Dalam Continuous Professional Development Konggres Nasional Ilmu Kesehatan Anak ke-14 di
Surabaya, Juli 2008, diungkapkan 5 pilar dalam penatalaksanaan diare yang baru:
1. Oralit, dapat mengurangi rasa mual dan muntah. Berikan segera bila anak diare,
untuk mencegah dan mengatasi dehidrasi. Oralit diberikan setiap sesudah BAB, yaitu
satu bungkus oralit dicampur dengan 200 cc air.
2. ZINC diberikan selama 10 hari berturut-turut untuk mengurangi lama dan beratnya
diare, mencegah berulangnya diare selama 2-3 bulan. Zinc juga dapat mengembalikan
napsu makan anak dan berfungsi sebagai perlindungan usus, karena saat diare usus
terganggu. Zinc diberikan selama 10-14 hari berturut-turut meskipun anak sudah sembuh
dari diare.
Dosis zinc yang diberikan pada anak dibedakan berdasarkan usia. Bayi usia kurang dari
enam bulan diberikan 10mg per hari, sedangkan usia di atas enam bulan berikan
20mg/hari.
3. ASI dan makanan tetap diteruskan sesuai umur anak dengan menu yang sama pada
waktu anak sehat untuk mencegah kehilangan berat badan serta pengganti nutrisi yang
hilang. Anak yang hanya mendapatkan ASI eksklusif, jangan berhenti. Anak yang sudah bisa
memakan makanan lain maka berikan makanan lunak, rendah serat, porsi kecil tapi sering
4. Antibiotik jangan diberikan kecuali dengan indikasi. Antibiotik hanya boleh diberikan
bila diare disebabkan oleh bakteri.
Kolera putih seperti cucian beras diberikan antibiotik jenis tetrasiklin.
Bagi shigella dysentriae, yaitu diare berlendir, berampas, berbau busuk, dengan frekuensi
jarang, kurang dari enam kali per hari, diberikan siprofloksasin, kotrimoksazol, atau
tiamfenikol.
Amebiasis, yaitu diare sangat sering, bisa mencapai 20 kali per hari dengan jumlah keluar
sedikit-sedikit disertai lendir darah dan nyeri perut, diberikan metronidazol. Dosis
antibiotik diberikan berdasarkan berat badan anak.
5. Nasihat pada ibu atau pengasuh: kembali segera jika demam, tinja berdarah, muntah
berulang, makan atau minum sedikit, sangat haus, diare makin sering, atau belum membaik
dalam 3 hari.
TRANSFUSI : INDIKASI, DOSIS,
PR 19 Desember 2015
DAN KOMPLIKASINYA
Reaksi yang mengancam jiwa (karena hemolisis, kontaminasi bakteri dan syok septik,
kelebihan cairan atau anafilaksis)
Tanda dan gejala:
Demam >380 C (demam mungkin sudah timbul sebelum transfusi diberikan)
Menggigil
Gelisah
Peningkatan detak jantung
Napas cepat
Urin yang berwarna hitam/gelap (hemoglobinuria)
Perdarahan yang tidak jelas penyebabnya
Bingung
Gangguan kesadaran.
* Catatan: pada anak yang tidak sadar, perdarahan yang tidak terkontrol atau syok
mungkin merupakan tanda satu-satunya reaksi yang mengancan jiwa.
Tatalaksana
Stop transfusi, tetapi biarkan jalur infus dengan memberikan garam normal
Jaga jalan napas anak dan beri oksigen
Beri epinefrin 0.01 mg/kgbb (setara dengan 0.1 ml dari 1 dalam larutan
10.000)
Tangani syok
Beri hidrokortison 200 mg iv, atau klorfeniramin 0.25 mg/kgbb im, jika
tersedia
Beri bronkodilator jika terjadi wheezing
Lapor kepada dokter jaga dan laboratorium sesegera mungkin
Jaga aliran darah ke ginjal dengan memberikan furosemid 1 mg/kgbb iv
Beri antibiotik untuk septisemia.
SYOK ANAFILAKSIS DAN
PR 20 Desember 2015
PENANGANANNYA
Syok Anafilaktik adalah keadaan alergi yang mengancam jiwa yang ditandai dengan
penurunan tekanan darah secara tiba-tiba dan penyempitan saluran pernafasan, menyebabkan
penderita jatuh pingsan dan tidak sadarkan diri. Hal ini biasanya dipicu oleh reaksi alergi yang
disebabkan oleh respon sistem kekebalan tubuh yang abnormal terhadap benda asing. Zat-zat
kimia yang dilepaskan oleh sistem kekebalan tubuh sewaktu terjadi reaksi alergi menyebabkan
pembuluh darah melebar, menurunkan tekanan darah secara mendadak dan penurunan aliran
darah ke otak. Karakteristik gejala dari syok anafilaktik termasuk nadi cepat, lemah, ruam pada
kulit, mual, muntah dan anggota gerak yang hangat. Penderita syok anafilkatik memerlukan
injeksi epinefrin segera dan segera dibawa ke rumah sakit karena hal ini dapat menyebabkan
kematian dengan cepat.
Diagnosis syok anafilaktik diperoleh berdasarkan gejala dan riwayat alergi pada penderitanya.
Dokter juga akan melakukan beberapa tes alergi pada penderita sebelum menentukan diagnosis
syok anafilaktik. Beberapa tes yang mungkin dilakukan adalah tes alergi pada kulit dengan
menggunakan alat uji tempel, menyerupai sebuah koyo, untuk mengetahui jenis alergen
penyebab reaksi alergi. Alat uji tempel umumnya digunakan untuk mengetahui jenis makanan,
racun, dan antibiotik apa yang menimbulkan reaksi alergi. Pemeriksaan alergi juga bisa
dilakukan dengan cara tes darah.
B. Penanganan Tambahan :
1. Pemberian Antihistamin :
Difenhidramin injeksi 50 mg, dapat diberikan bila timbul urtikaria.
2. Pemberian Kortikosteroid :
Hydrokortison inj 7 – 10 mg / kg BB, dilanjutkan 5 mg / kg BB setiap 6 jam atau
deksametason 2-6 mg/kgbb. untuk mencegah reaksi berulang.
Antihistamin dan Kortikosteroid tidak untuk mengatasi syok anafilaktik.
3. Pemberian Aminofilin IV, 4-7 mg/kgbb selama 10-20 menit bila terjadi tanda – tanda
bronkospasme, dapat diikuti dengan infuse 0,6 mg /kgbb/jam, atau brokodilatator aerosol
(terbutalin, salbutamo ).
C. Penanganan penunjang :
1. Tenangkan penderita, istirahat dan hindarkan pemanasan.
2. Pantau tanda-tanda vital secara ketat sedikitnya pada jam pertama.
PR 13 Januari 2016 RANITIDIN INJEKSI
Ranitidine merupakan salah satu obat yang termasuk dalam golongan histamin antagonis
reseptor H2 yang mempunyai kemampuan untuk menghambat kerja histamine secara kompetitif
dan dapat mengurangi sekresi asam lambung.
INDIKASI
Pengobatan jangka pendek pada tukak lambung aktif, tukak usus 12 jari aktif dan dapat
mengurangi gejala refluks esofagitis.
Berguna sebagai terapi pemeliharaan setelah penyembuhan tukak lambung dan tukak
usus 12 jari.
Ranitidin injeksi untuk pasien rawat inap rumah sakit dengan keasaan ulkus 12 jari yang
sulit untuk diatasi atau sebagai pengobatan jangka pendek pemberian oral terhadap pasien
yang tidak dapat diberikan Ranitidine oral,
Pengobatan dalam keadaan hipersekresi patologis, seperti mastositosis sistemik dan
sindroma Zollinger Ellison.
KONTRAINDIKASI
Tidak boleh dikonsumsi oleh penderita hipersensitif (alergi) terhadap obat Ranitidin.
DOSIS :
Ranitidin Injeksi :
o Injeksi i m : 50 mg (tanpa diencerkan) untuk setiap 6 – 8 jam sekali
o Injeksi i v : Intermettient
o Intermittent bolus : 50 mg (2 ml) setiap 6 – 8 jam sekali, encerkan
injeksi sebanyak 50 mg ke dalam larutan NaCl 0,9 % atau larutan injeksi i v yang
cocok hingga memperoleh konsentrasi yang tidak lebih dari 2,5 mg/ml (total
volume 20 ml) dengan kecepatan injeksi yang tidak lebih 4 ml/menit (dengan waktu
5 menit).
o Intermittent infusion : 50 mg (2ml) setiap 6 – 8 jam sekali, dengan cara
mengencerkan injeksi sebanyak 50 mg ke dalam larutan dekstrosa 5% atau larutan i
v lainnya yang cocok hingga menjadi konsentrasi yang tidak lebih besar dari 0,5
mg/ml dengan total volume tidak lebih dari 100 ml.
o Kecepatan infus : Tidak boleh lebih dari 5 – 7 ml/menit dengan waktu 15 –
20 menit
o Infus Continue : 150 mg Ranitidin injeksi yang diencerkan ke dalam 250
ml dekstrosa atau larutan i v yang cocok dan dinfuskan dengan kecepatan 6,25
mg/jam selama 24 jam.
Ranitidin Anak:
2 – 4 mg/kg/BB/ 2 x sehari, maksimal pemakaian tidak boleh lebih dari 300 mg/hari
Obat ini dieksresi melalui ginjal, sehingga dosisnya harus selalu disesuaikan pada
penderita gangguan ginjal. Hindarilah pemberian obat ini pada penderita riwayat porfiria akut,
wanita menyusui dan ibu hamil. Ranitidin anak dan injeksi harus disimpan di tempat yang sejuk
dan kering yaitu, dengan suhu 4 – 25 derajat Celsius.
Vaksin Pentavalen DPT-HB-Hib Pentabio
Vaksin pentavalen merupakan gabungan dari 5 jenis vaksin dalam satu sediaan. Kelima vaksin tersebut
meliputi :
Difteri –> Kuman yang menyebabkan penyakit difteri, menyerang salura pernapasan, menimbulkan
lapisan putih di tenggorokan dengan efek dapat menyumbat saluran nafas, dan toksinnya dapat
mengganggu kerja jantung.
Pertusis –> kuman penyebab penyakit batuk rejan atau batuk 100 hari dengan ciri khas batuk beruntun
Tetanus –> kuman penyebab penyakit tetanus, yaitu kekakuan seluruh tubuh termasuk otot pernapasan
sehingga menyebabka kematian akibat gagal nafas
Hepatitis B –> virus penyabab peradangan pada hati dimana keadaan kronis dapat menyebabkan
kerusakan hati (sirosis hepatis) dan kanker hati (hepatoma)
Haemophilus influenza tipe B –> kuman penyebab radang paru-paru (pneumonia) dan radang otak
(meningitis) terbanyak pada anak-anak
Vaksin pentavalen tergolong program imunisasi dasar pemerintah dimana wajib diberikan kepada
semua bayi di Indonesia sesuai usia. Vaksin disediakan oleh pemerintah dan diberikan melalui
puskesmas, posyandu, dokter praktek, bidan, dan sarana kesehatan lainnya. Sealin pentavalen,
imunisasi dasar yang lain meliputi BCG, polio, dan campak.
Sejarah imunisasi di Indonesia diawali pada tahun 1956 dengan dimulainya imunisasi cacar (beda
dengan cacar air red) dimana berhasil mengeradikasi penyakit tersebut. DIlanjutkan dengan imunisasi
BCG mulai tahun 1973 dan DPT mulai tahun 1976. Imunisasi Polio mulai tahun 1981 dan campak 1982.
Vaksin kombo (DPT-HB) mulai digunakan tahun 2006 dan dilanjutkan dengan pentavalen tahun 2014.
Jadi vaksin pentavalen kedudukannya menggantikan vaksin kombo yang sekarang tidak ada lagi.
Pemberian vaksin pentavalen sama dengan vaksin kombo yaitu pada umur bayi 2 bulan, 3 bulan, 4 bulan
untuk imunisasi dasar. Untuk imunisasi lanjutan vaksin pentavalen diberikan pada umur anak paling
cepat 18 bulan sampai 3 tahun. Jadi total vaksin pentavalen diberikan sebanyak 4 kali dimana pemberian
1-3 di vastus lateralis (sisi luar paha) kiri-kanan-kiri secara IM. Pemberian ke-4 diberikan di deltoid
(lengan kanan atas) secara IM.
Vaksin pentavalen disimpan di lemari es bersuhu 2-8 derajat C da proses transportasi menggunakan
cooling pack (ingat cooling pack berisi air dingin, bukan berisi es). Vaksin tahan disimpan sampai tanggal
kadaluarsanya atau sepanjang indikator suhu pada vial (tanda kotak dikelilingi bulatan) warnanya masih
aman (warna kotak tidak sama atau lebih tua dari warna bulatan). Jika sudah dibuka sebaiknya
digunakan dalam waktu 2 minggu.
Vaksin pentavalen hanya diberikan pada bayi yang belum pernah mendapat vaksin kombo. Apabila
sudah mendapatkan imunisasi kombo dosis pertama atau kedua, tetap dilanjutkan dengan pemberian
vaksin kombo sampai dosis ketiga. Bagi bayi dibawah 3 tahun yang belum mendapat vaksin kombo 3
dosis, dapat diberikan vaksin pentavalen pada usia 18 bulan dan imunisasi lanjutan diberikan minimal 12
bulan dari vaksin pentavalen dosis ketiga.
Kontraindikasi pemberian vaksin pentavalen meliputi adanya alergi atau hipersensitifitas terhadap
komponen vaksin (termasuk pengawetnya thimerosal), dan kejang atau kelainan saraf serius lainnya
(kontraindikasi terhadap komponen pertusis).
Kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI) yang dapat terjadi meliputi reaksi lokal seperti bengkak, nyeri,
kemerahan, dan demam.