Anda di halaman 1dari 24

BAB I

LATAR BELAKANG

Dermatitis adalah peradangan kulit (epidermis dan dermis) sebagai respons terhadap
pengaruh faktor eksogen atau endogen, menyebabkan kelainan klinis berupa efloresensi
polimorfik (eritema, edema, papul, vesikel, skuama, likenifikasi) dan keluhan gatal.
Dermatitis meliputi dermatitis kontak iritan, kontak alergik, atopic, numularis dan stasis
(Linuwih, 2017).

Dermatitis atopik adalah peradangan kulit berupa dermatitis yang kronis dan residif,
disertai gatal dan mengenai bagian tubuh tertentu terutama di wajah pada bayi (fase
infantil) dan bagian fleksural ekstremitas (pada fase anak). Dermatitis atopik adalah
penyakit kronis yang sering kambuh. Terdapat berbagai istilah yang digunakan sebagai
sinonim dermatitis atopi seperti eczema atopic, eczema fleksural, neurodermatitis
diseminata, dan prurigo besnier (evina, 2017) (Linuwih, 2017).

Dermatitis atopik merupakan masalah kesehatan global dilihat dari peningkatan


prevalensi dan biaya untuk pengobatannya yang tinggi. Prevalensi DA meningkat dua
sampai tiga kali lipat di negara industri selama tiga dekade terakhir yaitu 15-30% pada
anak dan 2-10% pada dewasa. Data terbaru menunjukan bawa DA merupakan masalah
utama di negara berkembang. Sekitar 85% pasien dengan DA adalah anak usia dini,
dan 70% dari pasien DA berlanjut menjadi asma atau rhinitis alergi (eliska, 2015)

Sampai saat ini penyebab pasti DA masih sulit dipahami. Pada beberapa kasus, DA
merupakan masalah kulit yang berlangsung lama dan memerlukan lebih dari satu
pengobatan. Beberapa penelitian menunjukan kemungkinan DA berhubungan dengan
interaksi antara penurunan fungsi sawar kulit, sistem imun, genetik, serta faktor pemicu
lainnya seperti faktor lingkungan maupun agen infeksi (thigita, 2016).

Diagnosis DA ditegakkan berdasarkan temuan klinis dan riwayat pasien. Beberapa


kriteria diagnosis telah diajukan oleh banyak pakar dermatologi, namun yang sering
digunakan di indonesia adalah kriteria hanifin rajka yang meliputi kriteria mayor dan
minor. Diagnosis DA sering dikaitkan dengan penentuan derajat keparahan DA karena
hal ini akan berkaitan dengan pemberian terapi. Derajat keparahan DA menggunakan
skala perhitungan yang diajukan oleh pakar dermatologi di eropa yaitu indeks Scoring
for Atopic Dermatitis (SCORAD) (herwanto, 2016).

Tatalaksana DA meliputi obat sistemik seperti antihistamin untuk mengatasi rasa gatal
dan inflamasi dan terapi topikal seberti kortikosteroid dan pelembab. Disamping itu,
perlu adanya edukasi dan konseling kepada orangtua, para pengasuh, keluarga dan
pasien untuk menghindari faktor pencetus kekambuhan (Linuwih, 2017).

TUJUAN PENULISAN
Penyajian laporan kasus ini bertujuan untuk menjelaskan kasus Dermatitis Atopik
dalam rangka memenuhi sebagian syarat Program Pendidikan Profesi Kepanitraan
Bagian Ilmu Kulit dan Kelamin di RSUD Arjawinangun.

BAB II
LAPORAN KASUS

Identitas Pasien
Nama : Bayi A
Umur : 3 bulan
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Desa telung agung
Agama : Islam

Anamnesis
Autoanamnesis dilakukan tanggal 5 Agustus 2019 pukul 13.28 WIB di ruangan poli
kulit dan kelamin RSUD Arjawinangun.

Keluhan Utama
Bintik-bintik kemerahan pada seluruh tubuh.

Riwayat Penyakit Sekarang


Seorang bayi perempuan berumur 3 bulan datang ke poli RSUD arjawinangun
dibawa oleh kakek dan neneknya. Keluarga mengeluh muncul bintik-bintik kemerahan
yang semakin di seluruh badan sudah 1 bulan lamanya. Awalnya, bintik-bintik
kemerahan hanya muncul di dada. Setelah seminggu, bitnik-bintik kemerahan mulai
menyebar ke tangan, badan, punggung dan kaki. Namun semenjak 2 hari sebelum
datang ke poli, bintik-bintik kemerahan juga muncul di kepala dan tengkuk.
Pada anamnesis, kakek dan nenek pasien sudah membawa ke dokter umum.
Pasien diberi obat sirup yang diminum pada malam hari dan salep, namun keluhan tidak
membaik. Karena bintik-bintik merah masih muncul, pasien dibawa ke poli kulit dan
kelamin RSUD Arjawinangun. Pasien diberi obat yang diminum pada malam hari dan
salep. Setelah itu keluhan membaik namun hanya sedikit. Pada tanggal 5 agustus 2019,
pasien dibawa ke poli kulit dan kelamin RSUD arjawinangun diberi obat sirup yang
diminum pada malam hari namun keluhan tetap saja muncul kembali. Pasien diberi ASI
dan susu formula. pasien merupakan anak pertama.
Adanya febris, batuk dan pilek disangkal. Pasien pertama kali mengalami
keluhan ini semenjak lahir. Untuk riwayat penyakit keluarga, Ibu pasien mempunyai
alergi terhadap ikan laut dan asma. Ayah pasien pernah mengalami biang keringat.

Riwayat Penyakit Keluarga


Ibu pasien mempunyai alergi terhadap ikan laut dan asma

PEMERIKSAAN FISIK
Status generalis
Keadaan umum : Tampak sakit ringan
Kesadaran : Compos mentis
Kepala : Normocephali, rambut hitam, terdapat kelainan kulit (lihat
status dermatologis)
Thoraks : Bentuk normal, pergerakan simetris, terdapat kelainan kulit
(lihat status dermatologis)
Abdomen : Datar, terdapat kelainan kulit (lihat status dermatologis)
Ekstremitas atas : tidak ada edema, tidak sianosis, terdapat kelainan kulit (lihat
status dermatologis)
Ekstremitas bawah : tidak ada edema, tidak sianosis, terdapat kelainan kulit (lihat
status dermatologis)
Status Dermatologis
Distribusi : Generalisata
Ad Regio : Facialis, colli anterior-posterior, Thorak anterior-posterior,
abdomen, ekstremitas superior dextra- sinistra, ekstremitas
inferior dextra-sinistra
Efloresensi : makula, eritem

Gambar sebelum diberikan pengobatan


Gambar 1 Regio Fascialis dan Colli anterior
Gambar 2 Regio Colli posterior dan thorax posterior
Gambar 3 Regio Thorax anterior dan abdomen
Gambar 4 Ekstremitas Superior
Gambar 5 Ekstremitas inferior

PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Peningkatan kadar IgE dalam serum bila ada keraguan klinis
2. Uji kulit bila ada dugaan pasien alergik terhadap debu atau makanan tertentu

RESUME
Seorang bayi usia 3 bulan dibawa oleh kakek dan neneknya ke RSUD Arjawinangun
mengeluh timbul makula eritem generalisata. Keluhan sudah dirasa selama 1 bulan. Lesi
muncul pertama kali di regio thorax anterior. Seminggu kemudia, keluhan juga muncul di
regio abdomen, regio thorax posterior, ekstremitas Kemudian, 2 hari sebelum datang ke poli,
makula eritem muncul di regio ekstremitas inferior, regio fascialis, dan regio colli posterior.
Pada anamnesis, kakek dan nenek menganggap pasien tidak merasakan gatal. Pasien
merupakan anak pertama. pada anamnesis riwayat alergi dan riwayat penyakit keluarga, ibu
pasien mempunyai alergi terhadap ikan laut.
Pasien sudah pernah dibawa berobat oleh kakek neneknya ke poli kulit dan kelamin
RSUD Arjawinangun namun keluhan tetap timbul.

DIAGNOSIS BANDING
1. Dermatitis seboroik
2. Dermatitis kontak

DIAGNOSIS KERJA
Dermatitis atopik.

PENATALAKSANAAN
Umum
1. Hindari semua faktor luar yang mungkin menimbulkan manifestasi klinis

2. Menjauhi alergen pemicu

Khusus
1. Metilprednisolon 2 x 2 mg

2. Betamethasone + Vaseline + asam salisilat

3. Amoxixilin 3 x drop I

PROGNOSIS
Umumnya baik jika faktor pencetus dihindari
Quo ad vitam : ad bonam
Quo ad fungsionam : ad bonam
Quo ad sanationam : ad bonam
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
DEFINISI
Dermatitis atopik (DA) adalah peradangan kulit berupa dermatitis yang kronis residif, disertai
rasa gatal, dan mengenai bagian tubuh tertentu terutama diwajah pada bayi (fase infantil) dan
bagian fleksural ekstremitas (pada fase anak) (Linuwir, 2017).
EPIDEMIOLOGI
Prevalensi DA bervariasi, sebagai contoh prevalensi DA yag diteliti singapura pada tahun
2002 menggunakan kriteria Uited Kingdom (UK) working party pada anak sekolah (usia 7-
12 tahun) sebesar 20,8% dari 12.323 anak. Penelitian di hannover (jerman) prevalensi DA
(menggunakan kriteria Hanifin Rajka) pada anak sekolah (5-9 tahun) ditemukan sebesar
10,5% dari 4219 anak. Di negara berkembang 10-20% anak menderita dermatitis atopik dn
60% diantaranya menetap sampai dewasa (Linuwir, 2017).
ETIOPATOGENESIS
Sampai saat ini penyebab pasti DA masih sulit dipahami. Pada beberapa kasus, DA
merupakan masalah kulit yang berlangsung lama dan memerlukan lebih dari satu pengobatan.
Beberapa penelitian menunjukkan kemungkinan DA berhubungan dengan interaksi antara
penurunan fungsi sawar kulit, sistem imun, genetik, serta faktor pemicu lainnya seperti faktor
lingkungan maupun agen infeksi.
Penurunan Fungsi Sawar Kulit
Kulit merupakan organ terluar yang melindungi tubuh dari lingkungan sekitar- nya dan
membantu tubuh berinteraksi dengan lingkungan. Fungsi kulit antara lain mencegah
keluarnya cairan berlebihan dari dalam tubuh dan menahan substansi yang merugikan masuk
ke dalam tubuh; hal ini terutama dilakukan oleh lapisan epidermis paling luar, yaitu
stratum korneum (Thigita 2014) (Linuwir, 2017) (Esmail, 2011) (Chu, 2012).
Pada DA kulit menjadi kering; hal ini berhubungan dengan disfungsi permeabi- litas sawar
epidermis yaitu hilangnya fungsi mutasi gen filaggrin (FLG). Gen ini mengkode protein
profilargin sebagai prekusor struktur protein FLG pada diferensiasi kompleks epidermal. FLG
terekspresi pada granula keratohialin selama diferensiasi terminal epidermis. Setelah
keratinosit menjadi padat, protein FLG melepaskan natural moisturizing factor (NMF)
(Thigita, 2014) (Linuwir, 2017) (Cork, 2008) (Brown, 2008).

Proses dan fungsi filaggrin pada epidermis. Sumber: Brown SJ dan Irvine AD, 2008
Imunopatogenesis dermatitis atopik
Umumnya pasien DA memiliki peningkatan jumlah eosinofil dan kadar serum
Immunoglobulin E (IgE). Hal ini berhubungan dengan mekanisme imunologi dan seluler
yang berperan penting dalam patogenesis DA. Kelainan imunopato- genesis utama DA
berkaitan dengan sel T helper (Th), yang berfungsi mengenali antigen dan mengatur respon
imun seperti inflamasi, pertahanan terhadap infeksi virus, serta proliferasi sel T dan B
spesifik. Sel Th berperan utama dalam patogenesis DA dimana jumlah Th 2 lebih banyak
pada penderita atopi sedangkan jumlah Th1 menurun (Thigita, 2014).
Pada DA terdapat 2 tipe sel dendritik dengan afinitas tinggi terhadap IgE (reseptor IgE yang
mengandung mieloid) yaitu sel Langerhans (SL) dan sel epidermal dendritik inflamasi
(SEDI). SL yang mengandung IgE tampaknya berperan penting pada presentasi alergen kulit
pada sel Th2 yang memproduksi IL-4, dimana pada DA akut Th2 yang terlibat dan sitokin
terutama IL-4, IL-5 dan IL-13 serta pe- nurunan IFN-γ, yang memediasi perubahan isotipe
imunoglobulin ke sintesis IgE dan meningkatkan ekspresi molekul adhesi pada sel-sel
endotelial. Berbeda halnya dengan DA kronis yang melibatkan pro- duksi sitokin Th1, IL-
12, IL-18, dan IL-5, serta IFN-γ yang mengalami upregulation dalam keratinosit (thigita,
2014) (leung, 2003) (leung, 2008).

Fase akut dan kronik dari dermatitis atopi. Sumber: Leung Dym dan Bieber T, 2003.
Genetik
Bila salah satu orang tua memiliki riwayat DA, maka insiden terkena DA menjadi dua kali
lipat pada anaknya. Insi- den ini menjadi tiga kali lipat bila riwayat DA ditemukan pada kedua
orang tua (thigita, 2014) (linuwir, 2017).
Terdapat 2 kromosom yang berkaitan erat dengan DA yaitu kromosom 1q21 dan kromosom
17q25. Hal ini masih paradoksal karena psoriasis dengan gambaran klinis yang berbeda juga
terkait dengan kromosom yang sama. Selain itu, kedua kromosom tersebut tidak terkait
dengan penyakit atopi lainnya. Juga ditemukan peran kromosom lainnya seperti 5q31-33
sebagai penyandi gen sitokin Th2 (thigita, 2014) (Bieber, 2010) (soebaryo, 2009).

Faktor-faktor Pencetus Lainnya


DA merupakan hasil interaksi kompleks dari berbagai faktor, antara lain genetik, sistem
imun, disfungsi sawar kulit dan berbagai faktor pencetus lainnya baik yang bersifat alergik
maupun non alergik (thigita, 2014) (Dahbi, 2008).

Berbagai faktor penyebab dermatitis atopi. Sumber: Dahbi SM dan Renz H, 2008.
Makanan
Banyak studi yang selama bertahun- tahun meneliti hubungan antara DA dan hipersensitifitas
terhadap makanan pada anak dan dewasa.Diperkirakan 30-40% bayi dan anak usia muda
menderita DA sedang sampai berat dengan alergi makanan sebagai faktor pencetus.
Prevalensi tertinggi alergi makanan dijumpai pada bayi, menurun pada usia anak, dan makin
berkurang pada dewasa. Makanan yang paling sering sebagai faktor pencetus ialah telur, susu,
gandum, kedele, dan kacang tanah.
Alergi makanan sering dimulai pada tahun pertama kehidupan dimana saluran
cerna bayi baru lahir akan terpapar dengan protein makanan dalam ASI serta lingkungan
sekitar yang dikelilingi bakteri. Hal ini merupakan suatu perubahan dramatis dengan kondisi
bayi sebelumnya di dalam rahim yang hanya menelan air ketuban steril dan bebas alergen.
Umumnya akibat proses sensitisasi dan reaksi hipersensitifitas spesifik terhadap protein
makanan, terbentuk IgE spesifik terhadap makanan. Alergen makanan cepat diabsorpsi dan
melewati sawar mukosa saluran cerna melalui aliran darah, kemudian dibawa ke seluruh
tubuh dan menyebar ke sel mast di kulit sehingga menimbulkan rasa gatal dan menyebabkan
lesi DA. Hampir 85% pasien dengan DA menunjukkan tingginya kadar total IgE (thigita,
2014) (Roesyanto, 2009).

Aloalergen
Paparan terhadap alergen inhalan seperti serbuk sari, jamur, tungau, dan bulu binatang
berhubungan dalam perjalanan penyakit pada beberapa kasus DA. Pertama kali dilaporkan
oleh Walker (1918), alergen inhalan nampaknya sering pada anak-anak yang lebih tua dan
orang dewasa yang mengakibatkan rasa gatal dan lesi atopik setelah individu tersebut
tersensitisasi secara inhalasi bronkial. Perbaikan klinis dapat terjadi bila individu tersebut
tidak terkena atau berada pada lingkungan yang kurang alergen. Kadar IgE meningkat pada
individu yang sering tersensitisasi dengan tungau, serbuk sari, dan bulu binatang, serta
berhubungan erat dengan tingkat keparahan penyakit (thigita, 2014) (dahbi, 2008).
Mekanisme bagaimana alergen dapat memasuki tubuh dan memperberat eksema masih dalam
perdebatan, namun hal ini berhubungan dengan fungsi sawar kulit yang mendukung invasi
alergen ke dalam epidermis. Penelitian Riley et al. men- dapatkan bahwa sensitisasi terhadap
alergen inhalan dapat juga melalui transkutan (thigita, 2014) (dahbi, 2008).
Transkutan Saluran Napas
 Alergen tungau yang terikat sel  Eksaserbasi dermatitis atopik
Langerhans melalui IgE secara inhalasi
 Induksi lesi kulit terhadap  Lesi kulit baru yang diinduksi
aplikasi alergen epikutaneus secara inhalasi
 Terdapatnya tungau debu rumah
pada kulit

Staphylococcus aureus
Infeksi S. aureus paling sering terjadi, diperkirakan sekitar 90% pada DA. Hal ini dikarenakan
kemampuan bakteri tersebut untuk menyekresi toksin yang dikenal sebagai superantigen.
Bahan ini akan menstimulasi aktivasi sel T dan makrofag. Mekanisme meningkatnya
kolonisasi S. aureus pada DA masih belum diketahui pasti, diduga akibat kombinasi berbagai
faktor. Faktor-faktor yang berkontribusi pada infeksi atau kolonisasi antara lain (thigita,
2014):
- Gangguan fungsi sawar kulit

- Berkuranganya kadar lemak paa kulit dermatitis atopi

- Peningkatan adherence kulit akibat meningkatnya fibronectin dan fibrinogen

- Berkuranganya produksi endogen peptid antimikroba (betadefensins, LL-37) oleh


keratinosit.

Menggaruk merupakan salah satu faktor penting karena dapat meningkatkan pengikatan
bakteri akibat terganggunya fungsi sawar kulit. Faktor-faktor ini didukung oleh berbagai
studi, yaitu (leung 2008) (thigita, 2014):
1) Lesi kulit pada DA akut dikolonisasi oleh S. aureus dengan jumlah lebih banyak
dibandingkan pada DA kronik
2) Pengobatan dengan anti inflamasi seperti kortikosteroid topikal atau inhibitor kalsineurin
secara bermakna dapat mengurangi jumlah S.aureus pada kulit penderita atopik
3) Studi pada tikus mendapatkan jumlah bakteri lebih besar pada kulit yang dimediasi oleh
sel Th2 dibandingkan oleh sel Th1.
Kegagalan fungsi sawar kulit akibat pH meningkat, penurunan antimicrobial peptides
(AMP), serta penurunan jumlah lemak dan sphingosine (prekusor ceramides) merupakan
predisposisi infeksi dan kolonisasi S. aureus. Infeksi dan kolonisasi ini akan memperburuk
disfungsi sawar. Strain toksigenik sering menyebabkan infeksi klinis dan merangsang
terjadinya pruritus melalui enterotoksin dan induksi produksi IgE. Toksin yang bertindak
sebagai superantigen akan merangsang proliferasi sel T. Il-13 yang diproduksi oleh aktivasi
sel T menyebabkan pruritus (remitz, 2008) (thigita, 2015) (cork, 2008).
Peran Staphylococcus aureus pada patogenesis dermatitis atopi. Sumber: Cork MJ et
al., 2008.
Stres
Studi terbaru menunjukkan faktor- faktor psiko-neuro-imunologi dan stres emosional
berperan penting dalam terjadinya DA. Stres dapat menyebabkan rusaknya fungsi sawar kulit
dan memicu terjadinya respon alergi atau Th2 (thigita, 2014) (suarez, 2012).
Pada saat stres, saraf sensoris melepaskan neuromediator yang me- regulasi inflamasi
dan respon imun seperti pada penurunan fungsi sawar kulit. Respon hypothalamus-pituitary-
adrenal axis (HPA) pada sistem saraf pusat akan berespon terhadap stres psikologis dengan
meningkatkan regulasi hormon stres corticotrophin-releasing hormone (CRH) dan
adrenocorticotropic hormone (ACTH). CRH dan ACTH menstimulasi norepinefrin (NE) dan
pelepasan kortisol dari kelenjar adrenal, serta langsung menstimulasi sel imun dalam darah
dan perifer melalui masing-masing reseptor. Akibatnya terjadi umpan balik negatif dari
kortisol pada CRH dan ACTH, kemudian hipotalamus dan hipofisis. Produksi serotonin pada
batang otak (5HT) meningkat. Substansi P (SP), gastrin-releasing peptide (GRP), dan
calcitonin gene related peptide (CGRP) pada ganglia spinalis dorsalis juga meningkat (thigita,
2014) (suarez, 2012).
Pada kulit, sel-sel imun melepaskan sitokin, kemokin, dan neuropeptida, yang
memodulasi respon inflamasi lokal. Selain itu, saraf sensoris melepaskan neuro- mediator
yang memodulasi inflamasi kulit, nyeri, dan gatal, serta mengirimkan rangsangan sensorik
melalui ganglia spinalis dorsalis dan medula spinalis ke area tertentu dari sistem saraf pusat.
Sel mast kulit berhubungan erat dengan substansi P (SP), CGRP, pituitary adenylate cyclase-
activating protein (PACAP), dan opioid releasing neurons. Kesemuanya akan memicu
sintesis dan sekresi mediator inflamasi sebagai respon terhadap berbagai rangsangan fisik dan
biokimia. Produksi lokal dari neurohormon dan neuropeptida dengan serabut saraf SP terjadi
pada kulit sebagai respon terhadap stres (thigita, 2014) (suarez, 2012).

Mekanisme stres menyebabkan dermatitis atopik. Sumber: Suarez AL et al., 2012.


GAMBARAN KLINIS
Manifestasi dan tempat predileksi DA pada masing-masing fase dapat berbeda. Dibandingkan
dengan dermatitis lainnya, DA secara subyektif lebih gatal. Rasa gatal dan garukan yang terus
menerus memicu kerusakan barier kulit, sehingga memudahkan masuknya alergen dan iritan
keadaan tersebut menyebabkan DA sering berulang (kronik-residif). Perjalanan penyakit
yang demikian berdampak gangguan fisik dan emosi pasien, sehingga kualitas hidup
menurun.
DA fase infantil
DA lebih sering muncul pada usia bayi (2 bulan-2 tahun), umumnya awitan DA terjadi usia
2 bulan. Tempat predileksi utama di wajah diikuti kedua pipi dan tersebar simetris. Lesi dapat
meluas ke dahi, kulit kepala, telinga, leher, pergelangan tangan, dan tungkai terutama di
bagian volar atau fleksor. Dengan bertambahnya usia, fungsi motorik bertambah sempurna,
anak mulai merangkak dan belajar berjalan, sehingga lesi kulit dapat ditemukan di bagian
ekstensor, misalnya lutut, siku, atau di tempat yang mudah mengalami trauma. Gambaran
klinis pada fase ini lebih mirip dermatitis akut, eksudatif, erosi dan eksoriasi. Karena gatal
dan garukan lesi mudah mengalami infeksi sekunder. Fafse infantil dapat mereda dan
menyembuh. Pada sebagian pasien dapat berkembang menjadi fase anak atau fase remaja.
Pada bayi usia kurang dari 1 tahun, beberapa alergen makanan (susu sapi, telur, kacang-
kacangan) kadang-kadang masih berpengaruh, tetapi pada usia yang lebih tua alergen hirup
dianggap lebih berpengaruh. Namun demikian, hal tersebut masih diperdebatkan (Linuwir,
2017) (evina, 2015).
DA fase anak
Pada fase anak (usia 2-10 tahun) dapat merupakan kelanjutan fase infantil atau muncul tanpa
didahului fase infatil. Tempat predileksi lebih sering di fossa cubiti dan poplitea, fleksor
pergelangan tangan, kelopak mata dan leber, dan tersebar simetris. Kulit pasien DA dan kulit
pada lesi cenderung lebih kering. Lesi dermatitis cenderung menjadi krnis, disertai
hiperkeratosis, hiperpigmentasi, erosi, eksoriasi, krusta, dan skuama. Pada fase ini pasien DA
lebih sensitif terhadap alergen hirup, wol dan bulu binatang (Linuwir, 2017) (evina, 201).
DA fase remaja dan dewasa
DA fase remaja dan dewasa (usia > 13 tahun) dapat merupakan kelanjutan fase infantil atau
fase anak. Tempat predileksi mirip dengan fase anak, dapat meluas mengenai kedua telapak
tangan, jari-jari, pergelangan tangan, bibir, leher bagian anterior, skalp dan puting susu.
Manifestasi klinis bersifat kronis berupa plak hiperpigmentasi, hiperkeratosis, likenifikasi,
eksoriasi dan skuamasi. Rasa gatal lebih hebat saat beristirahat, udara panas dan berkeringat.
Fase ini berlangsung kronik-residif sampai usia 30 tahun, bahkan lebih (Linuwir, 2017)
(evina, 2015).
DIAGNOSIS
Pada awalnya diagnosis dermatitis atopik didasarkan pada temuan klinis yang tampak
menonjol, terutama gejala gatal. Dalam perkembangan selanjutnya untuk mendiagnosis
dermatitis atopik digunakan uji alergi yaitu uji tusuk (skin pricktest) dan pemeriksaan kadar
IgE total sebagai kriteria diagnosis. Pada tahun 1980 Hanifin dan Rajka mengusulkan suatu
kriteria diagnosis dermatitis atopik yaitu terdiri dari 4 kriteria mayor dan 23 kriteria minor.
Diagnosis dermatitis atopik harus mempunyai 3 kriteria mayor dan 3 kriteria minor jika
menggunakan kriteria Hanifin and Rajka. Kriteria ini cocok digunakan untuk diagnosis
penelitian berbasis rumah sakit dan eksperimental, namun tidak cocok pada penelitian
berbasis populasi. Oleh karena itu William, dkk pada tahun 1994 memodifikasi dan
menyederhanakan kriteria Hanifin and Rajka menjadi satu pedoman diagnosis dermatitis
atopik yang dapat digunakan untuk diagnosis dengan cepat. Kriteria William,dkk yaitu:
1. Harus ada : Rasa gatal ( pada anak- anak dengan bekas garukan).
2. Ditambah 3 atau lebih:
a. Terkena pada daerah lipatan siku, lutut, di depan mata kaki atau sekitar leher
(termasuk pipi pada anak di bawah 10 tahun).
b. Anamnesis ada riwayat atopi seperti asma atau hay fever (ada riwayat penyakit atopi
pada anak-anak).
c. Kulit kering secara menyeluruh pada tahun terakhir.
d. Ekzema pada lipatan (termasuk pipi, kening, badan luar pada anak <4 tahun).
e. Mulai terkena pada usia dibawah 2 tahun (tidak digunakan pada anak <4 tahun).
Kriteria Mayor Kriteria Minor
1. Pruritus (gatal)
2. Morfologi sesuai umur dan 1. Hiperpigmentasi daerah periorbita
distribusi lesi yang khas 2. Tanda Dennie-Morgan
3. Bersifat kronik eksaserbasi 3. Keratokonus
4. Ada riwayat atopi individu atau 4. Konjungtivitis rekuren
keluarga 5. Katarak subkapsuler anterior
6. Cheilitis pada bibir
7. White dermatographisme
8. Pitiriasis Alba
9. Fissura pre-aurikular
10.Dermatitis di lipatan leher
anterior 11.Facial pallor
12.Hiperliniar
palmaris
13.Keratosis
palmaris
14.Papul perifokular
hiperkeratosis 15.Xerotic
16.Iktiosis pada kaki
17.Eczema of the
nipple 18.Gatal bila
berkeringat 19.Awitan
dini 20.Peningkatan Ig
E serum
21.Reaktivitas kulit tipe cepat
(tipe 2)
22.Kemudahan mendapat infeksi
Stafilokokus dan Herpes
Simpleks
23.Intoleransi makanan tertentu
24.Intoleransi beberapa jenis
bulu
binatang
25. Perjalanan penyakit dipengaruhi
faktor lingkungan dan emosi
26. Tanda Hertoghe ( kerontokan pada
alis bagian lateral)

Kriteria diagnostik dermatitis atopik yang lain adalah kriteria diagnostik menurut
Svensson, 1985, yang membagi kriteria menjadi 3 kelompok. Dalam menegakkan diagnosis
dermatitis atopik berdasarkan kriteria Svennson, pasien harus memiliki dermatitis di daerah
fleksural kronik yang hilang timbul ditambah dengan memiliki 15 nilai dari sistem skor
Svennson.The Europian Task Force on Atopic Dermatitis membuat suatu indeks untuk
menilai derajat dermatitis atopik, dikenal dengan istilah SCORAD (Score of atopic
dermatitis). SCORAD dapat menilai derajat keparahan inflamasi dermatitis atopik dengan
menilai (A) luas luka, (B) tanda-tanda inflamasi, dan (C) Keluhan gatal dan gangguan tidur.
Tanda inflamasi yaitu eritema, indurasi, ekskoriasi, papul, dan likenifikasi. Eritema adalah
kemerahan kulit karena pelebaran pembuluh-pembuluh darah. Indurasi adalah pengerasan,
misalnya tentang jaringan (Linuwir, 2017) (evina, 2015).
Ekskoriasi adalah kerusakan kulit yang lebih dalam dari pada kulit epidermis sehingga
berdarah (lecet). Papul adalah tonjolan kulit yang kecil, berbatas jelas dan padat. Likenifikasi
adalah perubahan suatu erupsi kulit misalnya eksema, sehingga berwujud seperti liken
(penyakit kulit yang ditandai dengan bintil-bintil kecil padat, teratur secara berkelompok),
kulit menjadi lebih tebal dan garis-garis kulit menjadi lebih jelas (Linuwir, 2017) (evina,
2015).
Luas luka (A) diukur dengan menggunakan the rule of nine dengan skala penilaian 0-
100. Tanda-tanda inflamasi (B) pada SCORAD terdiri dari 6 kriteria: eritema, edema/papul,
ekskoriasi, likenifikasi, krusta, dan kulit kering yang masing-masing dinilai dari skala 0-3.
Gejala subjektif (C) terdiri dari pruritus dan gangguan tidur yang masing-masing dinilai
dengan visual analogue scale dari skala 0-10 sehingga skor maksimum untuk bagian ini
adalah C. Pada formula ini A adalah luas luka (0-100), B adalah intensitas (0-18), dan C
adalah gejala subjektif (0-20). Skor maksimal SCORAD adalah 10. 5

RUMUS SCORAD = A/5 + 7B/2 + C

Keterangan :
A : adalah jumlah luas permukaan kulit yang terkena dermatitis atopik di luar kulit kering
dengan mengikuti rule of nine dengan jumlah skor tertinggi kategori A adalah 100.

B : adalah jumlah dari 6 kriteria inflamasi yaitu eritema/kemerahan, edema/papul/gelembung


yang melepuh, oozing/krusta, ekskoriasi, likenifikasi/berkerak/bersisik, keringan kulit,
semua mempunyai nilai masing- masing berskala 0-3 (0 = tidak ada, 1 = ringan, 2 = sedang,
3 = berat), jumlah skor tertinggi kategori B ini adalah 18.

C : adalah jumlah dari nilai gatal dan gangguan tidur dengan skala 0 – 10 dengan jumlah skor
tertinggi kategori C adalah 20.5
Rule of nine <2 tahun

Rule of nine >2 tahun

Berdasarkan dari penilaian


SCORAD dermatitis atopik digolongkan menjadi (Linuwir, 2017) (evina, 2015):
1. Dermatitis atopik ringan (skor SCORAD <15): perubahan warna kulit menjadi
kemerahan, kulit kering yang ringan, gatal ringan, tidak ada infeksi sekunder.

2. Dermatitis atopik sedang (skor SCORAD antara 15–40): kulit kemerahan, infeksi kulit
ringan atau sedang, gatal, gangguan tidur, dan likenifikasi.

3. Dermatitis atopik berat (skor SCORAD >40): kemerahan kulit, gatal, likenifikasi,
gangguan tidur, dan infeksi kulit yang semuanya berat.
DIAGNOSIS BANDING
Penyakit Gambaran klinis
Seboroik dermatitis Berminyak, squama, riwayat keluarga tidak ada
Psoriasis Plak pada daerah ekstensor, skalp, gluteus, pitted nail
Neurodermatitis Gatal, soliter, riwayat keluarga tidak ada
Contact dermatitis Riwayat kontak, ruam di tempat kontak, riwayat keluarga
tidak ada
Skabies Papul, sela jari, positif ditemukan tungau
Sistemik Riwayat, pemeriksaan fisik. Pemeriksaan banyak sesuai
dengan penyakit
Dermatitis herpetiforme Vesikel berkelompok di daerah lipatan
Dermatofita Plak dengan sentral healing, KOH negative
Immmunodefisiensi Riwayat infeksi berulang
disorder
(Siregar, 2008)

TATALAKSANA
Masalah pada DA sangat kompleks sehingga dalam penatalaksanaannya perlu
dipertimbangkan berbagai faktor yang mempengaruhi, upaya preventif atau terapi kausal
sesuai etiologi dan sebagian patogensis penyakit yang telah diketahui. Kongres konsensus
internasional dermatitis atopik ke II (International Consensus Conference on Atopic
Dermatitis II / ICCAD II) di new orleans, 2002, telah menyepakati pedoman terbaru terapi
DA, dengan memperhatikan (Linuwir, 2017):
1. Efektivitas obat sistemik yang aman, bertujuan untuk mengurangi rasa gatal, reaksi
alergik dan inflamasi. Sebagai terapi sistemik dapat diberikan antihistamin (generasi
sedatif atau non sedatif sesuai kebutuhan) dan kortikosteroid. Pemberian kortikosteroid
sistemik bukan merupakan hal yang rutin, digunakan terutama pada kasus yang parah atau
rekalsitrans, dengan memperhatikan efek samping jangka panjang.

2. Jenis terapi topikal, berupa:

- Kortikosteroid (sebagai anti-inflamasi, anti-pruritus, dan imunosupresif, dipilih yang


aman untuk dipakai dalam jangka panjang). Bahan vehikulum disesuaikan dengan fase
dan kondisi kulit.
- Pelembab (digunakan untuk mengatasi gangguan sawar kulit).

- Obat penghambat kalsineurin (pimekrolimus atau tacrolimus).

3. Kualitas kehidupan dan tumbuh kembang anak

Edukasi dan konseling

Perlu diberikan informasi dan edukasi kepada orang tua, para pengasuh
keluarga dan pasien tentang DA, perjalanan penyakit, serta berbagai faktor yang
mempengaruhi penyakit. Faktor pencetus kekambuhan diantaranya allergen hirup (tungau
dan/atau debu rumah), alergen makanan pada bayi <1 tahun (susu, sapi, telur, kacang-
kacangan, bahan pewarna, bahan penyedap rasa dan aditif lainnya). Namun dapat dijelaskan
bahwa alergi terhadap makanan dapat menghilang berangsur-angsur sesuai dengan
bertambahnya usia. Diet hanya boleh ditentukan oleh dokternya.
Faktor psikologis seringkali berperan menjadi faktor pencetus atau sebaliknya.
Bila diperlukan pasien dapat dirujuk ke psikolog atau psikiater. Kominkasi efektif berguna
untuk membangun rasa percaya diri pasien. Walaupun DA sulit disembuhkan namun dapat
dikendalikan (Linuwir, 2017).

Pemilihan obat topikal


Obat topikal yang digunakan pada DA bayi dan anak sama dengan orang dewasa, meliputi
pelembab, kortikosteroid, dan obat-obat penghambat kalsineurin (misalnya pimekrolimus
atau takrolimus) (Linuwir, 2017).

Pelembab
Pelembab berfungsi memulikan disfungsi sawar kulit. Beberapa jenis pelembab antara lain
berupa humektan (contohnya gliserin dan propilen glikol), natural moisturizing factor
(misalnya urea 10% dalan euserin hidrosa), emolien (contohnya lanolin 10%, petrolatum,
minyak tumbuhan, dan sintetis), protein rejuvenators (misalnya asam amino), bahan lipofilik
(diantaranya asam lemak esensial, fosfolipid dan seramid). Pemakaian pelembab dilakukan
secara teratur 2 kali sehari, dioleskan segera setelah mandi, walaupun sedang tidak terdapat
gejala DA (Linuwir, 2017).
Kortikosteroid topikal
Efek samping kortikosteroid sistemik pada anak terutama supresi aksis hipotalamus-pituitri-
korteks adrenal (HPA) dan atrofi kulit. Untuk pengobatan yang aman hendaknya
memperhatikan lokasi anatomis (oklusi aalamiah dan vaskularisasi), luas area yang diobati,
potensi kortikosteroid yang digunakan termasuk jenis dan konsentrasinya, vehikulum,
frekuensi pengolesan dan lama pemakaian. Bila penggunaan kortikosteroid tersebut
dilakukan dengan benar, diharapkan dapat mengurangi kemungkinan terjadinya efek
samping.
Untuk bayi dan anak dianjurkan pemilihan kortikosteroid golongan VII-IV. Pada DA fase
bayi/anak yang ringan dapat dimulai dengan kortikosteroid golongan VII, misalnya
hidrokortison krim 1-2%, metilprednisolon atau flumetason. Pada DA dengan derajat
keparahan sedang dapat digunakan kortikosteroid golongan VI, misalnya desonid,
triamsinolon asetonid, prednikarbat, hidrokortison butirat, flusinolon asetonid.
Bila kondisi DA lebih parah dapat digunakan kortikosteroid golongan V, misalnya flutikason,
betametason 17 valerat, atau golongan IV, aitu mometason furoat (MF), atau aklometason.
Walaupun MF tergolong kortikosteroid potensi sedang, namun hasil penelitian klinis
membuktikan bahwa MF tidak mengakibatkan efek atrofogenik atau hanya minimal. Dalam
keadaan tertentu kortikosteroid topikal potensi kuat dapat digunakan secara singkat (1-2
minggu). Bila DA sudah teratasi segera diganti dengan potensi sedang atau lemah (Linuwir,
2017).

Obat penghambat kalsineurin (pimekrolimus dan takrolimus)


Kortikosteroid topikal merupakan obat pilihan utama DA, namun terdapat keterbatasan
terutama efek samping yang timbul jika digunakan untuk jangka panjang. Sesuai dengan
konsep terapi pada ICCAD II. Pelembab senantiasa diberikan walaupun tanpa gejala DA.
Untuk mengatasi pruritus dan inflamasi dapat diberikan antihistamin sistemik (sedatif dan
non sedatif), kortikosteroid topikal dan inhibitor kalsineurin, diantaranya pimekrolimus dan
takrolimus (Linuwir, 2017).

Pengobatan sistemik
Kadang diperlukan terapi sistemik pada DA anak. Antihistamin sistemik mampu mengurangi
rasa gatal sehingga mengurangi frekuensi garukan yang dapat memperburuk penyakit. Rasa
gatal tidak hanya disebabkan oleh histamin, namun masih dapat disebabkan oleh mediator
lain. Anti histmain yang bersifat sedatif (misalnya klorfeniramin maleat, hidroksisin) lebih
efektif mengurangi rasa gatal disbanding kan antihistamin non sedatif (misalnya loratadine,
ceterizin, terfenadine, feksofenadin). Meskipun demikian, antihistamin nonsedatif memiliki
keunggulan, yaitu dapat mencegah migrasi sel inflamasi. Pemberian seterizin pada bayi
atopic selama 18 bulan mampu mencegah bayi dengan DA berkembang menjadi pengidap
asma (allergic march) (Linuwir, 2017).

Diet makanan pada anak dengan dermatitis atopik


Khususnya pada bayi atau anak kurang dari 1 tahun, alergen makanan lebih berpengaruh
daripada alergen debu rumah. Perlu bukti korelasi riwayat alergi makanan dengan
kekambuhan lesi. Uji kulit diantaranya soft allergen fast test (SAFT), pricked test (uji tusuk)
atau double blid allergen placebo-controlled food challenge test (DBPFCT), perlu dilakukan
sebelum memberi diet makanan. Uji kulit tersebut harus dilakukan oleh ahlinya dan
diinterpretasikan dengan baik dan benar, serta diinformasikan kepada pasien/orangtuanya
secara hati-hati. Allergen makanan yang sering dilaporkan berupa telur, susu sapi, ikan,
kacang-kacangan, gandum, soya, tomat dan jeruk, bahan pewarna, bahan penyedap dan aditif
lainnya. Bila berdasarkan anamnesis, uji kulit, dan peningkatan IgE RAST, pasien terbukti
alergi terhadap makanan tertentu, maka dapat dilakukan beberapa cara penanggulangan.
Pemberian makanan tersebut ditunda, dihentikan, dilakukan diet terpimpin, atau ditukar
dengan makanan pengganti, misalnya susu sapi diganti dengan susu kedelai (soya). Perlu
dimonitor korelasi antara diet dengan perbaikan lesi klinis. Air susu ibu (ASI) eksklusif dan
keterlambatan pemberian makanan padat pada bayi DA dapat mencegah alergi terhadap
makanan (Linuwir, 2017).

Obat imunosupresi pada DA anak


Obat imunosupresi pada DA merupakan obat pilihan terakhir. Penggunaan kortikosteroid
jangka panjang umumnya menyebabkan efek ketergantungan obat dan penekanan siklus
HPA. Penggunaan kortikosteroid sistemik dibatasi penggunaannya pada kasus akut dan berat,
serta diberikan untuk jangka waktu singkat (Linuwir, 2017).
Penilaian awal riwayat penyakit, luas dan derajat penyakit
Termasuk penilaian efek psikologis, pengaruh kepada keluarga

Pelembab, edukasi

Mengatasi prurits dan inflamasi Terapi ajuvan


Remisi penyakit akut
(tidak ada tanda dan  Kortikosteroid topikal atau Hindari faktor-
gejala)  Penghambat kalsineurin topikal faktor pencetus
Pimekrolimus 2 kali sehari atau
Takrolimus 2 kali sehari Infeksi
bakterial:
antibiotik oral
dan atau topikal
Terapi pemeliharaan
Untuk penyakit persisen dan atau sering kambuh
Infeks viral:
 Pada tanda dini rekurensi gunakan penghambat
terapi antiviral
kalsineurin topikal untuk mencegah
progresivitas penyakit Pimekrolimus
Intervensi
mengurangi terjadinya flare
psikologis
 Penggunaan penghambat kalsineurin topikal
jangka waktu lama untuk pemeliharaan
 kortikosteroid topikal secara intermiten

Penyakit berat dan refrakter


 Fototerapi
 Kortiosteriid topikal poten
 Siklosporin
 Metotreksat
 Kortiosteroid oral
 Azatioprin -Psikoterapi

Stadium DA Morfologi Klinis Kortikosteroid Bahan vehikulum


Stadium akut: Eritem, vesikel, Potensi ringan Krim o/w
fase infantil erosi, eksoriasi (VII-VI)
(tampak eksudatif)
Stadium subakut: Eritem, ringan, Potensi sedang (V- Krim o/w atau w/o
fase anak erosi, skuama, dan IV)
krusta
Stadium kronis: Hiperpigmentasi, Potensi kuat atau Salap, salap berlemak atau
Fase dewasa hiperkeratosis, dan sangat kuat gel, propilen, glikol, asam
likenifikasi (III,II,I) salisilat >3%

PROGNOSIS
Sulit meramalkan prognosis DA. pada seseorang. Prognosis lebih buruk bila kedua orang
tuanya menderita DA. Ada kecenderungan perbaikan spontan pada masa anak, dan sering ada
yang kambuh pada masa remaja. Sebagian kasus menetap pada usia di atas 30 tahun.
Penyembuhan spontan DA. yang diderita sejak bayi pernah dilaporkan terjadi setelah umur 5
tahun sebesar 40-60%, terutama kalau pe¬nyakitnya ringan. Sebelumnya juga ada yang
melaporkan bahwa 84% DA. anak berlangsung sampai masa remaja. Ada pula laporan, DA.
pada anak yang diikuti sejak bayi hingga remaja, 20% menghilang, dan 65 % berkurang
gejalanya. Lebih dari separo DA. remaja yang telah diobati kambuh kembali setelah dewasa.
Faktor yang berhubungan dengan prognosis kurang balk DA. yaitu:
- DA luas pada anak
- menderita rinitis alergik dan asma bronkial
- riwayat DA. pada orang tua atau saudara kandung
- awitan (onset) DA. pada usia muda
- anak tunggal
- kadar igE serum sangat tinggi.
Diperkirakan 30 hingga 50 persen DA. infantil akan berkembang menjadi asma bronkial atau
hay fever. Penderita atopi mempunyai risiko menderita dermatitis kontak iritan akibat kerja
di tangan. (Djuanda, 2011)

BAB IV
PEMBAHASAN
Pasien berumur 3 bulan dibawa ke RSUD Arjawinangun oleh nenek dan kakeknya pada
tanggal 5 agustus 2019 dengan keluhan makula eritem generalisata. Keluhan timbul semenjak
1 bulan yang lalu. Makula eritem awalnya muncul pada regio thorax anterior. Kemudian
setelah seminggu makula eritem juga muncul pada regio ekstremitas superior, regio thorax
posterior, regio abdomen, regio fascialis, dan regio colli posterior. Berdasarkan anamnesis,
ibu memiliki riwayat alergi terhadap ikan laut dan asma. Hal tersebut memenuhi kriteria
mayor dermatitis atopi.

Dermatitis Atopik pada infantil lebih sering muncul pada usia bayi (2 bulan-2 tahun),
umumnya awitan DA terjadi usia 2 bulan. Tempat predileksi utama di wajah diikuti kedua
pipi dan tersebar simetris. Lesi dapat meluas ke dahi, kulit kepala, telinga, leher, pergelangan
tangan, dan tungkai terutama di bagian volar atau fleksor.

Tatalaksana yang dilakukan pada pasien ini adalah pemberian kortikosteroid golongan VII
metilprednisolon, bethametason cream dan amoxixilin drop untuk mengurangi reaksi alergik
dan inflamasi.

BAB V
KESIMPULAN
Dermatitis atopik (DA) adalah peradangan kulit berupa dermatitis yang kronis
residif, disertai rasa gatal, dan mengenai bagian tubuh tertentu terutama diwajah pada bayi
(fase infantil) dan bagian fleksural ekstremitas (pada fase anak). . Di negara berkembang 10-
20% anak menderita dermatitis atopik dn 60% diantaranya menetap sampai dewasa.
Beberapa penelitian menunjukkan kemungkinan DA berhubungan dengan interaksi antara
penurunan fungsi sawar kulit, sistem imun, genetik, serta faktor pemicu lainnya seperti faktor
lingkungan maupun agen infeksi. Diagnosis DA dapat ditegakkan secara klinis dengan gejala
utama gatal, penyebaran simetris di tempat predileksi (sesuai usia), tempat dermatitis yang
kronis-residif, riwayat atopi pada pasien atau keluarganya. Untuk mendiagnosis DA dapat
dilakukan pengelompokan kriteria mayor dan minor berdasarkan hanifin-radjka ataupun
kriteria william. Terapi DA dapat diberi secara sistemik dan topikal untu mengurangi rasa
gatal, reaksi alergik, dan inflamasi.

Anda mungkin juga menyukai