Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Penyakit pes umumnya merupakan sebuah penyakit pada kelompok hewan
rodensia dan kutu-kutunya, yang dapat menginfeksi manusia. Penyakit ini biasanya
ditularkan di antara sesama rodensia melalui kutunya, dan bisa ditransmisikan ke
manusia ketika terinfeksi oleh gigitan kutu tersebut. Sebagaimana layaknya banyak
penyakit zoonotik lainnya, pes memiliki tingkat keparahan yang tinggi pada
manusia, dengan CFR 50-60% jika tidak ditangani.1
Penyakit pes berperan penting pada merebaknya pandemi yang luas dengan
tingkat mortalitas yang tinggi. Istilah ‘Kematian Hitam’ atau Black Death pada
abad ke-14 cukup terkenal dalam berbagai literatur. Wabah Black Death sudah
menyebabkan sekitar 50 juta kematian, sekitar setengahnya berasal dari benua Asia
dan Afrika dan setengahnya lagi di Eropa, dimana seperempat dari populasi di sana
meninggal.1
Beberapa sumber juga menyebutkan bahwa epidemi penyakit pes di dunia
terjadi pada abad ke-13, khususnya tahun 1347. Kasus ini terjadi di negara Cina dan
India. Sejak epidemi penyakit pes berlangsung saat itu sudah tercatat kasus
13.000.000 orang meninggal. Pada abad yang sama, juga dilaporkan terjadinya
wabah pes di negara Mesir dan Palestina.
Kejadian penyakit pes pertama kali di Indonesia ditemukan di Surabaya
pada tahun 1910. Penyakit tersebut dibawa ke Indonesia oleh tikus yang ditubuhnya
ada pinjal dari pelabuhan Rangoon. Tikus - tikus berada di dalam kapal yang
mengangkut beras kebutuhan buruh perkebunan milik Belanda dan berlabuh di
Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya. Pada tahun 1910 – 1960 terdapat 245.375
orang meninggal dunia yang disebabkan oleh penyakit Pes, dari total kasus tersebut
17,6% terjadi di Jawa Timur; 51,5% di Jawa Tengah dan 30,9% di Jawa Barat.
Angka kematian yang tertinggi terjadi pada tahun 1934 yakni 23.275 orang
meninggal dunia.2

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI
Penyakit Pes (Pesteurellosis) atau Yersiniosis/Plague adalah
penyakit infeksi pada manusia dan hewan yang disebabkan oleh bakteri
Yersinia pestis. Pes juga disebut penyakit sampar, plague, atau black
death. Penyakit PES merupakan salah satu penyakit yang hebat dan
sangat menular dengan angka kematian yang tinggi. Tikus merupakan
reservoir dan pinjal merupakan vector penularnya, sehingga penularan ke
manusia dapat terjadi melalui gigitan pinjal atau kontak langsung dengan
tikus yang terinfeksi bakteri Yersinia Pestis.
Yersinia Pestis adalah bakteri batang gram negatif yang terlihat
mencolok dengan pewarnaan Wayson. Organisme ini tidak motil dan
tumbuh sebagai anaerob fakultatif di beberapa media bakteriologi.
Pertumbuhan lebih cepat bila berada pada media yang mengandung
darah atau cairan jaringan dalam suhu 30 derajat Celcius.3

2.2 EPIDEMIOLOGI
Sepanjang sejarah, pinjal Xenopsylla cheopis bertanggungjawab dalam
penyebaran pes bubonik. Setelah pinjal mencerna darah pada hewan
yang terinfeksi bakteri, basili pes dapat bermultiplikasi dan bahkan
membentuk agregat dalam usus depan pinjal. Ketika pinjal yang
ususnya dipenuhi agregat ini mencoba untuk mengisap darah lagi, maka
darah dari usus beserta bakteri akan keluar dan bergerak menuju ke
aliran darah korban berikutnya. Pinjal akan mengering bila berada pada
suhu dan cuaca yang panas dan jauh dari host, namun tumbuh subur
pada kelembapan di atas 65% dan suhu antara 20-26 derajat Celcius
serta dapat bertahan tanpa makan selama 6 bulan.

2
Kejadian penyakit pes pertama kali di Indonesia ditemukan di
Surabaya pada tahun 1910, kemudian di tahun 1916 ditemukan di
Pelabuhan Tanjung Mas Semarang.
a. Distribusi Berdasarkan Orang

Orang yang biasanya terkena oleh penyakit pes adalah:


- Para biolog yang sedang mengadakan penelitian di hutan.
Para biolog yang sedang meneliti tikus memiliki luka dan luka
tersebut terkena darah atau organ tikus yang mengandung
penyakit pes.
- Orang-orang yang camping atau rekreasi ke hutan
- Orang yang berada dirumah. Penularan penyakit pes pada
orang rumah ditularkan melalui pinjal yang menggigit
manusia yang ada di rumah
Resiko terkena penyakit biasanya meningkat seiring dengan
bertambahnya kepadatan penduduk di daerah yang kurang
saniter.
b. Distribusi Berdasarkan Tempat

Tempat yang biasanya memiliki resiko penularan yang tinggi


adalah:
- Tempat-tempat yang kotor dimana kemungkinan tikus dapat
hidup
- Di hutan dimana terdapat banyak tikus yang terinfeksi
bakteri Yersinia pestis
- Di daerah pelabuhan
c. Distribusi Berdasarkan Waktu
Saat musim penghujan, reservoir dari penyakit ini berkembang
dengan baik sehingga kemungkinan tikus yang terinfeksi
bakteri Yersinia lebih tinggi daripada musim kemarau.

3
Gbr 5. Global distribution and natural foci of plague. Natural foci of plague have become
established in local rodent and flea populations on all inhabited continents except Australia.
Sylvatic plague can act as a source of infection for humans. Since 1954, plague in humans has
been reported from more than 35 countries.
(From http://www.cdc.gov/ncidod/dvbid/plague/resources/plagueFactSheet.pdf)

2.3 ETIOLOGI
Pes disebabkan oleh bakteri Yersinia pestis (Pasteurella pestis), sebuah
basil Gram negatif dalam famili Enterobacteriaceae. Y. pestis dapat
dibagi ke dalam 3 biovariasi/subspesies: Antiqua, Medievalis, dan
Orientalis (Devignat, 1951). Kemudian diusulkan lagi biovar keempat,
Microtus (Zhou, dkk, 2004). Namun biovar keempat ini ditemukan
ternyata tidak virulen pada mamalia yang besar dan manusia. Lebih jauh
lagi diusulkan biovar kelima, Pestoides, yang jauh menyimpang secara
biokimia dari keempat biovar lainnya (Anisimov, dkk, 2004). Strain
Antiqua lebih beragam daripada Medievalis dan Orientalis.
Ada pula yang mengklasifikasikan Y.pestis dengan melihat
keragaman hubungannya dengan host, yaitu: ratti (bila muncul pada
tikus), marmotae (bila muncul pada marmut), dan citelli (bila muncul
pada susliks/tupai tanah Eurasia).

4
Bakteri ini pertama kali diidentifikasi oleh Alexandre J.E Yersin dan
Shibasaburo Kitasato secara terpisah tahun 1894 sebagai coccobasilus
Gram negatif. Yersin lah yang kemudian diakui sebagai penemu bakteri
yang awalnya dinamai Bacterium pestis itu. Y.pestis sendiri adalah
bakteri yang tidak tahan asam, tidak motil, tidak membentuk spora,
berbentuk kokobasil bipolar berukuran 0.5–0.8 x 1.5–2.0 μm. Bakteri ini
menduduki Genus XI dari famili Enterobacteriaceae. Awalnya bakteri ini
diklasifikasikan ke dalam famili Pasteurellaceae, namun berdasarkan
kemiripannya dengan E.coli yang ditentukan dengan studi informasi
herediter pada DNA, bakteri ini kemudian masuk ke dalam famili
Enterobacteriaceae. Meskipun genus Yersinia memiliki 11 spesies, hanya
3 yang patogen pada manusia: Y.pestis, Y.pseudotuberculosis, dan
Y.enterocolitica. Tidak seperti spesies lainnya yang ditularkan ketika
termakan makanan atau minuman yang terkontaminasi feses (oral-fecal),
Y.pestis telah mengembangkan kemampuan transmisi melalui artropoda,
dan juga kemampuan infeksi pada darah dan jaringan limfoid. Berikut
adalah tabel taksonomi bakteri ini.
Kingdom Eubacteria

Phylum Proteobacteria

Class Gammaproteobacteria

Order Enterobacteriales

Family Enterobacteriaceae

Genus Yersinia

Species pestis, enterocolitica,


pseudotuberculosis,
frederiksenii, kristensenii,
ruckeri, mollaretii,

5
bercovieri, rohdei, aldovae,
intermedia

Bakteri ini tumbuh optimal pada suhu 28 derajat Celcius,


memproduksi koloni kecil setelah 48 jam pada agar darah atau agar
MacConkey. Secara biokimia, bakteri pes ini tidak memproduksi
hemolysin, bersifat positif untuk katalase, dan negatif untuk hydrogen
sulfide, oxidase, urease, dan fermentasi laktosa, sukrosa, rhamnosa, and
melibiosa. Bakteri ini tumbuh sebagai anaerob fakultatif pada banyak
perbenihan bakteriologi. Semua Pasteurella pestis memiliki
lipopolisakarida dengan aktivitas endotoksik bila dilepaskan.
Organisme ini menghasilkan banyak antigen dan toksin yang bertindak
sebagai faktor virulensi.

Gbr 1. Pewarnaan Yersinia pestis


Reservoar utama dari penyakit pes adalah hewan rodensia,
misalnya tikus, kelinci, bahkan dalam kasus tertentu melibatkan kucing
sebagai sumber penularan ke manusia. Bakteri ditularkan dari tikus ke
manusia melalui gigitan pinjal yang merupakan vektor dari penyakit ini.
Jenis pinjal yang dikenal sebagai vektor pes antara lain Xenopsylla
cheopis, Pulex irritans, Neopsylla sundaica, Stivallus cognatus.5

6
Gbr 2. Xenopsylla cheopis jantan yang baru saja mengisap darah

2.4 KLASIFIKASI dan GEJALA KLINIS


Pada umumnya, pes terbagi menjadi 3 jenis, yaitu:
a. Pes Bubonik (Bubonic plague)
Yaitu pes pada tahap awal, ketika kuman Y.pestis masuk ke dalam
tubuh, namun belum masuk ke dalam paru-paru. Masa inkubasi
2-7 hari. Bubo mempunyai onset gejala regular mirip flu, demam,
pusing, menggigil, lemah, yang kemudian diikuti nausea dan
muntah-muntah. Gejala yang hadir mencakup malaise parah
(75%), sakit kepala (20%-85%), muntah (25%-49%), menggigil
(40%), batuk (25%), sakit perut (18%) dan sakit dada (13%).
Enam sampai delapan jam setelah onset gejala, bubo, yang
didahului dengan nyeri yang parah, terjadi di sela paha (90%,
femoral lebih sering daripada inguinal), bengkak pada nodul
limpa, tergantung di bagian mana bakteri berkumpul. Bubo akan
terlihat dalam 24 jam, dan terasa sangat sakit. Manifestasi lainnya
berupa kekenduran kandung kemih, apatis, kebingungan,
ketakutan, kegelisahan, oliguria, dan anuria. Takikardia,
hipotensi, leukositosis, dan demam kadang-kadang dialami. Bila
dibiarkan tanpa perawatan, akan muncul septikemia dalam 2-6
hari. Sekitar 5% sampai 15% pasien pes bubonik akan
mengembangkan pes pneumonik sekunder, dan sebagai hasilnya,
semakin berpotensi menularkan ke orang lain. Pada dasarnya,

7
bubonic plague jarang menular pada orang lain. Bila tidak
dirawat, tipe bubonik akan menghasilkan mortality rate 50-60%.

Gbr 3. Bubo Aksila


b. Pes Septikemik (Septicaemic plague)
Gejalanya demam, menggigil, pusing, lemah, sakit pada perut,
shock, pendarahan di bawah kulit atau organ-organ tubuh
lainnya, pembekuan darah pada saluran darah, tekanan darah
rendah, mual, muntah, organ tubuh tidak bekerja dengan baik.
Tidak terdapat benjolan pada penderita. Septicemic plague jarang
menular pada orang lain. Septicemic plague dapat juga
disebabkan Bubonic plague dan Pneumonic plague yang tidak
diobati dengan benar. Fase septikemik ini yang menunjukkan
ciri-ciri Black Death. Bila tidak dirawat, tipe septikemik akan
menghasilkan mortality rate hingga 100%.

Gbr 4. Pes Septikemik


c. Pes Pneumonik (Pneumonic plague)
Masa inkubasi 1-3 hari. Gejalanya pneumonia (radang paru-
paru), napas pendek, sesak napas, batuk, sakit pada dada. Ini
adalah penyakit plague yang paling berbahaya dibandingkan jenis
lainnya. Pneumonic plague menular lewat udara, bisa juga
merupakan infeksi sekunder akibat Bubonic plague dan
Septicemic plague yang tidak diobati dengan benar. Sekitar 12%
kasus tipe bubonik dan septikemik primer akan berlanjut menjadi

8
tipe pneumonik sekunder, dan tipe pneumonik sekunder akan
berlanjut menjadi tipe pneumonik primer.

2.5 PATOFISIOLOGI
Hanya dibutuhkan sedikit saja Y.pestis untuk dapat menginfeksi hewan
rodensia dan primata via jalur oral, intradermal, subkutan, dan intravena.
Perkiraan infektivitas jika melalui jalur pernapasan pada primata yang
bukan manusia beragam mulai dari 100 sampai 20.000 Y.pestis.
Setelah dibawa kepada host mamalia oleh gigitan pinjal, pada
temperatur ambien, seharusnya bakteri pes ini dapat difagositosis dan
dibunuh oleh neutrofil. Namun demikian, beberapa bakteri dapat tumbuh
dan berkembangbiak dalam jaringan makrofag. Sedangkan dalam host
berupa manusia, lingkungan tubuh manusia (misalnya suhu tubuh,
kontak dengan sel eukariotik, dan lain-lain) yang merupakan hal baru
bagi bakteri akan membuat bakteri itu mengembangkan mekanisme
pertahanan untuk menjaga dia tetap virulen, berupa serangkaian proses
biokimia. Bakteri pada tahap ini nantinya akan resisten terhadap
fagositosis dan dapat berkembangbiak di luar sel tanpa terganggu.
Selama fase inkubasi, bakteri ini umumnya menyebar ke wilayah
nodul limpa, dimana akan mudah terjadi pernanahan karena radang pada
limpa, yang berlanjut kepada ciri-ciri bubo. Infeksi akan berkembang
terus jika tidak segera ditolong; septikemia akan muncul dan infeksi akan
menyebar ke organ lainnya. Endotoksin bakteri mungkin berperan dalam
terjadinya syok septik, juga dalam mengembangkan resistensi bakteri
terhadap aktivitas bakterisidal dari serum. Nekrosis dan sianosis yang
luas, yang terlihat dalam beberapa kasus septikemik mungkin terkait
dengan aktivitas koagulase aktivator plasminogen, yang terjadi pada
suhu di bawah 37 derajat Celsius.
Jaringan yang umumnya diserang termasuk limpa, hati, paru, kulit,
dan membran mukosa. Infeksi berikutnya pada selaput otak juga terjadi,
khususnya jika terapi antibiotik yang belum optimal diberikan.

9
Pes pneumonik primer, tahap paling parah dari penyakit ini,
meningkat jika terhirup udara yang tercemar bakteri ini. Tahap ini jauh
lebih fatal daripada pneumonik sekunder, karena droplet yang terhirup
sudah berisi bakteri yang resisten terhadap fagositosis.
Pes septikemik primer bisa terjadi dari suntikan langsung basil pes
ke dalam aliran darah, yang berlanjut pada multiplikasi bakteri pada
nodul limpa.

Menurut Gratz, dalam modul Pelatihan Teknis Pengendalian


Penyakit Pes tahun 2012, di Indonesia dikenal ada 4 spesies pinjal yang
mampu menjadi vektor perantara dan reservoir sementara penyakit pes.
Spesies tersebut adalah Xenopsylla cheopis, Pulex iritans, Neopsylla
sondaica dan Stivalius cognatus. Pinjal S. Cognatus dan N. Sondaica
adalah pinjal tikus liar dataran tinggi (pegunungan), sedang Xenopsylla
cheopis merupakan pinjal tikus rumah.
Pinjal menjadi infektif apabila mengisap darah dari inang yang telah
terinfeksi Y.pestis. Pinjal jantan dan betina keduanya mengisap darah
inang dan menyebarkan bakteri pes. Rata-rata kapasitas Xenopsylla
cheopis untuk menghisap darah kurang lebih 0,5 mm3, dan di dalamnya
mampu mengandung 5.000 bakteri pes dari tikus yang terinfeksi. Di masa
epidemi atau musim kering, persentase pinjal infektif lebih tinggi.
Interval antara saat menghisap darah dengan masa infektif terjadi setelah
21 hari (5-31 hari) untuk Xenopsylla cheopis dan rata-rata masa infektif
berlangsung selama 17 hari atau maksimal sampai 44 hari. 6
Penularan penyakit pes dapat terjadi dengan berbagai cara seperti :
a. Penularan pes dari tikus hutan ke tikus domestik melalui gigitan
pinjal. Pinjal infektif kemudian menggigit manusia.
b. Terjadinya kontak rodent dan pinjalnya dengan sumber pes didaerah
sylvatic yang dapat menimbulkan enzootik dan endemik pada manusia
c. Penularan pes secara eksidental dapat terjadi pada orang-orang yang
bila digigit oleh pinjal tikus hutan yang infektif. Ini dapat terjadi pada
pekerja-pekerja dihutan atau pada orang yang mengadakan
rekreasi/camping dihutan termasuk seorang biolog yang sedang

10
mengadakan penelitian dihutan dimana lukanya terkena darah atau
organ tikus yang terinfeksi.
d. Penularan dari orang ke orang dapat pula terjadi melalui gigitan pinjal
manusia Pulex irritans (human flea)
e. Penularan dapat terjadi pada hewan peliharaan seperti anjing dan
kucing khususnya pada masa epizootic. Dimana risiko terjadinya
penularan saat pinjal yang berasal dari hewan mati berpindah pada
hewan peliharaan. Biasanya kucing akan sakit karena pes dan dapat
menularkan secara langsung pada manusia melalui percikan air liur
(droplet) keudaran saat kucing tersebut batuk.
f. Penularan Pes dari orang yang menderita pes paru-paru (pneumonie
plaque) kepada orang lain melalui percikan ludah atau pernapasan.
g. Penularan melalui kontak langsung dengan nanah penderita bubo.

Gbr 6. Siklus Penularan Sederhana

11
Gbr 7. Siklus penularan pes4

2.6 DIAGNOSIS
Pada dasarnya diagnosis tetap berdasarkan pada dua hal: adanya tanda
dan gejala; serta hasil pemeriksaan laboratorium. Diagnosis presumtif
dapat dilakukan dengan mengidentifikasi karakteristik organisme dalam
sputum, usapan bronkial/trakeal, darah, bubo, cairan serebrospinal atau
sample jaringan postmortem; bakteri pes adalah bakteri Gram negatif,
kokobasilus intraseluler fakultatif, atau basilus dengan pewarnaaan
bipolar. Dapat digunakan bantuan immunofluorescen untuk sampel
klinis.
Pes dapat juga didiagnosis dengan mengisolasi Y. pestis. Bakteri ini
biasanya ada di darah selama fase septikemik.
Test serologi juga kadang-kadang dapat membantu. Tes ini
mencakup enzyme-linked immunosorbent assays (ELISAs),

12
hemaglutinasi pasif, hemaglutinasi-inhibisi, aglutinasi latex dan fiksasi
komplemen.

2.7 PENATALAKSANAAN
Dilakukan terapi dengan pemberian Streptomycine 3 gr/hari/2
hari atau 2 gr/hari/5 hr, setelah panas hilang diberikan Tetracycline 4-6
gr/hari/2hr atau 2gr/hari/5hari.
Pemberian Chloramphenicol 6-8 gr/hr/2 hari. Dari tindakan
profilaksis atau pencegahan pada anggota keluarga yang kontak serumah
dengan penderita Pes Bubo dan terhadap seluruh warga desa jika ada
penderita pes paru.

2.8 PROGNOSIS
Pes bubo akut memburuk menjadi delirium, syok dan meninggal
dalam 3 – 5 hari jika tidak diobati. Angka mortalitas untuk keseluruhan
pes bubo yang tidak diobati adalah 60% - 90%. Perburukan pes
pneumonia cepat dan hampir selalu mematikan 24 – 28 jam jika tidak
diobati. Jika pes bubo diobati lebih awal, maka angka mortalitas akan
berkurang 10%. Prognosis pada pes pneumonia tetap jelek jika
pengobatan spesifik tidak diberikan dalam 18 hari dimulainya.

2.9 PENCEGAHAN
a. Vaksinasi

Ada dua jenis vaksin yang tersedia: satu yang terbuat dari
bakteri halus yang masih hidup namun avirulen dan yang lain
terbuat dari kultur yang tidak aktif dari bakteri pes, yang bisa
mereduksi tingkat kematian pada saat terjadi epidemi. Untuk
mencegah penyakit pes biasanya akan diberikan vaksinasi otten
yang diberikan setahun sekali.
b. Tindakan Pencegahan

13
Berikut beberapa tindakan pencegahan yang dapat dilakukan
untuk mencegah terjadinya penularan penyakit pes.
1. Penyuluhan pada masyarakat tentang bahaya penyakit pes
dan cara penularannya
2. Penempatan kandang ternak diluar rumah
3. Perbaikan konstruksi rumah dan gedung-gedung (rat proof)
4. Menyimpan bahan makanan dan makanan pada tempat yang
tidak terbuka
5. Melaporkan kepada petugas puskesmas apabila ada tikus
mati karna sebab yang tidak jelas (rat fall)
6. Tinggi tempat tidur lebih 20 cm dari tanah
7. Manusia penderita pes harus diisolasi dan segera diberikan
pengobatan
8. Orang yang diduga pernah kontak dengan penderita segera
dikarantina dan diawasi
9. Orang yang pernah kontak dengan penderita pes harus diberi
terapi pencegahan dengan tetrasiklin atau sulfonamid
10. Binatang pengerat yang menjadi sumber penularan
diberantas dengan rodentisida sedangkan pinjal diberantas
dengan menggunakan insektisida.

2.10 EDUKASI
Edukasi pada penderita penyakit pes dan keluarganya4, seperti :
1. Memakai pelindung seperti sarung tangan, masker dan lain-
lain saat melakukan kontak fisik dengan penderita.
2. Menghindari kucing peliharaan untuk memakan tikus dalam
bentuk apapun.
3. Menghindari kontak dengan hewan liar.
4. Melindungi hewan peliharaan dari
5. Menghindari daerah dimana terdapat kelompok besar tikus
yang mati tiba-tiba.

14
15
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
1. Penyakit Pes (Pesteurellosis) atau Yersiniosis/Plague adalah
penyakit infeksi pada manusia dan hewan yang disebabkan oleh
bakteri Yersinia pestis. Pes juga disebut penyakit sampar, plague,
atau black death. Penyakit PES merupakan salah satu penyakit yang
hebat dan sangat menular dengan angka kematian yang tinggi.
2. Pes disebabkan oleh bakteri Yersinia pestis (Pasteurella pestis),
sebuah basil Gram negatif dalam famili Enterobacteriaceae.
Reservoar utama dari penyakit pes adalah hewan rodensia, misalnya
tikus, kelinci, bahkan dalam kasus tertentu melibatkan kucing
sebagai sumber penularan ke manusia. Bakteri ditularkan dari tikus
ke manusia melalui gigitan pinjal yang merupakan vektor dari
penyakit ini.
3. Pes dapat diklasifikasikan menjadi pes bubonik, septikemik, dan
pneumonik.
4. Selama fase inkubasi, bakteri ini umumnya menyebar ke wilayah
nodul limpa, dimana akan mudah terjadi pernanahan karena radang
pada limpa, yang berlanjut kepada ciri-ciri bubo. Infeksi akan
berkembang terus jika tidak segera ditolong.
5. Kejadian penyakit pes pertama kali di Indonesia ditemukan di
Surabaya pada tahun 1910, kemudian di tahun 1916 ditemukan di
Pelabuhan Tanjung Mas Semarang. Selanjutnya penyakit pes
menyebar melalui pelabuhan pelabuhan di Cirebon pada tahun 1923
dan pelabuhan di Tegal pada tahun 1927. Sejak tahun 1910 pes
pertama kali masuk ke Indonesia hingga tahun 1960 sudah tercatat
korban meninggal akibat penyakit pes sebanyak 245.375 orang.

16
6. Pinjal menjadi infektif apabila mengisap darah dari inang yang telah
terinfeksi Y.pestis. Pinjal jantan dan betina keduanya mengisap
darah inang dan menyebarkan bakteri pes.
7. Pencegahan primer mencakup vaksinasi dan tindakan pencegahan.
Sedangkan pengobatan perlu didahului oleh diagnosis yang tepat,
dan umumnya digunakan antibiotik.
8. Tindakan pengawasan dan pengendalian berupa pelaporan yang
baik dan pengawasan pada kegiatan surveilans pes.

3.2. Saran
1. Sebaiknya dilakukan peninjauan kembali mengenai tindakan
pencegahan dan pengendalian pes yang sudah dilakukan selama ini dari
segi efektivitas dan efisiensinya.
2. Sebaiknya kegiatan surveilans tetap dijaga kontinuitasnya agar tidak
sempat terjadi epidemi.

DAFTAR PUSTAKA

1. World Health Organization (WHO).2000. Plague.


http://www.who.int/csr/disease/plague/en/
2. Depkes RI. 1998. Pedoman Penanggulangan Pes di Indonesia. Direktorat
Jendral Pemberantasan Penyakit
Menular dan Penyehatan Pemukiman. Jakarta : Departemen Kesehatan.
3. Rahmawaty, emy. 2012. Partisipasi ibu dalam pemasangangan life trap
terhadap jumlah tangkapan tikus dan pinjal. Jurnal kesehatan
masyarakat:semarang. http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/kemas
4. Centers for Disease Control and Prevention (CDC). 2006. Plague
[Website]. CDC.
http://www.cdc.gov/ncidod/dvbid/plague/resources/plagueFactSheet.pdf
5. Yudahastuti, Ririh. 2011. Pengendalian vektor dan rodent. Surabaya :
pustaka melati.

17
6. Kementerian kesehatan RI. 2012. Profil ksehatan indonesia. Jakarta.

18

Anda mungkin juga menyukai