RINITIS KRONIS
Disusun oleh:
HENDRO PRIYONO
030.15.085
Pembimbing:
Pembimbing I Pembimbing II
dr. M. Bima Mandraguna, Sp. THT-KL dr. Aditya Arifianto, Sp. THT-KL
KATA PENGANTAR
Puji syukur atas Kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia-NYA
sehingga penulis mampu menyelesaikan referat ini yang berjudul “RINITIS
KRONIS”. Penulisan referat ini merupakan salah satu persyaratan untuk
memenuhi tugas Kepaniteraan Klinik Departemen Ilmu Telinga Hidung
Tenggorok Studi Pendidikan Dokter Universitas Trisakti di Rumah Sakit Umum
Daerah Karawang.
Penulis menyadari dalam penulisan referat ini tidak luput dari bantuan dan
bimbingan dari berbagai pihak, maka dalam kesempatan ini penulis memberikan
rasa hormat dan ucapan terima kasih sebesar-besarnya kepada semua pihak yang
telah membantu menyelesaikan referat ini terutama kepada:
1. dr. M. Bima Mandraguna, Sp. THT-KL dan dr. Aditya Arifianto, Sp.
THT-KL selaku pembimbing yang telah memberi masukkan dan saran
dalam penyusunan referat.
2. Teman-teman yang turut membantu menyelesaikan referat ini.
3. Serta pihak-pihak lain yang bersedia meluangkan waktunya untuk
membantu penulis.
Penulis menyadari bahwa dalam penyempurnaan referat ini banyak sekali
yang kekurangan dan jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu kritik dan saran
yang bersifat membangun sangat dibutuhkan untuk perbaikan di waktu yang akan
datang.
Akhir kata, penulis berharap referat ini dapat bermanfaat bagi pembaca.
Karawang, September 2019
Penulis
DAFTAR ISI
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2
nares anterior disebut vestibulum, pada vestibulum terdapat kelenjar sebasea dan rambut
hidung (vibrisae).
Tiap kavum nasi memiliki 4 buah dinding, yaitu lateral, medila, superior, dan
inferior. Dinding medial hidung ialah septum nasi yang dibentuk oleh tulang dan tulang
rawan, yang dilapisi oleh perikondrium pada tulang rawan dan periosteum pada tulang
sedangkan dibagian luarnya dilapisi oleh mukosa. (2)
Pada dinding lateral hidung terdapat 4 konka yaitu: konka inferior, konka media,
konka superior, dan konka suprema. Diantara konka dan dingding lateral hidung
terdapat rongga sempit yang disebut meatus. (2)
Meatus inferior berada diantara konka inferior dan dasar hidung. Pada meatus
inferior terdapat muara duktus nasolakrimalis. Meatus media terletak antara konka
media dan dinding lateral rongga hidung, pada meatus media terdpat muara dari sinus
frontalis, sinus maksilaris, dan sinus etmoidalis anterior. Pada meatus superior yang
berada diantara konka superior dan konka media, terdapat muara dari sinus etmoidalis
posterior dan sinus sfenoid.(2)
Pada dinding inferior rongga merupakan dasar dari rongga hidung dan dibentuk
oleh os maksila dan os palatum, sedangkan dinding superior dibentuk oleh lamina
kribriformis.(2)
Gambar 2. Kavumnasi
Bagian bawah kavumnasi mendapat pendarahan dari cabang a. maksilaris
interna yaitu ujung dari a. palatina mayor dan a. sflenopalatina yang keluar dari foramen
3
sflenopalatina. Bagian depan hidung mendapat perdarahan dari cabang a. Fasialis. Pada
bagian depan septum terdapat pleksus Kiesselbach yang merupakan anastomosis dari
cabang a. Sfenopalatina, a. Etmoid anterior, a. Labialis superior, dan a. Palatina mayor.
Vena-vena dihidung memiliki nama yang sama dan berjalan bersama dengan
arterinya.(2)
4
2.3 Rinitis Hipertrofi
Rinitis hipertrofi adalah infeksi hidung kronik yang ditandai dengan adanya
hipertrofi konka. Rinitis hipertrofi dapat timbul akibat infeksi berulang dalam
hidung dan sinus. Penyebab rinitis hipertrofi biasanya sebagai lanjutan dari rinitis
alergi dan rinitis vasomitor dan kompensasi dari septum kontralateral. (2,5)
5
Gambar 5. Nasoendoskopi hipertrofi konka
6
2.4 Rinitis Sika
Pada rinitis sika biasanya ditemukan mukosa hidung yang kering, terutama
pada bagian depan septum nasi dan ujung depan konka inferior, biasanya
ditemukan krusta pada rinitis sika. Keluhan utama pasien buasanya berupa rasa
iritasi atau rasa kering pada hidung yang kadang disertai dengan epistaksis. (2)
Penyakit ini biaanya ditemukan pada orang tua dan pada orang yang biasa
bekerda di tempat yang berdebu, kering dan juga panas. Selain itu, dapat juga
ditemukan pada pasien yang menderita anemia, alkohol, dan gizi buruk.
Pengobatan rinitis sika sendiri tergantung pada penyebabnya. Biasanya dapat
diberikan pengobatan lokal berupa obat cuci hidung. (2)
7
oleh berbagai kondisi seperti trauma maksilofasial dan hidung,
pembedahan hidung, infeksi kri=onik atau akut yang berulang, penyakit
granulomatosa kronik dan paparan radiasi. (6)
Gejala klinis biasanya berupa nafas berbau, sekret hijau kental, krusta,
gangguan penghidu, sakit kepala dan merasa hidung tersumbat. Pada
pemeriksaan fisik didapat rongga hidung sangat lapang, konka inferior
dan media hioptrofi atau atrofi.(2)
8
berdasarkan temuan basil tahan asam (BTA). Untuk pengobatannya
seusai dengan pengobatan tuberkulosis. (2)
2.5.5 Rinitis karena Jamur
Bentuk antara lain: Aspergilosis, Blastomikosis dan Candidiasis. Juga
dapat mengenai tulang rawan sehingga mengakibatkan perforasi septum.
Pada pemeriksaan fisik didapat sekret mukoprulen yang berbau dan
terdapat psoudomembran. Untuk tatalaksana berupa pemberian antijamur
oral dan topikal serta obat cuci hidung. Dan harus dijaga kebersihan
secara rutin dengan dioleskan oleh gentian violet.(2)
2.6 Rinitis Alergi
Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi pada mukosa hidung yang
disebabkan oleh alergi pada pasien yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan
alergen yang sama serta dilepaskannya mediator kimia pada saat terpapar
kembali dengan alergen tersebut.(7)
Menurut Allergic Rinitis and its Impac on Asthma (ARIA) rinitis alergi
merupakan kelainan pada hidung yang ditandai dengan bersin-bersin, gatal, dan
hidung tersumbat yang diperantai oleh Imunoglobulin E (IgE).(2,7)
Berdasarkan data WHO tahun 2000 mengenai epideiologi rinitis alergi,
terjadi peningkatan dari 13-16% menjadi 23-28% di Amerika dan Eropa Barat
dalam 10 tahun terakhir. Sedangkan prevalensi di Indonesia berkisar 1,5-12,4%
dan cenderung meningkat di setiap tahunnya.(7)
Patofisiologi rinitis alergi diawali dengan tahap sensitisasi dan diikuti oleh
reaksi alergi. Pada tahap pertama, yaitu kontak dengan alergen (tahap sensitisasi)
makrofag atau monosit sebagai sel penyaji (APC) akan menangkap alergen yang
berada di mukoasa hidung. Setelah diproses, akan membentuk komplek peptide
MCH kelas II yang kemudian dipresentasikan ke T helper. Kemudian APC akan
melepaskan sitokin IL 1 yang akan mengaktifkan Th0 untuk berpoliferasi
menjadi Th1 dan Th2. T helper 2 akan menghasilkan Il3, IL4, IL5, dan IL13.
Dimana IL4 dan IL13 dapat berikatan di reseptor sel B, sehingga sel B aktif dan
menghasilkan IgE. IgE kemudian akan dibawa ke sirkulasi darah dan akan diikat
oleh reseptor IgE dipermukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator).(2,8)
9
Bila mukosa hidung terpapar oleh alergen yang sama, maka IgE akan
mengikat alergen yang spesifik dan terjadi degranulasi, sehingga mediator
inflamasi terlepas. Mediator utama berupa histamin, selain histamin meditor
yang dilepaskan berupa prostaglandin, leukotrien,bradikinin, platelet activating
factor dan berbagai sitokin . reaksi inilah yang disebut dengan reaksi alergi fase
cepat (RAFC) yang berlangsung saat kontak dan 1 jam setelahnya. (2,8)
Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga
menimbulkan rasa gatal dan hidung bersin-bersin. Selain itu, efek histamin
menyebabkan kelenjar sel goblet akan mengalami hipersekresi dan permeabilitas
kapiler sehingga terjadi rinrea. Gejala lain seperti hidung tersumbat disebabkan
oleh vasodilatasi sinusoid.(2,8)
Pada RAFC, sel mastoid juga melepaskan molekul kemotaktik, sehingga
menyebabkan akumulasi eusinofil dan neutrofil di jaringan target, respon ini
berlanjut dan mencapai puncanya 6-8 jam setelah paparan. Pada reaksi alergi
fase lambat (RAFL) ditandai dengan adanya penambahan jenis dan jumlah sel
inflamasi seperti eusinofil, limfosit, neutrofil, basofil dan mastosit serta
peningkatan berbagai sitokin pada sekret hidung. (2,8)
10
Klasifikai rinitis alergi berdasarkan gejalanya dibagi menjadi 2 yaitu: (8)
Intermite, bila gejala kurang dari 4 hari per minggu atau bila
kurang dari 4 minggu
Persisten, bila gejala lebih dari 4 hari per minggu atau bila lebih
dari 4 minggu
11
dekongestan hidung, kortiko steroid, anti-kolinergik (Ipratropium bromida),
natruim kromolin, serta imunoterapi. (8)
Komplikasi tersering pada rinitis aleri adalah polip hidung, otitis media
yang residif serta sinusitis paranasal. Kedua komplikasi terakhir bukan
dikarenakan alergi, tetapi akibat dari sumbatan dihidung sehingga
menghambat drynase.(2)
12
Rinitis vasomotor ditandai oleh gejala yang menonjol berupa obstruksi,
rinore, serta kongesti. Gejala dapat diperberat oleh asap rokok, alkohol,
emosional,, suhu, faktor lingkungan. (10)
Faktor yang mempengaruhi keseimbangan vasomotor diantaranya: obat-
obatan yang menekan sistem saraf simpatis seperti gotamin, chlorpromazine,
anti hipertensi serta vasokonstriktor topikal. Selain itu, faktor fisisk seperti asap
rokok, udara dingi, mau yang menyengat, dan kelembapan udara yang tinggi,
makanan pedas serta panas. Selain itu juga faktor endokrin dan psikis perberan
penting pada keseimbangan vasomotor.(2)
Gejala klinis yang didapat pada rinitis vasomotor berupa hidung tersumbat
bergantian antara kiri dan kanan, terdpat rinore dengan mukus yang banyak,
terdapat bersin-bersin, tidak terdapat gatal pada mata. Gejala dapat memburuk
pada pagi hari, dikareakan perubahan cuaca yang ekstrem. Berdasasrkan gejala
yang menoonjol dibedakan menjadi 2 golongan yaitu obstruksi dan rinore. (2)
Penegakan diagnosis perlu dicari faktor yang mempengaruhi keseimbangan
vasomotor, serta menyingkirkan alergi. Pada pemeriksaan rinoskopi anterior
terdapat gambaran edema mukosa dengan permukaan licin atau berbenjol, serta
depatap sekret mukoid. Pada pemeriksaan lab dilakukan untuk menyingkirkan
rinitis alergi. (2)
Terapi pada rinitis vasomotor secara garisbesar berupa: hindari penyebab,
pengobatan simptomatik dengan dekongestan oral, diatermi,kauterisai konka,
kortikosteroid topikal. Untuk tindakan oprasi berupa cara bedah-beku,
elektrokauter, konkotomi konka inferior. Jika cara diatas tidak berhasil dapat
dilakukan operasi neurektomi n.vidianus.(2)
2.8 Rinitis Medikamentosa
Rinitis medikametosa adalah suatu kelainan hidung sebagai akibat dari
penggunaan nasal dekongestan yang berlebih dalam waktu lama yang
mengakibatkan sumbatan hidung yang menetap. (2,11)
Patofisiologi rinitis medikamentosa masih belum diketahui, disebabkan oleh
penggunaan obat vasokonstriktor dari golongan simpatomimetik yang
menyebabkan siklus nasal terganggu, yang menyebabkan fase dilatasi berulang.
13
Pada penggunaan vasokonstrikotr topikal jangka panjang menyebabkan fase
dilatasi yang berulang dan mengakibatkan obstruksi oleh karena pertambahan sel
mukoid.(2,11)
RM ditandai dengn adanya sumbatan tanpa rinore, postnasal drip, atau bersin
yang dimulai setelah penggunaan dekongestan topikal lelama lebih dari 3 hari.
Kriteria diagnosis RM 1. Terdapat riwayat penggunaan obat hidung
berkepanjangan, 2. Obstruksi hidung terus menerus, 3. Berkurangnya. (11)
Tatalaksana pada RM berupa menghentikan obat tetes atau semprot hidung,
pemberian kortikosteroid untuk mengatasi sumbatan, serta dekongestan oral.(2)
14
BAB III
PENUTUP
3. Kesimpulan
Rinitis didefinisikan sebagai suatu proses peradangan pada epitel
hidung yang menyebabkan dua atau lebih dari gejala hidung seperti rinore,
obstruksi, bersin dan gatal pada hidung. Rinitis kronis ditandai dengan
adanya dua atau lebih gejala setidaknya selama 12 minggu.
Yang termasuk dalam rinitis kronis adalah rinitis hipertrofi, rinitis
sika, dan rinitis spesifik. Meskipun penyebabnya bukan karena
peradangan, kadang rinitis alergi, rinitis vasomotor, dan rinitis
medikamentosa dimasukan juga sebagai rinitis kronis.
Untuk mengobati rinitis kronis diperlukan pendekatan diagnosis
berdasarkan anamnesis, pemeriksaaan fisisk serta pemeriksaan
penunjang yang teliti. Karena perbedaan dalam mendiagnosis akan
mempengaruhi pengobatan yang akan dipilih.
15
DAFTAR PUSTAKA
1. Doulaptsi M, Aoi N, Kawauchi H. Differentiating rhinitis in the pediatric
population by giving focus on medical history and clinical examination.
Medical Science. 2009; 1-9.
16