Dosen Pengampu :
Nuryanto, S.Gz, M.Si
Hartanti Sandi Wijayanti, S.Gz, M.Gizi
Rachma Purwanti, S.KM, M.Gizi
Disusun oleh :
5. Konsep SDGs
Konsep SDGs ini diperlukan sebagai kerangka pembangunan baru yang
mengakomodasi semua perubahan yang terjadi pasca 2015-MDGs. Terutama
berkaitan dengan perubahan situasi dunia sejak tahun 2000 mengenai isu deplation
sumber daya alam, kerusakan lingkungan, perubahan iklim semakin krusial,
perlindungan sosial,food and energy security, dan pembangunan yang lebih berpihak
pada kaum miskin. Adapun tiga pilar yang menjadi indikator dalam konsep
pengembangan SDGs yaitu, pertama indikator yang melekat pembangunan
manusia (Human Development), di antaranya pendidikan, kesehatan. Indikator
kedua yang melekat pada lingkungan kecilnya (Social Economic Development),
seperti ketersediaan sarana dan prasarana lingkungan, serta pertumbuhan ekonomi.
Sementara itu, indikator ketiga melekat pada lingkungan yang lebih besar
(Environmental Development), berupa ketersediaan sumber daya alam
dan kualitas lingkungan yang baik.3
Dalam penyusunan indikator dalam konsep SDGs pasca MDGs 2015,
selain memikirkan standar global dalam mengedepankan suatu konsep
pembangunan yang berkelanjutan, tetapi ada beberapa hal yang juga harus
diperhatikan. Di antaranya, segala sesuatu itu harus terukur, tidak terlepas dari
prinsip Environmental Sustainability, Economic Sustainability dan Social
Sustainability. Serta juga ditentukan apakah ini difokuskan pada negara berkembang
atau negara maju. 3
Terkait dengan pengembangan konsep awal SDGs tersebut, pembangunan
ekonomi yang berkelanjutan pasca MDGs 2015 semestinya dapat menjamin
kelanjutan dari lingkungan hidup dan sumber daya alam. Terutama yang
berhubungan dengan masalah yang dihadapi oleh dunia internasional
kedepannya, yaitu ketahanan pangan, ketahanan energi dan ketahanan air. Ketiga
masalah tersebut sangat penting diperhatikan dalam pengembangan konsep SDGs
2015. Meski dalam pengembangan indikator dalam pembangungan berkelanjutan
harus mempertimbangkan dimensi lingkungan hidup.3
Konsep dasar pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang
menyelaraskan antara tujuan-tujuan ekonomi, sosial, lingkungan dan pemerintahan
atau institusi yang baik. Sebagai contoh, pertumbuhan ekonomi yang tinggi harus
dibarengi oleh distribusi pendapatan yang merata, melalui penciptaan lapangan kerja
dengan upah layak. Hal ini dikarenakan disparitas pendapatan yang tinggi dapat
menciptakan konflik sosial, baik secara vertikal maupun horizontal. Selain itu,
pertumbuhan ekonomi tersebut harus ramah lingkungan dengan, misalnya, tidak
mencemari udara atau menghabiskan sumber daya alam. Terakhir, keberadaan
pemerintahan yang baik diperlukan agar sasaran-sasaran tersebut dapat tercapai,
karena fungsi-fungsi inti dalam kehidupan hanya dapat dipenuhi oleh pemerintah,
seperti regulasi, jaminan kesehatan nasional dan infrastruktur.3
6. Prinsip SDGs
a. People, Planet, Prosperity, Peace dan Partnership
Proses pembangunan dikatakan berkelanjutan jika dan hanya jika
mengindahkan lima aspek (5P), yakni People, Planet, Prosperity, Peace dan
Partnership (tata kelola, institusi dan kerjasama antar pemangku kepentingan
pembangunan). Pesan yang ingin disampaikan melalui lima pilar tersebut adalah
SDGs memiliki visi bahwa proses pembangunan harus dapat menyejahterakan
semua orang tanpa terkecuali, dengan tetap memperhatikan kelestarian dan daya
dukung lingkungan.
Visi tersebut hanya dapat dicapai melalui institusi pemerintahan yang kuat
dan transparan, serta didukung keterlibatan semua pihak selain pemerintah, yakni
sektor swasta, LSM, perguruan tinggi, masyarakat dan lembaga mitra
pembangunan non-pemerintah bilateral maupun multilateral, seperti: institusi-
institusi di bawah naungan PBB, Bank Pembangunan Multilateral dan Regional
(Bank Dunia, ADB dsb).4
1) People: SDGs hadir untuk memastikan bahwa semua manusia terbebas dari
kemiskinan, kelaparan, memiliki kedudukan yang setara dan mendapatkan
hak untuk hidup secara bermartabat;
2) Planet: SDGs berupaya untuk melindungi bumi dari dampak buruk akibat
kegiatan manusia, seperti perubahan lingkungan dan penggunaan sumber
daya alam yang tak bertanggung jawab, sehingga dapat memenuhi
kebutuhan masa depan;
3) Prosperity: SDGs hadir untuk memastikan semua umat manusia memiliki
kehidupan yang sejahtera, berkecukupan dan dapat hidup secara harmonis
berdampingan dengan alam;
4) Peace: tidak ada pembangunan berkelanjutan tanpa perdamaian dan
keamanan sosial, dan sebaliknya, tidak ada perdamaian dan keamanan sosial
tanpa pembangunan berkelanjutan;
5) Partnership: keberhasilan pembangunan berkelanjutan hanya dapat dicapai
melalaui kerja sama global yang erat dengan asas solidaritas yang tinggi
b. No one left behind
SDGs merupakan perjalanan bersama hingga tahun 2030 dengan komitmen
bahwa tidak akan ada satu pihak pun yang tertinggal dan hal ini disepakati
seluruh negara yang hadir dalam the UN Sustainable Development Summit.
Oleh karena itu, SDGs harus dipandang sebagai visi bersama dan tidak hanya
menguntungkan beberapa pihak saja. Pencapaian tujuan dan target SDGs
menjadi komitmen bersama dengan memperhatikan kelompok-kelompok
masyarakat yang selama ini tertinggal secara sosial dan ekonomi.4
c. Holistic and integrated
SDGs merupakan tujuan dan sasaran pembangunan yang holistik dan
terintegrasi berbeda dengan MDGs yang bersifat parsial. Prinsip ini
mensyaratkan bahwa penyusunan 17 tujuan SDGs telah memperhitungkan
keterkaitan antar tujuan serta tidak berdiri sendiri. Oleh sebab itu, upaya untuk
mencapai suatu tujuan (Goal), tidak akan terlepas dari upaya untuk mencapai
tujuan yang lainnya. Banyaknya tujuan SDGs sebaiknya dinilai sebagai sebuah
jaringan yang terintegrasi secara holistik, bukan suatu hal yang kompleks dan
berdiri sendiri.4
Provinsi Jawa Tengah secara umum mendapatkan skor 2.2 dan dengan demikian
mendapatkan nilai C dalam progress pencapaian SDGS 2030. Meski artinya masih
cukup banyak tantangan yang dihadapi Provinsi Jawa Tengah, skor tersebut masih
lebih tinggi dibandingkan dengan angka skor rata-rata nasional yang hanya sebesar
1.89 (C). Tantangan terbesar yang dihadapi Provinsi Jawa Tengah adalah isu
kesehatan dan isu pekerjaan yang layak dan pertumbuhan ekonomi. Angka kematian
neonatal yang merupakan indikator untuk tujuan ke-3 yakni kesehatan dan
kesejahteraan yang baik mendapatkan skor E, lebih rendah dari skor rata-rata nasional
yang bernilai D. Pada tahun 2030 diproyeksikan angka kematian neonatal malah
meningkat ke angka 19 kasus per 1.000 kelahiran hidup di Jawa Tengah, menjauhi
targetnya di angka 12 kasus. Kemudian indikator Jumlah Penduduk Usia Muda yang
Tidak Bekerja, Tidak Bersekolah, dan Tidak Mengikuti Pelatihan (NEET) yang
merupakan indikator untuk tujuan ke-8 yakni Pekerjaan yang Layak dan Pertumbuhan
Ekonomi, juga mendapatkan skor E dalam capaian SDGs 2030, lebih rendah dari skor
rata-rata nasional yang bernilai D. Proporsi penduduk usia muda yang tidak bekerja,
tidak bersekolah, dan tidak mengikuti pelatihan pun diproyeksikan masih berada di
angka 18.11% di tahun 2030.4
1. Pengertian
Menurut Peraturan Presiden RI No. 42 Tahun 2013 tentang Gerakan Nasional
Percepatan Perbaikan Gizi, Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi adalah upaya
bersama antara pemerintah dan masyarakat melalui penggalangan partisipasi dan
kepedulian pemangku kepentingan secara terencana dan terkoordinasi untuk percepatan
perbaikan gizi masyarakat prioritas pada seribu hari pertama kehidupan.
1000 Hari Pertama Kehidupan adalah masa sejak anak dalam kandungan sampai
seorang anak berusia dua tahun. Fase ini disebut sebagai Periode Emas karena pada
masa ini terjadi pertumbuhan otak yang sangat pesat. Kurang gizi diperiode ini akan
mengakibatkan kerusakan atau terhambatnya pertumbuhan yang tidak dapat diperbaiki
dimasa kehidupan selanjutnya. Cukup gizi selama dalam kandungan akan membuat
janin tumbuh dan lahir sebagai bayi yang sehat kuat dan sempurna dalam tiap fase
perkembangan dan pertumbuhannya.6
2. Visi dan Misi7
Visi
Terpenuhinya kebutuhan pangan dan gizi untuk memenuhi hak dan berkembangnya
potensi ibu dan anak.
Misi
a) Menjamin kerjasama antarberbagai pemangku kepentingan untuk memenuhi
kebutuhan pangan dan gizi setiap ibu dan anak.
b) Menjamin dilakukannya pendidikan gizi secara tepat dan benar untuk
meningkatkan kualitas asuhan gizi ibu dan anak.
3. Tujuan7
a) Tujuan umum Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi dimaksudkan untuk
percepatan perbaikan gizi masyarakat prioritas pada seribu hari pertama kehidupan.
b) Tujuan khusus Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi adalah:
1) meningkatkan komitmen para pemangku kepentingan untuk memberikan
perlindungan dan pemenuhan gizi masyarakat;
2) meningkatkan kemampuan pengelolaan program gizi, khususnya koordinasi
antar sektor untuk mempercepat sasaran perbaikan gizi; dan
3) memperkuat implementasi konsep program gizi yang bersifat langsung dan
tidak langsung.
4. Sasaran
Sasaran Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi meliputi:8
a) Masyarakat, khususnya remaja, ibu hamil, ibu menyusui, anak di bawah usia dua
tahun
b) Kader-kader masyarakat seperti Posyandu, Pemberdayaan Kesejahteraan
Keluarga, dan/atau kader-kader masyarakat yang sejenis
c) Perguruan tinggi, organisasi profesi, organisasi kemasyarakatan dan keagamaan;
d) Pemerintah dan Pemerintah Daerah
e) Media massa
f) Dunia usaha
g) Lembaga swadaya masyarakat, dan mitra pembangunan internasional.
5. Target
Target yang ingin dicapai pada akhir tahun 2025 disepakati sebagai berikut:7
a) Menurunkan proporsi anak balita yang stunting sebesar 40 persen.
b) Menurunkan proporsi anak balilta yang menderita kurus (wasting) kurang dari 5
persen.
c) Menurunkan anak yang lahir berat badan rendah sebesar 30 persen.
d) Tidak ada kenaikan proporsi anak yang mengalami gizi lebih.
e) Menurunkan proporsi ibu usia subur yang menderita anemia sebanyak 50 persen.
f) Meningkatkan prosentase ibu yang memberikan ASI ekslusif selama 6 bulan paling
kurang 50 persen.
6. Tahapan Gerakan7
a) Tahap Satu: Analisa Kondisi saat ini
1) Komitmen politik untuk upaya perbaikan gizi masyarakat cukup kuat baik
dalam bentuk Undang-Undang (UU), Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan
Presiden (Perpres), Peraturan Menteri (Permen), dan Peraturan Daerah
(Perda).
2) Program perbaikan gizi secara nyata sudah dilaksanakan oleh
Kementerian/Lembaga (K/L) sesuai dengan tugas pokok misalnya oleh
Kementerian Kesehatan, Kementerian Pertanian, Kementerian
Perindustrian, Kementerian dalam Negeri, Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan, Kementerian Sosial. Namun demikian upaya dari setiap K/L
tersebut masih terfragmentasi, belum diarahkan kepada goals yang
disepakati. Untuk meningkatkan kerjasama antar K/L sejak tahun 2000 telah
disusun Rencana Aksi Pangan dan Gizi Nasional (RAPGN) untuk setiap 5
tahun. Di tingkat daerah telah pula disusun Rencana Aksi Daerah Pangan
dan Gizi (RADPG) tahun 2011.
3) Sampai dengan tahun 2012 upaya perbaikan gizi masyarakat diarahkan
terhadap semua kelompok umur dengan sasaran utama mengatasi masalah
kekurangan gizi baik gizi kurang maupun gizi buruk. Sejak adanya Gerakan
1000 HPK dilakukan reorientasi penajaman sasaran yaitu fokus terhadap ibu
hamil, ibu menyusui dan anak dibawah dua tahun terutama untuk mengatasi
masalah stunting. Hal ini didasarkan atas hasil Riskesdas 2007 dan 2010
yang menunjukkan bahwa prevalensi stunting adalah 36,8 persen dan 35,6
persen. Data lain dari Riskesdas 2010 menunjukkan bahwa persentase
BBLR 8,8 persen, wasting 13,3 persen, anemia pada wanita usia subur,
ASI ekslusif 15,3 persen (2010).
4) Untuk mengatasi masalah gizi pada dasarnya telah dilaksanakan program
gizi yang bersifat spesifik maupun program yang bersifat sensitif. Namun
demikian ada beberapa kegiatan gizi spesifik yang belum dilaksanakan yaitu
antara lain pemberian Kalsium pada ibu hamil dan pemberian Zink pada
anak, selain itu cakupan dari kegiatan program spesifik masih rendah.
Kegiatan gizi yang bersifat sensitif pada dasarnya sudah dilaksanakan sejak
lama sejak UPGK, namun masih perlu ditingkatkan koordinasi perencanaan,
pelaksanaan dan monitoring evaluasi di berbagai tingkat administrasi.
5) Dukungan sumber daya keuangan untuk pelaksanaan perbaikan gizi masih
terbatas, baik dalam APBN maupun dalam APBD. Walaupun terdapat
kecenderungan peningkatan anggaran setiap tahunnya terutama dalam
APBN
b) Tahap Dua: Penyiapan Gerakan
1) Komitmen politik untuk meningkatkan upaya perbaikan gizi cukup tinggi,
hal ini dibuktikan dengan diterbitkannya Perpres nomor 42 tahun 2013
tentang Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi yang berisikan tentang
tujuan, strategi, sasaran, kegiatan dan pelaksanaan perbaikan gizi baik
ditingkat nasional maupun tingkat daerah. Semua K/L yang mempunyai
peranan penting dalam upaya perbaikan gizi telah ditetapkan sebagai
anggota yang dipimpin oleh Menkokesra yang bertanggung jawab langsung
kepada Presiden.
2) Untuk memperkuat platform kerjasama antar pemangku kepentingan dalam
upaya perbaikan gizi telah dirumuskan Kerangka Kebijakan Gerakan
Nasional Percepatan Perbaikan Gizi dalam rangka Seribu Hari Pertama
Kehidupan (Gerakan 1000 HPK) dan Pedoman Perencanaan Program
Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi dalam rangka Seribu Hari
Pertama Kehidupan (Gerakan 1000 HPK). Diharapkan dengan adanya
platform ini maka setiap pemangku kepentingan mempunyai persepsi dan
langkah – langkah yang sama untuk mempercepat pencapaian upaya
perbaikan gizi.
3) Kegiatan intervensi gizi yang bersifat spesifik telah disepakati dan akan
ditingkatkan pelaksanaannya dengan dukungan kerjasama lintas program
dan lintas sektor yang terkait.
4) Peningkatan mobilisasi pembiayaan untuk mendukung pelaksanaan
program perbaikan gizi baik melalui APBN dan terutama di daerah melalui
peningkatan APBD provinsi maupun kabupaten dan kota.
c) Tahap Tiga : Pelaksanaan dan Pengorganisasian Gerakan
a. Pada tataran eksekutif akan ditetapkan ketua gugus tugas Gerakan Nasional
Percepatan Perbaikan Gizi yang dipimpin oleh Menkokesra. Untuk
membantu tugas gugus tugas ini dibentuk tim teknis yang dipimpin oleh
Deputi Bidang SDM dan Kebudayaan Bappenas. Pada tataran legislatif
telah dibentuk Kaukus Kesehatan yang tugas utamanya untuk meningkatkan
kesadaran dan dukungan politik dan anggaran dari anggota legeslatif untuk
program-program kesehatan dan perbaikan gizi.
b. Berfungsinya gugus tugas Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi
yang tugas pokoknya mengkoordinasikan dan mensinkronkan penyusunan
rencana dan program kerja pada K/L dengan melaksanakan rapat koordinasi
secara reguler.
c. Terlaksananya pemantauan dan evaluasi berbagai kebijakan lintas sektor
dalam upaya perbaikan gizi baik di tingkat nasional maupun tingkat daerah
dengan cara memantau secara reguler pelaksanaan RANPG, RADPG dan
Kerangka Kebijakan Gerakan 1000 HPK.
d. Terlaksananya program gizi sensitif oleh berbagai K/L terkait untuk
mendukung pelaksanaan program gizi yang spesifik.
e. Menganalisis kesenjangan kebutuhan dana untuk pelaksanaan program
perbaikan gizi dan secara bertahap memenuhi kesenjangan tersebut baik
dalam anggaran APBN maupun APBD.
d) Tahap Empat: Memelihara Kesinambungan Gerakan
1) Menjaga kelangsungan kepemimpinan untuk peningkatan program
perbaikan gizi secara terus menerus sesuai dengan penugasan dalam
Perpres.
2) Memperkuat kinerja gugus tugas baik ditingkat nasional maupun di tingkat
provinsi dan kabupaten dan kota.
3) Memperkuat pelaksanaan kerjasama antarsektor melalui sinkronisasi
kebijakan antarsektor baik di nasional maupun daerah.
4) Memperluas dan meningkatkan kegiatan gizi spesifik dan kegiatan gizi
sensitif sehingga menjangkau seluruh sasaran program.
5) Menjamin ketersediaan anggaran yang memadai baik APBN maupun
APBD untuk program perbaikan gizi dengan cara meningkatkan
pemahaman bersama antara eksekutif dan legeslatif.
7. Strategi Gerakan
Terdapat tiga tahap dalam strategi nasional Gerakan 1000 HPK yaitu:7
a. Strategi Nasional
1) Tahap pertama: Membangun komitmen dan kerjasama antarpemangku
kepentingan.
2) Tahap kedua: Mempercepat pelaksanaan Gerakan 1000 HPK, meningkatkan
efektifitas dan meningkatkan sumber pembiayaan.
3) Tahap ketiga: Memperluas pelaksanaan program, meningkatkan kualitas
pelaksanaan dan memelihara kesinambungan kegiatan untuk mencapai
indikator hasil yang sudah disepakati.
b. Strategi Pelaksanaan
1) Meningkatkan kapasitas kerjasama antar pemangku kepentingan untuk
percepatan kegiatan perbaikan gizi berdasarkan bukti.
2) Meningkatkan kapasitas untuk memfasilitasi kerjasama antar pemangku
kepentingan.
3) Meningkatkan kapasitas untuk melaksanakan kerjasama yang saling
menguntungkan antar berbagai pemangku kepentingan.
4) Meningkatkan kapasitas untuk pemantauan dan evaluasi kinerja bersama dalam
rangka pencapaian sasaran perbaikan gizi.
5) Meningkatkan kapasitas untuk identifikasi dengan berbagi pengalaman atau
model-model intervensi terkait untuk meningkatkan pemahaman dalam
pencapaian sasaran.
6) Meningkatkan kapasitas untuk advokasi dalam rangka peningkatan komitmen
politik dan mobilisasi sumberdana dan bantuan teknis.
c. Strategi Mobilisasi Sumber Daya
1) Menghitung kebutuhan anggaran untuk program perbaikan gizi.
2) Menghitung kesenjangan anggaran antara kebutuhan dan ketersediaan saat ini.
3) Membuktikan bahwa kegiatan yang dilakukan secara terpadu baik dalam
penganggaran untuk intervensi gizi spesifik maupun intervensi gizi sensitif jauh
lebih efektif jika dibandingkan bila dilaksanakan secara terpisah.
4) Mengkoordinasikan kegiatan advokasi secara nasional dan global untuk
mengurangi kesenjangan penganggaran dan untuk mobilisasi sumber daya.
c. Organisasi Kemasyarakatan
Tugas organisasi kemasyarakatan adalah memperkuat mobilisasi,
advokasi, komunikasi, riset dan analisasi kebijakan serta pelaksana pada tingkat
masyarakat untuk menangani kekurangan gizi.
Kegiatan utama organisasi Kemasyarakatan yang meliputi kegiatan dari
proses inisiasi dasar-dasar Gerakan 1000 HPK (dasar hukum dan dokumen
pendukung) hingga pelaksanaan dan evaluasi Gerakan 1000 HPK. Rincian
kegiatan organisasi diuraikan pada tabel berikut :
Gambar 5. Tabel Rencana Kegiatan Utama Organisasi Kemasyarakatan
d. Dunia Usaha
Dunia usaha bertugas untuk pengembangan produk, control kualitas,
distribusi, riset, pengembangan teknologi informasi, komunikasi, promosi
perubahan perilaku untuk hidup sehat.
Kegiatan utama Dunia Usaha yang meliputi kegiatan dari proses inisiasi
dasar-dasar Gerakan 1000 HPK (dasar hukum dan dokumen pendukung) hingga
pelaksanaan dan evaluasi Gerakan 1000 HPK. Rincian kegiatan Dunia Usaha
diuraikan pada tabel berikut :
2) Indikator Sensitif
Indikator sensitif untuk menilai pencapaian intervensi gizi sensitif,
diuraikan pada tabel berikut.
The Scaling Up Nutrition (SUN) adalah sebuah gerakan yang menangani masalah
malnutrisi. Gerakan ini merupakan upaya advokasi global untuk memobilisasi pemerintah,
lembaga, masyarakat dan keluarga untuk memprioritaskan gizi sebagai pusat pembangunan
nasional dan penting untuk mencapai SDGs. SUN memiliki visi yaitu pada tahun 2030, dunia
bebas dari malnutrisi dalam segala bentuknya. Dipimpin oleh pemerintah, didukung oleh
organisasi dan individu - aksi kolektif memastikan setiap anak, remaja, ibu, dan keluarga dapat
mewujudkan hak mereka atas makanan dan gizi, mencapai potensi penuh mereka dan
membentuk masyarakat yang berkelanjutan dan makmur.
Adapun tujuan strategis gerakan SUN adalah untuk memperluas dan mempertahankan
lingkungan politik yang mendukung, memprioritaskan dan melembagakan tindakan efektif
yang berkontribusi terhadap gizi yang baik, menerapkan tindakan efektif yang selaras dengan
hasil umum serta secara efektif menggunakan, dan secara signifikan meningkatkan sumber
keuangan untuk gizi.
Untuk mendukung realisasi ambisi ini, terdapat prinsip-prinsip gerakan SUN yang
membimbing para pelaku gerakan ini saat mereka bekerja di ruang multi-sektoral dan multi-
stakeholder untuk secara efektif bekerja sama mengakhiri masalah malnutrisi dalam segala
bentuknya. Prinsip-prinsip ini memastikan bahwa gerakan ini dapat fleksibel dengan tetap
menjaga tujuan bersama dan akuntabilitas bersama. SUN memiliki 10 prinsip yaitu:
Negara Indonesia sendiri resmi bergabung dengan dengan gerakan SUN pada 22
Desember 2011 dengan surat komitmen dari HE Endang Rahayu Sedyaningsih, Menteri
Kesehatan. Pada saat itu, Indonesia telah memulai prgoram 'Gerakan 1.000 Hari Pertama
Kehidupan' yang diluncurkan oleh empat menteri pemerintah. Gerakan 1.000 Hari Pertama
Kehidupan termasuk tujuan yang dihubungkan dalam kerangka kebijakan resmi yang
mencerminkan target World Health Assembly 2025 tentang gizi. Selain program Germas, ada
pula program lain juga yang dapat mendukung peningkatan gizi yaitu 10 Pesan Gizi Seimbang
yang dipresentasikan pada tahun 2017 di Rakernas.
Gambar 16. Situasi gizi di Indonesia tahun 2017
Teori gerakan SUN didasarkan pada keyakinan bahwa ketika banyak pemegang
kepentingan dari berbagai sektor dan berbagai tingkatan dapat bekerja bersama, dalam
kekuatan yang dipimpin oleh negara, maka akan mencapai sebuah hasil. Untuk menilai
kemajuan serta tercapainya tujuan gerakan ini dan Sustainable Development Goals untuk dunia
tanpa kelaparan dan malnutrisi, maka dibutuhkan keselarasan kerangka kerja dan inisiatif
pemantauan yang disepakati secara global. Oleh karena itu diciptakanlah sistem MEAL atau
the Monitoring, Evaluation, Accountability and Learning (MEAL) system. Sistem MEAL
adalah alat untuk mengukur sejauh mana gerakan SUN mencapai hasil dan dampak. Indikator
ini dapat disesuaikan untuk digunakan di tingkat daerah dan dapat dilengkapi dengan indikator
tambahan - berdasarkan ketersediaan data.
Dengan sistem MEAL ini, data negara Indonesia yang ada adalah mencapai 73/79
(92%) indikator yang sebagian besar mencakup jangka waktu 2012-2016. Berdasarkan data
tersebut, Indonesia mengalami kemajuan yang relatif baik dengan kinerja yang kuat di
lingkungan yang mendukung, peraturan perundang-undangan, peningkatan gizi, penggunaan
IYCF (the Infant and Young Child Feeding) dan perilaku makanan, serta beberapa kemajuan
dalam status gizi anak-anak. Meskipun demikian, masih banyak yang bisa dilakukan untuk
membiayai masalah gizi dan meningkatkan intervensi berdampak tinggi dan pasokan makanan
untuk mengatasi beban ganda gizi kurang dan kelebihan berat badan / obesitas di kalangan
anak-anak dan perempuan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Said Ali, Budiati Indah, Reagan HA, dkk. Potret Awal Tujuan Pembangunan
Berkelanjutan (Sustainable Development Goals) di Indonesia. Jakarta: Badan Pusat
Statistik. 2016.
2. Hoelman MB, Parhusip BTP, Eko Sutoro, dkk. Sustainable Development Goals-SDGs:
Panduan untuk Pemerintah Daerah (Kota dan Kabupaten) dan Pemangku Kepentingan
Daerah. Jakarta: Infid. 2016.
3. Wahyuningsih. Millenium Development Goals (MDGs) dan Sustainable Development
Goals (SDGs) dalam Kesejahteraan Sosial. Jember: Ilmu Kesejahteraan Politik FISIP
Universitas Jember. 2017; 11(3). Jurnal Bisnis dan Manajemen.
4. HBK
5. HJ
6. Kemenkes RI. Keluarga Sehat Idamanku Kota Sehat Kotaku. Diakses pada 25 Agustus
2019. www.promkes.depkes.go.id 2014.
7. Kerangka Kebijakan Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi Dalam Rangka
Seribu Hari Pertama Kehidupan (Gerakan 1000 HPK). 2013. Diakses pada 25 Agustus
2019. www.bappenas.go.id
8. Perpres RI No. 42 tahun 2013. Diakses pada 26 Agustus 2019. www.mca-
indonesia.go.id
9. Thontowi DNS. Gizi dan 1000 HPK. Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah
Malang. Vol. 13 No. 2. 2017.
10. https://scalingupnutrition.org/sun-countries/indonesia/. Diakses pada 25 Agustus 2019
pukul 20.00 WIB.