Anda di halaman 1dari 39

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI

KEBERHASILAN PEMASANGAN DOUBLE J-STENT SECARA

RETROGRADE PADA PENDERITA KARSINOMA SERVIKS UTERUS

DI RSUD DR. MOEWARDI SURAKARTA PERIODE TAHUN 2014

(Retrospektif)

Disusun oleh :
M. Asro Abdih Y.

Pembimbing :
Wibisono
Suharto Wijanarko
Doddy M. Soebadi

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I UROLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA

RSUD DR. MOEWARDI SURAKARTA

2015

1
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Karsinoma serviks uterus adalah keganasan terbanyak diderita

wanita di Indonesia1. Data tahun 2010 di Rumah Sakit Umum Daerah Dr.

Soetomo Surabaya, didapatkan 3638 kasus baru yang terdiagnosis

sebagai karsinoma serviks uterus2. Lebih dari 40 persen dari mereka

berada dalam stadium 3B dan memerlukan diversi urine3.

Hidronefrosis pada penderita karsinoma serviks uterus disebabkan

oleh invasi tumor langsung terhadap ureter, pendesakan massa

metastatik retroperitoneal atau massa kelenjar getah bening4.

Hidronefrosis dan dilatasi ureter yang terjadi disertai kerusakan parenkim

ginjal dan menyebabkan nefropati obstruktif yang bersifat ireversibel5.

Diversi urine diperlukan pada obstruksi ureter bilateral, urosepsis,

uremia dan hiperkalemia, kolik renal persisten, serta perburukan derajat

hidronefrosis dan fungsi ginjal yang ditandai dengan peningkatan kreatinin

serum dan penurunan Glomerular Filtration Rate (GFR)5,6. Fibrosis

retroperitoneal akibat radioterapi dan kemoterapi berakibat dilatasi ureter

dan hidronefrosis yang berujung pada nefropati obstruktif sehingga

memerlukan tindakan korektif dan pencegahan7.

Pemasangan kateter Double J (DJ stent) secara retrograde dan

nefrostomi perkutan adalah dua pilihan diversi urine pada uropati

2
obstruktif akibat karsinoma serviks uterus8. Kouba dan kawan-kawan

menyatakan bahwa kegagalan pemasangan DJ stent pada kasus

pendesakan ureter ekstrinsik akibat keganasan cukup tinggi terutama bila

disertai dengan hidronefrosis dan nyeri pinggang yang persisten, berkisar

16 %—58 %8. Kegagalan pemasangan DJ stent pada obstruksi ureter

akibat keganasan cukup tinggi pada obstruksi ureter level distal bila

dibandingkan dengan obstruksi ureter proksimal atau pelvis renal8.

Gumilar dan kawan-kawan menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara

gradasi hidronefrosis dengan tingkat keberhasilan pemasangan DJ stent

secara retrograde pada penderita karsinoma serviks uterus9.

Penelitian ini bermaksud mencari faktor-faktor yang mempengaruhi

keberhasilan pemasangan DJ stent pada penderita karsinoma serviks

uterus di RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Dengan teridentifikasinya faktor-

faktor tersebut, prediksi keberhasilan dapat diketahui sehingga faktor-

faktor positif bisa lebih dimaksimalkan dan sebaliknya faktor-faktor negatif

dapat lebih dini dihindari. Hasilnya keberhasilan pemasangan DJ stent

pada penderita karsinoma serviks uterus dapat ditingkatkan sehingga

perburukan fungsi ginjal yang ireversibel dapat dicegah.

1.2 Tujuan Penelitian

1. Mengetahui profil penderita karsinoma serviks uterus yang menjalani

prosedur pemasangan DJ stent secara retrograde di RSUD Dr.

Moewardi selama periode tahun 2014.

3
2. Mengetahui hubungan antara rentang waktu diagnosis patologis

karsinoma serviks uterus dengan saat dilakukannya insersi DJ stent,

stadiumnya, derajat hidronefrosis, dan kadar kreatinin serum

preoperatif dengan keberhasilan pemasangan DJ stent secara

retrograde pada penderita karsinoma serviks uterus di RSUD Dr.

Moewardi selama periode tahun 2014.

3. Mengetahui penyebab kegagalan pemasangan DJ stent pada

penderita karsinoma serviks uterus yang menjalani prosedur

pemasangan DJ stent secara retrograde di RSUD Dr. Moewardi

selama periode tahun 2014

1.3 Manfaat Penelitian

1. Menyajikan profil penderita karsinoma serviks uterus yang menjalani

prosedur pemasangan DJ stent secara retrograde di RSUD Dr.

Moewardi selama periode tahun 2014

2. Dapat menentukan prediktor keberhasilan pemasangan DJ stent

secara retrograde pada penderita karsinoma serviks uterus di RSUD

Dr. Moewardi.

3. Dapat menentukan prognosis perburukan fungsi ginjal penderita

karsinoma serviks uterus di RSUD Dr. Moewardi secara lebih dini.

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Epidemiologi Karsinoma Serviks Uterus

Karsinoma serviks uterus adalah keganasan terbanyak ketujuh dari

semua jenis keganasan di seluruh dunia. Di antara keganasan pada

wanita, karsinoma serviks uterus merupakan jenis keganasan terbanyak

kedua setelah keganasan payudara. Pada tahun 2002 di seluruh dunia

terdapat 493.000 kasus baru karsinoma serviks uterus dengan kematian

mencapai 274.000 kasus. Di negara yang sedang berkembang, 83 %

karsinoma serviks uterus merupakan kasus baru, dengan risiko kumulatif

pada wanita kelompok usia di bawah 65 tahun sebesar 1.5 %. Di negara

maju, kasus baru karsinoma serviks uterus hanya sekitar 3,6 % dengan

risiko kumulatif pada wanita kelompok umur 0-64 tahun sebesar 0,8 %. Di

negara-negara Asia Tenggara insidens dan mortalitas karsinoma serviks

uterus mencapai 18,7 % dan 10,3 %10.

Di Indonesia karsinoma serviks uterus merupakan keganasan

terbanyak yang diderita wanita1. Data tahun 2010 di Rumah Sakit Umum

Daerah Dr. Soetomo Surabaya, didapatkan 3638 kasus baru yang

terdiagnosis sebagai karsinoma serviks uterus2. Lebih dari 40 persen

penderita karsinoma serviks uterus berada dalam stadium 3B dan

memerlukan diversi urine3.

5
2.2 Obstruksi Ureter karena Keganasan

Patofisiologi

Sejalan dengan meningkatnya insiden keganasan, kejadian

obstruksi ureter yang berujung pada nefropati obstruktif akibat keganasan

juga meningkat. Obstruksi ureter akibat keganasan (MUO, Malignant

Ureteral Obstruction) disebabkan oleh invasi langsung tumor pada ureter,

desakan massa retroperitoneal atau pembesaran kelenjar getah bening di

kavum pelvis4,11. MUO dapat berlangsung secara singkat dalam jangka

waktu bulanan, namun kadangkala terjadi cukup lama sampai 14 tahun

kemudian11. Jika obstruksi terjadi secara perlahan-lahan dan dalam

jangka waktu yang lama, perubahan pada jaringan ginjal yang ditandai

dengan atrofi korteks sering tidak bergejala sampai perburukan fungsi

ginjal benar-benar nyata. Kondisi klinis penderita pada saat itu ditandai

dengan uremia, gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit, infeksi

saluran kemih, penurunan kesadaran hingga berujung pada kematian 11.

a. Fase akut

Pada fase akut (1-2 jam pertama), perbedaan antara obstruksi

ureter unilateral dan bilateral adalah bahwa pada obstruksi unilateral,

Renal Blood Flow (RBF) menurun bila dibandingkan dengan ginjal sehat

kontralateral namun secara keseluruhan GFR tetap stabil. Pada obstruksi

ureter bilateral terjadi penurunan GFR yang ekivalen dengan derajat

obstruksinya. Pada fase akut ini terjadi peningkatan RBF yang bersifat

6
sementara akibat peningkatan prostaglandin dan prostasiklin sebagai

reaksi atas peningkatan tekanan kapiler-kapiler di kapsula Bowman11.

b. Fase intermediate

Fase berikutnya adalah fase intermediate (2-24 jam pertama). RBF

yang sempat meningkat pada fase akut kembali menurun. Pada fase ini

terjadi kerusakan tubulus akibat peningkatan tekanan intratubuler.

Tekanan yang meningkat tersebut diteruskan ke kapsula Bowman

sehingga terjadi penurunan tekanan hidrostatik dan peningkatan resistensi

intravaskuler yang merangsang produksi vasokonstriktor seperti

tromboksan A2 dan angiotensin II. Mekanisme tersebut berakhir pada

penurunan RBF dan GFR11.

Terjadi perubahan di tubulus distal penderita uropati obstruktif yang

merusak proses pemekatan dan asidifikasi urine, kehilangan natrium yang

cukup signifikan karena kerusakan tubulus, dan penurunan aktivitas enzim

N-K-ATPase. Kemampuan tubulus distal dalam mereabsorpsi natrium jauh

berkurang sehingga menyebabkan perubahan elektronegativitas membran

potensial tubulus. Ini menyebabkan gangguan eliminasi hidrogen dan

kalium. Retensi keduanya menghasilkan kondisi asidosis tubulus ginjal

(renal tubular acidosis) yang sering terjadi pada uropati obstruktif 12.

Ketidakmampuan reabsorpsi oleh carrier N-K-Cl di sepanjang

lengkung Henle juga mempengaruhi kemampuan nefron untuk melakukan

kondensasi dan pemekatan urine. Bersama dengan penurunan kadar

7
aquaporin di dalam nefron dan resistensi tubulus sebagai efek dari

hormon antidiuretik, gangguan reabsopsi air juga berkontribusi terhadap

penurunan kemampuan pemekatan urine. Hal ini bertanggung jawab atas

terjadinya poliuria bila obstruksi ureter teratasi12.

c. Fase lanjut

Jika obstruksi ureter berlanjut, terjadi fibrosis, atrofi, dan apoptosis

sel-sel tubulus karena sintesis metalloproteinase. Aktivitas enzim tersebut

menghasilkan deposit fibrin ekstraseluler dan merangsang aktivitas

makrofag. Makrofag menghasilkan interleukin 2, interleukin 6,

transforming growth factor-beta 1, dan clusterin yang berkontribusi

terhadap inflammation cascade; terjadi akumulasi fibroblas di interstitial

dan matriks ekstraseluler yang dengan pengaruh sitokin berubah menjadi

myofibroblas. Fibrosis interstitial juga dirangsang oleh kerja renin-

angiotensin dan radikal bebas oksigen yang melimpah akibat proses

inflamasi. Hasilnya sel-sel epitel tubulus menjadi fibrosis dan atrofi13,14.

Karena itu, obstruksi terhadap aliran urine normal menghasilkan

perubahan bokimia, imunologi, hemodinamik, dan perubahan fungsi ginjal.

Semuanya bergerak dalam suatu pathway yang meliputi peningkatan

kadar angiotensin II, sitokin, growth factors hingga menghasilkan inflamasi

dan apoptosis sel-sel tubulus, peningkatan matriks ekstraseluler, dan

pembentukan fibrosis tubulointerstitial7.

8
Efek atrofi ginjal dan renal recovery setelah desobstruksi ureter

Efek atrofi ginjal sebagai akibat peningkatan tekanan intratubuler

yang berlanjut pada dilatasi sistem pelviokalises (PCS, Pelviocalyces

System) dan hidronefrosis terhadap fungsi ginjal secara keseluruhan

bergantung pada tekanan di PCS dan iskemia pada arteri arkuata yang

memperdarahi piramida renalis. Bila tekanan pada PCS mendekati

tekanan filtrasi glomerulus (6-12 mmHg), akan terjadi penurunan produksi

urine dan secara bertahap hilangnya kemampuan ginjal dalam

memekatkan urine. Hanya saja urine masih bisa dihasilkan oleh ginjal

yang obstruktif melalui mekanisme reabsorpsi ke dalam jaringan

insterstitial dan limfatik (pyelointerstitial backflow)6.

Bila obstruksi ureter tidak dihilangkan, kematian sel-sel tubulus dan

nefron terjadi dalam waktu 15 hari6. Pada model anjing yang dilakukan

ligasi komplet ureter unilateral selama 7 hari, nilai GFR 1 jam

pascapenghilangan obstruksi mencapai 25 % dari nilai GFR sebelum

ligasi. Recovery maksimal mencapai 58 % dari GFR baseline dan itu

terjadi pada 57 hari setelah penghilangan obstruksi ureter7. Vaughan dan

Gillenwater menyatakan bahwa pada model anjing yang dilakukan ligasi

ureter unilateral selama 7 hari, terjadi perbaikan fungsi ginjal seperti

semula di minggu kedua pascaligasi ureter tersebut dihilangkan. Berturut-

turut, perbaikan GFR pascapenghilangan obstruksi ureter itu berkurang

hanya menjadi 70 % setelah 14 hari, 30 % setelah 4 minggu, dan sama

9
sekali tidak ada perbaikan fungsi ginjal meskipun dilakukan desobstruksi

ureter setelah obstruksi ureter unilateral berlangsung selama 6 minggu7.

Karena itu, meskipun obstruksi ureter bisa diatasi, perubahan

histologi dan lesi yang terjadi seperti dijelaskan di atas sebagian tetap

terus berlangsung. Ini dapat menjelaskan menetapnya insufisiensi renal

setelah obstruksi ureter dihilangkan6.

2.3 Diagnosis dan Evaluasi Obstruksi Ureter

Penegakkan diagnosis obstruksi ureter secara dini, apapun

sebabnya, sangat krusial karena berpengaruh terhadap prognosis.

Diagnosis dan staging keganasan primer yang menyertai MUO juga perlu

diperhatikan sebagai bagian dari diagnosis komprehensif 6. Gejala dan

tanda klinis uropati obstruktif sangat bervariasi sehingga diperlukan

pemeriksaan penunjang yang layak untuk akurasi diagnostik 7. Perlu

dipahami pula berbagai modalitas diagnostik yang tersedia mengenai

keuntungan dan keterbatasannya, sensitivitas dan spesifisitasnya, serta

modifikasi yang diperlukan untuk mempertajam diagnosis MUO6,7.

Ultrasonografi

Ultrasonografi ginjal adalah lini pertama modalitas diagnostik yang

digunakan untuk melihat dilatasi PCS dan hidronefrosis. Keuntungan

ultrasonografi adalah sifatnya yang non-ionized radiation sehingga dapat

10
diaplikasikan secara aman untuk kasus kehamilan dan pediatrik. Karena

tidak diperlukan material kontras, ultrasonografi juga dapat dipakai secara

luas pada penderita uropati obstruktif dengan uremia dan peningkatan

kreatinin serum. Faktor ketersediaan dan biaya yang relatif murah

menjadikan ultrasonografi adalah pilihan utama tidak hanya dalam

diagnostik tetapi juga dalam mengevaluasi obstruksi ureter

pascadilakukannya tindakan desobstruksi7.

Perlu dipahami bahwa hidronefrosis yang terlihat dari ultrasonografi

adalah diagnosis anatomis, bukan mencerminkan fungsi. Kaliektasis dan

pelviektasis bisa saja terlihat pada saluran urine yang nonobstruktif.

Sebuah studi prospektif oleh Laing dan kawan-kawan menemukan ada 35

% false-negative ultrasonografi dalam mendeteksi obstruksi akut5,6.

Karena itu tetap diperlukan analisis serta korelasi antara diagnostik klinis

dan penemuan ultrasonografi7.

Ultrasonografi Doppler dapat menilai indeks resistif (RI, Resistive

Index) ginjal. Pada uropati obstruktif, RI ginjal lebih dari 0,7 dan

perbedaan RI antara ginjal obstruktif dan nonobstruktif adalah lebih dari

0,06—0,16.

Pyelografi Intravena (IVP, Intravenous Pyelografi)

Sempat menjadi gold standard dalam jangka waktu yang lama

untuk diagnostik dan evaluasi saluran kemih bagian atas, kini IVP telah

11
mulai digantikan oleh prosedur diagnostik lain untuk indikasi yang sama.

IVP menyajikan informasi anatomi dan fungsi dari ginjal. Obstruksi urine

akut dapat terlihat dari nefrogram dan pyelogram yang delayed pada sisi

yang terkena. Pada IVP, level obstruksi juga dapat terlihat. Penipisan

korteks ginjal, pembengkakan ekstrem PCS (blunting), dan turtuois ureter

yang telihat pada IVP menunjukkan kronisitas obstruksi6,7.

Karena IVP membutuhkan fungsi filtrasi glomerulus yang baik dan

konsentrasi kontras mempengaruhi fungsi ginjal secara keseluruhan,

penggunaannya pada kasus insufisiensi renal sangat terbatas. Risiko

contrast-induced nephropathy meningkat sejalan dengan tingginya nilai

kreatinin serum. Karena itu kontraindikasi pemeriksaan IVP adalah

adanya insufisiensi renal dan riwayat alergi terhadap kontras. Paparan

radiasi yang relatif tinggi membatasi penggunaan IVP sebagai modalitas

diagnostik uropati obstruktif pada kehamilan7.

Pyelografi Retrograde dan Antegrade

Pyelografi retrograde dan antegrade secara akurat dapat

memperlihatkan gambaran anatomi ureter dan PCS, termasuk lokasi

obstruksi dan derajatnya. Pada penderita dengan gangguan fungsi ginjal

dan riwayat alergi terhadap medium kontras intravena, pemeriksaan ini

menjadi alternatif utama. Bila secara teknis pyelografi retrograde tidak

dapat dikerjakan, pyelografi antegrade menjadi pilihan lain. Material

12
kontras diinjeksikan melalui kateter nefrostomi dan gambaran anatomi

PCS dan ureter dapat diamati secara riil melalui fluoroscopy. Bentuk lain

pemeriksaan pyelografi retrograde adalah loopogram, suatu pemeriksaan

radiologis untuk menilai adanya obstruksi pada pasien yang telah

menjalani diversi urine perkutan7.

Tes Whitaker

Pemeriksaan ini pertama kali dipaparkan oleh Whitaker pada tahun

1973. Sebuah kateter nefrostomi yang telah terpasang dialiri cairan

normal saline atau material kontras sehingga masuk ke dalam PCS

dengan kecepatan tetap 10 miliiter per menit. Kateter lain terpasang ke

dalam kandung kemih untuk menilai tekanan intravesika. Tekanan

intravesika yang terukur dikurangi tekanan PCS menunjukkan tekanan

intrapyelum. Tekanan intrapyelum yang kurang dari 15 cm H 2O dianggap

normal, lebih dari 22 cm H2O mengindikasikan adanya obstruksi, dan

tekanan intrapyelum antara 15 dan 22 cm H2O adalah indeterminate.

Sensitivitas dan spesifisitas tes ini dalam menilai adanya obstruksi ureter

adalah 79 % dan 50 %. Karena prosedur ini bersifat invasif,

pemakaiannya dalam praktek klinis keseharian sangat terbatas 7.

13
Nuclear Renography

Prosedur ini bersifat noninvasif, tidak tergantung pada nilai kreatinin

serum, dan dengan memakai isotop tertentu mampu menilai fungsi ginjal

bilateral secara terpisah. Isotop yang digunakan sebagai tracer

diekskresikan secara maksimal oleh glomerulus dan disekresikan oleh

tubulus. Bersihan isotop oleh ginjal juga berlangsung relatif cepat. Isotop

yang dipakai secara luas adalah Technetium (Tc) 99m-

diethylenetetraaminepenta acetic acid (99mTcDTPA) dan Technetium (Tc)

99m-mercaptoacetyltriglycine (99mTcMAG3)6,7.

Prinsip kerja pemeriksaan ini adalah mengukur uptake dan

bersihan isotop yang diinjeksikan intravena oleh ginjal melalui skintigrafi.

Obstruksi PCS dapat dinilai melalui pola kurva bersihan isotop yang

terekam oleh skintigrafi, atau melalui penghitungan waktu paruh (waktu

yang diperlukan isotop tereliminasi dari PCS sehingga tinggal separuh

dosis). Waktu paruh yang kurang dari 10 menit dianggap normal, di atas

20 menit menunjukkan adanya obstruksi, dan waktu paruh antara 10 dan

20 menit adalah ekuivokal7.

Renografi diuretik adalah modifikasi lain pemeriksaan ini. Dengan

memaksimalkan aliran urine melalui injeksi agen diuretik seperti

furosemide, renografi diuretik mampu membedakan PCS yang obstruktif

dengan PCS yang dilatasi namun nonobstruktif 7.

14
Computed Tomography Scanning (CT-Scan) dan Magnetic

Resonance Urography (MRU)

CT-scan dan MRU menyajikan imaging yang lebih superior

dibandingkan dengan IVP. Keuntungan tersebut adalah waktu

pemeriksaan yang lebih cepat, reproducible, serta mampu memberikan

informasi kelainan di sistem organ lain di luar saluran kemih.. Positive

predictive value (PPV) dan negative predictive value (NPV) CT-scan

dalam mengidentifikasi obstruksi ureter akut sebesar 99 % dan 95 %.

Sementara akurasi diagnostik MRU adalah 93 % untuk melihat obstruksi

karena batu dan 100 % dalam mendeteksi obstruksi ureter karena striktur

dan kelainan kongenital, dibandingkan IVP yang 96 % dan 55 %.

Dibandingkan IVP, MRU mampu menyajikan gambaran yang lebih baik

pada pada penderita dengan hidronefrosis derajat sedang dan berat, fungi

ginjal yang terganggu, obstruksi ureter karena faktor ekstrinsik, dan

obstruksi ureteropelvic junction (UPJ)7.

Dengan teknologi yang ada, untuk menyajikan imaging yang

superior dan komprehensif, CT-scan dan MRU dapat dilengkapi dengan

angiografi (CT-angiography, MRA), secara dinamis (dy-MRI) maupun

statis dan dengan atau tanpa bantuan material kontras. Meskipun CT-

scan dan MRU mulai menggantikan modalitas penunjang diagnostik yang

konvensional pada kasus obstruksi saluran kemih karena menyajikan

gambaran anatomi dan fungsi yang lebih baik, nuclear renography tetap

merupakan gold standard dalam menilai fungsi ginjal secara bilateral7.

15
2.4 Penatalaksanaan

Bila obstruksi ureter bermanifestasi secara jelas dalam bentuk

urosepsis, dilatasi PCS dengan gambaran pyonefrosis, penurunan fungsi

ginjal dan produksi urine, diperlukan drainase ginjal segera. Diversi urine

tersebut dapat bersifat sementara sampai prosedur definitif layak

dilakukan atau bersifat permanen sebagai sebuah tindakan definitif.

Spesimen urine yang didapat diperiksa dan dibiakkan, diperiksa pula

fungsi ginjal yang obstruktif terpisah dengan ginjal kontralateral yang

normal. Jika tanda dan gejala menunjukkan adanya infeksi dan kualitas

urine hasil diversi mendukungnya, antibiotik dapat segera diberikan 7.

Pada MUO, terdapat 2 jenis diversi urine yang paling sering

dilakukan : pemasangan DJ stent secara retrograde dengan bantuan

sistoskopi, dan nefrostomi perkutan. Dengan segala kelebihan dan

kekurangan masing-masing, diversi urine mana yang dipilih sangat

bergantung pada kondisi klinis7.

DJ stent

Studi prospektif oleh Joshi dan kawan-kawan (2001) serta oleh

Mokhmalji dan kawan-kawan (2001) menyatakan tidak ada perbedaan

signifikan terkait kulitas hidup antara yang menjalani prosedur

pemasangan DJ stent dengan yang menjalani nefrostomi 7. Hanya saja

pemasangan DJ stent pada obstruksi ureter ekstrinsik akibat keganasan

16
tampak tidak terlalu mudah. Angka kegagalan pemasangan DJ stent

secara retrograde pada kasus obstruksi ureter ekstrinsik sebesar 27 %,

jauh melebihi angka kegagalan pemasangan DJ stent pada obstruksi

ureter intrinsik yang sebesar 6 %7. Danilovic dan kawan-kawan

menyajikan angka kegagalan pemasangan DJ stent 52 % pada obstruksi

ureter ekstrinsik dan 9 % pada obstruksi ureter instrinsik. Muara ureter

yang tak teridentifikasi saat sistoskopi berperan pada 77 % kegagalan

pemasangan DJ stent pada MUO15.

Pada follow-up 3 bulan pascapemasangan, didapatkan angka stent

failure lebih dari 40 %. Stent failure adalah kegagalan stent dalam

mempertahankan fungsi dainase sehingga ginjal obstruktif mengalami

perburukan. Chung dan kawan-kawan melaporkan angka stent failure

sebesar 42 %, Feng dan kawan-kawan serta Yossepowitch dan kawan-

kawan melaporkan angka stent failure berturut-turut 31 % dan 43,6 %.

Kanou dan kawan-kawan mendapatkan 59,5 % pasien yang terpasang DJ

stent harus dikonversi ke nefrostomi akibat stent failure5,16,17.

DJ stent yang terpasang menyebabkan ganggungan fungsi voiding

dan kadangkala membutuhkan paparan radiasi sinar-x saat pemasangan.

Stent-related complications lain yang paling terjadi adalah disuria,

hematuria, demam, enkrustasi, migrasi stent, dan perforasi ureter. Ahmad

dan kawan-kawan melaporkan komplikasi pemasangan DJ stent yaitu

nyeri karena iritasi trigonum (12 %), hematuria (10%), demam (8 %),

enkrustasi (5 %), dan migrasi stent (2 %)7,18.

17
Nefrostomi

Jika drainase melalui DJ stent tidak efektif atau bahkan gagal

terpasang, nefrostomi harus dipertimbangkan terutama bila cairan yang

terakumulasi di PCS yang obstruktif bersifat purulen (pyonefrosis).

Dengan nefrostomi, penilaian fungsi ginjal secara terpisah antara yang

obstruktif dan yang kontralateral bisa dilakukan sehingga tindakan definitif

terkait ginjal obstruktif bisa ditentukan7.

Nefrostomi dapat dilakukan dalam anestesi lokal maupun general

dengan tuntunan ultrasonografi maupun fluoroscopy. Nefrostomi tidak

dapat dilakukan bila terdapat koagulopati dan gangguan platelet.

Komplikasi mayor tindakan nefrostomi adalah perdarahan dan cedera

organ lain. Perlu dilakukan edukasi kepada penderita agar secara berkala

melakukan penggantian kateter nefrostomi7,16,18.

18
BABI III

KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN

3.1 Kerangka Konsep

Karsinoma serviks uterus

Obstruksi ureter

Hidronefrosis

Diversi urine dengan insersi


DJ stent secara retrograde

Berhasil

Rentang waktu antara diagnosis


karsinoma servik dan insersi DJ Stent
Operator

Zat pewarna identifikasi Stadium karsinoma servik uterus


muara ureter uterus
Derajat hidronefrosis
Ureteric jet dengan USG Doppler
Kreatinin serum preoperatif

Ya Tidak

Diteliti
Tidakditeliti

Gambar 3.1 Kerangka konsep penelitian

19
3.2 Uraian Kerangka Konsep

Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan insersi DJ Stent

secara retrograde sebagai salah satu metode diversi urine pada penderita

karsinoma serviks uterus yang mengalami obstruksi ureter (ada

hidronefrosis pada USG atau IVP) adalah rentang waktu antara diagnosis

karsinoma serviks uterus dengan saat pemasangan DJ Stent, stadium

karsinoma serviks uterus, derajat hidronefrosis, kadar kreatinin serum

preoperatif, faktor operator, adanya ekskresi zat pewarna yang diberikan

kepada pasien preoperatif pada urine sebagai identifikasi muara ureter,

dan adanya ureteric jet sebagai tanda adanya aliran urine dari ureter.

Semakin lama rentang waktu antara diagnosis karsinoma serviks

uterus dengan saat pemasangan DJ Stent, semakin kecil kemungkinan DJ

Stent dapat terpasang. Begitu pula semakin tinggi stadium karsinoma

serviks uterus, semakin rendah kemungkinan DJ Stent dapat terpasang.

Derajat hidronefrosis yang tinggi dan kadar serum kreatinin yang tinggi

juga berhubungan negatif dengan keberhasilan pemasangan DJ Stent.

Faktor operator (keterampilan dan pengalaman) telah terbukti

berpengaruh besar dalam keberhasilan pemasangan DJ Stent secara

retrograde pada penderita karsinoma serviks uterus. Begitu pula adanya

ekskresi zat pewarna dan ureteric jet sebagai identifikasi muara ureter

telah terbukti dapat meningkatkan keberhasilan insersi DJ Stent, sehingga

ketiga faktor tersebut tidak menjadi faktor yang diteliti.

20
3.3 Hipotesis Penelitian

1. Ada hubungan antara rentang waktu antara diagnosis patologis

karsinoma serviks uterus dengan saat dilakukannya prosedur

pemasangan DJ stent dengan keberhasilan pemasangan DJ stent

secara retrograde pada penderita karsinoma serviks uterus.

2. Ada hubungan antara stadium karsinoma serviks uterus saat

dilakukannya tindakan pemasangan DJ stent dengan keberhasilan

pemasangan DJ stent secara retrograde pada penderita karsinoma

serviks uterus.

3. Ada hubungan antara derajat hidronefrosis dengan keberhasilan

pemasangan DJ stent secara retrograde pada penderita karsinoma

serviks uterus.

4. Ada hubungan antara kadar serum kreatinin preoperatif dengan

keberhasilan pemasangan DJ stent secara retrograde pada penderita

karsinoma serviks uterus.

21
BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di RSUD Dr. Moewardi Surakarta pada

bulan Januari sampai dengan Februari 2015.

4.2 Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian jenis retrospektif secara

deskriptif analitik.

4.3 Sampel

Sampel penelitian ini ada semua pasien karsinoma serviks uterus

yang menjalani prosedur pemasangan DJ stent secara retrograde di

kamar operasi Instalasi Bedah Sentral RSUD Dr. Moewardi Surakarta

selama satu tahun, periode 1 Januari sampai dengan 31 Desember 2014.

4.3 Cara Pengumpulan Data

Data dikumpulkan berdasarkan nomor rekam medis pasien

karsinoma serviks uterus yang tercatat di buku jadwal operasi Instalasi

Bedah Sentral yang menjalani prosedur pemasangan DJ stent.

Selanjutnya dilakukan penelusuran varibel-variabel data yang dibutuhkan

22
melalui status/rekam medik pasien di Instalasi Rekam Medis RSUD Dr.

Moewardi Surakarta.

4.5 Variabel Penelitian

1. Variabel tergantung (dependent) : keberhasilan pemasangan DJ stent

secara retrograde

2. Variabel bebas (independent) :

a. Rentang waktu diagnosis patologis karsinoma serviks uterus

b. Stadium karsinoma serviks uterus

c. Derajat hidronefrosis

d. Kadar kreatinin serum preoperatif

4.6 Definisi Operasional

1. Keberhasilan pemasangan DJ stent secara retrograde adalah

terpasangnya DJ stent dengan bantuan alat endourologi pada ureter

salah satu sisi atau kedua sisi, dibuktikan dengan laporan operasi.

2. Rentang waktu diagnosis patologis adalah rentang waktu dalam satuan

bulan antara diagnosis patologi karsinoma serviks uterus dengan saat

dilakukannya prosedur pemasangan DJ stent secara retrograde,

dibuktikan dengan tanggal hasil pemeriksaan patologi anatomi dan

tanggal yang tertulis dalam laporan operasi

23
3. Stadium karsinoma serviks uterus adalah stadium klinis preoperatif

ataupun saat dilakukannya prosedur pemasangan DJ stent (durante

operatif), dibuktikan dengan :

- 4B : adanya metastase jauh, dibuktikan dengan kesesuaian antara

hasil pemeriksaan patologi di tempat metastase dengan hasil

pemeriksaan patologi biopsi serviks uterus

- 4A : adanya infiltrasi massa ke dalam buli yang tertulis dalam laporan

operasi

- 3B : assessment klinis yang tertulis dalam rekam medik, disertai

penunjang radiologis

- 1 sampai dengan 3A : assessment klinis yang tertulis dalam rekam

medik

4. Derajat hidronefrosis adalah penilaian hidronefrosis berdasarkan

pemeriksaan ultrasonografi dan/atau pyelografi intravena sebelum

operasi, dibuktikan dengan pendapat ahli (expertise) yang tercantum

dalam hasil pemeriksaan ultrasonografi dan/atau pyelografi intravena,

dengan pengelompokkan grade 3, grade 4, dan nonvisualized kidney

pada hasil expertise pyelografi intravena sebagai hidronefrosis grade 3.

(Tabel 4.1)

Tabel 4.1 Derajat hidronefrosis


Expertise hidronefrosis Expertise hidronefrosis Derajat hidronefrosis
berdasarkan USG berdasarkan IVP
Ringan Grade 1 Grade 1
Sedang Grade 2 Grade 2
Berat Grade 3, grade 4 Grade 3

24
5. Kadar kreatinin serum preoperatif adalah hasil pemeriksaan kadar

kreatinin serum dalam milligram/desiliter (mg/dL) sebelum dilakukannya

prosedur pemasangan DJ stent secara retrograde, dibuktikan dengan

tanggal yang tercantum dalam hasil pemeriksaan laboratorium dan

tanggal yang tercantum dalam laporan operasi.

4.7 Analisis Data

Data penelitian yang diperoleh dianalisis secara deskriptif-analitik.

Hasil analisis disajikan secara naratif dalam bentuk tabel. Hubungan

antarvariabel diuji berdasarkan prosedur pengujian statistik menggunakan

bantuan software SPSS versi 18.

25
BAB V

HASIL PENELITIAN

5.1 Jumlah Populasi dan Sampel

Berdasarkan data yang tercatat di Instalasi Bedah Sentral RSUD

Dr. Moewardi Surakarta, selama periode 1 Januari sampai dengan 31

Desember 2014 terdapat 121 pasien yang menjalani prosedur

pemasangan DJ Stent. Dari jumlah itu, terdapat 97 pasien yang menjalani

prosedur tersebut dengan diagnosis karsinoma serviks, sementara 24

pasien yang lain menjalani prosedur pemasangan DJ stent tersebut bukan

karena diagnosis karsinoma serviks. Dengan demikian jumlah populasi

pasien karsinoma serviks yang menjalani prosedur pemasangan DJ stent

pada penelitian ini adalah 97 pasien. Dari jumlah populasi tersebut,

terdapat 15 pasien dengan pencatatan rekam medis yang tidak lengkap

sehingga sampel yang layak untuk diteliti berjumlah 82 pasien. (Tabel 5.1)

Tabel 5.1. Populasi dan sampel penelitian


Keterangan Jumlah
Pasien yang menjalani prosedur pemasangan DJ Stent
97
dengan diagnosis karsinoma serviks (populasi)
Pasien yang menjalani prosedur pemasangan DJ Stent
24
dengan diagnosis bukan karsinoma serviks
Pasien yang menjalani prosedur pemasangan DJ Stent
dan diagnosis karsinoma serviks, dengan pencatatan 15
rekam medis yang tidak lengkap
Pasien yang menjalani prosedur pemasangan DJ Stent
dan diagnosis karsinoma serviks, serta tercatat dalam 82
rekam medis dengan baik (sampel)

26
5.2 Karakteristik Sampel

Jumlah sampel penelitian ini adalah 82 pasien. Usia rata-rata

sampel 51 tahun, dengan usia paling tua 73 tahun dan usia paling muda

25 tahun. Usia sampel penderita karsinoma serviks yang menjalani

prosedur pemasangan DJ stent terbanyak ada pada rentang 50—60 tahun

sebanyak 40 orang. Sementara usia sampel penderita karsinoma serviks

yang menjalani prosedur pemasangan DJ stent paling sedikit ada pada

rentang 20—30 tahun yaitu sebanyak satu orang (25 tahun). (Tabel 5.2)

Tabel 5.2. Rentang usia sampel


Rentang usia sampel (tahun) Jumlah
>60 9
50— ≤60 40
40— ≤50 24
30— ≤40 8
20— ≤30 1
Total 82

5.3 Rentang Waktu Diagnosis Patologis Karsinoma Serviks Uterus

dengan saat Dilakukannya Pemasangan DJ stent

Rentang waktu rata-rata antara diagnosis patologis karsinoma

uterus dengan saat dilakukannya pemasangan DJ Stent pada sampel

adalah 4,6 bulan (4,6 ± 4,06 bulan); dengan rentang waktu terlama 24

bulan dan rentang waktu terpendek 1 bulan. Sebanyak 36 sampel (44 %)

menjalani pemasangan DJ Stent dalam rentang waktu antara 0—3 bulan

sejak diagnosis patologis karsinoma serviks uterus ditegakkan. (Tabel 5.3)

27
Tabel 5.3. Rentang waktu antara diagnosis patologis karsinoma serviks
uterus dengan saat dilakukannya pemasangan DJ Stent
Rentang waktu (bulan) Jumlah
0— <3 36
3— <6 33
6— <9 6
9— <12 3
12— <15 2
15— <18 0
>18 2
Total 82

5.4 Stadium Karsinoma Serviks Uterus

Stadium 3B adalah sampel terbanyak saat dilakukan prosedur

pemasangan DJ Stent (51 orang, 62 %), berikutnya yaitu stadium 4A (20

orang, 24 %), 1B (4 orang, 5 %), stadium 4B, 2B, dan 2A masing-masing

sebanyak 2 orang (2 %), serta stadium 3A 1 orang (1%). Tidak didapatkan

sampel dengan stadium karsinoma serviks uterus 1A. (Tabel 5.4)

Tabel 5.4. Stadium karsinoma serviks uterus saat pemasangan DJ Stent


Stadium Jumlah
I
IA 0
IB 4
II
IIA 2
IIB 2
III
IIIA 1
IIIB 51
IV
IVA 20
IVB 2
Total 82

28
5.5 Derajat Hidronefrosis

Penilaian derajat hidronefrosis pada sampel dibedakan antara

ginjal sisi kanan dan kiri, serta masing-masing dikelompokkan menjadi

empat kelompok : kelompok ginjal normal, ginjal hidronefrosis derajat 1,

derajat 2, dan kelompok ginjal hidronefrosis derajat 3. Ginjal sisi kanan

yang normal terdapat pada 12 sampel, yang mengalami hidronefrosis

derajat 1 ada 26 sampel, ginjal hidronefrosis derajat 2 ada 17 sampel, dan

ginjal hidronefrosis 3 ada 27 sampel. Pada ginjal sisi kiri, kelompok ginjal

yang normal ada 16 sampel, ginjal hidronefrosis derajat 1 ada 25 sampel,

ginjal hidronefrosis derajat 2 ada 16 sampel, dan kelompok ginjal

hidronefrosis derajat 3 terdapat pada 25 sampel. (Tabel 5.5)

Tabel 5.5. Derajat hidronefrosis

Jumlah
Derajat
hidronefrosis Kanan Kiri
Normal 12 16
1 26 25
2 17 16
3 27 25
Total 82 82

5.6 Kadar Kreatinin Serum Preoperatif

Kadar kreatinin serum preoperatif sampel rata-rata adalah 2,1

mg/dL (2,1 ± 1,6 mg/dL). Nilai terbesar adalah 8,8 mg/dL; sedangkan nilai

terkecil adalah 0,3 mg/dL. Bila kadar kreatinin serum preoperatif 1,5

29
mg/dL ditetapkan sebagai ambang batas normal (cut off), terdapat 41

sampel dengan kadar kreatinin di atas normal dan jumlah sampel yang

sama juga ada pada kadar kreatinin serum preoperatif di bawah atau

sama dengan 1,5 mg/dL. (Tabel 5.6)

Tabel 5.6 Kadar kreatinin preoperatif

Kadar kreatinin preoperatif Jumlah


(mg/dL)
> 1,5 41
≤ 1,5 41
Total 82

5.7 Uji korelasi

Berdasarkan variabel tergantung (dependent) yang telah ditetapkan

yaitu keberhasilan pemasangan DJ stent (berhasil atau tidak berhasil)

dengan kategori data nominal, statistik yang digunakan adalah

nonparametrik dengan uji korelasi regresi logistik. Berdasarkan uji statistik

tersebut, hubungan antara variabel bebas (rentang waktu antara diagnosis

patologis karsinoma serviks uterus dengan saat dilakukannya

pemasangan DJ stent, stadium karsinoma serviks uterus, derajat

hidronefrosis, dan kadar kreatinin serum preoperatif) dengan variabel

tergantung beserta tingkat signifikansinya masing-masing tercantum

dalam Tabel 5.7 dan Tabel 5.8.

30
Tabel 5.7 Hubungan antara variabel bebas dan variabel tergantung pada
ginjal kanan serta tingkat signifikansinya masing-masing

B S.E. Wald Df Sig. Exp(B)


a
Step 1 Stadium_Kode -.829 .395 4.411 1 .036 .436

Waktu -.062 .095 .425 1 .515 .940


SC -.155 .334 .216 1 .642 .856
Dextra_DerajatHN -.968 .401 5.815 1 .016 .380
Constant 6.283 2.535 6.144 1 .013 535.582
a. Variable(s) entered on step 1: Stadium_Kode, Waktu, SC, Dextra_DerajatHN.

Tabel 5.8 Hubungan antara variabel bebas dan variabel tergantung pada
ginjal kiri serta tingkat signifikansinya masing-masing

B S.E. Wald Df Sig. Exp(B)


a
Step 1 Stadium_Kode -.317 .305 1.081 1 .298 .728

Waktu -.016 .083 .037 1 .847 .984


SC .007 .275 .001 1 .978 1.007
Sinistra_DerajatHN -1.319 .383 11.864 1 .001 .267
Constant 3.538 1.816 3.796 1 .051 34.409
a. Variable(s) entered on step 1: Stadium_Kode, Waktu, SC, Sinistra_DerajatHN.

Berdasarkan Tabel 5.7 didapati bahwa stadium karsinoma serviks

dan derajat hidronefrosis berkorelasi dengan keberhasilan pemasangan

DJ stent pada ginjal yang ipsilateral dengan hidronefrosisnya, dengan

tingkat signifikansi yang bermakna (p ≤ 0,05). Adapun variabel rentang

waktu antara diagnosis patologis karsinoma serviks uterus dengan saat

dilakukannya pemasangan DJ stent dan kadar kreatinin serum preoperatif

tidak berkorelasi dengan keberhasilan pemasangan DJ stent.

Sedangkan menurut Tabel 5.8, hanya variabel derajat hidronefrosis

yang berkorelasi dengan keberhasilan pemasangan DJ stent pada ginjal

31
yang ipsilateral dengan hidronefrosisnya, dengan tingkat signifikansi yang

bermakna (p< 0,05). Stadium karsinoma serviks uterus hanya tampak

berkorelasi dengan keberhasilan pemasangan DJ stent bila tingkat

kesalahan yang bisa diterima diperlebar menjadi 0,10 (p ≤ 0,10).

Bila analisis korelasi tidak memperhitungkan variabel tergantung

ginjal sisi kanan atau kiri yang berhasil atau tidak berhasil dipasang DJ

stent, yang berarti keberhasilan pemasangan DJ stent pada satu sisi

(pada ginjal kanan atau kiri) dan/atau kedua-duanya dihubungkan dengan

keempat variabel bebas di atas, tampak bahwa derajat hidronefrosis

konsisten berkorelasi dengan keberhasilan pemasangan DJ stent dengan

tingkat signifikansi yang bermakna (p = 0,02). (Tabel 5.9)

Tabel 5.9 Hubungan antara variabel bebas dan variabel tergantung serta
tingkat signifikansinya masing-masing
B S.E. Wald df Sig. Exp(B)
a
Step 1 Stadium_Kode -.830 .444 3.493 1 .062 .436
Waktu -.026 .083 .097 1 .756 .975
SC .164 .289 .320 1 .572 1.178
Dextra_DerajatHN -1.291 .409 9.948 1 .002 .275
Sinistra_DerajatHN -.679 .381 3.168 1 .075 .507
Constant 8.710 2.925 8.867 1 .003 6065.705
a. Variable(s) entered on step 1: Stadium_Kode, Waktu, SC, Dextra_DerajatHN, Sinistra_DerajatHN.

32
BAB VI

PEMBAHASAN

Obstruksi ureter yang terjadi secara perlahan-lahan dan dalam

jangka waktu yang lama seperti pada kasus uropati obstruktif akibat

karsinoma serviks uterus menyebabkan perubahan pada jaringan ginjal

sering tidak bergejala sampai perburukan fungsi ginjal benar-benar nyata.

Kondisi klinis penderita pada saat itu ditandai dengan uremia, gangguan

keseimbangan cairan dan elektrolit, infeksi saluran kemih, penurunan

kesadaran hingga berujung pada kematian11. Bila obstruksi ureter tidak

dihilangkan, kematian sel-sel tubulus dan nefron terjadi dalam waktu 15

hari6. Pada model anjing yang dilakukan ligasi komplet ureter unilateral

selama 7 hari, nilai GFR 1 jam pascapenghilangan obstruksi mencapai 25

% dari nilai GFR sebelum ligasi. Recovery maksimal mencapai 58 % dari

GFR baseline dan itu terjadi pada 57 hari setelah penghilangan obstruksi

ureter. Perbaikan GFR pascapenghilangan obstruksi ureter itu berkurang

hanya menjadi 70 % setelah 14 hari, 30 % setelah 4 minggu, dan sama

sekali tidak ada perbaikan fungsi ginjal meskipun dilakukan desobstruksi

ureter setelah obstruksi ureter unilateral berlangsung selama 6 minggu 7.

Berdasarkan penjelasa tersebut, tindakan desobstruksi ureter apapun

penyebabnya perlu segera dilakukan untuk mencegah perburukan fungsi

ginjal yang bersifat ireversibel.

33
Pada ginjal yang mengalami obstruksi, beberapa peneliti

melaporkan angka yang berbeda-beda mengenai keberhasilan

pemasangan DJ stent secara retrograde beserta faktor-faktor yang

mempengaruhinya. Yossepowitch dan kawan-kawan memaparkan bahwa

penyebab obstruksi ureter (ekstrinsik atau intrinsik), levelnya, dan derajat

hidronefrosis berhubungan dengan keberhasilan pemasangan DJ stent

secara retrograde. Angka kegagalan pemasangan DJ stent secara

retrograde sebesar 77 % pada pasien yang mengalami obstruksi ureter

ekstrinsik, sementara pada pasien yang mengalami obstruksi ureter

intrinsik sebesar 23 %. Kadar kreatinin serum preoperatif dan ahli urologi

tertentu sebagai operator tidak berpengaruh terhadap keberhasilan

pemasangan DJ stent secara retrograde16.

Danilovic dan kawan-kawan memaparkan bahwa angka kegagalan

pemasangan DJ stent sebesar 52 % pada obstruksi ureter ekstrinsik dan 9

% pada obstruksi ureter instrinsik. Muara ureter yang tak teridentifikasi

saat sistoskopi berperan pada 77 % kegagalan pemasangan DJ stent

pada MUO15. Sementara Gumilar dan kawan-kawan menyatakan bahwa

tidak ada hubungan antara gradasi hidronefrosis dengan tingkat

keberhasilan pemasangan DJ stent secara retrograde pada penderita

karsinoma serviks uterus9.

Berdasarkan hasil yang didapat, penelitian ini memberi gambaran

bahwa stadium karsinoma serviks dan derajat hidronefrosis berhubungan

dengan keberhasilan pemasangan DJ stent pada ginjal yang ipsilateral

34
dengan hidronefrosisnya, dengan tingkat signifikansi yang bermakna (p ≤

0,05). Makin tinggi derajat hidronefrosis, makin tinggi kemungkinan

gagalnya pemasangan DJ stent pada sisi yang ipsilateral dengan ginjal

hidronefrosisnya. Sebaliknya, bila ginjal masih nonobstruktif atau obstruksi

ringan (hidronefrosis ringan), keberhasilan pemasangan DJ stent pada

pasien karsinoma servik uterus masih cukup tinggi.

Analisis statistik yang dilakukan tanpa mempertimbangkan sisi

ginjal yang mengalami hidronefrosis, tampak jelas bahwa faktor derajat

hidronefrosis secara konsisten berhubungan dengan keberhasilan

pemasangan DJ stent secara retrograde pada penderita karsinoma

serviks uterus dengan tingkat signifikansi yang bermakna (p = 0,002).

Adapun stadium karsinoma serviks uterus, rentang waktu antara diagnosis

patologis karsinoma serviks uterus dengan saat pemasangan DJ stent,

dan kadar kreatinin serum preoperatif tidak berhubungan secara

bermakna dengan keberhasilan pemasangan DJ stent secara retrograde

pada penderita karsinoma serviks uterus.

Hasil penelitian ini tampak tidak sejalan dengan apa yang telah

dilakukan oleh Gumilar dan kawan-kawan. Salah satu penyebab yang bisa

diidentifikasi adalah faktor operator. Dalam penelitiannya, Gumilar

menggunakan single operator, sementara sampel dalam penelitian ini

tidak mempertimbangkan siapa operator dalam melakukan pemasangan

DJ stent pada pasien karsinoma servik uterus. Seluruh dokter ahli urologi

(empat orang) dan semua resident urologi Surabaya yang bertugas di

35
RSUD Dr Moewardi Surakarta selama periode Januari sampai dengan

Desember 2014 adalah operator pemasangan DJ stent pada pasien

karsinoma serviks uterus yang masuk dalam sampel penelitian.

Bila dianalisis lebih lanjut, tingkat kegagalan pemasangan DJ stent

ipsilateral dengan ginjal yang mengalami hidronefrosis adalah 65,9 %

pada sisi kanan dan 58,5 pada sisi kiri, sehingga rata-rata kegagalan

pemasangan DJ stent secara retrograde pada pasien karsinoma serviks

uterus pada penelitian ini adalah 62,2 %. Ini sedikit berbeda dengan

Danilovic dan kawan-kawan yang memaparkan angka kegagalan

pemasangan DJ stent sebesar 52 % pada obstruksi ureter ekstrinsik15.

Perbedaan ini bisa disebabkan oleh 2 hal. Pertama dari segi jumlah

sampel. Danilovic dan kawan-kawan melakukan penelitian pada 47

sampel, yang berarti hanya separuh dari jumlah sampel penelitian ini.

Yang kedua dari segi penyebab obstruksi ureter ekstrinsik. Sampel

penelitian ini homogen pada penderita karsinoma serviks uterus,

sementara Danilovic dan kawan-kawan tidak khusus pada penderita

karsinoma serviks uterus. Penyebab obstruksi ureter ekstrinsik

(keganasan) lainnya seperti karsinoma kolorektal, karsinoma ovarium,

dan karsinoma prostate diikutsertakan dalam sampel penelitian mereka.

36
BAB VII

KESIMPULAN DAN SARAN

7.1 Kesimpulan

- Terdapat hubungan antara stadium karsinoma serviks uterus dan

derajat hidronefrosis dengan keberhasilan pemasangan DJ stent

secara retrograde pada ginjal yang ipsilateral dengan hidronefrosisnya

pada penderita karsinoma serviks uterus. Makin rendah stadium

karsinoma serviks uterus dan makin ringan derajat hidronefrosis, makin

tinggi kemungkinan keberhasilan pemasangan DJ stent secara

retrograde pada penderita karsinoma serviks uterus.

- Tidak terdapat hubungan antara rentang waktu antara diagnosis

patologis karsinoma serviks uterus dengan saat dilakukannya

pemasangan DJ stent dan kadar serum kreatinin preoperatif dengan

keberhasilan pemasangan DJ stent secara retrograde pada penderita

karsinoma serviks uterus.

7.2 Saran

Pada penderita karsinoma serviks uterus yang mengalami obstruksi

ureter, pemasangan DJ stent perlu dilakukan saat derajat obstruksinya

masih ringan dan stadiumnya masih rendah untuk mencegah kerusakan

fungsi ginjal yang bersifat ireversibel.

37
DAFTAR PUSTAKA

1. Aziz MF. Gynecological cancer in Indonesia. Journal Gynecol Onco.


2009; 20 (1) : 8—10.
2. Data pasien kanker mulut rahim Poli Ginekologi Onkologi RSUD Dr.
Soetomo Surabaya; 2010.
3. Sundar S, Horne A, Kehoe S. Cervical Cancer. BMJ Clinical Evidence.
2008; 3 : 818.
4. Russo P. Urological emergency in the cancer patient. Seminars in
Oncology. 2000; 27 : 284.
5. Kanou T, Fujiyama C, Nishimura K, Tokuda Y, Uozumi J, Masaki Z.
Management of extrinsic malignant ureteral obstruction with urinary
diversion. International Journal of Urology. 2007; 14 : 689–92.
6. Mourmouris PI, Chiras T, Papatsoris AG. Obstructive Uropathy : From
Etiopathology to Therapy. World J Nephrol Urol. 2014; 3 (1) : 1—6.
7. Singh I, Strandhoy JW, Assimos DG. Patophysiology of urinary tract
obstruction. In : Campbell-Walsh Urology, 10th ed. Philadelphia :
Elsevier Saunders, 2012; 10 : 1087—121.
8. Kouba E, Wallen EM, Pruthi RS. Management of ureteral obstruction
due to advanced malignancy : Optimizing therapeutic and palliative
outcomes. The Journal of Urology. 2008; 180 : 444—50.
9. Gumilar OB, Soebadi DM, Tarmono, Askandar B, Pudjirahardjo WJ.
Oral phenazopyridine HCl for ureter orifice identification and
retrograde stenting. 2012. unpublished
10. Global Cancer Facts and Figure, 2nd edition. American Cancer Society
2011. Atlanta
11. Olivera ST, Gjulsen S, Katica Z. Obstructive Nephropathy as a Result
of Malignant Neoplasms : A Single Centre Experience. BANTAO
Journal. 2010; 8 (2) : 71—74.
12. Robben JH, Knoers NV, Deen PM. Regulation of the vasopressin V2
receptor by vasopressin in polarized renal collecting duct cells. Mol
Biol Cell. 2004; 15 (12) : 5693—99.
13. Chevalier RL. Pathogenesis of renal injury in obstructive uropathy.
Curr Opin Pediatr. 2006; 18 (2) : 153—60.
14. Hewitson TD. Renal tubulointersitial fibrosis : common but never
simple. Am J Physiol Renal Physiol. 2009; 296 : 1239—44.
15. Danilovic A, Antonopoulus IM, Mesquita JL. Likelihood of retrograde
double-J stenting according to ureteral obstructing pathology.
International Braz J Urol. 2005; 31 (5) : 431—36.
16. Yossepowitch O, Lifshitz DA, Dekel Y, Gross M, Keidar DM, Neuman
M, et al.: Predicting the success of retrograde stenting for managing
ureteral obstruction. J Urol. 2001; 166 : 1746—9.
17. Feng MI, Bellman GC, Shapiro CE. Management of ureteral
obstruction secondary to pelvic malignancies. J. Endourol. 1999; 13 :
521—24.

38
18. Ahmad I, Pansota MS, Tariq M, Saleem MS, Tabassum SA, Hussain
A. Comparison Between Double J (DJ) Ureteral Stenting and
Percutaneous Nephrostomy (PCN) in Obstructive Uropathy. Pak J
Med Sci. 2013; 29 (3) : 725—29.

39

Anda mungkin juga menyukai