Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN TETAP

KOAGULASI-FLOKULASI
LABORATORIUM TEKNIK SEPARASI DAN PURIFIKASI

DISUSUN OLEH:

PRIMA WIJAYA (03031281722044)


ADIB GHIFAR (03031381722102)
SITI SHAFA SONINDA (03031381722103)
BASARIA BETHANY LUSIANA T. (03031381722109)

NAMA COSHIFT : HENDRI PRASETYO


NAMA ASISTEN : HOSANA WIDHANINGTYAS

JURUSAN TEKNIK KIMIA


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2019
ABSTRAK

Air sumur mengandung zat-zat pengotor yang menyebabkan air tersebut


mempunyai harga zat padat terlarut, zat padat tersuspensi, COD dan BOD yang
melebihi baku mutu Permenkes RI No.492/Menkes/IV/2010 tentang syarat-syarat
dan pengawasan kualitas air minum. Banyak metode dalam penjernihan air salah
satunya menggunakan koagulan untuk mendestabilisasikan koloid yang berada
dalam air sumur. Praktikum ini menggunakan proses koagulasi untuk mengetahui
perubahan air sumur. Koagulan yang digunakan pada praktikum ini berupa tawas.
Mekanisme dari penggunaan tawas ini yaitu dilakukannya proses pengadukan cepat
dengan kecepatan 100 rpm lalu kecepatan diturunkan hingga 50 rpm dan terakhir
adalah proses sedimentasi. Faktor yang di amati berupa pH dan turbidiity sebesar
6,95 dan 173 NTU sebelum mengalami proses koagulasi. Hasil dari percobaan ini
didapatkan air sumur memiliki turbidity paling rendah pada pemakaian 4ml
koagulan yaitu 4,56 NTU. Air sumur memiliki pH 4,56 pada pemakaian 4ml tawas
yang menyebabkan air sumur terlalu asam yang dibutuhkan perlakuan lebih lanjut
untuk menaikkan pH air agar netral seperti dengan menambahkan senyawa basa
kedalam air. Tawas dengan berat 5 ml memiliki turbidity diatas tawas 4 ml
dikarenakan koagulan yang berlebih akan ikut menjadi pengotor didalam air sumur
yang digunakan sebagai sampel. Air sumur yang telah di koagulasikan ini telah
memenuhi mutu turbidity dari Permenkes namun perlu dilakukan tahap lanjut untuk
memenuhi baku mutu air bersih layak pakai yang lain.

Kata kunci: Koagulasi, Flokulasi, Air Sumur, Tawas, Destabilisasi


BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Air merupakan salah satu kebutuhan utama bagi kelangsungan hidup
manusia. Air bersih akan sangat berguna terutama untuk melakukan kegiatan
sehari-hari. Ketersediaan air bersih harus menjadi perhatian semua orang agar tidak
mengganggu kehidupan manusia. Penghematan terhadap air bersih dapat menjadi
salah satu cara untuk menjaga ketersediaan akan air bersih. Kebersihan air bersih
terganggu akibat pencemaran yang terjadi khususnya di daerah perkotaan.
Penurunan kualitas air terjadi karena banyak pencemaran yang berasal dari selokan,
sungai, dan air tanah maka perlu adanya pencegahan pencemaran air agar
kebutuhan air bersih di perkotaan dapat terpenuhi.
Pengolahan air terkadang melalui proses yang cukup kompleks dan
memerlukan waktu yang lama. Metode konvensional masih banyak digunakan
untuk dapat mengolah carian atau air agar menjadi bersih. Pengendapan merupakan
salah satu contoh pemisahan zat pengotor pada cairan namun cara tersebut hanya
dapat memisahkan partikel pengotor secara fisik. Pemisahan secara biologis
diperlukan metode secara kimiawi agar partikel atau koloid yang terlarut dalam air
dapat dipisahkan dari cairan. Cara agar cairan tersebut dapat terbebas dari zat
pengotor adalah dengan penambahan bahan kimia (koagulan).
Maka dari itu, praktikum ini bertujuan untuk mengetahui salah satu upaya
peningkatan kualitas air bersih dengan proses koagulasi-flokulasi. Proses ini dapat
menghilangkan koloid atau partikel kotor secara cepat dan efisien. Penggunaan
proses koagulasi-flokulasi dapat menghasilkan produk yang memiliki tingkat
kemurnian tinggi dari zat pengotor sehingga air bersih dapat disalurkan agar dapat
digunakan untuk kehidupan sehari-hari. Pengadukan secara cepat diperlukan agar
gumpalan dapat berkumpul sehingga memudahkan dalam proses pemisahan antar
zatProses koagulasi-flokulasi dapat menjadi salah satu opsional yang tepat jika
ingin memisahkan antara partikel atau koloid yang merupakan zat tersuspensi
dalam zat fase cair dengan media yang ingin dipurifikasi yakni berupa air.

1
2

1.2. Rumusan Masalah


1) Bagaimana prinsip kerja dari koagulasi-flokulasi?
2) Bagaimana pengaruh derajat keasaman sampel saat sebelum dan
sesudah penambahan tambahkan koagulan?
3) Bagaimana pengaruh turbidity sampel saat sebelum dan sesudah
penambahan tambahkan koagulan?
4) Bagaimana cara dan proses mengukur pH meter dan turbidity meter?
1.3. Tujuan
1) Mengetahui prinsip kerja dari koagulasi-flokulasi.
2) Mengetahui pengaruh derajat keasaman sampel saat sebelum dan
sesudah penambahan tambahkan koagulan.
3) Mengetahui pengaruh turbidity sampel saat sebelum dan sesudah
penambahan tambahkan koagulan.
4) Mengetahui cara dan proses mengukur pH meter dan turbidity meter
1.4. Manfaat
1) Mampu mengetahui derajat keasaman, turbiditas, dan absorbansi
kandungan mangan sampel.
2) Mampu memahami proses koagulasi-flokulasi dengan baik.
3) Mampu mengetahui hubungan antara konsetrasi dan absorbansi
dengan persamaan regresi.
4) Mampu memahami dan mengoperasikan alat pH meter dan turbidity
meter pada proses koagulasi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian Koagulasi


Jenis partikel koloid merupakan penyebab kekeruhan dalam air yang
disebabkan oleh penyimpangan sinar nyata yang menembus suspensi tersebut.
Partikel-partikel koloid tidak terlihat secara bentuk sedangkan larutannnya (tanpa
partikel koloid) yang terdiri dari ion-ion dan molekul-molekul tidak pernah keruh.
Larutan tidak keruh jika terjadi pengendapan yang merupakan keadaan kejenuhan
dari suatu senyawa kimia. Partikel koloid dalam air sulit mengendap secara normal.
Partikel koloid mempunyai muatan, penambahan koagulan akan menetralkan
muatan tersebut. Partikel netral akan saling berikatan dan membentuk flok-flok
besar dari partikel koloid yang memiliki ukuran yang sangat kecil. Hal ini dapat
disebut juga sebagai proses flokulasi (Yuliati, 2006).
Koagulasi – flokulasi merupakan salah satu proses pengolahan air limbah
yang dapat digunakan dalam penelitian ini. Koagulasi merupakan proses yang
memanfaatkan ion-ion yang mempunyai muatan berlawanan dengan muatan koloid
yang terdapat dalam limbah cair sehingga meniadakan kestabilan ion (Bangun dkk,
2013). Pemilihan ini dikarenakan prosesnya yang sederhana, mudah diaplikasikan,
biaya relatif murah, dan mampu mengolah limbah hingga memenuhi baku mutu.
Koagulasi adalah proses penambahan koagulan atau zat kimia ke dalam suatu
larutan dengan tujuan untuk mengkondisikan suspensi, koloid, dan materi
tersuspensi dalam persiapan proses lanjutan yaitu flokulasi. Flokulasi adalah proses
pengumpulan partikel-partikel dengan muatan tidak stabil yang kemudian saling
bertubrukan sehingga membentuk kumpulan partikel-partikel dengan ukuran yang
lebih besar menjadi satu yang disebut flok (Rusydi dkk, 2016).
Limbah buffing termasuk dalam limbah B3 sehingga memerlukan
penanganan khusus dalam pengolahannya. Tinjauan dari komposisi oksida logam
yang dominan, limbah buffing terdiridari oksida logam besi, aluminium dan logam-
logam yang lain. Kandungan Al dan Fe yang tinggi pada limbah buffing
merupakan sumberdaya potensial untuk dijadikan bahan baku pembuatan koagulan

3
4

berbasis logam, salah satunya adalah alum. Koagulan berbasis logam Al dan Fe
sudah dikenal dan digunakan secara luas dalam pengolahan air. Garam aluminium
dan besi akan membentuk gelatin hidroksida logam yang memiliki kemampuan
untuk mengendapkan partikel-partikel pada koloid (Yuliati, 2006) .
Proses pada jenis limbah cair tekstil, salah satunya limbah yang
berkarakteristik bening, proses koagulasi - flokulasi tidak bisa diterapkan dengan
baik karena larutan yang bening miskin akan partikel-partikel materi tersuspensi
pada pembentuk koloid. Proses ini perlu dilakukan secara bertahap yakni dengan
terlebih dahulu menaikkan kandungan partikel-partikel tersuspensi melalui
penambahan pada tanah lempung yang ada (Rusydi dkk, 2016).
Menurut Yuliati (2006) menyatakan bahwa ketidakstabilan pada sistim
koloid akibat penetralan muatan akan menurunkan besarnya gaya tolak menolak
antar partikel-partikel koloid tersebut. Pengaruh mendorong pembentukan partikel,
harus diambil langkah-langkah tertentu mengurangi muatan partikel. Pengaruh
muatan pada koagulasi-flokulasi yang dapat mengatasinya dengan:
1. Penambahan ion
2. Penambahan bahan kimia
Koagulasi merupakan proses destabilisasi muatan partikel koloid,
suspended solid halus dengan penambahan koagulan disertai dengan pengadukan
cepat untuk mendispersikan bahan kimia secara merata. Suspensi pada koloid tidak
mengendap bersifat stabil dan terpelihara dalam keadaan terdispersi, karena
mempunyai gaya elektrostatis yang diperolehnya dari ionisasi bagian permukaan
serta absorpsi ion-ion dari larutan sekitar (Moelyo dkk, 2012).

2.2. Proses Koagulasi


Secara umum proses koagulasi adalah pembubuhan bahan kimia ke dalam
air limbah yang akan diolah dengan maksud agar partikel-partikel yang susah
mengendap dalam air mengalami destabilisasi dan saling berikatan membentuk flok
yang lebih besar dan berat, sehingga mudah mengendap di bak sedimentasi dan atau
bak filtrasi. Proses destabilisasi efektif, molekul polimer mengandung kimia yang
dapat berinteraksi dengan permukaan partikel koloid, dikarenakan impurities
merupakan kandungan tak stabil perlu didestabikisasikan (Moelyo dkk, 2012).
5

. Proses yang saat terjadi kontak antara molekul polimer dengan partikel
koloid, beberapa dari kelompok kimia pada polimer terserap ke permukaan partikel,
meninggalkan molekul polimer yang tersisa pada larutan. Proses yang terjadi
kontak antar molekul polimer yang tersisa dengan partikel kedua yang memiliki
permukaan adsorbsi yang kosong, maka akan terjadi ikatan. Partikel polimer
komplek akan terbentuk dengan polimer sebagai penghubung proses koagulasi pada
pengolahan air limbah, apabila kekuatan ionik dalam air sangat kecil sehingga
menyebabkan kondisi koloid stabil. Koloid umumnya susah saling berikatan,
karena memiliki muatan yang sama (Wirandani, 2017).
Sifat partikel selalu dalam keadaan stabil, hal ini disebabkan karena muatan
antar patikel sama sehingga terjadi gaya tolak menolak. Sifatnya tersebut maka
partikel koloid akan selalu menyebabkan kekeruhan dan sulit untuk dipisahkan
dengan cara penyaringan maupun pengendapan. Cara untuk dapat memperbesar
ukuran partikel tersebut salah satunya menetralkan muatan partikel dengan jalan
menambahkan larutan kimia tertentu, sehingga partikel koloid akan membentuk
suatu gumpalan atau flok (Prayudi dkk, 2000).
Menurut Moelyo (2012), menyatakan bahwa untuk merangsang partikel
koloid agar dapat bergabung membentuk gumpalan yang lebih besar diperlukan dua
cara, yaitu partikel harus didestabilisasikan dan dipindahkan. Destabilisasi partikel
dapat dicapai melalui cara penekanan lapisan ganda listrik, penyerapan untuk
netralisasi, penjeratan pada presipitasi, dan pembentukan antar partikel.
Penekanan lapisan ganda listrik dan penetralan dikategorikan sebagai proses
koagulasi, sedangkan penjeratan dan pembentukan antar partikel sebagai flokulasi.
Destabilisasi partikel dengan cara penekanan dapat dicapai melalui penambahan
elektrolit muatan yang berlawanan dengan muatan partikel koloid. Dasar dari
mekanisme ini adalah bahwa interaksi dari koagulan dengan partikel koloid terjadi
karena efek berasal dari elektrostatik, ion sejenis dengan partikel koloid akan saling
tolak menolak satu sama lain, sedangkan pada partikel yang muatannya berlawanan
akan sama-sama saling tarik menarik. Ikatan valensi yang bersal dari koagulan
mengandung energi positif yang akan mencari partikel negatif ialah yang berasal
dari partikel negatif koloid, sehingga terjadi proses tarik menarik (Yuliati, 2006).
6

2.3. Proses Flokulasi


Flokulasi adalah pengadukan perlahan terhadap larutan jonjot mikro yang
menghasilkan jonjot besar dan kemudian mengendap secara cepat flokulasi
perikinetik flok yang diakibatkan oleh adanya gerak panas yang dikenal sebagai
gerak Brown, prosesnya disebut flokulasi perikinetik. Gerak acak dari partikel pada
koloid ditimbulkan adanya tumbuhan molekul air (Rahimah dkk, 2016).
Flokulasi orthokinetik adalah suatu proses terbentuknya flok yang
diakibatkan oleh terbentuknya gerak media air misalnya pengadukan. Umumnya
kecepatan aliran cairan akan berubah terhadap tempat dan waktu. Perubahan
kecepatan dari satu titik ke titik lainnya dikenal sebagai gradien kecepatan, dengan
notasi G. Perbedaan kecepatan aliran media cair akan mempunyai aliran kecepatan
yang berbeda pula akibatnya (Rahimah dkk, 2016).
2.4. Faktor-faktor Koagulasi
Menurut Rahimah, dkk (2016), menyatakan bahwa koagulasi mempunyai
faktor-faktor yang dipengaruhinya yaitu ialah suhu air yang rendah mempunyai
pengaruh terhadap efisiensi proses koagulasi. Faktor suhu air diturunkan maka
besarnya daerah pH yang optimum pada proses kagulasi akan berubah dan merubah
pembubuhan dosis koagulan. Proses koagulasi akan berjalan dengan baik bila
berada pada daerah pH yang optimum. Proses pada tiap jenis koagulan mempunyai
pH optimum yang berbeda satu sama lainnya. Alkalinitas dalam air dapat
membentuk flok dengan menghasil ion hidroksida pada reaksi hidrolisa koagulan.
Faktor pada alkalinitas dalam air ditentukan juga oleh kadar pada kondisi asam atau
hidroksida yang terjadi di dalam air sampel tersebut.
Derajat keasaman (pH) adalah salah satu faktor terpenting yang
mempengaruhi proses koagulasi. Proses koagulasi dilakukan tidak ada rentang pH
optimum akan mengakibatkan gagalnya proses pembentukan flok dan rendahnya
kualitas air yang dihasilkan. Kisaran pH yang efektif untuk proses koagulasi dengan
alum adalah pada pH 5,5–8,0 (Rachmawati dkk, 2009).
Menurut Aladin, dkk (2010), menyatakan bahwa dalam pemilihan jenis
koagulan didasarkan pada pertimbangan segi ekonomis dan daya efektivitas dari
pada koagulan dalam pembentukan flok. Kegunaan dosis koagulan akan
7

menghasilkan inti flok yang lain dari proses koagulasi dan flokulasi sangat
tergantung dari dosis koagulasi yang dibutuhkan bila pembubuhan koagulan sesuai
dengan dosis yang dibutuhkan maka pada proses pembentukan inti flok akan
berjalan dengan baik. Faktor selanjutnya ialah pada pengadukan yang dimana
tujuan pada pengadukan adalah untuk mencampurkan koagulan ke dalam air.
Faktor pengadukan hal-hal yang perlu diperhatikan adalah pengadukan harus benar-
benar merata, sehingga pada semua koagulan yang sedang dibubuhkan dapat
bereaksi dengan partikel-partikel atau ion-ion yang berada dalam air. Pada tingkat
kekeruhan yang rendah proses destibilisasi akan sukar terjadi.

2.5. Koagulan
Koagulan adalah senyawa yang memiliki kemampuan untuk menetralkan
muatan koloid dalam sebuah cairan dan mengikat partikel koloid sehingga
membentuk flok atau gumpalan (Yuliati, 2006), koagulan juga dapat diartikan
sebagai bahan kimia yang dimasukkan ke dalam air untuk menghasilkan efek
koagulasi. Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam suatu koagulan, yaitu:
1. Kation bervalensi tiga (trivalent)
2. Tidak beracun
3. Tidak larut dalam kisaran pH netral
Bahan kimia yang digunakan sebagai koagulan adalah kapur, alum, dan
polielektrolit (organik sintesis) (Hammer, 1986). Polielektrolit dapat berupa kation,
anion, nonionik dan Miccellaneous (Liu dan Liptak, 2000). Garam-garam besi seperti
feri klorida (FeCl3) dan besi sulfat (Fe2(SO4)3.H2O) dapat dipergunakan pula sebagai
koagulan (Davis dan Cornwell, 1991). Alumunium sulfat dan poly alumunium chloride
(PAC) merupakan koagulan anorganik dengan produksi terbanyak. Bahan koagulan
yang sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari, yaitu:
1. Aluminium sulfat Al2(SO4)3
2. Ferro sulfat: FeSO4
3. Ferri sulfat: Fe2(SO4)3
4. Natrium aluminat: NaAlO2
5. Ferro chloride: FeCl2
6. Ferri chloride: FeCl3
8

2.5.1. Poly Aluminium Chloride (PAC)


Menurut Yuliati (dalam Enchanpin, 2005) menyatakan bahwa PAC
merupakan koagulan anorganik yang tersusun dari polimer makromolekul yang
mempunyai sifat-sifat tingkat adsorpsi yang cukup kuat, partikel molekul memiliki
kekuatan lekat, tingkat dosis yang kecil namun pembentukan flok-flok secara cepat,
serta waktu pengendapan atau sedimentasi cepat. Keunggulan lain dari senyawa ini
adalah cakupan penggunaan yang luas. Produk ini adalah suatu agen dalam proses
penjernihan air dengan efisiensi tinggi, cepat dalam proses pengolahan air, aman
dan konsumsi memiliki konsentrasi yang sangat rendah.
Adsorbsi koagulan pembantu pada mikroflok sangat penting, supaya
makroflok dapat terbentuk. Hal ini sangat dipengaruhi oleh karakteristik batas
permukaan antara molekul dan hal ini sangat tergantung dari komposisi air.
Koagulan pembantu dikelompokkan menjadi tiga yaitu, koagulan non ionogen,
koagulan anion aktif dan koagulan kation aktif (Kurniawan, 2017).
Menurut Yuliati (2006), di dalam cairan PAC, ion-ion garam dalam alumunium
dibentuk menjadi polimer-polimer yang terdiri dari sekelompok ion yang dihubungkan
oleh atom-atom oksigen. Polimer-polimer ini hanya terbentuk dalam cairan garam
alumunium yang sebagian telah dinetralkan melalui reaksi dengan basa. Derajat
polimerisasi meningkat seiring dengan besarnya netralisasi. Netralisasi mengubah
karakteristik dasar dari cairan. Yuliati (dalam Hardman, 2002) menjelaskan bahwa
netralisasi total garam aluminium mengakibatkan pengendapan aluminium hidroksida,
dengan formula kimianya berupa Al(OH)3 atau Al2(OH)6.
PAC dapat digunakan dengan interval dosis yang luas dan sangat cocok untuk
beranekaragam kekeruhan, kebasaan, dan jumlah bahan organic di dalam air. Apabila
dibandingkan dengan alumunium sulfat, PAC memiliki beberapa kelebihan, yaitu PAC
mempunyai efek koagulasi yang lebih baik, sangat cocok digunakan pada temperatur
rendah (kurang dari 10ºC), flok terbentuk sangat cepat, serta memiliki waktu singkat
untuk dapat bereaksi dan mengendap (Yuliati, 2006).

2.6. Koagulasi dengan Garam Metal


Menurut Sahu dan Chaudhari (dalam Duan dan Gregory, 2003), garam
metal merupakan garam yang mengandung logam dan digunakan sebagai koagulan.
Senyawa logam memiliki tingkat pH koagulasi dan karakteristik flok yang mirip
9

dengan aluminium sulfat. Harga dari senyawa logam biasanya lebih murah dari
pada tawas, tetapi senyawa logam biasanya bersifat korosif dan akan menimbulkan
beberapa kesulitan dalam proses pelarutannya, dan penggunaannya kemungkinan
menghasilkan konsentrasi logam yang tinggi di aliran prosesnya.
Garam metal paling banyak digunakan sebagai koagulan termasuk ferri
sulfat, ferri klorida, dan ferro sulfat. Senyawa-senyawa ini dapat menghasilkan
koagulasi yang baik saat kondisinya terlalu asam. Partikel-partikel koloid dapar
dihilangkan dengan sangat baik pada saat kondisinya asam, dan senyawa logam
memberikan hasil yang lebih baik lagi. Banyak produk hidrolisis merupakan
senyawa kation dan dapat berinteraksi dengan koloid negatif, menghasilkan proses
demineralisasi dan koagulasi, dibawah kondisi dan pH yang tepat. Fe (III) memiliki
kadar kelarutan terbatas pada saat pH netral, hal ini disebabkan oleh pengendapan
dari hidroksida yang tidak berbentuk (Sahu dan Chaudhari, 2013).

2.7. Koloid
Koloid merupakan suatu campuran berfase dua, yaitu: fase pendispersi dan
fase terdis-persi dengan ukuran partikel terdispersi berkisar antara 1 nm sampai
dengan 100 nm. Sistem koloid merupakan suatu bentuk campuran yang keadaannya
terletak antara larutan dan suspensi (campuran kasar). Istilah koloid berasal dari
bahasa Yunani, yaitu “kolla” dan “oid” (Mose, 2014). Kolla berarti lem sedangkan
oid berarti seperti. Koloid adalah campuran heterogen dan merupakan sistem dua
fase. Dua fase ini meliputi zat terlarut sebagai partikel koloid atau yang sering
dikenal dengan fase terdispersi serta zat yang merupakan fase kontinu dimana
partikel koloid terdispersi yang disebut medium pendispersi. Besar ukuran pada
partikel koloid memiliki diameter berkisar antara 1-100 nm.
Sistem koloid terdiri atas dua fasa, yaitu fasa terdispersi dan fasa pendispersi
(medium disperse). Sistem koloid dapat dikelompokkan berdasarkan jenis fasa
terdispersi dan fasa pendispersinya (Pratiwi, 2014). Beberapa jenis koloid, yaitu sol,
emulsi, dan buih. Sol adalah jenis koloid dengan fase terdispersi padat. Sol
dibedakan menjadi sol padat, sol cair dan sol gas. Emulsi adalah campuran dari dua
jenis koloid dengan fase terdispersi cair. Emulsi memiliki tiga jenis, yaitu
emulsiipadat (gel), emulsi cair, dan emulsi gas (aerosol). Buih adalah koloid dengan
10

fase terdispersi gas dan medium pendispersi zat cair atau zat padat. Buih
merupakan jenis koloid dengan fase terdispersi gas. Buih dibedakan menjadi buih
padatan dan buih cair. Buih padat adalah sistem koloid dengan fase terdispersi das
dan dengan medium pendestrasi di bawah dengan mengetahui konversi besar.
Menurut Mose (2014) terdapat beberapa sifat fisik yang membedakan
koloid dengan larutan sejati, salah satunya adalah efek Tyndall. Efek tyndall dapat
digunakan untuk membedakan koloid dari larutan, sebab atom, molekul atau ion
yang membentuk larutan tidak dapat menghamburkan cahaya akibat ukurannya
terlalu kecil. Efek Tyndall (hamburan cahaya) oleh suatu campuran menunjukan
bahwa campuran tersebut adalah suatu koloid, dimana ukuran partikelnya lebih
besar dari ukuran partikel dalam larutan, sehingga dapat menghamburkan cahaya.
Sifat fisik yang membedakan koloid dengan larutan sejati adalah gerak
Brown. Partikel-partikel koloid akan tampak dalam larutan apabila mikroskop optik
diarahkan pada suatu dispersi koloid dengan arah tegak lurus terhadap berkas
cahaya yang dilewatkan. Partikel koloid bergerak terus-menerus secara acak
dengan arah yang zig-zag. Hal ini dapat dilihat dengan mengikuti bintik-bintik
cahaya pada saat melihat di mikroskop. Gerak partikel ini disebut dengan gerak
Brown. Gerakan acak dari partikel atau disebut juga dengan gerakan Brown
diakibatkan oleh tumbukan antarpartikel yang tidak merata.
Sifat fisik lainnya dari koloid adalah adsorpsi. Adsorpsi terjadi apabila
partikel-partikel sol padat ditempatkan dalam zat cair atau gas sehingga partikel-
partikel zat cair atau gas tersebut akan terakumulasi pada permukaan zat padatnya.
Partikel koloid sol memiliki kemampuan untuk mengadsorpsi partikel-partikel pada
permukaannya, baik partikel bermuatan (kation atau anion) ataupun partikel netral
karena memiliki permukaan yang sangat luas. (Mose, 2014).
Partikel koloid merupakan partikel diskrit yang terdapat dalam suspensi air
baku, dan partikel inilah yang merupakan penyebab utama kekeruhan. Partikel
koagulan yang mampu menyerap koloid, hanya saja dengan praktukum tidak pakai
PAC . Stabilitas koloid tergantung pada ukuran koloid serta muatan elektrik
yang dipengaruhi oleh kandungan kimia, pada koloid dan media dispersi seperti
kekuatan ion, pH dan kandungan organik dalam air (Rachmawati dkk, 2009).
11

2.8. Jar Test


Jar test adalah suatu metode pengujian untuk mengetahui kemampuan suatu
koagulan dan menentukan kondisi operasi (dosis). Besaran yang diukur dan dicatat
dalam jar test ini meliputi pH air limbah, TSS dan kekeruhannya serta dosis
penambahan koagulan untuk volume air tertentu, sehingga diketahui jumlah
kebutuhan koagulan dalam pengolahan air limbah yang sebenarnya. Metode jar test
mensimulasikan proses koagulasi dan flokulasi untuk menghilangkan padatan
tersuspensi (suspended solid) dan zat-zat organik yang dapat menyebabkan masalah
pada kekeruhan, bau dan juga rasa (Putra dkk, 2013).
Informasi yang berguna akan diperoleh untuk membantu operator IPAL
dalam mengoptimalkan proses-proses koagulasi, flokulasi dan penjernihan apabila
percobaan dilakukan dengan tepat (Putra dkk, 2013). Dosis koagulan dan koagulan
pembantu, pH, metode pembubuhan bahan kimia, kecepatan aliran larutan kimia,
waktu dan intensitas pengadukan cepat (koagulasi) dan pengadukan lambat
(flokulasi) serta waktu pengendapan untuk penjernihan.

2.9. Sedimentasi
Sedimentasi adalah proses pengendapan yang dilakukan setelah tahapan
proses koagulasi-flokulasi. Tahapan sedimentasi dilakukan untuk mengendapkan
flok-flok yang telah terbentuk pada proses koagulasi-flokulasi. Tujuan
dilakukannya sedimentasi adalah untuk memisahkan antara flok dengan air yang
sudah bersih. Sedimentasi dilakukan dalam rentang waktu yang berbeda-beda.
Setiap molekul memerlukan waktu yang berbeda-beda untuk mengendap.
Kecepatan pengendapan dipengaruhi oleh massa jenis flok. Semakin berat massa
jenis flok yang terdapat dalam air, maka waktu pengendapannya akan semakin
cepat. Hal ini berhubungan dengan gaya gravitasi. Massa jenis flok yang ringan
akan membuat proses pengendapan menjadi lama.
Umumnya, sedimentasi digunakan pada pengolahan air minum, pengolahan
air limbah, dan pada pengolahan air limbah tingkat lanjutan. Pengolahan air minum,
terapan sedimentasi khususnya untuk pengendapan air permukaan, khususnya
pengolahan dengan filter pasir cepat, pengendapan flok hasil koagulasiflokulasi,
khususnya degnan disaring dengan filtrasi(Reynolds dkk, 1996).
12

2.10. Penelitian Terkait

Penelitian Jurnal Konversi yang berjudul “Pengolahan Limbah Deterjen


dengan Metode Koagulasi Flokulasi Menggunakan Koagulan Kapur dan PAC”
ditulis oleh Zikri Rahimah, Heliyanur Heldawati dan Isna Syauqiah (2016)
menunjukkan bahwa menunjukan bahwa pada penambahan koagulan pada massa 5
gram mengalami nilai penurunan COD tertinggi yaitu pada koagulan kapur ,
walaupun terdapat nilai penurunan COD yang sama sehingga tidak selalu konstan
naik dibandingkan pada penambahan koagulan PAC dengan nilai penurunan COD
yang terus meningkat. Kadar BOD yang diteliti menunjukan bahwa pengunaan
koagulan kapur dapat menurunkan kadar BOD dalam limbah deterjen dari pada
penggunaan koagulan PAC. Penggunaan koagulan kapur yang optimal sebesar 5 gr
mampu menurunkan kadar COD dan juga nilai BOD sebesar 75% sedangkan hasil
dari koagulannya PAC juga hanya sebesar 12.05%.
Berdasarkan hasil dari penelitian Younes, Shoeib, Amir, Nezam, Amin,
Seid, Soheila, dan Seyedeh (2015) yang berjudul “Chemical Coagulation Efficiency
in Removal of Water Turbidity” menyatakan bahwa koagulan poli aluminium
klorida baik digunakan untuk menghilangkan kekeruhan pada air. Penghapusan
kekeruhan primer, konsentrasi koagulan, pH, waktu konstanta. Tingkat persentase
penghapusan kekeruhan dalam penggunaan poli aluminium klorida pH 8 ialah 93,3
persen, pengurangan PH sampai batas tertentu, dari hasil penciptaan Fluke yang
besar dan laju dari sedimentasi yang sangat tinggi.
Berdasarkan penelitian jurnal berjudul ”Pengolahan Lindi Menggunakan
Metode Koagulasi Flokulasi dengan Koagulan FeCl3 dan AOPs (Advanced
Oxidation Process) dangan Fe-H2O2 bahwasamya Lindi TPA Jatibarang biasanya
mengandung senyawa organik yang tinggi serta keberadaannya melebihi mutu yang
dapat mencemari lingkungan jika tidak dilakukan pengolahan terebih dahulu.
Pengolahan lindi ini menggunakan metode koagulasi dan flokulasi menggunakan
koagulan FeCl3. Hasil Penelitian ini menghasilkan bahwa dosis terbaik koagulan
FeCl3 pada dosis 12 gram/L yang pada dosis itu COD dapat tersisihkan sebesar
36,8% dan nilai BOD dapat tersisihkan sebesar 40,9 nilai TSS dapat tersisihkan
sebesar 94,8% dan warna dapat tersisihkan sebesar 87,0%.
BAB III
METODOLOGI PERCOBAAN

3.1. Alat dan Bahan


3.1.1. Alat
1) Beker gelas 250 ml
2) Corong
3) Jar test
4) pH meter
5) Spektrofotometer UV-Vis
6) Turbidity meter
7) Pipet volume
8) Bola hisap
9) Erlenmeyer
10) Neraca analitis
11) Spatula
3.1.2. Bahan
1) Sampel limbah cair 1,5 liter
2) Koagulan (tawas/PAC)
3) Kertas filter Whatman 42

3.2. Prosedur Percobaan


1) Air limbah disiapkan sebagai sampel.
2) pH sampel, kekeruhan (turbidity) sampel, dan absorbansi kandungan
mangan sampel diukur menggunakan spektrofotometer.
3) Koagulan ditimbang (tawas/PAC) sebanyak 1 gram
4) Koagulan dilarutkan menggunakan 100 ml aquadest.
5) 100 ml limbah dimasukkan ke dalam 5 gelas beaker 250 ml.
6) Koagulan ditambahkan pada masing-masing beaker sebanyak 1, 2, 3, 4, dan
5 mL, secara bersamaan.
7) Alat disiapkan pencatat waktu, nyalakan alat jar test dengan menekan
tombol POWER.

13
14

8) Pengadukan cepat dilakukan dengan kecepatan 100 rpm selama 3 menit.


9) Pengadukan lambat dilakukan dengan kecepatan 50 rpm selama 8 menit.
Amati pembentukan flok terjadi.
10) Setelah 8 menit, alat dihentikan dan biarkan flok mengendap selama 15
menit.
11) Masing-masing larutan disaring dengan kertas saring.
12) Hasil filtrasi diambil untuk dianaisa pH, kekeruhan, dan absorbansi
kandungan mangan menggunakan portable spektrofotometer.
13) Hal yang sama dilakukan kembali untuk kecepatan pengadukan 300 rpm
dan 500 rpm.
15

3.3. Blok Diagram

Air limbah disiapkan dan


diukur pH, turbidity dan
adsorbansi Mn.

Koagulan 1gram
disiapkan dan dilarutkan
dengan 100ml aquadest.

100ml limbah dan koagulan


1,2,3,4 dan 5ml dimasukkan
ke 5 gelas beaker.

Siapkan dan setting jar test


dengan kecepatan 100rpm
selama 3 menit.

Pengadukan lambat dilakukan


kecepatan 50rpm selama 8
menit, hentikan alat.

Saring larutan dengan kertas


saring dan ukur pH, turbidity,
dan adsorbansi Mn filtrasi.

Gambar 3.1. Blok Diagram Percobaan Koagulasi-Flokulasi


BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil Pengamatan


Tabel 4.1. Analisa Sampel Sebelum Penambahan Koagulan
pH Kekeruhan (NTU)
6,95 173

Tabel 4.2. Analisa Sampel Setelah Penambahan Koagulan

Kecepatan Parameter
Volume
Pengadukan Turbiditas
Koagulan (mL) pH
(rpm) (NTU)

1 6,30 72,5

2 5,02 16,02

100 3 4,80 15,24

4 4,56 8,64

5 4,53 10,22

4.2. Grafik Hasil Pengamatan

7
6
5
4
pH

3
2
1
0
0 1 2 3 4 5 6
Dosis Koagulan (mL)
Gambar 4.1. Pengaruh Dosis Koagulan Terhadap pH air sumur pada kecepatan
pengadukan 100 rpm

16
80
70

Turbiditas (NTU)
60
50
40
30
20
10
0
0 1 2 3 4 5 6
Dosis Koagulan (mL)

Gambar 4.2. Pengaruh Dosis Koagulan Terhadap turbiditas air sumur pada kecepatan
pengadukan 100 rpm

17
18

4.3. Pembahasan
Praktikum koagulasi dan flokulasi membahas mengenai proses pemurnian
atau penghilangan zat pengotor dari air limbah yang ingin diteliti. Air limbah yang
digunakan merupakan air sumur yang berasal dari rumah Adib Ghifar. Air tersebut
memiliki tingkat kekeruhan yang cukup besar yakni turbiditas sebesasr 173 NTU.
Termasuk kedalam kategori air yang tidak sehat karena masih mengandung banyak
impuritis, kadar Chemical Oxygen Demand (COD), serta kadar Biochemical
Oxygen Demand (BOD). Kadar zat pengotor yang cukup tinggi pada air perlu
dilakukan proses koagulasi dan flokulasi sehingga dapat membersihkan impuritis
atau zat pengotor dari air limbah yang bebentuk koloid.
Analisis air limbah sebelum ditambahkan dengan koagulan seperti analisa
pH dan turbiditas atau kekeruhan air. Hasil analisa pH air mendapatkan angka
sebesar 6,95 yang cukup mendekati dengan pH air normal. Analisa air setelah
penambahan koagulan berupa tawas didapatkan data pada Tabel 4.2. Pengukuran
dilakukan saat setelah proses pengendapan atau sedimentasi agar terlihat perbedaan
setelah ditambakan dengan koagulan dan proses pengandukan menggunkan alat jar
test. Pengukuran dilakukan setelah sedimentasi diharapkan flok mengendap.
Pengukuran pH setelah ditambahkan dengan koagulan menunjukan
penurunan pH yang mengindikasikan bahwa air hasil koagulasi-flokulasi semakin
asam. Penambahan koagulan sebanyak 2 mL menyebabkan penurunan pH air
limbah yang cukup signifikan, hasil dari data menunjukan bahwa pH menurun
sebanyak 1,3. Penurunan pH tersebut disebabkan koagulan tawas yang telah
memiliki rumus kimia Al2(SO4)3 atau alumunium sulfat yang bersifat asam,
sehingga penambahan koagulan yang semakin banyak akan menurunkan pH
semakin besar pula. Tingkat keasaman yang tinggi membuat air tidak sehat.
Hasil analisa turbiditas air limbah menunjukan bahwa penambahn koagulan
sebanyak 4 mL memiliki nilai kekeruhan yang paling sedikit yakni sebesar 8,64
NTU. Penambahan koagulan sebanyak 5 mL memiliki nilai turbiditas yang lebih
besar yakni sebesar 10,22 NTU, hal tersebut mengindikasikan bahwa dosis
optimum koagulan tawas berada pada percobaan ke empat. Dosis yang berlebihan
atau melewati kadar optimum akan membuat koagulan menjadi impuritis di dalam
air yang dibersikan. Dosis koagulan yang tepat ketika tawas sama dengan pengotor.
19

Berdasarkan Permenkes RI No.492/Menkes/IV/2010 tentang syarat-syarat


dan pengawasan kualitas air minum, nilai kekeruhan maksimum 5 NTU. Air yang
berasal dari sumur setelah mengalami proses koagulasi, flokulasi, dan sedimentasi
menghasilkan air dengan tingkat kekeruhan sebesar 8,64 NTU dimana air tersebut
tidak layak pakai. Hasil ini terjadi karena setelah proses koagulasi, flokulasi, dan
sedimentasi masih terdapat proses lain yang dapat menurunkan kekeruhan, yaitu
penyaringan. Penyaringan dapat menyaring impurities akan mengurangi koagulan.
Koagulan yang menghasilkan kekeruhan di bawah 5 NTU, maka dipilih pH
air yang tinggi. Batas minimum pH air bersih menurut Permenkes RI No.
492/Menkes/IV/2012 adalah 6,5. Sampel air yang digunakan menghasilkan pH 4,56
yang merupakan pH yang asam maka diperlukan senyawa basa untuk menaikkan
pH sampel untuk menjadi pH netral agar memasuki air yang layak minum.
Dosis koagulan yang digunakan bervariasi mulai dari 1 gram sampai 5 gram
tawas. Jumlah koagulan terbanyak tidak memastikan air tersebut akan memiliki
turbidity terendah. Hasil dari praktikum koagulasi dan flokulasi ini mendapati dosis
koagulan yang terbanyak memiliki turbidity yang lebih tinggi dari dosis koagulan
dibawahnya, karena banyak partikel-partikel koloid yang telah terdestabilisasikan
akan bergabung membentuk gumpalan yang akhirnya mengendap.
Penambahan koagulan ke dalam air yang keruh harus sesuai dengan
kebutuhan. Koagulan yang sedikit maka sedikit partikel koloid yang
terdestabilisasikan dan sebagian koloid tidak mengendap. Koagulan yang
berlebihan, turbidity meningkat karena flok yang telah mengedap dapat menjadi
koloid lagi atau akan terlarut dengan air yang menyebabkan turbidity naik kembali
dan menyerap kation dari koagulan berlebih membentuk koloid bermuatan positif.
Air jernih memiliki tahapan lain dalam penjernihan selain koagulasi,
flokulasi dan sedimentasi yaitu penyaringan. Penyaringan akan memberikan
kejernihan air yang lebih tinggi karena akan memisahkan koagulan-koagulan yang
tersisa di dalam air yang di koagulasikan. Penyaringan menjadi pembersih partikel
koloid dari air sampel dengan melewatkannya pada medium penyaringan, atau
spektrum. Penyaringan biasanya merupakan proses tahap akhir pada water
treatment pada pengolahan limbah atau feed air pada pabrik.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan
1) Prinsip kerja dari koagulasi-flokulasi adalah penambahan koagulan
yang dilanjutkan dengan proses pengadukan sehingga flok terbentuk.
2) Air sumur yang belum diberikan koagulan memiliki pH yang lebih besar
dibandingkan dengan air yang sudah diberikan koagulan. Koagulan
memiliki sifat yang asam karena mampu memperkecil pH air sumur.
3) Semakin tepat dosis koagulan yang diberikan, maka turbidity atau
kekeruhan dari air akan semakin kecil. Semakin tepat dosis koagulan
yang diberikan kepada air sumur, maka air akan menjadi semakin jernih.
4) Koagulan memiliki dosis optimum yaitu jumalah koagulasi sama
dengan jumlah koloid. Air yang diberikan koagulan dengan dosis yang
melebihi dosis optimum akan memiliki kualitas yang lebih buruk,
karena apabila koagulan melewati dosis optimum, maka koagulan akan
menjadi pengotor dalam air.
5) Proses sedimentasi dilakukan setelah proses koagulasi-flokulasi. Hal ini
dilakukan untuk mengendapkan flok yang terbentuk dari proses
koagulasi-flokulasi.
6) Efisiensi koagulasi dipengaruhi oleh koagulan yang diberikan,
kecepatan pengadukan, dan lama waktu pengendapan.

5.2. Saran
1) Praktikan harus lebih cepat dalam melakukan percobaan, sehingga dapat
memiliki lebih banyak data dan lebih banyak hasil analisa yang didapat.
2) Praktikan harus lebih teliti dalam menimbang tawas dan mengukur
volume setiap bahan, sehingga kemungkinan terjadi kesalahan dalam
analisa dapat diperkecil.

20
DAFTAR PUSTAKA

Benefield, D.L., F.J. Indkins, dan L.B. Weand. 1982. Process Chemistry for Water
and Wastewater Treatment. Prentice-Hall Inc: New Jersey.
Gregory, John, Duan Jinming. 2001. Hydrolyzing Metal Salts As Coagulants. Pure
and Applied Chemistry. Vol. 73 (12): 2017-2026
Metcalf dan Eddy, Inc. 2004. Wastewater Engineering, Treatment and Reuse. Ed.
IV. McGraw-Hill: Singapura.
Mose, Y. 2014. Penerapan Model Pembelajaran Predict-Observe-Explain (POE) pada
Materi Koloid untuk Meningkatkan Keterampilan Berpikir Kritis dan
Keterampilan Proses Sains Siswa. Universitas Pendidikan Indonesia: Bandung.
Pertiwi, Y. dan Notodarmojo S. 2014. Pemanfaatan Alum Dari Limbah Buffering
Sebagai Koagulan Untuk Menyisihkan Kekeruhan Dan Total Suspended
Solid (TSS). Jurnal Teknik Lingkungan. Vol.20 (1): 48-57
Pratiwi, A. E. 2014. Pengembangan Buku Suplemen Kimia BErorientasi Sains
Teknologi Masyarakat (STM) pada Materi Koloid. Universitas Isalm
Negeri:Jakarta
Rahimah, Z., Heldawati, H. Syauqiah, H. 2016. Pengolahan Limbah Deterjen
dengan Metode Koagulasi Flokulasi Menggunakan Koagulan Kapur dan
PAC. Jurnal Konversi. Vol. 5 (2): 13-19.
Rachmawati S.W., Iswanto B., dan Winarni. 2009. Pengaruh pH pada Proses
Koagulasi dengan Koagulan Aluminium Sulfat dan Ferri Klorida. Jurnal
Teknik Lingkungan. Vol.5 (2): 41-43
Reynolds, Ton D. dan Richards, Paul A. 1996. Unit Operations and Processes in
Environmental Engineering, 2nd edition. Boston:PWS Publishing
Company
Putra R., Lebu, B., Munthe, M. D., dan Rambe, A. M. 2013. Pemafaatn Biji Kelor
sebagai Koagulan pada Proses Koagulasi Limbah Cair Industri Tahu denga
Menggunakan Jar Test. Jurnal Teknik Kimia. Vol.2 (2):28
Sahu, O.P. dan Chaudhari, P. K. 2013. Review on Chemical Treatment of Industrial
Waste Water. Jurnal Teknik Kimia. Vol.17: 242-243
Sohrabi, Y., Ramihi S., Nafez A., Mirzaeni, N., Bagheri, A., Ghadiri, S. K., Rezaei,
S., dan Charganesh, S.S. 2018. Chemical Coagulation Efficiency in
Removal of Water Turbidity. International Journal Of Pharmaceutical
Research. Vol.3: 189-192
Vessilind, P. A. , Morgan, S. M., dan Heine, L. G. 2004. Introduction to
Environmental Engineering. USA: Cengage Learning.
Wirandani, M. Y., Sudarno, dan Purwono. 2017. Pengolahan Lindi Menggunakan
Metode Koagulasi Flokulasi Dengan Koagulan FeCl3 (Ferric Chloride) dan
AOPs (Advanced Oxidation Process) dengan FeH2O2. Jurnal Teknik
Lingkungan. Vol. 6 (1): 1-17
Weber, E.J. 1972. Physiochemical Processes for Water Quality Control. John
Willey & Sons Inc: Amerika Serikat.
Wolska, J. dan Marek, B. 2013. Methods For Boron Removal From Aqueous
Solutions. Wroclaw University of Technology. Vol.3 (10): 18-24
Yuliati, S. 2006. Proses Koagulasi-Flokulasi pada Pengolahan Tersier Limbah Cair PT.
Capsugel Indonesia. Institus Pertanian Bogot, Bogor.
LAMPIRAN A

Rangkaian Alat

Gambar 1. Rangkaian Alat Jar Test

Anda mungkin juga menyukai