Anda di halaman 1dari 16

Pendekatan Klinis Sirosis Hati et Causa Hepatitis B Kronik

Sirosis hepatis adalah penyakit kronis pada hepar dengan inflamasi dan fibrosis hepar yang
mengakibatkan distorsi stuktur hepar dan hilangnya sebagian besar fungsi hepar. Perubahan besar
yang terjadi karena sirosis adalah kematian sel-se hepar, terbentuknya sel-sel fibrotik (sel mast),
regenerasi sel dan jaringan parut yang menggantikan sel-sel normal. Perubahan ini menyebabkan
hepar kehilangan fungsinya. Terdapat stigmata dari penyakit sirosis adalah spider nevi, palmar
eritem, ginekomasti, fetor hematikum, ikterus splenomegali. Etiologi penyakit sirosis adalah
hepatitis B atau hepatitis C, kebiasaan meminum alkohol, terdapat kongesty hepatopathy, nash
atau fatty liver, sirosis bilier, dan zat toxic. Pada stadium awal lemas kembung mual, tahap lanjut
asites, dan hematemesis. Komplikasi tersering asites dan peritonitis bakterial spontan, hipertensi
portal menyebabkan varises esofagus, hematemesis melena dan enselopati.

Kata kunci: Sirosis, asites, hepar kronis

Cirrhosis hepatis is a chronic disease in the hepar with inflammatory and fibrosis resulting
in distortion of hepar hepar structure and the loss of most of the functions of hepar. Big
changes are happening because of cirrhosis is cell death-se hepar, formation of fibrotik cells
(mast cells), cell regeneration and scar tissue that replaces normal cells. This change causes
the hepar loss of functionality. There is the stigmata of cirrhosis is spider nevi, palmar
eritem, ginekomasti, jaundice, splenomegaly hematikum fetor. The etiology is cirrhosis
disease hepatitis B or hepatitis C, the habit of drinking alcohol, there are kongesty
hepatopathy, nash or fatty liver, cirrhosis, biliary and substances toxic. In the early stages of
limp bloating nausea, advanced stage asites, and hematemesis. Complications of tersering
spontaneous bacterial peritonitis and developed ascites, portal hypertension, esophageal
varices, causing hematemesis melena and enselopati.

Keywords: Cirrhosis, chronic, hepar asites

Pendahuluan

Hati merupakan organ vital yang mempunyai fungsi penting dalam metabolism maupun
menunjang keberlangsungan kehidupan. Gangguan pada hati dapat merubah fungsi maupun secara
anatomi dari organ ini, salah satu ganguan atau penyakit yang menyerang hati adalah sirosis.
Sirosis hepatis adalah penyakit kronis pada hepar dengan inflamasi dan fibrosis hepar yang
mengakibatkan distorsi stuktur hepar dan hilangnya sebagian besar fungsi hepar. Perubahan besar
yang terjadi karena sirosis adalah kematian sel-se hepar, terbentuknya sel-sel fibrotik (sel mast),
regenerasi sel dan jaringan parut yang menggantikan sel-sel normal. Perubahan ini menyebabkan
hepar kehilangan fungsinya. Peyebab terjadinya sirosis hepatis dapat dikarenakan kolestasis,
hepatitis virus, hepatotoksin, alkoholisme, malnutris, dsb.1 Di Indonesia, virus hepatitis B dan
virus hepatitis C merupakan penyebab paling sering.2 Diseluruh dunia sirosis menempati urutan
ke tujuh penyebab kematian. Secara klinis perlu dibedakan antara sirosis kompensata dan
dekompensata yang didasarkan pada tingkat hipertensi portal dan terjadinya komplikasi klinis
namun tidak selalu disertai peristiwa biologis lain yang relevan termasuk perubahan regenerasi
dan hilangnya fungsi hati tertentu secara progresif.

Anamnesis

Anamnesis mengacu pada pertanyaan-pertanyaan yang sistematis yaitu dengan berpedoman pada
empat pokok pikiran (The fundamental four). Keempat pokok pikiran tersebut adalah: riwayat
penyakit sekarang (RPS), riwayat penyakit dahulu (RPD), riwayat kesehatan keluarga dan riwayat
sosial ekonomi.3s

Keluhan utama pasien sirosis hati biasanya meliputi nyeri di kuadran kanan atas, mual, anoreksia,
perut buncit, bengkak pada kaki, dan cepat lelah. Ditanyakan pula apakah ada mual atau muntah,
frekuensi terjadinya, warna muntahan, disertai darah atau tidak, jumlah muntahan, terasa asam
atau tidak, dan berkaitan dengan nyeri atau tidak. Bila ada keluhan nyeri abdomen, ditanyakan
lokasi nyeri, penjalaran nyeri, dan onset nyeri. Bila ada anoreksia ditanyakan ada/tidaknya
penurunan berat badan, nafsu makan normal atau tidak ada, atau takut makan akibat nyeri.

Bila ada keluhan sesak napas, ditanyakan berapa jauh jarak yang ditempuh sehingga merasa sesak,
dapat berbaring telentang atau tidak, terbangun pada malam hari atau tidak karena sesak. Bila ada
pembengkakan pada pergelangan kaki disertai sesak napas dicurigai adanya kelainan pada jantung.
Pada ikterus ditanyakan onsetnya dan warna urin ketika sakit. Dokter harus pula menanyakan
apakah pasien pernah mengalami penyakit kuning sebelumnya dan bagaimana penanganannya.
Ditanyakan pula apakah ada riwayat konsumsi alkohol atau tidak, berapa banyak alkohol yang
dikonsumsi. Bila dianggap perlu, dapat pula ditanyakan riwayat penggunaan obat-obatan
terlarang, baik menggunakan jarum suntik atau tidak, riwayat transfusi darah, dan riwayat
penggunaan obat-obatan lain (yang mungkin mempengaruhi hati).

Sesuai dengan kasus didapatkan hasil anamnesis sebagai berikut:

Usia : 58thn
Keluhan Utama : Perut membesar disertai sesak sejak 1
minggu
Keluhan Lain : Kembung dan mual
Riwayat Penyakit Dahulu : Sakit kuning 3 tahun yang lalu, dokter
mengatakan sakit hepatits B

Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik yang dapat dilakukan meliputi pemeriksaan tanda-tanda vital, inspeksi, palpasi,
perkusi, dan auskultasi. Pada inspeksi, hal-hal yang dapat dilihat antara lain: apakah mata dan kulit
terlihat menguning, apakah ada bengkak pada perut dan tungkai, apakah terjadi penurunan
kesadaran, apakah mudah terjadi memar, serta apakah ditemukan erythema palmaris dan spider
nevi. Mata dan kulit yang menguning (jaundice) disebabkan oleh akumulasi bilirubin dalam darah.

Perut yang membengkak dapat menjadi indikasi terjadinya asites. Ditemukannya erythema
palmaris yaitu warna merah saga pada thenar dan hipothenar telapak tangan, sering dikaitkan
dengan perubahan metabolisme hormon estrogen dan tidak spesifik untuk sirosis hati. Spider nevi
adalah suatu lesi vaskular yang dikelilingi beberapa vena kecil yang sering ditemukan di bahu,
muka, dan lengan atas.4
Gambar 1. Gambaran Stigmata Penderita Sirosis Hepatis

Palpasi yang dilakukan adalah palpasi hati dan lien. Pada palpasi hati harus diperhatikan apakah
terdapat pembesaran hati. Besar hati normal selebar telapak tangannya sendiri (7-10 cm). Pada
sirosis hati, konsistensi hati biasanya kenyal/firm, pinggir hati biasanya tumpul dan ada sakit pada
perabaan hati. Pada palpasi lien juga perlu diperhatikan apakah terdapat pembesaran. Pemeriksaan
untuk melihat pembesaran lien dapat dilakukan dengan cara Schuffner. Pembesaran lien sering
ditemukan pada sirosis hati non-alkoholik, disebabkan oleh hipertensi porta. Stigmata dari
penyakiti sirosis adalah spider nevi, palmar eritem, ginekomasti, fetor hematikum, ikterus
splenomegali. 5

Perkusi ditujukan untuk melihat apakah terdapat asites. Pemeriksaan dapat dilakukan dengan
pemeriksaan gelombang cairan (undulating fluid wave). Teknik ini dipakai bila cairan asites cukup
banyak. Prinsipnya adalah ketukan pada satu sisi dinding abdomen akan menimbulkan gelombang
cairan yang akan diteruskan ke sisi yang lain. Pada auskultasi tidak terdengar bising usus.4

Dari hasil pemeriksaan didapatkan:

Tanda-tanda vital : Normal

Inspeksi : Konjungtiva anemis, sklera ikterik, compos mentis,

vena kolateral di abdomen, palmar eritem.


Palpasi : Nyeri tekan abdomen (-), pembesaran lien Schuffner 2

Perkusi : Pekak berpindah (+)

Pemeriksaan Laboratorium

Tes laboratorium juga dapat digunakan untuk membantu diagnosis sirosis hati. Beberapa
pemeriksaan yang dapat menilai fungsi hati antara lain dengan memeriksa kadar aminotransferase,
alkali fosfatase, gamma glutamil transpeptidase, serum albumin, prothrombin time, dan bilirubin.

 Serum glutamil oksaloasetat (SGOT) dan serum glutamil piruvat transaminase (SGPT)
meningkat tapi tidak begitu tinggi dan juga tidak spesifik.
 Alkali fosfatase, meningkat 2-3 kali batas atas normal.
 Gamma glutamil transpeptidase (GGT) konsentrasinya meningkat.
 Bilirubin, konsentrasinya bisa normal pada sirosis hati kompensata, tapi bisa meningkat
pada sirosis yang lanjut.
 Albumin, sintesisnya terjadi di jaringan hati, konsentrasinya menurun sesuai dengan
perburukan sirosis.
 Globulin konsentrasinya meningkat.
 Natrium serum menurun terutama pada sirosis dengan asites, dikaitkan dengan
ketidakmampuan ekskresi air bebas.2,6

Selain itu juga ada beberapa pemeriksaan, antara lain:

 Pemeriksaan radiologis seperti USG Abdomen, sudah secara rutin digunakan karena
pemeriksaannya noninvasif dan mudah dilakukan. Pemeriksaan USG meliputi sudut hati,
permukaan hati, ukuran, homogenitas, dan adanya massa. Pada sirosis lanjut, hati mengecil
dan noduler, permukaan irreguler, dan ada peningkatan ekogenitas parenkim hati. Selain
itu USG juga dapat menilai asites, splenomegali, thrombosis vena porta, pelebaran vena
porta, dan skrining karsinoma hati pada pasien sirosis. Pada USG, didapatkan gambaran
hati mengecil, permukaan ireguler, ekogenitas inhomogen dan kasar, pelebaran diameter
vena porta > 13mm, splenomegali, pelebaran diameter vena lienalis > 11mm. Adanya
varises esofagus maupun gaster dapat dideteksi dengan esofagogastro duodenoskopi
(EGD).2,6,7
 CT dan MRI konvensional bisa digunakan untuk menentukan derajat beratnya SH,
misalnya dengan menilai ukuran lien, asites, dan vena kolateral.2,6,7

Gambar 2. Radiologi Sisrosis

Makroskopik

Hepar dilapisi oleh peritoneum kecuali yang berbatasan dengan diaphragma yang disebut bare area atau
area nuda. Hepar terdiri atas 2 lobus yakni: Hepar pars sinister dan Hepar pars dexter. Hepar pars dexter
terbagi atas 2 lobus yaitu lobus caudatus dan lobus Quadratus. Batas lobus dexter dan sinister adalah alur
yang ditempati oleh ligamentum teres hepatis & ligamentum venosum arantii.

Hepar Terdiri dari 3 facies yaitu: Facies

diaphragmatica yaitu facies yang berbatasan langsung dengan permukaan bawah paru dan jantung ke
impressio cardiaca. Facies visceralis yaitu facies inferior dan Facies superior yaitu bare area. Zat-zat gizi
dari makanan diserap ke dalam dinding usus yang kaya akan pembuluh darah yang kecil-kecil (kapiler).
Kapiler ini mengalirkan darah ke dalam vena yang bergabung dengan vena yang lebih besar dan pada
akhirnya masuk ke dalam hati sebagai vena porta. Vena porta terbagi menjadi pembuluh-pembuluh kecil di
dalam hati, dimana darah yang masuk diolah.
Hati terbagi dalam 8 segmen dengan fungsi yang berbeda. Pada dasarnya, garis Cantlie yang terdapat mulai
dari vena kava sampai kandung empedu telah membagi hati menjadi 2 lobus fungsional, dan dengan adanya
daerah dengan vaskularisasi relative sedikit, kadang-kadang dijadikan batas reseksi. Pembagian menjadi 8
segmen selanjutnya didasarkan pada aliran cabang pembuluh darah dan saluran empedu yang dimiliki oleh
masing-masing segmen. Selain cabang-cabang vena porta dan arteri hepatika yang mengelilingi bagian
perifer lobules hati, juga terdapat saluran empedu yang membentuk kapiler empedu yang dinamakan
kanalikuli empedu yang berjalan diantara lembaran sel hati.

Working diagnosis

Sirosis hati et causa hepatitis B kronik

Sirosis hati et causa hepatitis B kronik merupakan perjalanan akhir dari penyakit hepatitis yang
sudah diderita lama dengan fibrosis hati progresif ditandai oleh distorsi arsitektur hati dan
pembentukan nodul regeneratif, perubahan arsitektur lobular, dan pembentukan hubungan
vascular intra hepatic antara pembuluh darah hati aferen (vena porta dan arteri hepatica) dan eferen
(vena hepatica). Akibatnya terjadi penurunan fungsi sintetik hati, penurunan kemampuan hati
untuk detoksifikasi, dan hipertensi portal dan segala penyulitnya. Penderita mengalami keluhan
utama asites, eskostruktur hepar yang kasar, splenomegaly, hipertensi porta, dan pembesaran
hepar.6 Pasien biasanya datang dengan keluhan utama yang terbanyak adalah asites, diikuti dengan
gejala ikterik.

Differential diagnosis

Tuberkuloma Peritonitis

Tuberkulosis peritoneal merupakan suatu peradangan peritoneum parietal atau viseral yang
disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis. Penyakit ini sering mengenai seluruh
peritoneum dan alat – alat sistem gastrointestinal, mesenterium, serta organ genitalia interna.
Penyakit ini jarang berdiri sendiri, biasanya merupakan kelanjutan proses tuberkulosis di tempat
lain terutama dari paru, namun seringkali ditemukan pada waktu diagnosis ditegakkan, proses
tuberkulosis di paru sudah tidak kelihatan lagi. 2,6
Peritoneum dapat dikenai oleh tuberkulosis melalui beberapa cara yaitu melalui penyebaran
hematogen terutama dari paru – paru, melalui dinding usus yang terinfeksi, dari kelenjar limfe
mesenterium, dan melalui tuba falopii yang terinfeksi. Pada kebanyakan kasus tuberkulosis
peritoneal terjadi bukan sebagai akibat penyebaran perkontinuitatum, tetapi sering karena
reaktifasi proses laten yang terjadi pada peritoneum yang diperoleh melalui penyebaran hematogen
proses primer terdahulu.3,8

Gejala klinis bervariasi, umumnya keluhan dan gejala timbul perlahan – lahan, sering pasien tidak
menyadari keadaan ini. Keluhan yang paling sering ialah tidak ada nafsu makan, batuk dan demam.
Pada pemeriksaan fisis gejala yang sering dijumpai adalah asites, demam, pembengkakan perut
dan nyeri, pucat dan kelelahan. Tergantung lamanya keluhan, keadaan umum pasien bisa masih
cukup baik, sampai keadaan yang kurus dan kahektik. Pada perempuan sering dijumpai
tuberkulosis peritoneal disertai oleh proses tuberkulosis pada ovarium atau tuba, sehingga pada
pemeriksaan alat genitalia bisa ditemukan tanda – tanda peradangan yang sering sukar dibedakan
dari kista ovarii.3,8

Pada pemeriksaan darah sering ditemui anemia penyakit kronik, leukositosis ringan atau
leukopenia, trombositosis dan sering dijumpai laju endapan darah (LED) yang meningkat.
Sebagian besar pasien mungkin negatif uji tuberkulinnya. Uji faal hati dan sirosis hati tidak jarang
ditemui bersama – sama dengan tuberkulosis peritoneal.3,8

Hepatoma (hepatocellular carcinoma)


Merupakan tumor ganas hati primer yang berasal dari hepatosit, demikian pula dengan karsinoma
fibrolamelar dan hepatoblastoma. Tumor ganas hati lainnya, kolangiokarsinoma dan
2,8
sistoadenokarsinoma berasal dari sel epitel bilier. Di Indonesia (khususnya Jakarta) HCC
ditemukan tersering pada median umur antara 50 – 60 tahun, dengan predominasi pada laki – laki.
Manifestasi klinisnya sangat bervariasi, dari asimtomatik hingga yang gejala dan tandanya sangat
jelas disertai gagal hati. Gejala yang paling sering dikeluhkan adalah nyeri atau perasaan tidak
nyaman di kuadran kanan atas abdomen. Pasien sirosis hati yang makin memburuk kondisinya,
disertai keluhan nyeri di kuadran kanan atas atau teraba pembengkakakn local di hepar patut
dicurigai menderita HCC. Demikian pula jika tidak terjadi perbaikan pada asites, pendarahan
varises atau pre-koma setelah diberi terapi yang adekuat atau pasien penyakit hati kronik dengan
HBs-Ag atau anti-HCV positif yang mengalami perburukan kondisi secara mendadak. Juga harus
diwaspadai bila ada keluhan rasa penuh di abdomen disertai perasaan lesu, penurunan berat badan
dengan atau tanpa demam.3,8
Keluhan gastrointestinal lain adalah anoreksia, kembung , konstipasi atau diare. Sesak nafas dapat
dirasakan akibat besarnya tumor yang menekan diafragma. Atau karena sudah ada metastasi di
paru. Sebagian besar pasien HCC sudah menderita sirosis hati, baik yang masih stadium
kompensasi, maupun yang sudah menunjukkan tanda – tanda gagal hati seperti malaise, anoreksia,
penurunan berat badan dan ikterus. Temuan fisis tersering pada HCC adalah hepatomegaly dengan
tau tanpa “bruit” hepatic, splenomegaly, asites, icterus, demam dan atrofi otot.3,8
Epidemiologi3

Keseluruhan insidensi sirosis di Amerika diperkirakan 360 per 100.000 penduduk dan
diperkirakan 5,5 juta kasus. Prevalensi terbanyak pada laki-laki dan pada usia 51-60 tahun.
Penyebabnya sebagian besar akibat penyakit hati alkoholik maupun infeksi virus kronik. Hasil
penelitian lain menyebutkan perlemakan hati akan mengakibatkan steatohepatitis non alkoholik
(NASH, prevalensi 4%) dan berakhir dengan sirosis hati dengan prevalensi 0,3%. Prevalensi
sirosis hati alobat steatohepatitis alkoholk dilaporkan 0,3% juga.

Di Indonesia data prevalensi sirosis hati belum ada, hanya laporan-laporan dari beberapa pusat
pendidikan saja. Di RS Dr. Sardjito Yogyakarta jumlah pasien sirosis hati berkisar 4,1% dari
pasien yang dirawat di Bagian Penyakit Dalam dalam kurun waktu 1 tahun (2004). Di Medan
dalam kurun waktu 4 tahun dijumpai pasien sirosis hati sebanyak 819 (4% ) pasien dari seluruh
pasien di Bagian Penyakit Dalam.

Etiologi

Sirosis hepatis dapat disebabkan oleh berbagai hal, diantaranya dikarenakan penyakit infeksi,
penyakit keturunan dan mentabolik, obat dan toksin (contoh: alkohol), dan penyebab-penyebab
lainnya (contoh: penyakit usus inflamatorik kronis, sirosis bilier primer). Penyakit infeksi
diantranya dikarenakan: bruselosis, ekinokokus, toksoplasmosis, hepatitis virus (B, C, D,
sitomegalovirus), dsb. Penyakit keturunan dan metabolik misalnya disebaban oleh: defisiensi α1-
antitripsin, sindrom Fanconi, galaktosemia, penyakit Wilson, dsb. Di negara barat yang tersering
adalah akibat alkohol, sementara di Indonesia adalah akibat Hepatitis B maupun C.3
Berdasarkan pada kasus, sirosis hati yang terjadi pada pasien disebabkan oleh karena hepatitis B,
maka akan dibahas sedikit mengenai virus hepatitis B. Virus hepatitis B termasuk famili
Hepadnavirus dari genus Orthohepadnavirus. Virus ini berbentuk sferik. Kebanyakan merupakan
partikel membulat dengan diameter 22 nm dibentuk oleh HBsAg sebagai bentuk tubuler atau
filamen. Selain itu juga ada virion bulat yang ukurannya lebih besar ± 42 nm namun terlihat agak
jarang. Permukaan luar atau envelop mengandung HBsAg dan mengelilingi inti nukleokapsid.
Genom virus terdiri dari DNA sirkuler, partially double stranded.7

Gambar 3. Struktur Virus Hepatitis B

Patofisologi9

Patofisiologi dari sirosis hepatis yang disebabkan oleh virus hepatitis adalah sebagai berikut. HAV,
HBV, dan HCV menyerang sel hati (hepatosit) yang menjadi tempat yang kondusif bagi virus
untuk berkembang biak. Sebagai reaksi terhadap infeksi, sistem kekebalan tubuh memberikan
perlawanan dan menyebabkan peradangan hati (hepatitis). Bila hepatitisnya akut (yang dapat
terjadi dengan HAV dan HBV) atau menjadi kronis (yang dapat terjadi dengan HBV dan HCV)
maka dapat bekembang menjadi jaringan parut di hati, sebuah kondisi yang disebut fibrosis.
Lambat laun, semakin banyak jaringan hati diganti dengan jaringan parut seperti bekas luka, yang
dapat menghalangi aliran darah yang normal melalui hati dan sangat mempengaruhi bentuk dan
kemampuannya untuk berfungsi semestinya. Ini disebut sebagai sirosis.
Bila hati rusak berat, mengakibatkan bendungan di limpa dan kerongkongan bagian bawah akibat
tekanan di organ yang tinggi. Dampak dari kondisi ini – yang disebut sebagai hipertensi portal –
termasuk perdarahan saluran cerna atas dan penimbunan cairan dalam abdomen (asites).
Kerusakan pada hati juga dapat mengurangi pembuatan cairan empedu yang dibutuhkan untuk
pencernaan yang baik dan mengurangi kemampuan hati untuk menyimpan dan menguraikan bahan
nutrisi yang dibutuhkan untuk hidup. Dampak lain dari hati yang rusak temasuk ketidakmampuan
untuk menyaring racun dari aliran darah, yang pada akhirnya dapat menyebabkan penurunan
kesadaran dan bahkan koma.

Gejala Klinis

Stadium awal sirosis hati sering tanpa gejala sehingga hanya ditemukan pada saat pasien
melakukan pemeriksaan kesehatan rutin atau karena penyakit yang lain. Gejala yang dapat timbul
meliputi perasaan mudah lelah dan lemas, selera makan berkurang, perut kembung, mual, berat
badan menurun, impotensi pada laki-laki, testis mengecil, dan hilangnya dorongan seksual. Pasien
dapat merasa mudah lelah dikarena terjadi gangguan pada hati yang menyebabkan proses
metabolisme dimana hati menghasilkan energi tidak dapat berjalan dengan baik. Energi yang
seharusnya bisa dipakai dan disimpan pun jadi tidak maksimal. Itu yang bisa menyebabkan cepat
lelah, selain juga mungkin pasien juga tidak nafsu makan yang menyebabkan karbohidrat, protein
dan lemak yang dibutuhkan untuk diolah jadi energi juga tidak ada.3

Mual dapat terjadi dikarenakan adanya peningkatan SGOT dan SGPT yang bersifat iritatif di
saluran cerna sehingga merangsang nervus vagal dan menekan rangsangan sistem saraf
parasimpatis. Akibatnya akan terjadi penurunan peristaltik sistem pencernaan di usus dan
lambung, menyebabkan makanan tertahan di lambung dan peningkatan rasa mual yang
mengaktifkan pusat muntah di medula oblongata dan pengaktifan saraf kranialis ke wajah,
kerongkongan serta neuron-neuron motorik spinalis ke otot-otot abdomen dan diafragma sehingga
menyebabkan muntah. Apabila saraf simpatis teraktifasi akan menyebabkan akumulasi gas usus
di sistem pencernaan yang menyebabkan rasa penuh dengan gas maka terjadilah kembung.10

Bila sudah lanjut, sirosis hepatis dapat menyebabkan gejala yang lebih menonjol terutama bila
timbul komplikasi gagal hati dan hipertensi porta. Gejala yang timbul seperti gangguan tidur,
demam yang tidak begitu tinggi, gangguan siklus haid, ikterus, air kemih berwarna seperti teh
pekat, hematemesis dan/atau melena, serta gangguan mental misalnya mudah lupa.2 Manifestasi
klinis lainnya yang dapat ditemukan pada pasien penderita sirosis hepatis adalah hipertensi portal,
asites, spider nevi, eritema palmaris, anemia, hematom/mudah terjadi perdarahan, splenomegali,
varises esofagus, caput mdusa, leukopeni, trombositopeni, dsb.

Penatalaksanaan

Etiologi sirosis mempengaruhi penganan sirosis. Terapi ditujukan mengurangi progresi penyakit,
menghindarkan bahan-bahan yang bisa menambah kerusakan hati, pencegahan dan penanganan
komplikasi.3
Medikamentosa

Pemberian asetaminofen, kolkisin dan obat herbal bisa menghambat kolagenik. Pada hepatitis
autoimun bisa diberikan steroid atau imunosupresif. Pada hepatitis B, interferon alfa dan lamivudin
(analog nukleosida) merupakan terapi utama. Lamivudin sebagai terapi lini pertama diberikan 100
mg secara oral setiap hari selama 1 tahun. Namun pemberian lamivudin setelah 9-12 bulan
menimbulkan mutasi, sehingga terjadi resistensi obat. Interferon alfa diberikan secara suntikan
subkutan 3 MIU, tiga kali seminggu selama 4-6 bulan, namun ternyata juga banyak yang kambuh.2
Pada hepatitis C kronik; kombinasi interferon dengan ribavirin merupakan terapi standard.
Interferon diberikan secara suntikan subkutan dengan dosis MIU tiga kali seminggu dan
dikombinasi ribavirin 800-1000 mg/hari selama 6 bulan. Pada pengobatan fibrosis hati;
pengobatan antifibrotik pada saat ini lebih mengarah kepada peradangan dan tidak terhadap
fibrosis. Untuk penatalaksanaan asites digunakan Diuretika. Diuretika yang dianjurkan adalah
yang bersifat anti-aldosteron, misalnya spironolakton yang menahan reabsorpsi Na. Dosis yang
dianjurkan antara 100-600mg/hari.
Non Medikamentosa

Penatalksanaan untuk asites adalah melakukan tirah baring. Tirah baring dapat memperbaiki
efektifitas diuretika, berhubung dengan perbaikan aliran darah ginjal dan filtrasi glomerulus.
Pasien diminta tidur terlentang, kaki sedikit angkat, selama bebrapa jam setelah minum obat
diuretika. Diet rendah garam ringan sampai sedangdapat membantu diuresis. Konsumsi garam
(NaCl) per hari sebaiknya dibatasi hingga 40-60mEq/hari. Pada penyakit hati non alkoholik;
menurunkan berat badan akan mencegah terjadinya sirosis.
Komplikasi3

Komplikasi yang ditakuti dari sirosis hepatis adalah hepatocellular carcinoma atau hepatoma.
Pada hepatoma terdapat gambaran klinis seperti nyeri atau perasaan tidak nyaman di kuadran
kanan atas abdomen, teraba pembengkakan lokal di hepar, tidak adanya perbaikan pada asites,
perdarahan, varises atau pre-koma setelah terapi yang adekuat. Selain itu, terdapat keluhan rasa
penuh di abdomen, disertai perasaan lesu, penurunan berat badan dengan atau tanpa demam.

Komplikasi yang terbanyak dari penderita sirosis hepatis juga adalah koma hepatikum. Timbulnya
koma hepatikum dapat sebagai akibat dari faal hati sendiri yang sudah sangat rusak, sehingga hati
tidak dapat melakukan fungsinya sama sekali. Ini disebut sebagai koma hepatikum primer. Dapat
pula koma hepatikum timbul sebagai akibat perdarahan, parasentesis, gangguan elektrolit, obat-
obatan dan lain-lain, dan disebut koma hepatikum sekunder.

Komplikasi lain yang juga sering dijumpai antara lain perotinitis bakterial spontan, yaitu infeksi
cairan asites oleh satu jenis bakteri tanpa ada bukti infeksi sekunder intra abdominal. Biasanya
pasien ini tanpa gejala, namun dapat timbul demam dan nyeri abdomen. Pada sindrom hepatorenal,
terjadi gangguan fungsi ginjal akut berupa oliguri, peningkatan ureum, kreatinin tanpa adanya
Akelainan organik ginjal. Kerusakan hati lanjut menyebabkan penurunan perfusi ginjal yang
berakibat pada penurunan filtrasi glomerulus.

Salah satu manifestasi hipertensi porta adalah varises esofagus. Duapuluh sampai 40% pasien
sirosis dengan varises esofagus pecah yang menimbulkan perdarahan. Ensefalopati hepatik,
merupakan kelainan neuropsikiatrik akibat disfungsi hati. Mula-mula ada gangguan tidur
(insomnia dan hipersomnia), selanjutnya dapat timbul gangguan kesadaran yang berlanjut sampai
koma. Pada sindrom hepatopulmonal terdapat hidrotoraks dan hipertensi portopulmonal.

Prognosis

Prognosis sirosis sangat bervariasi dipengaruhi sejumlah faktor, meliputi etiologi, beratnya
kerusakan hati, komplikasi dan penyakit lain yang menyertai. Klasifikasi Child-Pugh dapat
digunakan untuk menilai prognosis pasien sirosis yang akan menjalani operasi, variabelnya
meliputi konsentrasi bilirubin, albumin, ada tidaknya asites dan ensefalopati juga status nutrisi.
Klasifikasi ini terdiri dari Child A, B dan C. Klasifikasi Child-Pugh berkaitan dengan
kelangsungan hidup. Angka kelangsungan hidup selama satu tahun untuk pasien dengan Child A,
B dan C berturut-turut 100, 80 dan 45%.

Tabel 1. Klasifikasi Child-Pugh untuk Sirosis Hati

Pencegahan

Cara terbaik untuk mencegah terjadinya sirosis hati adalah mencegah berdasarkan etiologinya.
Untuk mencegah hepatitis B adalah degan melakukan vaksinasi. Dua jenis vaksin tersedia adalah
Recombivax HB dan Energix-B.7 Kedua vaksin membutuhkan tiga suntikan yang diberikan
selama jangka waktu enam bulan. Efek samping, bila terjadi, biasanya ringan dan dapat termasuk
rasa sakit pada daerah suntikan dan gejala mirip flu yang ringan. Juga tersedia vaksin kombinasi
terhadap HAV dan HBV (Twinrix), yang menawarkan manfaat tambahan yaitu pemberian
perlindungan terhadap kedua infeksi virus.3

Dengan tiadanya vaksin terhadap hepatitis C, cara terbaik untuk mencegah infeksi adalah untuk
mengurangi risiko tersentuh oleh darah orang lain. Hal ini juga berlaku untuk orang yang sudah
terinfeksi HCV, agar menghindari penularan kepada orang lain. Cara terbaik untuk menghindari
faktor risiko terbesar terhadap penularan HCV adalah untuk menghentikan penggunaan narkoba
suntikan – atau tidak memulai. Jangan memakai sikat gigi, alat cukur, pemotong kuku, atau alat
lain yang mungkin terkena darah secara bergantian. Bila ingin dilakukan tato atau tindikan lain,
pastikan dilakukan oleh ahli yang dapat dipercaya, dan dengan cara yang bersih.11
Untuk menghindari sirosis hati antara lain adalah kurangi konsumsi alkohol atau tidak
mengkonsumsi sama sekali. Meskipun kadar alkohol yang boleh mengakibatkan sirosis hati adalah
sangat tinggi dan mengambil masa sekitar 10 tahun untuk timbul, tetapi sekiranya seseorang
terinfeksi virus hepatitis, konsumsi alkohol akan mempercepat proses sirosis hati.

Asetaminofen terutama dengan dosis tinggi (2000mg per hari), dapat meracuni hati. Asetaminofen
dikandungkan dalam banyak macam obat, jadi baca etiket dengan seksama. Maka dari itu penting
untuk mengontrol pemakaian asetaminofen. Makan diet yang seimbang dengan sayuran segar,
buah-buahan, daging tidak berlemak. Kurangi makanan dengan kandungan garam, gula atau lemak
yang tinggi. Selain itu, minum banyak air – untuk membilas racun dari tubuh.11

Kesimpulan

Penyakit sirosis merupakan penyakit kronis yang memiliki prognosis buruk, pengobatan hanya
dapat mengobati gejala simptomatik dan memperlambat perburukan organ hati ini. Namun sirosis
hati yang terkompensasi mempunyai prognosis yang baik sehingga ketepatan diagnosa dan
penanganan yang tepat sangat dibutuhkan dalam penatalaksanaan sirosis hepatis.

Daftar pustaka

1. Baradero M, Dayrit MW, Siswandi Y. Klien gangguan hati: seri asuhan keperawatan.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2008.
2. Moore KL, Agur AMR. Anatomi klinis dasar. Jakarta: Hipokrates; 2002. h. 98-109.
3. Sudoyo AW et al. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jilid I dan II. Jakarta: Interna Publishing;
2009.
4. Bickley LS. Bates’ guide to physical examination and history taking. 11th ed. China: Wolters
Kluwer Health 2013;h.115-208
5. Jonathan Gleadle. At a glance anamnesis dan pemeriksaan fisik. Edisi ke-1. Erlangga
Medical Series:2007.h. 154-5.
6. Dacre, Jane dan Kopelman, Peter. Buku saku keterampilan klinis. Jakarta: EGC; 2005.h.109-
134.
7. Nurdjanah S. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Ed ke-6 jilid 2. Jakarta: Interna Publishing;
2009.h.1978-83.
8. Sylvia Anderson P, Lorraine McCarty W. Patofisiologi konsep-konsep klinis penyakit. Ed
ke-6. Jakarta: EGC; 2005.h. 235-40.
9. Ndraha S. Bahan ajar gastroenterohepatologi. Jakarta: Biro Publikasi Fakultas Kedokteran
UKRIDA;2012.h. 157-74.
10. Horn T, Learned J. Viral hepatitis and HIV. Jakarta: Yayasan Spiritia; 2005.h.5-39.
11. Sherwood Lauralee .Fisiologi manusia dari sel ke sistem. Ed2. Jakarta:EGC.2003.h.537-9.
12. Hepatitis B and hepatitis C. University of Washington. May 2012. Available from:
http://depts.washington.edu/hepstudy/hepB/clindx/serology/discussion.html. Last accessed
on June 06,2014

Anda mungkin juga menyukai