Anda di halaman 1dari 9

INOVASI DALAM PENGEMBANGAN PESANTREN

Endin Mujahidin1
1
Universitas Ibn Khaldun Bogor
Corresponding author: endin.mujahidin@uika-bogor.a.c.com

Abstrak. Pesantren merupakan lembaga pendidikan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat.
Sejarah telah membuktikan bahwa pesantren merupakan satu-satunya model pendidikan masyarakat
yang dapat bertahan selama berabad-abad lamanya. Salah satu penyebabnya adalah inovasi yang terus
dikembangkan dalam pesantren. Penelitian ini dilakukan untuk mengidentifikasi inovasi-inovasi yang
dikembangkan dalam pesantren. Metode yang digunakan adalah studi pustaka. Data yang diperoleh
dari studi literatur dan fenomena yang diamati secara langsung, intensif, dan mendetail serta
diinterpretasikan secara tepat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam pengembangan program
pendidikan di pesantren ada hal-hal yang harus diperhatikan oleh pengelola pesantren, yaitu, (1)
munculnya sekolah-sekolah terpadu (mulai tingkat dasar hingga menengah); dan (2) penyelenggaraan
sekolah sistem boarding school (sekolah berasrama). Dalam sistem ini, para murid mengikuti
pendidikan reguler dari pagi hingga siang di sekolah, kemudian dilanjutkan dengan pendidikan agama
atau pendidikan nilai-nilai khusus di malam hari. Selama 24 jam anak didik berada di bawah didikan
dan pengawasan para ustadz pembimbing. Untuk mengantisipasi hal tersebut maka pesantren
hendaknya membuka inovasi baru yaitu pesantren terpadu. Dimana santri tidak hanya diajari ilmu-ilmu
“berbasis kitab kuning” tetapi juga ilmu-ilmu yang terkait dengan teknologi. Sehingga alumni pesantren
tidak ketinggalan zaman. Dari penelitian ini direkomendasikan adanya pengembangan kurikulum,
sarana prasarana, tenaga kependidikan, dan anggaran.
Kata kunci: inovasi, kiyai, Pendidikan, Pesantren.

A. PENDAHULUAN

Suatu hal yang tidak terlepas dalam wacana pendidikan di Indonesia adalah Pesantren. Ia adalah
model sistem pendidikan pertama dan tertua di Indonesia. Keberadaannya mengilhami model dan
sistem-sistem yang ditemukan saat ini. Ia bahkan tidak lapuk dimakan zaman dengan segala
perubahannya. Karenanya banyak pakar, baik lokal maupun internasional melirik Pesantren sebagai
bahan kajian. Tidak jarang beberapa tesis dan disertasi menulis tentang lembaga pendidikan Islam tertua
ini.
Di antara sisi yang menarik para pakar dalam mengkaji lembaga ini adalah karena “modelnya”.
Sifat keislaman dan keindonesiaan yang terintegrasi dalam pesantren menjadi daya tariknya. Belum lagi
kesederhanaan, sistem dan manhaj yang terkesan apa adanya, hubungan kyai dan santri serta keadaan
fisik yang serba sederhana. Walau di tengah suasana yang demikian, yang menjadi magnet terbesar
adalah peran dan kiprahnya bagi masyarakat, negara dan umat manusia yang tidak bisa dianggap sepele
atau dilihat sebelah mata. Sejarah membuktikan besarnya konstribusi yang pernah dipersembahkan
lembaga yang satu ini, baik di masa pra kolonial, kolonial dan pasca kolonial, bahkan di masa kini pun
peran itu masih tetap dirasakan (Halim, 2005).
Di tengah gagalnya sebagian sistem pendidikan dewasa ini, ada baiknya kita menyimak kembali
sistem pendidikan pesantren. Keintegrasian antara ilmu etika dan pengetahuan yang pernah
dicanangkan pesantren perlu mendapat perhatian, sehingga paling tidak mengurangi apa yang menjadi
trend di tengah-tengah pelajar dan pemuda kita diantaranya dekadensi moral, free sex, tawuran, dsb.

B. METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif. Data yang dihasilkan diperoleh dari
studi literatur dan dari fenomena yang diamati secara langsung, intensif, dan mendetail serta
diinterpretasikan secara tepat.

C. HASIL DAN PEMBAHASAN


1. Konsep Inovasi
Inovasi, yang direduksi dari “innovation” (bahasa Inggris) sering diterjemahkan dengan
kata pembaharuan atau perubahan secara baru (Echols, 1993: 323). Inovasi juga dipakai untuk
menyatakan penemuan, karena hal yang baru tentunya merupakan hasil dari penemuan. Dari
berbagai definisi, dapat disimpulkan bahwa inovasi adalah suatu ide, metode, hal-hal yang
praktis atau hasil karya manusia, yang dirasakan sebagai sesuatu yang baru bagi manusia, dan
diadakan untuk mencapai tujuan tertentu atau memecahkan suatu masalah tertentu (Zaltman,
1977: 12; Rogers, 1983: 11). Jika inovasi dikaitkan dengan bidang spiritual maka dia dapat
didefinisikan sebagai suatu ide, metode, hal-hal praktis atau hasil karya manusia yang
diciptakan untuk mempermudah pencapaian tujuan spiritual atau memecahkan masalah yang
terkait dengan masalah spiritual.
Perkembangan inovasi dalam bidang spiritual, memang tidak sepesat inovasi dalam
bidang yang lainnya. Hal itu karena inovasi dalam bidang ini lebih sulit dibanding pada bidang
yang lainnya. Kesulitan tersebut antara lain disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain:
a. Ukuran peningkatan kualitas spiritual bersifat abstrak.
Hal itu dapat dijumpai pada sabda Nabi Muhammad saw. yang diriwayatkan oleh Ath
Thabrani ( Hasyimi, 1948: 39) yang mengatakan bahwa sesungguhnya Allah Swt. tidak
melihat wajah, tubuh dan harta kamu, tetapi Dia melihat hati dan pekerjaan kamu”.
b. Hasil/akibat dari inovasi bersifat gaib.
Balasan/pahala yang diberikan kepada orang yang melaksanakan nilai-nilai spiritual,
kebanyakannya bersifat gaib. Sebagai contoh, Allah Swt. berfirman dalam Surat Al
Baqarah ayat 81-82:
…Barang siapa yang berbuat dosa dan ia telah diliputi oleh dosanya, mereka itulah
penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. Dan orang-orang yang beriman dan beramal
saleh, mereka itu penghuni syurga; mereka kekal di dalamnya.
c. Kualitas spiritual bersifat personal dan sakral.
Bidang spiritual adalah bidang yang berkaitan dengan pengembangan potensi ruhaniah
yang penuh dengan nilai-nilai yang dianggap sakral. Oleh karena itu, seseorang yang ingin
mengembangkan kualitas spiritualnya, harus dilandasi dengan keikhlasan, bukan sekadar
mencoba-coba. Allah Swt. menjelaskan bahwa amal perbuatan yang akan diterima-Nya
adalah amal saleh yang dikerjakan dengan ikhlas. Sebagaimana tercantum dalam Surat Al
Kahfi ayat 110: “…Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka
hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun
dalam beribadah kepada Tuhannya”. Selain itu, bidang spiritual juga bersifat personal.
Dalam pengertian, dua orang yang melakukan kegiatan spiritual yang sama, akan memiliki
hasil yang relatif berbeda. Oleh karena itu, peningkatan kualitas spiritual tidak dapat
diujicobakan. Dari perspektif ini, inovasi dalam bidang spiritual memiliki tingkat
trialabilitas yang rendah.
d. Sikap menutup diri sebagian umat Islam.
Selain faktor-faktor yang berkaitan langsung dengan materi peningkatan mental spiritual,
faktor yang menghambat pengembangan inovasi dalam bidang ini adalah adanya
keengganan dari umat Islam dalam melakukan terobosan dalam bidang spiritual karena
ajaran yang ada dianggap telah sempurna. Hal ini terjadi sebagai akibat warisan historis
umat Islam yang menutup pintu ijtihad. Memang hendaknya disadari bahwa tidak semua
bagian dari ajaran Islam dapat diperbaharui. Bagian-bagian yang berkaitan dengan ibadah
mahdhoh (ibadah yang berhubungan langsung dengan Allah Swt.) adalah bagian yang tidak
bisa diperbaharui, sedangkan bagian yang lainnya memungkinkan untuk diperbaharui,
terutama yang berkaitan dengan alat dan metode untuk mempermudah pencapaian tujuan
dari ajaran Islam.
Keempat faktor di atas, memang tidak mungkin dihilangkan keseluruhannya. Sebab,
jika bidang spiritual memiliki observabilitas yang tinggi atau relative advantage secara
langsung maka keimanan tidak diperlukan lagi. Padahal titik pusat dari keimanan adalah
mempercayai sesuatu yang gaib; sesuatu yang tidak bisa dilihat oleh mata atau didengar oleh
telinga. Oleh karena itu, pengembangan inovasi dalam bidang spiritual dapat diarahkan kepada
dua kawasan, yaitu upaya rasionalisasi dari ajaran Islam dan penemuan metode, cara, bahan
dan yang sejenisnya yang dapat mempermudah pencapaian tujuan ajaran Islam.
2. Pesantren dalam Perspektif Sejarah
Dalam catatan sejarah, Pesantren dikenal di Indonesia sejak zaman Walisongo. Ketika itu Sunan
Ampel mendirikan sebuah padepokan di Ampel Surabaya dan menjadikannya pusat pendidikan di Jawa.
Para santri yang berasal dari pulau Jawa datang untuk menuntut ilmu agama. Bahkan di antara para
santri ada yang berasal dari Gowa dan Talo, Sulawesi.
Pesantren Ampel merupakan cikal bakal berdirinya pesantren-pesantren di Tanah Air. Sebab para
santri setelah menyelesaikan studinya merasa berkewajiban mengamalkan ilmunya di daerahnya
masing-masing. Maka didirikanlah pesantren-pesantren dengan mengikuti pada apa yang mereka
dapatkan di Pesantren Ampel.
Kesederhanaan pesantren dahulu sangat terlihat, baik segi fisik bangunan, metode, bahan kajian
dan perangkat belajar lainnya. Hal itu dilatarbelakangi kondisi masyarakat dan ekonomi yang ada pada
waktu itu. Yang menjadi ciri khas dari lembaga ini adalah rasa keikhlasan yang dimiliki para santri dan
sang Kyai. Hubungan mereka tidak hanya sekedar sebagai murid dan guru, tapi lebih seperti anak dan
orang tua. Tidak heran bila santri merasa kerasan tinggal di pesantren walau dengan segala
kesederhanaannya. Bentuk keikhlasan itu terlihat dengan tidak dipungutnya sejumlah bayaran tertentu
dari para santri, mereka bersama-sama bertani atau berdagang dan hasilnya dipergunakan untuk
kebutuhan hidup mereka dan pembiayaan fisik lembaga, seperti lampu, bangku belajar, tinta, tikar dan
lain sebagainya.
Materi yang dikaji adalah ilmu-ilmu agama, seperti fiqih, nahwu, tafsir, tauhid, hadist dan lain-
lain. Biasanya mereka mempergunakan rujukan kitab turost atau yang dikenal dengan kitab kuning. Di
antara kajian yang ada, materi nahwu dan fiqih mendapat porsi mayoritas. Ha litu karena mereka
memandang bahwa ilmu nahwu adalah ilmu kunci. Seseorang tidak dapat membaca kitab kuning bila
belum menguasai nahwu. Sedangkan materi fiqih karena dipandang sebagai ilmu yang banyak
berhubungan dengan kebutuhan masyarakat (sosiologi). Tidak heran bila sebagian pakar menyebut
sistem pendidikan Islam pada pesantren dahulu bersifat “fiqih orientied” atau “nahwu orientied”.
Masa pendidikan tidak tertentu, yaitu sesuai dengan keinginan santri atau keputusan sang Kyai
bila dipandang santri telah cukup menempuh studi padanya. Biasanya sang Kyai menganjurkan santri
tersebut untuk nyantri di tempat lain atau mengamalkan ilmunya di daerah masing-masing. Para santri
yang tekun biasanya diberi “ijazah” dari sang Kyai.
Lokasi pesantren model dahulu tidaklah seperti yang ada kini. Ia lebih menyatu dengan
masyarakat, tidak dibatasi pagar (komplek) dan para santri berbaur dengan masyarakat sekitar. Bentuk
ini masih banyak ditemukan pada pesantren-pesantren kecil di desa-desa Banten, Madura dan sebagian
Jawa Tengah dan Timur.
Pesantren dengan metode dan keadaan di atas kini telah mengalami reformasi, meski beberapa
materi, metode dan sistem masih dipertahankan. Namun keadaan fisik bangunan dan masa studi telah
terjadi pembenahan.
Tradisi pesantren merupakan kerangka sistem pendidikan Islam tradisional yang dalam
perjalanan sejarah telah menjadi objek penelitian para sarjana yang mempelajari Islam di Indonesia.
Dalam kalimat sederhana M.C Cahil dalam tulisannya "Islamic Education in Indonesia: Learning by
Doing" memberi pengertian pesantren is an institution where the Moslem learn the value and practice
of social involvent. Sementara itu, Nurcholish Madjid, dalam buku "Bilik-bilik Pesantren"
menyebuntukan, pesantren adalah bentuk pendidikan Islam di Indonesia yang telah berakar sejak
berabad-abad silam. Ia menilai, pesantren mengandung makna ke-Islam-an sekaligus keaslian
(indigenous) Indonesia. Kata " Pesantren" mengandung pengertian sebagai tempat para santri atau
murid pesantren. Sedangkan kata "santri" diduga berasal dari istilah sansekerta "sastri" yang berarti
"melek huruf", atau dari bahasa Jawa "cantrik" yang berarti seseorang yang mengikuti gurunya kemana
pun dia pergi (Madjid, 1997).
Terlepas dari semua itu, karena yang dimaksud istilah pesantren dalam pembahasan ini adalah
sebuah lembaga pendidikan dan pengembangan agama Islam di tanah air, khususnya di Pulau Jawa,
dimulai dan dibawa oleh Walisongo. Maka model pesantren di Pulau Jawa juga mulai berdiri dan
berkembang sezaman dengan Walisongo. Karena itu tidak berlebihan bila dikatakan pesantren yang
pertama berdiri adalah pondok pesantren yang didirikan oleh Syekh Maulana Malik Ibrahim atau Syekh
Maghribi, ini karena Syekh Maulana Malik Ibrahim wafat pada 12 Rabiul Awal 882 H bertepatan
dengan 8 April 1419M (Farchan, 2005).
Syekh Maulana Malik Ibrahim dikenal juga dengan nama Sunan Gresik dimana beliau adalah
orang pertama dari sembilan wali yang terkenal dalam penyebaran agama Islam di Pulau Jawa.
Meskipun begitu, tokoh yang dianggap berhasil mendirikan dan mengembangkan pesantren dalam arti
yang sesungguhnya adalah Raden Rahmat (Sunan Ampel). Ia mendirikan pesantren Kembang Kuning,
yang pada waktu didirikan hanya memiliki tiga santri, yaitu Wiryo Suroso, Abu Hurairoh dan Kyai
Kembang Kuning. Kemudian ia pindah ke Ampel Denta, Surabaya, dan mendirikan pesantren di sana.
Akhirya beliau dikenal dengan sebutan Sunan Ampel. Sedangkan Mastuhu berpendapat bahwa kapan
pesantren pertama kali didirikan dan oleh siapa, tidak ada keterangan yang pasti. Dan hasil pendataan
pendataan Departemen Agama pada tahun 1984-1985, diperoleh keterangan bahwa pesantren tertua
didirikan pada tahun 1062, atas nama Pesantren Tan Jampes II di Pamekasan, Madura. Tetapi hal ini
diragukan karena tentunya Pesantren Tan Jampes I yang lebih tua, dan dalam buku Departemen Agama
tersebut banyak dicantumkan pesantren tanpa tahun pendirian. Jadi, mungkin mereka memiliki usia
yang lebih tua. Mastuhu menambahkan bahwa pesantren telah mulai dikenal di bumi nusantara ini
dalam periode abad ke-13 sampai 17 M, dan di Pulau Jawa pada abad ke-15 sampai 16 M. Melalui data
sejarah tentang masuknya Islam di Indonesia, yang bersifat global atau makro tersebut, sangat sulit
menentukan tahun berapa dan dimana pesantren pertama kali didirikan (Tholkhah, 2004).
Pemikiran dan operasionalisasi manejemen pendidikan terpadu akan banyak ditentukan oleh
tujuan dan arah keterpaduan, yang menyatakan bahwa arah pendidikan di Pesantren saat ini adalah
dalam pembinaan IMTAQ, IPTEK dan Skill fungsional atas dasar kebutuhan. Keterpaduan akan
ditekankan dalam menata manajemen dan implementasinya yang untuk saat ini harus dimiliki oleh
lembaga pendidikan pesantren dengan strategi pengembangan pendidikan yang telah dirumuskan
(Halim, 2005).
Implementasi merupakan suatu proses penerapan ide, konsep, kebijakan, atau inovasi dalam
suatu tindakan praktis sehingga memberikan dampak, baik berupa perubahan pengetahuan,
ketrampilan, maupun nilai, dan sikap. Pada akhirnya akan membentuk pesantren yang merupakan
bagian dari Sistem Pendidikan Nasional memiliki 3 unsur utama yaitu (Depag RI, 1982):
a. Kyai sebagai pendidik sekaligus pemilik pondok dan para santri;
b. Kurikulum pondok pesantren
c. Sarana peribadatan dan pendidikan, seperti masjid, rumah kyai, dan pondok serta, sebagian
madrasah dan bengkel-bengkel kerja keterampilan.
Di samping itu, sistem pendidikan pesantren melestarikan ciri-ciri khas dalam interaksi sosialnya,
yaitu:
a. Adanya hubungan yang akrab antara santri dengan Kyai serta taat dan hormatnya para santri
kepada Kyai yang merupakan figur kharismatik dan menjadi contoh yang baik.
b. Semangat menolong diri sendiri dan mencintai diri sendiri dengan kewiraswastaannya;
c. Jiwa dan sikap tolong-menolong, kesetiakawanan, dan suasana kebersamaan dan persaudaraan
sangat mewarnai pergaulan di pesantren;
d. Disiplin waktu dalam melaksanakan pendidikan dan beribadah;
e. Hidup hemat dan sederhana;
f. Berani menderita untuk mencapai suatu tujuan, seperti tirakat, shalat tahajud diwaktu malam,
i’tikaf di masjid untuk merenungkan kebesaran dan kesucian Allah SWT) Merintis sikap jujur
dalam setiap ucapan dan perbuatan.

3. Pengembangan Progam Pesantren Terpadu

Ketika arus global sudah merambah masyarakat secara menyeluruh, pendidikan pesantren
dituntut menjadi semakin terstruktur dan kurikulum pesantren menjadi lebih tetap, sehingga saat ini
banyak pesantren selain kurikulum agama, sekarang ini kebanyakan pesantren juga menawarkan mata
pelajaran umum. Bahkan, banyak pesantren sekarang melaksanakan kurikulum Depdiknas. Sekolah-
sekolah Islam yang melaksanakan kurikulum Depdiknas ini kebanyakan di Madrasah.
Dalam pengembangan program pendidikan di pesantren ada hal-hal yang harus diperhatikan oleh
pengelola pesantren, yaitu, munculnya sekolah-sekolah terpadu (mulai tingkat dasar hingga menengah);
dan penyelenggaraan sekolah bermutu yang sering disebut dengan boarding school. Nama lain dari
istilah boarding school adalah sekolah berasrama. Para murid mengikuti pendidikan reguler dari pagi
hingga siang di sekolah, kemudian dilanjutkan dengan pendidikan agama atau pendidikan nilai-nilai
khusus di malam hari. Selama 24 jam anak didik berada di bawah didikan dan pengawasan para ustadz
pembimbing.
Di lingkungan sekolah ini mereka dipacu untuk menguasai ilmu dan teknologi secara intensif.
Selama di lingkungan asrama mereka ditempa untuk menerapkan ajaran agama atau nilai-nilai khusus
tadi, tak lupa mengekspresikan rasa seni dan ketrampilan hidup di hari libur. Hari-hari mereka adalah
hari-hari berinteraksi dengan teman sebaya dan para ustadz. Rutinitas kegiatan dari pagi hari hingga
malam sampai ketemu pagi lagi, mereka menghadapi makhluk hidup yang sama, orang yang sama,
lingkungan yang sama, dinamika dan romantika yang seperti itu pula. Dalam khazanah pendidikan kita,
sekolah berasrama adalah model pendidikan yang cukup tua sebagaimana pesantren.
Pengembangan progam pendidikan meliputi program jangka pendek. Tahun ke-1 sampai ke-3,
menengah. Tahun ke-4 sampai ke-6, dan jangka panjang. Tahun ke-7 sampai ke-10. dalam
implementasinya program tersebut bisa di jelaskan sebagai berikut (Burhanuddun, 1994):
a. Kurikulum
1) Jangka pendek. Yaitu, Penerapan kurikulum dengan prosentase yang proposional, yaitu 80 persen
disusun oleh pusat, dan 20 persen di susun di tingkat daerah atau disesuaikan dengan muatan
lokal.
2) Jangka menengah. Yaitu pesantren atau sekolah memiliki kelenturan dalam menentukan waktu
serta pesantren bisa merubah beberapa pelajaran yang diangap penting
3) Jangka panjang. Yaitu pembentukan standart inti kompetisi untuk menjaga kualitas pendidikan
dan menngfokuskan semua pelajaran untuk menjaga kesatuan bangsa dan negara
b. Sarana dan prasarana
Pengadaan sarana dan prasarana ditentukan dengan kebutuhan yang ada di pesantren atas
kerjasama antara pesantren dan pemerintah, baik pusat maupun daerah.
c. Tenaga pendidikan
1) Kepala sekolah atau pengelola pesantre pelatihan-pelatihan tentang prinsip-prinsip kependidikan
secara umum secara bertahap. Memiliki keluasan dalam pengelolaan manajemen pesantren.
Memiliki kemandirian serta kebijakan yang luas, jauh dari intervensi
2) Ustadz atau asatid seleksi yang disesuaikan dengan kemampuan ustadz yang mengikuti standart
pemerintah dan pesantren pengangkatan dan penempatan penghargaan
3) Pengawas atau komite pesantren pelatihan-pelatihan tentang prinsip-prinsip pendidikan dan
kepengawasa menumbuhkan profesionalitas pengawasan.
d. Pengembangan Anggaran
Dalam implementasi angaran pesantren hal yang paling mendasar adalah memperhatikan
ketentuan sebagai berikut (Haedari, Amin, 2004):
1) Dana pembangunan, pengeluaran dana ini diatur dan digunakan untuk pembangunan dan
pembenahan sarana fisik lembaga, dana ini di sesuaikan dengan kebutuhan dan jumlah ustadz
serta peserta didik yang ada di lembaga pendidikan tersebut.
2) Dana rutin, dana rutin adalah dana yang digunakan untuk biaya operasional satu tahun anggaran.
Dana rutin pengunaanya meliputi pelaksanaan progam belajar mengajar, pembayaran gaji ustadz
maupun personil, serta pemeliharaan dan perawatan sarana prasarana lembaga pendidikan.
Dari kedua prinsip ini dapat di jabarkan sebagai berikut:
1) Membangun unit belajar/ruang kelas baru berikut sarana-prasarananya termasuk sarana olahraga,
yang ditempuh baik melalui anggaran pemerintah (pusat dan daerah) maupun melalui
pemberdayaan pertisipasi masyarakat dengan pengelolaan yang efisien dan kontrol yang semakin
ketat.
2) Mengembangkan model-model alternatif layanan pendidikan yang efisien dan relevan bagi
kelompok masyarakat yang kurang beruntung, baik kerena persoalan ketidakmampuan biaya
maupun persoalan konflik sosial politik, untuk selanjutya dioperasionalkan oleh pengelola
pendidikan daerah.
3) Memberikan beasiswa kepada keluarga miskin dan kepada siswa yang berprestasi dan bagi siswa
yang secara sosial ekonomis tidak beruntung, yang bersumber dari pemerintah dan/atau
masyarakat dengan memperhatikan prinsip pemberdayaan, kesempatan, pemerataan dan
keadilan.
4) Berkerjasama dengan lembaga-lembaga lain. Baik negeri maupun swasta dalam bentuk imbal
swadaya, sehingga lebih berdaya dalam mengelola pendidikan serta memacu partisipasi yang
semakin meluas dari instansi lainnya.

D. KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan di atas, dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:


1. Pesantren memiliki inovasi yang menjadi penopang keberlangsunan eksistensinya di tengah
masyarakat;
2. Dalam upaya pengembangan pesantren, inovasi yang dapat dilakukan adalah pesantren terpadu
dengan pengembangan pada aspek kurikulum, tenaga pendidikan, sarana prasarana dan pembiayaan.

REFERENSI

Burhanuddun. 1994. Analisis Administrasi Manajaemen Kepemimpinan Pendidikan. Jakarta: Bumi


Aksara.
Depag RI. 1982. Pedoman Pembinaan Pondok Pesantren. Jakarta: Pelita.
Depdiknas. 2003. Kurikulum Berbasis Kompetensi Bahasa Inggris. Jakarta: Depdiknas
Farchan, H., Syarifuddin. 2005. Titik Tengkar Pesantren, Resolusi Konflik Masyarakat Pesantren.
Yogyakarta: Pilar Religia
Haedari, A. 2004. Pesantren dan Madrasah Diniyah: Peningkatan Mutu Terpadu. Jakarta: Diva
Pustaka.
Halim, A,. Suhartini, Rr,. & Choirul Arif. (eds.), 2005. Manajemen Pesantren. Yogyakarta: LkiS:
Pustaka Pesantren.
Madjid, N. 1997. Bilik-bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan. Jakarta: Paramadina.
Miarso, Y. 2011. Menyemai Benih Teknologi Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Mujahidin, E. 2005. Pesantren Kilat: Alternatif Pendidikan Agama Di Luar Sekolah. Jakarta: Pustaka
al-Kautsar.
Mujahidin, E. and Nasution,S.A. 2016. Profiles of Self-Reliance of Elementary School Students In
Indonesia. Advances in Economics, Business and Management Research: 14, 404-405.
Mujahidin, E., Ruhenda and Syamsuddin Ali Nasution. 2018. Analysis Of Effective Self-Reliance
Teaching Model Using Visual Storytelling For Elementary Students. Unnes Science Education
Journal:7 (2): 129-138
Mujahidin, E. and Pancawati,D.A. 2018. Pengaruh Materi Cerita Terhadap Perkembangan Kepribadian
Anak. Edukasi Islami: Jurnal Pendidikan Islam: 7(02): 211-228. Doi: 10.30868/ei.v7ie2.276
Mujahidin, E. and Zamroji, I. 2018. Kaderisasi Ulama dalam Perspektif KH. Ahmad Sanusi. Jurnal
Penamas: 31 (1): 167-182
Rohim, A., Mujahidin, E., Saefuddin,D., Husaini, A. 2017. At-Tarbiyah Al-Qiyadiyyah Al-Islamiyah
Fi Al-Ma‘Ahid Al-Islamiyyah Bi Indonesia Wifqa Manzhari Thariq As-Suwaidan. El-Harakah:
19 (2), 259-280. DOI: http://dx.doi.org/10.18860/el.v19i2.4232
Suharsimi. 2003. Metodologi Penelitian Suatu Pendekatan Praktis, Jakarta: Rineka Cipta.
Tholkhah, I., Barizi, A. 2004. Membuka Jendela Pendidikan, Mengurai Akar Tradisi dan Integrasi
Keilmuan Pendidikan Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

Anda mungkin juga menyukai