Jadi makna dan falsafah pemberian ulos oleh pihak Hula-hula kepada pihak Borunya adalah, bahwa
Hula-hula selalu mengayomi Borunya, memberikan perlindungan demi menjaga kesehatan dan
keselamatan badaniah (sebelum menganut agama juga disebut rohaniah ). Dengan memberikan sebagai
suatu satu pertanda yang dapat dilihat, disertai ungkapan pepatah-pepatah maka pihak hula-hula
memanjatkan doa kepada Tuhan Yang Maha Esa, semoga memberikan Rahmat dan Ridho Nya kepada boru
yang menerima ulos, memberikan kebahagiaan dan keselamatan, kesehatan dan umur yang panjang serta
rejeki yang murah, dilindungi terhadap mara-bahaya, disamping itu yang paling penting dan pokok adalah
agar diberi hagabeon, yaitu lahirnya anak lelaki sebagai penyambung keturunan dan anak perempuan yang
diharapkan agar mampu memberikan kebahagian kepada orang tuanya. Demikianlah falsafah pemberian
ulos itu, dan untuk setiap macam acara adat atau keperluan ada pedoman-pedoman tertentu tentang
macam dan tingkat ulos yang akan diberikan.
Berikut berbagai macam ragam dan nilai Ulos Batak:
1. ULOS JUGIA
Ulos ini disebut juga “ ulos na so ra pipot “ atau pinunsaan. Biasanya adalah ulos “ homitan “ yang disimpan
di “ parmonag-monangan “ ( hombung ). Jenis ini menurut kepercayaan orang Batak tidak dapt dipakai
kecuali oleh orang yang sudah saur matua, yaitu semua anak laki-laki dan perempuan sudah kawin dan dari
semua anaknya sudah mempunyai cucu. Hanya orang yang demikianlah yang disebut “ na gabe “ , yang
berhak memakaia ulos tersebut.
Selama masih ada anaknya yang belum kawin atau masih ada yang belum mendapat keturunan, walaupun
telah mempunyai cucu-cucu dari anak laki-lakiatau perempuan lainya yang telah kawin,belum bisa
digolongkan sama dengan tingkat saurmatua.
Beratnya aturan pemakaian jenis ulos ini menyebabkan ulos ini merupakan benda langkah hingga banyak
orang batak yang tidak mengenalnya. Ulos ini sering merupakan barang warisan orangtua kepada anaknya
dan nilainya sama dengan sitoppi ( emas yang dipakai oleh isteri raja-raja pada waktu pesta ).
Gambar
2. ULOS RAGIDUP
Ulos ini setingkat dibawah Ulos Jugia.
Banyak orang beranggapan ulos ragiduplah yang paling tinngi nilainya, oleh sebab memang dilihat dari
bentuk/motifnya, lebarnya, cara penenunannya yang sangat rapi dan teratur, sangat nyata perbedaanya
dari ulos-ulos yang lain. Dan memang cara penenunan ulos Ragidup ini sangat sulit, harus teliti sekali dan
hanya akan dipercayakan pada penenun yang telah cukup banyak mempunyai pengalaman dalam tenun-
menenun.
Ulos Ragidup dapat dipakai untuk berbagai keperluan, baik untuk acara dukacita maupun acara sukacita.
Juga dapat dipakai oleh Raja-raja Adat, orang berada, maupun oleh rakyat biasa, selama memenuhi
beberapa pedoman, misalnya diberikan sebagai Ulos Pargomgom pada acara adat perkawinan, atau
diberikan sebagaai ulos Panggabei pada waktu orang tua meninggal yang telah mencapai satu tingkat
hagabeon tertentu.
4. ULOS SADUM
Ulos ini penuh dengan warna-warni yang ceria hingga sangat cocok dipakai untuk suasana sukacita. Di
Tapanuli Selatan ulos ini biasanya dipakai sebagai ulos panjangki ( parompa ) bagi keturunan “ Daulat,
Baginda atau Mangaraja “ .
Untuk mengundang ( marontang ) Raja-raja, ulos ini dipakai sebagai alas sirih di atas pinggan godang
(burangir/haronduk panyurduan). Aturan pemakaian ulos ini demikian ketat hingga ada golongan tertentu
di Tapanuli Selatan yang dilarang memakai ulos ini. Begitu indahnya ulos ini sehingga didaerah lain sering
dipakai sebagai ulos kenang-kenangan dan bahkan dibuat pula sebagai hiasan dinding. Ulos ini sering pula
diberi sebagai kenang-kenangan untuk pejabat-pejabat yang berkunjung ke daerah.
5. ULOS RUNJAT
Ulos ini biasanya dipakai oleh orang kaya atau orang terpandang sebagai ulos edang-edang ( pada waktu
pergi ke undangan ). Ulos ini dapat juga diberikan kepada penganten pada keluarga dekat menurut versi
(tohonan ) Dalihan Natolu di luar Hasuhuton Bolon, misalnya oleh Tulang, Pariban dan Pamarai.
Juga ulos ini dapat deberikan pada waktu Mangupa-upa atau waktu ulaon si las ni roha (acara bergembira ).
Kelima jenis ulos yang diatas adalah merupakan ulos Homitan (simpanan), yang hanya kelihatan pada waktu
tertentu saja. Karena ulos ini jarang-jarang dipakai, hingga tidak perlu dicuci , biasanya cukup dijemur
diwaktu siang hari.
6. ULOS SIBOLANG
Ulos ini dapat dipakai untuk keperluan duka atau sukacita. Untuk keperluan dukacita biasanya dipilih dari
jenis yang warna hitamnya menonjol sedangkan bila dalam peristiwa sukacita dipilih dari jenis yang warna
putihnya menonjol. Dalam peristiwa dukacita ulos ini paling banyak dipergunakan orang. Misalnya untuk
ulos saput atau ulos tujung harus dari jenis ulos ini, tidak boleh dari jenis yang lain. Dalam upacara
perkawinan, ulos ini biasanya dipakai sebagai tutup ni ampang dan juga bisa disandang, akan tetapi ulos ini
akan dipilih dari jenis yang putihnya menonjol. Inilah yang disebut Sibolang Pamontari.
Karena ulos ini dapat dipakai untuk segala keperluan adat, maka ulos i ni terlihat paling banyak dipakai
dalam upacara adat, hingga dapat dikatakn “memasyarakat” . Harganya juga relatif murah, sehingga dapat
dijangkau oleh mayarakat banyak. Hanya saja ulos ini tidak lazim dipakai sebagai ulos pangupa atau
parompa.
Makna Simbolis Warna Dan Motif Batik Tradisional Yogyakarta
Batik merupakan kesenian khas Indonesia yang sudah
ada sejak berabad-abad yang lalu, sehingga kesenian
batik sudah menyebar ke berbagai daerah di Indonesia
dan mengalami perkembangan motif atau pun warna
karena pengaruh dari budaya setempat atau pengaruh
dari kebudayaan bangsa lain yang berakulturasi dengan
budaya Indonesia. Batik tradisional Yogyakarta
merupakan batik (kain yang memiliki gambar atau pola
tertentu) yang dibuat secara turun-temurun tanpa ada
perubahan warna atau corak hanya untuk kalangan
keluarga Kraton Yogyakarta yang memiliki arti filosofis tersendiri dalam warna dan corak batik tersebut.
Warna batik tradisional Yogyakarta melambangkan sifat dan nafsu manusia, warna tersebut ada tiga yaitu
coklat, putih, dan hitam sebagai warna utama dalam batik tradisional Yogyakarta. Warna coklat
melambangkan pribadi yang hangat, terang alami, rendah hati, bersahabat, kebersamaan, tenang dan
sentosa sesuai dengan masyarakat Jawa yang mengutamakan rasa dalam segala tindak-tanduknya. Warna
putih melambangkan pribadi yang suci, polos, lugu, jujur, bersih, spiritual, pemaaf, cinta, dan terang yang
melambangkan sifat religius masyarakat Jawa. Warna hitam melambangkan pribadi yang gelap, misteri,
kukuh, formal, dan memiliki keahlian.
Motif batik tradisional Yogyakarta memiliki makna tertentu dalam setiap bentuknya dan dipakai saat
upacara tertentu. Motif grompol yang berarti berkumpulnya segala yang baik, motif truntum yang berarti
sebagai panutan/penuntun, motif semen gurda yang berarti kekuatan/kekuasaan, motif sida asih yang
berarti dapat saling mengasihi, motif sida luhur yang berarti semoga jadi orang yang berpangkat, motif
wahyu tumurun yang berarti pengharapan agar mendapat wahyu dari Tuhan YME, dan motif tambal yang
berarti sebagai penyembuh bagi yang sakit. Selain itu juga ada motif larangan yang hanya boleh dipakai oleh
keluarga Kraton pada jaman sebelum bersatunya Indonesia seperti motif parang rusak barong dengan motif
modang di tengahnya pada dodod atau kain jarit yang dipakai Sri Sultan yang memiliki arti simbolis filosofis
dalam kebudayaan Hindu dan modang memiliki arti simbolis lidah api-api dan motif parang rusak gurda
memiliki arti filosofis sebuah mahkota atau penguasa tertinggi.
Sehingga makna simbolis warna dan motif batik tradisional Yogyakarta melambangkan agar manusia yang
memakai batik tersebut dapat memiliki sifat-sifat sesuai dengan makna motif batik tersebut dan dapat
mengendalikan nafsu sesuai dengan makna warna batik tersebut.