Anda di halaman 1dari 32

MAKALAH STRATEGI BELAJAR

MATEMATIKA

Dosen Pengampu :

Prof. Dr. Sahat Saragih, M.Pd.

Disusun Oleh :
Kelompok 4 :
 M. Yusril Ramadan Lubis ( 4183111082 )
 Stephanie Febrianty Ginting ( 4183111069 )
 Zihan Anju Sonia Purba ( 4183311022 )

JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGEAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, berkat
rahmat dan hidayat-Nya kami dapat menyelesaikan. Makalah ini untuk memenuhi tugas Strategi
Belajar Matematika.

Oleh karena itu, kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Sahat Saragih,
M.Pd selaku dosen Strategi Belajar Matematika di Universitas Negeri Medan yang telah
memberikan banyak bimbingan kepada kami selama proses pembelajaran mata kuliah ini.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna, oleh karena itu, kami
meminta maaf jika ada kesalahan dalam penulisan dan kami mengharapkan kritik dan saran yang
membangun untuk kesempurnaan tugas ini. Semoga dapat bermanfaat dan bisa menambah
pengetahuan kita semua.

Medan, September 2019

Kelompok 4

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................................................................. i


DAFTAR ISI................................................................................................................................................ ii
A. THORNDIKE ...................................................................................................................................... 1
B. PAVLOV.............................................................................................................................................. 3
C. SKINNER ............................................................................................................................................ 7
D. BANRUDA......................................................................................................................................... 12
E. AUSUBLE.......................................................................................................................................... 15
F. GAGNE .............................................................................................................................................. 18
G. PIAGET ............................................................................................................................................. 22
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................................ 27

ii
A. THORNDIKE
Edward Lee Thorndike ialah seorang fungsionalis. Thorndike (1874-1949) mendapat gelar
sarjananya dari Wesleyan University di Connecticut pada tahun 1895, dan master dari
Hardvard pada tahun 1897. Ketika di sana, Thorndike mengikuti kelasnya Williyams James
dan mereka pun menjadi akrab. Thorndike menerima beasiswa di Colombia, dan dapat
menyelesaikan gelar PhD-nya tahun 1898. Kemudian dia tinggal dan mengajar di Colombiaa
sampai pensiun tahun 1940. Thorndike berhasil menerbitkan suatu buku yang berjudul
“Animal intelligence, An experimental study of associationprocess in Animal”. Buku tersebut
merupakan hasil penelitian Thorndike terhadap tingkah beberapa jenis hewan seperti kucing,
anjing, dan burung yang mencerminkan prinsip dasar dari proses belajar yang dianut oleh
Thorndike yaitu bahwa dasar dari belajar (learning) tidak lain sebenarnya adalah asosiasi.
Percobaan Thorndike yang terkenal dengan binatang coba kucing yang telah dilaparkan
dan diletakkan di dalam sangkar yang tertutup dan pintunya dapat dibuka secara otomatis
apabila kenop yang terletak di dalam sangkar tersebut tersentuh. Percobaan tersebut
menghasilkan teori “trial and error” atau “selecting and conecting”, yaitu bahwa belajar itu
terjadi dengan cara mencoba-coba dan membuat salah. Dalam melaksanakan coba-coba ini,
kucing tersebut cenderung untuk meninggalkan perbuatan-perbuatan yang tidak mempunyai
hasil.

Sumber : Suryabrata, S. 1995. Psikologi Pendidikan.

Adapun beberapa ciri-ciri belajar menurut Thorndike (Kartika, 2013: 6), antara lain :
a. Ada motif pendorong aktivitas.
b. Ada berbagai respon terhadap sesuatu.
c. Ada eliminasi respon-respon yang gagal atau salah.
d. Ada kemajuan reksi-reaksi mencapai tujuan dari penelitiannya itu.

Setiap respon menimbulkan stimulus yang baru, selanjutnya stimulus baru ini akan
menimbulkan response lagi, demikian selanjutnya, sehingga dapat digambarkan sebagai
berikut :
S → R → S1 → R1 → dst.
Dalam percobaan tersebut apabila di luar
sangkar diletakkan makanan, maka kucing
berusaha untuk mencapainya dengan cara
meloncat-loncat kian kemari. Dengan tidak
tersengaja kucing telah menyentuh kenop,
maka terbukalah pintu sangkar tersebut, dan
kucing segera lari ke tempat makan.
Percobaan ini diulangi untuk beberapa kali,
dan setelah kurang lebih 10 sampai dengan

1
12 kali, kucing baru dapat dengan sengaja menyentuh kenop tersebut apabila di luar diletakkan
makanan.

Sumber : Burhanuddin, dkk. 2008. Teori Belajar dan Pembelajaran, Yogyakarta An-Ruzz Media.

Dari percobaan ini Thorndike menemukan hukum-hukum belajar sebagai berikut :


 Hukum law of readiness (kesiapan), yaitu semakin siap suatu organisme memperoleh
suatu perubahan tingkah laku, maka pelaksanaan tingkah laku tersebut akan menimbulkan
kepuasan individu sehingga asosiasi cenderung diperkuat.
Prinsip pertama teori koneksionisme, belajar merupakan suatu kegiatan
membentuk asosiasi (connection) antara kesan panca indera dengan kecenderungan
bertindak. Misalnya, jika anak merasa senang atau tertarik pada kegiatan menggambar,
maka ia akan cenderung mengerjakannya. Apabila hal ini dilaksanakan, ia akan merasa
puas dan belajar dengan menggambar akan menghasilkan prestasi yang memuaskan.
a. Masalah pertama, hukum law of readiness adalah jika kecenderungan bertindak dan
orang melakukannya, maka ia akan merasa puas. Akibatnya, ia tak akan melakukan
tindakan lain.
b. Masalah kedua, jika ada kecenderungan bertindak, tetapi ia tidak melakukannya,
maka timbul lah rasa ketidakpuasan. Akibatnya, ia akan melakukan tindakan lain
untuk mengurangi atau meniadakan ketidakpuasannya.
c. Masalah ketiga, adalah bila tidak ada kecenderungan bertindak padahal ia
melakukannya, maka timbul lah ketidakpuasan. Akibatnya, ia akan melakukan
tindakan lain untuk mengurangi atau meniadakan ketidakpuasannya.
 Hukum law of exercise (latihan), yaitu semakin sering tingkah laku diulang/dilatih
(digunakan), maka asosiasi tersebut akan semakin kuat. Prinsip law of exercise adalah
koneksi antara kondisi (yang merupakan perangsang) dengan tindakan akan menjadi lebih
kuat karena latihan-latihan, tetapi akan melemah bila koneksi antara keduanya tidak
dilanjutkan atau dihentikan.
 Hukum law of effect (akibat), Hukum akibat Thorndike mengemukakan (Dahar, 2011:18)
jika suatu tindakan diikuti oleh suatu perubahan yang memuaskan dalam lingkungan,
kemungkinan tindakan itu diulangi dalam situasi yang mirip akan meningkat. Akan tetapi,
bila suatu perilaku diikuti oleh suatu perubahan yang tidak memuaskan dalam lingkungan,
kemungkinan perilaku itu diulangi akan menurun. Jadi konsekuensi perilaku seseorang
pada suatu waktu memegang peranan penting dalam menentukan perilaku orang itu
selanjutnya.

Sumber : Santrock, John W. 2014. Psikologi Pendidikan Educational Psychology. Jakarta: Salemba Humanika.

Menurut Thorndike (Ayuni, 2011: 9) ada tiga keadaan yang menunjukkan berlakunya
hukum ini, yaitu :
a. Bila pada organisme adanya kesiapan untuk bertindak atau berprilaku, dan bila organisme
itu dapat melakukan kesiapan tersebut, maka organisme akan mengalami kepuasan.

2
b. Bila pada organisme ada kesiapan organisme untuk bertindak atau berperilaku, dan
organisme tersebut tidak dapat melaksanakan kesiapan tersebut, maka organisme akan
mengalami kekecewaan.
c. Bila pada organisme tidak ada persiapan untuk bertindak dan organisme itu dipaksa untuk
melakukannya maka hal tersebut akan menimbulkan keadaan yang tidak memuaskan.

B. PAVLOV
Ivan Petrovich Pavlov (1849-1936) adalah seorang behavioristik terkenal dengan teori
pengkondisian asosiatif stimulus-respons dan hal ini yang dikenang darinya hingga kini.
Classic conditioning (pengkondisian atau persyaratan klasik) adalah proses yang ditemukan
Pavlov melalui percobaannya terhadap anjing, dimana perangsang asli dan netral dipasangkan
dengan stimulus bersyarat secara berulang-ulang sehingga memunculkan reaksi yang
diinginkan.
Ia menemukan bahwa ia dapat menggunakan stimulus netral, seperti sebuah nada atau sinar
untuk membentuk perilaku (respons). Eksperimen-eksperimen yang dilakukan Pavlov dan ahli
lain tampaknya sangat terpengaruh pandangan behaviorisme, dimana gejala-gejala kejiwaan
seseorang dilihat dari perilakunya. Hal ini sesuai dengan pendapat Bakker bahwa yang paling
sentral dalam hidup manusia bukan hanya pikiran, peranan maupun bicara, melainkan tingkah
lakunya. Pikiran mengenai tugas atau rencana baru akan mendapatkan arti yang benar jika ia
berbuat sesuatu.Bertitik tolak dari asumsinya bahwa dengan menggunakan rangsangan-
rangsangan tertentu, perilaku manusia dapat berubah sesuai dengan apa yang di inginkan.
Kemudian Pavlov mengadakan eksperimen dengan menggunakan binatang (anjing) karena ia
menganggap binatang memiliki kesamaan dengan manusia. Namun demikian, dengan segala
kelebihannya, secara hakiki manusia berbeda dengan binatang.

Sumber : Bell, Margareth E. 1994. Belajar dan Membelajarkan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Eksperimen Pavlov :
Berikut adalah tahap-tahap
eksperimen dan penjelasan dari
gambar diatas :
 Gambar pertama. Dimana
anjing, bila diberikan sebuah
makanan (UCS) maka secara otonom
anjing akan mengeluarkan air liur
(UCR).
 Gambar kedua. Jika anjing
dibunyikan sebuah bel maka ia tidak
merespon atau mengeluarkan air liur.

3
 Gambar ketiga.Sehingga dalam eksperimen ini anjing diberikan sebuah makanan (UCS)
setelah diberikan bunyi bel (CS) terlebih dahulu, sehingga anjing akan mengeluarkan air
liur (UCR) akibat pemberian makanan.
 Gambar keempat. Setelah perlakukan ini dilakukan secara berulang-ulang, maka ketika
anjing mendengar bunyi bel (CS) tanpa diberikan makanan, secara otonom anjing akan
memberikan respon berupa keluarnya air liur dari mulutnya (CR).

Sumber : Budiningsih, C. Asri, 2003. Belajar dan Pembelajaran. Penerbit Rineka Cipta Jakarta.

Pavlov mengemukakan empat peristiwa eksperimental dalam proses akuisisi dan


penghapusan sebagai berikut :
 Stimulus tidak terkondisi (UCS), suatu peristiwa lingkungan yang melalui kemampuan
bawaan dapat menimbulkan refleks organismik. Contoh: makanan
 Stimulus terkondisi (CS), Suatu peristiwa lingkungan yang bersifat netral dipasangkan
dengan stimulus tak terkondisi (UCS). Contoh: Bunyi bel adalah stimulus netral yang di
pasangkan dengan stimulus tidak terkondisi berupa makanan.
 Respons tidak terkondisi (UCR), refleks alami yang ditimbulkan secara otonom atau
dengan sendirinya. Contoh: mengeluarkan air liur
 Respos terkondisi (CR), refleks yang dipelajari dan muncul akibat dari penggabungan
CS dan US. Contoh: keluarnya air liur akibat penggabungan bunyi bel dengan makanan.
Kesimpulan yang didapat dari percobaan ini adalah bahwa tingkah laku sebenarnya
tidak lain daripada rangkaian refleks berkondisi, yaitu refleks-refleks yang terjadi setelah
adanya proses kondisioning (conditioning process) di mana refleks-refleks yang tadinya
dihubungkan dengan rangsang-rangsang tak berkondisi lama-kelamaan dihubungkan
dengan rangsang berkondisi. Dengan kata lain, gerakan-gerakan refleks itu dapat dipelajari,
dapat berubah karena mendapat latihan. Sehingga dengan demikian dapat dibedakan dua
macam refleks, yaitu refleks wajar (unconditioned refleks)-keluar air liur ketika melihat
makanan yang lezat dan refleks bersyarat atau refleks yang dipelajari (conditioned refleks)-
keluar air liur karena menerima atau bereaksi terhadap suara bunyi tertentu.
Dari eksperimen yang dilakukan Pavlov terhadap seekor anjing menghasilkan hukum-
hukum belajar, diantaranya:
 Law of Respondent Conditioning yakni hukum pembiasaan yang dituntut. Jika dua
macam stimulus dihadirkan secara simultan (yang salah satunya berfungsi sebagai
reinforcer), maka refleks dan stimulus lainnya akan meningkat.
 Law of Respondent Extinction yakni hukum pemusnahan yang dituntut. Jika refleks
yang sudah diperkuat melalui Respondent conditioning itu didatangkan kembali tanpa
menghadirkan reinforcer, maka kekuatannya akan menurun
Demikianlah maka menurut teori conditioning belajar itu adalah suatu proses perubahan
yang terjadi karena adanya syarat-syarat (conditions) yang kemudian menimbulkan reaksi
(response). Untuk menjadikan seseorang itu belajar haruslah kita memberikan syarat-syarat
tertentu. Yang terpenting dalam belajar menurut teori conditioning ialah adanya latihan-

4
latihan yang continue (terus-menerus). Yang diutamakan dalm teori ini adalah hal belajar
yeng terjadi secara otomatis.
Menilik psikologi behavioristik menggunakan suatu pendekatan ekperimental,
refleksiologis objektif Pavlov tetap merupakan model yang luar biasa dan tidak tertandingi.

Sumber : Dwijandono dan Sri Esti Wuryani. 1989. Psikologi Pendidikan. Jakarta : Depdikbud

Penganut teori ini mengatakan bahwa segala tingkah laku manusia juga tidak lain adalah
hasil daripada conditioning. Yaitu hasil daripada latihan-latihan atau kebiasaan-kebiasaan
mereaksi terhadap syarat-syarat atau perangsang-perangsang tertentu yang dialaminya
dalam kehidupannya. Proses belajar yang digambarkan seperti itu menurut Pavlov terdiri
atas pembentukan asosiasi antara stimulus dan respons refleksif. Dasar penemuan Pavlov
tersebut, menurut J.B. Watson diberi istilah Behaviorisme. Watson berpendapat bahwa
perilaku manusia harus dipelajari secara objektif. la menolak gagasan mentalistik yang
bertalian dengan bawaan dan naluri. Watson menggunakan teori Classical
Conditioning untuk semuanya yang bertalian dengan pembelajaran. Pada umumnya ahli
psikologi mendukung proses mekanistik. Maksudnya kejadian lingkungan secara otomatis
akan menghasilkan tanggapan. Proses pembelajaran itu bergerak dengan pandangan secara
menyeluruh dari situasi menuju segmen (satuan bahasa yang diabstraksikan dari kesatuan
wicara atau teks) bahasa tertentu. Materi yang disajikan mirip dengan metode dengar ucap.

Ternyata dalam kehidupan sehari-hari ada situasi yang sama seperti pada anjing.
Sebagai contoh, suara lagu dari penjual es krim yang berkeliling dari rumah ke
rumah.Awalnya mungkin suara itu asing, tetapi setelah si pejual es krim sering lewat, maka
nada lagu tersebut bisa menerbitkan air liur apalagi pada siang hari yang panas.Bayangkan,
bila tidak ada lagu tersebut betapa lelahnya si penjual berteriak-teriak menjajakan
dagangannya. Contoh lain adalah bunyi bel di kelas untuk penanda waktu atau tombol
antrian di bank. Tanpa disadari, terjadi proses menandai sesuatu yaitu membedakan bunyi-
bunyian dari pedagang makanan(rujak, es, nasi goreng, siomay) yang sering lewat di rumah,
bel masuk kelas-istirahat atau usai sekolah dan antri di bank tanpa harus berdiri
lama.Contohlain adalahuntuk menambah kelekatan dengan pasangan, Jika anda mempunyai
pasangan yang “sangat suka (UCR)” dengan coklat (UCS). Disetiap anda bertemu (CS)
dengan kekasih anda maka berikanlah sebuah coklat untuk kekasih anda, secara otonom dia
akan sangat suka dengan coklat pemberian anda. Berdasarkan teori, ketika hal itu dilakukan
secara berulang-ulang, selanjutnya cukup dengan bertemu dengan anda tanpa memberikan
coklat, maka secara otonom pasangan anda akan sangat suka (CR) dengan anda, hal ini dapat
terjadi karena pembentukan perilaku antara UCS, CS, UCR, dan CR seperti ekperimen yang
telah dilakukan oleh pavlov. Contoh lain bunyi bel di kelas untuk penanda waktu atau tombol
antrian di bank. Tanpa disadari, terjadi proses menandai sesuatu yaitu membedakan bunyi-
bunyian dari pedagang makanan (rujak, es, nasi goreng, siomay) yang sering lewat di rumah,
bel masuk kelas-istirahat atau usai sekolah dan antri di bank tanpa harus berdiri lama.

5
Dari contoh tersebut dapat diketahui bahwa dengan menerapkan strategi Pavlov ternyata
individu dapat dikendalikan melalui cara mengganti stimulus alami dengan stimulus yang
tepat untuk mendapatkan pengulangan respon yang diinginkan, sementara individu tidak
menyadari bahwa ia dikendalikan oleh stimulus yang berasal dari luar dirinya.

Sumber : Hanafy, Muth. Saint. 2014. Konsep Belajar Dan Pembelajaran. (Jurnal Lentera Pendidikan)
VOL. 17 NO.1 JUNI 2014 : 66-79.

Hal-hal yang harus diperhatikan dalam menerapkan teori belajar menurut Pavlov adalah
ciri-ciri kuat yang mendasarinya yaitu :
1. Mementingkan pengaruh lingkungan
2. Mementingkan bagian-bagian
3. Mementingkan peranan reaksi
4. Mengutamakan mekanisme terbentuknya hasil belajar melalui prosedur stimulus respon
5. Mementingkan peranan kemampuan yang sudah terbentuk sebelumnya
6. Mementingkan pembentukan kebiasaan melalui latihan dan pengulangan
7. Hasil belajar yang dicapai adalah munculnya perilaku yang diinginkan.

Sumber : Usman, Moh. Uzer dan Lilis Setiawati. 1993. Upaya Optimalisasi Kegiatan Belajar Mengajar.
Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Sebagai konsekuensi teori ini, para guru yang menggunakan paradigma Pavlov akan
menyusun bahan pelajaran dalam bentuk yang sudah siap, sehingga tujuan pembelajaran
yang harus dikuasai siswa disampaikan secara utuh oleh guru. Guru tidak banyak memberi
ceramah, tetapi instruksi singkat yng diikuti contoh-contoh baik dilakukan sendiri maupun
melalui simulasi. Bahan pelajaran disusun secara hierarki dari yang sederhana sampai pada
yang kompleks.
Tujuan pembelajaran dibagi dalam bagian kecil yang ditandai dengan pencapaian suatu
keterampilan tertentu. Pembelajaran berorientasi pada hasil yang dapat diukur dan diamati.
Kesalahan harus segera diperbaiki. Pengulangan dan latihan digunakan supaya perilaku yang
diinginkan dapat menjadi kebiasaan. Hasil yang diharapkan dari penerapan teori belajar
Pavlov ini adalah tebentuknya suatu perilaku yang diinginkan. Perilaku yang diinginkan
mendapat penguatan positif dan perilaku yang kurang sesuai mendapat penghargaan
negatif.Evaluasi atau penilaian didasari atas perilaku yang tampak.
kritik terhadap teori belajar Pavlov adalah pembelajaran siswa yang berpusat pada guru,
bersifaat mekanistik, dan hanya berorientasi pada hasil yang dapat diamati dan diukur. Kritik
ini sangat tidak berdasar karena penggunaan teori Pavlov mempunyai persyaratan tertentu
sesuai dengan ciri yang dimunculkannya. Tidak setiap mata pelajaran bisa memakai metode
ini, sehingga kejelian dan kepekaan guru pada situasi dan kondisi belajar sangat penting
untuk menerapkan kondisi behavioristik.
Metode Pavlov ini sangat cocok untuk perolehan kemampuan yang membutuhkan
praktek dan pembiasaan yang mengandung unsur-unsur seperti: kecepatan, spontanitas,

6
kelenturan, reflek, daya tahan dan sebagainya, contohnya: percakapan bahasa asing,
mengetik, menari, menggunakan komputer, berenang, olahraga dan sebagainya. Teori ini
juga cocok diterapkan untuk melatih anak-anak yang masih membutuhkan dominansi peran
orang dewasa, suka mengulangi dan harus dibiasakan, suka meniru dan senang dengan
bentuk-bentuk penghargaan langsung seperti diberi permen atau pujian.
Penerapan teori belajar Pavlov yang salah dalam suatu situasi pembelajaran juga
mengakibatkan terjadinya proses pembelajaran yang sangat tidak menyenangkan bagi siswa
yaitu guru sebagai sentral, bersikap otoriter, komunikasi berlangsung satu arah, guru melatih
dan menentukan apa yang harus dipelajari murid. Murid dipandang pasif, perlu motivasi dari
luar, dan sangat dipengaruhi oleh penguatan yang diberikan guru. Murid hanya
mendengarkan dengan tertib penjelasan guru dan menghafalkan apa yang didengar dan
dipandang sebagai cara belajar yang efektif.
Kelemahan dari teori conditioning ini adalah, teori ini mengangaap bahwa belajar itu
hanyalah terjadi secarab otomatis, keaktifan dan penentuan pribadi dalam tidak
dihiraukannya. Peranan latihan atau kebiasaan terlalu ditonjolkan. Sedangkan kita tidak tahu
bahwa dalam bertindak dan berbuat sesuatu manusia tidak semata-mata tergantung kepada
pengaruh dari luar. Aku atau pribadinya sendiri memegang peranan dalam memilih dan
menentukan perbuatan dan reaksi apa yang akan dilakukannya. Teori conditioning ini
memang tepat kalau kita hubungkan dengan kehidupan binatang. Pada manusia teori ini
hanya dapat kita terima dalam hal-hal belajar tertentu. Umpamanya dalam belajar yang
mengenai skills (kecekatan-kecekatan) tertentu dan mengenai pembiasaan pada anak-anak
kecil.

Sumber : Davies, Ivon K. 1987. Pengelolaan Belajar. Jakarta: Rajawali Pers.

C. SKINNER
Pada awal abad ke-19 teori belajar yang berkembang pesat dan memberi banyak
sumbangan terhadap para ahli psikologi adalah teori belajar tingkah laku (behaviorisme) yang
awal mulanya dikembangkan oleh psikolog Rusia Ivan Pavlav (tahun 1900-an) dengan
teorinya yang dikenal dengan istilah pengkondisian klasik (classical conditioning) dan
kemudian teori belajar tingkah laku ini dikembangkan oleh beberapa ahli psikologi yang lain
seperti Edward Thorndike, B.F Skinner dan Gestalt.
Asas pengkondisian operan B.F
Skinner dimulai awal tahun 1930-an, pada
waktu keluarnya teori S-R. Pada waktu
keluarnya teori-teori S-R. pada waktu itu
model kondisian klasik dari Pavlov telah
memberikan pengaruh yang kuat pada
pelaksanaan penelitian. Istilah-istilah
seperti cues (pengisyratan), purposive

7
behavior (tingkah laku purposive) dan drive stimuli (stimulus dorongan) dikemukakan untuk
menunjukkan daya suatu stimulus untuk memunculkan atau memicu suatu respon tertentu.
Skinner tidak sependapat dengan pandangan S-R dan penjelasan reflex bersyarat dimana
stimulus terus memiliki sifat-sifat kekuatan yang tidak mengendur. Menurut Skinner
penjelasan S-R tentang terjadinya perubahan tingkah laku tidak lengkap untuk menjelaskan
bagaimana organisme berinteraksi dengan lingkungannya. Bukan begitu, banyak tingkah laku
menghasilkan perubahan atau konsekuensi pada lingkungan yang mempunyai pengaruh
terhadap organisme dan dengan begitu mengubah kemungkinan organisme itu merespon nanti.
Asas-asas kondisioning operan adalah kelanjutan dari tradisi yang didirikan oleh John
Watson. Artinya, agar psikologi bisa menjadi suatu ilmu, maka studi tingkah laku harus
dijadikan fokus penelitian psikologi. Tidak seperti halnya teoritikus-teoritikus S-R lainnya,
Skinner menghindari kontradiksi yang ditampilkan oleh model kondisioning klasik dari Pavlov
dan kondisioning instrumental dari Thorndike. Ia mengajukan suatu paradigma yang
mencakup kedua jenis respon itu dan berlanjut dengan mengupas kondisi-kondisi yang
bertanggung jawab atas munculnya respons atau tingkah laku operan.

Sumber : Arie Asnaldi, 2005. Teori –Teori belajar.

Inti dari teori behaviorisme Skinner adalah Pengkondisian operan (kondisioning operan).
Pengkondisian operan adalah sebentuk pembelajaran dimana konsekuensi-konsekuensi dari
prilaku menghasilkan perubahan dalam probabilitas prilaku itu akan diulangi. Ada 6 asumsi
yang membentuk landasan untuk kondisioning operan (Margaret E. Bell Gredler, hlm 122).
Asumsi-asumsi itu adalah sebagai berikut :
 Belajar itu adalah tingkah laku.
 Perubahan tingkah-laku (belajar) secara fungsional berkaitan dengan adanya perubahan
dalam kejadian-kejadian di lingkungan kondisi-kondisi lingkungan.
 Hubungan yang berhukum antara tingkah-laku dan lingkungan hanya dapat di tentukan
kalau sifat-sifat tingkah-laku dan kondisi eksperimennya di devinisikan menurut fisiknya
dan di observasi di bawah kondisi-kondisi yang di control secara seksama.
 Data dari studi eksperimental tingkah-laku merupakan satu-satunya sumber informasi
yang dapat di terima tentang penyebab terjadinya tingkah laku.

Penguatan boleh jadi kompleks. Penguatan berarti memperkuat. Skinner membagi


penguatan ini menjadi dua bagian :
a. Penguatan positif adalah penguatan berdasarkan prinsif bahwa frekuensi respons
meningkat karena diikuti dengan stimulus yang mendukung (rewarding). Bentuk-bentuk
penguatan positif adalah berupa hadiah (permen, kado, makanan, dll), perilaku (senyum,
menganggukkan kepala untuk menyetujui, bertepuk tangan, mengacungkan jempol), atau
penghargaan (nilai A, Juara 1 dsb).
b. Penguatan negatif, adalah penguatan berdasarkan prinsif bahwa frekuensi respons
meningkat karena diikuti dengan penghilangan stimulus yang merugikan (tidak

8
menyenangkan). Bentuk-bentuk penguatan negatif antara lain: menunda/tidak memberi
penghargaan, memberikan tugas tambahan atau menunjukkan perilaku tidak senang
(menggeleng, kening berkerut, muka kecewa dll).

Satu cara untuk mengingat perbedaan antara penguatan positif dan penguatan
negatif adalah dalam penguatan positif ada sesuatu yang ditambahkan atau diperoleh. Dalam
penguatan negatif, ada sesuatu yang dikurangi atau di hilangkan. Adalah mudah mengacaukan
penguatan negatif dengan hukuman. Agar istilah ini tidak rancu, ingat bahwa penguatan
negatif meningkatkan probabilitas terjadinya suatu prilaku, sedangkan hukuman menurunkan
probabilitas terjadinya perilaku. Berikut ini disajikan contoh dari konsep penguatan positif,
negatif, dan hukuman (J.W Santrock, 274).
Dengan demikian beberapa prinsip belajar yang dikembangkan oleh Skinner antara lain :
o Hasil belajar harus segera diberitahukan kepada siswa, jika salah dibetulkan, jika benar
diberi penguat.
o Proses belajar harus mengikuti irama dari yang belajar.
o Materi pelajaran, digunakan sistem modul.
o Dalam proses pembelajaran, lebih dipentingkan aktivitas sendiri.
o Dalam proses pembelajaran, tidak digunakan hukuman. Namun ini lingkungan perlu
diubah, untuk menghindari adanya hukuman.
o Tingkah laku yang diinginkan pendidik, diberi hadiah, dan sebagainya. Hadiah diberikan
dengan digunakannya jadwal variable rasio reinforcer.
o Dalam pembelajaran, digunakan shaping.
Disamping itu pula dari eksperimen yang dilakukan B.F. Skinner terhadap tikus dan
selanjutnya terhadap burung merpati menghasilkan hukum-hukum belajar, diantaranya :
o Law of operant conditining yaitu jika timbulnya perilaku diiringi dengan stimulus
penguat, maka kekuatan perilaku tersebut akan meningkat.
o Law of operant extinction yaitu jika timbulnya perilaku operant telah diperkuat melalui
proses conditioning itu tidak diiringi stimulus penguat, maka kekuatan perilaku tersebut
akan menurun bahkan musnah.

Sumber : Prasetya Irawan, dkk, 1997. Teori belajar. Dirjen Dikti : Jakarta.

Beberapa aplikasi teori belajar Skinner dalam pembelajaran adalah sebagai berikut :
 Bahan yang dipelajari dianalisis sampai pada unit-unit secara organis.
 Hasil berlajar harus segera diberitahukan kepada siswa, jika salah dibetulkan dan jika
benar diperkuat.
 Proses belajar harus mengikuti irama dari yang belajar.
 Materi pelajaran digunakan sistem modul.
 Tes lebih ditekankan untuk kepentingan diagnostic.
 Dalam proses pembelajaran lebih dipentingkan aktivitas sendiri.

9
 Dalam proses pembelajaran tidak dikenakan hukuman.
 Dalam pendidikan mengutamakan mengubah lingkungan untuk mengindari pelanggaran
agar tidak menghukum.
 Tingkah laku yang diinginkan pendidik diberi hadiah.
 Hadiah diberikan kadang-kadang (jika perlu)
 Tingkah laku yang diinginkan, dianalisis kecil-kecil, semakin meningkat mencapai tujuan.
 Dalam pembelajaran sebaiknya digunakan shaping.
 Mementingkan kebutuhan yang akan menimbulkan tingkah laku operan.
 Dalam belajar mengajar menggunakan teaching machine.
 Melaksanakan mastery learning yaitu mempelajari bahan secara tuntas menurut waktunya
masing-masing karena tiap anak berbeda-beda iramanya. Sehingga naik atau tamat
sekolah dalam waktu yang berbeda-beda. Tugas guru berat, administrasi kompleks.

Sumber : John W. Satrock, 2007. Psikologi Pendidikan. edisi kedua. PT Kencana Media Group: Jakarta.

Banyak aplikasi Pengkondisian operan telah dilakukan diluar riset laboratorium, antara lain
dikelas, rumah, setting bisnis, rumah sakit, dan tempat lain di dunia nyata.
Analisis Perilaku terapan adalah penerapan prinsip pengkondisian operan untuk mengubah
perilaku manusia. Ada tiga penggunaan analisis perilaku yang penting dalam bidang
pendidikan yaitu :
 Meningkatkan perilaku yang diinginkan.
 Menggunakan dorongan (prompt) dan pembentukkan (shaping).
 Mengurangi perilaku yang tidak diharapkan.
 Meningkatkan perilaku yang diharapkan
Lima strategi pengkondisian operan dapat dipakai untuk meningkatkan perilaku anak yang
diharapkan yaitu :
 Memilih Penguatan yang efektif : tidak semua penguatan akan sama efeknya bagi anak.
Analisis perilaku terapan menganjurkan agar guru mencari tahu penguat apa yang paling
baik untuk anak, yakni mengindividualisasikan penggunaan penguat tertentu. Untuk
mencari penguatan yang efektif bagi seorang anak, disarankan untuk meneliti apa yang
memotivasi anak dimasa lalu, apa yang dilakukan murid tapi tidak mudah diperolehnya,
dan persepsi anak terhadap manfaat dan nilai penguatan. Penguatan alamiah seperti pujian
lebih dianjurkan ketimbang penguat imbalan materi, seperti permen, mainan dan uang.
 Menjadikan penguat kontingen dan tepat waktu : agar penguatan dapat efektif,
guru harus memberikan hanya setelah murid melakukan perilaku tertentu. Analisis
perilaku terapan seringkali menganjurkan agar guru membuat pernyataan ”jika…maka”.
penguatan akan lebih efektif jika diberikan tepat pada waktunya, sesegera mungkin setelah
murid menjalankan tindakan yang diharapkan. Ini akan membantu anak melihat hubungan
kontingensi antar-imbalan dan perilaku mereka. Jika anak menyelesaikan perilaku sasaran
(seperti mengerjakan sepuluh soal matematika) tapi guru tidak memberikan waktu

10
bermain pada anak, maka anak itu mungkin akan kesulitan membuat hubungan
kontingensi.
 Memilih jadwal penguatan terbaik : menyusun jadwal penguatan menentukan kapan
suatu respons akan diperkuat. Empat jadwal penguatan utama adalah
o Jadwal rasio tetap: suatu perilaku diperkuat setelah sejumlah respon.
o Jadwal rasio variabel : suatu perilaku diperkuat setelah terjadi sejumlah respon, akan
tetapi tidak berdasarkan basis yang dapat diperidiksi.
o Jadwal interval – tetap : respons tepat pertama setelah beberapa waktu akan diperkuat.
o Jadwal interval – variabel : suatu respons diperkuat setelah sejumlah variabel waktu
berlalu.
 Menggunakan Perjanjian. Perjanjian (contracting) adalah menempatkan kontigensi
penguatan dalam tulisan. Jika muncul problem dan anak tidak bertindak sesuai harapan,
guru dapat merujuk anak pada perjanjian yang mereka sepakati. Analisis perilaku terapan
menyatakan bahwa perjanjian kelas harus berisi masukan dari guru dan murid. Kontrak
kelas mengandung pernyataan ”jika… maka” dan di tandatangani oleh guru dan murid,
dan kemudian diberi tanggal.
 Menggunakan penguatan negatif secara efektif : dalam pengutan negatif, frekuensi
respons meningkat karena respon tersebut menghilangkan stimulus yang
dihindari.seorang guru mengatakan”Pepeng, kamu harus menyelesaikan PR mu dulu
diluar kelas sebelum kamu boleh masuk kelas ikut pembelajaran” ini berarti seorang guru
menggunakan penguatan negatif.

Menggunakan dorongan (prompt) dan pembentukan (shapping)


Prompt (dorongan) adalah stimulus tambahan atau isyarat tambahan yang
diberikan sebelum respons dan meningkatkan kemungkinan respon tersebut akan
terjadi. Shapping (pembentukan) adalah mengajari perilaku baru dengan memperkuat
perilaku sasaran.

Mengurangi perilaku yang tidak diharapkan


Ketika guru ingin mengurangi perilaku yang tidak diharapkan (seperti mengejek,
mengganggu diskusi kelas, atau sok pintar) yang harus dilakukan berdasarkan analisis
perilaku terapan adalah
 Menggunakan Penguatan Diferensial.
 Menghentikan penguatan (pelenyapan).
 Menghilangkan stimuli yang diinginkan.
 Memberikan stimuli yang tidak disukai (hukuman)

Sumber : Margaret E. Bell Gredler, 1994. Belajar dan pembelajaran. PT Raja Grafindo Persada: Jakarta.

11
D. BANRUDA
Albert Bandura dilahirkan pada tanggal 4 Desember 1925 di Mondere Alberta, Canada.
Dia memperoleh gelar Master di bidang psikologi pada tahun 1951 dan setahun kemudian ia
juga meraih gelar doktor (Ph.D). Setahun setelah lulus, ia bekerja di Standford
University. Albert Bandura sangat terkenal dengan teori pembelajaran sosial (Social Learning
TheoryAlbert Baruda mengemukakan bahwa seseorang itu belajar melalui proses meniru.
Maksud meniru disini bukanlah mencontek, tetapi meniru hal-hal yang dilakukan oleh orang
lain.
Albert Bandura sangat terkenal dengan teori pembelajaran social, salah satu konsep dalam
aliran behaviorime yang menekankan pada komponen kognitif dari pemikiran, pemahaman,
dan evaluasi.
i. Teori Pembelajaran Sosial
Teori Pembelajaran Sosial merupakan perluasan dari teori belajar perilaku yang
tradisional (behavioristik). Dalam pandangan belajar social “ manusia “ itu tidak
didorong oleh kekuatan – kekuatan dari dalam dan juga tidak dipengaruhi oleh stimulus
– stimulus lingkungan.
Teori belajar social menekankan bahwa lingkungan – lingkungan yang dihadapkan
pada seseorang secara kebetulan Inti dari pembelajaran social adalah pemodelan
(modelling), dan pemodelan ini merupakan salah satu langkah paling penting dalam
pembelajaran terpadu.
Ada dua jenis pembelajaran melalui pengamatan ,Pertama. Pembelajaran melalui
pengamatan dapat terjadi melalui kondisi yang dialami orang lain. Kedua, pembelajaran
melalui pengamatan meniru perilaku model meskipun model itu tidak mendapatkan
penguatan positif atau penguatan negatif saat mengamati itu sedang memperhatikan
model itu mendemonstrasikan sesuatu yang ingin dipelajari oleh pengamat tersebut dan
mengharapkan mendapat pujian atau penguatan apabila menguasai secara tuntas apa
yang dipelajari itu.

Sumber : Simanjuntak Lisnawaty, Dra, Drs. Poltak Manurung, dan Domi C. Matutina.1992. Metode
Mengajar Matematika. Jakarta. Rineka Cipta.

ii. Teori Peniruan ( Modeling )


Menurut Bandura, sebagian besar tingkah laku manusia dipelajari melalui peniruan
maupun penyajian, contoh tingkah laku ( modeling ). Dalam hal ini orang tua dan guru
memainkan peranan penting sebagai seorang model atau tokoh bagi anak – anak untuk
menirukan tingkah laku membaca.
Menurut Bandura, perlakuan seseorang adalah hasil interaksi faktor dalam
diri(kognitif) dan lingkungan. pandangan ini menjelaskan, beliau telah mengemukakan
teori pembelajaran peniruan, Berdasarkan teori ini terdapat beberapa cara peniruan yaitu
meniru secara langsung. Seterusnya proses peniruan melalui contoh tingkah laku..

12
Proses peniruan yang seterusnya ialah elisitasi. Proses ini timbul apabila seseorang
melihat perubahan pada orang lain.

Sumber : Ratna Wilis Dahar, Prof. 1996. Teori-teori Belajar. Jakarta: Erlangga.

iii. Unsur Utama dalam Peniruan (Proses Modeling/Permodelan)


Menurut teori belajar social, perbuatan melihat saja menggunakan gambaran
kognitif dari tindakan, secara rinci dasar kognitif dalam proses belajar dapat diringkas
dalam 4 tahap , yaitu : perhatian / atensi, mengingat / retensi, reproduksi gerak , dan
motivasi.
 Perhatian (’Attention’)
Subjek harus memperhatikan tingkah laku model untuk dapat mempelajarinya.
Subjek memberi perhatian tertuju kepada nilai, harga diri, sikap, dan lain-lain yang
dimiliki.
 Mengingat (’Retention’)
Subjek yang memperhatikan harus merekam peristiwa itu dalam sistem
ingatannya.
 Reproduksi gerak (’Reproduction’)
Setelah mengetahui atau mempelajari sesuatu tingkahlaku, subjek juga dapat
menunjukkan kemampuannya atau menghasilkan apa yang disimpan dalam bentuk
tingkah laku.
 Motivasi
Motivasi juga penting dalam pemodelan Albert Bandura karena ia adalah
penggerak individu untuk terus melakukan sesuatu.

iv. Ciri – ciri teori Pemodelan Bandura


 Unsur pembelajaran utama ialah pemerhatian dan peniruan
 Tingkah laku model boleh dipelajari melalui bahasa, teladan, nilai dan lain – lain
 Pelajar meniru suatu kemampuan dari kecakapan yang didemonstrasikan guru
sebagai model.
 Pelajar memperoleh kemampuan jika memperoleh kepuasan dan penguatan yang
positif
 Proses pembelajaran meliputi perhatian, mengingat, peniruan, dengan tingkah laku
atau timbal balik yang sesuai, diakhiri dengan penguatan yang positif

Sumber : Hudoyo, Herman.1988.Belajar Mengajar Matematika.Jakarta:Depdikbud

v. Eksperimen Albert Bandura


Eksperimen yang sangat terkenal adalah eksperimen Bobo Doll yang menunjukkan anak
– anak meniru seperti perilaku agresif dari orang dewasa disekitarnya.

13
Eksperimen Pemodelan Bandura :
 Kelompok A = Disuruh memperhatikan sekumpulan orang dewasa memukul,
menumbuk, menendang, dan menjerit kearah patung besar Bobo.
Hasil = Meniru apa yang dilakukan orng dewasa malahan lebih agresif
 Kelompok B = Disuruh memperhatikan sekumpulan orang dewasa bermesra dengan
patung besar Bobo
Hasil = Tidak menunjukkan tingkah laku yang agresif seperti kelompok A
 Rumusan :
Tingkah laku anak – anak dipelajari melalui peniruan / permodelan adalah hasil dari
penguatan.
 Hasil Keseluruhan Eksperimen :
Kelompok A menunjukkan tingkah laku yang lebih agresif dari orang dewasa.
Kelompok B tidak menunjukkan tingkah laku yang agresif.

Sumber : Wiriatmadja Rochiati, Prof, Dr. 2005. Metode Penelitian Tindakan Kelas. Bandung. PT Remaja
rosdakarya.

vi. Jenis – jenis Peniruan (modelling)


 Peniruan Langsung
Ciri khas pembelajaran ini adalah adanya modeling , yaitu suatu fase dimana
seseorang memodelkan atau mencontohkan sesuatu melalui demonstrasi bagaimana
suatu ketrampilan itu dilakukan.
 Peniruan Tak Langsung
Peniruan Tak Langsung adalah melalui imaginasi atau perhatian secara tidak
langsung.
 Peniruan Gabungan
Peniruan jenis ini adalah dengan cara menggabungkan tingkah laku yang berlainan
yaitu peniruan langsung dan tidak langsung.
 Peniruan Sesaat / seketika.
Tingkah laku yang ditiru hanya sesuai untuk situasi tertentu saja.
 Peniruan Berkelanjutan
Tingkah laku yang ditiru boleh ditonjolkan dalam situasi apapun.

Hal lain yang harus diperhatikan bahwa faktor model atau teladan mempunyai
prinsip – prinsip sebagai berikut :
 Tingkat tertinggi belajar dari pengamatan diperoleh dengan cara mengorganisasikan
sejak awal dan mengulangi perilaku secara simbolik kemudian melakukannya
 Individu lebih menyukai perilaku yang ditiru jika sesuai dengan nilai yang
dimilikinya.
 Individu akan menyukai perilaku yang ditiru jika model tersebut disukai dan
dihargai serta perilakunya mempunyai nilai yang bermanfaat.

14
Sumber : Richard I. Arends,2008, learning to teach: belajar untuk mengajar, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

vii. Aplikasi Teori Belajar Bandura dalam Pembelajaran


Proses belajar masih berpusat pada penguatan, hanya terjadi secara langsung dalam
berinteraksi dengan lingkungannya. Motivasi banyak ditentukan oleh kesesuaian antara
karakteristik pribadi pengamat dengan karakteristik modelnya.

Sumber : Erman Suherman. dkk. Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer, (Bandung : Jica,
2001),

viii. Kelemahan Teori Albert Bandura


Teknik pemodelan Albert Bandura adalah mengenai peniruan tingkah laku dan
adakalanya cara peniruan tersebut memerlukan pengulangan dalam mendalami sesuatu
yang ditiru.
Selain itu juga, jika manusia belajar atau membentuk tingkah lakunya dengan hanya
melalui peniruan ( modeling ), sudah pasti terdapat sebagian individu yang menggunakan
teknik peniruan ini juga akan meniru tingkah laku yang negative , termasuk perlakuan
yang tidak diterima dalam masyarakat.

ix. Kelebihan Teori Albert Bandura


Teori Albert Bandura lebih lengkap dibandingkan teori belajar sebelumnya , karena
itu menekankan bahwa lingkungan dan perilaku seseorang dihubungkan melalui system
kognitif orang tersebut. Pendekatan teori belajar social lebih ditekankan pada perlunya
conditioning ( pembiasan merespon ) dan imitation ( peniruan ). Selain itu pendekatan
belajar social menekankan pentingnya penelitian empiris dalam mempelajari
perkembangan anak – anak. Penelitian ini berfokus pada proses yang menjelaskan
perkembangan anak – anak, faktor social dan kognitif.

E. AUSUBLE
David Ausubel (1963) merupakan seorang psikolog pendidikan, melakukan beberapa
penelitian rintisan menarik di waktu yang hampir sama dengan Burner, Ia sangat tertarik
dengan cara mengorganisasikan berbagai ide. Ia menjelaskan bahwa dalam diri seorang pelajar
sudah ada organisasi dan kejalasan tentang pengetahuan dibidang subjek tertentu. Ia menyebut
organisasi ini sebagai struktur kognitif dan percaya bahwa struktur ini menentukan
kemampuan pelajar untuk menangani berbagai ide dan hubungan baru. Makna dapat muncul
dari materi baru hanya bila materi itu terkait dengan struktur kognitif dari pembelajaran
sebelumnya.

Sumber : Soemanto, Wasty. 1998. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta

15
David Ausubel terkenal dengan teori belajar yang dibawanya yaitu teori belajar bermakna
(meaningful learning). Menurut Ausubel belajar bermakna terjadi jika suatu proses
dikaitkannya informasi baru pada konsep-konsep yang relevan yang terdapat dalam struktur
kognitif seseorang, selanjutnya bila tidak ada usaha yang dilakukan untuk mengasimilasikan
pengertian baru pada konsep-konsep yang relevan yang sudah ada dalam struktur kognitif,
maka akan terjadi belajar hafalan. Ia juga menyebutkan bahwa proses belajar tersebut terdiri
dari dua proses yaitu proses penerimaan dan proses penerimaan dan proses penemuan. (Ratna
Wilis Dahar, 2006).

Sumber : Ratna Wilis Dahar, Prof. 1996. Teori-teori Belajar. Jakarta: Erlangga.

 Prinsip dan Karakteristik belajar Menurut Ausubel


i. Belajar Bermakna
Inti dari teori Ausubel tentang belajar ialah belajar bermakna (Ausubel, 1996).
Bagi Ausubel, belajar bermakna merupakan suatu proses mengaitkan informasi baru
pada konsep-konsep relevan yang terdapat dalam struktur kognitif seseorang.
Peristiwa psikologi tentang belajar bermakna menyangkut asimilasi informasi
baru pada pengetahuan yang telah ada dalam struktur kognitif seseorang. Jadi, dalam
belajar bermakna informasi baru diasimilasikan pada subsume-subsumer relevan
yang telah ada dalam struktur kognitif.

ii. Belajar Hafalan


Bila dalam struktur kognitif seseorang tidak terdapat konsep-konsep relevan atau
subsumer-subsumer relevan, maka informasi baru dipelajari secara hafalan. Bila
tidak dilakukan usaha untuk mengasimilasikan pengetahuan baru pada konsep-
konsep yang sudah ada dalam struktur kognitif, akan terjadi belajar hafalan.

Sumber : Drs. Soemanto, Wasty, M.Pd. 2006. Psikologi Pendidikan Landasan Kerja Pemimpin Pendidikan.
Jakarta: Rineka Cipta.

 Langkah-langkah Pembelajaran
Sebelum dimulainya suatu proses belajar, maka penting untuk memperhatikan apa-
apa saja yang telah diketahui siswa, sebab ini merupakan faktor dalam mempengaruhi
keberhasilan belajar. Untuk itu perlu dibuat langkah-langkah pembelajaran agar tidak
terjadi kerancuan dalam kegiatan belajar. Berikut merupakan langkah-langkah
pembelajaran menurut teori Ausubel :
o Menentukan tujuan pembelajaran.
o Melakukan identifikasi karakteristik siswa (kemampuan awwal, motivasi, gaya
belajar, dan sebagainya)
o Memilih materi pelajaran sesuai dengan karakteristik siswa dan mengaturnya dalam
bentuk konsep-konsep inti.

16
o Menentukan topik-topik dan menampilkanya dalam bentuk advance organizer yang
akan dipelajari siswa.
o Mempelajari konsep-konsep inti tersebut, dan menerapkannya dalam bentuk
nyata/konkret.
o Melakukan penilaian proses dan hasil belajar siswa.

 Kegiatan Pembelajaran
Hakikat belajar merupakan suatu aktivitas yang berkaitan dengan penataan
informasi, reorganisasi, perceptual, dan proses internal. Berikut merupakan bentuk
kegiatan kegiatan pembelajaran :
o Siswa bukan sebagai orang dewasa yang muda dalam proses berpikirnya.
o Anak usia pra sekolah dan awal sekolah dasar akan dapat belajar dengan baik,
terutama jika menggunakan benda-benda kongkrit.
o Keterlibatan siswa secara aktif dalam belajar amat dipentingkan, karena hanya dengan
mengaktifkan siswa maka proses asimilasi dan akomodasi pengetahuan dan
pengalaman dapat terjadi dengan baik.
o Untuk menarik minat dan meningkatkan retensi belajar perlu mengaitkan pengalaman
atau informasi baru dengan struktur kognitif yang telah dimiliki si pelajar.
o Pemahaman dan retensi akan meningkat jika materi pelajaran disusun dengan
menggunakan pola atau logika tertentu, dan sederhana ke kompleks.
o Belajar memahami akan lebih bermakna dari pada belajar menghafal.
o Adanya perbedaan individual pada diri siswa perlu diperhatikan, karena faktor ini
sangat mempengaruhi keberhasilan belajar siswa.

 Faktor - faktor yang Mempengaruhi Belajar Bermakna


Faktor-faktor utama yang mempengaruhi belajar bermakna menurut Ausubel
adalah struktur kognitif yang ada, stabilitas dan kejelasan pengetahuan dalam suatu bidang
studi tertentu dan pada waktu tertentu. Seseorang belajar dengan mengasosiasikan
fenomena baru ke dalam skema yang telah ia punya. Dalam prosesnya siswa
mengkonstruksi apa yang ia pelajari dan ditekankan pelajar mengasosiasikan pengalaman,
fenomena, dan fakta-fakta baru kedalam system pengertian yang telah dipunyainya.
Teori belajar bermakna Ausubel ini sangat dekat dengan inti pokok
konstruktivisme. Keduanya menekankan pentingnya siswa mengasosiasikan pengalaman,
fenomena, dan fakta-fakta baru kedalam sistem pengertian yang telah dipunyai. Keduanya
menekankan pentingnya asimilasi pengalaman baru kedalam konsep atau pengertian yang
sudah dipunyai sisw. Keduanya mengandalkan bahwa dalam pembelajaran itu aktif.
Terdapat empat prinsif dalam menerapkan teori belajar bermakna Ausubel yaitu :
 Pengaturan Awal, dalam hal ini hal yang perlu dilakukan adalah mengarahkan dan
membantu mengingat kembali.

17
 Defrensiasi Progresif, dalam hal ini yang perlu dilakukan adalah menyusun konsep
dengan mengajarkan konsep-konsep tersebut dari inklusif kemudian kurang ingklusif
dan yang paling ingklusif.
 Belajar Subordinat, dalam hal ini terjadi bila konsep-konsep tersebut telah dipelajari
sebelumnya.
 Penyesuaian Integratif, dalam hal ini materi disusun sedemikian rupa hingga
menggerakkan hirarki konseptual yaitu ke atas dan ke bawah.

Sumber : Slameto. 2010. Belajar & Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi. Jakarta: Rineka Cipta.

F. GAGNE
Teori belajar Gagne didasarkan pada pembelajaran yang merupakan faktor sangat penting
dalam perkembangan. Perkembangan merupakan hasil kumulatif dari pembelajaran. Menurut
Gagne bahwa dalam pembelajaran terjadi proses penerimaan informasi, untuk kemudian
diolah sehingga menghasilkan keluaran dalam bentuk hasil belajar. Dalam pemrosesan
informasi terjadi adanya interaksi antara kondisi-kondisi internal dan kondisi-kondisi eksternal
individu. Kondisi internal yaitu keadaan dalam diri individu yang diperlukan untuk mencapai
hasil belajar dan proses kognitif yang terjadi dalam individu. Sedangkan kondisi eksternal
adalah rangsangan dari lingkungan yang mempengaruhi individu dalam proses pembelajaran.
Hal ini memunculkan pemikiran Gagne bahwa pembelajaran harus dikondisikan untuk
memunculkan respons yang diharapkan.
Ahli belajar (learning theorist) Gagne telah membagi objek-objek matematika yang
diperoleh siswa menjadi objek langsung dan objek tak langsung (Bell, 1978). Objek langsung
adalah fakta (fact), konsep (concept), prinsip (principle), dan keterampilan (skill). Sedangkan
contoh objek tak langsungnya adalah berpikir logis, kemampuan memecahkan masalah, sikap
positif terhadap matematika, ketekunan dan ketelitian. (Fadjar Shodiq dan Nur Amini
Mustajab, 2011: 13). Jadi, objek tak langsung adalah kemampuan yang secara tak langsung
akan dipelajari siswa ketika mereka mempelajari objek langsung matematika.
Pembelajaran adalah suatu sistem yang bertujuan untuk membantu proses belajar siswa,
yang berisi serangkaian peristiwa yang dirancang, disusun sedemikian rupa untuk
mempengaruhi dan mendukung terjadinya proses belajar siswa yang bersifat internal. Gagne
dan Briggs (1979:3) Istilah “pembelajaran” sama dengan “instruction atau “pengajaran”.
Pengajaran mempunyai arti cara mengajar atau mengajarkan. (Purwadinata, 1967:22). Dengan
demikian pengajaran diartikan sama dengan perbuatan belajar (oleh siswa) dan Mengajar (oleh
guru). Kegiatan belajar mengajar adalah satu kesatuan dari dua kegiatan yang searah. Dapat
ditarik kesimpulan bahwa Pembelajaran adalah usaha sadar dari guru untuk membuat siswa
belajar, yaitu terjadinya perubahan tingkah laku pada diri siswa yang belajar, dimana
perubahan itu dengan didapatkannya kemampuan baru yang berlaku dalam waktu yang relatif
lama.

18
Sumber : Miarso, Y. 2004. Menyemai Benih Teknologi Pendidikan. Jakarta: Penerbit Prenada Media.

Konsep adalah ide atau pengertian yang diabstrakkan dari peristiwa konkret (KBBI, 5 88).
Menurut Rosser (dalam Dahar, 2011, hlm. 63) konsep adalah suatu abstraksi yang mewakili
satu kelas objek, kejadian, kegiatan, atau hubungan yanng mempunyai atribut yang
sama. Karena orang mengalami stimulus yang berbeda-beda.
Eggan dan Kauchak (1996) mengemukakan: “Model pencapaian konsep adalah suatu
strategi pembelajaran induktif yang didesain untuk membantu siswa pada semua usia dalam
mempelajari konsep dan melatih pengujian hipotesis”. Model pembelajaran konsep adalah
suatu model pembelajaran yang menekankan pada pemahaman konsep kepada siswa, guru
mengawali pengajaran dengan menyajikan data atau contoh dan yang bukan contoh, kemudian
guru meminta siswa untuk mengamati data atau contoh tersebut dan siswa dibimbing agar
mampu mengidentifikasi ciri-ciri atau karakteristik dari contoh yang diberikan.
Menurut Gagne (dalam Dahar, 2011, hlm.67) belajar konsep merupakan satu bagian dari
suatu hierarki dari delapan bentuk belajar. Bentuk belajar yang dimaksud terdapat pada bentuk
belajar 6, yaitu belajar konsep ekuivalen dengan pembentukan. Asimilasi konsep dapat berupa
bentuk khusus dari belajar aturan, yaitu bentuk 7.

Sumber : Dahar, R. W. 2011. Teori-teori Belajar dan Pembelajaran. : PT Gelora Aksara Pratama.

Tingkatan pencapaian konsep akan berbeda sesuai dengan tingkat usia anak. Dari teori
perkembangan Piaget kita mengetahui bahwa anak-anak yang masih kecil baru dapat belajar
konsep konkret, sedangkan konsep yang lebih sulit atau lebih abstrak dipelajari setelah mereka
besar.
Menurut Gagne penampilan-penampilan yang dapat diamati sebagai hasil-hasil belajar
disebut kapabilitas. Gagne mengemukakan 5 macam kapabilitas, yaitu informasi verbal,
keterampilan intelektual, strategi kognitif, sikap dan keterampilan motorik. Keterampilan
intelektual menurut Gagne dikelompokkan ke dalam delapan tipe, yaitu: belajar isyarat, belajar
stimulus respon, belajar rangkaian gerak, belajar rangkaian verbal, belajar memperbedakan,
belajar pembentukan aturan, dan belajar pemecahan masalah. Menurut Gagne sasaran
pembelajaran adalah kemampuan. Kemampuan yang dimaksudkan di sini adalah hasil perilaku
yang bisa dianalisis. Gagne berpendapat bahwa rangkaian belajar dimulai dari prasyarat yang
sederhana yang kemudian meningkat pada kemempuan kompleks.
Menurut Gagne (dalam Dahar, 2011, hlm. 126) bukan hanya guru yang dapat memberikan
instruksi, namun kejadian-kejadian belajarnya dapat juga diterapkan, baik pada belajar
penemuan, belajar di luar kelas maupun belajar di dalam kelas. Akan tetapi, kejadian-kejadian
instruksi yang dikemukakan Gagne ditujukan pada guru yang menyajiakn suatu pelajaran pada
sekelompok siswa. Kejadian-kejadian intruksi itu adalah sebagai berikut :
 Mengaktifkan motivasi
 Memberi tahu tujuan-tujuan belajar
 Mengarahkan perhatian

19
 Merangsang ingatan
 Menyediakan bimbingan belajar
 Meningkatkan retensi
 Melancarkan transfer belajar
 Mengeluarkan penampilan
 Memberikan umpan balik

 Sistematika ”Delapan TipeBelajar”


Menurut Robert M. Gagne, ada 8 tipe belajar, yaitu :
 Tipe belajar tanda (Signal learning)
Belajar dengan cara ini dapat dikatakan sama dengan apa yang dikemukakan oleh
Pavlov. Semua jawaban/respons menurut kepada tanda/sinyal.
 Tipe belajar rangsang-reaksi (Stimulus-response learning)
Tipe ini hampir serupa dengan tipe satu, namun pada tipe ini, timbulnya respons
juga karena adanya dorongan yang datang dari dalam serta adanya penguatan
sehingga seseorang mau melakukan sesuatu secara berulang-ulang.
 Tipe belajar berangkai (Chaining Learning)
Pada tahap ini terjadi serangkaian hubungan stimulus-respons, maksudnya adalah
bahwa suatu respons pada gilirannya akan menjadi stimulus baru dan selanjutnya akan
menimbulkan respons baru.
 Tipe belajar asosiasi verbal (Verbal association learning)
Tipe ini berhubungan dengan penggunaan bahasa, dimana hasil belajarnya yaitu
memberikan reaksi verbal pada stimulus/perangsang.
 Tipe belajar membedakan (Discrimination learning)
Hasil dari tipe belajar ini adalah kemampuan untuk membeda-bedakan antar
objek-objek yang terdapat dalm lingkungan fisik.
 Tipe belajar konsep (Concept Learning)
Belajar pada tipe ini terutama dimaksudkan untuk memperoleh pemahaman atau
pengertian tentang suatu yang mendasar.
 Tipe belajar kaidah (RuleLearning)
Tipe belajar ini menghasilkan suatu kaidah yang terdiri atas penggabungan
beberapa konsep.
 Tipe belajar pemecahan masalah (Problem solving)
Tipe belajar ini menghasilkan suatu prinsip yang dapat digunakan untuk
memecahkan suatu permasalahan.

 Sistematika “Lima Jenis Belajar”


Sistematika ini tidak jauh berbeda dengan sistematika delapan tipe belajar, dimana
isinya merupakan bentuk penyederhanaan dari sistematika delapan tipe belajar. Kelima

20
kategori hasil belajar tersebut adalah informasi verbal, kemahiran intelektual, pengaturan
kegiatan kognitif, keterampilan motorik, dan sikap.
 Informasi verbal (Verbal information)
Merupakan pengetahuan yang dimiliki seseorang dan dapat diungkapkan dalam
bentuk bahasa, lisan, dan tertulis.
 Kemahiran intelektual (Intellectual skill)
Yang dimaksud adalah kemampuan untuk berhubungan dengan lingkungan hidup
dan dirinya sendiri dalam bentuk suatu representasi, khususnya konsep dan berbagai
lambang/simbol (huruf, angka, kata, dan gambar).
 Pengaturan kegiatan kognitif (Cognitive strategy)
Merupakan suatu cara seseorang untuk menangani aktivitas belajar dan
berpikirnya sendiri, sehingga ia menggunakan cara yang sama apabila menemukan
kesulitan yang sama.
 Keterampilan motorik (Motor skill)
Adalah kemampuan seseorang dalam melakukan suatu rangkaian gerak-gerik
jasmani dalam urutan tertentu, dengan mengadakan koordinasi antara gerak-gerik
berbagai anggota badan secara terpadu.
 Sikap (Attitude)
Merupakan kemampuan seseorang yang sangat berperan sekali dalam mengambil
tindakan, apakah baik atau buruk bagi dirinya sendiri.

 Fase-Fase Belajar
Fase-fase belajar ini berlaku bagi semua tipe belajar. Menurut Gagne, ada 4 buah
fase dalam proses belajar, yaitu :
 Fase penerimaan (apprehending phase)
Pada fase ini, rangsang diterima oleh seseorang yang belajar. Ini ada beberapa
langkah.
 Fase penguasaan (Acquisition phase)
Pada tahap ini akan dapat dilihat apakah seseorang telah belajar atau belum
 Fase pengendapan (Storage phase)
Sesuatu yang telah dimiliki akan disimpan agar tidak cepat hilang sehingga dapat
digunakan bila diperlukan.
 Fase pengungkapan kembali (Retrieval phase)
Apa yang telah dipelajari, dimiliki, dan disimpan (dsalam ingatan) dengan maksud
untuk digunakan (memecahkan masalah) bila diperlukan.

Sumber : Hudoyo, Herman. 1988. Mengajar Belajar Matematika. Jakarta: P2LPTK.

 Implikasi Teori Gagne dalam Pembelajaran


 Mengontrol perhatian siswa.
 Memberikan informasi kepada siswa mengenai hasil belajar yang diharapkan guru.

21
 Merangsang dan mengingatkan kembali kemampuan-kemampuan siswa.
 Penyajian stimuli yang tak bisa dipisah-pisahkan dari tugas belajar.
 Memberikan bimbingan belajar.
 Memberikan umpan balik.
 Memberikan kesempatan pada siswa untuk memeriksa hasil belajar yang telah
dicapainya.
 Memberikan kesempatan untuk berlangsungnya transfer of learning.
 Memberikan kesempatan untuk melakukahn praktek dan penggunaan kemampuan
yang baru diberikan.

Sumber : Bell, Fredrick. 1978. Teaching and Learning Mathematics (in Secondary School). Iowa: Brown
Company Publisher.

G. PIAGET
Jean Piaget lahir pada tanggal 9 Agustus 1896 di Neuchatel, Swiss. Sejak masa remaja, dia
sangat tertarik dengan filsafat. Hal inilah yang mengarahkan minat besarnya kepada
epistomologi, suatu cabang ilmu yang mempelajari tentang pengetahuan. Piaget dikenal
sebagai ahli ilmu jiwa yang juga berhasil memperoleh gelar doctor dalam bidang biologi
(Setiono, 1983 : 12).
Piaget menyakini bahwa proses berfikir anak berbeda dengan orang dewasa. Piaget yakin
bahwa anak bukan merupakan replica dari orang dewasa. Anak bukan hanya berfikir kurang
efisien dibandingkan orang dewasa, melainkan juga berfikir secara berbeda dengan orang
dewasa. Hal inilah yang menyebabkan Piaget yakin bahwa ada tahap perkembangan kognitif
yang berbeda dari mulai anak sampai menjadi orang dewasa (Suparno : 2000). Ia mengadakan
penelitian kepada anak-anak orang barat dimulai dengan penelitian kepada anaknya sendiri.
Dari penelitian itu timbullah teori belajarnya yang biasa disebut “Teori Perkembangan
Mental Manusia”. Perkataan “mental” pada teori itu biasa disebut “intelektual” atau “kognitif”.
Teorinya disebut teori belajar sebab berkenaan dengan kesiapan anak untuk mampu belajar.
Teorinya ini menetapkan ragam dari tahap-tahap perkembangan intelektual manusia dari lahir
samapi dewasa serta ciri-cirinya dari setiap tahap itu (Ruseffendi, 1991 : 132). Menurut teori
Piaget, perkembangan mental manusia itu tumbuh secara kronologis melalui empat tahap yang
berurutan.

Sumber : Ismail. 1998. Kapita Selekta Pembelajaran Matematika. (Modul UT) Jakarta: Dekdikbud.

Empat tahap yang dimaksudkan oleh teori perkembangan kognitif dari Piaget tersebut
adalah sebagai berikut :
 Tahap sensori motor (dari lahir sampai umur sekitar 2 tahun).
 Tahap pra-operasional (umur dari sekitar 2 tahun sampai sekitar 7 tahun).
 Tahap operasi konkret (umur dari sekitar 7 tahun sampai sekitar 12 tahun).
 Tahap operasi formal (umur dari sekitar 12 tahun sampai dewasa).

22
Sumber : Hudoyo, Herman. 1988. Mengajar Belajar Matematika. Jakarta: P2LPTK.

Beberapa ciri utama pada setiap tahapan perkembangan kognitif menurut Piaget adalah
sebagai berikut :

 Tahap Sensori-Motor (Sensori-Motor Stage)


Pada tahap ini anak mengembangkan konsep pada dasrnya melalui interaksi dengan
dunia fisik. Para guru tidak terkait secara langsung dengan anak-anak atau bayi seperti ini.
Namun, para guru perlu mengetahui dan menyadari bahwa sejak usia ini dasar-dasar
pertumbuhan mental dan belajar matematika sudah mulai dikembangkan. Secara lebih
terperinci, beberapa ciri tahap sensori-motor adalah sebagai berikut :
 Anak belajar mengembangkan dan menyelaraskan gerak jasmaninya.
 Anak berfikir/belajar melalui perbuatan dan gerak.
 Anak belajar mengaitkan symbol benda dengan benda konkretnya, hanya masih
sukar. Missal : mengaitkan penglihatan mentalnya dengan penglihatan real dari benda
yang disembunyikan.
 Mulai mengotak-atik benda.

Sumber : Islamuddin, Haryu. 2011. Psikologi Pendidikan. Jember. STAIN PRESS JEMBER.

 Tahap Pra-Operasional (Pre-Operasional Stage)


Pada tahap ini anak sudah menggunakan bahasa untuk menyatakan suatu ide, tetapi
ide tersebut masih sangat tergantung pada persepsinya. Pada tahap ini anak telah mulai
menggunakan simbol, dia belajar untuk membedakan antara kata atau istilah tersebut.
Pada tahap ini anak juga sudah mulai mengenal ide tentang “kekekalan”, “tidak berubah”,
atau “konservasi” yang sederhana, walaupun belum sempurna benar. Anak tidak melihat
abahwa banyaknya objek adalah tetap atau tidak berubah, tanpa memperhatikan susunan
ruang yang ditempati objek tadi. Tahap pra-operasional ini dibagi kedalam tahap berfikir
prakonseptual dan tahap berfikir intuitif (Ruseffendi, 1991). Adapun tahap ini memiliki
ciri-ciri sebagai berikut (Ruseffendi, 1991 ; Bybee, 1982) :
 Sebaran umur dari sekitar tahun 2 tahun sampai sekitar 7 tahun, tahpa berfikir pra-
konseptual sekitar 2-4 tahun, tahap berfikir intuitif sekitar 4-7 tahun.
 Bila kita bandingkan pada tahap ini anak berfikir internal (penghayatan kedalam)
sedangkan pada tahap sensori-motor dengan gerak atau perbuatan. Anak pada tahap
pra-konseptual memungkinkan representasi sesuatu itu dengan bahasa, gambar, dan
khayalan. Penilaian dan perkembangan anak pada tahap berfikir intuitif didasarkan
pada persepsi pengalaman sendiri, bukan kepada penalaran.
 Anak mengkaitkan pengalaman yang ada pada dunia luar dengan pengalaman
pribadinya. Anak mengira pada cara berfikir dan pengalamannya dimiliki pula oleh
orang lain. Misalnya bila ia melihat sebuah gambar terbalik dari sisi meja yang satu,

23
mengira bahwa temannya yang berhadapan dengan dia di sisi lain dari meja itu terlihat
gambar itu terbalik pula. Karena itu kita akan menemukan bahwa anak-anak pada
tahap ini sangat egois (egosentris).
 Anak mengira bahwa benda tiruan memiliki sifat-sifat benda yang sebenarnya
(animisme).
 Anak pada tahap ini tidak dapat membedakan kejadian yang sebenarnya (fakta)
dengan khayalannya (fantasi).
 Anak berpendapat bahwa benda-benda itu berbeda jika kelihatannya berbeda, dengan
kata lain :
 Anak belum memiliki konsep kekekalan banyak.
 Anak belum memiliki konsep kekekalan materi (zat)
 Anak belum memiliki konsep kekekalan panjang
 Anak belum memiliki konsep kekekalan luas
 Anak belum memiliki konsep kekekalan berat
 Anak belum memiliki konsep kekekalan isi
 Pada tahap ini anak kesulitan membalikkan dan mengulang pemikiran
(perbuatan), sehingga anak pada tahap ini kesulitan melakukan operasi invers.
 Anak sulit memikirkan dua aspek atau lebih dari suatu benda secara serempak.
 Anak tidak berfikir induktif maupun deduktif, tetapi anak berfikir transduktif.
 Anak mampu memanipulasi benda konkret.
 Anak mulai dapat membilang menggunakan benda konkret, misalnya jari
tangan.
 Pada tahap akhir ini anak dapat memberikan alas an atas keyakinannya, dapat
mengelompokkan benda berdasarkan satu sifat khusus yang sederhana, dan
mulai dapat memahami konsep yang sederhana.
 Anak belum dapat memahami korespondensi satu-satu untuk memahami
banyaknya (kesamaan dan ketidaksamaan).
 Anak kesulitan memahami konsep ketakhinggaan dan pembagian tak
terbnatas dari sebuah ruas garis atas ruas garis-ruas garis yang lebih kecil
panjangnya.
Mirip dengan ciri ke-12 diatas, Piaget (Crain, 1980) mengemukakan bahwa pada
tahap pra-operasional, anak kesulitan untuk mengklasifikasikan objek secara kompleks.
Misalnya dari 20 bola kayu, 18 bola berwarna coklat dan 2 bola berwarna putih. Ketika
anak ditanya manakah yang lebih banyak, bola kayu atau bola yang berwarna coklat???
Maka anak akan menjawab coklat yang lebih banyak.

Sumber : Fadjar Shodiq dan Nur Amini Mustajab. 2011. Penerapan Teori Belajar dalam Pembelajaran
Matematika di SD. Yogyakarta: PPPPTK Matematika.

24
 Tahap Operasi Konkret (Concrete Operasional Stage)
Selama tahap ini anak mengembangkan konsep dengan menggunakan benda-benda
konkret untuk menyelidiki hubungan dan model-model ide abstrak. Bahasa merupakan
alat yang sangat penting untuk menyatakan dan mengingat konsep-konsep. Pada tahap ini
anak sudfah mulai berfikir logis. Befikir logis ini terjadi sebagai akibat adanya kegiatan
anak memanipulasi benda-benda konkret. Oleh sebab itu pada tahap ini sudah dapat
diterima dengan mantap oleh anak. Sebagai contoh, kita ambil dua gelas yang sama
ukurannya. Masing-masing gelas diisi dengan air yang sama banyak volumenya. Kedua
gelas yang berisi air tersebut ditunjukkan kepada seorang anak. Kita tanyakan kepada dia
“apakah sama ataukah tidak banyaknya air dalam kedua gelas ini???” menurut Jean Piaget,
anak-anak akan menjawab “sama benyaknya”. Selanjutnya, air dalam salah satu gelas tadi
dituangkan semuanya pada sebuah gelas yang tinggi dan garis tengahnya lebih kecil.
Sekarang kedua gelas yang berisi air itu kita tunjukkan kepada anak tadi. Ajukan
pertanyaan yang sama kepada anak itu.
Menurut Jean Piaget, anak akan tetap menjawab sama banyaknya. Alasannya
adalah karena :
 Tampak lebih tinggi,
 Anak menggunakan pikiran logis,
 Anak berada pada tahap berfikir operasi konkret.
Kita juga banyak menjumpai sifat kekekalan pada konsep bilangan, contohnya yaitu :
3 = 1 + 2 = 1 + 1 + 1 = 5 – 2 = 12 : 4 = 1 x 3 = 3
5x4=4x5
0,25 = = 25 % dan lain sebagainya.
Umur anak ketika mulai memahami konsep kekekalan adalah sebagai berikut :
 Konsep kekekalan bilangan, sektar 5 – 7 tahun.
 Konsep kekekalan banyaknya zat, umur 7 – 8 tahun.
 Konsep kekekalan panjang, sekitar 7 – 8 tahun.
 Konsep kekekalan luas, sekitar 8 – 9 tahun.
 Konsep kekekalan berat, sekitar 9 – 10 tahun.
 Konsep kekekalan volume, kadang-kadang mulai pada tahap berfikir formal (11 –
12 tahun).

Selain ciri-ciri diatas, pada tahap operasi konkret anak juga sudah mampu melihat
sudut pandang orang lain dan mengetahui mana benar dan mana salah. Anak juga mulai
senang dengan membuat benda bentukan atau alat-alat mekanis, misalnya membuat mobil-
mobilan dari bamu dan kulit jeruk. Namun pada tahap ini masih cenderung mengalami
kesulitan untuk menjelaskan peribahasa dan belum mampu memahami arti yang
tersembunyi. Satu hal yang perlu dicamkan, tahap operasi konkret bukan berarti pada tahap
ini anak tidak mengerti konsep tanpa benda konkret, akan tetapi disebabkan karena anak-

25
anak pada tahap ini mendapat kesukaran untuk menerapkan proses intelektual formal
kedalam symbol-simbol verbal dan ide-ide abstrak.
Dari awal tahap operasi konkret ini, sampai menjelang tahap operasi formal,
terdapat empat tingkat berfikir yang dilalui oleh anak, yakni :
 Berfikir konkret  Berfikir semi abstrak
 Berfikir semi konkret  Berfikir abstrak
Para siswa sekolah dasar di Indonesia umumnya berumur 6 – 12 tahun. Jadi,
kebanyakan diantara mereka berada pada tahap operasi konkret. Dalam kaitannya dengan
pembelajaran matematika SD, pada tahap ini anak dapat “mengelompokkan” benda-benda
konkret berdaarkan warna, bentuk, atau ukurannya. Misalnya kita menyediakan
sekelompok benda konkret berupa bangun-bangun geometri datar seperti : segitiga,
segiempat, segilima, dan segienam. Setiap bangun geometri tersebut berwarna tertentu,
misalnya berwarna merah, kuning, hijau, biru dan hitam. Kita dapat meminta anak untuk
mengumpulkan bangun geometri yang berwarna merah. Anak juga dapat diminta untuk
mengumpulkan bangun geometri yang berbentuk segitiga. Anak juga dapat mengumpulkan
segitiga yang berwarna merah. Disamping itu, anak juga dapat diminta mengurutkan
segiempat berdasrkan ukurannya, misalnya dari kecil ke besar atau sebaliknya.

 Tahap Operasi Formal (Formal Operational Stage)


Ini merupakan tahap berfikir terakhir dari perkembangan intelektual manusia
menurut Piaget. Ciri-ciri yang tampak antara lain :
 Anak sudah mampu berfikir secara abstrak, tidak memerlukan lagi perantara operasi
konkret untuk menyajikan abstraksi mental secara verbal.
 Dia dapat mempertimbangkan banyak pandangan sekaligus, dapat memandang
perbuatan secara objektif dan merefleksikan proses berfikirnya, serta dapat
membedakan antra argumentasi dan fakta.
 Mulai belajar menyusun hipotesis (perkiraan) sebelum melakukan perbuatan.
 Dapat merumuskan dalil / teori, menggenerasikan hipotesis, serta ampu menguji
bermacam-macam hipotesis.

Operasi formal pada tahap perkembangan mental ini tidak berhubungan dengan ada
atau tidaknya benda-benda konkret, tetapi berhubungan dengan tipe berfikir. Apakah
situasinya disertai dengan benda konkrit atau tidak, tidak menjadi masalah. Piaget
menekankan bahwa proses belajar merupakan suatu proses asimilasi dan akomodasi
informasi kedalam struktur mental. Asimilasi adalah proses terpadunya informasi dan
pengalaman baru kedalam struktur mental. Akomodasi adalah hasil perubahan pikiran
sebagai suatu akibat dari adanya informasi dan pengalaman baru. Ketika para siswa
mempunyai pengalaman baru, mereka secara aktif mencoba menerima ide baru itu dalam
kaitannya dengan pengalaman dan ide-ide lama yang sudah ada.

26
Suatu istilah umum untuk teori belajar Jean Piaget adalah contructivism, karena
kenyakinannya bahwa para siswa mengkonstruksi pikiran mereka sendiri dan bukan
menjadi penerima informasi yang bersifat pasif. Sebagai contoh dalam operasi
penjumlahan, anak sudah memahami bahwa 2 + 3 = 5 dngan memanipulasi benda-benda
konkret yang telah dia kenal. Misalnya dia mempunyai 2 buah jeruk, kakaknya
memberikan 3 buah jeruk lagi kepadanya. Dia kumpulkan jeruk-jeruk tersebut kemudian
membilang banyaknya buah jeruk yang dia miliki saat ini. Dengan pengetahuan dan
pengalaman yang telah dia miliki, dia mampu menyatakan bahwa jumlah jeruknya
sekarang adalah 5 buah. Kini dia dapat memisahkan antara konsep banyaknya jeruk, yaitu
5 buah, yang terdapat pada suatu kumpulan dengan cara-cara jeruk tadi ditata atau diatur,
yaitu 2 dan 3 buah. Oleh sebab itu sekarang dia dapat mengkonstruksikan bahwa 5 sama
dengan 2 + 3. Dengan kata lain, tahap operasi konkret merupakan dasar untuk berfikir
abstrak. Teori ini di sebuut teori belajar karena berkenaan dengan kesiapan anak untuk
mampu belajar dan di sesuaikan dengan tahapan-tahapan perkembangan anak.
Belajar pada anak bukan sesuatu yang sepenuhnya tergantung pada guru melainkan
harus keluar dari anak itu sendiri. Berpegang pada teori ini bila kita menginginkan
perkembangan mental anak lebih cepat memasuki ke tahap yang lebih tinggi dapat di
lakukan dengan memperkaya pengalaman-pengalaman anak terutama pengalaman konkrit,
sebab dasar perkembangan mental(kognitif) adalah melalui pengalaman-pengalaman
berbuat aktif terhadap benda-benda sekeliling, dan perkembangan bahasa merupakan salah
satu kunci untuk mengembangan kognitif anak. Hal ini di pertegas oleh Soepartinah Pakasi
bahwa dalam perkembangan anak, di mana perkembangan kognisinya harus sejalan
dengan perkembangan bahasa sebab perkembangan bahasa dan perkembangan berpikir
saling mempengaruhi.

Sumber : Richard I. Arends,2008, learning to teach: belajar untuk mengajar, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

DAFTAR PUSTAKA

Arie Asnaldi, 2005. Teori –Teori belajar.

Bell, Fredrick. 1978. Teaching and Learning Mathematics (in Secondary School). Iowa: Brown
Company Publisher.

Bell, Margareth E. 1994. Belajar dan Membelajarkan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Budiningsih, C. Asri, 2003. Belajar dan Pembelajaran. Penerbit Rineka Cipta Jakarta.

27
Burhanuddin, dkk. 2008. Teori Belajar dan Pembelajaran, Yogyakarta An-Ruzz Media.

Dahar, R. W. 2011. Teori-teori Belajar dan Pembelajaran. : PT Gelora Aksara Pratama.

Davies, Ivon K. 1987. Pengelolaan Belajar. Jakarta: Rajawali Pers.

Drs. Soemanto, Wasty, M.Pd. 2006. Psikologi Pendidikan Landasan Kerja Pemimpin Pendidikan.
Jakarta: Rineka Cipta.

Dwijandono dan Sri Esti Wuryani. 1989. Psikologi Pendidikan. Jakarta : Depdikbud.

Erman Suherman. dkk. Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer, (Bandung : Jica, 2001),

Fadjar Shodiq dan Nur Amini Mustajab. 2011. Penerapan Teori Belajar dalam Pembelajaran
Matematika di SD. Yogyakarta: PPPPTK Matematika.

Hanafy, Muth. Saint. 2014. Konsep Belajar Dan Pembelajaran. (Jurnal Lentera Pendidikan)
VOL. 17 NO.1 JUNI 2014 : 66-79.

Hudoyo, Herman.1988. Belajar Mengajar Matematika. Jakarta : Depdikbud.

Hudoyo, Herman. 1988. Mengajar Belajar Matematika. Jakarta : P2LPTK.

Islamuddin, Haryu. 2011. Psikologi Pendidikan. Jember. STAIN PRESS JEMBER.

Ismail. 1998. Kapita Selekta Pembelajaran Matematika. (Modul UT) Jakarta: Dekdikbud.

John W. Satrock, 2007. Psikologi Pendidikan. edisi kedua. PT Kencana Media Group: Jakarta.

Margaret E. Bell Gredler, 1994. Belajar dan pembelajaran. PT Raja Grafindo Persada: Jakarta.

Miarso, Y. 2004. Menyemai Benih Teknologi Pendidikan. Jakarta: Penerbit Prenada Media.

Prasetya Irawan, dkk, 1997. Teori belajar. Dirjen Dikti : Jakarta.

Ratna Wilis Dahar, Prof. 1996. Teori-teori Belajar. Jakarta: Erlangga.

Richard I. Arends,2008, learning to teach: belajar untuk mengajar, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Santrock, John W. 2014. Psikologi Pendidikan Educational Psychology. Jakarta: Salemba


Humanika.

Simanjuntak Lisnawaty, Dra, Drs. Poltak Manurung, dan Domi C. Matutina.1992. Metode
Mengajar Matematika. Jakarta. Rineka Cipta.

Slameto. 2010. Belajar & Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi. Jakarta: Rineka Cipta

Soemanto, Wasty. 1998. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.

28
Suryabrata, S. 1995. Psikologi Pendidikan.

Usman, Moh. Uzer dan Lilis Setiawati. 1993. Upaya Optimalisasi Kegiatan Belajar Mengajar.
Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Wiriatmadja Rochiati, Prof, Dr. 2005. Metode Penelitian Tindakan Kelas. Bandung. PT Remaja
rosdakarya.

29

Anda mungkin juga menyukai