Pengobatan Steroid Dosis Tinggi untuk Keratitis Bakteri

Purpose: To describe the usage patterns of steroids in bacterial keratitis and to analyze the effect of
steroids on patients’ visual outcomes. // Tujuan : Untuk menjealskan pola-pola penggunaan steroid
dalam kasus keratitis bacterial dan menganalisis efek steroid terhadap kemampuan pengelihatan pasien.

Methods: This was a single-center retrospective review of patients with culture-positive bacterial
keratitis treated between 1999 and 2015 at Princess Alexandra Hospital (Brisbane, Australia). Patients
with culture-positive bacterial keratitis were identified through the Queensland Pathology Database
,and clinical information was gathered through a subsequent medical record review. High-dose steroid
treatment was classified as 6 or more drops of a steroid a day started within 7 days of corneal scraping.
The outcome of a patient’s episode of keratitis was classified as good if their final visual acuity was 6/12
or better; poor if it was 6/60 or worse or required a corneal transplant, otherwise it was classified as
average. Microbiological and clinical variables’ association with outcomes was evaluated in univariate
analyses. Variables significant at P , 0.1 were examined in a multivariate ordinal logistic regression
analysis created with forward variable selection with forced inclusion of steroid treatment (high, regular,
low dose, and none). // Metode : Penelitian ini menggunakan metode ulasan retrospektif tunggal-
terpusat dari pasien dengan hasil kultur bakteri positif unutk kasus keratitis yang diobati pada 1999
hiingga 2015 di Princess Alexandra Hospital (Brisbane, Australia). Pasien keratitis bacterial kultur positif
diidentifikasi melalui Queensland Pathology Database, dan informasi klinis didapakan dari ulasan rekam
medis. Pemberian steroid dosis tinggi didefinisikan dengan pemberian steroid sebanyak enam tetes atau
lebih perhari dalam tujuh hari pengikisan kornea. Hasil yang diamati dari episode keratitis pasien terbagi
menjadi berikut: baik apabila ketajaman pengelihatan pasien adalah 6/12 atau lebih; kurang apabila
ketajaman kurang dari sama dengan 6/60 atau membutuhkan transplantasi kornea; selainnya pasien
dikategorikan dalam kategori cukup. Variabel klinis dan mikrobiologi yang berhubungan dengan hasil
dievaluasi dengan analisis univariat. Variabel dinyatakan signifikan pada P 0.1, yang diuji dengan alat
analisis regresi ordinat multivariat yang dibuat setelah pemilihan variabel dengan kriteria inklusi yakni
pemberian steroid (tinggi, sedang, dosis rendah, tanpa steroid)

Results: A total of 328 patients were included from the 1002 reviewed charts. Of these patients, 164
(50.0%) were treated with steroids. Factors significantly associated with outcomes in the multivariate
model were high-dose steroid treatment, visual acuity on presentation, age group, cause of keratitis,
infiltrate size, and location. The odds ratio of better outcomes with high-dose steroids was 5.49
(confidence interval, 1.6–19.0, P = 0.007)./ Hasil : Terdapat 328 pasien yang mengikuti penelitian ini dari
1002 pasien. 164 pasien dari 328 pasien (50%) diberi penatalaksanaan berupa steroid. Faktor yang
berhubungan seccara signifikan dengan hasil dalam model multivariat adala: pemberian steroid dosis
tinggi, ketajaman pengelihatan saat pemaparan, kelompok usia, etiologi keratitis, ukuran infiltrate, dan
lokasi. OR dari hasil yang baik dengan steroid dosis tinggi adalah 5.49 (confidence interval, 1.6–19.0, P =
0.007).

Conclusions: High-dose steroid treatment is significantly associated with better visual outcomes in
patients with culture-positive bacterial keratitis in this case series. / Kesimpulan: Terdapat hubungan
signifikan antara pemberian steroid dosis tinggi dengan ketajaman pengelihatan yang lebih baik pada
pasien dengan kultur bakteri keratitis positif dalam rangkaian kasus.

Key Words: cornea, keratitis, steroid / Kata Kunci: kornea, keratitis, steroid.
Bacterial keratitis is a common infectious disease of the cornea that may cause severe vision loss. Even
with modern treatment techniques, infections can result in poor vision in 50% and need surgical
intervention in 12% of patients.1 Conventional management of bacterial keratitis includes corneal
culture and empirical broad-spectrum topical antibiotics.2 The use of steroids in treatment of bacterial
keratitis continues to be a controversial topic. The use of steroids has been suggested to decrease tissue
damage from the host immune response, potentially leading to better patient outcomes; however, they
are also considered to be a risk factor for developing bacterial keratitis.3,4 // Keratitis bakterial adalah
infeksi yang terjadi di kornea yang dapat menyebabkan hilangnya pengelihatan parah. Meski dengan
Teknik penatalaksanaan yang modern, infeksi yang terjadi dapat menyebabkan perburukan
pengelihatan pada 50% kasus dan pada 12% kasus, dibutuhkan intervensi operatif. Penatalaksanaan
konvensional dari keratitis bakterial yakni kultu kornea yang dilanjut dengan pemberian antibiotic
empirik topical spektrum luas. Penggunaan steroid dalam kasus ini dinilai masih kontroversal, dimana
pemberian steroid dianggap dapat menurunkan kerusakan jaringan yang diakibatkan oleh respon imun
pejamu, nammun steroid juga dianggap menjadi salah satu faktor resiko berkembangnya keratitis
bakterial.

There have been 4 randomized controlled trials (RCTs) on the use of steroids in keratitis. Two smaller
RCTs on the use of steroids in microbial keratitis gave dexamethasone 0.1% 4 times per day but found
no beneficial effect.5,6 The outcome measures were visual acuity (VA), complications, and the rate of
epithelial healing in the first study5 and VA, time to healing, and the quality of life questionnaire in the
second study.6 / Terdapat empat uji randomisasi terkontrol (Randomized Controlled Trial) dalam
penelitian terkait penggunaan steroid pada kasus keratitis. Terdapat 2 penelitian RCT yang memberikan
deksametason 0.1% 4 x sehari pada pasien keratitis microbial, namun tidak ditemukan efek yang
menguntungkan. Hasil yang diukur dan diamati adalah ketajaman pengelihatan (VA), komplikasi, dan
laju penyembuhan epitel pada studi pertama, serta VA, lama penyembuhan dan kuesioner QoL pada
penelitian kedua.

The Steroid Corneal Ulcer Trial (SCUT) consisted of a small pilot study in20097 and a large RCT
published in 2012. 8 The outcome measures for both studies were best spectacle corrected VA, re-
epithelialization time, infiltrate/scar size, and adverse events. The intervention was prednisolone
acetate 1% starting at 4 times per day and tapering over 3 weeks. The pilot study conducted a double-
masked RCT on 42 patients and found no difference in the clinical outcomes except for an extended
epithelial healing time in the steroid group. 7 The larger RCT randomized 500 patients and found that
there was no difference in the outcome measures between the 2 groups.8 / Steroid Corneal Ulcer Trial
(SCUT) terdiri dari uji permulaan skala kecil pada tahun 2009, dan RCT skala lebih besar yang dipublikasi
pada tahun 2012. Hasil yang diamati dalam kedua peelitian ini adalah penggunaan alat bantu untuk
mengoreksi VA, waktu reepitelisasi, ukuran infiltrat/bekas luka, dan efek yang merugikan. Intervensi
yang diberikan ialan prednisolone asetat 1% dimuali dari 4x sehari dan dilanjutkan dengan dosis yang
diturunkan bertahap selama tiga minggu. Penelitian permulaan ini menggunakan metode penelitian
control terandomisasi yang tertutup-ganda pada 42 pasien, dan tidak ditemukan perbedaan hasil klinis
kecuali perpanjanga waktu penyembuhan epitel pada kelompok steroid. Pada uji RCT yang lebih besar,
dilakukan randomisasi terhadap 5000 pasien dan ditemukan tidak terdapa tperbedaan hasil antara dua
grup.
Subgroup analysis of SCUT patients with Nocardia keratitis found that they had poorer outcomes when
treated with steroids.9 Subsequently, the analysis has found that treatment with steroids has yielded
significantly better vision in non–Nocardia keratitis at 12-month reviews,10 receiving early steroid
treatment (,3 days) at 3-month reviews11 or with Pseudomonas aeruginosa keratitis at 3-month
reviews.12 // Sub-grup pasien SCUT yang terdiagnosa dengan keratitis Nocardia dianalisis dan
didapatkan hasil bahwa mereka memiliki hasil yang lebih buruk apabila diterapi dengan steroid. Pada
analisis ini ditemukan bahwa pemberian steroid sebaai terapi dapat memberikan hasil VA yang lebih
baik pada pasien yang bukanpenderita keratitis Nocardia secara signifikan selama 12 bulan pemeriksaan,
atau mendapat penatalaksaanaan berupa steroid lebih awal (<3 hari) pada 3 bulan ulasan, atau pasien
dengan keratitis karen P.aeruginosa pada 3 bulan ulasan.

Three small RCTs have shown steroid treatment of bacterial keratitis to have a nondetrimental effect,
and the SCUT has shown a beneficial effect on visual outcomes. However, the steroid regimen in these 4
human studies has been limited to only 4 times per day prednisone sodium phosphate 1% or
dexamethasone 0.1%. As discussed in the SCUT’s publication, a greater therapeutic benefit may be
possible from a higher dose of steroids.8 Furthermore, experimental models of treatment of bacterial
keratitis in animals have commonly used much higher doses, including up to 2 drops an hour. These
studies have shown that the number of bacteria in the cornea decreases compared with antibiotics
alone.3,13–15// Tiga RCT sakal kecil menunjukkan bahwa perawatan dari keratitis bakteri haruslah
memiliki efek non-detrimental, dan hasil SCUT sudah menunjukkan efek baik untuk pengelihatan.
Meskipun begitu, pemberian steroid pada empat studi yang melibatkan manusia ini membatasi
pemberian prednisone Na-Fosfat 1% atau deksametason 0.1% sebanyak 4x sehari. Selaras dengan
pembahasan SCUT, efek terapeutik menguntungkan yang lebih besar mungkin didapat dari steroid dari
dosis yang lebih tinggi. Untuk lebih lanjutnya, penelitian lebih lanjut terkait keratitis bakterial
menggunakan hewan coba menggunakan dosis yang lebih tinggi, bahkan hingga dua tetes tiap jam. Pada
studi-studi tersebut diatas, ditemukan hasil penurunan jumlah bakteri apabila dibandingkan dengan
pemberian antibiotic saja.

This study reviews the use of steroids in treatment of bacterial keratitis in a large tertiary center in
Brisbane, Australia. In particular, it focuses on the effect of high-dose topical steroids on visual
outcomes. / Penelitian ini membahas penggunaan steroid dalam penatalaksanaan keratitis bakteria
dalam pelayanan kesehatan lanjutan (tertiary center- setara dengan RS? Primary care kan puskesmas…)
di Brisbane, AUS. Secara khusus, penelitian ini membahas efek pemberian steroid topical dosis tinggi
terhadap daya pengelihatan.
METHODE

Patients with a positive corneal scrape between January 1999 and December 2015 were identified
through the local microbiology database, Queensland Pathology. A retrospective patient medical record
review was performed for these patients from the Princess Alexandra Hospital, Brisbane, Australia.
Specimens were collected using standard corneal scraping kits comprising slides, plates, and broth that
were all directly inoculated. Blood, MacConkey, chocolate, and Sabouraud agar plates were used. //
Pasien dengan hasil kerok kornea positif dari Januari 1999 hingga Desember 2015 diidentifikasi melalui
database mikrobiologi local di Queensland Pathology. Pengulasan rekam medis pasien di the Princess
Alexandra Hospital, Brisbane, Australia dilakukan secara retrospektif. Spesimen dikumpulkan dengan
alat yang standar digunakan untuk kerok kornea seperti cawan, plat, dan kaldu yang diinokulasi
langsung. Media yang digunakan yakni agar darah, McConkey, coklat, dan Saborroud.

Patients were excluded if: / Pasien diekslusi apabila

1. They were younger than 15 years / Usia < 15thn

2. Their clinical records indicated : / RM menunjukkan hasil sbb:

a. There was no record of keratitis / Tidak ada riwayat keratitis

b. They were reviewed for less than 7 days / Diperiksa dalam waktu < 7 hari

c. Steroid use before corneal scraping / Menggunakan steroid sebelum pengambilan kerok
kornea

d. There was possible herpetic keratitis or a history of herpetic keratitis / Kemungkinan adanya
keratitis herpes atau riwayat keratitis herpes

e. Their vision was 6/9 or better on presentation / Saat diperiksa, visus 6/9 atau lebih baik.
3. Corneal culture result included fungal or protozoal species / Kultur kornea menunjukkan hasil +
jamur/protozoa

4. They presented with a corneal perforation, their cornea perforated during treatment or their eye was
enucleated or eviscerated / ada perforasi kornea, dimana kornea mereka mengalami perforasi selama
pengobatan atau organ mata pasien dienukleasi/eviserasi.

These exclusion criteria were modeled on the SCUT.8 The largest difference in inclusion criteria
between the SCUT and this study is that this study excludes patients with vision of 6/9 or better on
presentation. This has been done to focus on the effect of steroids in moderate and severe keratitis and
to reflect the findings in the SCUT that steroids were less effective in mild keratitis.8 The number of
patients excluded at each stage is shown in Figure 1. // Krteria ekslusi ini seperti yang dicontohkan dari
SCUT. Perbedaan antara SCUT dan penelitian ini adalah penelitian ini mengekslusikanpasien dengan
visus 6/9 atau lebih baik pada pemeriksaan. Hal ini dilakukan untuk membuat lebih spesifik, dimana
padapenelitian ini terkhusus pada pasien dengan keratitis sedang-berat dan menyamai temuan pada
SCUT yang menunjukkan bahwa steroid tidak terlalu efektif pada keratitis ringan. Jumlah pasien yang
diekslusi dideskripsikan pada gbr.1

Microbiology results were used to identify cultured organisms and sensitivity to relevant antibiotics
(vancomycin, cephalosporins, fluoroquinolones, gentamicin, and chloramphenicol). Patient records were
used to gather information about age, sex, risk factors for keratitis, clinical presentation, antibiotic
treatment, surgical interventions, and steroid preparation used (including type, duration, and
frequency). The presence of hypopyon was recorded, and the corneal infiltrate position was classified as
being central if it covered the corneal apex. The length of review was measured in months from the date
of corneal scraping until final recorded review at the time of chart review. / Hasil mikrobiologi digunakan
untuk identikasi organisme yang sudah dikultur, serta diuji sensitivitasnya terhadap antibiotic yang ada
(vancomycin, cephalosporins, fluoroquinolones, gentamicin, and chloramphenicol). Rekam medik pasien
digunakan untuk mengumpulkan informasi terkait usia, jenis kelamin, faktor resiko keratitis, manifestasi
klinis, pemberian antibiotic, intervensi operatif, dan steroid yang digunakan (termasuk jenis, durasi,
serta frekuensi). Adanya hipopion juga dicatat, serta posisi infiltrate kornea dikatakan ada di tengah
apabila infiltrate menutup apeks kornea. Lama ulasan diukur dalam hitungan bulan mulai dari tanggal
pengambilan korekan kornea hingga ulasan hasil pencatatan terakhir dari waktu pengulasan.

The trend in the rate of steroid treatment was analyzed by calculating the moving average of the yearly
percentage of patients who were treated with steroids. The yearly moving average was calculated by
averaging the rate of steroid treatment of each year with the year before and year after. The first and
last years in the study were only averaged with the year after and year before, respectively. The trend in
the rate of steroid use was analyzed with linear regression. // Kecenderungan dalam pemberian steroid
dianalisis dengan menghitung jumlah rerata pertahun dari persentase pasien yang diberikan steroid.
Rerata pertahun yang berubah dihitung dengan mencari rata-rata pengobatan dengan steroid per
tahunnya, dengan tahun sebelum da sesudahnya. Pada tahun pertama dan terakhir penelitian, hasil
dihitung dengan mencari rerata dari tahun setelahnya dan tahun sebelumnya. Kecenderungan terkait
laju penggunaan steroid ini dianalisa dengan metode regresi linear.

Variables tested in univariate and multivariate analyses were keratitis risk factors: contact lens wear
(CLW), ocular surface disease, recent ocular trauma, previous ocular surgery, systemic disease, or no risk
factors; VA on presentation: good (6/12 or better), average (6/15–6/48), or poor (6/60 or worse);
infiltrate size: small (#1.4 mm), medium (1.5–4.9 mm), or large ($5.0 mm); age: 15 to 49 years, 50 to 69
years, and$70 years; year of scraping: 1999 to 2003, 2004 to 2008, and 2009 to 2015; antibiotic
treatment: fortified gentamicin and vancomycin,fortified gentamicin and cephalosporin,
fluoroquinolone and fortified cephalosporin, fluoroquinolone monotherapy, triple therapy (dual fortified
antibiotics and a fluoroquinolone), and other treatment; and culture results: common organisms such as
Staphylococcus aureus, coagulase-negative staphylococci, Streptococci pneumoniae, and P. aeruginosa.
// Variabel yang diujikan dalam Analisa univariat dan multivariat adalah faktor risiko keratitis seperti
penggunaan lensa kontak (CLW), penyakit permukaan ocular, trauma mata baru, riwayat operasi mata,
penyakit sistemik, atau tanpa faktor risiko. VA saat diuji ( baik (6/12 atau lebih baik), cukup (6/15-6/48),
kurang (6/60 atau kurang dari itu); ukuran infiltrate: kecil (#1.4 mm), medium (1.5–4.9 mm), luas ($5.0
mm). Usia dari 15-49 tahun; 0 to 69 years, and$70 years; tahun pengambilan sampel: 1999-2003; 2004-
2008;2009-2015; penggunaan antibiotic (fortified gentamicin and vancomycin, gentamicin terfortifikasi
dan cephalosporin, fluoroquinolone dan cephalosporin terfortifikasi, fluoroquinolone terapi tunggal,
triple therapy (dua antibiotics terfortifikasi dan a fluoroquinolone), serta terapi lain. Serta hasil kultur
common organisms such as Staphylococcus aureus, coagulase-negative staphylococci, Streptococci
pneumoniae, and P. aeruginosa.

Treatment success (good outcome) was defined as unaided, corrected, or pinhole VA at final review of
6/12 or better and no corneal transplant. Poor outcomes were classified as patients with VA at final
review of 6/60 or worse or treatment requiring corneal transplant. The remaining patients’ outcomes
were classified as average. // Penatalaksanan yang sukses (outcome positif) diartikan sebagai hasil uji VA
tanpa bantuan, dengan koreksi, atau pinhole yang mendapatkan 6/12 atau lebih baik dan tanpa
transplantasi korena. Hasil dinilai kurang ketika hasil VA pasien pada akhir pemeriksaan ada 6/60 atau
kurang, atau pasien memerlukan transplantasi kornea. Hasil lainnya diartikan cukup.

Continuous variables (VA on presentation, infiltrate size, age, and year of scrape) were categorized into
groups with similar rates of good outcomes. This was achieved by graphing the rateof goodoutcomes for
thecontinuousvariable.Thegraph was then visually inspected for cutoffs to group patients with similar
rates of good outcomes. For example, the continuous variable of age versus good outcome was visually
inspected. The graph indicated that patients aged ,50 years had mostly good outcomes, whereas
patients aged .70 years had very low rates of good outcomes. Patients aged between 50 and 70 years
had a linear decrease in the rate of good outcomes. Hence, the continuous variable of age was
categorized into patients aged ,50 years, patients aged 50 to 70 years, and patients aged .70 years. A
similar process was followed for VA on presentation, infiltrate size, and year of scrape. / Variabel
berkelanjutan (VA saat pemeriksaan, ukuran infiltrate, usia, dan tahun pengambilan sampel kornea)
dimasukkan kedalam grup dengan laju yang sama dengan hasil baik. Hal ini didapatkan dengan
membuat grafik tentang laju hasil positif untuk variabel berkelanjutan. Grafik diinspeksi secara visual
untuk menjad nilai batas dari kelompok pastien dengan laju hasil positif yang sama, contohnya, variabel
usia dan variabel hasil positif diinspeksi secara visual. Grafik yang menunjukkan usia pasien 50 tahun
menunjukkan hasil positif yang lebih banyak, sedan pasien usia 70 tahun mendapatkan sedikit hasil
positif. Pasien usia antara 50-70 tahun mengalami penurunan linear untuk laju hasil positif. Karenanya,
variabel berkelanjutan dari usia dikategorikan kepada pasien usia 50 tahun, pasien usa 50-70 tahun, dan
pasien usia 70 tahun. Proses yang sama dilaukan untuk penilaian VA, besarnya infiltrate, dan tahun
pengambilan sampel.
Patients were considered to have received high-dose steroids if their daily treatment was 6 or more
drops of prednisolone acetate 1%, phenylephrine hydrochloride 0.12% (Prednefrin Forte Allergan, New
Jersey), dexamethasone 0.1% (Dexamethasone, Alcon, Fort Worth, TX), or prednisolone sodium
phosphate 0.5% (Prednisolone Minims; Bausch and Lomb, Rochester, NY) and were commenced within
the first 7 days after corneal scraping. Patients were considered to have received low-dose steroids if
they received fluorometholone 0.1% (FML; Allergan) or drops of any steroid only once or twice a day or
if they were started greater than 30 days after the day of corneal scraping. Otherwise patients’
treatment was classified as regular dose. / Pasien dianggap menerima steroid dosis tinggi apabila
pengobatan sehari-hari mereka adalah enam tetes atau lebih prednisolone acetate 1%, phenylephrine
hydrochloride 0.12% (Prednefrin Forte Allergan, New Jersey), dexamethasone 0.1% (Dexamethasone,
Alcon, Fort Worth, TX), or prednisolone sodium phosphate 0.5% (Prednisolone Minims; Bausch and
Lomb, Rochester, NY), dan dimulai dari tujuh hari setelah pengerokan korea. Pasien dianggap menerima
kortikosteroid rendah apabila mereka mendapatkan fluorometholone 0.1% (FML; Allergan) atau steroid
topical tetes selama satu atau dua kali sehari, atau apabila mereka memulai terapi steroid lebih dari 30
hari setelah pengerokan kornea. Pasien lainnya adalah pasien penerima dosis regular.

All P values listed are chi-squared tests unless stated otherwise. This study was approved by the Princess
Alexandra Human Research Ethics Committee. Data were analyzed with SPSS v24.0 (IBM, Chicago) and
Stata v15 (Statacorp, TX). / Semua nilai P yang ada sudah diuji dengan chi-square kecuali jika
menggunakan metode yang lain. Penelitian ini sudah diterima oleh komite etik Princess Alexandra
Human Research Ethics Committee. Data dianalisa dengan perangkat lunak SPSS v24.0 (IBM, Chicago)
and Stata v15 (Statacorp, TX).

Univariate and Multivariate Analyses / Analisis Univariat dan Multivariat

The treatment effect of steroids was evaluated by initially performing univariate (x2) analyses of factors
associated with clinical outcomes including topical steroid dose, year of scrape,patient age, sex, keratitis
risk factors, clinical presentation (VA on presentation, infiltrate size, central infiltrate, and hypopyon),
and culture result and sensitivities. / Efek pemberian steroid dievaluasi secara univariat (x), analisa
faktor yang berhubungan dengan hasil klinis termasuk dosis steroid topical, tahun pengambilan, usia,
jenis kelamin, faktor risiko keratitis, dan temuan klinis (VA saat diperiksa, ukuran infiltrate, letak
infiltrate, dan hipopion), serta hasil kultur serta sensitivitas.

Variables found to be associated with outcome with P , 0.1 in univariate analyses were subsequently
used as covariates in a multivariate ordinal logistic regression model with forced inclusion of steroid
treatment. Covariates were retained in the model if their P value was ,0.05. The primary outcome
measure was good, average, or poor. A Hosmer–Lemeshow test was used to test the goodness of fit of
the model. / Variabel yang diduga terkait dengan hasil dengan nilai P 0.1 dalam Analisa univariat
digunakan setelahnya sebagai ko-variate dalam model logistik ordinal regresi dengan inklusi paksa dari
pemberian steroid. Ko-variat tetap masuk ke dalam model apabila nilai P mereka 0.05. Hasil
pengukuran primer dibagi menjadi baik, cukup, kurang. Uji Hosmer-Lemeshow digunakan untuk menilai
kecakapan dan kemampuan dari model uji.

The rates of corneal transplant and significant vision loss in patients treated with and without steroids
were compared with x2 tests. Significant vision loss was defined as .3 lines of Snellen VA when the initial
VA was better than 6/60. Patients’ clinical records were evaluated for episodes of recurrent keratitis,
and the microbiology database searched for rescrapings and/or subsequent fungal keratitis. / Jumlah
transplantasi kornea dan kehilangan pengelihatan yang berarti pada pasien dengan dan tanpa steroid
dibandingan dengan x2 test. Kehilangan pengelihatan yang berarti didefinisikan dengan hasil .3 baris
pada Snellen untuk uji VA, dimana VA pada umumnya lebih baik dari 6/60. Rekaman medis pasien
dinilai untuk melihat rekurensi keratitis, dan basis data mikrobiologi digunakan untuk mencari riwayat
pengambilan berulang atau/dan keratitis fungal setelahnya.

RESULTS (HASIL)

Patient Inclusions and Exclusions (PASIEN INKLUSI DAN EKSLUSI)

The medical files of 1002 patients were identified through the microbiology database and reviewed. In
total, 674 patients were excluded for a variety of reasons shown in Table 1. The most common reason
for exclusion was having vision $6/9 on presentation or having insufficient review. // Dokumen medis
dari 1002 pasien diidentifikasi melalui database mikrobiologi kemudian diulas. Ttrdapat total 674 pasien
dieksklusi karena alasan pada tabel 1. Alasan utama untuk ekslusi adah visus 6/9 pada pemeriksaan,
atau tidak cukupnya pembahasan/pendalaman data pasien.

Of the 174 patients who were excluded because they had good vision on presentation, 70 (40.2%)
received steroids as part of their treatment. This was high dose in 5 (2.9%), regular in 37 (21.3%), and
low dose in 28 (16.1%). In these patients with good vision at presentation who were excluded, there was
no difference in the rate of corneal transplant (steroid 3, 4.3%; no steroid 1, 1.0%; P = 0.179) or
significant vision loss (steroid 1, 1.4% cf no steroid 2, 1.9%; P = 0.646) between patients treated with or
without steroids. These patients had predominantly good outcomes (166, 95.4%), and very few had
poor outcomes (4, 2.3%). The high rate of good outcomes and lack of association of corneal transplant
or significant vision loss with steroid treatment means exclusion of these patients would not have biased
the multivariate analysis. / Dari 174 pasien yang dieksklusi karena hasil pemeriksaan mata yang baik, 70
(40.2%) menerima steroid sebagai bagian dari obat mereka. Pasien penerima steroid terbagi menjadi
tiga, yakni dosis tinggi in 5 (2.9%), sedang 37 (21.3%), dan rendah 28 (16.1%). Pada pasien berikut
dengan pengelihatan baik yang diekslusi, tidak terdapat perbedaan dengan rasio transplantasi kornea
transplant (steroid 3, 4.3%; tanpa steroid 1, 1.0%; P = 0.179) atau kehilangan pengelihatan yang berarti
(steroid 1, 1.4% cf tanpa steroid 2, 1.9%; P = 0.646) antara pasien dengan atau tanpa steroid. Pasien
tersebut pada umumnya mendapatkan hasil positif (166, 95.4%), dan sedikit yang mendapatkan hasil
negatif (4, 2.3%). Rasio tinggi untuk hasil baik dan rendahnya hubungan antara transplantasi kornea atau
hilangnya pengelihatan yang berarti dengan penggunaan steroid dapat dimaksudkan sebagai ekslusi dari
pasien berikut yang tidak akan membiaskan hasil Analisa multivariat.

Of the 26 patients excluded for corneal perforation/ enucleation/evisceration, steroids were used in
treatment of only 6 patients (23.1%), and none of these patients received high-dose steroids. / Dari 26
pasien yang tereksklusi karena perforasi/enukleasi/eviserasi kornea, steroid digunakan hanya pada 6
pasien, dan pasien-pasien ini tidak menerima dosis tinggi.

A total of 328 patients were included in the study. Of these patients, 169 (51.5%) were male, and their
mean age at the time of scraping was 52.1 years (SD 21.5; range 16.9– 98.3 years). / Terdapat total 328
pasien inklusi dalam studi. Dari pasien ini, 169 (51.5%) adalah pria, dan rerata usia mereka saat
pengambilan sampel adalah 52.1 tahun (SD 21.5; range 16.9– 98.3 years).

The most commonly identified risk factor for keratitis was CLW, although ocular surface disease, recent
ocular trauma, and previous ocular surgery were also common. Systemic disease was a factor in a small
number of patients, and no identifiable factor was present in the files of approximately 10% of patients
(Table 1). / Faktor keratitis yang umum ditemui adalah CLQ, meski gangguan permukaan mata, riwayat
trauma mata, dan riwayat operasi mata juga umum ditemui.Penyakit sistemik menjadi faktor risiko
untuk sebagian kecil pasien, dan pada 10% pasien yang didata, tidak ada faktor yang dapat diidentifikasi
(tabel 1)

The most frequent presentations were with a medium size infiltrate, which covered the central axis.
Corneal scraping results most commonly yielded Gram-positive organisms, although the most common
single organism was the Gram-negative rod-shaped P. aeruginosa. Multiple organisms were present in
76 culture results (23.1%). Antibiotic resistance to the recorded antibiotics was present in 34 cases
(10.4%). // Temuan yang umum ditemui adalah infiltrate ukuran sedang yang menyelimuti aksis tengah.
Hasil kerokan kornea ditemukan organisme G+, meskipun organisme tunggal umum adalah G- baentuk
batang P.aeruginosa. Organisme multiple ditemui pada 76 kultur (23.1%), resistensi antibiotic ditemui
pada 34 kasus (10.4%)

Steroid Treatment Groups // Kelompok Pengobatan Steroid

Topical steroids were used as part of management of 164 (50.0%) of the 328 included patients. This was
classified as a high dose in 19, regular dose in 89, and low dose in 56 patients. // Steroid topical
digunakan sebagai bagian dari penatalaksanaan pada 164 (50.0%) dari 328 pasien terinklusi. Pasien
terbagi menjadi 19 pasien dosis tinggi, 89 pasien dosis sedang, dan 56 pasien dosis rendah.
The comparative patient demographic and clinical characteristics of steroid treatment groups are shown
in Table 1. Previous ocular surgery had a greater representation in the high-dose steroid treatment
group than in other treatment groups. However, there was no significant difference in age, initial VA,
infiltrate size, rate of centrality, presence of hypopyon, spectrum of causative organisms, or average
length of review between the treatment groups (Table 1). // demografi komparatif pasien dan
karakteristik klinis dari kelompok pengobatan steroid ditunjukkan pada abel 1. Riwayat operasi mata
memiliki representasi yang lebih tinggi pada kelompok pengobatan steroid dosis tinggi dibandingkan
dengan kelompok pengobatan lain. Meski begitu, tidak ada perbedaan signifikan dalam usia, VA awaal,
ukuran infiltrate, rasio sentral, ada/tidaknya hipopion, spektrum organisme kausatif, atau rerata dari
lamanya pembuatan ulasan antar kelompok pengobatan. (Tabel 1)

Steroid Usage Patterns / Pola Penggunaan Steroid

The median time until implementation of steroid use was 7 days (mean range 0–167 days). The initial
frequency of steroid use was 3 or 4 times per day in 110 patients (33.5%), whereas a high frequency
(6·/day or greater) was used in 26 patients (7.9%). The steroid preparations used were Prednisolone
Forte (69, 21.0%), Maxidex (56, 17.1%), FML (19, 5.8%), and prednisolone minims (23, 7.0%). / Median
dari waktu hingga penggunaan steroid dimulai adalah 7 hari (range rerata 0-167 hari). Frekuensi awal
pemberian steroid adalah 3 atau 4 kali sehari pada 110 pasien (33.5%), sedangkan untuk frekuensi tinggi
(enam kali atau lebih) digunakan pada 26 pasien (7.9%). Steroid yang digunakan adalah Prednisolone
Forte (69, 21.0%), Maxidex (56, 17.1%), FML (19, 5.8%), dan prednisolone minims (23, 7.0%).

High-Dose Steroid Group / Kelompok Steroid Dosis Tinggi

The high-dose steroid treatment group included 19 patients. The median time to treatment was 2 days;
steroid frequency was hourly in 2 patients, 2 hourly in 8 patients, and 6 times a day in the remaining 9
patients. The steroid drops used were Prednefrin Forte in 12 patients, prednisone minims in 4 patients,
and Maxidex in 3 patients. Although 26 patients were treated with high-dose steroids, 7 of these
patients were not included in this high-dose treatment group because they did not meet the inclusion
criteria of potent steroids or early treatment. / Pengobatan steroid dosis tinggi pada kelompok
perawatan menginklusi 19 pasien. Median dari waktu pengobatan adalah 2 hari; frekuensi pemberian
steroid dalam per jam pada 2 pasien, per dua jam untuk delapan pasien, dan enam kali sehari pada 9
pasien. Steroid tropical (drop) yang digunakan adalaj Prednefrin Forte pada 12 patients, prednisone
minims ipada 4 patients, and Maxidex pada 3 patients. Meski 26 pasien diberikan steroid dosis tinggi,
tujuh dari mereka tidak diinklusi dalam kelompok steroid dosis tinggi karena mereka tidak memenuhi
kriteria inklusi steroid poten atau perawatan awal.

Trends in Treatment with Topical Steroids // Kecenderungan dalam Penatalaksanaan Dengan Steroid
Topikal

There was an increase in the rate of steroid use through the study (Fig. 2; P = 0.012)./ Ada peningkatan
penggunaan steroid selama penelitian (gbr2. P=0.012)

Univariate Analysis / Analisis Univariat

Good outcomes were reported in 153 cases (46.6%) and poor visual outcomes in 121 cases (36.9%).
Variables found to be associated with outcome in the univariate analysis are shown in Table 2. Variables
tested in the univariate analysis but found not to be significant were sex (P = 0.890), starting the steroids
on day 3 or earlier (P = 0.082), and culture positive for S. aureus (P = 0.573), coagulase-negative
staphylococci (P = 0.396), orP. aeruginosa (0.507). Steroid treatment was also not significant in the
univariate analysis (P = 0.10) / Hasil baik didapatkan pada152 kasus (46.6%), dan hasi negative
didapatkan pada 121 kasus (36.9%). Variabel yang ditemui dan berhubungan dengan hasil Analisa
univariat ditunjukkan di tabel 2. Variabel yang diujikan pada analisis univariat namun tidak didapatkan
hasil yang signifikan adalah berikut: jenis kelamin (P = 0.890), waktu mulai terapi adalah 3 hari atau
sebelumnya(P = 0.082), kultur positif S. aureus (P = 0.573), coagulase-negative staphylococci (P = 0.396),
atau P. aeruginosa (0.507). Pemberian steroid tidak signifikan pada Analisa univariat (P = 0.10)

Multivariate Analysis / Analisa Multivariat

Multivariate ordinal logistic regression analysis showed that there was a positive effect on the outcome
of patients treated with high-dose steroids once other covariates were taken into consideration (Table
3). Variables tested in the multivariate analysis and found not to be significant were hypopyon (P =
0.689), year group (P = 0.198–0.259), steroids started ,3 days (P = 0.477), antibiotic treatment (P =
0.172– 0.947), antibiotic resistance (0.085), and culture positive for Streptococcus pneumoniae (P =
0.066). A Hosmer– Lemeshow goodness of fit test showed that the multivariate model was a good fit to
the data (P = 0.377) // Analisis multivariat regresi logistic ordinal menunjukkan terdapat efek positif
pada hasil pasien yang diberi perlakuan steroid dosis tinggi apabila ko-variat lainnya dijadikan
pertimbangan (Tabel 3). Variabel yang diujikan pada Analisa multivariat dan ditemui hasil yang tidak
signifikan adalah ada tidaknya hipopiojn (P = 0.689), kelompok usia (P = 0.198–0.259), pemberian steroid
kurang dari tiga hari (P = 0.477), pemberian antibiotik (P = 0.172– 0.947), resistensi antibiotik (0.085),
Dan kultur S.pneumonia positif (P = 0.066).

Complications of Steroid Treatment / Komplkasi dari penggunaan Steroid

The rate of cornea ltransplan t(steroid23,13.8%;nosteroid 16, 9.9%, P = 0.184) or signi ficant vision loss
(steroid 4, 2.4%; no steroid 7, 4.3%; P = 0.250) showed no significant difference. Patients treated with
high-dose steroids had a low rate of corneal transplant (1, 5.3%), and none had significant vision loss.
There were also no cases of infection recurrence or fungal infection secondary to steroid treatment in
any of the patients reviewed. This includes patients treated with steroids who were excluded from the
study. // Hasil uji terhadap Rasio transplantasi kornea (steroid23,13.8%; tanpa steroid 16, 9.9%, P =
0.184) atau hilangnya pandangan yang berarti (steroid 4, 2.4%; tanpa steroid 7, 4.3%; P = 0.250)
menunjukkan perbedaan yang tidak signifikan. Pasien yang diberi steroid dosis tinggi memiliki rasio
transplantasi kornea yang rendah (1, 5.3%), dan tidak ada hilangnya pengelihatan yang berarti. Tidak
ada kasus rekurensi infeksi atau infeksi fungal sekunder terhadap perawatan dengan steroid pada
seluruh pasien yang diamati, yang mana juga menginklusikann pasien yang diberi steroid juga diekslusi
dari penelitian.

DISCUSSION / Pembahasan

This article provides a snapshot of the current steroid treatment pattern of patients with moderate–
severe culturepositive bacterial keratitis in a large tertiary center in urban Australia. In this center, 50%
of patients were treated with steroids, which were most commonly a potent steroid started in the first 7
days at a frequency of 4 times a day. // Artikel ini menyediakan gambaran singkat tentang pola
pengobatan steroid pada pasien dengan kultur positif keratitis bakteri fase sedang-berat yan berlokasi di
layanan kesehatan tersier (tingkat III) di daerah perkotaan Australia. Pada yankes ini, 50% pasien
diberikan perawata berupa steroid, yang mana pada umumnya steroid poten dimulai pada tujuh hari
pertama dengan frekuensi empat kali sehari.

The multivariate analysis has shown that there is potentially a positive effect of high-dose topical
steroids. In this data set, there was a 5.5x chance of a better visual outcome if patients were treated
with a potent topical steroid 6 or more times a day, which was started in the first week. // Analisa
multvariat yang ditunjukkan disini memiliki efek potensial positif terhadap steroid topical dosis tinggi.
Pada gabungan data ini, ada kemungkinan pengelihatan yang lebih baik sebanyak 5.5x pada pasien yang
diberikan steroid topical poten selama enam kali sehari atau lebih, yang dimulai pada minggu pertama.

The SCUT was a high-quality RCT, but the therapeutic effect of steroids in the SCUT was modest. The
study found beneficial effects of only 1 to 2 lines for patients with more severe keratitis (worse initial
vision and central infiltrates) with steroid use 4 times per day.8 In patients with moderate– severe
keratitis, only 1 to 2 lines better vision is difficult to justify the theoretical risks of steroid treatment.
However, the high odds ratios seen in this study suggest that there is potentially a larger benefit from
using high-dose steroids. // SCUT yang dilakuakn sebelumya adalah RCT yang dipercaya, namun efek
terapeutik dari steroid masih sedang (sedikit?). Hasil studi menunjukkan efek menguntungkan hanya
untuk satu atau dua pasien dengan keratitis yang lebih parah (ditemukan daya pengelihatan awal yang
buruk dan infiltrate sentral) dengan penggunaan steroid empat kali sehari. Pada delapan pasien dengan
keratitis fase sedang-berat, hanya satu atau dua baris pengelihatan yang lebih baik dirasa sulit untuk
menjustifikasi resiko teoritis dari perawatan steroid. Meski begitu, tingginya OR dalam studi ini
menunjukkan adanya keuntungan yang potensial dari penggunaan steroid dosis tinggi.

In addition, the patients recruited in the SCUT do not represent the spectrum of disease in Brisbane. A
greater percentage of the patients in the SCUT had keratitis, which was caused by ocular trauma (60%),
culture positive for S. pneumoniae (50%), and had impending corneal perforations (25%, excluded from
trial). Patients in Australia are more likely to exhibit keratitis secondary to CLW, and the most common
organism is P. aeruginosa.16 The rate of corneal perforation or enucleation/evisceration in the present
study was only 3.3%. / Sebagai tambahan, pasien yang direkruit dalam penelitian SCUT tidak
merepresentasikan spektrum penyakit yang terdapat di Brisbane. Pada penelitian SCUT, sejumlah besar
pasien mengalamikeratitis yang disebabkan oleh trauma ocular trauma (60%), kultur positif S.
pneumoniae (50%), dan perforasi kornea impending (25%, eksklusi dari penelitian). Di Australia, pasien
lebih sering mengalami keratitis sekunder karena CLW, dan organisme yang umum menjadi etiologi
adalah P. aeruginosa.16 Rasio dari perforasi kornea atau enukleasi/eviserasi pada studi ini adlaah 3.3%.

This study is limited by its retrospective design, which has led to nopatient randomization and quite
unequal treatment groups. The lack of standardization of clinical measurements also adds inaccuracy to
the outcome measures. The higher rate of ocular surgery in patients treated with high-dose steroids is
different from our standard population (higher CLW), and this limits generalizability of this study. / Studi
ini dibatasi dengan disain studi retrospektif yang mana menjadikan pasien tidak dirandomisasi dan
adanya perbedaan dalam masing-masing kelompok perawatan. Kurangnya standardisasi dari
pengukuran klinis juga menambah kemungkinan akan ketidak-akuratan dalam pengukuran hasil.
Tingginya rasio operasi mata pada pasien dengan steroid desis tinggi menjadi berbeda dengan poulasi
standar di Australia (CLW tinggi), dan hal ini membatasi generalisasi dalam studi.

However, it is much closer to the urban Brisbane patient population than patients represented in the
SCUT.8 A small amount of treatment variability in the high-dose treatment group may be created by
including patients who were treated up to 7 days compared with the shorter initial steroid treatment
time in the SCUT of 2 days. // Meski dengan kekurangan diatas, hasil studi dinilai lebih mendekati dari
pasien di kota Brisbane dibandingkan dengan pasien dari SCUT. Sejumlah kecil variasi dalam
penatalaksanaan dalam kelompok steroid dosis tinggi mungkin diberikan pada pasien-pasien yang
dirawat hingga tujuh hari apabila dibandingkan dengan pasien yang menerima perawatan steroid awal
yang lebih singkat dibandingkan dengan SCUT (2 hari)

The benefits of the retrospective design of this study include the large case series over a 17-year period,
allowing trends over time to also be evaluated. The size of the study has allowed significant exclusions
to create a homogenous study group. Although treatment protocols were not standardized, customized
treatment regimens were delivered to optimize visual outcomes. The lack of this flexibility is described
as a limitation of the SCUT by the authors.8 This greater flexibility in treatment may explain part of the
higher treatment effect found in this study. The retrospective nature of this study provides a cost-
effective evaluation of treatment modalities in bacterial keratitis. // Keuntungan dari desain studi
retrospektif yang digunakan pada penelitian ini adalah serial kasus yang massif dan besar yang lebih dari
17 tahun, memungkinkan pemeriksaan terhadap kecenderungan selama beberapa waktu tersebut.
Besar studi juga menunjukkan adanya eksklusi signifikan untuk menciptakan kelompok penelitian yang
lebih homogen. Meskipun tidak ada standar khusus unutk protocol tatalaksana, regimen terapi
terkustomisasi diberikan untuk memberikan hasil visual yang optimal. Kurangnya fleksibilitas
dideskripsikan sebagai keterbatasan penelitian dari SCUT oleh peneliti. Semakin besar fleksibilitas dalam
suatu pengobatan mampu menjelaskan efek penelitian yang lebih tinggi yang ditemukan pada studi ini.
Sifat retrospektif itu sendiri menyediakan evaluasi pengobatan yang lebih efisien secara biaya dalam
penelitian tentang keratitis bakteri.

This article describes a retrospective study on the contemporary use of steroids in treatment of culture-
positive bacterial keratitis in an urban hospital in Australia. This study has shown that steroid treatment
is common and is increasing. It has also shown that the use of high-dose steroid treatment led to a
statistically significantly improved outcome in the patients studied. Although, on its own, this is not
sufficient evidence to justify high-dose steroid treatment, this finding expands the evidence on a
controversial topic and is important to resolve in an appropriately powered and designed prospective
RCT// Artikel ini menjelaskan tentang studi retrospektif terkait aspek kebaruan dan modern dalam
peggunaan steroid sebagai pengobatan dari kultur positif keratitis bakteri di rumah sakit perkotaan
Australia. Studi ini menujukkan bahwa penggunaan steroid mulai umum dan meningkat, juga
menunjukkan pemberian steroid dosis tinggi mampu membawa hasil yang lebih baik dan signifikan
secara statistic pada pasien yang diamati. Meskipun, penelitian ini sendiri (kalo Cuma penelitian ini saja),
belum mampu menjadi bukti yang cukup untuk membenarkan pengobatan dengan steroid dosis tinggi,
namun temuan ini dapat menjadi referensi bukti baru untuk topik kontroversial dan penting untuk
dipecahkan dengan penelitian dengan metode yang lebih baik dan RCT prospektif