri. Gunakan skala nyeri (0-
10) 0 (tidak ada nyeri) 10 (nyeri yang paling hebat).
2) Jelaskan penyebab rasa sakit dan cara menguranginya
3) Kolaborasi terapi dengan pemberian Analgesik sesuai program.
4) Ajarkan teknik mengatasi rasa nyeri : napas dalam untuk menurunkan
stress dan membantu rilaks otot yang tegang
5) Kompres es pada daerah yang sakit untuk mengurangi nyeri
6) Ciptakan lingkungan yang tenang
c. Risiko tinggi terhadap kekurangan volume cairan b.d. pasca obstruksi
diuresis dari drainase cepat, kandung kemih yang terlalu distensi secara
kronis ; Endokrin, ketidakseimbangan elektrolit ( disfungsi ginjal )
Data pendukung : (Tidak dapat diterapkan ; adanya tanda-tanda dan gejala-
gejala membuat diagnosa aktual ).
Hasil yang diharapkan / kriteria evaluasi :
Pasien akan mempertahankan hidrasi yang adekuat yang dibuktikan dengan
tanda-tanda vital dalam batas normal, pengisian kapiler baik, dan membran
mukosa lembab.
Intervensi / rencana tindakan :
1) Monitor pengeluaran urin tiap jam.
Rasional : Diuresis dapat meneyababkan kekurangan volume cairan,
karena natrium tidak cukup diabsorbsi dalam tubulus ginjal.
2) Monitor tanda-tanda vital : nadi, tekanan darah; evaluasi pengisian
kapiler dan membran mukosa oral
Rasional : untuk mendeteksi terjadinya hipovolemik.
3) Motivasi pasien untuk meningkatkan intake cairan peroral
Rasional : untuk mengimbangi cairan yang keluar akibat diuresis
4) Berikan posisi semi fowler kepala pasien
Rasional : Menurunkan kerja jantung, memudahkan homeostasis
sirkulasi.
5) Berikan cairan IV
Rasional : Menggantikan cairan yang hilang.
d. Ketakutan / ansietas b.d perubahan status kesehatan : kemungkinan prosedur/
malignansi
Data pendukung : Perut tegang
Hasil yang diharapkan :
Rasa takut dan tegang berkurang, pasien tampak rileks.
Intervensi :
1) Selalu bersama – sama dengan pasien bina hubungan saling percaya
Rasional : Menunjukan perhatian dan keinginan untuk membantu
2) Berikan informasi tentang tanda / prosedur dan tes khusus seperti
pemasangan kateter, urin berdarah, iritasi pada kandung kemih.
Rasional : Meningkatkan pemahaman pasien tentang tujuan dari apa yang
dilakukan, sehingga dapat mengurangi rasa takut dan kecemasan
3) Anjurkan kepada pasien untuk mengungkapkan perasaannya kepada
orang terdekat
Rasional : mengurangi kecemasan
e. Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan
b.d kurang terpapar terhadap informasi, tidak mengenal sumber informasi
Data pendukung :
Pasien sering bertanya tentang penyakit, pasien tidak melakukan intervensi
sesuai instruksi.
Hasil yang diharapkan / Kriteria evaluasi :
- Pasien akan memahami tentang proses penyakit
- Pasien akan dapat mengidentifikasi tentang tanda dan gejala proses
penyakit
- Pasien akan berpartisipasi dalam program pengobatan.
Tindakan/Intervensi : Pendidikan Kesehatan
1) Berikan informasi tentang penyakit : pengertian,etiologi, tanda dan gejala
penyakit.
2) Berikan informasi kepada pasien bahwa penyakit ini tidak ditularkan
secara seksual atau melalui hubungan seksual.
3) Anjurkan pasien untuk menghindari makanan berbumbu, kopi, alkohol,
mengemudikan dalam waktu yang lama, karena dapat menyebabkan
iritasi dan meningkatkan produksi urin sehingga terjadi distensi otot
bladder.
4) Berikan latihan berkemih kepada pasien post pemasangan kateter.
5) Anjurkan kepada pasien untuk melakukan kunjungan ulang selama 6
bulan sampai 1 tahun.
DAFTAR PUSTAKA

Carpenito,L,J.,(2000),Buku saku diagnosa keperawatan,Edisi 8. ECG:Jakarta.

Corwin, E.,J.,(2009),Buku saku pathofsiologi. edisi 3.ECG:Jakarta.

DeLaune & Ladnel.(2002). Fundamental of nursing:Standards and practive.


New York: Delmar.

Doenges, M.E., Moorhous, M.F.,& Geissler,A.C.,(1999), Rencana asuhan


keperawatan: pedoman untuk perencanaan dan pendokumentasian perawatan
pasien. Edisi 3. EGC: Jakarta.

IAUI (Ikatan Ahli Urologi Indonesia).(2003). Pedoman penatalaksanaan BPH


di Indonesia. Style sheet: www.iaui.or.id/ast/file/bph.pdf.(Diunduh pada 17
Februari 2015).

Anda mungkin juga menyukai