Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN ANALISIS JURNAL

“PENGARUH PEMBERIAN KOMPRES DINGIN TERHADAP NYERI


PADA PASIEN FRAKTUR EKSTREMITAS TERTUTUP DI IGD RSMH
PALEMBANG TAHUN 2012”

Tugas Kelompok
Stase Keperawatan Gawat Darurat

Disusun Oleh:
Bella Wilita Desi 18/436102/KU/20958
Dewi Saraswati 18/436105/KU/20961
Orin Juliastuty Terawati Rizal 18/436143/KU/20999

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN KESEHATAN MASYARAKAT DAN KEPERAWATAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2018
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Menurut World Health Organization (WHO) Indonesia menyatakan
bahwa, 90% penyebab terjadinya kecelakaan di Indonesia disebabkan oleh faktor
lalai, yaitu mengantuk, sakit, tidak sabar, dan tidak menghargai pengguna jalan
lain saat berkendara. Akibat dari faktor-faktor tersebut salah satunya adalah
terjadinya fraktur (Sjamsuhidajat, 2005). Data dinas Kesehatan Provinsi Sumatera
Barat tahun 2009 didapatkan sekitar 2700 orang mengalami insiden fraktur, 56%
penderita mengalami kecacatan fisik 24% penderita mengalami kematian, 15%
mengalami kesembuhan dan 5% mengalami gangguan psikolois dan depresi
terhadap kejadian fraktur. Jenis fraktur femur mempunyai insiden yang tinggi
diantara fraktur tulang lain dan fraktur femur paling sering terjadi pada batang
femur 1/3 tengah. Fraktur femur lebih sering terjadi pada laki-laki daripada
perempuan dengan umur dibawah 45 tahun dan sering berhubungan dengan
olahraga, pekerjaan atau kecelakaan (Mansjoer, 2010).
Menurut hasil dari penelitian Sulistianingrum (2012), hasil wawancara
dengan perawat bedah di RSUD Pandanarang Boyolali bahwasanya pada bulan
Januari hingga April 2012 tercatat pasien yang masuk di rawat inap dengan
fraktur adalah 50% yaitu 40 orang. Dari 40 orang yang mengalami fraktur tibia
fibula (cruris) 20% yaitu 8 orang dilakukan bedah fiksasi terbuka (Open
Reduction Internal Fixation/ORIF)
Rasa nyeri dapat timbul pada setiap kejadian fraktur dan salah satu
penyebabnya adalah karena terjadinya spasme pada otot. Bila tidak diatasi dapat
menimbulkan efek yang membahayakan dan akan mengganggu proses
penyembuhan. Untuk itu, diperlukan penanganan yang efektif untuk
meminimalkan nyeri yang dialami oleh pasien. Secara garis besar, terdapat dua
cara untuk manajemen nyeri yakni manajemen farmakologi yang berkaitan
dengan pemberian obat-obatan untuk menghilangkan sensasi nyeri dan teknik non
farmakologi.
Salah satu teknik non farmakologi yang dapat dilakukan untuk
mengurangi nyeri pada fraktur adalah kompres dingin pada daerah yang terasa
nyeri atau area disekitarnya. Kompres dingin merupakan salah satu tindakan yang
dapat dilakukan secara mandiri oleh perawat untuk pengelolaan nyeri pada pasien
fraktur. Berdasarkan hal tersebut, kemudian banyak dilakukan penelitian-
penelitian terkait pengaruh dan efektifitas kompres dingin terhadap pengurangan
nyeri fraktur.
B. Rumusan masalah
1. Apa itu fraktur?
2. Bagaimana patofisiologis terjadinya fraktur?
3. Apa penyebab fraktur?
4. Apa saja manifestasi klinik terjadinya fraktur?
5. Bagaimana klasifikasi fraktur?
6. Apa saja pemeriksaan penunjanng yang bisa dilakukan?
7. Bagaimana penanganan terhadap kejadian fraktur?
8. Komplikasi apa saja kah yang bisa terjadi pada fraktur?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui apa itu fraktur
2. Untuk mengetahui bagaimana patofisiologis terjadinya fraktur
3. Untuk mengetahui apa penyebab fraktur
4. Untuk mengetahui apa saja manifestasi klinik terjadinya fraktur
5. Untuk mengetahui bagaimana klasifikasi fraktur
6. Untuk mengetahui apa saja pemeriksaan penunjanng yang bisa
dilakukan
7. Untuk mengetahui bagaimana penanganan terhadap kejadian fraktur
8. Untuk mengetahui komplikasi apa saja kah yang bisa terjadi pada
fraktur
BAB II

TINJAUAN TEORI

A. PENGERTIAN
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang yang biasanya disebabkan
oleh trauma atau tenaga fisik, kekuatan dan sudut dari tenaga tersebut, keadaan
tulang, tulang dan jaringan lunak disekitar tulang akan menetukan fraktur yang
terjadi lengkap atau tidak lengkap (Nurarif dan Kusuma, 2015).
B. PATOFISIOLOGI
Jika tulang normal mendapat tekanan yang cukup kuat sehingga dapat
menyebabkan patah, maka sel-sel tulang akan mati. Selanjutnya akan terjadi
perdarahan, perdarahan biasanya terjadi disekitar tempat patah dan
didalamjaringan lunak disekitar tulang tersebut. Pada tulang yang patah maka
jaringan lunak juga akan mengalami kerusakan. Kemudian timbul reaksi
peradangan hebat setelah fraktur. Sel-sel darah putih dan sel mati berakumulasi
menyebabkan peningkatan aliran darah di tempat tersebut. Kemudian fagositosis
dan pembersihan sisa-sisa sel mati dimulai. Di area yang mengalami fraktur
tersebut akan terbentuk bekuan fibrin (hematom fraktur), hal ini berfungsi
sebagai jalan untuk melekatnya sel-sel baru. Aktifitas osteoblas juga terangsang
dan membentuk tulang baru imatur yang disebut kalus. Bekuan fibrin akan di
reabsorbsi dan sel-sel tulang baru secara perlahan lahan mengalami remodeling
untuk tulang sejati. Selanjutnya tulang sejati menggantikan kalus dan secara
perlahan mengalami kalsifikasi. Penyembuhan fraktur ini memerlukan waktu
beberapa minggu sampai beberapa bulan (Corwin 2001).
C. ETIOLOGI
Menurut Grace dan Borley (2006), penyebab tersering pada fraktur adalah
tekanan yang kuat diberikan pada tulang normal atau tekanan yang sdang pada
tulang yang terkena penyakit misalnya osteoporosis. Sedangkan menurut Nurarif
dan Kusuma (2015), penyebab fraktur terdiri dari 3 macam yakni karena trauma,
patologis, dan stress. Fraktur dikarena patologis ini terjadi karena ada kelaianan
pada tulang/penyakit yang menyebabkan kelemahan pada tulang (infeksi, tumor
kelainan bawaan) dan adapat terjadi secara spontan atau akibat trauma ringan.
Sedangkan fraktur karena stress, terjadi karena adanya stress yang kecil dan
berulang pada daerah tulang yang menopang berat badan. Fraktur stress ini jarang
sekali ditemukan pada anggota gerak atas.
D. MANIFESTASI KLINIK
Menurut Nurarif dan Kusuma (2015), manisfestasi klinis dari fraktur
meliputi sebagai berikut :
a. Nyeri
b. Deformitas
c. Krepitasi
d. Bengkak
e. Peningkatan temperatur lokal
f. Pergerakan abnormal
g. Echimosis
h. Kehilangan fungsi / tidak dapat menggunakan anggota gerak
E. KLASIFIKASI FRAKTUR
Menurut Nurarif dan Kusuma (2015), fraktur diklasifikasin menjadi
beberapa jenis diantaranya :
1. Klasifikasi berdasarkan klinis
a. Fraktur tertutup (simple fraktur), bila tidak terdapat hubungan antara
fragmen tulang dengan dunia luar
b. Fraktur terbuka ( compound fraktur ), bila terdapat hubungan antara
fragmen tulang dengan dunia luar , karena adanya perlukaan pada
kulit.
Grade I : luka bersih dengan panjang kurang dari 1 cm
Grade II : luka lebih luas tanpa kerusakan jaringan lunak yang
ekstensif
Grade III : sangat terkontaminasi dan mengalami kerusakan jaringan
lunak ekstensif
c. Fraktur Komplet (Complete fracture), patah pada seluruh garis tengh
tulang, luas dan melintang. Biasanya disertai dengan perpindahan
posisi.
d. Fraktur Inkomplite (Incomplete fracture), patah jaringan tulang
dengan garis patah tidak menyebrang sehingga tidak mengenai
korteks.
e. Fraktur dengan komplikasi , missal mal union, delay union, non
union, infeksi tulang.
2. Klasifikasi berdasarkan radiologis
a. Lokasi :diafisial, metafisial, intra artikuler, fraktur dengan dislokasi
b. Konfigurasi : Fraktur segmental, transversal, oblik, spiral, pecah,
epifis dst.
c. Menurut ekstensi : Fraktur total, tidak total, blucked atau torus, garis
rambut dan greenstick
d. Menurut hubungan antar fragmen : tidak bergeser dan bergeser.
Sedangkan, jika dilihat dari derajatnya fraktur terbagi menjadi 3 derajat yang
meliputi :
1. Derajat 1
 Luka < 1 cm
 Kerusakan jaringan lunak sedikit, tidak ada tanda luka remuk
 Fraktur sederhana, tramsversal atau kominutif ringan
 Kontaminasi minimal
2. Derajat 2
 Laserasi > 1 cm
 Kerusakan jaringan lunak tidak luas, flap/ avulsi
 Fraktur kominutif sedang
 Kontaminasi sedang
3. Derajat 3
 Terjadi kerusakan jaringan lunak yang luas meliputi struktur
kulit , otot, dan neurovascular serta kontamniasi derajat tinggi.
Jika dilihat dari karateristiknya, fraktur dikategorikan sebagai berikut :
1. Jumlah garis :
 Simple fraktur : Terdapat satu garis fraktur
 Multiple fraktur : Lebih dari satu garis fraktur
 Communitive fracture : lebih banyak garis fraktur dan patah menjadi
fragmen kecil
2. Luas garis fraktur :
 Fraktur inkomplit : Tulang tidak terpotong secara total
 Fraktur komplikasi : Tulang terpotong total
 Hair line fraktur : garis fraktur tidak tampak
3. Bentuk fragmen :
 Green stick : retak pada sebelah sisi dari tulang
 Transversal : fraktur fragmen melintang
 Obligue : fraktur fragmen miring
 Spiral : fraktur fragmen melingkar.

F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Menurut Nurarif dan Kusuma (2015), beberapa pemeriksaan penunjangn
untuk fraktur meliputi:
1. Pemeriksaan X-ray, pemeriksaan ini digunakan untuk menentukan lokasi/
luas fraktur
2. Scan Tulan, pemeriksaan scan tulang ini bertujuan untuk melihat fraktur
dengan lebih jelas serta mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.\
3. Arteriogram, pemeriksaan ini dilakukan untuk memastikan ada tidaknya
kerusakan vaskuler
4. Pemeriksaan lab darah lengkap, biasanya hemokosentrasi akan menurun
pada perdarahan serta peningkatan leukosit sebagai respon terhadap
peradangan.

G. PENATALAKSANAAN
Penatalaksaan pada klien dengan fraktur adalah sebagai berikut :
1. Reduksi
Reduksi fraktur berarti mengembalikan fragmen tulang pada
kesejajarannya dan rotasi anatomis. Reduksi tertutup yaitu mengembalikan
fragmen tulang ke posisinya ( dimana ujung tulang akan saling bertemu)
dengan memanipulasi dan traksi manual. Alat yang digunakan biasanya
traksi, bidai, dst. Reduksi terbuka dengan pendekatan bedah. Alat fiksasi
interna dalam bentuk pin, kawat, sekrup, plat, paku (Nurarif dan Kusuma,
2015).
2. Imobilisasi
Imobilisasi dapat dilakukan dengan metode eksterna dan interna. Tujuan
imobilisasi yaitu mempertahankan dan mengembalikan fungsi status
neurovaskuler. Penatalaksanaan dengan cara ini haru selalu dipantau
meliputi pererdaran darah, nyeri, peradaban, gerakan. Perkiraan lamanya
imobilisasi yang dibutuhkan sampai tulang dapat menyatu lagi yaitu
sekitar 3 bulan (Nurarif dan Kusuma, 2015).
Bidai atau spalk adalahalat dari kayu, anyaman kawat atau bahan
lain yang kuat tetapi ringan yang digunakan untuk menahan atau menjaga
agar bagian tulang yang patah tidak bergerak. Adapun syarat pembidaian
menurut Jarot Subandoro (2018) adalah
a. Bidai harus melewati 2 sendi tulang yang patah, sebelumnya bidai
diukur dulu pada anggota badan kontralateral korban yang sehat
b. Pastikan bidai tidak terlalu ketat atau longgar
c. Bungkus bidai dengan pembalut sebelum digunakan
d. Bagian yang menyentuh bidai diberikan bantalan agar tidak terjadi luka
tekan
e. Setelah penggunaan bidai cobalah mengangkat bagian tubuh yang
dibidai.
3. Fiksasi Internal
Salah satunya adalah tindakan ORIF(Open Reduction Internal Fixation)
atau fiksasi internal dengan pembedahan terbuka akan mengimmobilisasi
fraktur dengan melakukan pembedahan dengan memasukan paku, sekrup
atau pin ke dalam tempat fraktur untuk memfiksasi bagian-bagian tulang
yang fraktur secara bersamaan.
a) Indikasi ORIF
1) Fraktur yang tak bisa sembuh
2) Fraktur yang tidak bisa direposisi tertutup
3) Fraktur yang dapat direposisi tapi sulit dipertahankan
4) Fraktur yang memberikan hasil baik dengan operasi
b) Komplikasi ORIF
1) Infeksi
2) Kehilangan jangkauan gerak
3) Kerusakan otot
4) Kerusakan saraf
5) Deformitas
6) Sindrom kompartemen
(Reeves et.al, 2001)
4. Perawatan Pasien Fraktur tertutup
Pasien dengan fraktur tertutup harus diusahan untuk kembali kepada
aktifitas biasa sesegera mungkin. Penyembuhan fraktur dan pengembalian
kekuatan penuh dan mobilitas memerlukan waktu berbulan-bulan. Pasien diajari
mengontrol pembengkaa dan nyeri, mereka diorong untuk aktif dalam batas
imoblisasi fraktur . pengajaran pasien meliputi perawatan diri, informasi obat-
obatan, pemantauan kemungkinan potensial masalah, sdan perlunya supervisi
perawatan kesehatan.
5. Perawatan Pasien Fraktur Terbuka
Pada fraktur terbuka (yang berhubungan luka terbuka memanjang sampai
ke permukaan kulit dan ke daerah cedera tulang) terdapat resiko infeksi-
osteomielitis, gas gangren, dan tetanus. Tujuan penanganan adalah untuk
meminimalkan kemungkina infeksi luka , jaringan lunak da tulang untuk
mempercepat penyembuhan jaringan lunak dan tulang. Pasien dibawa ke ruang
operasi, dilakukan usapan luka, pengangkatan fragmen tulang mati atau mungkin
graft tulang.
6. Tahap Penyembuhan Fraktur
Tahap penyembuhan fraktur dibagi menjadi 5 tahapan yaitu:
1. Stadium pembentukan hematom
hematom berasal dari darah yang mengalir yang berasal dari pembuluh
darah yang robek. Hematom dibungkus jaringan lunak sekitar
(periosteum dan otot). Terjadi sekitar 1-2 x 24 jam setelah terjadinya
fraktur.
2. Stadium proliferasi sel/inflamasi
sel-sel berproleferasi dari lapisan dalam periosteum, sekitar lokasi
fraktur. Sel-sel ini menjadi prekusor osteoblast. Sel-sel ini aktif
tumbuh ke arah fragmen tulang. Proliferasi juga terjadi pada jaringan
sumsum tulang. Proses ini terjadi 2 hari setelah terjadinya fraktur.
3. Stadium pembentukan kallus
Osteoblast membentuk tulang lunak (kallus),. Kallus memberikan
rigiditas pada fraktur. Jika terlihat massa kallus pada pemeriksaan X-
rays maka fraktur telah menyatu. Proses ini terjadi 6-10 hari setelah
terjadinya fraktur.
4. Stadium konsolidasi
Pada tahap ini, kallus mengeras dan terjadi proses kondolisasi. Fraktur
teraba telah menyatu. Terjadi pada minggu ke 3-10 setelah terjadinya
fraktur.
5. Stadium remodelling
Lapisan bulbous mengelilingi tulang khususnya pada lokasi eks
fraktur. Tulang yang berlebihan dibuang oleh osteoklast. Pada anak-
anak remodeling dapat sempurna, pada dewasa masih ada tanda
penebalan tulang.
Faktor yang mempengaruhi penyembuhan fraktur.
- Imoblisasi fragmen tulang
- Kontak fragmen tulang maksimal
- Asupan darah yang memadai
- Nutrisi yang baik
- Latihan pembebanan untuk tulang panjang
- Hormon-hormonn pertumbuhan, tiroid, kaisitonon, vitamin D,
steroid dan anabolik
- Potensial listrik pada patahan tulang
7. Penatalaksanaan Nyeri pada Fraktur
Untuk mengatasi nyeri dapat dilakukan dengan cara farmakologi
dengan pemberian obat-obatn analgetik dan non farmkologi yakni dengan
stimulus dan massage kutaneus, terapi es dan panas (pemberian kompres
dingin atau panas), stimulus saraf elektris transkutan, distraksi, imajinasi
terbimbing, hipnotis, dan teknik relaksasi (Smeltzer & Bare, 2002).
 Kompres Dingin

Penerapan kompres dingin dipakai pada saat respon peradangan


masih berlangsung (keadaan akut) dengan tujuan untuk mengurangi
kepekaan saraf yang akan membuat berkurangnya rasa nyeri. Terapi
kompres dingin sering digunakan bersama-sama dengan teknik
pertolongan pertama pada cedera dan pada keadaan akut yang disebut
RICE (Rest, Ice, Compression, dan Elevation). Menurut Kozier, (2010)
kompres dingin dapat dilakukan di dekat lokasi nyeri atau di sisi tubuh
yang berlawanan tetapi berhubungan dengan lokasi nyeri, hal ini
memakan waktu 5 sampai 10 menit selama 24 sampai 48 jam pertama
setelah cedera. Pengompresan di dekat lokasi aktual nyeri cenderung
memberi hasil yang terbaik.
Terapi dingin sering kali digunakan pada klien yang mengalami
cidera olahraga (sprain, strain, fraktur) untuk menghambat
pembengkakan dan perdarahan yang terjadi setelah cedera. Untuk
memberikan efek terapeutik yang diharapkan (mengurangi nyeri),
sebaiknya suhu tidak terlalu dingin (berkisar antara 15°C-18°C), karena
suhu yang terlalu dingin dapat memberikan rasa yang tidak nyaman,
frostbite atau membeku dan menyebabkan terjadinya fenomena pantulan
yang seharusnya vasokontriksi menjadi vasodilatasi (Kozier, 2010).
Walaupun demikian apabila dingin tersebut terus diberikan selama 15
sampai dengan 30 menit akan timbul fase vasodilatasi yang terjadi
intermiten selama 4 sampai 6 menit. Periode ini dikenal sebagai respon
hunting. Respon hunting terjadi untuk mencegah terjadinya kerusakan
jaringan akibat dari jaringan mengalami anoxia jaringan (Arovah,
2016).

H. KOMPLIKASI
Menurut Grace dan Borley (2006), beberapa komplikasi dari fraktur
meliputi :
a. Fase dini
 Kehilangan darah
 Infeksi
 emboli paru
 DVT
 Sindrom kompartemen
b. Lanjut
 Delayed union : Fraktur sembuh dalam jangka waktu yang lebih
dari normal
 Malunion : Bila tulang sembuh dengan fungsi anatomis abnormal
(angulasi, perpendekan, atau rotasi) dalam waktu yang normal
 Non union : Fraktur yang tidak menyambung dalam 20 minggu
 Kontraktur
 Pertumbuhan terhambat
 Artritis
 Distrofi simpatik pasca trauma

I. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Menurut Nurarif dan Kusuma (2015), masalah keperawatan yang mungkin
muncul diantaranya sebagai berikut :
1. Nyeri akut b.d agens injuri fisik
2. Hambatan mobilitas fisik b.d kerusakan tulang
3. Kerusakan Integritas jaringan b.d prosedur bedah
4. Resiko Infeksi b.d trauma
BAB III

ANALISIS DAN PEMBAHASAN

A. Identitas Jurnal

Judul Penelitian : Pengaruh Pemberian Kompres Dingin Terhadap


Nyeri pada Pasien Fraktur Ekstremitas Tertutup di
IGD RSMH Palembang Tahun 2012
Penyusun : Devi Mediarti, Rosnani, Sosya Mona Seprianti
Penerbit : Jurnal Kedokteran dan Kesehatan, Volume 2,
No.3: 253-260
Publikasi : Oktober 2015

Tujuan Penelitian : Untuk mengetahui pengaruh pemberian kompres


dingin terhadap nyeri pada pasien fraktur
ekstremitas tertutup.
B. Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan jenis penelitian eksperimen dengan
desain one group pre test-post test yang dilaksanakan pada 31 Mei sampai
14 Juni 2012 dan bertempat di ruang Instalasi Gawat Darurat RSUP Dr
Mohammad Hoesin Palembang. Teknik pengambilan sampel dalam
penelitian ini menggunakan non random sampling dengan metode
porposive sampling yaitu berjumlah 15 sampel.
C. Hasil

Distribusi frekuensi responden berdasarkan usia di IGD RSUP Dr


Mohammad Hoesin Palembang tahun 2012, dari 15 responden terdapat 6
orang yang berusia dewasa awal (40,0 %), dan responden yang berusia
remaja dan dewasa pertengahan jumlahnya sama yaitu 4 orang (26,7%),
serta terdapat 1 orang yang berusia dewasa akhir (6,7 %). berdasarkan
tingkat pendidikan, ada 11 orang responden yang berpendidikan terakhir
SMA (73,3%), 3 orang responden yang berpendidikan terakhir SMP
(20,0%), dan ada 1 orang responden yang berpendidikan terakhir
Perguruan Tinggi (6,7%). berdasarkan pekerjaan terdapat 7 orang
responden yang bekerja sebagai buruh (46,7%), dan responden yang
mempunyai pekerjaan pelajar dan wiraswasta berjumlah sama, yaitu
masing-masing 4 responden (26,7%).
Tabel 4 menunjukkan bahwa distribusi deskriptif nyeri sebelum
dilakukan kompres dingin pada pasien fraktur ekstremitas tertutup di IGD
RSUP Dr Mohammad Hoesin Palembang tahun 2012, didapatkan rata-rata
nyeri sebelum dilakukan kompres dingin adalah 6,40(95% CI: 5,85-6,95),
median 6,00 dengan standar deviasinya 0,986. Nyeri terendah adalah 5 dan
nyeri tertinggi adalah 8. Dan hasil estimasi interval dapat disimpulkan
bahwa 95% diyakini bahwa rata-rata nyeri sebelum dilakukan kompres
dingin adalah diantara 5,85 sampai dengan 6,95.

Dari Tabel 5 distribusi deskriptif nyeri setelah dilakukan kompres


dingin pada pasien fraktur ekstremitas tertutup, didapatkan rata-rata nyeri
setelah dilakukan kompres dingin adalah 3,53(95% CI: 2,81-4,25), median
3,00 dengan standar deviasinya 1,302. Nyeri terendah adalah 2 dan nyeri
tertinggi adalah 6. Dan hasil estimasi interval dapat disimpulkan bahwa 95%
diyakini bahwa rata-rata nyeri sebelum dilakukan kompres dingin adalah
diantara 2,81 sampai dengan 4,25.
Berdasarkan Tabel 7 diketahui rata-rata nyeri pasien sebelum
dilakukan kompres dingin adalah 6,40 dengan standar deviasi 0,986 dan
rata-rata nyeri pasien setelah dilakukan kompres dingin adalah 3,53 dengan
standar deviasi 1,302. Terlihat nilai mean perbedaan antara sebelum dan
setelah pemberian kompres dingin 2,86 dengan standar deviasi 0,64. Hasil
uji statistik didapatkan hasil pvalue=0,000 maka dapat disimpulkan ada
perbedaan antara nyeri sebelum dan setelah pemberian kompres dingin pada
pasien fraktur ektremitas tertutup. Hasil ini menunjukkan adanya pengaruh
pemberian kompres dingin terhadap nyeri pada pasien fraktur ektremitas
tertutup.

D. Pembahasan
Nyeri Sebelum Dilakukan Kompres Dingin
Rata-rata nyeri sebelum dilakukan kompres dingin adalah 6,40
(95% CI: 5,85-6,95), median 6,00 dengan standar deviasinya 0,986. Nyeri
terendah adalah 5 dan nyeri tertinggi adalah 8. Dan hasil estimasi interval
dapat disimpulkan bahwa 95% diyakini bahwa rata-rata nyeri sebelum
dilakukan kompres dingin adalah diantara 5,85 sampai dengan 6,95. nyeri
yang timbul pada pasien fraktur ektremitas tertutup disebabkan karena
adanya kerusakan jaringan tubuh yang disebabkan karena fraktur dan
karena spasme otot sebagai salah satu respon tubuh adanya kerusakan
jaringan tubuh. Beberapa faktor yang mempengaruhi nyeri diatas sejalan
dengan hasil penelitian dari karakteristik responden berdasarkan usia,
tingkat pendidikan dan pekerjaan. Berdasarkan usia paling banyak
responden yang berusia dewasa awal yaitu terdapat 6 orang (40,0%),
berdasarkan tingkat pendidikan paling banyak responden yang
berpendidikan terakhir SMA yaitu 11 orang (73,3%) dan berdasakan
pekerjaan paling banyak responden yang mempunyai pekerjaan sebagai
buruh yaitu 7 orang (46,7%).
Perubahan Nyeri Setelah Dilakukan Kompres Dingin
Rata-rata nyeri setelah dilakukan kompres dingin adalah 3,53 (95%
CI: 2,81-4,25). Nyeri terendah adalah 2 dan nyeri tertinggi adalah 6. Hasil
uji statistik didapatkan hasil pvalue=0,000 maka dapat disimpulkan ada
perbedaan antara nyeri sebelum dan setelah pemberian kompres dingin
pada pasien fraktur ektremitas tertutup.
Kozier (2010), kompres dingin dapat menurunkan nyeri dan
merelaksasi otot serta menurunkan kontraktilitas otot dengan cara
menurunkan prostaglandin, yang memperkuat sensitivitas reseptor nyeri
dan subkutan lain pada tempat cedera dengan menghambat proses
inflamasi. Efek fisiologis terapi dingin dapat menurunkan suhu pada kulit
dan jaringan yang berada dibawahnya serta dapat menyebabkan
vasokontriksi. Vasokontriksi menurunkan aliran darah ke area yang
terkena kemudian dapat mengurangi suplai oksigen serta metabolik,
menurunkan kecepatan pembuangan zat sisa, dan menyebabkan pucat dan
dingin pada kulit. Terapi dingin sering kali digunakan pada klien yang
mengalami cidera olahraga (sprain, strain, fraktur) untuk menghambat
pembengkakan dan perdarahan yang terjadi setelah cedera. Untuk
memberikan efek terapeutik yang diharapkan (mengurangi nyeri),
sebaiknya suhu tidak terlalu dingin (berkisar antara 15°C-18°C), karena
suhu yang terlalu dingin dapat memberikan rasa yang tidak nyaman,
frostbite atau membeku dan menyebabkan terjadinya fenomena pantulan
yang seharusnya vasokontriksi menjadi vasodilatasi.
Smeltzer & Bare (2002), mengatakan untuk menghilangkan nyeri
pada cidera dapat dilakukan dengan pemberian kompres dingin basah atau
kering ditempat yang cedera secara intermitten 20 sampai 30 menit selama
24-48 jam pertama setelah cedera, dengan pemberian kompres dingin
dapat menyebabkan vasokontriksi sehingga menurunkan permeabilitas
kapiler, menurunkan aliran darah, menurunkan metabolisme sel, yang
dapat mengurangi pendarahan, edema dan ketidaknyamanan
Penelitian Khodijah (2011), tentang efektifitas kompres dingin
terhadap penurunan intensitas nyeri pasien fraktur di Rindu B RSUP H.
Adam Malik Medan. Hasil penelitian didapatkan untuk kelompok
intervensi yang diberi kompres dingin selama 10 menit, rata-rata nyeri
sebelum kompres dingin 5,25 sedangkan untuk kelompok kontrol yang
diberi kompres air biasa rata-rata nyeri sebelum kompres air biasa 4,74.
E. Kelebihan dan kekurangan
1. Kelebihan
- Bahasa yang digunakan dalam penelitian ini cukup mudah untuk
dipahami, bahkan untuk umum
- Metode penelitian sudah dipaparkan dengan cukup jelas
- Sistematika yang terarah dan runtut
2. Kekurangan
- Jumlah responden dalam penelitian ini terlalu sedikit yakni 15
orang
- Penelitian ini tidak menyebutkan waktu yang digunakan dalam
pemberian intervensi kompres dingin pada pasien.
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan
- Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang yang biasanya
disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik dan kondisi tersebut dapat
menimbulkan nyeri.
- Manajemen nyeri fraktur salah satunya adalah dengan melakukan
kompres dingin pada area atau sekitar lokasi fraktur. Berdasarkan
analisis jurnal, didapatkan hasil bahwa terdapat pengaruh pemberian
kompres dingin terhadap penurunan respon nyeri yang dialami oleh
pasien yang mengalami fraktur tertutup.

B. Saran
Untuk tenaga medis maupun perawat, diharapkan dapat
mempertimbangkan kompres dingin menjadi salah satu tindakan non
farmakologi yang dapat dilakukan disamping pemberian terapi
farmakologi untuk menurunkan respon nyeri pada pasien fraktur.
DAFTAR PUSTAKA

Arovah, N. I (2016). Fisioterapi Olahraga. Jakarta: EGC.

Corwin, E. J. 2001. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC.

Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Barat. Profil kesehatan Provinsi Sumetera


Barat. 2010. (diunduh 26 Desember 2018). Tersedia dari: URL:
HYPERLINK http://dinkes.sumbarprov.go.id.

Grace, Pierce A dan borley, Neil R.2006.Surgery at a Glance. Jakarta : Erlangga.

Helmi, Z.N. 2012. Buku Ajar Gangguan Muskuloskeletal. Jakarta: Salemba.

Jarot Subandono et al. 2018. Pembebatan dan Pembidaian. FK UNS: Solo.

Kozier, B, et all. (2010). Fundamental Keperawatan Konsep, Proses, Dan Praktik


(Edisi 7 Vol 2). Jakata: EGC.

Mansjoer A. 2010. Kapita selekta kedokteran. Edisi ke-2. Jakarta: Media


Aesculapius.

Mediarti, D., Rosnani., Seprianti, S. M. 2015. Pengaruh Pemberian Kompres


Dingin Terhadap Nyeri pada Pasien Fraktur Ekstremitas Tertutup di IGD
RSMH Palembang Tahun 2012. JURNAL KEDOKTERAN DAN
KESEHATAN, VOLUME 2, NO. 3, OKTOBER 2015:253-26. Poltekkes
Kemenkes Palembang Jurusan Keperawatan: Palembang.

Muttaqin, A. 2011. Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem Muskuloskeletal.


Jakarta : Salemba Medika

Nanda Internasional. 2018. Diagnosis Keperawatan: Definisi dan Klasifikasi


2018-2020. Jakarta: EGC

Nurarif., Huda, A dan Hardhi, K .2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan


Berdasarkan Diagnosa Medis dan Nanda Nic Noc jilid 3 . Yogyakarta :
Medication Jogja.

Reeves, C. J.Raux., Gayle, L., Robin. 2001. Keperawatan Medikal Bedah, Edisi :
1.Jakarta : Salemba Medika.

Smeltzer & Bare. (2002). Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddart.
Jakarta: EGC
Sulistianingrum. 2012. Asuhan keperawatan pada ny.g dengan gangguan sistem
muskuloskeletal : pre dan post orif fraktur tibia fibula 1/3 distal sinistra di
bangsal flamboyan rumah Sakit umum daerah pandanarang boyolali.
Naskah Publikasi : Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah
Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai