Anda di halaman 1dari 10

II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Sistem Perikanan


Perikanan adalah semua kegiatan yang terorganisir berhubungan dengan
pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan dan lingkungannya mulai dari
praproduksi, produksi, pengolahan sampai dengan pemasaran, yang dilaksanakan
dalam suatu sistem bisnis perikanan. Perikanan tangkap Indonesia sangat khas
dengan karakteristik multi-alat dan multispesies, tersebar di seluruh wilayah
pendaratan. Hal ini menyulitkan dalam mendapatkan atau melakukan koleksi data
statistik hasil tangkap dari masing-masing alat tangkap pada setiap pendaratan
ikan sepanjang garis pantai yang mencapai ± 81.000 km. Oleh karena itu, 30
tahun yang lalu dilakukan sistem sampling untuk mendapatkan data statistik
perikanan (Wiadnya et al. 2009).
Berbagai studi menunjukkan kelemahan sistem statistik perikanan Indonesia
terkait dengan keterbatasan sumberdaya yang dimiliki oleh DKP untuk
menerapkan sistem tersebut dengan benar dan konsisten (Dudley & Harris, 1987;
Venema, 1996 in Wiadnya et al. 2009). Permasalahan lainnya adalah DKP belum
bisa mengatasi masalah di lapangan sehubungan dengan banyaknya alat tangkap
atau kegiatan penangkapan illegal, tidak diatur, dan alat yang tidak dilaporkan
(IUU fishing) kepada pemerintah. Jadi, sangat jelas bahwa hasil tangkap yang
didapat dari IUU fishing tidak akan ikut dihitung dalam statistik perikanan. Studi
FAO yang dilaporkan oleh Venema (1996) in Wiadnya et al. (2009) secara khusus
menyebutkan kurangnya data untuk Indonesia Bagian Timur.
Keanekaragaman jenis ikan dan alat tangkap serta tingginya populasi
penduduk yang terjadi mengakibatkan sulitnya menerapkan pengembangan sistem
perikanan yang sesuai untuk keberlanjutan sumberdaya ikan serta potensi
perikanan lainnya di Indonesia. Kekompleksan sistem perikanan dapat didekati
dari perspektif keragaman (diversity) yang terdiri dari empat jenis keragaman
dalam sistem ini, yaitu keragaman spesies (species diversity), keragaman genetik
(genetic diversity), keragaman fungsi dan keragaman sosial ekonomi (de Young et
al. in Adrianto 2004).
8

2.2. Pengelolaan Perikanan


Pengelolaan sumberdaya ikan adalah semua upaya termasuk proses yang
terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi,
pembuatan keputusan, alokasi sumberdaya ikan, dan implementasi serta
penegakan hukum dari peraturan perundang-undangan di bidang perikanan, yang
dilakukan oleh pemerintah atau otoritas lain yang diarahkan yang bertujuan agar
sumberdaya ikan dapat dimanfaatkan secara optimal dan mencapai kelangsungan
produktivitas sumberdaya hayati perairan yang terus menerus (Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1985 dan Nomor 31 Tahun 2004).
Kekompleksan sistem perikanan dapat didekati dari perspektif keragaman
(diversity) dimana paling tidak ada empat jenis keragaman dalam sistem ini, yaitu
keragaman spesies (species diversity), keragaman genetic (genetic diversity),
keragaman fungsi dan keragaman sosial ekonomi (de Young et al. 1999 in
Adrianto 2004). Dalam sejarahnya, wacana keberlanjutan perikanan diawali
dengan munculnya paradigma konservasi (conservation paradigm) yang
dipelopori sejak lama oleh para ilmuwan biologi. Dalam paradigma ini
keberlanjutan perikanan diartikan sebagai konservasi jangka panjang (long term
conservation) sehingga sebuah kegiatan perikanan akan disebut “berkelanjutan”
apabila mampu melindungi sumberdaya perikanan dari kepunahan (Adrianto
2004).
Pendekatan pengelolaan perikanan dan kelautan secara komperhensif tetap
diperlukan dalam konteks bahwa seluruh manfaat laut memiliki keterkaitan ke
dalam maupun keluar antar sumberdaya alam yang terkandung di dalamnya.
Sejarah dan evolusi pengeolaan perikanan global menunjukkan bahwa secara
empiris trend hasil-hasil pengelolaan ternyata tidak sesuai dengan karakteristik
yang diharapkan. Jangkauan pengelolaan perikanan (management scope) ternyata
bersifat dinamik dan variatif, bukan statis. Sementara itu, struktur pengelolaan
perikanan pun bersifat kaku (sluggish) dan bukan bersifat adaptif (adaptable).
Konsekuensi dari lemahnya pengelolaan perikanan ini adalah produksi perikanan
yang terus menurun, kehilangan nilai produktivitas ekonomi, biaya pengelolaan
perikanan yang tinggi dan ketidakadilan distribusi kesejahteraan dari sektor ini.
9

2.3. Ketidakpastian Pengelolaan Sumberdaya Perikanan


Sumberdaya perikanan merupakan komoditas yang memiliki karakteristik
yang berbeda dan rumit bila dibandingkan dengan komoditas pertanian lainnya.
Karakteristik yang berbeda tersebut menghasilkan berbagai macam ketidakpastian
serta menimbulkan resiko yang dapat mengganggu sektor perikanan tersebut.
Sumberdaya perikanan yang ada tidak hanya dibutuhkan pada saat ini saja, akan
tetapi generasi yang akan datang juga memerlukan sumberdaya perikanan untuk
berbagai kepentingan. Sumberdaya perikanan ini memerlukan pengelolaan yang
tepat dan cermat. Untuk itulah diperlukan suatu pengelolaan sumberdaya
perikanan secara lestari dan berkelanjutan (sustainable resource exploitation) dan
didukung dengan kebijakan pengelolaan yang baik pada semua lapisan (Charles
2001)
Sektor perikanan merupakan kegiatan ekonomi yang berbeda dengan
kegiatan perekonomian lainnya, dimana tidak ada satu orang pun yang dapat
memastikan berapa banyak sumberdaya setiap tahunnya, berapa banyak produksi
yang harus dihasilkan setiap tahun, atau apa akibatnya terhadap produksi dimasa
yang akan datang yang terkait dengan ketersediaan ikan (Charles 2001). Hal
tersebut merupakan contoh ketidakpastian dalam sektor perikanan. Ketidakpastian
yang terdapat dalam sektor perikanan muncul dari adanya faktor-faktor alami
sektor perikanan tersebut maupun berasal dari berbagai pihak yang
berkepentingan di dalamnya.
Sumber ketidakpastian dalam perikanan seperti dijelaskan oleh FAO (2002)
in Widodo dan Suadi (2006) muncul karena adanya keterbatasan,
ketidaktersediaan, dan rendahnya kualitas data yang tersedia (seperti data hasil
tangkapan, upaya, ekonomi, dan komunitas). Kondisi serba terbatas ini juga
semakin diperlemah oleh keterbatasan ilmu pengetahuan tentang sumberdaya
ikan. Kondisi ini kemudian mendorong berbagai upaya pengelolaan sumberdaya
ikan ke arah yang tidak berkelanjutan (unsustainable) (Widodo dan Suadi 2006).
Sumber ketidakpastian yang luas senantiasa muncul dalam sistem perikanan baik
secara alamiah maupun dari sisi manusia dan manajemen. Dampak dari adanya
ketidakpastian akan menimbulkan resiko di dalam sistem perikanan yang apabila
10

tidak diatasi akan mengancam sistem perikanan (Charles 2001). Sumber-sumber


ketidakpastian dalam perikanan dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Sumber-sumber ketidakpastian dalam sistem perikanan


Sumber yang bersifat alami Sumber yang berasal dari manusia
• Ukuran stok dan struktur umur ikan • Harga ikan dan struktur pasar
• Mortalitas alami • Biaya operasional dan biaya korbanan
• Predator-prey • Perubahan teknologi
• Heterogenitas ruang • Sasaran pengelolaan
• Migrasi • Sasaran nelayan
• Parameter ”stock-recruitment” • Respon nelayan terhadap peraturan
• Hubungan ”stock-recruitment” • Perbedaan persepsi terhadap stok ikan
• Interaksi multispesies • Perilaku konsumen
• Interaksi ikan dengan lingkungan

(Sumber : Charles (2001))

Tipologi ketidakpastian menurut Charles 2001 terdiri atas:


1) Randomness / Process Uncertainty, merupakan tipologi ketidakpastian
yang menyangkut dengan proses dalam sistem perikanan yang bersifat
random (acak).
2) Parameter and State Uncertainty, merupakan ketidakpastian dalam
konteks ketidakakuratan parameter atau status yang diestimasi. Tipologi
seperti ini dapat dibedakan menjadi tiga macam ketidakpastian :
a. Observation Uncertainty, ketidakpastian perikanan karena
keterbatasan observasi (ketidakpastian variabel perikanan) yang dapat
mengakibatkan terjadinya mis-management.
b. Model Uncertainty, ketidakpastian dalam memprediksi model system
perikanan.
c. Estimation uncertainty, ketidakpastian sebagai akibat dari
ketidakakuratan estimasi.
3) Structural Uncertainty, ketidakpastian yang muncul akibat dari proses
struktural dalam pengelolaan perikanan.
11

a. Implementation Uncertainty, ketidakpastian implementasi pengelolaan


perikanan.
b. Institutional Uncertainty, ketidakpastian dalam pengelolaan perikanan
sebagai sebuah institusi, ketidakpastian ”value system” dalam
perikanan.

2.4. Permasalahan dalam Pengelolaan Perikanan


Aktivitas perekonomian utama yang menimbulkan permasalahan
pengelolaan sumberdaya dan lingkungan wilayah pesisir dan lautan, yaitu (1)
perkapalan dan transportasi (tumpahan minyak, limbah padat dan kecelakaan); (2)
pengilangan minyak dan gas (tumpahan minyak, pembongkaran bahan pencemar,
konversi kawasan pesisir); (3) perikanan (over fishing, pencemaran pesisir,
pemasaran dan distribusi, modal dan tenaga kerja/keahlian); (4) budi daya
perairan (ekstensifikasi dan konversi hutan); (5) pertambangan (penambangan
pasir dan terumbu karang); (6) kehutanan (penebangan dan konversi hutan); (7)
industry (reklamasi dan pengerukan tanah); dan (8) pariwisata (pembangunan
infrastruktur dan pencemaran air) (Subri 2005).
Selanjutnya Subri (2005) menjelaskan bahwa pada masyarakat nelayan, pola
adaptasinya menyesuaikan dengan ekosistem lingkungan fisik laut dan lingkungan
sosial di sekitarnya. Bagi masyarakat yang bekerja di tengah-tengah lautan,
lingkungan fisik laut sangatlah mengandung banyak bahaya. Dalam banyak hal
bekerja di lingkungan laut sarat dengan risiko. Karena pekerjaan nelayan adalah
memburu ikan, hasilnya tidak dapat ditentukan kepastiannya, semuanya hampir
serba spekulatif. Masalah risiko dan ketidakpastian (risk and uncertainty) terjadi
karena laut adalah wilayah yang dianggap bebas untuk dieksploitasi (open-access)
(Acheson in Subri 2005). Adanya risiko dan ketidakpastian ini disarankan untuk
disiasati dengan mengembangkan pola-pola adaptasi berupa perilaku ekonomi
yang spesifik yang selanjutnya berpengaruh pada pranata ekonominya. Hubungan
patronage merupakan salah satu pola adaptasi nelayan. Hubungan patronage
diharapkan dapat menanggulangi kesulitan dan krisis ekonomi keluarga yang
dihadapinya, terutama pada saat paceklik (musim angin barat/tidak melaut).
12

2.5. Ikan Tongkol (Auxis thazard)


2.5.1. Klasifikasi dan karakteristik umum morfologi
Klasifikasi ikan tongkol (Auxis thazard) menurut Cuvier (1832) in
www.zipcodezoo.com :
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Ordo : Percomorphi
Sub-ordo : Scombroidea
Famili : Scombridae
Genus : Auxis
Spesies : Auxis thazard
Sinonim : Scomber thazard, Auxis hira, dll
Nama Lokal : ikan tongkol
Nama Umum : Frigate mackerel

Gambar 2. Ikan Tongkol (Auxis thazard) (dokumentasi pribadi)

Ikan tongkol memiliki bentuk tubuh fusiform, memanjang dan penampang


lintangnya membundar. Bentuk tubuh yang demikian memungkinkan ikan
berenang dengan sangat cepat. Bentuk kepala meruncing, mulut lebar dan miring
ke bawah dengan gigi yang kuat pada kedua rahangnya, serta tipe mulut terminal.
Bentuk sisiknya sangat kecil dan termasuk tipe ktenoid. Pada batang ekor ikan
terdapat 3 buah “keel” (rigi-rigi yang bagian tengahnya mempunyai puncak yang
13

tajam). Keel tengah berbentuk memanjang dan tinggi dibandingkan dengan dua
keel lain yang mengapitnya.
Ikan tongkol mempunyai sirip lengkap yaitu sepasang sirip dada, sepasang
sirip perut, dua sirip punggung, satu sirip anal dan satu sirip ekor. Warna daerah
punggung biru tua, kepala agak hitam, terdapat belang-belang hitam pada daerah
punggung yang tidak bersisik di atas garis sisi. Perut berwarna putih, pewarnaan
tubuh yang demikian ini, dimana warna bagian dorsal gelap dan bagian ventral
terang, dinamakan counter shading sebagai salah satu upaya penyamaran
(www.fishbase.com).

2.5.2. Habitat dan distribusi serta karakteristik lingkungan hidup


Habitat ikan tongkol yaitu epipelagik, neritik dan oseanik. Ikan ini hidup
pada daerah pelagis oseanodromous dan laut dalam dengan iklim tropis yang
bersuhu 27-28°C dengan memakan ikan kecil, cumi-cumi, krustasea planktonik.
Karena kelimpahannya ikan tongkol merupakan elemen yang penting dalam jaring
makanan serta dimangsa oleh ikan yang lebih besar termasuk tuna. Auxis thazard
banyak tersebar di Atlantik, Indian dan Pasifik. Ikan tongkol termasuk spesies
yang bermigrasi. Peta distribusi Auxis thazard dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Sebaran Ikan Tongkol (Auxis thazard) (www.fishbase.com)


14

2.5.3. Alat tangkap


Nelayan Kabupaten Garut melakukan operasi penangkapan ikan tongkol
dengan menggunakan jaring insang (gillnet), pukat cincin atau jaring lingkar
(purse seine) dan pancing (Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan Garut).
Jaring lingkar adalah jenis jaring penangkap ikan berbentuk empat persegi
panjang atau trapesium, dilengkapi dengan tali kolor yang dilewatkan melalui
cincin yang diikatkan pada bagian bawah jaring (tali ris bawah), sehingga dengan
menarik tali kolor bagian bawah jaring dapat dikuncupkan sehingga gerombolan
ikan terkurung di dalam jaring (Mukhtar 2010).

Gambar 4. Alat tangkap payang (www.dkp.go.id)

Jaring insang adalah alat penangkapan ikan berbentuk lembaran jaring


empat persegi panjang, yang mempunyai ukuran mata jaring merata. Lembaran
jaring dilengkapi dengan sejumlah pelampung pada tali ris atas dan sejumlah
pemberat pada tali ris bawah. Tinggi jaring insang permukaan 5-15 meter &
bentuk gillnet empat persegi panjang atau trapesium terbalik, tinggi jaring insang
pertengahan 5-10 meter dan bentuk gillnet empat persegi panjang serta tinggi
jaring insang dasar 1-3 meter dan bentuk gillnet empat persegi panjang atau
trapesium. Bentuk gillnet tergantung dari panjang tali ris atas dan bawah (Mukhtar
2010).
15

Gambar 5. Alat tangkap gillnet (www.dkp.go.id)

Pancing merupakan alat tangkap yang memiliki mata pancing untuk


menangkap ikan dengan cara menggunakan umpan berupa makanan ikan yang
menjadi sasaran. Makanan ikan tongkol yang biasa digunakan sebagai umpan
yaitu ikan-ikan kecil, cumi, ataupun umpan buatan.

2.6. Hubungan Panjang Berat


Panjang badan diartikan sebagai panjang rata-rata dari suatu kohort.
Estimasi panjang rata-rata tersebut diturunkan dari perata-rataan pengukuran
individu hewan. Pengukuran pertumbuhan ikan dapat dilaksanakan dalam
beberapa cara diantaranya dengan melihat hubungan panjang dan berat ikan yang
diamati. Pengertian dari hubungan panjang dan berat adalah asumsi bahwa adanya
relasi antara panjang dengan berat. Artinya setiap adanya penambahan panjang
diasumsikan terjadi penambahan berat, sampai ikan tersebut berhenti untuk bisa
bertambah panjang (Sparre & Venema 1999).
Berat dapat dianggap sebagai suatu fungsi dari panjang. Hubungan panjang
berat hampir mengikuti hukum kubik yaitu bahwa berat ikan sebagai pangkat tiga
dari panjangnya. Tetapi, hubungan yang terdapat pada ikan sebenarnya tidak
demikian karena bentuk dan panjang ikan berbeda-beda. Jika diplotkan panjang
dan berat ikan pada suatu gambar, maka akan didapat bentuk logaritmik. Maka
hubungan tadi tidak selamanya mengikuti hukum kubik, tetapi dalam suatu bentuk
16

rumus yang umum yaitu : w = cLn , dimana w = berat , L = panjang, c dan n =


konstanta (Effendi 2002).
Jika rumus umum tersebut ditransformasi kedalam logaritma, maka akan
diperoleh persamaan : log w = log c + n log L, yaitu persamaan linear atau garis
lurus. Harga n ialah pangkat yang harus cocok dari panjang ikan agar sesuai
dengan berat ikan. Menurut Carlander (1969) in Effendi (2002) harga eksponen
ini telah diketahui dari 398 populasi ikan berkisar 1.2-4.0 namun, kebanyakan dari
harga n tadi berkisar dari 2.4-3.5 bilamana harga n = 3 menunjukkan bahwa
pertumbuhan ikan tidak berubah bentuknya. Pertambahan panjang ikan seimbang
dengan pertambahan beratnya. Pertumbuhan demikian seperti telah dikemukakan
ialah pertumbuhan isometrik. Sedangkan apabila n > 3 atau n < 3 dinamakan
pertumbuhan alometrik. Apabila harga n < 3 menunjukkan keadaan ikan yang
kurus, dimana pertambahan panjangnya lebih cepat dari pertambahan beratnya.
Jika harga n > 3 menunjukkan ikan montok, pertambahan berat lebih cepat
daripada pertambahan panjang. Hubungan panjang bobot ikan tongkol (Auxis
thazard) yang diperoleh Celloran in www.fishbase.com di Sri Lanka sebesar
3,334 (alometrik positif).

Anda mungkin juga menyukai