Anda di halaman 1dari 12

A.

Pendahuluan
Pendidikan merupakan sebuah tempat yang berfungsi untuk
menambah dan mengembangkan serta membentuk watak dan karakter bangsa
yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Tujuan
pendidikan yang diterapkan di Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional,
khususnya bagi Program Studi Diploma IV Pertanahan yaitu agar Taruna
menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi aparatur
sipil negara yang bertanggung jawab. Oleh karena itu, dalam menempuh
pendidikan sebagai Diploma IV, selain mendapatkan ilmu mengenai
pertanahan, disisipkan pula mata kuliah yang terkait dengan pembentukan
watak serta karakter.
Mata kuliah Etika Profesi yang diberikan pada Taruna Program
Diploma IV Pertanahan Semester 7 (tujuh) memiliki tujuan agar taruna
mampu menjelaskan kewajiban mereka sebagai aparatur sipil negara dan
mampu menjelaskan pentingnya menjaga integritas sebagai aparatur sipil
negara. Setelah mempelajari mata kuliah ini, para taruna diharapkan dapat
berpikir kritis terhadap kinerja organisasi, khususnya di lingkungan
Kementrian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional. Demikian
pula, ilmu yang diperoleh mampu diterapkan saat kembali ke Kantor
Pertanahan masing-masing.
Pada pokok bahasan ini, taruna diharapkan mampu menjelaskan
mengenai pengertian etika, dan membedakan antara etika, etiket, norma, nilai,
nilai moral, dan nilai yang lain. Hasil dari pokok bahasan ini diharapkan
mampu memberikan pengetahuan kepada para taruna agar menjadi aparatur
sipil negara yang memiliki etika, menjalankan norma, serta memiliki
moralitas.

B. Tujuan
1. Taruna dapat mengetahui dan memahami pengertian etika.
2. Taruna dapat mengetahui dan memahami pengertian etiket.

1
3. Taruna dapat mengetahui dan memahami pengertian norma.
4. Taruna dapat mengetahui dan memahami pengertian nilai.
5. Taruna dapat membedakan antara etika, etiket, norma, nilai, nilai moral,
dan nilai yang lain.

C. Etika
Kata “etika” merupakan sebuah kata yang sering kita dengar dalam
dunia pendidikan atau pekerjaan. Menurut K. Bertens (2013, 3-4) dalam
bukunya yang berjudul Etika menyebutkan bahwa “etika” berasal dari bahasa
Yunani kuno “ethos” dalam bentuk tunggal yang artinya tempat tinggal yang
biasa, padang rumput, kandang, habitat, kebiasaan, adat, akhlak, watak,
perasaan, sikap, cara berpikir. Bentuk jamak “etika” yaitu “ta etha” memiliki
arti adat kebiasaan. Kata inilah oleh filsuf Yunani besar Aristoteles (384 – 322
SM) yang menjadi latar belakang terbentuknya istilah “etika” untuk
menunjukkan filsafat moral. Jadi, dapat disimpulkan bahwa “etika” berarti
ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ke – I, 1998 dalam buku
yang berjudul Etika (K. Bertens 2013, 4) menjelaskan bahwa “etika”
dibedakan menjadi 3 (tiga) arti, yaitu:
1. Ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan
kewajiban moral (akhlak);
2. Kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak;
3. Nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau
masyarakat.
Istilah “etika” menurut Dr. James J. Spillane SJ yang dijelaskan oleh
Budi Susanto (ed) dkk, 1992, halaman 42 dalam buku Etika Profesi Hukum
(Suhrawardi K. Lubis 2002, 1) mengungkapkan bahwa etika memperhatikan
atau mempertimbangkan tingkah laku manusia dalam pengambilan keputusan
moral. Etika mengarahkan atau menghubungkan penggunaan akal budi
individual dengan objektivitas untuk menentukan “kebenaran” atau
“kesalahan” dan tingkah laku seseorang terhadap orang lain. Selain

2
dipandang untuk menunjukkan sikap lahiriah seseorang, etika juga meliputi
kaidah-kaidah dan motif-motif perbuatan orang tersebut.
Arti etika menurut Ensiklopedi pendidikan karangan Soegarda
Poerbakawatja, 1981 halaman 82 dalam Buku Etika Profesi Hukum
(Suhrawardi K. Lubis 2002, 2) adalah filsafat tentang nilai, kesusilaan,
tentang baik dan buruk, kecuali etika mempelajari nilai-nilai, ia juga
merupakan pengetahuan tentang nilai-nilai itu sendiri. Pada buku yang sama,
menurut Kamus pendidikan umum karangan M. Sastra Pradja, 1981 halaman
144 diungkapkan bahwa etika merupakan bagian dari filsafat yang
mengajarkan keseluruhan budi (baik dan buruk).
Definisi etika jika dipandang dari sudut terminologi, antara lain:
1. New Masters Pictorial Encyclopedia, etika adalah ilmu tentang filsafat
moral, tidak mengenai fakta, tetapi tentang nilai-nilai, tidak mengenai
tindakan manusia, tetapi tentang idenya.
2. Dictionary of Educational karangan Asmaran AS, 1992 halaman 6-7, etika
adalah studi tentang tingkah laku manusia tidak hanya menentukan
kebenarannya sebagaimana adanya, tetapi juga menyelidiki manfaat atau
kebaikan dari seluruh tingkah laku manusia.
3. Etika Islam karangan DR.H. Hamzah Ya’kub tahun 1983, halaman 13,
etika adalah ilmu yang menyelidiki mana yang baik dan mana yang buruk
dan memperlihatkan amal perbuatan manusia sejauh dapat diketahui oleh
akal pikiran (Suhrawardi K. Lubis 2002, 2).
Menurut E. Sumaryono (1995, 11-13) menyebutkan bahwa etika
sebagai salah satu bagian dari Filsafat. Alasannya yaitu:
1. Kita hidup di lingkungan dimana kita selain harus membuat suatu
keputusan untuk berbuat, juga harus berbuat menurut cara-cara yang
dianggap benar; bahkan cara-cara berbuat yang kita anggap benar
seringkali dinyatakan salah bila dibandingkan dengan apa yang sudah
digariskan sebagai norma didalam masyarakat.

3
2. Etika berusaha untuk menemukan prinsip-prinsip yang paling tepat dalam
bersikap. Prinsip inilah yang dibutuhkan agar hidup manusia menjadi
sejahtera secara keseluruhan.
3. Nilai-nilai moral yang diperkembangkan dengan maksud untuk
memungkinkan adanya kehendak bebas. Nilai-nilai tersebut juga terwujud
secara nyata didalam setiap kontak antar individu seperti misalnya:
perjanjian, hukum dan peraturan perundang-undangan, serta dalam
kaidah-kaidah sosial lainnya.
4. Etika mencari dan berusaha menunjukkan nilai-nilai kehidupan yang
benar secara manusiawi kepada setiap orang.
Pengertian etika yang dirangkum oleh Bertens dalam buku Etika Profesi
Hukum ( Abdulkadir Muhammad 1997, 14) dapat dijabarkan sebagai berikut:
1. Etika dipakai dalam arti: nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi
pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah
lakunya. Arti ini disebut juga sebagai “sistem nilai” dalam hidup manusia
perseorangan atau hidup bermasyarakat. Misalnya etika orang Jawa, etika
agama Budha.
2. Etika dipakai dalam arti: kumpulan asas atau nilai moral. Yang dimaksud
disini adalah kode etik, misalnya Kode Etik Advokat Indonesia, Kode
Etik Notaris Indonesia.
3. Etika dipakai dalam arti: ilmu tentang yang baik atau yang buruk. Arti
etika dsini sama dengan filsafat moral.
Menurut beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa etika
adalah suatu ilmu atau nilai-nilai yang mengajarkan mengenai tingkah laku
manusia tentang baik dan buruk serta benar dan salah agar kehidupan
manusia dapat menjadi sejahtera.
Fungsi etika antara lain sebagai sarana untuk mendapatkan orientasi
kritis yang berhadapan dengan berbagai moralitas uang membingungkan;
etika ingin menampilkan keterampilan intelektual yaitu keterampilan untuk
berargumentasi secara rasional dan kritis; dan orientasi etis ini diperlukan
dalam mengambil sikap yang wajar dalam suasana pluralisme.

4
D. Etiket
“Etiket” berasal dari bahasa Inggris etiquette yang artinya sopan santun
(K. Bertens 2013, 7). Pengertian etiket menurut Fadlan Ariansyah (2017, 2)
yang dikutip dari Kamus Umum Bahasa Indonesia, yaitu:
1. Etiket (Belanda) secarik kertas yang ditempelkan pada kemasan barang-
barang (dagang) yang bertuliskan nama, isi dan sebagainya tentang
barang itu.
2. Etiket (Perancis) adat sopan santun atau tata krama yang perlu selalu
diperhatikan agar hubungan selalu baik.
Etika dan etiket merupakan istilah yang berbeda. Namun, jika
dipandang menurut artinya, kedua istilah ini memiliki hubungan yang erat.
Kedua istilah tersebut memiliki persamaan, yaitu menyangkut perilaku
manusia. Jadi, hanya digunakan oleh manusia karena hewan tidak mengenal
etika maupun etiket.
Perbedaan etika dengan etiket menurut K. Bertens (2013, 7-9), yaitu:
1. Etiket menyangkut cara suatu perbuatan harus dilakukan manusia.
Misalnya, dalam budaya orang Indonesia, jika ingin menyerahkan sesuatu
kepada orang lain harus menggunakan tangan kanan. Apabila
menyerahkan menggunakan tangan kiri maka akan dianggap melanggar
etiket. Namun, etika tidak terbatas pada cara dilakukannya suatu
perbuatan. Etika memberi norma tentang perbuatan itu sendiri dan
menyangkut masalah apakah suatu perbuatan boleh dilakukan atau tidak.
Sebagai contoh, menyerahkan sesuatu menggunakan tangan kanan adalah
hal yang benar. Namun, jika yang diserahkan berupa uang suap, meskipun
menggunakan tangan kanan, hal ini sangat tidak etis walaupun dari sudut
etiket menyatakan bahwa perbuatan tersebut dilakukan secara sempurna.
2. Etiket hanya berlaku dalam pergaulan. Bila tidak ada orang lain atau
sedang tidak bersama orang lain atau tidak ada saksi mata, maka etiket
tidak berlaku. Misalnya, peraturan berpakaian menggunakan kemeja
secara rapi saat menghadiri rapat. Namun, jika sedang sendiri, kemeja
tersebut dilepas kancingnya atau dikeluarkan bajunya maka tidak akan

5
melanggar etiket. Sedangkan norma selalu berlaku meskipun tidak ada
saksi mata. Etika tidak bergantung pada hadir dan tidaknya orang lain.
3. Etiket bersifat relatif. Setiap budaya antar daerah berbeda-beda. Hal ini
dapat terjadi dalam kasus sebuah budaya yang dianggap sopan pada suatu
daerah, belum tentu sopan bagi daerah lain. Misalnya, saat bertemu
seseorang yang baru dikenal tidak boleh meludah (budaya Indonesia),
sedangkan pada Suku Aborigin, meludah adalah suatu penghormatan
kepada seseorang yang baru dikenalnya. Sementara, etika jauh lebih
absolut, artinya merupakan prinsip-prinsip yang tidak dapat ditawar atau
mudah diberi dispensasi. Sebagai contoh, “jangan mencuri”’ “jangan
berbohong”, atau “jangan membunuh”.
4. Etiket hanya memandang manusia dari segi lahiriah saja, sedangkan etika
menyangkut manusia dari segi dalam. Contoh etiket dalam hal ini adalah
seorang penipu yang berpakaian rapi seperti manajer kantor. Akan tetapi,
etika tidak bertentangan dengan apa yang terlihat dari luar dengan isi
dalam hati dan pikirannya. Orang yang etis tidak mungkin bersikap
munafik.
Jadi, meskipun etika dan etiket memiliki persamaan dalam hal
menyangkut perilaku manusia, tetapi ada poin-poin penting yang harus
dibedakan dan tidak dapat dicampuradukkan. Namun, akan menjadi sangat
baik jika etika dan etiket sama-sama dilakukan sesuai dengan budaya daerah
tersebut.

E. Norma
Menurut buku Etika (K. Bertens 2013, 13-14), konon “norma” berasal
dari bahasa Latin arti yang pertama adalah carpenter’s square yang artinya
siku-siku yang dipakai tukang kayu untuk mencek apakah benda yang
dikerjakannya (meja, bangku, kursi, dan sebagainya) sungguh-sungguh lurus.
Asal usul ini membantu kita untuk mengerti arti “norma” dalam bahasa
Indonesia, yaitu aturan atau kaidah yang kita pakai sebagai tolok ukur untuk
menilai sesuatu. Norma memiliki banyak macam, ada norma yang

6
menyangkut benda dan norma lain yang menyangkut tingkah laku manusia.
contoh norma yang menyangkut benda adalah norma teknis yang digunakan
untuk menentukan kelayakan terbang bagi pesawat udara. Jadi, sebelum
mengudara, pesawat harus diperbaiki atau dicek terlebih dahulu. Sementara
itu, norma yang menyangkut tingkah laku manusia dibagi menjadi dua jenis,
yaitu norma umum yang menyangkut tingkah laku manusia sebagai
keseluruhan dan norma khusus yang hanya menyangkut aspek tertentu dari
apa yang dilakukan manusia. Contoh dari norma khusus misalnya norma
bahasa. Tata bahasa Indonesia adalah norma yang menentukan apakah bahasa
yang digunakan sesuai dengan semestinya atau tidak.
Terdapat tiga macam norma umum, yaitu norma kesopanan atau etiket,
norma hukum, dan norma moral. Etiket mengandung norma yang
mengatakan apa yang harus kita lakukan. Norma hukum merupakan norma
penting yang menjadi kenyataan dalam setiap masyarakat. Sementara, norma
moral menentukan apakah perilaku kita baik atau buruk dari sudut etis. Oleh
karena itu, norma moral merupakan norma tertinggi yang tidak bisa
ditakhlukkan pada norma lain. Sebaliknya, norma moral menilai norma-
norma lain.
Hakikat “norma” menurut E. Sumaryono (1995, 110-112) adalah
sebuah aturan, patokan atau ukuran, yaitu sesuatu yang bersifat pasti dan tak
berubah, yang dengannya kita dapat memperbandingkan sesuatu hal lain yang
hakikatnya, ukurannya, atau kualitsnya, dsb., kita ragukan. Sebuah norma
dapat bersifat dekat atau jauh. Norma dekat atau norma turunan adalah norma
yang dapat diterapkan secara langsung pada hal atau benda yang diukur.
Norma dekat dapat diartikan sebagai norma yang “siap pakai”. Sementara,
norma jauh adalah upaya penalaran tentang sebab terakhir mengapa norma
yang siap pakai itu ‘begini’ atau ‘begitu’.
Norma dapat bersifat objektif maupun subjektif. Norma objektif adalah
norma yang dapat diterapkan secara langsung dan apa adanya. Contoh norma
objektif adalah sebuah penggaris sebagai pengukur panjang sebuah benda.
Norma subjektif adalah norma yang bertolak dari unsur batin atau suara hati

7
manusia. Sebuah norma biasanya terbentuk ketika hendak mengukur sesuatu
yang bertujuan untuk mengetahui ukuran sesuatu tersebut dengan tepat.
Menurut beberapa pengertian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa
norma memiliki perbedaan dengan etika. Norma merupakan aturan yang
berisi petunjuk tingkah laku yang harus atau tidak boleh dilakukan manusia
dan bersifat mengikat, sedangkan etika cenderung pada ilmu yang membahas
perbuatan baik dan buruk manusia sejauh yang mampu dipahami oleh pikiran
manusia.

F. Nilai
Pengertian “nilai” menurut perkataan Hans Jonas, seorang filsuf Jerman
– Amerika, dalam buku Etika karangan K. Bertens (2013, 111-112) yaitu the
addressee of a yes, artinya sesuatu yang ditujukan dengan ya “kita”. Dengan
kata lain, nilai merupakan sesuatu yang kita iyakan atau aminkan. Nilai
mengandung konotasi positif. Sebaliknya, sesuatu yang kita jauhi merupakan
non-nilai atau disvalue. Salah satu cara yang sering digunakan untuk
menjelaskan arti nilai adalah membandingkannya dengan fakta. Jika berbicara
tentang nilai, maka yang dimaksudkan adalah sesuatu yang berlaku, memikat
atau mengimbau.
Pada buku yang sama, Bertens menuliskan ciri-ciri nilai sebagai
berikut:
1. Nilai berkaitan dengan subyek. Jika tidak terdapat subyek yang menilai,
maka tidak ada nilai. Sebagai contoh gunung api yang meletus. Kejadian
tersebut dapat dinilai sebagai sesuatu yang indah atau merugikan karena
adanya kehadiran subyek yang menilai.
2. Nilai tampil dalam suatu konteks praktis, dimana subyek ingin membuat
sesuatu. Dalam pendekatan yang semata-mata teoretis, tidak akan ada
nilai.
3. Nilai-nilai menyangkut sifat-sifat yang ditambah oleh subyek pada sifat-
sifat yang dimiliki oleh obyek. Nilai tidak dimiliki oleh obyek pada

8
dirinya karena obyek yang sama dapat menimbulkan penilaian yang
berbeda dari subyek yang berbeda.
Menurut Encyclopedia Americana tahun 1991, volume 27, halaman 653
dalam buku E. Sumaryono (1995, 114) menjelaskan bahwa keberadaan nilai
pada dasarnya bergantung pada dua hal, yaitu hasrat dan kelangkaan. Suatu
benda fisik akan memiliki nilai bila memiliki kedua kualitas tersebut. Dasar
dari setiap nilai yang terbentuk adalah pertimbangan, kemampuan, kreasi,
perasaan, kehendak bebas manusia serta keyakinan individu maupun
masyarakat. Secara teoritis, pembentukan nilai-nilai terjadi melalui cara
tertentu dan didasarkan atas kesadaran dan keyakinan manusia. Jadi, nilai
tidak akan terbentuk melalui paksaan.
Manusia menggunakan nilai sebagai acuan, alasan, atau motivasi dalam
segala perbuatannya. Pada pelaksanaan operasionalnya, nilai-nilai tersebut
dijabarkan dalam bentuk kaidah atau norma-norma sehingga dapat bersifat
memerintah, mengharuskan, bahkan melarang, karena sesuatu tidak
diinginkan atau dicela.
Nilai memiliki banyak macam, diantaranya adalah nilai moral dan nilai
lainnya. Saat seseorang membicarakan nilai pada umumnya, tentu berlaku
juga untuk nilai moral. Meskipun demikian, nilai moral tidak dapat
dipisahkan dengan nilai jenis lain. Dalam bukunya, Bertens (2013, 114)
menjelaskan bahwa setiap nilai dapat memperoleh suatu bobot moral bila
diikutsertakan dalam tingkah laku moral. Contohnya adalah kejujuran.
Kejujuran merupakan suatu nilai moral, namun kejujuran tidak akan ada
artinya jika tidak diterapkan pada nilai lain seperti contoh nilai ekonomis.
Meskipun nilai moral biasanya menumpang pada nilai-nilai lain, namun
terlihat sebagai nilai baru.
Pada buku yang sama, Bertens menjelaskan perbedaan nilai moral
dengan nilai non moral, yaitu:
1. Berkaitan dengan tanggung jawab kita
Nilai moral berkaitan dengan pribadi manusia yang bertanggung jawab.
Nilai moral mengakibatkan seseorang bersalah atau tidak bersalah karena

9
tanggungjawabnya. Namun, nilai-nilai lain tidaklah demikian. Sebagai
contoh, seorang pemain basket yang selalu menjuarai kejuaraan adalah
seorang yang humoris merupakan sesuatu yang menyenangkan. Akan
tetapi, keadaan tersebut tidak menjadi jasanya karena tidak termasuk
dalam tanggung jawabnya. Suatu nilai moral hanya bisa diwujudkan
dalam perbuatan-perbuatan yang sepenuhnya menjadi tanggung jawab
orang yang bersangkutan.
2. Berkaitan dengan hati nurani
Seluruh nilai meminta untuk diakui, dikomunikasikan, dan diwujudkan.
Nilai mengandung semacam undangan atau imbauan kearah tersebut.
Misalnya nilai estetis, yang seolah-olah meminta untuk diwujudkan dalam
bentuk lukisan, komposisi musik, atau cara lain. Kemudian setelah
menjadi sebuah lukisan atau musik, maka minta untuk dipamerkan atau
diperdengarkan. Namun pada nilai moral, tuntutan ini lebih mendesak dan
serius. Mewujudkan nilai moral merupakan himbauan dari hati nurani.
Salah satu ciri khas nilai moral adalah bahwa hanya nilai ini menimbulkan
suara dari hati nurani yang menuduh kita bila meremehkan atau
menentang nilai-nilai moral. Sebaliknya, memuji kita apabila
mewujudkan nilai-nilai moral.
3. Mewajibkan
Nilai-nilai moral mewajibkan kita secara absolut dan tidak dapat ditawar.
Sementara itu, nilai-nilai lain sepatutnya diwujudkan atau seyogyanya
diakui. Contohnya adalah nilai estetis. Orang yang berpendidikan atau
memiliki jiwa seni yang tinggi akan mengakui serta menikmati lukisan
yang bermutu tinggi. Namun bagi orang yang bersikap acuh tak acuh,
lukian tersebut dapat dilihat sebagai lukisan yang biasa saja. Sikap
seseorang tersebut tidak dapat dipersalahkan karena nilai estetis tidak
dengan mutlak harus diterima. Berbeda halnya dengan nilai moral yang
mengandung suatu perintah kategoris. Kewajiban mutlak yang melekat
pada nilai moral berasal dari kenyataan bahwa nilai-nilai ini berlaku bagi
manusia sebagai manusia. nilai-nilai moral menyangkut pribadi manusia

10
sebagai keseluruhan atau totalitas. Nilai-nilai lain bisa saja hanya
menyangkut satu aspek. Oleh karena itu, kewajiban moral tidak datang
dari luar, tidak ditentukan oleh instansi lain, tapi berakar dalam
kemanusiaan kita sendiri.
4. Bersifat formal
Nilai moral bukan merupakan suatu jenis nilai yang dapat ditempatkan
begitu saja disamping jenis-jenis nilai lainnya. Nilai-nilai moral tidak
membentuk suatu kawasan khusus yang terpisah dari nilai-nilai lain. Jika
kita mewujudkan nilai moral, maka kita melakukan sesuatu seperti pada
umumnya dan sesuai aturan. Nilai-nilai moral tidak memiliki isi tersendiri
atau terpisah dari nilai-nilai lain. Tidak ada nilai moral yang murni
terlepas dari nilai-nilai lain. Hal inilah yang dimaksud dengan nilai moral
bersidat formal.
Macam-macam nilai yang lainnya menurut Bertens (2013, 113) antara
lain sebagai berikut:
1. Nilai ekonomis
Pada konteks ekonomi sering membicarakan tentang nilai. Misalnya Pajak
Pertambahan Nilai (PPN).
2. Nilai estetis
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa besar kecilnya nilai
estetis bergantung pada seseorang yang memandangnya, mengamatinya,
atau mendengarkannya.
Kedua contoh nilai lain diatas dapat dikategorikan sebagai nilai non-
moral karena dapat diabaikan serta tidak mengikat terhadap semua orang.
Namun, nilai-nilai lain tersebut tetap memiliki pengaruh terhadap nilai moral
apabila diperhadapkan pada kondisi tertentu.

G. Kesimpulan
Pengertian etika, etiket, norma dan nilai adalah suatu istilah yang
berbicara mengenai tingkah laku atau perbuatan manusia sebagai manusia.
Istilah tersebut saling berkaitan, meskipun memiliki arti yang berbeda-beda.

11
Etika, etiket, dan norma merujuk pada aturan yang harus dipenuhi dan
dijalankan, bahkan beberapa diantaranya bersifat mengikat terhadap seluruh
manusia
Nilai adalah hasil dari kita melakukan suatu perbuatan atau tingkah
laku. Segala sesuatu yang kita perbuat atau segala benda dapat memiliki nilai
apabila memiliki subyek yang menilai. Meskipun terdapat nilai yang sifatnya
mutlak, yaitu nilai moral, namun tidak dapat dipisahkan dengan nilai-nilai
lain (nilai non moral).
Dari keseluruhan istilah di atas, apabila dijalankan sebagaimana
mestinya maka akan menimbulkan karakter seseorang yang tidak munafik.
Dengan kata lain, manusia tersebut apa adanya. Tidak mudah dalam
menjalankan suatu etika, etiket, norma, dan nilai. Namun, jika kita tidak
terlalu menyimpang jauh maka masih dapat ditoleransi, kecuali terhadap
istilah yang bersifat mutlak.

H. Daftar Pustaka
Bertens, K 2013, Etika, Edisi Revisi, Kanisius, Yogyakarta.
Lubis, Suhrawardi K 2002, Etika Profesi Hukum, cetakan ketiga, Sinar
Grafika Offset, Jakarta.
Sumaryono, E 1995, Etika Profesi Hukum, Kanisius, Yogyakarta.
Muhammad, Abdulkadir 1997, Etika Profesi Hukum, Cetakan ke I, Citra
Aditya Bakti, Bandar Lampung.
Ariansyah, Fadlan 2017, ‘Etika Bisnis: Bussines Etnics’, Makalah pada
Fakultas Manajemen Bisnis, Politeknik Negeri Medan, dilihat pada 14
September 2019, https://www.academia.edu/23857374/
PENGERTIAN_ETIKA_DAN_ETIKET.

12

Anda mungkin juga menyukai