Anda di halaman 1dari 26

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Retardasi adalah fungsi intelektual di bawah rata-rata yang muncul

bersamaan dengan defisit perilaku adaptif dan bermanifestasi dalam periode

perkembangan serta berakibat buruk terhadap kemampuan belajar. Keterbatasan

fungsi akan terlihat sebelum usia 18 tahun. Keterbatasan ini berkaitan dengan

dua atau lebih area keterampilan seperti: komunikasi, merawat diri, keterampilan

sosial, kemampuan bermasyarakat, pengarahan diri, kesehatan dan keamanan,

akademik fungsional, istirahat, dan bekerja. Fungsi intelektual dapat diketahui

dengan tes fungsi kecerdasan dan hasilnya dinyatakan sebagai suatu taraf

kecerdasan atau IQ.


Epidemiologi retardasi mental belum diketahui secara jelas namun penilitian

secara konsisten menunjukkan bahwa retardasi mental paling sering terjadi di

antara anak-anak usia sekolah, dengan angka yang lebih rendah pada periode pra

sekolah atau post sekolah. Berdasarkan statistik (menurut American Psychiatric

Association) 2,5 % dari populasi menderita retardasi mental dan 85% diantaranya

merupakan retardasi mental ringan. Di Amerika serikat Tahun 2001-2002 lebih

kurang 592.000 atau 1,2 % anak usia sekolah mendapat pelayanan retardasi

mental.
Retardasi mental terbagi atas retardasi mental ringan dan berat. Retardasi

mental ringan lebih dihubungkan dengan pengaruh lingkungan dan adanya

riwayat keluarga sedangkan retardasi mental berat lebih dihubungkan dengan

penyebab biologis seperti sindrom genetik dan kromosom, abnormalitas

1
perkembangan otak, gangguan metabolisme sejak lahir, gangguan

neurodegenerative, malnutrisi berat, paparan radiasi, infeksi, kelainan pada masa

perinatal, serta kelainan pada masa postnatal.


Perkembangan adalah proses multidimensional yang mempengaruhi

performa di semua bidang kehidupan, gangguan perkembangan dapat mengenai

satu atau beberapa bidang kemampuan, dan dapat memiliki dampak pada fungsi

intelektual maupun adaptif di sepanjang kehidupan. Hal tersebut menyebabkan

penatalaksanaan anak dengan retardasi mental haruslah bersifat multidimensi dan

sangat individual. Tetapi perlu diingat bahwa tidak setiap anak membutuhkan

penanganan multidisiplin sebagai jalan yang terbaik.


Retardasi mental yang diketahui penyakit dasarnya, biasanya prognosisnya

lebih baik. Tetapi pada umumnya sukar untuk menemukan penyakit dasarnya.

Anak dengan retardasi mental ringan, dengan kesehatan yang baik, tanpa

penyakit kardiorespirasi, pada umumnya umur harapan hidupnya sama dengan

orang yang normal. Tetapi sebaliknya pada retardasi mental yang berat dengan

masalah kesehatan dan gizi, sering meninggal pada usia muda.

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Retardasi Mental
Menurut WHO, retardasi mental adalah kemampuan mental yang tidak

mencukupi. Retardasi mental menurut The Individuals with Disabilities

Education Act (IDEA) adalah fungsi intelektual di bawah rata-rata yang muncul

2
bersamaan dengan defisit perilaku adaptif dan bermanifestasi dalam periode

perkembangan serta berakibat buruk terhadap kemampuan belajar.


The American Association on Intellectual and Developmental Disabilities

(AAIDD,2002) mendefinisikan retardasi mental sebagai keterbatasan dalam

fungsi intelektual dan perilaku adaptif.


Menurut Association American of Mental Retardation (AAMR), retardasi

mental mengacu pada fungsi intelektual yang secara signifikan berada di bawah

rata-rata, didefinisikan sebagai nilai Intelegence Quotient (IQ) <70 - 75, terdapat

bersamaan dengan keterbatasan yang berkaitan dengan dua atau lebih area

keterampilan adaptif yang dapat diterapkan: komunikasi, merawat diri,

keterampilan sosial, kemampuan bermasyarakat, pengarahan diri, kesehatan dan

keamanan, akademik fungsional, istirahat, dan bekerja.


Fungsi intelektual dapat diketahui dengan tes fungsi kecerdasan dan hasilnya

dinyatakan sebagai suatu taraf kecerdasan atau IQ yang merupakan persentase

yang didapatkan dari umur mental berbanding umur kronologis. Apabila IQ di

bawah 70, anak tidak dapat mengikuti pendidikan sekolah biasa, karena cara

berpikirnya yang terlalu sederhana, daya tangkap dan daya ingatnya lemah,

demikian pula dengan pengertian bahasa dan berhitungnya juga sangat lemah.
Perilaku adaptif sosial adalah kemampuan seseorang untuk mandiri,

menyesuaikan diri dan mempunyai tanggung jawab sosial yang sesuai dengan

kelompok umur dan budayanya. Pada penderita retardasi mental, gangguan

perilaku adaptif yang paling menonjol adalah kesulitan menyesuaikan diri

dengan masyarakat sekitarnya. Biasanya tingkah lakunya kekanak-kanakan tidak

sesuai dengan umurnya.

2.2 Epidemiologi

3
Berdasarkan statistik (menurut American Psychiatric Association) 2,5 % dari

populasi menderita retardasi mental dan 85% diantaranya merupakan retardasi

mental ringan. Di Amerika serikat tahun 2001-2002 lebih kurang 592.000 atau

1,2 % anak usia sekolah mendapat pelayanan retardasi mental.

Perkiraan prevalensi berdasarkan pada tes psikometrik standar menunjukkan

bahwa hanya di bawah 3% populasi umum memiliki “ fungsi intelektual yang

secara signifikan berada di bawah rata-rata “ (memiliki nilai tes yang berada

lebih dari dua standar deviasi di bawah rata-rata). Prevalensi retardasi mental

ringan paling tinggi diantara anak-anak dari keluarga miskin, sementara individu

yang mengalami kecacatan yang lebih berat diwakilkan secara sama pada semua

kelompok masyarakat. Kira-kira 5% populasi mengalami retardasi mental berat

atau sangat berat.

2.3 Etiologi

Pedoman Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa ke – 1 (PPDGJ - 1)

memberikan subkategori – subkategori klinis atau keadaan yang sering disertai

retardasi mental sebagai berikut :


1. Akibat Infeksi Dan/ Intoxikasi
Retardasi mental karena kerusakan jaringan otak akibat infeksi

intracranial, karena serum, obat atau toxic lainnya. Beberapa contoh adalah :
 Parotitis epidemika, rubella, sifilis, dan toxoplasmosis kongenital
 Ensefalopatia karena infeksi postnatal
 Ensefalopatia karena toxemia gravidarum atau karena intoxikasi lain
 Ensefalopatia bilirubin (“Kernicterus”)
 Ensefalopatia post - imunisasi

4
2. Akibat Rudapaksa Dan/Atau Sebab Fisik Lain
Rudapaksa: rudapaksa sebelum lahir serta juga trauma lain, seperti sinar –

X, bahan kontrasepsi dan usaha melakukan abortus dapat mengakibatkan

kelainan dengan retardasi mental. Rudapaksa kepada sesudah lahir tidak

begitu sering mengakibatkan retardasi mental.


Pada waktu lahir (perinatal) kepala dapat mengalami tekanan sehingga

timbul perdarahan di dalam otak. Mungkin juga terjadi kekurangan O2

(Asfiksia neonatorum) yang terjadi pada 1 / 5 dari semua kelahiran. Hal ini

dapat tejadi karena aspirasi lendir, aspirasi liquour amnii, anesthesia ibu dan

prematuritas. Bila kekurangan zat asam berlangsung terlalu lama makan akan

terjadi degenarasi sel – sel kortex yang kelak mengakibatkan retardasi mental.
PPDGJ – 1 menyebutkan:
 Ensefalopatia karena kerusakan prenatal
 Ensefalopatia karena kerusakan pada waktu lahir
 Ensefalopatia karena kerusakan postnatal
3. Akibat Gangguan Metabolisme, Pertumbuhan Atau Gizi
Semua retardasi mental yang langsung di sebabkan oleh gangguan

metabolism (misalnya gangguan metabolism zat lipida, karbohidrat dan

protein), pertumbuhan atau gizi termasuk dalam kelompok ini. Ternyata

bahwa gangguan gizi yang berat dan yang berlangsung lama sebelum umur 4

tahun sangat mempengaruhi perkembangan otak dan dapat mengakibatka

retardasi mental. Keadaan dapat di perbaiki dengan memperbaiki gizi sebelum

umur 6 tahun , sesudah ini biarpun anak itu di banjiri dengan makanan yang

bergizi, inteligensi yang rendah itu sudah sukar di tingkatkan. Beberapa

contoh keadaan yang sering mengakibatkan retardasi mental dalam

subkategori ini ialah:


 Lipidosis otak infantile (penyakit Tay - Sach)

5
 Histiositosis lipidum jenis keratis (penyakit Gaucher)
 Histiositosis lipidum jenis fosfatid (penyakit Niemann - Pick)
 Fenilketonuria: diturunkan melalui suatu gen yang resesif
Pada fenilketonuria tidak terdapat enzim yang memecahkan fenilalanin

sehingga timbul keracunan neuron – neuron dengan zat itu. Retardasi mental

akibat ini sekarang dapat dicegah dengan diet yang mengandung sedikit sekali

fenilalanin.
4. Akibat Penyakit Otak Yang Nyata
Dalam kelompok ini termasuk retardasi mental akibat neoplasma (tidak

termasuk tumbuhan sekunder karena rudapaksa atau keradangan) dan

beberapa reaksi sel – sel yang nyata, tetapi yang belum diketahui betul

etiologinya (diduga herediter atau familial). Reaksi sel – sel otak (reaksi

struktural) ini dapat bersifat degeneratif, infiltratif, radang, proliferatif,

sklerotif atau reparative, Misalnya :


 Neofibromatosis (penyakit von Recklinghausen)
 Angiomantosis otak trigemini (penyakit Stürge – Weber - Dimitri)
 Sklerosis tuberosis (Epiloia, penyakit Bournville)
 Sklerosis spinal (Ataxia Friedreich)
5. Akibat Penyakit / Pengaruh Pranatal Yang Tidak Jelas
Keadaan ini diketahui sudah ada sejak sebelum lahir, tetapi tidak

diketahui etiologinya, termasuk anomaly kranial pimer dan defek kongenital

yang tidak diketahui sebabnya.


 Anensefali dan hemi – ensefali
 Kelainan pembentukan giri
 Porensefali kongenital
 Kraniostenosis
 Hidrosefalus kongenital
 Hipertelorisme
 Makrosefali (Megalensefali)
 Mikrosefali primer
 Sindrom Laurence – Moon - Biedl
6. Akibat Kelainan Kromosom

6
Kelainan kromosom mungkin terdapat dalam jumlahnya atau dalam

bentuknya. Kelainan dalam jumlah kromosom: Sindrom Down atau Langton –

Down atau mongolisme (Trisomi otomosal atau trisomy kromosom 21).

Kelainan dalam betuk kromosom: “Cri du Chat”: tidak terdapat cabang

pendek pada kromosom 5. Cabang pendek pada kromosom 18 tidak terdapat.


7. Akibat Prematuritas
Dalam kelompok ini termasuk retardasi mental yang berhubungan dengan

keadaan bayi yang pada waktu lahi berat badannya kurang dari 2500gram dan

atau dengan masa kehamilan kurang dari 38 minggu serta tidak terdapat sebab

– sebab lain seperti dalam sub kategori sebelum ini.


8. Akibat Gangguan Jiwa Yang Berat
Retardasi mental mungkin juga suatu gangguan jiwa yang berat dalam

masa anak – anak. Untuk membuat diagnosis ini harus jelas telah terjadi

gangguan jiwa yang berat dan tidak terdapat tanda – tanda patologi otak.

Penderita skizofrenia residual dengan deteriorasi mental tidak termasuk dalam

kelompok ini.
9. Akibat Deprivasi Psiko – Sosial
Retardasi mental dapat disebabkan oleh faktor – faktor biomedis atau pun

sosiobudaya (yang berhubungan dengan depivasi psikososial dan penyesuaian

diri). Untuk membuat diagnosis ini harus terdapat riwayat deprivasi

psikososial dan tidak terdapat tanda – tanda patologi susunan saraf. Keadaan

yang mengakibatkan retardasi mental ini mungkin kultural – familial atau dan

deprivasi lingkungan sosial.


a. Retardasi mental kultural – familial
Berdasarkan pada dua buah anggapan, yaitu bahwa depivasi kultural dapat

mengakibatkan retardasi mental ringan dan bahwa deprivasi kultural itu

mungkin merupakan akibat retardasi familial. Dengan demikian, untuk

7
mendiagnosis retardasi mental kultural –familial harus didapatkan retardasi

mental paling sedikit pada salah seoang dari orang tua penderita dan pada

seorang atau lebih saudaranya. Retardasi mental jenis ini biasanya ringan.
b. Retardasi mental akibat deprivasi lingkungan
Timbul karena kurangnya rangsangan dari lingkungan. Penelitian tentang

deprivasi sensorik membuktikan pentingnya rangsangan sensorik yang

memadai bagi perkembangan intelektual anak kecil. Tingkat rangsangan

sensorik itu mungkin terlalu rendah, misalnya terlalu kurang komunikasi

verbal mengakibatkan kesukaran mengutarakan isi pikiran dalam kata –

kata dan penalaran konkret serta menghambat pemikiran abstrak. Deprivasi

lingkungan mungkin juga karena gangguan pancaindera. Tingkat retardasi

biasanya ringan.
2.4 Patogenesis

Perlu dipahami bahwa otak bayi dan anak bukanlah miniatur otak dewasa.

Otak bayi dan anak merupakan organ tubuh yang masih tumbuh dan

berkembang. Otak bayi dan anak akan tumbuh menjadi besar, lebih besar, dan

masih berkembang dari otak yang semula imatur menjadi otak matur. Masa

selama 2 minggu setelah pembuahan atau disebut masa praembrio terjadi

pembelahan sel telur yang telah dibuahi. Sedangkan pada usia kehamilan 2-8

minggu disebut sebagai masa embrio.

Awal pembentukan susunan saraf pusat atau otak dimulai setelah kehamilan 8

minggu. Pertumbuhan dan perkembangan otak dimulai dengan pembentukan

lempeng saraf (neural plate) pada masa embrio, yakni sekitar hari ke-16.

Kemudian menggulung membentuk tabung saraf (neural tube) pada hari le-

8
22.Pada minggu ke-5 mulailah terlihat cikal bakal otak besar di ujung tabung

saraf. Selajutnya terbentuklah batang otak, serebelum (otak kecil), dan bagian-

bagian lainnya.Perkembangan otak sangat kompleks dan memerlukan beberapa

seri proses perkembangan, yang terjadi atas penambahan (poliferasi) sel,

perpindahan (migrasi sel), perubahan (diferensiasi) sel, pembentukan jalinan

saraf satu dengan yang lainnya (sinaps), dan pembentukan selubung saraf

(mielinasi).

Sel saraf (neuron) pada permulaan bentuknya masih sederhana, mengalami

pembelahan menjadi banyak, dan proses ini disebut proliferasi. Proses proliferasi

ini berlangsung selama kehamilan 4-24 minggu, dan selesai pada waktu bayi

lahir.Setelah proses proliferasi, sel saraf akan migrasi ke tempat yang semestinya.

Proses migrasi berlangsung sejak kehamilan kira-kira 16 minggu sampai akhir

bulan ke-6 masa gestasi. Proses migrasi ini terjadi secara bergelombang, yaitu sel

saraf yang bermigrasi awal akan menempati lapisan dalam dan yang bermigrasi

kemudian menempati lapisan dalam dan yang bermigrasi kemudian menempati

lapisan luar korteks serebri.

Pada akhir bulan ke-6, lempeng korteks ini sudah memiliki komponen sel

neuron yang lengkap dan sudah tampak adanya diferensiasi menjadi 6 lapis

seperti orang dewasa. Di tempat yang semestinya, sel saraf mengalami proses

diferensiasi (perubahan bentuk, komposisi, dan fungsi). Sel saraf berubah

menjadi sel neuron dengan cabang-cabangnya dan terbentuk pula sel penunjang

(sel Glia). Fungsi sel inilah yang mengatur kehidupan kita sehari-hari.

9
Ada yang mengatakan penambahan jumlah sel saraf telah selesai pada saat

kelahiran. Setelah lahir hanya terjadi pematangan fungsi sel saraf, tetapi selubung

saraf atau myelin yang disebut mielinisasi masih berkembang. Tetapi, setelah

lahir terjadi penambahan volume dan berat otak, bayi tampak lebih pintar. Hal ini

karena adanya pertumbuhan serabut saraf, adanya peningkatan jumlah sel glia

yang luar biasa dan proses mieliniasi akibat proses stimulasi yang didapat saat

lahir. Proses perkembangan otak ini memegang peranan penting dalam

perkembangan mental anak, hanya saja keterbatasan pengetahuan tentang

neuropatologi terhadap hal yang menyebabkan kemunduran intelektual,

sebagaimana telah dibuktikan dengan adanya 10-20% otak manusia dengan

retardasi mental berat, tetapi terlihat normal secara kesuluruhan. Sebagian besar

otak manusia menunjukkan perubahan yang ringan dan non-spesifik yang tidak

mempunyai hubungan yang kuat dengan derajat kemunduran intelektual.

Perubahan-perubahan tersebut meliputi mikrosefal, heterotopi substansia grisea

pada substansial alba bagian subkortikal, korteks dengan susunan regular yang

tidak biasa dan neuron yang terikat lebih kuat dari biasanya. Hanya sebagian

kecil dari otak yang menunjukkan perubahan spesifik pada susunan dendrit dan

sinap, dengan adanya disgenesis dari dendrit di spinal atau di neuron kortikal

atau adanya gangguan pertumbuhan dendrit. Pengaturan sistem saraf pusat yang

mencakup proses induksi; maturasi sistim saraf pusat dipengaruhi oleh genetik,

molekuler, autokrin, parakrin, dan endokrin. Reseptor-reseptor yang merangsang

molekul dan gen sangatlah penting dalam perkembangan otak, Pemeliharaan

fenotip neuron pada orang dewasa mencakup transkrip genetik yang sama, yang

10
berperan penting selama perkembangan fetus melalui aktivasi mekanisme

transduksi intrasel.

2.5 Pedoman Diagnosis

Anamnesis yang sangat diperlukan yaitu mengetahui penyebab retardasi

mentalnya, baik organik atau non organik, apakah kelainannya dapat

diobati/tidak, dan apakah ada faktor genetik/tidak. Dengan melakukan skrining

secara rutin misalnya dengan menggunakan DDST (Denver Developmental

Screening Test), maka diagnosis dini dapat segera dibuat. Demikian pula

anamnesis yang baik dari orang tua, pengasuh atau gurunya, akan sangat

membantu dalam menegakkan diagnosis. Setelah anak berumur 6 tahun dapat

dilakukan tes IQ. Sering kali hasil evaluasi medis tidak khas dan tidak dapat

diambil kesimpulan. Pada kasus seperti ini, apabila tidak ada kelainan pada

sistem susunan saraf pusat, perlu anamnesis yang teliti untuk mengetahui apakah

ada keluarga yang cacat, dan mencari masalah lingkungan/faktor non organik

lainnya yang diperkirakan mempengaruhi kelainan pada otak anak.

Gejala klinis retardasi mental terutama yang berat sering disertai beberapa

kelainan fisik yang merupakan stigmata kongenital, yang kadang-kadang

gambaran stigmata mengarah kesuatu sindroma penyakit tertentu. Dibawah ini

beberapa kelainan fisik dan gejala yang sering disertai retardasi mental, yaitu :

1. Kelainan pada mata:

 Katarak

 Sindrom Cockayne

11
 Sindrom Down

 Sindrom Lowe

 Kretin

 Galactosemia

 Rubela Pranatal, dll

 Bintik cherry – merah pada daerah makula

 Mukolipidosis

 Penyakit Tay - Sachs

 Penyakit Niemann –Pick

 Korioretinitis

 Lues Kongenital

 Sindrom Hurler

 Sindroma Hunter

 Sindrom Lowe

 Kepala

 Mikrosefali

 Makrosefali

 Hidrosefalus

 Mucopolisakaridase

 Efusi subdural

12
 Perawakan pendek

 Kretin

 Sindrom Prader-Willi

 Distonia

 Sindrom Hallervorden-Spaz

Gejala retardasi mental berdasarkan tipenya:

1. Retardasi mental ringan (F70)

Kelompok ini merupakan bagian terbesar dari retardasi mental. IQ berkisar

antara 50 – 69. Diagnosis dibuat setelah anak beberapa kali tidak naik kelas.

Golongan ini termasuk mampu didik, artinya selain dapat diajar baca tulis bahkan

bisa sampai kelas 4-6 SD, juga bisa dilatih keterampilan tertentu sebagai bekal

hidupnya kelak dan mampu mandiri seperti orang dewasa yang normal. Tetapi

pada umumnya mereka kurang mampu menghadapi stress, sehingga tetap

membutuhkan bimbingan dari keluarganya.

2. Retardasi mental sedang (F71)

Kelompok ini kira-kira 12% dari seluruh penderita retardasi mental, mereka

mampu latih tetapi tidak mampu didik. IQ biasanya dalam rentang 35 – 49. Taraf

kemampuan intelektualnya hanya dapat sampai kelas 2 SD saja, tetapi dapat dilatih

menguasai suatu keterampilan tertentu misalnya pertukangan, pertanian, dll. Dan

apabila bekerja nanti mereka ,memerlukan pengawasan. Mereka juga perlu dilatih

bagaimana mengurus diri sendiri. Kelompok ini juga kurang mampu mengahadapi

dan kurang dapat mandiri, sehingga memerlukan bimbingan dan pengawasan.

13
3. Retardasi mental berat (F72)

Sekitar 7% dari seluruh penderita retardasi mental masuk kelompok ini. . IQ

biasanya berada dalam rentang 20 – 34. Diagnosis mudah ditegakkan secara dini ,

karena selain adanya gejala fisik yang menyertai juga berdasarkan keluhan dari

orang tua dimana anak sejak awal sudah terdapat keterlambatan perkembangan

motorik dan bahasa. Kelompok ini termasuk tipe klinik. Mereka dapat dilatih

higiene dasar saja dan kemampuan berbicara yang sederhana , tidak dapat dilatih

keterampilan kerja dan memerlukan pengawasan dan bimbingan sepanjang

hidupnya.

4. Retardasi mental sangat berat (F73)

Kelompok ini sekitar 1 % dan termasuk dalam tipe klinik. . IQ biasanya

berada di bawah 20. Diagnosis dini mudah dibuat karena gejala baik mental dan

fisik sangat jelas. Kemampuan berbahasanya sangat minimal. Mereka ini seluruh

hidupnya tergantung pada orang disekitarnya.

Kriteria diagnostik retardasi mental menurut Diagnostic and Statistical

Manual of Mental Disorders, Fourth Edition, Text Revision (DSM-IV-TR) :

1. Fungsi intelektual yang secara signifikan dibawah rata-rata. IQ kira-kira 70 atau

dibawahnya.

2. Gangguan terhadap fungsi adaptif paling sedikit 2, misalnya komunikasi,

perawatan diri, kemampuan melakukan tugas-tugas rumah tangga, sosial,

pekerjaan, kesehatan dan keamanan.

3. Onsetnya sebelum berusia 18 tahun.

14
Pemeriksaan yang paling sering dilakukan pada anak dengan retardasi

mental antara lain neuroimaging, tes metabolik, genetik, kromosom darah, dan

elektro ensefalografi (EEG). Tes-tes tersebut sebaiknya tidak digunakan untuk

anak dengan keterbelakangan intelektual. Jenis tes yang dilakukan sebaiknya

didasarkan pada riwayat keluarga/kesehatan, pemeriksaan fisik, pemeriksaan

oleh bidang keilmuan yang lain, dan keinginan keluarga.

Tes Karyotype terutama ditujukan untuk melihat jumlah kromosom,

duplikasi, delesi, atau translokasi kromosom. Tes molekuler genetik untuk

sindrom Fragile X tepat digunakan untuk laki-laki dengan retardasi mental

sedang, perawakan fisik yang tidak normal, dan/atau memiliki riwayat retardasi

mental pada keluarga; atau perempuan dengan defisit kognitif ringan dengan

sikap pemalu yang berlebihan dan memiliki riwayat keluarga. Anak dengan

gangguan neurologis yang progresif atau perubahan perilaku tiba-tiba

membutuhkan investigasi metabolik (asam organik urin, asam amino plasma,

laktat darah, enzim lisosom dalam limfosit), anak dengan episode mirip kejang

harus mendapatkan pemeriksaan EEG. Anak dengan pertumbuhan kepala

abnormal atau asimetris dan temuan neurologis fokal harus menjalankan

prosedur neuroimaging.

Diagnosis retardasi mental membutuhkan pula tes intelijensia individual

dan tes kemampuan fungsi adaptif. The Bayley Scales of Infant Development

(BSID-II) merupakan skala penilaian intelejensi yang paling umum dipakai,

skala ini menilai kemampuan bahasa, kemampuan pemecahan masalah,

perilaku, kemampuam motorik halus, dan kemampuan motorik kasar pada anak

15
usia 1 bulan – 3 tahun, dari skala tersebut akan diperoleh hasil berupa mental

developmental index (MDI) dan skor psikomotor developmental index (PDI,

sebuah pengukuran kompetensi motorik). Tes ini dapat membedakan anak

dengan retardasi mental berat dan anak normal, namun tes ini tidak terlalu

bermanfaat untuk membedakan anak normal dengan anak yang mengalami

retardasi mental ringan.

Tes psikologis yang paling umum digunakan untuk anak > 3 tahun adalah

Wechsler scales. The Wechsler Preschool and Primary Scale of Intelligence-

revised (WPPSI-III) digunakan untuk anak usia mental 2,5 – 7,3 tahun. The

Wechlser Intelligence Scale for Children-4th edition (WISC-IV) digunakan

untuk anak dengan usia mental diatas 6 tahun. Kedua skala tersebut terdiri dari

beberapa subtest dalam area verbal dan keterampilan. Meskipun anak dengan

retardasi mental memiliki skor dibawah rata-rata pada seluruh subscale scores,

namun kadang mereka memiliki skor rata-rata pada satu atau lebih area

keterampilan.

Tes perilaku adaptif yang paling umum digunakan adalah Vineland

Adaptive Behavior Scale yang melibatkan wawancara dengan orangtua atau

guru dan menilai perilaku adaptif dalam 4 domain utama: komunikasi,

keterampilan hidup sehari-hari, sosialisasi dan kemampuan motorik. Bisanya

terdapat hubungan antara skor intelijensia dan skor adaptif. Kemampuan adaptif

dasar (makan, berpakaian, hygiene) lebih mudah diperbaiki dibandingkan

dengan skor IQ.2

2.6 Diagnosis Banding

16
Sebelum menegakkan diagnosis retardasi mental, kelainan-kelainan lain

yang mempengaruhi kemampuan kognitif dan perilaku adaptif juga harus

menjadi pertimbangan, diantaranya kondisi yang mirip dengan retardasi mental

dan kondisi lain yang melibatkan keterbelakangan intelektual sebagai salah satu

manifestasinya. Defisit sensoris (kemampuan pendengaran yang buruk dan

kehilangan penglihatan), gangguan komunikasi, dan kejang tak terkontrol dapat

menyerupai retardasi mental; gangguan neurologis progresif tertentu

munculannnya dapat menyerupai retardasi mental sebelum terjadinya regresi.

Lebih dari setengah anak-anak yang menderita serebral palsi atau autisme juga

menderita retardasi mental. Serebral palsi dengan retardasi mental tampak pada

kemampuan motoriknya, dimana pada serebral palsi kemampuan motorik lebih

dipengaruhi dibandingkan kemampuan kognitif, dan disertai adanya refleks

patologis dan perubahan tonus. Pada autisme, kemampuan adaptif sosial lebih

dipengaruhi dibandingkan kemampuan non verbal, dimana pada retardasi mental

biasanya terdapat lebih banyak defisit pada kemampuan sosial, motorik, adaptif

dan kognitif.

2.7 Pemeriksaan Penunjang

Beberapa pemerikasaan penunjang perlu dilakukan pada anak yang

menderita retardasi mental, yaitu : 3

1. Kromosomal kariotip

 Terdapat beberapa kelainan fisik yang tidak khas

 Anamnesis ibu tercemar zat-zat teratogen

17
 Terdapat beberapa kelainan kongenital

 Genitalia abnormal

2. EEG (Elektro Ensefalogram)

 Gejala kejang yang dicurigai

 Kesulitan mengerti bahasa yang berat

3. CT (Cranial Computed Tomography) atau MRI ( Magnetic Resonance

Imaging)

 Pembesaran kepala yang progresif

 Tuberous sklerosis

 Dicurigai kelainan otak yang luas

 Kejang lokal

 Dicurigai adanya tumor intrakranial

4. Titer virus untuk infeksi kongenital

 Kelainan pendengaran tipe sensorineural

 Neonatal hepatosplenomegali

 Petechie pada periode neonatal

 Chorioretinitis

 Mikroptalmia

 Kalsifikasi intrakranial

 Mikrosefali, dll

2.8 Penatalaksanaan

18
Penatalaksanaan anak dengan retardasi mental adalah multidimensi dan

sangat individual. Tetapi perlu diingat bahwa tidak setiap anak penanganan

multidisiplin merupakan jalan yang terbaik. Sebaiknya dibuat rancangan suatu

strategi pendekatan bagi setiap anak secara individual untuk mengembangkan

potensi anak tersebut seoptimal mungkin. Untuk itu perlu melibatkan psikolog

untuk menilai perkembangan mental anak terutama kognitifnya, dokter anak

untuk memeriksa fisik anak, menganalisis penyebab, dan mengobati penyakit

atau kelainan yang mungkin ada. Juga kehadiran pekerja sosial kadang-kadang

diperlukan untuk menilai situasi keluarganya. Atas dasar itu maka dibuatlah

strategi terapi. Sering kali melibatkan lebih banyak ahli lagi, misalnya ahli saraf

bila anak juga menderita epilepsi, palsi serebral, dll. Psikiater, bila anaknya

menunjukkan kelainan tingkah laku atau bila orang tuanya membutuhkan

dukungan terapi keluarga. Ahli rehabilitasi medis, bila diperlukan untuk

merangsang perkembangan motorik dan sensoriknya. Ahli terapi wicara, untuk

memperbaiki gangguan bicara atau untuk merangsang perkembangan bicara.

Serta diperlukan guru pendidikan luar biasa untuk anak-anak yang retardasi

mental ini.

Pada orang tua perlu diberi penerangan yang jelas mengenai keadaan

anaknya, dan apa yang dapat diharapkan dari terapi yang diberikan. Kadang-

kadang diperlukan waktu yang lama untuk meyakinkan orang tua mengenai

keadaaan anaknya. Bila orang tua belum dapat menerima keadaan anaknya, maka

perlu konsultasi pula dengan psikolog atau psikiater. Disamping itu diperlukan

kerja sama yang baik antara guru dengan orang tua, agar tidak terjadi kesimpang

19
siuran dalam strategi penanganan anak disekolah dan dirumah. Anggota keluarga

lainnya juga harus diberi pengertian, agar anak tidak diejek atau dikucilkan.

Disamping itu masyarakat perlu diberikan penerangan tentang retardasi mental,

agar mereka dapat menerima anak tersebut dengan wajar.

2.9 Pencegahan

Prevensi primer adalah usaha yang dilakukan untuk mencegah terjadinya

penyakit, yang dapat dibagi dalam dua kategori, yaitu:

(1) Memberikan perlindungan yang spesifik terhadap penyakit-penyakit tertentu,

misalnya dengan memberikan imunisasi;

(2) Meningkatkan kesehatan dengan memberikan gizi yang baik, perumahan

yang sehat, mengajarkan cara-cara hidup sehat, dengan maksud meninggikan

daya tahan tubuh terhadap penyakit.

Prevensi sekunder adalah untuk mendeteksi penyakit sedini mungkin dan

memberikan pengobatan yang tepat sehingga tidak terjadi komplikasi pada

susunan saraf pusat. Misalnya, identifikasi dini dan penanganan yang tepat

berbagai kondisi yang dapat ditanggulangi, seperti hipotiroidisme, dapat

mencegah terjadinya retardasi mental di kemudian hari. Intervensi yang cepat

dan tepat terhadap berbagai penyakit anak, seperti keracunan timah atau

hematoma subdural pascatrauma, mengurangi kemungkinan terjadinya kerusakan

sel otak.

Diagnosis dan koreksi dini defek sensoris pada anak, dapat meningkatkan

secara maksimal kemungkinan anak tersebut untuk mendapatkan rangsangan

20
sensoris, sehingga dapat dicegah terjadinya retardasi mental akibat defisiensi

sensoris.

2.10 Komplikasi

Anak dengan retardasi mental memiliki resiko lebih tinggi untuk terjadinya

gangguan penglihatan, pendengaran, ortopedi, dan perilaku atau emosi.Deficit

yang paling umum terjadi diantaranya gangguan motoric, ganngguan perilaku

atau emosi, komplikasi medis, dan kejang.Makin parah tingkat retardasi makin

banyak kompikasi yang terjadi.Dengan mengetahui tingkat retardasi mental

dapat membantu memprediksi ganngguan yang dapt terjasi.Sindrom Fragile

Xdan Sindrom Fetal Alcohol dihubungkan dengan tingginya angka kejadian

gangguan perilaku; Down Syndrome memiliki banyak komplikasi medis

( hipotiroidisme, Celiace disease, penyakit jantung bawaan). Bila gangguan

tersebut terjadi dibutuhkan terapi fisik jangka panjang, occupational terapi,

terapi wicara, alat bantu dengar, dan obat-obatan medis. Kegagalan dalam

mengidentifikasi dan tata laksana adekuat terhadap gangguan yang terjadi dapat

menghambat kesuksesan dan rehabilitasi dan menyebabkan kesulitan daalam

aktifitas di sekolah, rumah, dan lingkungan.

2.11 Prognosis

Retardasi mental yang diketahui penyakit dasarnya, biasanya prognosisnya

lebih baik. Tetapi pada umumnya sukar untuk menemukan penyakit dasarnya.

Anak dengan retardasi mental ringan, dengan kesehatan yang baik, tanpa

penyakit kardiorespirasi, pada umumnya umur harapan hidupnya sama dengan

21
orang yang normal. Tetapi sebaliknya pada retardasi mental yang berat dengan

masalah kesehatan dan gizi, sering meninggal pada usia muda.

Pada anak dengan retardasi mental berat, gejalanya telah dapat terlihat

sejak dini. Retardasi mental ringan tidak selalu menjadi gangguan yang

berlangsung seumur hidup. Seorang anak bisa saja pada awalnya memenuhi

kriteria retardasi mental saat usianya masih dini, namun seiring dengan

bertambahnya usia, anak tersebut dapat saja hanya menderita gangguan

perkembangan (gangguan komunikasi, autisme, slow learner-intelejensia

ambang normal). Anak yang didiagnosa dengan retardasi mental ringan di saat

masa sekolah, mungkin saja dapat mengembangkan perilaku adaptif dan

berbagai keterampilan yang cukup baik sehingga mereka tidak dapat lagi

dikategorikan menderita retardasi mental ringan, atau dapat dikatakan efek dari

peningkatan maturitas menyebabkan anak berpindah dari satu kategori

diagnosis ke kategori lainnya (contohnya, dari retardasi mental sedang menjadi

retardasi mental ringan). Beberapa anak yang didiagnosis dengan gangguan

belajar spesifik atau gangguan komunikasi dapat berkembang menjadi retardasi

mental seiring dengan berjalannya waktu. Ketika masa remaja telah dicapai,

maka diagnosis biasnya telah menetap.

Prognosis jangka panjang dari retardasi mental tergantung dari penyebab

dasarnya, tingkat defisit adaptif dan kognitif, adanya gangguan perkembangan

dan medis terkait, dukungan keluarga, dukungan sekolah/masyarakat, dan

pelayanan dan training yang tersedia untuk anak dan keluarga. Saat dewasa,

banyak penderita retardasi mental yang mampu memenuhi kebutuhan ekonmi

22
dan sosialnya secara mandiri. Mereka mungkin saja membutuhkan supervisi

secara periodik, terutama di saat mengalami masalah sosial maupun ekonomi.

Kebanyakan penderita dapat hidup dengan baik dalam masyarakat, baik secara

mandiri maupun dalam supervisi. Angka harapan hidup tidak terpengaruh oleh

adanya retardasi mental ini.

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Retardasi mental disebabkan oleh berbagai faktor yang penyebab dasarnya

belum dapat dijelaskan secara pasti. Anak dengan retardasi mental akan banyak

mengalami hambatan dalam fungsi intelektual maupun aktivitas sehari-hari.

Kebanyakan anak dengan kemunduran intelektual ini tidak bisa mengikuti teman

sebayanya dan tidak bisa mencapai perkembangan sesuai dengan umur.

23
Dalam mendiagnosa retardasi mental, tidak hanya dinilai dari IQ saja akan

tetapi kita perlu mendapatkan anamnesa yang komprehensif dari orang tua

mengenai riwayat kehamilan, persalinan dan tumbuh kembang anak. Selain itu

diperlukan pemeriksaan fisik, psikologis, pemeriksaan laboratorium secara

cermat terhadap seorang anak. Observasi psikiatrik juga perlu dikerjakan untuk

mengetahui adanya gangguan psikiatrik disamping retardasi mental.

Dokter juga harus mampu memberi penerangan yang jelas kepada orang tua

mengenai keadaan anaknya, dan apa yang dapat diharapkan dari terapi yang

diberikan. Serta penerangan yang jelas tentang retardasi mental kepada

masyarakat juga sangat diperlukan agar mereka dapat menerima anak tersebut

dengan wajar.

Penatalaksanaan anak dengan retardasi mental adalah multidimensi dan

sangat individual. Oleh karena itu seorang dokter harus mampu membuat strategi

pendekatan dalam penatalaksaan yang komprehensif dengan melibatkan psikolog

yang berperan dalam menilai perkembangan mental anak terutama kognitifnya,

ahli rehabilitasi medis, ahli terapi wicara, dan guru sebagai pendidik anak

tersebut. anak yang retardasi memerlukan perawatan intensif dan khusus seperti

pemeriksaan kesehatan yang rutin, imunisasi, dan monitoring terhadap tumbuh

kembangnya serta masalah nutrisi.

24
DAFTAR PUSTAKA

1. Yatchmink Yvette. Keterlambatan Perkembangan: Maturasi Yang Tertinggal

Hingga Retardasi Mental. In: Bani PA, Limanjaya D, Anggraini D, Mahanani DA,

Hartanto H, Mandera LI, et al, editors. Buku Ajar Pediatri Rudolph. 20 th ed.

Jakarta: EGC; 2006. p. 136-9.

2. Shapiro Bruce K, Batshaw Mark L. Mental Retardation (Mental Disability). In:

Shreiner Jennifer, editor. Nelson Textbook of Pediatrics. 18th ed. Philadelphia:

Saunders Elsevier; 2007. p. 191-7.

25
3. Maramis Alberth A, Maramis Willy F. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa Edisi 2.

Jakarta: Airlangga University Press; 2009.p.385-397

4. Maslim Rusdi: Diagmosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas PPDGJ-III. Jakarta:

Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya; 2001.p. 118-121.

5. Soetjiningsih. Tumbuh Kembang Anak. Jakarta: EGC; 1995.

6. Armatas V. Mental Retardation: Definitions, Etiology, Epidemiology, and

Diagnosis. Jurnal of Sport and Health Research 2009; 1 (2): 112-122.

7. Prugh Dane G. Mental Retardation. The Psychosocial Aspects of Pediatrics.

Philadelphia: Lea & Febiger; 1983. p. 395-412.

8. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Pertumbuhan, perkembangan otak pada bayi dan

anak [Online]. 2009; available from: URL:

http://www.idai.or.id/kesehatananak/artikel.asp?q=1983413154521

26

Anda mungkin juga menyukai