Anda di halaman 1dari 17

TEORI BEHAVIORISTIK DAN TEORI KOGNITIF

DOSEN PENGAMPU : Dra. M Dwi Wiwik Ernawati, M.Kes

KELOMPOK 1 :
ERWIN PASARIBU ( A1C117003)
IKA ERMAYANTI (A1C117031)
YULI ASRIANI (A1C117039)
SUCI DESMARANI (A1C117081)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KIMIA


JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JAMBI
2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, di mana atas
anugerah-Nya maka selesailah penulisan makalah Dasar-Dasar Proses
Pembelajaran Kimia ini mengenai belajar dan pembelajaran yang berjudul “Teori
Belajar” . Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Dasar-Dasar Proses
Pembelajaran Kimia, dimana mata kuliah ini merupakan salah satu mata kuliah
yang ada di program studi pendidikan kimia Universitas Jambi. Makalah ini
disusun sebagai upaya untuk membantu mahasiswa dalam memahami masalah-
masalah dan konsep-konsep yang berhubungan dengan proses belajar dan
pembelajaran.Denganadanyamakalahini,diharapkanparapembacadapat mengetahui
teori-teori pembelajaran yang telah berhasil di temukan oleh para ilmuan pada
zaman dahulu. Dan juga nantinya sebagai calon guru dapat memilah dan memilih
teori pembelajaran yang tepat untuk di terapkan pada peserta didik.
Dengan mengetahui begitu besar ke-Agungan Allah yang telah
melimpahkan kepada kita ilmu pengetahuan dan juga memberi kita kemudahan.
Oleh karenanya pada kesempatan ini, penulismengucapkan terima kasih kepada:
1. Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberi Rahmat-Nya dalam pembuatan
makalah ini.
2. Dosen Pengampu Ibu Dra. M. Dwi Wiwik Ernawati, M. Kes yang telah
membimbing hingga selesainya makalah ini.
3. Kedua orang tua yang telah memberi motivasi serta doa-doanya.
4. Serta teman-teman yang telah memberi bantuan berupa moril maupun materil.
Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan, untuk itu
kritik dan saran dari pembaca sangat dibutuhkan dalam penyempurnaan makalah
ini. Akhirnya semoga makalah ini bermanfaat bagi para mahasiswa khususnya
dan pembaca pada umumnya.
Jambi, 21 Agustus 2018

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..................................................................................... i


DAFTAR ISI .................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang .................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................. 1
1.3 Tujuan Makalah ................................................................................ 1

BAB II PEMBAHASAN
2.1 Teori Behavioristik ........................................................................... 2
2.2 Beberapa Tokoh Teori Behaviorisme dan Pemikirannya ................. 2
2.3 Teori Kognitif ................................................................................... 5
2.4 Beberapa Tokoh Teori kognitif dan Pemikirannya ....................... 6

BAB III PENUTUP


3.1 Kesimpulan ...................................................................................... 10
3.2 Saran ................................................................................................. 11

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 12

ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Manusia adalah makhluk yang diberikan akal , oleh karenanya manusia
dapat berfikir untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.Adanya ilmu pengetahuanlah
yang melandasi kemajuan perkembangan peradaban manusia tersebut. Dengan
adanya ilmu pengetahuan ini manusia belajar mengeksplor dan membuat
berbagai teknologi canggih untuk mempermudah kehidupan mereka.
Istilah belajar tidak hanya masalah satu individu tetapi juga melibatkan
faktor-faktor lain. Bahkan pada abad ke 19 banyak para tokoh ilmuan yang
melakukan penelitin mengenai teori belajar. Tujuan di adakan penelitan ini adalah
sebagai eksperimen teori belajar. yang mana para ilmuan tersebut menggunakan
binatang objek penelitian karena didasarkan pada pemikiran bahwa apabila
binatang yang kecerdasannya dianggap rendah dapat berhasil maka dapat
dipastikan lebih berhasil jika di terapkan pada manusia.
Dari berbagai penelitian tentang perkembangan teori belajar diantaranya
adalah teori behaviorisme yang menekan pada “hasil” yakni perubahan prilaku
yang dihasilkan antara stimulus dan respon. Dan teori kognitif yang menekankan
pada “proses” teori ini berpandangan bahwa belajar merupakan suatu proses
internal yang mencangkup ingatan, pengolahan informasi dan aspek-aspek
kejiwaan lainnya. Untuk lebih lengkapnya akan di bahas lebih lanjut dalam
makalah ini `

1.2 Rumusan Masalah


1. Apakah yang dimaksud dengan teori behavioristik?
2. Apasaja teori behaviorisme dan tokoh-tokohnya?
3. Apa yang dimaksud dengan teori kognitif?
4. Apasaja teori kognitif dan tokoh-tokohnya?
1.3 Tujuan makalah
1. Mengetahui makna dari teori belajar behavioristik
2. Mengenal teori behavioristik dan tokoh-tokohnya
3. Mengetahui makna dari teori belajar kognitif
4. Mengenal teori kognitif dan tokoh-tokohnya

1
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Teori behavioristik


Teori belajar behavioristik merupakan teori belajar yang lebih
mengutamakan pada perubahan tingkah laku siswa sebagai akibat adanya stimulus
dan respon. Di lihat dari pengertiannya teori belajar behavioristik merupakan
suatu teori psikologi yang berfokus pada prilaku nyata dan tidak terkait dengan
hubungan kesadaran atau konstruksi mental.
Teori belajar behavioristik melihat belajar merupakan perubahan tingkah laku.
Seseorang telah dianggap belajar apabila mampu menunjukkan perubahan tingkah
laku. Pandangan behavioristik mengakui pentingnya masukan atau input yang
berupa stimulus, dan keluaran atau output yang berupa respons. Teori belajar
behavioristik menekankan kajiannya pada pembentukan tingkah laku yang
berdasarkan hubungan antara stimulus dengan respon yang biasa diamati dan
tidak menghubungkan dengan kesadaran maupun konstruksimental. Teori belajar
behavioristik berlawanan dengan teori kognitif yang mengemukakan bahwa
proses belajar merupakan proses mental yang tidak diamati secara kasat mata
(Nahar,2016 : 64-65).

2.2 Beberapa Teori Behaviorisme Tokoh dan Pemikirannya


1. Thorndike (1874-1949)
Menurut Thorndike (1911), salah seorang pendiri aliran tingkah laku,
belajar adalah proses interaksi antara stimulus (yang mungkin berupa pikiran,
perasaan, dan gerakan) dan respon (yang juga berupa pikiran, perasaan atau
gerakan). Jelasnya, menurut thorndike,perubahan tingkah laku boleh berwujud
sesuatu yang konkret (dapat diamati),atau yang nonkonkret (tidak bisa
diamati).
Meskipun Thorndike tidak menjelaskan bagaimana caranya mengukur
berbagai tingkah laku yang nonkonkret (pengukuran adalah satu hal yang
menjadi obsesi semua penganut aliran tingkah laku), tetapi teori Thorndike
telah banyak memberikan inspirasi kepada pakar lain yang datang
sesungguhnya.Prosedur eksperimenya ialah membuat agar setiap binatang

2
lepas dari kurunganya sampai ke tempat makanan, dalam hal ini apabila
binatang terkurung, maka binatang itu sering melakukan bermacam- macam
kelakuan , seperti menggigit,menggosokkan badannya ke sisi kotak,dan cepat
atau lambat binatang itu tersandung pada palang sehingga kotak terbuka dan
binatang itu akan lepas ke tempat makanan. Salah satunya ia menggunakan
kucing sebagai subjek percobaan. “Thorndike memasukkan kucing tersebut
kedalam sebuah kotak yang didalamnya terdapat banyak labirin. Diujung yang
lain disediakan makanan. Maka kucing dengan membau ia akan berusaha
mencapai makan tersebut walaupun dengan mencoba-coba dan kadang salah
(trial and error). Namun dengan mencoba berkali-kali, suatu saat kucing
tersebut akan langsung dapat menuju ketempat makanan tanpa salah.”(
NingsihFadilah, 2016:241)

2. John B. Watson (1878-1958)


Menurut Watson stimulus dan respon harus berbentuk tingkahlaku yang
“bisa diamati” (obsevable). Watson mengabaikan berbagai perubahan mental
yang mungkin terjadi dalam belajar dan menganggapnya sebagai faktor yang
tidak perlu diketahui. Bukan berarti semua perubahan mental yang mungkin
terjadi dalam benak siswa tidak penting. Semua penting, akan tetapi faktor-
faktor tersebut tidak bisa menjelaskan apakah proses belajar sudah terjadi atau
belum ( Hamzah,2010: 7) . Walson berpendapat bahwa belajar merupakan
proses terjadinya refleks-refleks atau respons-respons bersyarat melalui
stimulus pengganti. Menurut Watson, manusia dilahirkan dengan beberapa
refleks dan reaksi-reaksi emosional berupa takut, cinta dan marah. Semua
tingkah laku lainnya terbentuk oleh hubungan-hubungan situmulus-respons
baru melalui “conditioning” (Soemanto, 2006 : 125).

3. Clark Hull (1943)


Bagi Hull, tingkah laku seseorang berfungsi untuk menjaga kelangsungan
hidup. Oleh karena itu teori Hull, kebutuhan biologis dan pemuasan kebutuhan
biologis menempati posisi sentral. Menurut Hull, kebutuhan dikonsepkan
sebagai dorongan (drive), seperti lapar, haus, tidur, hilangnya rasa nyeridan

3
sebagainya. Stimulus hampir selalu dikaitkan dengan kebutuhan biologis ini,
meskipun respon mungkin bermacam-macam bentuknya.

4. Edwin Guthrie
Edwin Guthrie mengemukakan teori kontiguiti yang memandang bahwa
belajar merupakan kaitan asosiatif antara stimulus tertentu dan respon tertentu.
Selanjutnya Edwin Guthrie berpendirian bahwa hubungang antara stimulus dan
respon merupakan faktor kritis dalam belajar. Oleh karena itu, diperlukan
pemberian stimulus yang sering agar hubungan lebih langgeng. Selain itu,
suatu respon akan lebih kuat (dan bahkan menjadi kebiasaan) apabila respon
tersebut berhubungan dengan berbagai stimulus.
Guthrie juga mengemukakan bahwa “hukuman” memegang peran
penting dalam proses belajar. Menurutnya suatu hukuman diberikan pada saat
yang tepat, akan mampu mengubah kebiasaan seseorang. Sebagai contoh,
seorang anak perempuan yang setiap kali pulang dari sekolah, selalu
mencampakkan baju dan topinya dilantai. Kemudian Ibunya menyuruh agar
baju dan topi dipakai kembali oleh anaknya, lalu kembali keluar dan masuk
rumah kembali sambil menggantungkan topi dan bajunya ditempat gantungan.
Setelah beberapa kali melakukan hal itu, respons menggantungkan topi dan
baju menjadi terasosiasi dengan stimulus memasuki rumah. Meskipun
demikian, nantinya faktor hukuman ini tidak lagi dominan.

5. Skiner (1968)
Menurut skinner, deskripsi hubungan antara stimulus dan respond, untuk
menjelaskan perubahan tingkah laku(dalam hubunganya dengan lingkungan).
Respon yang diberikan oleh siswa tidaklah sesederhana itu, sebab pada
dasarnya setiap stimulus yang diberikan berinteraksi satu dengan lainya, dan
interaksi ini akhirnya mempengaruhi respons yang dihasilkan, Sedangkan
respons yang diberikan juga menghasilkan berbagai konsekuensi, yang pada
giliranya akan mempengaruhi tingkah laku siswa.
Oleh karena itu, untuk memahami tingkah laku siswa secara tuntas,
diperlukan pemahaman terhadap respons itu sendiri,dan berbagai konsekuensi
yang diakibatkan oleh respons tersebut. Skinner juga menjelaskan bahwa

4
menggunakan perubahan-perubahan mental sebagai alat untuk menjelaskan
tingkah laku hanya akan membuat segala sesuatunya menjadi bertambah rumit
sebab “alat” itu akhirnya juga harus dijelaskan lagi. Misalnya apabila dikatan
bahwa “seorang siswa berprestasi buruk sebab bagi siswa ini mengalami
frustasi”akan menuntut perlu dijelaskan “apa itu frustasi” penjelasan tentang
frustasi ini besar kemungkinan akan memerlukan penjelasan lain. Begitu
seterusnya. ( Hamzah,2010: 9)
Beberapa teori belajar dari psikologi behavioristik mereka berpendapat
bahwa tingkah laku manusia itu dikendalikan oleh ganjaran (reward) atau
penguatan (rainforcement) dari lingkungan. Dengan demikian, dalam tingkah
laku belajar terdapat jalinan yang erat anatara reaksi-reaksi behavioral dengan
stimulasinya (Soemanto, 2006 : 123).

2.3 Teori Kognitif

Secara bahasa kognitif berasal dari bahasa latin ”Cogitare” artinya


berfikir. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kognitif berarti segala sesuatu
yang berhubungan atau melibatkan kognisi, atau berdasarkan pengetahuan
faktual yang empiris. Dalam pekembangan selanjutnya, istilah kognitif ini
menjadi populer sebagai salah satu wilayah psikologi, baik psikologi
perkembangan maupun psikologi pendidikan. Dalam psikologi, kognitif
mencakup semua bentuk pengenalan yang meliputi setiap perilaku mental
manusia yang berhubungan dengan masalah pengertian, pemahaman, perhatian,
menyangka, mempertimbangkan, pengolahan informasi, pemecahan masalah,
kesengajaan, membayangkan, memperkirakan, berpikir, keyakinan dan
sebagainya.

Dalam istilah pendidikan, kognitif disefinisikan sebagai satu teori di


antara teori-teori belajar yang memahami bahwa belajar merupakan
pengorganisasian aspek-aspek kognitif dan persepsi untuk memperoleh
pemahaman. Dalam teori kognitif, tingkah laku seseorang ditentukan oleh
persepsi dan pemahamannya tentang situasi yang berhubungan dengan tujuan.
Perubahan tingkah laku seseorang sangat dipengaruhi oleh proses belajar dan
berfikir internal yang terjadi selama proses belajar (Sutarto, 2017: 1-2).

5
Psikologi kognitif telah dikenal sejak abad ke-19 yang ditandai dengan
lahirnya teori belajar Gestalt. Teori belajar Gestalt ini dicetuskan oleh beberapa
tokoh salah satunya Mex Wertheimer, beliau meneliti tentang pengamatan dan
problem solving. Kemudian dilanjutkan oleh Kurt Kaffka, beliau mencoba
menguraikan secara terperinci tentang hukum-hukum pengamatan. Tokoh yang
lain adalah Wolfgang Kohler, beliau meneliti tentang insight pada simpanse.
Hasil penelitian para tokoh-tokoh tersebut telah memunculkan teori tentang
“Psikologi Gestalt“ yang mengutamakan pembahasan pada masalah
konfigurasi, struktur dan pemetaan dalam pengalaman.
Menurut para penganut Gestaltis berpendapat bahwa pengalaman itu
berstruktur dan terbentuk dalam suatu keseluruhan. Artinya bahwa orang yang
sedang belajar, akan mengamati stimulus secara keseluruhan dan bukan bagian-
bagian yang terpisah. Jadi, konsep yang terpenting dalam psikologi gestalt
adalah tentang insight, adalah pemahaman mendadak tentang hubungan
antaarbagian dalam suatu permasalahan.
Sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh Kohler, beliau menemukan
adanya insight pada seekor simpanse, penelitian ini dilakukannya dengan cara
membuat simpanse pada suatu masalah yaitu dengan meletakkan pisang yang
berada diluar kandang. Kadang-kadang simpanse dapat memecahkan masalah
secara mendadak, kadang-kadang simpanse juga gagal meraih pisang, dan
kadang-kadang simpanse duduk merenungkan masalah yang dihadapinya,
hingga simpanse secra tiba-tiba dapat menemukan pemecahan masalahnya
yaitu cara meraih pisang misalnya dengan menggunakan tongkat yang terletak
didekat kandang.

2.4 Beberapa Teori Kognitif Tokoh dan Pemikirannya


1. Teori Kognitif menurut Jean Piaget
Jean Piaget lahir pada tanggal 1989 di Neuhatel, Swiss. Waktu mudanya
Piaget sangat tertarik pada alam, ia suka mengamati burung-burung, ikan dan
binatang-binatang di alam bebas. Itulah sebabnya ia sangat tertarik pada
pelajaran biologi di sekolah. Setelah mempelajari dan tertarik dengan ilmu
biologi, lalu kemudian ia mengalihkan fokusnya ke perkembangan intelektual
(termasuk tahap perkembangan anaknya sendiri ) dan mulai pengaruh besar

6
pada konsep kognitif dalam perkembangan kepribadian. Piaget, ahli biologi
yang memperoleh nama sebagai psikolog anak karena mempelajari
perkembangan inteligensi, menghabiskan ribuan jam mengamati anak yang
sedang bermain dan menanyakan mereka tentang perilaku dan perasaannya. Ia
tidak mengembangkan teori sosialisasi yang komprehensif, tetapi memusatkan
perhatian pada bagaimana anak belajar, berbicara, berfikir, bernalar dan
akhirnya membentuk pertimbangan moral. Bersama dengan istrinya yang
bernama Valentine Catenay yang menikah pada tahun 1923, ia awal mulanya
meneliti anaknya sendiri yang lahir pada tahun 1925, 1927 dan 1931 dan hasil
pengamatan tersebut di publikasikan dalam the origins of inteligence in
children dan the construction of reality in the child pada bab yang membahas
tahap sensorimotor (Ibda, 2015:28).
Piaget mengemukakan bahwa, perkembangan kognitif memiliki peran
yang sangat penting dalam proses belajar. Perkembangan kognitif pada
dasarnya merupakan proses mental. Proses mental tersebut pada hakekatnya
merupakan perkembangan kemampuan penalaran logis (development of ability
to respon logically). Bagi Piaget, berfikir dalam proses mental tersebut jauh
lebih penting dari sekedar mengerti.Semakin bertambah umur seseorang, maka
semakin kompleks susunan sel syarafnya dan semakin meningkat pula
kemampuan kognitifnya.
Menurut Piaget, pengetahuan dibentuk oleh individu melalui interaksi
secara terus menerus dengan lingkungan. Ada empat tahap perkembangan
kognitif menurut Piaget, yaitu :
a. Tahap sensorimotor (usia 0-2 tahun). individu memahami sesuatu atau
tentang dunia dengan mengkoordinasikan pengalaman-pengalaman sensoris,
(seperti melihat, dan mendengar) dan dengan tindakan-tindakan motorik
fisik. Dengan kata lain, pada usia ini individu dalam memahami sesuatu
yang berada di luar dirinya melalui gerakan, suara atau tindakan yang dapat
diamati atau dirasakan oleh alat inderanya. Selanjutnya sedikit demi sedikit
individu mengembangkan kemampuannya untuk membedakan dirinya
dengan bendabenda lain.

7
b. Tahap pra-operasional (usia 2-7 tahun). Individu mulai melukiskan dunia
melalui tingkah laku dan kata-kata. Tetapi belum mampu untuk melakukan
operasi, yaitu melakukan tindakan mental yang diinternalisasikan atau
melakukan tindakan mental terhadap apa yang dilakukan sebelumnya secara
fisik. Pada usia ini individu mulai memiliki kecakapan motorik untuk
melakukan sesuatu dari apa yang dilihat dan didengar, tetapi belum mampu
memahami secara mental (makna atau hakekat) terhadap apa yang
dilakuaknnya tersebut.
c. Tahap operasional konkret (usia 7-11 tahun). Individu mulai berpikir secara
logis tentang kejadian-kejadian yang bersifat konkret. Individu sudah dapat
membedakan benda yang sama dalam kondisi yang berbeda.
d. Tahap operasional formal (11 tahun ke atas). Sementara Salvin menjelaskan
bahwa pada operasional formal terjadi pada usia 11 sampai dewasa awal.
Pada masa ini individu mulai memasuki dunia “kemungkinan” dari dunia
yang sebenarnya atau individu mengalami perkembangan penalaran abstrak.
Individu dapat berpikir secara abstrak, lebih logis dan idealis (Sutarto, 2017:
4-6).

2. Teori Kognitif menurut Benyamin S. Bloom


Secara etimologi kata taksonomi berasal dari bahasa Yunani yaitu taxis
dan nomos.Taxis berarti ‘pengaturan atau divisi’ dan nomos berarti hukum. Jadi
secara etimologi taksonomi dapat diartikan sebagai hukum yang mengatur
sesuatu. Taksonomi dapat diartikan sebagai pengelompokan suatu hal
berdasarkan hierarki (tingkatan) tertentu. Taksonomi Bloom memiliki tiga
ranah diantaranya 1) ranah kognitif, yang mencakup ingatan atau pengenalan
terhadap fakta-fakta tertentu, pola-pola prosedural, dan konsep-konsep yang
memungkinkan berkembangnya kemampuan dan skill intelektual 2) ranah
afektif, ranah yang berkaitan perkembangan perasaan, sikap, nilai dan emosi;
3) ranah psikomotor, ranah yang berkaitan dengan kegiatan-kegiatan
manipulatif atau keterampilan motorik (Darmawan dan Sukojo, 2013:130-31).
Benyamin S. Bloom telah mengembangkan “taksonomi” untuk domain
kognitif. Taksonomi adalah metode untuk membuat urutan pemikiran dari

8
tahap dasar kearah yang lebih tinggi dari kegiatan mental. Dengan enam tahap
sebagai berikut:
a. Pengetahuan (knowledge) ialah kemampuan untuk menghafal, mengingat,
atau mengulangi informasi yang pernah diberikan. Contoh: sebutkan lima
bagian utama kamera 35 mm.
b. Pemahaman (comprehension) ialah kemampuan untuk menginterpretasi atau
mengulang informasi dengan menggunakan bahasa sendiri. Contoh: uraikan
6 tahapan dalam mengisi film untuk kamera 35 mm
c. Aplikasi (application) ialah kemampuan menggunakan informasi, teori, dan
aturan pada situasi baru. Contoh: pilih ekpose 3 kamera untuk pengambilan
gambar yang berbeda.
d. Analisis (analysis) ialah kemampuan mengurai pemikiran yang kompleks,
dan mengenai bagian-bagian serta hubungannya. Contoh: bandingkan cara
kerja dua kamera 35 mm yang memiliki model yang berbeda.
e. Sintesis (synthesis) ialah kemampuan mengumpulkan komponen yang sama
guna membentuk satu pola pemikiran yang baru. Contoh: susunlah urutan
fotografi untuk 6 objek.
f. Evaluasi (evaluation) ialah kemampuan membuat pemikiran berdasarkan
kriteria yang telah ditetapkan. Contoh: buatlah penilaian terhadap kualitas
slide yang dihasilkan dalam lomba, dengan 4 urutan penilaian (Djaali, 2013:
77).
3. Teori Kognitif menurut Ausubel
Menurut Ausubel belajar haruslah bermakna, Materi yang dipelajari
diasimilasikan secara non arbitrer dan berhubungan dengan pengetahuan yang
telah dimiliki sebelumnya. Dia mengemukakan bahwa yang perlu diperhatikan
seorang guru ialah strategi mengajarnya. Contoh pelajaran berhitung bisa
menjadi tidak berhasil jika siswa hanya disuruh menghafal formula-formula
tanpa mengetahui arti formula-formula itu.
Menurut Ausubel, belajar dapat dilkasifikasikan ke dalam dua dimensi:
a. Dimensi pertama, berhubungan dengan cara informasi atau materi pelajaran
disajikan pada siswa, melalui penerimaan atau penemuan.

9
b. Dimensi kedua, menyangkut cara bagaimana siswa dapat mengaitkan
informasi itu pada struktur kognitif yang ada.
Menurut teori Ausubel, belajar dengan cara menerima informasi dapat
dibuat bermakna apabila dijelaskan, kemudian dihubungkan antara konsep
yang satu dengan yang lainnnya. Begitu sebaliknya, belajar penemuan
(termasuk penemuan mandiri) akan kurang bermakna apabila hanya dilakukan
dengan hafalan (coba-coba).

4. Teori Kognitif menurut Bruner


Teori Kognitif J. S Bruner menekankan bagaimana cara individu
mengorganisasikan apa yang telah dialami dan dipelajari, sehingga individu
mampu menemukan dan mengembangkan sendiri konsep, teori-teori dan
prinsip-prinsip melalui contoh-contoh yang dijumpai dalam kehidupannya.
Untuk meningkatkan proses belajar, menurut Bruner diperlukan lingkungan
yang dinamakan “discovery learnig envoirment” atau lingkungan yang
mendukung individu untuk melakukan eksplorasi dan penemuan-penemuan
baru.
Belajar penemuan (discovery learning) merupakan salah satu model
pembelajaran atau belajar kognitif yang dikembangkan oleh Bruner. Menurut
Bruner, belajar bermakna hanya dapat terjadi melalui belajar penemuan yang
terjadi dalam proses belajar.Guru harus menciptakan situasi belajar yang
problematis, menstimulus siswa dengan pertanyaan-pertanyaan, mencari
jawaban sendiri dan melakukan eksperimen.
Dengan cara seperti ini, pengetahuan yang diperoleh oleh individu lebih
bermakna baginya, lebih mudah diingat dan lebih mudah digunakan dalam
pemecahan masalah. Dasar pemikiran teori ini memandang bahwa manusia
sebagai pemeroses, pemikir dan pencipta informasi. Bruner menyatakan,
belajar merupakan suatu proses aktif yang memungkinkan manusia untuk
menemukan hal-hal baru di luar informasi yang diberikan kepada dirinya
(Sutarto, 2017:11).
Perkembangan teori ini diawali oleh percobaan yang dilakukan oleh
kohler terhadap seekor simpanzee (sejenis kera berwara hitam) disebuah
lembaga konservasi satwa di pulau Tenerive ke pulau Canaries. Simpanzee

10
yang lebih dahulu dilaparkan di tempat dalam sangkar berjeruji besi dan
diluarnya diletakkan pisang. Di dekat pisang tersebut diletakkan sepotong
tongkat dan dengan tongkat itu ia bisa meraih pisang. Experiment ini bertujuan
untuk menyelidiki apakah hewan itu mampu melihat hubungan arti antara
tongkat dan pisang itu. Tanpa melalui proses trail and error. Secara tiba-tiba
hewan tersebut. Melihat hubungan arti tongkat-pisang dan langsung pisang
diraih dengan tongkat tersebut.
Semakin jelas makna atau arti dalam situasi semakin mudah dan cepat
berlangsungnya proses belajar. Dari percobaan inilah disimpulkan bahwa
belajar adalah hasil kemampuan kognitif (kecerdasan, pemahaman, pengertian
dll), dan bukan hasil mekanisme dari respon atau stimulus, lalau teori kognitif
ini mencapai puncaknya pada Bruner. Yang pada konsep ini lebih dikenal
dengan sebutan Instrumental Conceptualisme yang dipelopori oleh Jerome S.
Brunernyang awalmulanya belajar adalah bukan terjadi karena rangsangan luar
(S), tatapi situasi yang dihadapi mengandung pengertian/konsep, prinsip dan
kaidah yang khas dan padat (Buto, 2014 : 63).
Bruner, perkembangan intelektual anak dapat dibagi menjadi tiga, yaitu :
a. Fase pra-operasional, sampai usia 5-6 tahun, disebut masa pra sekolah. Pada
taraf ini individu belum dapat mengadakan perbedaan yang tegas antara
perasaan dan motif pribadinya dengan realitas dunia luar.
b. Fase operasi kongkrit, pada taraf ke-2 ini operasi itu “internalized”, artinya
dalam menghadapi suatu masalah individu hanya dapat memecahkan
masalah yang langsung dihadapinya secara nyata.
c. Fase operasi formal, pada taraf ini anak itu telah sanggup beroperasi
berdasarkan kemungkinan hipotesis dan tidak lagi dibatasi oleh apa yang
berlangsung dihadapinya sebelumnya ( Sutarto, 2017:12).

11
BAB III
PENUTUP

2.1 Kesimpulaan
Belajar merupakan akibat adanya interaksi antara stimulus dan respon.
Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika dia dapat menunjukkan perubahan
perilakunya. Menurut teori behaviorisme dalam belajar yang penting adalah input
yang berupa stimulus dan output yang berupa respon. Stimulus adalah apa saja
yang diberikan guru kepada pebelajar, sedangkan respon berupa reaksi atau
tanggapan pebelajar terhadap stimulus yang diberikan oleh guru tersebut. Proses
yang terjadi antara stimulus dan respon tidak penting untuk diperhatikan karena
tidak dapat diamati dan tidak dapat diukur. Yang dapat diamati adalah stimulus
dan respon, oleh karena itu apa yang diberikan oleh guru (stimulus) dan apa yang
diterima oleh pebelajar (respon) harus dapat diamati dan diukur. Teori ini
mengutamakan pengukuran, sebab pengukuran merupakan suatu hal penting
untuk melihat terjadi atau tidaknya perubahan tingkah laku tersebut.
Teori kognitif pada hakikatnya adalah teori yang menjelaskan hal-hal yang
berkaitan dengan kemampuan manusia dalam memahami berbagai
pengalamannya. Teori ini meyakini bahwa belajar adalah hasil dari usaha dari
individu dalam memaknai pengalaman-pengalamannya yang berada di sekitarnya.
Oleh sebab itu, belajar adalah proses yang melibatkan individu secara aktif.
Karena melibatkan seluruh kemampuan mental secara optimal. Hal ini tercermin
dari cara berfikir yang digunakan individu dalam mengahadapi sebuah situasi, dan
hal itulah yang mempengaruhi cara ia belajar. Dalam teori kognitif proses belajar
tidak sekedar melibatkan hubungan antara stimulus dan respon. Lebih dari itu
belajar adalah melibatkan proses berpikir yang sangat kompleks. Ilmu
pengetahuan dibangun dalam diri seseorang melalui proses interaksi yang
bersinambungan dengan lingkungan. Proses ini tidak berjalan terpisah-pisah, tapi
melalui proses yang mengalir, berkesinambungan dan menyeluruh

12
3.2 Saran
Kami menyadri bawasanya penyusun dari makalah ini hanyalah manusia
yang tidak luput dari kesalahan dan kekurangan, sedangkan kesempurnaan hanya
milik Allah Swt hingga dalam penulisan dan penyusunannya masih jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang konstruktif akan senantiasa
penyusun terima dalam upaya evaluasi diri

13
DAFTAR PUSTAKA

Buto, Ali, Z. 2014. Implikasi Teori Pembelajaran Jerome Bruner Dalam Nuansa
Pendidikan Modern. STAIN Malikussaleh. Jurnal Tarbiyah Vo. 21, No.1
ISSN: 0854-2627
Darmawan, Putu A, dan Sujoko, E. 2013. Revisi Taksonomi Pembelajaran
Benyamin S. Bloom. Universitas Kristen Satya Wacana. Vol. 29, No.1
Djaali. 2013. Psikologi Pendidikan. Jakarta: PT Bumi Aksara
Fadilah, Ningsih. 2016. Model Bimbingan belajar Behavioristik dan
Pandangannya dalam Perspektif Islam. Pekalongan: HIKMATUA Vol. 2,
No. 2
Ibda, Fatimah. 2015. Perkembangan Kognitif: Teori Jean Piaget. UIN Ar-Raniry:
INTELEKTUALITA Vol. 3, No. 1 Januari-Juni 2015
Nahar, Novi I. 2016. Penerapan teori belajar behavioristik dalam proses
pembelajaran. Nusantara (Jurnal Ilmu Pengetahuan Sosial) Vol. 1, ISSN
2541-657X
Soemanto, Wasty. 2006. Psikologi pendidikan. Jakarta: PT Rineka Cipta
Sutarto. 2017. Teori koginif dan implikasinya dalam pembelajaran. Universitas
Islam Negri Imam Bonjol Padang. Islamic Counseling Vol. 1, No. 02
STAIN CURUP P-ISSN 2580-3638, E-ISSN 2580-3646
Uno, Hamzah B. 2010. Orientasi baru dalam psikologi pembelajaran. Jakarta:
PT Bumi Aksara

14

Anda mungkin juga menyukai