Anda di halaman 1dari 6

NAMA : Andre Alfiantinus Subakir

NIM : 20190102180

TUGAS BAHASA INDONESIA


BIOGRAFI

Prof. DR (HC). Ing. Dr. Sc. Mult. Bacharuddin Jusuf Habibie atau dikenal sebagai
BJ Habibie (73 tahun) merupakan pria Pare-Pare (Sulawesi Selatan) kelahiran 25 Juni
1936. Habibie menjadi Presiden ke-3 Indonesia selama 1.4 tahun dan 2 bulan menjadi
Wakil Presiden RI ke-7. Habibie merupakan “blaster” antara orang Jawa [ibunya]
dengan orang MakasarPare-Pare.
Semasa kecil, Habibie telah menunjukkan kecerdasan dan semangat tinggi pada
ilmu pengetahuan dan teknologi khususnya Fisika. Selama enam bulan, ia kuliah di
Teknik Mesin Institut Teknologi Bandung (ITB), dan dilanjutkan ke Rhenisch
Wesfalische Tehnische Hochscule – Jerman pada 1955. Dengan dibiayai oleh ibunya,
R.A. Tuti Marini Puspowardoyo, Habibie muda menghabiskan 10 tahun untuk
menyelesaikan studi S-1 hingga S-3 di Aachen-Jerman.
Berbeda dengan rata-rata mahasiswa Indonesia yang mendapat beasiswa di luar
negeri, kuliah Habibie (terutama S-1 dan S-2) dibiayai langsung oleh Ibunya yang
melakukan usaha catering dan indekost di Bandung setelah ditinggal pergi suaminya
(ayah Habibie). Habibie menggeluti bidang Desain dan Konstruksi Pesawat di Fakultas
Teknik Mesin, selama lima tahun studi di Jerman akhirnya Habibie memperoleh gelar
Dilpom-Ingenenieur atau diploma teknik (catatan : diploma teknik di Jerman umumnya
disetarakan dengan gelar Master atau S2 di negara lain) dengan predikat summa cum
laude.
Habibie melanjutkan program doktoral setelah menikahi teman SMA-nya, yaitu
Hasri Ainun Besari pada tahun 1962. Habibi tinggal bersama dengan istrinya di Jerman,
Habibie harus bekerja untuk membiayai biaya kuliah sekaligus biaya rumah tangganya.
Habibie mendalami bidang Desain dan Konstruksi Pesawat Terbang. Tahun 1965,
Habibie menyelesaikan studi S-3 nya dan mendapat gelar Doktor Ingenieur (Doktor
Teknik) dengan indeks prestasi summa cum laude.
BJ Habibie bekerja di Messerschmitt-Bolkow-Blohm atau MBB Hamburg (1965-
1969) sebagai Kepala Penelitian dan Pengembangan pada Analisis Struktrur Pesawat
Terbang, dan kemudian menjabat Kepala Divisi Metode dan Teknologi pada industri
pesawat terbang komersial dan militer di MBB (1969-1973). Atas kinerja dan
kebriliannya, 4 tahun kemudian, ia dipercaya sebagai Vice President sekaligus Direktur
Teknologi di MBB periode 1973-1978 serta menjadi penasihast senior di bidang
teknologi untuk Dewan Direktur MBB (1978). Dia menjadi satu-satunya orang Asia yang
berhasil menduduki jabatan nomor dua di perusahaan pesawat terbang di Jerman.
Sebelum memasuki usia 40 tahun, karir Habibie sudah sangat cemerlang,
terutama dalam desain dan konstruksi pesawat terbang. Habibie menjadi “permata” di
negeri Jerman dan iapun mendapat “kedudukan terhormat”, baik secara materi maupun
intelektualitas oleh orang Jerman. Selama bekerja di MBB Jerman, Habibie
menyumbang berbagai hasil penelitian dan sejumlah teori untuk ilmu pengetahuan dan
teknologi dibidang Thermodinamika, Konstruksi dan Aerodinamika. Beberapa rumusan
teorinya dikenal dalam dunia pesawat terbang seperti “Habibie Factor“, “Habibie
Theorem” dan “Habibie Method“.
Pada tahun 1968, BJ Habibie telah mengundang sejumlah insinyur untuk
bekerja di industri pesawat terbang Jerman. Sekitar 40 insinyur Indonesia akhirnya
dapat bekerja di MBB atas rekomendasi Pak Habibie. Hal ini dilakukan untuk
mempersiapkan skill dan pengalaman (SDM) insinyur Indonesia untuk suatu saat bisa
kembali ke Indonesia dan membuat produk industri dirgantara (dan kemudian maritim
dan darat). Dan ketika (Alm) Presiden Soeharto mengirim Ibnu Sutowo ke Jerman untuk
menemui seraya membujuk Habibie pulang ke Indonesia, BJ Habibie langsung
bersedia dan melepaskan jabatan, posisi dan prestise tinggi di Jerman. Hal ini
dilakukan BJ Habibie demi memberi sumbangsih ilmu dan teknologi pada bangsa ini.
Pada 1974 di usia 38 tahun, BJ Habibie pulang ke tanah air. Iapun diangkat menjadi
penasihat pemerintah (langsung dibawah Presiden) di bidang teknologi pesawat
terbang dan teknologi tinggi hingga tahun 1978. Meskipun demikian dari tahun 1974-
1978, Habibie masih sering pulang pergi ke Jerman karena masih menjabat sebagai
Vice Presiden dan Direktur Teknologi di MBB.
Habibie mulai benar-benar fokus setelah ia melepaskan jabatan tingginya di
Perusahaan Pesawat Jerman MBB pada 1978. Dan sejak itu, dari tahun 1978 hingga
1997, ia diangkat menjadi Menteri Negara Riset dan Teknologi (Menristek) sekaligus
merangkap sebagai Ketua Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).
Disamping itu Habibie juga diangkat sebagai Ketua Dewan Riset Nasional dan berbagai
jabatan lainnya.
Ketika menjadi Menristek, Habibie mengimplementasikan visinya yakni
membawa Indonesia menjadi negara industri berteknologi tinggi. Ia mendorong adanya
lompatan dalam strategi pembangunan yakni melompat dari agraris langsung menuju
negara industri maju. Visinya yang langsung membawa Indonesia menjadi negara
Industri mendapat pertentangan dari berbagai pihak, baik dalam maupun luar negeri
yang menghendaki pembangunan secara bertahap yang dimulai dari fokus investasi di
bidang pertanian. Namun, Habibie memiliki keyakinan kokoh akan visinya, dan ada satu
“quote” yang terkenal dari Habibie yakni :“I have some figures which compare the cost
of one kilo of airplane compared to one kilo of rice. One kilo of airplane costs thirty
thousand US dollars and one kilo of rice is seven cents. And if you want to pay for your
one kilo of high-tech products with a kilo of rice, I don’t think we have enough.”
Kalimat diatas merupakan senjata Habibie untuk berdebat dengan lawan
politiknya. Habibie ingin menjelaskan mengapa industri berteknologi itu sangat penting.
Dan ia membandingkan harga produk dari industri high-tech (teknologi tinggi) dengan
hasil pertanian. Ia menunjukkan data bahwa harga 1 kg pesawat terbang adalah USD
30.000 dan 1 kg beras adalah 7 sen (USD 0,07). Artinya 1 kg pesawat terbang hampir
setara dengan 450 ton beras. Jadi dengan membuat 1 buah pesawat dengan massa 10
ton, maka akan diperoleh beras 4,5 juta ton beras.
Pola pikir Pak Habibie disambut dengan baik oleh Pak Harto.Pres. Soeharto pun
bersedia menggangarkan dana ekstra dari APBN untuk pengembangan proyek
teknologi Habibie. Dan pada tahun 1989, Suharto memberikan “kekuasan” lebih pada
Habibie dengan memberikan kepercayaan Habibie untuk memimpin industri-industri
strategis seperti Pindad, PAL, dan PT IPTN.
Habibie sudah sangat mapan ketika ia bekerja di perusahaan MBB Jerman.
Selain mapan, Habibie memiliki jabatan yang sangat strategis yakni Vice President
sekaligus Senior Advicer di perusahaan high-tech Jerman. Sehingga Habibie terjun ke
pemerintahan bukan karena mencari uang ataupun kekuasaan semata, tapi lebih pada
perasaan “terima kasih” kepada negara dan bangsa Indonesia dan juga kepada kedua
orang tuanya. Sikap serupa pun ditunjukkan oleh Kwik Kian Gie, yakni setelah menjadi
orang kaya dan makmur dahulu, lalu Kwik pensiun dari bisnisnya dan baru terjun ke
dunia politik. Bukan sebaliknya, yang banyak dilakukan oleh para politisi saat ini yang
menjadi politisi demi mencari kekayaan popularitas sehingga tidak heran praktik korupsi
menjamur.
Tiga tahun setelah kepulangan ke Indonesia, Habibie (usia 41 tahun) mendapat
gelar Profesor Teknik dari ITB. Selama 20 tahun menjadi Menristek, akhirnya pada
tanggal 11 Maret 1998, Habibie terpilih sebagai Wakil Presiden RI ke-7 melalui Sidang
Umum MPR. Di masa itulah krisis ekonomi (krismon) melanda kawasan Asia termasuk
Indonesia. Nilai tukar rupiah terjun bebas dari Rp 2.000 per dolar AS menjadi Rp
12.000-an per dolar. Utang luar negeri jatuh tempo sehinga membengkak akibat
depresiasi rupiah. Hal ini diperbarah oleh perbankan swasta yang mengalami kesulitan
likuiditas. Inflasi meroket diatas 50%, dan pengangguran mulai terjadi dimana-mana.
Bersamaan dengan itu, kebencian masyarakat memuncak dengan sistem orde
baru yang sarat Korupsi, Kolusi, Nepotisme yang dilakukan oleh kroni-kroni Soeharto
(pejabat, politisi, konglomerat). Selain KKN, pemerintahan Soeharto tergolong otoriter,
yang menangkap aktivis dan mahasiswa vokal.
Dipicu penembakan 4 orang mahasiswa (Tragedi Trisakti) pada 12 Mei 1998,
meletuslah kemarahan masyarakat terutama kalangan aktivis dan mahasiswa pada
pemerintah Orba. Pergerakan mahasiswa, aktivis, dan segenap masyarakat pada 12-14
Mei 1998 menjadi momentum pergantian rezim Orde Baru pimpinan Pak Harto. Dan
pada 21 Mei 1998, Presiden Soeharto terpaksa mundur dari jabatan Presiden yang
dipegangnya selama lebih kurang 32 tahun. Selama 32 tahun itulah, pemerintahan
otoriter dan sarat KKN tumbuh sumbur. Selama 32 tahun itu pula, banyak kebenaran
yang dibungkam. Mulai dari pergantian Pemerintah Soekarno (dan pengasingan Pres
Soekarno), G30S-PKI, Supersemar, hingga dugaan konspirasi Soeharto dengan pihak
Amerika dan sekutunya yang mengeruk sumber kekayaan alam oleh kaum-kaum
kapitalis dibawah bendera korpotokrasi (termasuk CIA, Bank Duni, IMF dan
konglomerasi).
Soeharto mundur, maka wakilnya yakni BJ Habibie pun diangkat menjadi
Presiden RI ke-3 berdasarkan pasal 8 UUD 1945. Namun, masa jabatannya sebagai
presiden hanya bertahan selama 512 hari. Meski sangat singkat, kepemimpinan
Presiden Habibie mampu membawa bangsa Indonesia dari jurang kehancuran akibat
krisis. Presiden Habibie berhasil memimpin negara keluar dari dalam keadaan ultra-
krisis, melaksanankan transisi dari negara otorian menjadi demokrasi. Sukses
melaksanakan pemilu 1999 dengan multi parti (48 partai), sukses membawa perubahan
signifikn pada stabilitas, demokratisasi dan reformasi di Indonesia.
Habibie merupakan presiden RI pertama yang menerima banyak penghargaan
terutama di bidang IPTEK baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Jasa-jasanya
dalam bidang teknologi pesawat terbang mengantarkan beliau mendapat gelar Doktor
Kehormatan (Doctor of Honoris Causa) dari berbagaai Universitas terkemuka dunia,
antara lain Cranfield Institute of Technology dan Chungbuk University.
Pertemuan pertama kali Habibie dengan Soeharto terjadi pada tahun 1950 ketika
Habibie berumur 14 tahun. Pada saat itu, Soeharto (Letnan Kolonel) datang ke Makasar
dalam rangka memerangi pemberontakan/separatis di Indonesia Timur pada masa
pemerintah Soekarno. Letkol Soeharto tinggal berseberangan dengan rumah keluarga
Alwi Abdul Jalil Habibie. Karena ibunda Habibie merupakan orang Jawa, maka
Soeharto pun (orang Jawa) diterima sangat baik oleh keluarga Habibie. Bahkan,
Soeharto turut hadir ketika ayahanda Habibie meninggal. Selain itu, Soeharto pun
menjadi “mak comblang” pernikahan adik Habibie dengan anak buah (prajurit) Letkol
Soeharto. Kedekatan Soeharto-Habibie terus berlanjut meskipun Soeharto telah
kembali ke Pulau Jawa setelah berhasil memberantas pemberontakan di Indonesia
Timur.
Habibie menyelesaikan studi (sekitar 10 tahun) dan bekerja selama hampir
selama 9 tahun (total 19 tahun di Jerman), akhirnya Habibie dipanggil pulang ke tanah
air oleh Pak Harto. Meskipun ia tidak mendapat beasiswa studi ke Jerman dari
pemerintah, pak Habibie tetap bersedia pulang untuk mengabdi kepada negara, terlebih
permintaan tersebut berasal dari Pak Harto yang notabene adalah ‘seorang guru’ bagi
Habibie. Habibie pun memutuskan kembali ke Indonesia untuk memberi ilmu kepada
rakyat Indonesia, kembali untuk membangun industri teknologi tinggi di nusantara.
Bersama Ibnu Sutowo, Habibie kembali ke Indonesia dan bertemu dengan Presiden
Soeharto pada tanggal 28 Januari 1974. Habibie mengusulkan beberapa gagasan
pembangunan seperti berikut:
 Gagasan pembangunan industri pesawat terbang nusantara sebagai ujung
tombak industri strategis
 Gagasan pembentukan Pusat Penelitan dan Pengembangan Ilmu Pengetahuan
dan Teknologi (Puspitek)
 Gagasan mengenai Badan Pengkajian dan Penerapan Ilmu Teknologi (BPPT)
Gagasan-gagasan awal Habibie menjadi masukan bagi Soeharto, dan mulai
terwujud ketika Habibie menjabat sebagai Menristek periode 1978-1998. Namun,
dimasa tuanya, hubungan Habibie-Soeharto tampaknya retak. Hal ini dikarenakan
berbagai kebijakan Habibie yang disinyalir “mempermalukan” Pak Harto. Pemecatan
Letjen (Purn) Prabowo Subianto dari jabatan Kostrad karena memobilisasi pasukan
kostrad menuju Jakarta (Istana dan Kuningan) tanpa koordinasi atasan merupakan
salah satu kebijakan yang ‘menyakitkan’ pak Harto. Padahal Prabowo merupakan
menantu kesayangan Pak Harto yang telah dididik dan dibina menjadi penerus
Soeharto. Pemeriksaan Tommy Soeharto sebagai tersangka korupsi turut membuat
Pak Harto ‘gerah’ dengan kebijakan pemerintahan BJ Habibe, terlebih dalam beberapa
kali kesempatan di media massa, BJ Habibie memberi lampu hijau untuk memeriksa
Pak Harto. Padahal Tommy Soeharto merupakan putra “emas’ Pak Harto. Dan sekian
banyak kebijakan berlawanan dengan pemerintah Soeharto dibidang pers, politik,
hukum hingga pembebasan tanpa syarat tahanan politik Soeharto seperti Sri Bintang
Pamungkas dan Mukhtar Pakpahan.
Pemikiran-pemikiran Habibie yang “high-tech” mendapat “hati” pak Harto. Bisa
dikatakan bahwa Soeharto mengagumi pemikiran Habibie, sehingga pemikirannya
dengan mudah disetujui pak Harto. Pak Harto pun setuju menganggarkan “dana ekstra”
untuk mengembangkan ide Habibie. Kemudahan akses serta kedekatan Soeharto-
Habibie dianggap oleh berbagai pihak sebagai bentuk kolusi Habibie-Soeharto. Apalagi,
beberapa pihak tidak setuju dengan pola pikir Habibie mengingat pemerintah Soeharto
mau menghabiskan dana yang besar untuk pengembangan industri-industri teknologi
tinggi seperti saran Habibie.
Tanggal 26 April 1976, Habibie mendirikan PT. Industri Pesawat Terbang Nurtanio
dan menjadi industri pesawat terbang pertama di Kawasan Asia Tenggara (catatan :
Nurtanio meruapakan Bapak Perintis Industri Pesawat Indonesia). Industri Pesawat
Terbang Nurtanio kemudian berganti nama menjadi Industri Pesawat Terbang
Nusantara (IPTN) pada 11 Oktober 1985, kemudian direkstrurisasi, menjadi Dirgantara
Indonesia (PT DI) pada Agustuts 2000. Perlakuan istimewapun dialami oleh industri
strategis lainnya seperti PT PAL dan PT PINDAD.
Sejak pendirian industri-industri statregis negara, tiap tahun pemerintah Soeharto
menganggarkan dana APBN yang relatif besar untuk mengembangkan industri
teknologi tinggi. Dan anggaran dengan angka yang sangat besar dikeluarkan sejak
1989 dimana Habibie memimpin industri-industri strategis. Namun, Habibie memiliki
alasan logis yakni untuk memulai industri berteknologi tinggi, tentu membutuhkan
investasi yang besar dengan jangka waktu yang lama. Hasilnya tidak mungkin
dirasakan langsung. Tanam pohon durian saja butuh 10 tahun untuk memanen, apalagi
industri teknologi tinggi. Oleh karena itu, selama bertahun-tahun industri strategis ala
Habibie masih belum menunjukan hasil dan akibatnya negara terus membiayai biaya
operasi industri-industri strategis yang cukup besar.
Industri-industri strategis ala Habibie (IPTN, Pindad, PAL) pada akhirnya
memberikan hasil seperti pesawat terbang, helikopter, senjata, kemampuan pelatihan
dan jasa pemeliharaan (maintenance service) untuk mesin-mesin pesawat, amunisi,
kapal, tank, panser, senapan kaliber, water canon, kendaraan RPP-M, kendaraan
combat dan masih banyak lagi baik untuk keperluan sipil maupun militer.
Skala internasional, BJ Habibie terlibat dalam berbagai proyek desain dan
konstruksi pesawat terbang seperti Fokker F 28, Transall C-130 (militer transport),
Hansa Jet 320 (jet eksekutif), Air Bus A-300, pesawat transport DO-31 (pesawat dan
teknologi mendarat dan lepas landas secara vertikal), CN-235, dan CN-250 (pesawat
dengan teknologi fly-by-wire). Selain itu, Habibie secara tidak langsung ikut terlibat
dalam proyek perhitungan dan desain Helikopter Jenis BO-105, pesawat tempur multi
function, beberapa peluru kendali dan satelit. Pola pikirnya tersebut, maka saya
menganggap beliau sebagai bapak teknologi Indonesia, terlepaskan seberapa besar
kesuksesan industri strategis ala Habibie. Karena kita tahu bahwa pada tahun 1992,
IMF menginstruksikan kepada Soeharto agar tidak memberikan dana operasi kepada
IPTN, sehingga pada saat itu IPTN mulai memasuki kondisi kritis. Hal ini dikarenakan
rencana Habibie membuat satelit sendiri (catatan : tahun 1970-an Indonesia merupakan
negara terbesar ke-2 pemakaian satelit), pesawat sendiri, serta peralatan militer sendiri.
Hal ini didukung dengan 40 0rang tenaga ahli Indonesia yang memiliki pengalaman
kerja di perusahaan pembuat satelit Hughes Amerika akan ditarik pulang ke Indonesia
untuk mengembangkan industri teknologi tinggi di Indonesia. Jika hal ini terwujud, maka
ini akan mengancam industri teknologi Amerika (mengurangi pangsa pasar) sekaligus
kekhawatiran kemampuan teknologi tinggi dan militer Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai