Raden patah adalah putra raja majapahit. Oleh ayahnya diberi hutan
Glagahwangi agar di buka dan dijadikan kadipaten dan di beri nama
kadipaten Demak Bimantara. Demak semakin besar banyak kadipaten yg
sebelumnya masuk wilayah majapahit bergabung dengan demak. Raden
patah juga mendapat dukungan dari para wali penyebar agama islam di
jawa. Sehingga demak menjadi semakin kuat dan besar, sehingga
menjadi sebuah kerajaan.
"Maaf Raden tentu tidak ada yang sanggup membawa dua batu itu ke
Demak, perjalanan ke demak begitu jauh", kata para wali.
Sang Wali pun menyuruh para prajurit meletakan dua batu di atas
punggung burung bangau. Kedua burung itu segera terbang ke arah
Demak Bintara.
"Benar terbangnya sangat lambat seperti jalanya kura kura saja" Kata
penggembala yang lain.
Kedua bangau marah, dan segera mengepakan sayapnya lebih cepat.
Hasilnya bukan tambah cepat tapi kedua sayapnya semakin lelah. Kedua
bangau itu hampir meluncur jatuh karena kelelahan. Akhirnya Kedua
bangau itu menjatuhkan kedua batu yg ada di punggungnya agar mereka
tidak meluncur jatuh.
Saat kedua batu itu jatuh, para gembala berteriak "Watu Tiban (batu
jatuh)! Watu Tiban". Teriakan para penggembala itu didengar banyak
orang, sehingga peristiwa tersebut tersebar kemana mana dan menjadi
pembicaraan banyak orang. Watu Tiban pun di singkat menjadi tu-ban,
dan akhirnya daerah tersebut dinamakan TUBAN .
Dua batu yag menjadi legenda itu masih ada. di batu itu tertuliskan
tahun 1400 saka, dan masih di simpan di halaman museum kambang
putih tidak jauh dari Alun-Alun kota Tuban dan makam Sunan Bonang.