Anda di halaman 1dari 35

II.

TINJAUAN PUSTAKA

A. Susu Bubuk

Susu merupakan sumber gizi terbaik bagi mamalia yang baru dilahirkan.
Susu disebut makanan yang hampir sempurna karena kandungan gizinya yang
lengkap. Oleh karena kandungan gizinya, maka susu dalam bentuk alami sangat
mudah rusak.
Produksi dan komposisi susu dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain
jenis hewan dan keturunannya, pertumbuhan, umur hewan dan panjangnya masa
laktasi, kesehatan hewan, jenis dan macam pakan, pengaruh musim serta
manajemen pemerahan (Hadiwiyoto 1994). Hasil susu yang diperoleh setiap kali
pemerahan susu sapi akan selalu berbeda baik dalam hal jumlahnya, sifatnya
maupun komposisinya. Keturunan sapi yang berbeda akan memberikan hasil dan
komposisi yang berbeda. Sebagai contoh sapi perah Holdstein dapat memberikan
produksi susu lebih banyak daripada sapi perah lainnya, tetapi susu sapi perah
Guernsey dan Jersey mempunyai kandungan lemak lebih tinggi . Warna susu dari
sapi Guernsey juga lebih tua dibandingkan susu sapi perah lainnya. (Hadiwiyoto
1994).
Komposisi susu antara setiap spesies juga berbeda. Perbedaannya antara
lain adalah kandungan protein, lemak, dan gula susu, vitamin, mineral, dan ukuran
globula lemak. Air susu manusia rata-rata mengandung 1.1% protein, 4.2% lemak,
7.0% laktosa sebagai gula dan memberikan 72 kkal energi per 100 g. Sedangkan
susu sapi rata-rata mengandung 3.4% protein, 3.6% lemak, 4.6% laktosa dan
memberikan 66 kkal energi per 100g (Wikipedia 2007).
Setiap individu sapi akan menghasilkan susu dalam jumlah dan komposisi
yang sedikit berbeda. Faktor individual ini disebabkan banyak hal, antara lain
berasal dari warisan induknya yang merupakan faktor genetik dan perilakunya.
Induk sapi yang sehat dan tegar akan menghasilkan susu dalam jumlah banyak.
Sedangkan faktor perilaku berkaitan dengan kebiasaan hewan menghadapi faktor
lingkungannya. Hewan yang tenang akan menghasilkan produksi susu yang lebih
banyak daripada hewan yang mudah terkejut (Hadiwiyoto 1994).

6
Jumlah dari penyusun utama komposisi susu bervariasi tergantung jenis
keturunan dan juga perbedaan antar individu sapi meskipun berasal dari jenis
keturunan yang sama. Selain itu, produksi susu juga dipengaruhi oleh pakan yang
diberikan. Pemberian pakan dalam jumlah banyak dapat meningkatkan produksi,
tetapi jenis pakan akan dapat mempengaruhi komposisi susunya (Hadiwiyoto
1994). Sapi yang kekurangan gizi akan mengakibatkan komposisi susu menjadi
abnormal. Contoh yang paling sering dijumpai adalah sapi yang kurang makan
atau diberi pakan dengan kandungan nitrogen rendah akan menghasilkan susu
dengan kandungan protein dan padatan bukan lemak yang rendah (Town 2005)
Komposisi susu juga dipengaruhi kesehatan sapi. Bila sapi dalam keadaan
tidak sehat maka komposisi susu yang dihasilkan menjadi abnormal. Sapi yang
menderita mastitis (radang pada kelenjar susu) akan mempengaruhi keseimbangan
garam yang ada di dalam susu sehingga stabilitas panas susu yang dihasilkan
buruk dan dapat mempengaruhi kelarutan (solubility) dan aroma susu (Town
2005).
Komposisi penyusun utama susu berupa kisaran seperti diperlihatkan pada
Tabel 1 (Bylund G et al. 2003).

Tabel 1 Komposisi kuantitatif susu

Penyusun utama (%) Batas variasi Nilai rata-rata


Air 88.5 – 89.5 87.5
Total padatan 10.5 – 14.5 13.0
Lemak 2.5 – 6.0 3.9
Protein 2.9 – 5.0 3.4
Laktosa 3.6 – 5.5 4.8
Mineral 0.6 – 0.9 0.8
Sumber : Bylund G et al (2003)

Di samping total padatan (total solids), dipakai istilah padatan bukan lemak
(solids-non-fat) yang sering disingkat sebagai SNF. SNF adalah semua total
padatan tanpa lemak, jadi terdiri atas protein, karbohidrat, vitamin dan mineral.

7
Standar umum total padatan bukan lemak adalah 9.1%. Nilai pH susu umumnya
berkisar antara 6.5 hingga 6.7 pada pengukuran suhu 25°C (Bylund G et al. 2003).
Protein susu terdiri atas kasein, laktalbumin dan laktoglobulin. Kasein
merupakan protein terbanyak jumlahnya dibandingkan dengan laktalbumin dan
laktoglobulin. Selain itu, juga terdapat jenis protein lainnya sebagai ensim dan
imonoglobulin. Lemak susu juga merupakan komponen susu yang penting selain
protein. Di dalam susu, lemak terdapat sebagai globula atau emulsi, yaitu bulatan-
bulatan lemak yang berukuran kecil di dalam serum susu (Hadiwiyoto 1994).
Lemak susu terdiri atas trigliserida yang merupakan komponen utama, di- dan
mono- gliserida, asam lemak, sterol dan karetenoid yang memberikan warna
kuning dari lemak, vitamin A, D, E dan K (Byund G et al. 2003). Karbohidrat
yang paling banyak terdapat dalam bentuk disakarida adalah laktosa. Kemanisan
dari laktosa seperenam kemanisan sukrosa. Pada pemanasan yang tinggi di atas
100ºC, laktosa akan menghasilkan karamel yang warnanya coklat. Laktosa mudah
larut dalam air (Hadiwiyoto 1994). Susu juga mengandung berbagai garam
mineral dengan jumlah kurang dari satu persen. Mineral yang terpenting adalah
kalsium, kalium, potasium dan magnesium. Susu juga merupakan sumber vitamin
yang jumlahnya bervariasi. Vitamin yang terbaik yang terkandung di dalam susu
adalah vitamin A, kelompok vitamin B, vitamin C dan D (Byund G et al. 2003).
Komponen terbanyak dari susu adalah air. Air merupakan tempat terdispersinya
komponen-komponen susu yang lain. Komponen-komponen yang larut adalah
laktosa, garam-garam mineral dan beberapa vitamin (Hadiwiyoto 1994).
Salah satu metode pengawetan susu adalah pengeringan yaitu dengan
mengubahnya menjadi susu bubuk. Susu bubuk telah dihasilkan mulai 100 tahun
yang lalu dan bekembang pesat dalam waktu 50 tahun terakhir. Pembuatan susu
bubuk merupakan salah satu cara yang paling sukses dan penting untuk
pengawetan susu (Town 2005).
Perubahan dari susu cair menjadi susu bubuk memerlukan penghilangan air
beberapa tahap hingga menjadi produk akhir. Selama proses pengurangan air ini
terjadi perubahan terhadap sifat, struktur kimia dan penampakan (appearance)
susu. Susu merupakan produk yang sensitif dan kualitasnya sangat mudah
dipengaruhi terutama oleh panas dan aktivitas bakteri (Pisecky 1997)

8
Prinsip pengawetan pada susu bubuk adalah melindungi susu bubuk
terkontaminasi secara mikrobiologi yaitu dengan membuat kadar air atau water
acitivity rendah. Water activity dari susu bubuk dibuat menjadi di bawah
minimum dari yang dibutuhkan untuk pertumbuhan mikroorganisme (Town 2005).
Kadar air dari susu bubuk yang diperoleh berkisar antara 1.5% hingga 5%.
(Bylund G et al. 2003).
Keunggulan dari susu bubuk adalah masa simpannya yang paling baik
dibandingkan dengan cara pengawetan susu yang lain, tidak membutuhkan
pendinginan selama penyimpanan dan transportasi. Kadar air lebih sedikit yaitu
hanya seperdelapan berat dan seperempat volume dari susu cair sehingga
menghemat transportasi, dan dapat diaplikasikan pada semua produk akhir (Town
2005).
Proses produksi susu bubuk dimulai dari pengurangan air pada suhu rendah
agar sifat alami susu yang diinginkan yaitu warna, aroma, kelarutan dan nilai gizi
dapat dipertahankan. Kandungan air pada komposisi susu sapi bervariasi antara
85.5 hingga 89.5% (Bylund G et al. 2003). Selama proses pembuatan susu bubuk
sebagian besar air dihilangkan dengan cara evaporasi dengan mendidihkan susu
pada tekanan yang telah dikurangi pada suhu yang rendah. Hasil susu yang kental
kemudian diatomisasi pada penyemprot halus ke dalam udara panas untuk
mengurangi kadar air sehingga diperoleh susu bubuk (NZMP 2006).
Secara garis besar, proses produksi susu bubuk dimulai dari standarisasi,
pra-pemanasan, evaporasi, pengeringan, pengemasan serta penyimpanan. Proses
produksi dimulai dari standarisasi atau separasi dengan cara memisahkan susu cair
menjadi bentuk susu skim dan krim. Jika susu bubuk full krim yang diinginkan
maka sebagian krim akan dikembalikan sehingga menghasilkan susu dengan
kandungan lemak yang telah distandarkan yaitu tipikal 26 hingga 30% dalam susu
bubuk. Kelebihan krim akan dipakai untuk membuat mentega atau anhydrous
milkfat (AMF). Laktosa (gula susu) atau susu hasil dari permeasi ultrafiltrasi
(merupakan produk samping dari pabrik konsentrat protein susu yang
mengandung laktosa, garam mineral dan air) akan ditambahkan pada susu untuk
menstandarkan kandungan protein hingga tingkat minimum yang ditetapkan oleh
perjanjian internasional (NZMP 2006).

9
Proses pra-pemanasan dilakukan dengan cara memanaskan susu yang telah
distandarisasi hingga suhu 75 dan 120°C dan ditahan selama waktu tertentu yang
telah ditetapkan yaitu dari beberapa detik hingga beberapa menit. Proses pra-
pemanasan dapat mengontrol denaturasi protein whey, membunuh bakteri,
menginaktifkan enzim, menimbulkan antioksidan alami dan memberikan
pengaruh sifat fungsional. Lamanya pemanasan (holding regime) tergantung pada
jenis produk, tujuan penggunaan dan desain sistim pra-pemanasan. Susu bubuk
full krim yang menerima pra-pemanasan pada suhu tinggi akan mempunyai
kualitas penyimpanan yang lebih baik tetapi sifat kelarutannya berkurang. Pra-
pemanasan dapat dilakukan secara tidak langsung dengan heat exhangers, atau
secara langsung dengan injeksi uap air atau infusi ke produk, atau gabungan dari
keduanya (NZMP 2006). .
Proses penguapan dilakukan pada susu dari proses pra-pemanasan dengan
tujuan mengentalkan agar total padatan (total solid) dari susu skim 9.0% dan pada
susu full krim 13% naik hingga mencapai total padatan 45 hingga 52%. Hal ini
dicapai dengan cara mendidihkan susu dalam keadaan vakum pada suhu di bawah
72°C menjadi lapisan tipis di dalam tabung vertikal dan menghilangkan air
menjadi uap air. Uap ini digunakan untuk memanaskan susu pada mesin penguap
berikutnya sehingga proses berjalan pada tekanan dan suhu yang lebih rendah
dibandingkan dengan proses sebelumnya (NZMP 2006). .
Proses pengeringan dengan spray dryer menyangkut atomisasi dari susu
yang telah kental (konsentrat) dari mesin penguap (evaporator) menjadi bentuk
droplet yang halus. Pengeringan dilakukan pada tempat (chamber) pengeringan
yang besar dengan aliran udara panas dengan suhu hingga 200°C dapat dengan
memakai piringan atomiser yang berputar atau dalam bentuk barisan dari pipa
semprot bertekanan tinggi. Droplet susu didinginkan pada penguapan meskipun
suhu tidak akan mencapai suhu udara. Susu pekat ini dapat dipanaskan dulu
sebelum atomisasi untuk mengurangi viskositas sehingga pengeringan dilakukan
pada konsentrat dengan total padatan yang lebih tinggi. Air yang tersisa banyak
diuapkan di dalam chamber pengering dan membentuk susu bubuk yang sangat
halus dengan kadar air 6% dan besarnya diameter partikel susu rata-rata kurang
dari 0.12 mm. Pengeringan kedua atau yang terakhir dilakukan pada fluid bed atau

10
pada serangkaian bed dengan cara udara panas ditiupkan melalui lapisan dari susu
tersebut untuk menghilangkan air sehingga diperoleh produk dengan kadar air 2
hingga 4%. Fluid bed merupakan peralatan yang dipakai untuk mengeringkan atau
mendinginkan susu bubuk. Udara ditiupkan melalui susu bubuk dari bawah
sehingga partikel susu akan terpisah dan terlihat seperti cairan (fluid) (NZMP
2006).
Meskipun susu bubuk lebih stabil dibandingkan dengan susu segar, tapi
perlindungan terhadap kelembaban, oksigen, cahaya dan panas tetap diperlukan
untuk mempertahankan kualitas dan masa simpan. Susu bubuk menyerap uap air
dari udara sehingga menyebabkan kerusakan yang cepat pada kualitas dan
menyebabkan penggumpalan. Lemak di dalam susu bubuk full krim bereaksi
dengan oksigen yang berada di udara sehingga menyebabkan off-flavor, terutama
bila disimpan pada suhu penyimpanan dengan suhu lebih dari 30°C. Pengemasan
susu bubuk dilakukan dengan memakai kantung (bag) multi lapisan dari kertas.
Lapisan paling dalam merupakan kantung plastik dengan tujuan mengontrol
masuknya uap air dan kemudian lapisan kertas yang berlapis-lapis untuk
memberikan kekuatan dan melindungi terhadap cahaya. Susu bubuk full krim
dikemas dengan gas nitrogen untuk mencegah oksidasi, mempertahankan aroma
dan memperpanjang masa simpan. Lapisan plastik kemasan yang paling dalam
juga memberikan permeabilitas yang rendah, baik terhadap oksigen maupun uap
air (NZMP 2006).
Umumnya metode pengeringan yang banyak dipakai untuk industri dairy
adalah spray drying. Air dikurangi dengan cara evaporasi susu mendidih pada
tekanan dan suhu rendah. Kemudian konsentrat susu ini diatomisasi dengan cara
disemprotkan ke dalam udara panas untuk menghilangkan kadar air dan menjadi
bubuk. Selain spray drying, ada juga metode roller drying untuk beberapa produk
tertentu (Town 2005).
Tujuan spray drying untuk mendapatkan partikel yang kecil agar
pengeringan berlangsung cepat. Pengeringan yang cepat sangat baik untuk
mempertahankan aroma dan kelarutannya. Tetapi proses ini juga menghasilkan
partikel susu yang bervariasi dari sangat kecil hingga kecil. Partikel susu yang
sangat kecil mengakibatkan susu bubuk menjadi sangat berdebu (dusty). Selain itu,

11
partikel yang sangat kecil ini juga menyebabkan sangat sulit untuk rekonstitusi di
dalam air. Untuk memperbaiki sifat rekonstitusi maka dilakukan aglomerasi susu
bubuk (Town 2005).
Tujuan aglomerasi susu bubuk adalah menciptakan keadaan dimana partikel
susu saling menempel sehingga terbentuk kumpulan partikel kecil yang disebut
aglomerasi. Aglomerasi umumnya dipakai untuk membuat susu bubuk skim
menjadi instan. Pada susu bubuk full krim ada lapisan tipis dari lemak yang
menyebabkan susu bubuk sulit untuk menjadi basah dan larut terutama pada air
dingin. Untuk membuat susu bubuk full krim instan maka ditambahkan agen
permukaan aktif yaitu lesitin. Lesitin disemprotkan ke partikel susu selama
pengeringan (Town 2005). Dengan cara demikian, akan diperoleh susu bubuk
instant yang mempunyai wettability dan kelarutan yang baik (Early 1998).
Ada berbagai jenis susu bubuk dengan berbagai spesifikasi, sehingga
penggunaannya tergantung dari industri dan pelanggan. Parameter yang penting
pada spesifikasi susu bubuk adalah : komposisi kimia, kualitas mikrobiologi, sifat
fisik, sifat fungsional, kualitas organoleptik , kemasan dan masa simpan (shelf-life)
(Early 1998).
Komposisi kimia dari susu bubuk sangat dipengaruhi oleh ingridien dan
keadaan waktu proses. Kadar protein, lemak dan karbohidrat tergantung pada sifat
kimia yang ada pada bahan bakunya. Sedangkan proses produksi seperti perlakuan
pra-pemanasan akan mempengaruhi pencoklatan Maillard dan denaturasi whey
protein (Early 1998).
Sifat kimia dari susu bubuk terutama berkaitan dengan : kadar air, total
lemak, non-fat solid, total protein, laktosa, kadar abu (dan seringkali mineral
spesifik), whey protein nitrogen index (WPNI). Spesifikasi produk susu bubuk
berasal dari hasil analisa unsur tersebut. Kadar air dan kadar air bebas akan
mempengaruhi masa simpan dan sifat fisik susu bubuk. Kadar air dikontrol oleh
atomisasi dan kondisi pengeringan (Early 1998).
Kadar air untuk susu bubuk harus memenuhi persyaratan yaitu kadar air
untuk susu bubuk skim umumnya 4% dan untuk susu bubuk full krim 2.5%.
Umumnya kadar air bervariasi antara negara satu dengan negara lainnya. Kadar
air sangat mempengaruhi kualitas dari susu bubuk. Makin tinggi kadar air maka

12
kualitas akan menurun karena protein akan terdenaturasi dan laktosa yang ada
pada tingkat amorf akan mengkristal sehingga menyebabkan kandungan lemak
bebas meningkat di dalam susu bubuk full krim. Reaksi Maillard merupakan
reaksi antara grup NH2 yang ada pada asam amino lisin dengan laktosa yang
mengakibatkan susu bubuk full krim berubah menjadi kecoklatan. Reaksi
Maillard berbanding lurus dengan waktu penyimpanan, suhu dan kadar air. Oleh
karena itu bahan pengemas untuk susu harus mempertimbangkan agar hanya
dalam jumlah kecil sekali uap air dapat penetrasi ke dalam kemasan. Karena
difusi uap air selalu terjadi dimana arah difusi ditentukan oleh tekanan uap air,
maka penyimpanan susu dianjurkan pada tempat yang kering dan sejuk sehingga
tekanan uap air kecil (Westergaard 1994).
Kualitas mikrobiologi susu bubuk tergantung pada kualitas mikrobiologi
dari bahan mentah, kebersihan pabrik dan peralatan yang digunakan untuk
produksi dan pengepakan susu bubuk, kebersihan lingkungan produksi dan
praktek higiene pada proses produksi susu bubuk. Pemakaian bahan baku dengan
kualitas mikrobiologi yang bagus sangat penting karena kandungan mikrobiologi
yang tinggi akan memberikan kesempatan mikroba dapat bertahan hidup pada
proses pemanasan sehingga akan muncul pada hasil akhir produk (Early 1998).
Pasteurisasi akan membunuh mikroba patogen yang tidak membentuk spora
(non-sporeforming pathogen) dan akan mengurangi kandungan mikroba dari
persediaan bahan baku cair sebelum ke evaporator dan spray dryer. Perlakuan
pra pemanasan (pre-heat) dengan suhu lebih tinggi akan memberikan efek yang
lebih baik, meskipun masih ada kemungkinan bakteri thermodurik bertahan hidup.
Keberadaan bakteri pembentuk spora dan spora bakteri di dalam bahan baku susu
harus diperhatikan. Kemampuan spora bakteri bertahan hidup setelah perlakuan
panas dan tetap dorman pada waktu yang lama merupakan faktor penting
penentuan kesesuaian penggunaan susu bubuk (Early 1998).
Setelah susu bubuk dikeringkan maka tidak ada perlakuan panas lagi,
sehingga kontaminasi mikroba yang terjadi setelah pasteurisasi merupakan
masalah yang serius. Problem kontaminasi Salmonella pada susu bubuk
merupakan masalah hygiene dan keamanan pangan yang berhubungan dengan
spray drying. Mikroorganisme seperti Coliform dan Escherichia coli digunakan

13
sebagai indikator higiene yang buruk. Keberadaan mikroba ini menunjukkan
manajemen higiene yang buruk yang dapat menyebabkan kontaminasi mikroba
patogen yang lebih buruk (Early 1998).
Pembatasan sifat fisik dan fungsional dari susu bubuk sulit dilakukan karena
saling tumpang tindih dan demikian juga dengan sifat kimia berkaitan dengan sifat
fisik dan fungsional. Sifat fisik susu bubuk mempengaruhi penanganan,
penyimpanan dan penggunaan produk. Sifat fisik yang sangat penting dalam susu
bubuk antara lain: densitas kamba (bulk density), solubility dan scorched particles
(Early 1998).
Densitas kamba (bulk density) adalah pengukuran perbandingan massa
dengan volume dari susu bubuk yang diekspresikan sebagai g/cm3, g/100 cm3 dan
g/l. Densitas kamba merupakan parameter yang praktis dan sangat penting secara
komersil bagi pabrik maupun pemakai susu bubuk. Susu bubuk dengan densitas
kamba yang rendah akan memenuhi kemasan sehingga menyebabkan kesulitan
pada waktu pengepakan , misalnya pada keefektifan seal panas pada kemasan.
Problem ini dihadapi pada pabrik pengemasan sachet. Seringkali densitas kamba
yang tinggi justru disukai karena menyebabkan penghematan pada bahan
pengemas, biaya penyimpanan dan biaya transportasi (Early 1998).
Densitas kamba (bulk density) adalah cara pengukuran pengepakan susu
bubuk. Diukur dengan menentukan volume (dalam hal ini dipakai gelas ukur)
pada sejumlah tertentu susu bubuk. Densitas kamba sangat tergantung pada
vibrasi dari susu bubuk yang diperiksa. Umumnya densitas kamba dihitung dari
100 kali ketukan pada mesin tapping yang standar. Densitas kamba ini akan
mempengaruhi jumlah bubuk susu yang diisi ke dalam kemasan. Densitas kamba
dipengaruhi oleh sejumlah faktor seperti densitas dari komponen yang menyusun
produk, densitas partikel, bentuk partikel, sifat permukaan dan distribusi partikel
(Baldwin 2006).
Bila suatu susu bubuk ditransfer maka terjadi pemecahan partikel sehingga
mengakibatkan densitas waktu pengepakan menjadi yang lebih besar. Hal ini
umumnya terjadi pada susu bubuk yang berbentuk aglomerasi. Oleh karena itu
umumnya densitas kamba dipakai untuk menunjukkan jumlah partikel yang pecah
dengan adanya pengocokan atau waktu transfer (Baldwin 2006).

14
Solubility merupakan salah satu sifat yang penting pada susu bubuk. Susu
bubuk dengan solubility yang jelek akan menyebabkan sedimen. Salah satu test
utama untuk solubility adalah tes ADMI (American Dry Milk Institute). Pada
kondisi penyimpanan dengan suhu tinggi dan kelembaban yang tinggi akan
menyebabkan kelarutan dari protein kasein menurun sehingga menyebabkan
partikel aglomerasi menjadi lambat larutnya. Pada kondisi yang ekstrim, susu
bubuk rekonstitusi dapat memisah menjadi dua lapisan yaitu bagian atas dan
bagian bawah (Baldwin 2006).
Sifat fungsional dari susu bubuk tergantung pada komposisi susu bubuk
(komponen dan sifat kimia dari susu bubuk), pengaruh dari kondisi proses
sebelum spray drying, misal : pengaruh perlakuan panas terhadap sifat fungsional
protein susu, pengaruh pengeringan spray terhadap sifat dari susu bubuk itu
sendiri. Salah satu sifat fungsional susu bubuk yang penting adalah: wettability,
dan dispersability (Early 1998). .
Wettability didefinisikan sebagai kemampuan susu bubuk untuk menjadi
basah dan menyerap air. Pada kondisi basah, maka udara yang ada diantara
partikel akan diganti dengan air sehingga mendorong kelarutan dari bahan yang
padat (solid material). Wettability dari susu bubuk dipengaruhi oleh komposisi,
ukuran partikel dan bentuk partikel, dan adanya faktor penghambatan seperti
permukaan lemak bebas. Selain itu juga ditentukan oleh suhu dari air dan
wettability harus spesifik pada suhu tertentu. Susu bubuk yang menjadi basah
dengan mudah dan cepat, sering disebut sebagai susu bubuk instan. Demikian juga
dengan susu bubuk full krim yang cepat menjadi basah karena lesitinasi, disebut
juga sebagai susu bubuk full krim instan (Early 1998).
Sifat organoleptik susu bubuk berhubungan erat dengan komposisi dan
kualitas dari bahan baku dan proses pengolahannya. Sebagai contoh: kadar lemak
yang ada di dalam susu bubuk akan mempengaruhi secara dramatis bau (aroma),
tergantung asal lemak yaitu lemak susu atau lemak nabati. Demikian juga adanya
asam lemak bebas dalam lemak akan mempengaruhi bau (aroma) dan perlakuan
panas akan menyebabkan perubahan warna dan aroma pangan yang masak
(cooked flavour). Muir (1996) menyatakan bahwa masa simpan susu bubuk
merupakan fungsi dari kualitas bahan baku, proses spray drying dan kondisi

15
dimana susu bubuk disimpan. Kerusakan selama penyimpanan akan
mengakibatkan perubahan organoleptik yang nyata (Early 1998)
Menurut Bylund (2003), ada beberapa jenis produk susu bubuk yaitu susu
bubuk skim (skim milk powder) dan susu bubuk full krim (whole milk powder).
Komposisi kimia dari susu bubuk diperlihatkan pada Tabel 2.

Tabel 2 Komposisi kimia susu bubuk


Komposisi Susu full krim Susu skim
Lemak (%,bk) 26-29 Maksimum 1.25
Protein (%,bk) 25-27 34-38
Laktosa (%,bk) 35-38 48-56
pH 6.6-6.7 6.6-6.7
Nilai Keasaman (%) <0.16 <0.16
Sumber : Bylund (2003)

Susu bubuk full krim sering juga disebut sebagai whole milk powder, atau
full cream milk powder. Susu bubuk full krim dibuat dari susu yang telah
distandarisasi sehingga memberikan kadar lemak sekitar 25-28%. Susu bubuk full
krim dapat dihasilkan sebagai produk yang instan maupun yang tidak instan
tergantung pada tipe dari sistim spray drying yang dipakai. Sifat dari susu bubuk
full krim yang instan juga tergantung pada ada tidaknya penambahan lesitin
sebagai agen permukaan yang aktif. Susu bubuk aglomerasi hanya bersifat instan
di dalam air pada suhu > 40ºC karena permukaan lemak bebas menghalangi
wetting. Dengan menyemprotkan lesitin soya sebagai karier minyak ke permukaan
partikel susu maka susu bubuk dapat larut pada air dingin. Meskipun minyak
mentega (butteroil) sering dipakai sebagai karier minyak, tapi seringkali dipilih
minyak sayur karena harganya lebih murah (Early 1998)
Susu bubuk full krim instan sering dipakai untuk bermacam-macam produk
seperti sup, saus, dimana sifat kelarutannya penting. Susu full krim standar atau
yang tidak instan juga dipakai untuk berbagai produk yang tidak memerlukan sifat
instan seperti pada produksi susu coklat (Early 1998)

16
Susu bubuk skim berasal dari penghilangan krim pada susu bubuk full krim
sehingga hanya tertinggal susu skim. Akibat dari pemisahan sentrifugal pada susu
full krim akan menghasilkan susu skim dengan kandungan lemak <0.1%. Tujuan
utamanya adalah menghasilkan produk yang bebas lemak. Dengan berbagai
perlakuan panas, fungsionalitas dari protein susu dibuat khusus untuk tujuan
aplikasi tertentu, dan dengan menggunakan sistim spray drying dan tehnik yang
berbeda dapat mengubah sifat fisik dari susu bubuk.
Susu bubuk skim dapat dikelompokkan menjadi 3 kelompok berdasarkan
perlakuan panas yang diterimanya yaitu susu skim yang rendah panas (low-heat
skimmed milk powder), susu skim dengan panas menengah (medium-heat
skimmed milk powder) dan susu skim dengan panas yang tinggi (high-heat
skimmed milk powder). Kadang ada yang mengelompokkan menjadi kelompok
yang keempat yaitu susu skim yang sangat stabil pada panas yang tinggi (high-
heat heat-stable skimmed milk powder) (Early 1998).
Pembuatan susu skim lebih banyak dibandingkan dengan susu bubuk yang
lain di seluruh dunia, karena kekhususannya dengan memberikan berbagai sifat
fungsional yang menguntungkan pada berbagai macam produk. Banyak pangan
yang diformulasi tergantung pada keberadaan susu bubuk skim (Early 1998).
Susu skim low heat umumnya dipakai pada waktu standarisasi pembuatan keju
dan juga pembuatan starter keju. Susu bubuk skim medium-heat yang paling
banyak diproduksi dan dihasilkan dengan perlakuan pra-pemanasan yang lebih
besar dibandingkan pada susu skim low heat. Susu skim medium-heat dipakai
sebagai ingridien pada pembuatan permen coklat, produk permen lainnya, es krim,
sup, bermacam-macam minuman. Susu bubuk skim merupakan produk yang multi
fungsional karena dapat memberikan emulsifikasi, pengikatan air (water binding),
viskositas, warna dan aroma. Jenis susu bubuk skim yang lain adalah susu skim
high-heat yang umumnya dipakai untuk produksi susu evaporasi rekombinasi.
(Early 1998).
Susu bubuk, baik dari susu full krim, maupun skim dapat dipakai untuk
aplikasi bermacam-macam produk antara lain: rekombinasi susu, industri roti dan
kue, industri coklat, makanan bayi, dan pembuatan es krim.

17
B. Vanila

Vanila merupakan aroma yang paling populer di dunia (IFF 2007).. Senyawa
aroma berasal dari buah vanila yang disebut sebagai biji vanila yang dikeringkan.
Tanaman vanila berasal dari tanaman epifit dan termasuk golongan anggrek atau
dari famili Orchidaceae (Rismunadar dan Sukma 2007). Biji vanila dapat dipakai
sebagai biji yang utuh maupun yang telah dihaluskan. Umumnya dipakai untuk
menghasilkan ekstrak, aroma, oleoresin dan bubuk (Brandt 1996).
Lebih dari 110 species yang telah berhasil diidentifikasi, tetapi hanya jenis V.
planifolia dan V. tahitensis yang diijinkan penggunannya untuk pangan. V.
planifolia secara komersial lebih sering dipakai dibandingkan V. tahitensis karena
sifat aromanya (IFF 2007). Madagaskar dan Indonesia merupakan penghasil
terbesar vanila dari V planifolia, sedangkan V. tahitensis umumnya tumbuh di
Tahiti (IFF 2007).
Species yang paling banyak dibudidayakan di Indonesia adalah Vanilla
planifolia Andrews (Rismunadar dan Sukma 2007). Sistimatika vanila menurut
klasifikasi botanis sbb:
Divisi : Spermatophyta
Klas : Angiospermae
Subklas : Monocotyledonae
Ordo : Orchidales
Famili : Orchidaceae
Genus : Vanilla
Species : Vanilla planifolia Andrew
Sari buah vanili (ekstrak) dapat dimanfaatkan untuk pewangi minuman,
minyak wangi dan sirup. Vanili juga digunakan sebagai penyedap masakan,
seperti pada es krim, kue-kue, kembang gula, agar-agar, puding dan sebagainya.
Luasnya pemanfaatan vanili ini menyebabkan permintaan dan harga vanili
menjadi tinggi. Hal ini menarik para ahli biokimia untuk membuat vanili tiruan
yang diproses dari minyak cengkeh dan mengandung minyak eugenol. Harga dari
vanili buatan ini lebih murah daripada vanili asli (Rismunadar dan Sukma 2007).
Di pasar internasional , vanili Indonesia sudah cukup lama dikenal dengan
sebutan “java vanilla beans”. Hal ini disebabkan vanili Indonesia sangat digemari
18
para konsumen luar negeri karena terkenal memiliki kadar bahan vanillin yang
cukup tinggi. Hanya sayangnya mutu vanili Indonesia masih rendah yang
disebabkan umur panen yang terlalu muda yaitu umumnya berumur 4-6 bulan.
Padahal buah vanili sebaiknya dipetik pada umur 8-9 bulan agar mutunya menjadi
tinggi. Selain itu, untuk meningkatkan produksi vanili juga dituntut ketekunan ,
ketelitian dalam penanganannya serta disiplin tinggi terutama pada saat
penyerbukan bunga. Hal ini disebabkan , penyerbukan bunga vanili hingga saat ini
masih dilakukan oleh manusia (Suwandi dan Sudibyanto 2005).
Mutu vanili dipengaruhi oleh pascapanen. Sekitar 8-9 bulan setelah bunga,
buah vanili tergolong masak. Warna buah berubah dari hijau tua mengkilat
menjadi hijau muda suram. Kulit jangatnya sudah berbentuk garis-garis kecil
berwarna kuning yang lambat laun menjadi besar. Saat buah sudah menunjukkan
tanda-tanda tesebut merupakan waktu yang paling tepat untuk dipanen (Suwandi
dan Sudibyanto 2005).
Semakin tua umur vanili maka akan semakin meningkat aktivitas enzim
yang berperanan mengubah senyawa gluko-vanillin menjadi senyawa vanillin.
Umur yang semakin tua akan diikuti dengan penurunan kadar abu. Hal ini
disebabkan makin tua buah maka kegiatan pertumbuhan vegetatif akan makin
menurun sehingga mineral-mineral penyusun abu sudah sedikit diperlukan oleh
buah. Semakin muda umur petik vanili maka semakin rendah rendemennya. Bila
dikaitkan dengan kadar air yang tidak berbeda nyata maka semakin muda polong
vanili yang dipetik akan semakin rendah kandungan bahan padatnya. Menurut
standar dari Departemen Perdagangan RI, kadar vanillin untuk kualitas satu lebih
dari 2.25% dan kadar abu 8.00% (Suwandi dan Sudibyanto 2005).
Selain itu, mutu vanili juga dipengaruhi oleh proses pelayuan. Proses
pelayuan yang terlalu lama akan mengakibatkan buah vanili terlalu masak direbus
sehingga dapat mematikan sel-sel kulit buah bagian luar. Akibatnya kadar vanillin
akan berkurang dan dapat mempengaruhi proses selanjutnya. Sebaliknya proses
pelayuan yang terlalu cepat akan menyebabkan sel-sel kulit bagian luar belum
mati sehingga sama halnya dengan tidak dilakukan proses pelayuan. Akibatnya
proses pengeringan akan berlangsung lama dan mutu vanili akan rendah (Suwandi
dan Sudibyanto 2005).

19
Proses pengeringan yang dilakukan bergantian dengan proses fermentasi
akan meningkatkan mutu yaitu proses pengeringan pada siang hari dan proses
fermentasi pada malam hari. Selain itu, mutu hasil vanili akan meningkat bila
dalam rangkaian proses pengolahan buah juga dilakukan proses pengeringan
lambat dan conditioning (penyimpanan) (Suwandi dan Sudibyanto 2005).
Dalam proses pengolahan buah vanili ada dua macam produk olahan yang
diminati pasar yaitu vanili kering, serta oleoresin dan ekstrak vanili. Proses
pengolahan buah untuk menghasilkan kedua macam produk sangat berbeda
(Suwandi dan Sudibyanto 2005).
Vanili kering merupakan produk buah vanili yang paling banyak
permintaannya di pasar. Cara pengeringan buah vanili berbeda-beda di masing-
masing negara produsen vanili. Pengolahan buah vanili di berbagai tempat
berbeda-beda sesuai dengan situasi dan kondisi setempat. Menurut Suwandi dan
Sudibyanto (2005), pada dasarnya semua proses pengolahan buah vanili basah
menjadi vanili kering memiliki landasan yang sama, yaitu: pelayuan, pengeringan,
fermentasi, pengeringan lambat, penyimpanan, sortasi dan pengemasan.
Pelayuan (wilting treatment) bertujuan untuk mematikan sel-sel hidup atau
menghentikan pertumbuhan vegetatif dan merupakan tahap awal untuk aktivitas
enzim. Cara pelayuan yang umum dilakukan di Indonesia adalah dengan
mencelupkan buah ke dalam air panas. Biasanya suhu air panas yang digunakan
dan lama pencelupan tidak sama untuk ukuran buah tertentu. Untuk vanili
berukuran sedang (panjang 15-18 cm), pelayuan dapat dilakukan dalam air
bersuhu 65°C selama 2 menit dan yang besar (panjang 18-22 cm) selama 2.5
menit. Dalam pelayuan juga dapat digunakan pemanas oven bersuhu 45°-50°C
atau pemanasan dengan air hampir mendidih (95°C) selama 20 detik. Buah yang
dianggap sudah layu biasanya tidak akan pecah atau putus bila dibengkokkan
(Suwandi dan Sudibyanto 2005).
Fermentasi yang sering disebut pemeraman bertujuan untuk memberikan
kesempatan terjadinya proses enzimatis pada buah vanili untuk mendapatkan
komponen aroma yang diinginkan. Pada proses fermentasi ini terjadi perubahan
secara biokimia yang dapat menimbulkan aroma khas vanila, terjadi reaksi
enzimatik, serta perubahan glukovanillin menjadi glukosa dan vanillin sehingga

20
timbul aroma khas vanili. Proses pemeraman ini biasanya dilakukan silih berganti
dengan proses pengeringan (Suwandi dan Sudibyanto 2005).
Pengeringan tidak bertujuan untuk mengurangi air sampai sesedikit mungkin,
tetapi untuk mengurangi air hanya sampai batas tertentu. Proses ini dilakukan
secara perlahan hingga kadar airnya mencapai tingkat yang diharapkan. Vanili
yang terlalu kering akan mudah patah. Proses pengeringan dilakukan berselang-
seling dengan fermentasi selama 5-7 hari. Pengeringan dapat dilakukan dengan
sinar matahari atau alat pengering (Suwandi dan Sudibyanto 2005).
Pengeringan lambat yang sering disebut pengering-anginan bertujuan untuk
menurunkan kadar air vanili secara perlahan-lahan. Caranya dengan menyusun
buah vanili di rak dan disimpan pada ruangan berventilasi. Selama tahap
pengering-anginan, buah vanili harus terus dikontrol terhadap serangan jamur.
Pengering-anginan selesai bila kadar airnya mencapai 35% dalam waktu 30-45
hari , tergantung ukuran buah dan kelembaban udara di sekitarnya. Waktu
pengering-anginan ini dapat diperpendek dengan cara mengkombinasikan antara
pengering-anginan dengan pengeringan dalam oven (50ºC selama 3 jam) setiap
harinya. Buah yang dianggap cukup kering ditandai dengan kondisi buah yang
tetap utuh, tidak pecah atau putus saat buah dililitkan pada jari tangan (Suwandi
dan Sudibyanto 2005).
Proses penyimpanan bertujuan untuk menyempurnakan aroma vanili setelah
dikeringkan. Proses penyimpanan dilakukan dengan cara mengikat buah vanili
dan menyimpan dalam peti. Peti disimpan dalam ruangan bersuhu 45°C selama 2-
3 bulan. Dengan tahap ini akan timbul aroma yang diharapkan sehingga mutu
vanili meningkat. Selain vanillin, komponen lain yang ikut beperanan dalam
pembentukan atoma vanili di antaranya vanillin acid, p-hidroxy benzoid, dan p-
coumaric acid (Suwandi dan Sudibyanto 2005).
Sortasi dan pengepakan dilakukan untuk keperluan pemasaran. Buah vanili
yang sudah disortasi dibungkus dalam kertas minyak serta disimpan dalam kaleng
yang bersih dan tertutup rapat (Suwandi dan Sudibyanto 2005).
Vanili kering yang dihasilkan dapat dilanjutkan untuk proses selanjutnya
yaitu mengolah menjadi oleoresin vanili. Oleoresin vanili diolah dengan cara
mengekstrasi buah vanili dengan pelarut organik. Ada banyak faktor yang dapat

21
mempengaruhi proses ekstrasi oleoresin dan salah satunya adalah suhu. Suhu yang
terlalu tinggi akan menyebabkan terjadinya penguapan pelarut dan sebagian
senyawa organik dalam bahan menjadi rusak. Akibatnya, aroma oleoresin yang
dihasilkan berkurang. Selain itu, vanili yang berasal dari tempat yang berbeda
akan menghasilkan oleoresin dengan rendemen dan kandungan vanillin yang
berbeda. Mutu oleoresin vanili dipengaruhi oleh mutu bahan baku yang
digunakan, konsentrasi alkohol, cara ekstraksi, suhu ekstraksi dan lama ekstraksi.
Keunggulan oleoresin adalah bebas dari kontaminasi mikroorganisme,
mempunyai tingkat flavor yang lebih kuat dibandingkan bahan aslinya, lebih
mudah melakukan proses pencampuran dalam pengolahan untuk pembuatan
makanan, dan tidak membutuhkan tempat yang besar untuk pengemasan dan
pengangkutan (Suwandi dan Sudibyanto 2005).
Vanili asli mempunyai wangi yang khas. Aroma vanili ini dibentuk melalui
proses fermentasi. Aktivitas ensim di dalam buah akan mengubah zat glukosida
(yang terpenting adalah zat glukovanilin) menjadi zat vanillin. Selain vanillin
dihasilkan pula beberapa zat sebagai hasil sampingan, seperti asam benzoat, asam
vanillin, alkohol dan sebagainya. Zat-zat hasil sampingan ini menambah aroma
khas vanillin yang tidak ditemukan pada vanillin sintetis (Rismunadar dan Sukma
2007).
Kadar vanillin dari buah vanili di seluruh dunia berkisar antara 1.5-2.9%.
Kadar vanillin dari buah vanili di beberapa daerah produksi adalah: vanili dari
Meksiko 1.69-1.88%, vanili dari Madagaskar (Bourbon vanilli) 1.91-2.9%, vanili
dari Ceylon 1.48%, vanili dari Tahiti 1.5-2.02%, dan vanili Jawa 2.75%. Pusat
penelitian vanili di Antalaha (Madagaskar) telah menghasilkan buah vanili dengan
kadar vanillin 4.11% apabila dikeringkan dengan menggunakan sinar matahari
dan 4.47% bila menggunakan udara panas (Rismunadar dan Sukma 2007).
Aroma vanila ini diperoleh dalam waktu yang lama melalui proses yang
disebut curing (IFF 2007). Pada proses curing, glukovanillin yang merupakan
prekursor vanillin terbentuk selama proses pematangan buah vanila dan secara
enzimatik diubah menjadi glukosa dan vanillin. Makin lama proses pematangan
biji maka makin meningkat konsentrat vanillin dan senyawa aroma lain terbentuk.
Makin tinggi kadar vaniilin maka kualitas biji makin meningkat. Orang Mexico

22
mengembangkan proses curing sekitar 5 hingga 6 bulan. Prosesnya disebut
Boubon yang berasal dari pulau Reunion yang dimodifikasi oleh Perancis. Metode
ini hanya membutuhkan waktu 4 hingga 6 bulan, dan sekarang telah diterapkan di
Madagaskar, Comoros dan Reunion. Sedangkan di Indonesia umumnya biji
dipetik sebelum matang untuk menghindari pencurian. Sekarang Indonesia mulai
mengikuti cara menanam dan curing Bourbon untuk meningkatkan kualitas biji
vanila (Brandt 1996).
Vanila merupakan satu-satunya aroma yang mempunyai standar identitas
yang ditetapkan oleh US FDA, yaitu: Code of Federal Regulation (21 CFR 169)
yang menyatakan bahwa disebut sebagai ekstrak vanila bila mengandung
minimum 13.35 ons biji vanila dalam satu galon campuran air dan alkohol dan
tidak kurang dari 35% etil alkohol. Bila kurang dari 35% diberi label sebagai
aroma vanila. Ekstrak vanila dibuat dengan cara menghancurkan biji vanila,
diekstrasi dengan campuran air dan alkohol dan dipisahkan residu dari cairan.
Kualitas dari ekstrak vanila dipengaruhi oleh waktu ekstraksi dan suhu. Ekstrak
vanila buatan dibuat dari aroma yang alami dan aroma buatan termasuk vanillin
(Brandt 1996). Vanila powder biasanya dibuat dari konsentrat ekstrak vanila yang
dicampur dengan ingredien lain seperti tepung atau gula. Vanila flavor biasanya
tidak mengandung alkohol. Umumnya gliserin, minyak sayur atau propilen glikol
dipakai untuk aroma vanila (Frontier 2007).
Vanillin merupakan satu-satunya tiruan aroma yang dapat dibuat dari lebih
dari 250 komponen yang memberikan profil aroma vanila. Vanillin alami dalam
biji vanila hanya 2% berat. USP vanillin merupakan tiruan vanila yang lebih
murah dan dibuat dari sintesa guaiacol yang merupakan turunan dari batu bara,
atau dari lignin yang merupakan produk sampingan dari industri kertas. Kedua
sumber vanila tersebut yang mempunyai profil aroma serupa. Vanillin sintetik di
Amerika disebut ”buatan atau tiruan”, tapi di Eropa disebut sebagai ”identik alami
(nature-identical)” karena secara kimia identik dengan senyawa alami (Brandt
1996).
Ethyl vanillin merupakan bahan kimia sintetik atau buatan yang rasanya
sama dengan vanillin dengan 2.5 kali lebih kuat. Oleh karena itu sering dipakai
sebagai tiruan vanili (Brandt 1996).

23
Umumnya vanila dipakai pada produk pangan seperti produk dairy,
minuman, produk yang dipanggang dan permen. Jenis vanila yang dipakai
tergantung pada produk, ingredien dalam formulasi, dan profil aroma yang
diinginkan (Brandt 1996).

C. Gula

Gula yang dipakai dalam pangan seringkali dihubungkan dengan bentuk


gula yang ada di rumah. Sebenarnya ada berbagai macam jenis gula dan para ahli
biasanya menggolongkan berdasarkan struktur kimianya. Gula biasanya terdapat
secara alami pada berbagai jenis buah, sayuran dan produk susu. Gula juga dapat
diproduksi secara komersil dan sengaja ditambahkan ke dalam pangan untuk
meningkatkan kemanisannya dan juga memberikan tambahan fungsi tehnis seperti
memberikan perbaikan struktur dan tekstur pangan, meningkatkan kemanisan dan
aroma, mengontrol kristalisasi, memberikan media pertumbuhan pada khamir
pada pangan yang dipanggang dan mencegah kerusakan (Anonim 2006).
Gula dapat berasal dari berbagai macam bentuk dan umumnya memberikan
empat kalori per gram. Gula sederhana disebut monosakarida, tersusun dari
molekul gula tunggal. Contoh: glukosa, fruktosa dan galaktosa. Bila dua gula
sederhana bergabung menjadi satu dengan ikatan kimia, disebut disakarida.
Contoh disakarida yang paling umum adalah sukrosa yang terdiri dari glukosa dan
fruktosa. Semua karbohidrat yang tersusun dari lebih dari dua gula sederhana
disebut polisakarida dan sebagai contohnya: pati dan serat. (Anonim 2006).
Gula yang umum ditemukan pada pangan adalah :
1. Sirup jagung , terbuat dari jagung dan tersusun terutama dari glukosa
2. Fruktosa, merupakan gula sederhana yang ditemukan pada buah-buahan,
madu dan akar sayuran. Digunakan sebagai pemanis yang berkalori dan
ditambahkan pada pangan dan minuman dalam bentuk kristal fruktosa yang
berasal dari pati jagung. Fruktosa menyusun setengah bagian dari gula pada
sukrosa dan sirup fruktosa dengan konsentrasi tinggi (high fructose corn
syrup). Fruktosa tidak memberikan respon glikemik sehingga seringkali
dipakai sebagai pemanis untuk pangan bagi penderita diabetes.
3. Galaktosa, merupakan gula sederhana yang terkandung di dalam produk susu.

24
4. Glukosa, merupakan sumber energi utama bagi tubuh dan merupakan gula
yang diproduksi pada waktu karbohidrat dicerna atau dimetabolisme. Glukosa
sering kali disebut sebagai dekstrosa. Pati merupakan rangkaian yang panjang
dari glukosa. Glukosa menyusun setengah bagian gula yang ada di dalam
sukrosa dan hampir setengah bagian gula di dalam sirup fruktosa dengan
konsentrasi yang tinggi.
5. Sirup fruktosa dengan konsentrasi tinggi (high fructose corn syrup),
merupakan campuran dari glukosa dan fruktosa yang diproduksi dari jagung.
Umumnya kandungan sirup fruktosa dengan konsentrasi tinggi terdiri dari
campuran 55% fruktosa dan 45% glukosa.
6. Laktosa merupakan gula yang alami ditemukan di dalam susu, terdiri dari satu
unit galaktosa dan satu unit glukosa. Seringkali disebut sebagai gula susu.
7. Maltosa merupakan disakarida yang terdiri dari dua unit glukosa . Ditemukan
pada molasis dan sering dipakai untuk fermentasi
8. Sukrosa yang seringkali disebut sebagai gula meja, terdiri dari satu unit
glukosa dan satu unit fruktosa yang terikat jadi satu.

D. Pemanis
1. Teori kemanisan
Kemanisan merupakan sensasi rasa yang paling penting pada manusia.
Senyawa manis secara umum memberikan respon yang positif pada manusia dan
repson ini dijumpai pula pada bayi yang baru dilahirkan. Sangat jarang dijumpai
kebiasaan makan yang tidak melibatkan rasa manis. Pentingnya rasa manis
direfleksikan dengan adanya kenaikan produksi gula dunia dari delapan juta ton
pada tahun 1900 menjadi 70 juta ton pada tahun 1970. Tidak ada satupun produk
komoditi yang menunjukkan tingkat kenaikan produksi yang serupa pada periode
yang sama (Salminen dan Hallikainen 2002).
Sukrosa dikonsumsi tidak hanya karena kemanisannya, tetapi juga
memberikan fungsi fungsional yang lain di dalam pangan yaitu sebagai bulking
agent, modifier tekstur, mouth-feel modifier dan juga sebagai pengawet. Sukrosa
juga merupakan sumber energi pada produk pangan fermentasi (Salminen dan
Hallikainen 2002).

25
Hingga saat ini sangat sedikit pengetahuan tentang dasar mekanisme rasa
manis. Banyak usaha telah dilakukan untuk mengembangkan teori tentang
kemanisan. Banyak peneliti menyatakan bahwa dasar stereo kimia dari kemanisan
dapat dibuktikan dengan memakai bantuan model gula sederhana dan turunan
deoxy (Birch 1990, diacu dalam Salminen dan Hallikainen 2002). Hipotesis awal
oleh Schallenberger (1960), dan Shallenberger dan Acree (1967) menyatakan
bahwa ikatan hidrogen kemungkinan memberikan rasa manis pada gula. Teori ini
menjelaskan bahwa stereo kimia yang berpengaruh memberikan kualitas rasa
manis (Schallenger 1973, diacu dalam Salminen dan Hallikainen 2002). Namun,
hingga sekarang penelitian yang kompleks pada berbagai aspek kemanisan masih
belum dapat menjawab pertanyaan mengenai penerimaan kemanisan seluruhnya,
tetapi diduga ada pengaruh genetik (Davenport 2001, diacu dalam Salminen dan
Hallikainen 2002).
Menurut Cahyadi (2006) konsep adanya empat rasa pokok (manis, asin,
pahit, dan asam) sebenarnya hanya penyederhanaan supaya praktis. Rangsangan
diterima oleh otak karena rangsangan elektrik yang diteruskan dari sel perasa
sebetulnya sangat kompleks. Rasa asin terutama disebabkan oleh rangsangan ion-
ion positif (kation) bahan kimia, sedangkan rasa asam oleh ion-ion negatif (anion)
bahan kimia pada reseptor rasa. Tetapi tidak ada kelompok bahan kimia tertentu
yang menyebabkan rasa manis meskipun telah diketahui bahwa struktur molekul
sederhana kelompok senyawa-senyawa gula yang terbentuk tertutup sangat
merangsang rasa manis. Sakarin yang struktur kimianya sangat berlainan dengan
gula ternyata tidak dapat dibedakan rasa manisnya. Sampai saat ini mekanisme
respon rasa manis belum diketahui dengan baik. Perubahan struktur molekul
sedikit saja dapat menghasilkan senyawa baru dengan rasa yang berbeda (Cahyadi
2006).
Menurut Cahyadi (2006), faktor-faktor yang perlu diperhatikan untuk
mengetahui hubungan struktur kimia bahan pemanis dengan rasa manis adalah:
a. Mutu rasa manis
Faktor ini sangat bergantung pada sifat kimia bahan pemanis dan
kemurniannya. Dari uji sensoris menunjukkan tingkat mutu rasa manis yang
berbeda antara bahan pemanis satu dengan yang lainnya. Bahan alami yang

26
mendekati rasa manis, kelompok gula yang banyak dipakai sebagai dasar
pembuatan bahan pemanis sintetis adalah asam-asam amino. Salah satu
dipeptida seperti aspartam memiliki rasa manis dengan mutu serupa dengan
kelompok gula dan tidak memiliki rasa ikutan. Sedangkan pada sakarin dan
siklamat menimbulkan rasa ikutan pahit yang semakin terasa dengan
bertambahnya bahan pemanis.

b. Intensitas rasa manis


Intensitas rasa manis menunjukkan kekuatan atau tingkat kadar
kemanisan suatu bahan pemanis. Intensitas rasa manis berkaitan dengan nilai
relatif rasa manis yang sama maupun yang berbeda antara masing-masing
bahan pemanis. Masing-masing pemanis berbeda kemampuannya untuk
merangsang indera perasa. Kekuatan rasa manis yang ditimbulkan oleh bahan
pemanis dipengaruhi oleh beberapa faktor di antaranya adalah suhu dan
mediumnya (cair atau padat). Nilai intensitas rasa manis biasanya diukur
dengan membandingkannya dengan kemanisan sukrosa 10%. Sebagai contoh
pemanis aspartam mempunyai kemanisan relatif sebesar 250 kali
dibandingkan dengan kemanisan relatif sukrosa sebesar satu.
Penentuan intensitas kemanisan mengalami kesulitan karena kenaikan
tidak selalu proporsional dengan kenaikan rasa manis yang ditimbulkan oleh
bahan pemanis dan lain-lain. Sebagai contoh pada sukrosa jika dinaikkan dua
kali, kemanisannya meningkat lebih dari dua kalinya. Sedangkan sakarin,
kenaikan dua kalinya ternyata kenaikan rasa manisnya tidak sampai dua kali
dibandingkan pada awalnya.

c. Kenikmatan rasa manis


Bahan pemanis ditambahkan dengan tujuan untuk memperbaiki rasa dan
aroma bahan pangan sehingga rasa manis yang timbul dapat meningkatkan
kelezatan, tetapi pemanis yang berlebihan akan terasa tidak enak. Setiap jenis
pemanis memiliki nilai toleransi yang berbeda antara kelompok masyarakat
bahkan antar individu.

27
Salminen dan Hallikainen (2002) menyatakan bahwa peningkatan rasa
manis dapat diperoleh dengan mencampurkan pemanis alami dan pemanis sintetik
menarik dari segi ekonomi dan nutrisi. Purna rasa (aftertaste) yang tidak enak
pada banyak pemanis buatan atau pemanis nonnutritif juga telah distimulasi dalam
pengembangan campuran pemanis buatan untuk mengurangi purna rasa ini.
Sinergi antar pemanis dan faktor yang mempengaruhinya telah direview oleh
Hyvonen (1980).

2. Pengganti Gula Dalam Pangan


Gula bagi nutrisionis dan banyak konsumen merupakan pangan yang tidak
memuaskan. Hal ini dibandingkan dengan banyak pangan lain dari nilai nutrisinya.
Umumnya dipandang merugikan dan memberikan efek buruk terhadap karies gigi
kita dan dihubungkan pada berbagai penyakit. Nutrisionis kuatir adanya
penurunan nilai gizi dengan mengkonsumsi pangan yang mengandung gula
refinasi tinggi (Salminen dan Hallikainen 2002).
Dengan alasan nutrisi dan kesehatan maka berkembang keinginan konsumen
terutama di negara barat untuk memakai pemanis lain sebagai pengganti sukrosa.
Konsumer menginginkan pengontrolan energi yang masuk untuk menghindari
obesitas dengan cara mengurangi konsumsi lemak dan gula. Menurut Hyvonen
(1980) alasan utama perubahan pemakaian pemanis sekarang ini terutama karena
orang-orang menginginkan pengurangan energi yang masuk selain itu juga untuk
mengatasi masalah metabolisme karbohidrat dan karies gigi (Salminen dan
Hallikainen 2002).
Pemanis buatan adalah bahan tambahan pangan yang dapat menyebabkan
terutama rasa manis pada prroduk pangan yang tidak atau sedikit mempunyai nilai
gizi atau energi (BSN 2004). Ditinjau dari sumbernya, bahan pemanis dapat
dibedakan atas pemanis alami dan pemanis sintetik. Ditinjau dari sumbangan
energinya, pemanis dapat dibedakan atas pemanis berenergi (nutritive sweeteners),
dan pemanis tanpa energi (non-nutritive sweeteners). Selain itu, juga berbeda
jumlah pemanis yang dibutuhkan (Salminen dan Hallikainen 2002).
Pemakaian pemanis buatan memberikan berbagai masalah pada pengolahan
pangan karena adanya perbedaan antara pemanis buatan dan pemanis karbohidrat.

28
Pemanis tanpa energi biasanya bukan berasal dari karbohidrat dan mempunyai
sifat kimia dan fisik yang berbeda. Seringkali pemanis tanpa energi memberikan
aroma tertentu yang berbeda dengan pemanis buatan dan jauh lebih manis
dibandingkan dengan pemanis yang berasal dari karbohidrat. Sifat ini akan
mempengaruhi biaya produksi pangan karena diharapkan produk pangan yang
dihasilkan dapat diterima seperti pada pemakaian pemanis dari karbohidrat
(Salminen dan Hallikainen 2002).
Keraguan akan keamanan pemanis tanpa energi menyebabkan
perkembangan pengganti sukrosa yang berkalori sebagai pemanis pada pangan,
Pemanis nonnutritif meliputi cakupan dari produk alami dan bahan kimia sisntetik,
sedangkan pemanis berkalori atau pengganti sukrosa umumnya karbohidrat atau
turunan dari karbohidrat (Salminen dan Hallikainen 2002).
Yang termasuk ke dalam pemanis berenergi tinggi adalah: sukrosa, fruktosa,
glukosa, dekstrosa, gula jagung, madu, laktosa, maltosa, berbagai jenis sirop, dan
gula inert. Contoh pemanis yang termasuk ke dalam pemanis dengan energi
rendah adalah poliol, seperti: sorbitol, mannitol, silitol, isomalt, laktitol, dan
maltitol. Yang termasuk pemanis tanpa energi adalah sakarin, aspartam,
asesulfam-K, dan sukralosa (Astawan 2006).

D. Sukralosa
1. Deskripsi Sukralosa
Sukralosa merupakan senyawa berbentuk kristal, berwarna putih, tidak
higroskopis, tidak berbau, mudah larut dalam air, metanol, dan alkohol, sedikit
larut dalam etil asetat, tidak mempengaruhi pH larutan, serta berasa manis dengan
kemanisan relatif sebesar 600 kali tingkat kemanisan gula tanpa nilai kalori, dan
tidak memberikan purna rasa yang tidak diinginkan (Goldsmith dan Merkel 2001;
BPOM 2004).
Sukralosa ditemukan pada tahun 1976 oleh Hough dan temannya pada
waktu melakukan penelitian di Queen Elizabeth College pada University of
London yang didukung oleh Tate & Lyle yang merupakan pelopor industri gula
(Goldsmith dan Merkel 2001).

29
Sukralosa adalah triklorodisakarida yaitu 1,6-Dichloro-1,6-dideoxy-β-
D-fructofuranosyl-4-chloro-4-deoxy-α-D-galactopyranoside atau 1',4,6'-
Trichlorogalactosucrose Trichlorosucrose dengan rumus kimia C12H19Cl3O8
seperti ditunjukkan pada Gambar 1.

Sumber: McNeil 2006

Gambar 1 Struktur kimia sukrosa dan sukralosa.

Sukralosa dihasilkan melalui berbagai proses yang telah dipatenkan dimana


3 molekul hidroksil pada sukrosa diganti dengan 3 atom klorin. Karena ketiga
atom klorin terikat erat maka bersifat stabil dan mencegah metabolisme molekul
sukralosa yang dapat menghasilkan energi (CCC 2006). Akibatnya sukralosa tidak
meningkatkan glukosa darah maupun tingkat serum insulin. Atom klorin ini juga
yang memberikan stabilitas terhadap panas, sehingga sukralosa tahan terhadap
pemasakan dan pemanggangan tanpa kehilangan kemanisannya (Goldsmith dan
Merkel 2001).
Sukralosa memiliki banyak keunggulan yaitu rasanya manis seperti gula
serta tidak meninggalkan purna rasa, membantu mengontrol masuknya kalori,
dapat dikonsumsi oleh penderita diabetes, tidak menyebabkan kerusakan gigi,
sangat stabil terhadap panas, masa kadaluarsa panjang, dan merupakan ingredien
yang kompatibel (CCC 2006). Kemanisannya tidak bereaksi dengan komponen
atau ingredien pangan lain, dan juga kelarutannya dalam air sangat baik (Salminen
dan Hallikainen 2002).
Sukralosa dapat dipakai untuk menciptakan berbagai kategori baru pangan
dan minuman seperti kue kering yang dengan rendah kalori, es krim, bahan
pengisi untuk pastel. Tersedianya sukralosa memberikan kesempatan pada
pengembangan berbagai produk baru dengan rasa yang lebih enak, stabilitas

30
meningkat, biaya produksi berkurang dan memberikan banyak pilihan pada
konsumen (CCC 2006b)
Sukralosa cocok dipakai untuk semua jenis produk mulai dari minuman
berkarbonat hingga pangan yang dipanggang. Rasanya menyerupai gula dan
bersifat sangat stabil. Sukralosa tetap mempertahankan kemanisannya meskipun
dipanaskan pada suhu tinggi seperti pada proses pasteurisasi, sterilisasi, UHT,
maupun pemanggangan. Selain itu, sukaralosa juga tetap stabil pada periode
penyimpangan meskipun pada suhu rendah (Anonim 2001).

2. Karakteristik Sifat Sensori Sukralosa


a. Intensitas kemanisan
Sukrosa dipakai sebagai referensi dalam membuat grafik garis
kemanisan. Faktor kemanisan dinyatakan dalam sumbu Y yang
menunjukkan berapa kali tingkat kemanisan suatu pemanis dibandingkan
terhadap kemanisan sukrosa (Goldsmith dan Merkel 2001).

Sumber: Goldsmith dan Merkel 2001

Gambar 2 Perbandingan intensitas kemanisan.

Gambar 2 memperlihatkan bahwa kemanisan sukralosa tertinggi


dibandingkan dengan kemanisan pemanis lain. Kemanisan sukralosa
menunjukkan hampir 750 kali dibandingkan dengan sukrosa pada
konsentrasi larutan sukrosa 2%. Pada konsentrasi larutan sukrosa 9%,
31
sukralosa menunjukkan kemanisan 500 kali terhadap sukrosa. Sebagai
panduan standard, sukralosa dianggap mempunyai kemanisan lebih dari 600
kali terhadap sukrosa. Oleh karena sangat tinggi kemanisannya maka hanya
dibutuhkan sukralosa dalam jumlah kecil bila ingin memperoleh kemanisan
yang setara dengan sukrosa (Goldsmith dan Merkel 2001).
Tingkat kemanisan sukralosa dipengaruhi oleh pH, suhu, dan
viskositas dari pangan maupun minuman yang akan ditambahkan sukralosa.
Sebagai contoh: hanya dibutuhkan 20 mg sukralosa per liter untuk
mendapatkan kemanisan setara dengan 2% larutan sukrosa. Tetapi pada
tingkat kemanisan setara sukrosa 5% pada secangkir kopi manis, ternyata
membutuhkan 83 mg sukralosa per liter (Goldsmith dan Merkel 2001).
Tingkat kemanisan yang kita rasakan tergantung pada seberapa
baiknya reseptor di lidah kita bereaksi dengan molekul pangan. Makin kuat
interaksinya maka kita akan merasakan rasa lebih manis. Rasa manis paling
banyak dideteksi oleh kuncup cecapan yang ada di ujung lidah. (Winarno
1984 dan Obringer 2007).

b. Kualitas yang bersifat sementara (temporal qualities)


Profil kemanisan yang bersifat sementara ini meliputi faktor :
timbulnya rasa manis, waktu untuk mencapai intensitas dan kecepatan
hilangnya rasa manis. Tabel 3 memperlihatkan bahwa waktu untuk
mencapai intensitas kemanisan yang maksimum antara sukrosa dengan
pemanis buatan hampir sama. Kecepatan penurunan rasa manis pada sukrosa
terlihat berbeda dibandingkan pemanis buatan, termasuk sukralosa
(Goldsmith dan Merkel. 2001).

32
Tabel 3 Perbandingan karakteristik kemanisan sementara

Intensitas Waktu untuk Lamanya rasa


maksimum mencapai manis
(skala 0 -12) kemanisan (detik)
maksimum (detik)
Sukrosa 7.6 4.1 66.1
Sukralosa 7.8 5.0 75.4
Aspartam 7.5 6.2 76.7
Sakarin 7.5 3.1 77.2
Asesulfam-K 7.5 4.9 77.4
Sumber: Goldsmith dan Merkel. 2001

c. Profil rasa
Sukralosa telah banyak dipakai untuk produk pangan di dunia mulai
dari sediaan pemanis buatan (tabletop) sebagai pengganti gula hingga untuk
campuran produk. Hal ini disebabkan profil rasa sukralosa menyerupai gula,
seperti ditunjukkan pada Gambar 3 (Anonim 2007).

Sumber: Anonim 2007

Gambar 3 Profil perbandingan sensori sukralosa dan gula.

3. Penyerapan, Peredaran, Metabolisme, dan Pengeluaran Sukralosa


Sebagian besar (kira-kira 85%) sukralosa yang dikonsumsi tidak diserap
dan langsung dikeluarkan oleh tubuh melalui saluran pencernaan tanpa perubahan.
Sukralosa yang terserap dalam jumlah kecil sekali akan dibuang melalui urin
tanpa perubahan (McNeil 2006).

33
4. Kajian Keamanan dan Regulasi Sukralosa
Lebih dari 100 penelitian telah dilakukan selama waktu lebih dari 20 tahun
untuk mengevaluasi keamanan sukralosa untuk konsumsi manusia. Tidak ada
bukti yang menunjukkan bahwa konsumsi sukralosa atau hasil hidrolisa sukralosa
dapat menyebabkan akibat yang tidak diinginkan. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa sukralosa tidak menyebabkan kerusakan gigi, kanker, perubahan genetik,
dan cacat lahir. Selain itu, sukralosa juga tidak mempengaruhi metabolisme
karbohidrat, pengaturan kadar glukosa darah dan pengeluaran insulin, reproduksi
pria dan wanita, maupun sistim kekebalan tubuh. (Goldsmith dan Merkel 2001;
CCC 2006).
Sukralose telah disetujui pemakaiannya oleh lebih dari 80 negara dan juga
oleh badan pengatur international seperti FDA (US Food and Drug
Administration), JECFA (Joint FAO/WHO Expert Committee on Food Additives),
European Commission’s Scientific Committee on Food, Health Canada dan Food
Standards Australia/ New Zealand (CCC 2006). Sukralosa termasuk dalam
golongan GRAS, sehingga aman dikonsumsi wanita hamil dan menyusui serta
anak-anak segala usia (BPOM 2004).
Pada bulan Juni 1990, JECFA menyatakan ADI (Acceptable Daily Intake)
untuk sukralosa 15 mg/kg berat badan/hari. Pada bulan April 1998, US FDA
menyatakan persetujuannya sukralosa sebagai bahan tambahan yang baru dan
pada bulan Agustus 1999, FDA menyetujui sukralosa sebagai pemanis untuk
semua penggunaan. ADI menurut FDA adalah 16 mg/kg berat badan/hari.
Menurut SNI (2004) dan Badan POM (2004), ADI untuk sukralosa 0-15 mg/kg
berat badan. CAC mengatur maksimum penggunaan sukralosa pada berbagai
produk pangan berkisar 120 sampai dengan 5000 mg/kg produk (Goldsmith dan
Merkel 2001; BPOM 2004).
Sukralosa pertama kali disetujui di Canada pada tanggal 5 September 1991.
FDA juga menyetujui pemakaian sukralosa untuk 15 kategori pangan dan
minuman pada tanggal 1 April 1998 dan kemudian pada tahun 1999 meralat
menjadi pemanis yang diperbolehkan dipakai secara umum (CCC 2006a).

5. Stabilitas Masa Simpan Sukralosa


Penelitian masa simpan sukralosa menunjukkan bahwa produk yang
34
diberi penambahan sukralosa tetap kemanisannya sepanjang masa simpan.
Sukralosa paling stabil pada pH 5-6 dan kestabilannya mulai meningkat dari pH 1
hingga 5.5. Sukralosa menunjukkan stabilitas masa simpan yang sama baiknya
baik pada pH netral maupun pH asam (Anonim 2001).
Gambar 4 menunjukkan tingkat hidrolisis sukralosa selama penyimpanan
pada suhu 20 ºC dengan berbagai pH dan menunjukkan stabilitas sukralosa pada
kondisi asam. Pada pH 3 terlihat bahwa kurang dari 0.5% sukralosa hilang tetapi
tidak terjadi perubahan yang signifikan pada pH 4, 6, dan 7 (Anonim 2001).

Sumber: Anonim 2001

Gambar 4 Stabilitas masa simpan sukralosa.

E. Konsentrat Protein Whey


Whey awal mulanya dikenal sebagai produk samping. Whey digunakan
untuk produksi laktosa tetapi terutama digunakan untuk pakan ternak dan
sejumlah kecil dibuang ke tempat pembuangan limbah. Karena whey mengandung
nilai gizi yang tinggi maka whey mulai dipakai agar dapat memberikan nilai
ekonomis. Pemakaian whey memberikan banyak keuntungan, antara lain:
pemanfaatan yang lengkap dari susu, menghasilkan komponen susu dengan
kualitas yang tinggi dengan aplikasi yang luas dan pengurangan beban air limbah
karena BOD dari whey 30-60.000 mg O2 per liter air limbah (Speer 1998).

35
Ada berbagai jenis whey. Whey merupakan produk sampingan dari proses
produksi keju dan kasein, yang dikenal sebagai whey manis (sweet whey) dan
mempunyai pH antara 5.9 - 6.6. Sedangkan whey yang dihasilkan dengan proses
pengendapan asam dan mineral adalah whey asam (acid whey) dengan pH antara
4.3 – 4.6 (Bylund et al. 2003). Whey manis dengan titratable acidity 0.1-0.2%,
pH 5.8-6.6, berasal dari koagulasi rennet keju seperti cheddar dan pabrik kasein
rennet. Sedangkan whey asam dengan titratable acidity 0.4%, berasal dari keju
asam yang segar dan dari pabrik kasein asam. Di antara kedua jenis, terdapat
medium-acid whey dengan titratable acidity 0.2-0.4%, pH 5.0-5.8, dan berasal
dari keju yang asam dan segar seprti Ricotta dan keju cottage (Varman dan
Sutherland 1994)
Diagram alir produksi protein whey diperlihatkan pada Gambar 5.

Sumber : Fonterra 2007


Gambar 5 Produksi protein whey
36
Whey merupakan produk yang mudah dicerna dan diserap oleh tubuh. Whey
mengandung sekitar 50% dari nutrisi susu yaitu protein yang larut, laktosa,
vitamin dan mineral. Mengingat kandungan gizinya yang tinggi, maka
dikembangkan berbagai tehnik proses produksi sehingga dihasilkan produk whey
dengan kualitas yang tinggi (Bylund et al. 2003).
Salah satu konsentrat protein whey yang diproduksi oleh Fonterra adalah
konsentrat protein whey 322 (WPC 322), atau dikenal juga dengan nama
AlacenTM 322.
Diagram alir proses produksi konsentrat protein whey atau isolat seperti
diperlihatkan pada pada Gambar 6.

Sumber : Fonterra 2007


Gambar 6 Produksi konsentrat protein whey

37
AlacenTM 322 adalah protein susu yang diproses dari kasein whey dengan
proses ultrafiltrasi. AlacenTM 322 mengandung protein yang tinggi yaitu 81.7%.
AlacenTM 322 larut pada kisaran pH yang luas dan juga mempunyai kandungan
gizi yang lain. Nilai pH Alacen TM 322 adalah 6.7 (Fonterra 2006).
Alacen TM 322 dapat dipakai untuk bermacam-macam produk, antara lain
untuk fortifikasi protein, suplemen pangan dan untuk meningkatkan gizi produk
pangan (Fonterra 2006).
Sifat fisik dan kimia dari Alacen TM 322 antara lain warnanya krim, rasanya
tipikal (bland), berbentuk powder, larut dalam air, pH pada larutan 6.8 dan bulk
density 0.4-0.5 g/ml (Fonterra 2006).
Untuk melarutkan (disperse) protein susu sangat sulit di dalam air. Partikel
yang telah dispray dry akan membentuk gumpalan yang keras. Untuk
melarutkannya dapat dilakukan dengan cara pre-blending dengan ingridien lain di
dalam formulasi sebelum melarutkan di dalam air. Umumnya dicampurkan
dengan gula atau karbohidrat jenis lain. Selain itu suhu harus diperhatikan karena
suhu dapat membantu untuk melarutkannya sehingga dapat mengurangi
pengadukan. Suhu optimum untuk konsentrat protein whey yang dilarutkan
dengan air adalah hingga 50°C, dan di dalam susu 40-50°C (Fonterra 2006).

F. Maltodekstrin dan Sirup Glukosa


Maltodekstrin dan sirup glukosa (dried glucose syrup) merupakan hasil dari
hidrolisis pati yang kemudian dimurnikan dan disemprot kering (spray drying).
Pati merupakan polimer dari unit D-glukosa. Pati biasanya dipecah baik dengan
menggunakan hidrolisa asam atau dengan enzim atau kombinasi keduanya. Hasil
dari hidrolisis berupa campuran dari D-glukosa, maltosa (dua unit molekul D-
glukosa berikatan), maltotriosa (tiga unit molekul berikatan) dan unit yang
berukuran lebih besar tergantung tingkat hidrolisis. Tingkat konversi dari pati
diukur sebagai DE (dextrose equivalent) yang didefinisikan sebagai jumlah total
gula yang tereduksi dihitung sebagai dekstrosa (Suprianto 2006)
Maltodekstrin dan sirup glukosa merupakan bubuk berwarna putih, mudah
larut dalam air dan memberikan rasa agak manis. Maltodekstrin dan sirup glukosa
dapat dipakai untuk bermacam-macam industri makanan antara lain: makanan

38
bayi, es krim, produk pangan beku, produk daging, sup, saus, produk yang
higrokopis, permen dan biskuit (Roquette 2004).
Glucidex maltodekstrin dan sirup glukosa diproduksi oleh Roquette dari pati
jagung. DE (dextrose equivalent) adalah kemampuan mereduksi D-glukosa
(dektrosa) dalam gram per 100 gram senyawa kering. D-glukosa mempunyai DE
100. Sirup glukosa merupakan produk hasil hidrolisis pati dengan DE lebih besar
dari 20, sedangkan maltodekstrin mempunyai nilai DE lebih kecil dari 20. Nilai
DE dipakai sebagai definisi untuk produk (Roquette 2004). Perbedaan antara
glucidex 19 dan 21 dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Perbedaan glucidex 19 dan glucidex 21


Tipe glucidex 19 29
DE (dextrose equivalent) 18-20 28-31
Komposisi karbohidrat
• Glukosa (%) 2 10
• Maltosa (%) 7 9
• Oligosakarida dan polisakarida (%) 91 81
Poured bulk density (kg/liter) 0.50 0.55
Kelompok maltodektrin sirup glukosa
Karakteristik Larutan jernih, Rasanya sedikit
sangat sedikit manis
manis.
Sumber: Roquette 2004

Ada bermacam-macam jenis produk Glucidex yang dapat dipakai untuk


membantu dalam produk seperti memperbaiki tekstur dan viskositas, kemanisan ,
reaksi pencoklatan, fermentasi dan sebagainya.
Sifat utama produk glucidex berhubungan dengan DE yaitu makin tinggi
nilai DE maka makin manis, makin meningkat sifat higrokopis. Sedangkan nilai
nutrisi sama. Perbandingan kemanisan glucidex dibandingkan dengan sukrosa
sebagai standard referensi sebagai berikut: sukrosa adalah 1, glucidex 17-19
maltodektrin adalah 0.2, dan glucidex 29-32 sirup glukosa adalah 0.3 (Roquette
2004).

39
Orang dewasa mempunyai enzim untuk mencerna molekul pati yang
kompleks. Semua tipe glucidex mempunyai nilai gizi yang sama yaitu 4 kkal/g
atau 17 kJ/g.

40

Anda mungkin juga menyukai