Anda di halaman 1dari 55

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dewasa ini di Indonesia telah banyak konflik yang terjadi di daerah yang

dihuni oleh masyarakat lokal dengan masyarakat pendatang. Beberapa contoh

konflik yang terjadi antara masyarakat lokal dengan masyarakat pendatang di

Indonesia adalah konflik yang ada di Ambon, Poso, Sampit, dan Aceh. Konflik-

konflik tersebut menunjukkan bahwa secara umum daerah yang dihuni oleh

masyarakat lokal dan masyarakat pendatang akan rawan terhadap terjadinya

konflik.

Konflik akan selalu berpotensi untuk terjadi dalam kehidupan masyarakat.

Konflik adalah pertentangan atau pertikaian karena adanya perbedaan dalam

kebutuhan, nilai, dan motivasi pelaku yang terlibat di dalamnya (Liliweri,

2005:249). Adanya karakteristik beragam yang dimiliki manusia memicu adanya

perbedaan antara satu dengan yang lainnya. Keberagaman itu berupa budaya,

etnis, bangsa, bahasa, agama dan kepercayaan. Tak selamanya keragaman tersebut

dapat berjalan beriringan, sehingga adakalanya tejadi gesekan-gesekan kecil

maupun besar yang apabila tidak diselesaikan akan menimbulkan konflik.

Konflik antara masyarakat lokal dengan masyarakat pendatang pernah

terjadi di Tarakan Kalimatan Utara pada September 2010. Konflik tersebut terjadi

antara dua etnis yaitu etnis Dayak Tidung sebagai masyarakat pribumi Tarakan

dengan masyarakat etnis Bugis sebagai masyarakat pendatang. Pada dasarnya

penduduk Tarakan itu sendiri terdiri dari dua unsur masyarakat yaitu masyarakat

1
2

pribumi dan masyarakat pendatang yang mana terdapat perbedaan pada dua etnis

tersebut. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Departemen Pendidikan

Nasional, 2008:1102), penduduk pribumi ialah penduduk asli (warga negara

penduduk asli suatu negara). Jika kata pribumi dilekatkan pada masyarakat

pribumi Tarakan maka dapat diartikan sebagai masyarakat asli Tarakan yang

terlahir dari keturunan darah Tarakan dan tinggal di wilayah Tarakan sejak nenek

moyangnya, biasa juga disebut masyarakat lokal. Sedangkan masyarakat

pendatang adalah masyarakat yang datang kemudian menetap di daerah Tarakan.

Kota Tarakan memang didominasi oleh pendatang dari pada masyarakat

lokal. Berdasarkan Sensus Penduduk yang dilakukan Badan Pusat Statistik Kota

Tarakan tahun 2010 dari 193.370 jiwa penduduk Tarakan tercatat 51.64 persen

atau 99.847 jiwa diantaranya merupakan warga pendatang (Badan Pusat Statistik

Kota Tarakan, 2010). Menurut kepala Badan Pusat Statistik Kota Tarakan Hamdi

Hasan masyarakat pendatang tersebut berasal dari Pulau Jawa dan Pulau Sulawesi

(JNN.com). Masyarakat pendatang yang tinggal dan menetap di Tarakan berasal

dari berbagai etnis, diantaranya yaitu etnis Jawa, Bugis, Madura, Batak, Sunda,

Makassar, Toraja, dan lain-lain. Namun dari etnis-etnis tersebut, etnis Bugis yang

paling dominan. Letak pulau Kalimantan yang tidak terlalu jauh dari Pulau

Sulawesi yang menjadi salah satu alasannya.

Banyaknya pendatang di Kota Tarakan akhirnya perlahan-lahan

menyingkirkan penduduk lokal Kota Tarakan dan menyababkan Etnis Dayak

Tidung menjadi kaum minoritas di daerah asalnya. Keadaan ini menyebabkan

adanya kecemburuan sosial dan kesenjangan antara etnis lokal dengan etnis

pendatang seperti etnis Bugis, etnis Jawa, dan lain-lain. Adanya kecemburuan
3

sosial yang tinggi antara penduduk lokal terhadap penduduk pendatang serta

buruknya interaksi sosial di antara masyarakat lokal dan masyarakat pendatang

pada akhirnya akan menimbulkan rasa iri dan dendam yang sewaktu-waktu bisa

berubah menjadi konflik sosial yang akan merugikan banyak pihak.

Konflik antar etnis Dayak Tidung dengan etnis Bugis di Kota Tarakan

terjadi pada September 2010 bermula dari konflik antar individu. Hal tersebut

mengakibatkan seorang warga yang berasal dari etnis Dayak Tidung tewas akibat

terkena tusukan senjata tajam. Peristiwa ini menimbulkan kemarahan dan

kegeraman etnis Dayak Tidung terhadap etnis Bugis dan akhirnya konflik antar

etnis tidak dapat dihindari.

Konflik di Tarakan pada September 2010 meluas hingga menjadi konflik

terbuka antar etnis. Hal ini sempat membuat roda perekonomian di Kota Tarakan

lumpuh total. Pertokoan, pusat perbelanjaan, sekolah, bahkan rumah-rumah juga

ditutup. Ribuan penduduk Tarakan diungsikan ketempat pengungsian akibat dari

konflik tersebut. Adapun titik pengungsian yang diberlakukan pemerintah kota

yaitu Yonif 613 Raja Alam (Markas TNI AD), Bandara Juwata dan Lanud, Kompi

C Yonif 613 Raja Alam, serta Mapolres Kota Tarakan yang menampung lebih

dari 1.000 pengungsi korban konflik. Catatan Polda Kaltim, jumlah pengungsi

mencapai 40.170 jiwa, bahkan ada ribuan warga Kota Tarakan yang diungsikan

keluar pulau Kalimantan seperti ke pulau Nunukan (SamarindaPos.co.id).

Terkait dengan konflik etnis Dayak Tidung dengan etnis pendatang pada

September 2010 upaya perdamaian telah dilakukan oleh pihak-pihak terkait yaitu

antara pihak etnis Dayak Tidung dengan etnis Bugis. Hasil dari kesepakatan yaitu

kedua belah pihak berdamai dan masyarakat diminta memahami bahwa peristiwa
4

di Kota Tarakan adalah kriminal murni. Imbas dari kesepakatan damai itu suasana

Kota Tarakan kembali normal. Masyarakat yang mengungsi akhirnya dipulangkan

kembali ke tempat tinggal mereka. Lalu lintas jalan raya kembali ramai, pusat

pertokoan mulai kembali di buka, serta sekolah yang sempat diliburkan aktif

kembali.

Usai konflik antara dua etnis tersebut kehidupan masyarakat Tarakan

kembali seperti semula. Etnis Dayak Tidung dan Bugis di Kota Tarakan kembali

saling hidup berdampingan, melupakan konflik yang pernah terjadi dan

melakukan aktifitas seperti biasanya. Ingatan mengenai konflik yang pernah

terjadi tentu saja tidak dapat dilupakan, namun kini masyarakat fokus untuk

menjaga perdamaian agar konflik yang pernah terjadi tidak terulang kembali.

Kelurahan Selumit merupakan kampung etnis Dayak Tidung di Kota

Tarakan. Selain itu, diketahui bahwa di Kelurahan Selumit ini banyak pula

terdapat etnis Bugis yang menetap dan kedua etnis tersebut hidup berdampingan

hingga kini. Oleh karena itu, peneliti tertarik melakukan kajian atas dinamika

kehidupan sosial masyarakat di Kelurahan Selumit pasca konflik Tarakan

khususnya antara etnis Dayak Tidung dengan etnis Bugis. Hal ini dikarenakan

kajian atas dinamika kehidupan sosial masyarakat etnis Dayak Tidung dan Bugis

pasca konflik di daerah tersebut belum pernah dilakukan.

Penelitian dinamika kehidupan sosial masyarakat pasca konflik terkait

dengan Kurukulum 2013 pada tingkat SMP/MTs mata pelajaran Ilmu

Pengetahuan Sosial juga mengkaji materi perubahan sosial sebagai dampak dari

letak geostrategis Indonesia dalam pembelajarannya. Materi tersebut dijabarkan

dalam KI 3 KD 3.1 Kelas VIII semester 1 yaitu memahami aspek keruangan dan
5

konektivitas antar ruang dan waktu dalam lingkup nasional serta perubahan dan

keberlanjutan kehidupan manusia (ekonomi, budaya, pendidikan, dan politik).

Selanjutnya, mengacu pada kurikulum Program Studi Pendidikan Ilmu

Pengetahuan Sosial Universitas Negeri Malang, materi terkait dengan dinamika

kehidupan sosial terdapat dalam mata kuliah Perubahan Sosial pada semester 5.

Sebelum melakukan penelitian tentang dinamika kehidupan sosial

masyarakat etnis Dayak Tidung dan Bugis Kelurahan Selumit pasca konflik 2010

Tarakan, peneliti melakukan kajian penelitian serupa yang dijadikan sebagai

landasan atas penelitian yang dilakukan. Pertama adalah Penelitian yang

dilakukan oleh Yogaswara (2012) yang berjudul Meneruskan Hidup Setelah

Kerusuhan: Ingatan Kolektif dan Identitas Etnis Madura Pasca Kekerasan antar

Etnis di Kota Sampit, Kalimantan Tengah. Peneliti secara khusus meneliti orang-

orang Madura yang kembali ke Kota Sampit pasca kerusuhan Sampit pada

Februari 2001. Penelitian ini menunjukkan bahwa berbagai peristiwa pada masa

lalu membentuk mental image yang dijadikan referensi untuk kerangka bertindak

pada masa sekarang. Orang-orang Madura menggunakan referensi kejadian pada

masa lalu untuk memulai kembali kehidupannya di Kota Sampit. Hal tersebut

dilakukan adanya sikap saling menghargai dan toleransi ketika tinggal di Sampit

agar konflik tidak terjadi kembali.

Selanjutnya, penelitian kedua yang dilakukan oleh Nugroho (2012) yang

berjudul Dinamika Kehidupan Sosial Masyarakat Temanggung Pasca Kerusuhan.

Peneliti memaparkan bahwa kehidupan sosial masyarakat di Kabupaten

Temanggung pasca kerusuhan Temanggung adalah munculnya kecemasan dari

para warga di Kabupaten Temanggung dan meretakkan hubungan baik yang


6

sudah terjaga selama ini. Dengan adanya kerusuhan tersebut diketahui juga bahwa

masih ada bibit-bibit sifat intoleran dari sebagian kecil warga terhadap orang lain

yang berbeda agama dan hal tersebut sangatlah mengecewakan warga masyarakat

di Kabupaten Temanggung. Meskipun begitu interaksi antar warga masyarakat di

Kabupaten Temanggung pasca kerusuhan tetaplah terjaga dan berjalan dengan

baik, adanya sikap saling toleransi, bergotong royong, saling membantu, saling

menghormati dan menghargai antar warga yang berbeda agama dalam kehidupan

sehari-hari.

Penelitian ketiga, yaitu oleh Rahwono (2014) Konflik dan Rekonsiliasi

Konflik di Mesuji (Studi pada Masyarakat Pribumi dan Pendatang di Kecamatan

Mesuji, Kabupaten Oki, Sumatera Selatan). Hasil dari penelitian adalah bahwa

konflik etnis yang terjadi antara Desa Pematang Panggang dan Desa Surya Adi

yaitu antara etnis pribumi dengan etnis pendatang ikut melibatkan desa-desa lain

di Kecamatan Mesuji yang sangat multi-etnik. Akibat konflik antar etnik tersebut,

konflik hingga kini masih sering terjadi dan mengakar dalam di kehidupam

masyarakat.

Berdasarkan pada ketiga penelitian tadi, fokus penelitian ini terletak pada

dinamika kehidupan sosial yang terjadi pada etnis Dayak Tidung dan Bugis pasca

konflik yang terjadi di Tarakan, bentuk-bentuk interaksi sosialnya, serta upaya

dari kedua etnis tersebut untuk menjaga perdamaian pasca konflik. Berdasarkan

uraian latar belakang tersebut peneliti mengangkat judul “Dinamika Kehidupan

Sosial masyarakat etnis Dayak Tidung dan Etnis Bugis di Kelurahan Selumit

pasca Konflik September 2010 Tarakan”.


7

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka peneliti menarik rumusan

masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana sejarah terjadinya konflik antar etnis Dayak Tidung dan Bugis

pada September 2010 di Tarakan?

2. Bagaimana dinamika kehidupan sosial masyarakat entis Dayak Tidung dan

Bugis pasca konflik September 2010 Tarakan?

3. Apasaja bentuk-bentuk interaksi sosial masyarakat etnis Dayak Tidung dan

Bugis di Kelurahan Selumit pasca konflik September 2010 di Tarakan?

4. Apa upaya yang dilakukan oleh masyarakat etnis Dayak Tidung dan etnis

Bugis di Kelurahan Selumit dalam menjaga perdamaian antar warga

masyarakat pasca konflik September 2010 Tarakan?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan permasalahan di atas dapat ditentukan tujuan dari

penelitian ini adalah:

1. Mendeskripsikan sejarah terjadinya konflik antar etnis Dayak Tidung dan

Bugis pada September 2010 di Tarakan.

2. Mendeskripsikan dinamika kehidupan sosial masyarakat etnis Dayak Tidung

dengan Bugis di Kelurahan Selumit pasca konflik September 2010 di Tarakan.

3. Mendeskripikan bentuk-bentuk interaksi sosial masyarakat etnis Dayak

Tidung dan Bugis di Kelurahan Selumit pasca konflik September 2010 di

Tarakan.
8

4. Mendeskripsikan upaya yang dilakukan oleh masyarakat etnis Dayak Tidung

dan etnis Bugis di Kelurahan Selumit dalam menjaga hubungan antar warga

masyarakat pasca konflik September 2010 Tarakan

D. Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara

teoritis maupun praktis.

1. Manfaat Teoritis

a. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat dijadikan acuan apabila akan

dilakukan penelitian lanjutan.

b. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan, penegtahuan

bagi para pembaca dan mahasiswa tentang dinamika kehidupan sosial

masyarakat etnis Dayak Tidung dan Bugis di Kelurahan Selumit pasca konflik

September 2010 Tarakan.

c. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan pedoman bagi warga di

Tarakan dalam menjaga hubungan antarwarga masyarakat untuk menghindari

konflik antar warga masyarakat khususnya dalam perbedaan etnis.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi Universitas Negeri Malang

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah koleksi bacaan dan

informasi sehingga dapat digunakan untuk sarana dalam menambah wawasan

yang luas.

b. Bagi Mahasiswa

Penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk referensi dan sumber

informasi mengenai dinamika kehidupan sosial masyarakat etnis Dayak Tidung


9

dan Bugis di Kelurahan Selumit pasca konflik 2010 Tarakan sehingga dapat

diteliti lebih jauh.

c. Bagi Peneliti

Penelitian ini dilaksanakan guna menyelesaikan studi dan mendapatkan

gelar Sarjana (S1) pada program studi Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial,

Fakultas Ilmu Sosial UM.

E. Ruang Lingkup Penelitian

1. Ruang Lingkup

Agar pembahasan rumusan masalah tidak menyimpang dari tujuan

penelitian, maka ruang lingkup ini meliputi:

a) Lingkup Spasial: Kecamatan Selumit, Kota Tarakan.

b) Lingkup Kajian: batasan masalah dalam penelitian ini adalah dinamika

kehidupan sosial masyarakat Etnis Dayak Tidung dan Bugis di Kelurahan

Selumit pasca konflik September 2010 Tarakan.


10

Tabel. 1.1 Ruang Lingkup Penelitian

No. Masalah Sub Masalah Sumber

1. Sejarah terjadinya - Penyebab utama terjadinya Setiadi dan Kolip,


konflik konflik. (2011:361), Kurniawan
- Upaya penyelesaian dan Syani (2014),
konflik. Nasikun (2002)

2. Interaksi yang terjadi - Bentuk-bentuk interksi Soekanto (2012),


antar masyarakat sosial yang terjadi pasca Abdulsyani (2012),
pasca konflik konflik Basrowi (2005),
Santosa (2006)

3. Dinamika kehidupan - Perubahan sosial yang Lumintang (2015),


sosial masyarakat terjadi antar etnis Dayak Simandjuntak, (2007),
etnis Dayak Tidung Tidung dan Bugis pasca Sztomka (2005),
dan Bugis Pasca konflik Martono (2014),
konflik Abdulsyani (2012)

4. Upaya masyarakat - Toleransi pada etnis Dayak Muldon dkk (2011),


etnis Dayak Tidung Tidung dan Bugis pasca Rapp dan Feitang
dan Bugis menjaga konflik. (2015), Tillman
kerukunan pasca (2004), Reese dan
konflik Zalewksi (2014),
Verkuyten dan
Yogeeswaran (2017),
Tilaar (1999), Hasyim
(1977), Forst
(2013:27), Abdullah
(2001)
Sumber: Dokumen Pribadi

F. Definisi Operasional

Beberapa istilah yang perlu dijelaskan dan ditegaskan dalam penelitian ini

adalah sebagai berikut:

1. Interaksi Sosial

Interaksi sosial adalah hubungan antara individu satu dengan individu

yang lain, individu satu dapat mempengaruhi individu yang lain atau sebaliknya,

jadi terdapat adanya hubungan yang saling timbal balik (Walgito, 2003:57).

Ahmadi (2004:100) mengatakan bahwa interaksi sosial dimaksudkan sebagai

pengaruh timbal balik antar individu dengan golongan di dalam usaha mereka
11

untuk memecahkan persoalan yang diharapkan dan dalam usaha mereka untuk

mencapai tujuannya.

2. Dinamika Kehidupan Sosial atau Perubahan Sosial

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Departemen Pendidikan

Nasional, 2008:329) dinamika sosial adalah gerak masyarakat secara terus-

menerus yang menimbulkan perubahan dalam tata kehidupan masyarakat.

Perubahan sosial menurut Lumintang (2015) adalah segala perubahan-perubahan

pada lembaga kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat, yang mempengaruhi

sistem sosialnya.

3. Etnis Dayak Tidung

Dayak Tidung merupakan etnis yang mendiami wilayah bagian utara

Kalimantan. Etnis ini juga terdapat di Sabah, Malaysia (Aminah, 2011:25).

Tidung sendiri berasal dari kata Tidong yang artinya di atas gunung (Biantoro,

2011:26). Namun berbeda dengan makna gunung pada umumnya seperti di

wilayah Jawa yang relatif masuk ke pedalaman, arti gunung di sini adalah

daratan lebih tinggi di sekitar laut atau biasa disebut pesisir pantai (Muthohar,

2015:12)

4. Etnis Bugis

Bugis merupakan salah satu etnis yang mendiami wilayah bagian Selatan

Pulau Sulawesi yang saat ini dikenal dengan Sulawesi Selatan. Asal usul orang

Bugis (To Ugi) pertama, orang Bugis berasal dari India Belakang seperti halnya

suku bangsa lain di Nusantara. Kedua, Orang Bugis merupakan salah satu

rumpun dari orang Austranesia yang tersebar di beberapa tempat di Asia

Tenggara (Pelras, 2006:1).


12

5. Konflik Sosial

Soekanto (2012:99) mengartikan konflik sosial sebagai pertentangan

antara anggota atau masyarakat yang bersifat menyeluruh di kehidupan. Lawang

(1994:53) mengatakan konflik sebagai perjuangan untuk memperoleh hal-hal

yang langka seperti nilai, status, kekuasaan, dan sebagainya dimana tujuan

mereka berkonflik itu tidak hanya untuk memperoleh keuntungan tetapi juga

untuk menundukkan pesaingnya.

6. Toleransi

Toleransi adalah sarana untuk mengatasi konflik sosial dari adanya

pandangan dan sikap yang bertentangan (Rapp dan Feitang, 2015:132).

Toleransi merupakan sikap saling menghargai melalui pengertian dengan

tujuan kedamaian (Tillman, 2004:95).


13

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Interaksi Sosial

Manusia dalam kehidupan bermasyarakat pasti membutuhkan orang lain

untuk melakukan aktivitasnya. Oleh karena itu, manusia melakukan interaksi

dengan manusia lainnya. Karena interaksi sosial merupakan syarat utama

terjadinya aktivitas-aktivitas sosial (Soekanto, 2012:55). Interaksi sosial adalah

kunci dari semua kehidupan sosial oleh karena itu tanpa adanya interaksi sosial

tidak akan mungkin ada kehidupan bersama.

Interaksi sosial adalah hubungan antara individu satu dengan individu

yang lain, individu satu dapat mempengaruhi individu yang lain atau sebaliknya,

jadi terdapat adanya hubungan yang saling timbal balik (Walgito, 2003:57).

Selanjutnya, Ahmadi (2004:100) mengatakan bahwa interaksi sosial dimaksudkan

sebagai pengaruh timbal balik antar individu dengan golongan di dalam usaha

mereka untuk memecahkan persoalan yang diharapkan dan dalam usaha mereka

untuk mencapai tujuannya. Oleh karena itu, interksi sosial juga dapat diartikan

sebagai sebuah hubungan timbal balik antara individu-individu, maupun

kelompok manusia dalam kehidupan sehari-hari karena adanya tujuan bersama

yang ingin dicapai.

Interaksi sosial dalam kehidupan sehari-hari dapat ditemukan dalam setiap

pertemuan atau perjumpaan. Setiap interaksi sosial yang terjadi pada masyrakat

akan menimbulkan adanya hubungan timbal balik. Hal tersebut didasarkan dengan

adanya tindakan aksi dan tanggapan (reaksi) antara dua pihak tersebut.

13
14

Berdasarkan hal tersebut, ada dua syarat bagi terjadinya suatu interaksi sosial,

yakni terjadinya kontak sosial dan komunikasi (Narwoko dan Suyanto, 2007:16).

Kontak sosial dalam hal ini bersifat primer dan sekunder yakni kontak primer

terjadi apabila hubungan langsung bertemu dan kontak sekunder melalui perantara

atau tidak langsung (Soekanto, 2012:61). Tanpa adanya kontak sosial dan

komunikasi sosial baik antar individu-individu maupun kelompok interaksi sosial

mustahil akan terjadi.

Selain memiliki syarat agar interaksi sosial dapat terbentuk juga ada

faktor-faktor yang melatar belakangi terjadinya suatu interksi sosial. Menurut

Soekanto (2012:57) faktor yang mendasari adanya proses interaksi yaitu:

1. Imitasi

Faktor imitasi mempunyai peran yang sangat penting dalam proses

interaksi sosial. Salah satu segi positifnya adalah bahwa imitasi dapat mendorong

seseorang untuk mematuhi kaidah-kaidah dan nilai-nilai yang berlaku. Namun

demikian, imitasi mungkin pula mengakibatkan terjadinya hal-hal yang negatif

misalnya yang ditiru adalah tindakan-tindakan yang menyimpang. Selain itu,

imitasi juga melemahkan atau bahkan mematikan pengembangan daya kreasi

seseorang.

2. Sugesti

Faktor sugesti berlangsung apabila seseorang memberi suatu pandangan

atau sesuatu sikap yang berasal dari dirinya yang kemudian diterima oleh pihak

lain. Jadi proses ini sebenarnya hampir sama dengan imitasi, tetapi titik-tolaknya

berbeda. Berlangsungnya sugesti dapat terjadi karena pihak yang menerima

dilanda oleh emosi, yang menghambat daya berpikirnya secara rasional. Proses
15

sugesti mungkin saja terjadi apabila orang yang memberikan pandangan adalah

orang yang berwibawa atau mungkin karena sifatnya yang otoriter.

3. Identifikasi

Identifikasi sebenarnya kecenderungan-kecenderungan atau keinginan-

keinginan dalam diri seseorang untuk menjadi sama dengan pihak lain.

Identifikasi sifatnya lebih mendalam dari pada imitasi, karena kepribadian

seseorang dapat terbentuk atas dasar proses ini.

4. Simpati

Proses simpati sebenarnya merupakan suatu proses di mana seseorang

merasa tertarik pada pihak lain. Di dalam proses ini perasaan memegang peranan

yang sangat penting, walaupun dorongan utama pada simpati adalah keinginan

untuk memahami pihak lain dan untuk bekerja sama dengannya.

Adapun ciri-ciri interaksi sosial meliputi beberapa hal diantaranya

(Basrowi, 2005:138):

1. Adanya pelaku jumlah lebih dari satu orang,

2. Adanya komunikasi antarpelaku dengan menggunakan simbol-simbol,

3. Adanya dimensi waktu (masa lampau, masa kini, dan masa mendatang) yang

menentukan sifat aksi yang sedang berlangsung.

4. Ada tujuan-tujuan tertentu, terlepas dari sama atau tidaknya tujuan tersebut

dengan yang diperkirakan oleh pengamat.

Berdasarkan ciri-ciri di atas dapat diketahui bahwa dalam suatu interaksi

terdiri dari dua individu atau lebih. Komunikasi yang terjadi dapat berupa secara

langsung dan tidak langsung. Hubungan yang terjadi antarwarga masyarakat

berlangsung sepanjang waktu. Rentang waktu yang panjang serta banyaknya


16

warga yang terlibat dalam hubungan antarwarga melahirkan berbagai bentuk

interaksi sosial. Serta adanya tujuan yang ingin dicapai sehingga masyarakat

melakukan interaksi sosial.

Kehidupan sosial di mana pun dan kapan pun selalu diwarnai oleh dua

kecenderungan yang saling bertolak belakang. Satu sisi manusia berinteraksi

untuk saling bekerja sama, menghargai, menghormati, hidup rukun, dan

bergotong royong. Di sisi lain, manusia berinteraksi dalam bentuk pertikaian,

peperangan, tidak adanya rasa saling memiliki, dan lain-lain. Berdasarkan hal

tersebut interaksi memiliki dua bentuk yaitu berupa proses asosiatif dan

disasosiatif, bentuk tersebut antara lain (Soekanto, 2012:69-91):

a. Proses Asosiatif

1. Kerjasama (Cooperation)

Kerja sama adalah suatu bentuk proses sosial, di mana di dalamnya

terdapat aktivitas tertentu yang ditunjukan untuk menujuan bersama dengan saling

membantu dan saling memahami terhadap aktivitas masing-masing (Abdulsyani

2012:155). Hal ini menggambarkan penting dalam kerjasama yaitu karena orang

menyadari bahwa mereka mempunyai kepentingan-kepentingan yang sama

dengan orang lain. Sehubungan dengan pelaksanaa kerjasama. Thomson

(Soekanto, 2012:68) mengatakan ada lima bentuk kerjasama, diantaranya:

a) Kerukunan yang mencakup gotong-royong dan tolong menolong

b) Bargaining, yaitu pelaksanaan perjanjian mengenai pertukaran barang-barang

dan jasa-jasa antara dua organisasi atau lebih.

c) Ko-optasi (Co-optation), yakni suatu proses penerimaan unsur-unsur baru

dalam kepemimpinan atau pelaksanaan politik dalam suatu organisasi, sebagai


17

salah satu cara untuk menghindari terjadinya kegoncangan dalam stabilitas

organisasi yang bersangkutan.

d) Koalisi (Coalition), yakni kombinasi antara dua organisasi atau lebih yang

mempunyai tujuan-tujuan yang sama.

e) Joint-venture, yaitu kerja sama dalam pengusahaan proyek-proyek tertentu,

misalnya pembiran minyak, pertambangan batu bara, dan seterusnya.

2. Akomodasi

Akomodasi adalah keadaan hubungan antara kedua belah pihak yang

menunjukkan keseimbangan yang berhubungan dengan nilai dan norma-norma

sosial yang berlaku dalam masyarakat (Basrowi, 2005:146). Dalam hal ini

akomodasi dimaksudkan untuk diadakannya penyesuaian diri antar individu-

individu maupun kelompok dalam mengatasi ketegangan-ketegangan. Karena

menurut Soekanto (2012:69) akomodasi merupakan suatu cara yang digunakan

untuk menyelesaikan pertentangan tanpa menghancurkan pihak lawan, sehingga

lawan tidak kehilangan kepribadiannya.

3. Asimilasi

Asimilasi merupakan suatu proses sosial dalam taraf kelanjutan, yang

ditandai dengan adanya usaha-usaha mengurangi perbedaan-perbedaan yang

terdapat antara individu atau kelompok dan juga meliputi usaha-usaha untuk

mempertinggi kesatuan tindak, sikap, dan proses-proses mental dengan

memperhatikan kepentingan-kepentingan dan tujuan bersama (Santosa, 2006:30).

Secara singkat, proses asimilasi ditandai dengan pengembangan sikap-sikap yang

sama, walau kadangkala bersifat emosional, dengan tujuan untuk mencapai


18

kesatuan, atau paling sedikit mencapai integrasi dalam organisasi, pikiran, dan

tindakan.

b. Proses Disasosiatif

1. Persaingan (Competition)

Persaingan adalah proses sosial yang ditandai dengan adanya saling

berlomba atau bersaing antar individu atau antar kelompok tanpa menggunakan

ancaman atau kekerasan untuk mengejar suatu nilai tertentu supaya lebih maju,

lebih baik, atau lebih kuat (Soekanto, 2012:87). Dapat dilihat bahwa persaingan

ini merupakan usaha yang dilakukan namun secara kompetitif tanpa adanya suatu

kekerasan di dalamnya. Bentuk kegiatan persaingan menurut Basrowi (2005:146)

biasanya didorong oleh movitasi mendapatkan status sosial, mendapatkan jodoh,

mendapatkan kekuasaan, mendapatkan nama baik, dan lain-lain.

2. Kontravensi (Contravertion)

Kontravensi adalah suatu bentuk proses sosial yang berada di antara

persaingan dan konflik (Soekanto, 2012:88). Kontravensi ini ditandai oleh gejala-

gejala adanya ketidakpastian mengenai diri seseorang atau suatu rencana dan

perasaan tidak suka yang disembunyikan, kebencian, atau keragu-raguan terhadap

seseorang (Basrowi, 2005:152).

3. Pertentangan (Pertikaian atau Conflict)

Konflik adalah suatu proses sosial di mana orang perorangan atau kelompok

manusia berusaha untuk memenuhi tujuan dengan jalan menantang pihak lawan

yang disertai dengan ancaman atau kekerasan. Faktor-faktor penyebab terjadinya

konflik adalah:

a) Adanya perbedaan individu yang meliputi perbedaan pendirian dan perasaan.


19

b) Berprasangka buruk kepada pihak lain.

c) Individu kurang bisa mengendalikan emosi.

d) Adanya perbedaan kepentingan antara individu dan kelompok.

e) Persaingan yang sangat tajam sehingga kontrol sosial kurang berfungsi.

B. Dinamika Kehidupan Sosial

Manusia dalam kehidupan bermasyarakat pasti membutuhkan manusia

lainnya, oleh karena itu manusia berinteraksi. Proses interaksi sosial yang

dilakukan secara terus menerus mengakibatkan perubahan sosial dalam tata hidup

masyarakat. Perubahan sosial menurut Lumintang (2015) adalah segala

perubahan-perubahan pada lembaga kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat,

yang mempengaruhi sistem sosialnya. Unsur kemasyarakatan yang mengalami

perubahan adalah mengenai nilai-nilai sosial, norma-norma sosial, pola-pola

perikelakuan, organisasi sosial, lembaga kemasyarakatan stratifikasi sosial,

kekuasaan, tanggung jawab, kepemimpinan dan sebagainya (Abdulsyani,

2012:162)

Perubahan merupakan ciri khas dari kehidupan sosial masyarakat. Dalam

masyarakat modern perubahan itu sangat cepat, sedangkan dalam masyarakat

tradisional justru sangat lambat (Simandjuntak, 2007:1). Sifat terbuka terhadap

hal-hal baru yang menyebabkan masyarakat modern lebih cepat mengalami

perubahan dibandingkan masyarakat tradisional.

Berbicara tentang perubahan sosial maka dapat dilihat bahwa kehidupan

sosial masyarakat itu dinamis. Kehidupan masyarakat yang dinamis tersebut

membuat terjadinya suatu pergerakan dalam kehidupan masyarakat. Menurut

Kamus Besar Bahasa Indonesia (Departemen Pendidikan Nasional, 2008:329)


20

gerak masyarakat secara terus-menerus yang menimbulkan perubahan dalam tata

kehidupan masyarakat disebut dinamika sosial. Keterkaitan antara dinamika sosial

dengan perubahan sosial dikarenankan dinamika sosial ini terpusat pada proses

yang berlangsung dalam masyarakat (Sztomka, 2005:1). Dengan demikian proses-

proses pergerakan masyarakat yang terjadi menyebabkan adanya perubahan dalam

kehidupan sosial.

Koenig mengatakan bahwa perubahan-perubahan sosial merujuk pada

modifikasi-modifikasi yang terjadi dalam pola kehidupan manusia (Basrowi,

2005:155). Terjadinya perubahan dalam masyarakat, pada prinsipnya berasal dari

sifat manusia yang tidak pernah puas dan mudah bosan dengan keadaan yang

dialaminya. Perubahan sosial bukanlah sebuah proses yang terjadi dengan

sendirinya. Ada beberapa faktor yang menyebabkan perubahan sosial yakni faktor

dari luar (eksternal) dan dari dalam masyarakat itu sendiri (internal) (Abdulsyani,

2012:162).

Faktor penyebab perubahan sosial yang berasal dari luar masyarakat

(eksternal) menurut Martono (2014:18) antara lain:

1. Terjadinya bencana alam atau kondisi lingkungan fisik, kondisi ini terkadang

memaksa masyarakat suatu daerah untuk mengungsi meninggalkan tanah

kelahirannya.

2. Peperangan, peristiwa peperangan baik peperang saudara maupun perang

antarnegara dapat menyebabkan perubahan, karena pihak yang menang

biasanya akan dapat memaksa ideologi dan kebudayaannya kepada pihak

yang kalah.
21

3. Pengaruh kebudayaan masyarakat lain, adanya interaksi antara dua

kebudayaan yang berbeda akan menghasikan perubahan. Jika pengaruh suatu

kebudayaan dapat diterima tanpa paksaan, maka disebut demonstration effect.

Jika pengaruh suatu kebudayaan saling menolak, maka disebut kultural

animosity.

Faktor penyebab perubahan sosial yang berasal dari dalam masyarakat

sendiri (internal) menurut Soekanto (2009:275) adalah:

1. Bertambah dan Berkurangnya Penduduk

Pertambahan jumlah penduduk akan menyebabkan perubahan jumlah dan

persebaran wilayah pemukiman. Berkurangnya jumlah penduduk juga akan

menyebabkan perubahan sosial budaya. Abdulsyani (2012:164) mengatakan

bertambahnya penduduk pada suatu daerah dengan cepat, dapat mengakibatkan

perubahan pada struktur masyarakat terutama mengenai lembaga-lembaga

kemasyarakatannya. Sementara berkurangnya penduduk akibat perpindahan

daerah lain membuat terjadinya kekosongan pada daerah yang ditinggalkan.

2. Timbunan Kebudayaan atau Penemuan Baru

Timbunan kebudayaan merupakan faktor perubahan sosial yang penting.

Kebudayaan dalam kehidupan masyarakat senantiasa terjadi penimbunan, yaitu

suatu kebudayaan semakin lama semakin beragam dan bertambah secara

akumulatif. Bertimbunnya kebudayaan ini oleh karena adanya penemuan baru dari

anggota masyarakat pada umumnya. Rangkaian proses penemuan, pengembangan

dan persebaran suatu hasil kebudayaan baru tersebut, serta cara-cara unsur

kebudayaan baru tadi diterima, dipelajari dan akhirnya dipakai dalam masyarakat,

dinamakan sebagai innovation (inovasi) Abdulsyani (2012:164).


22

3. Pertentangan (Conflict)

Proses perubahan sosial dapat terjadi sebagai akibat adanya koflik sosial

dalam masyarakat. Konflik sosial dapat terjadi manakala ada perbedaan

kepentingan atau terjadi ketimpangan sosial. Pada saat masyarakat dalam keadaan

konflik, dapat timbul kekecewaan dan keresahan sosial, maka pada saat itu

individu-individu sangat mudah terpengaruh terhadap hal-hal baru (Abdulsyani,

2012:164).

4. Terjadinya Pemberontakan atau Revolusi

Faktor ini berkaitan erat dengan faktor konflik sosial. Terjadinya

pemberontakan tentu saja akan melahirkan berbagai perubahan, pihak

pemberontak akan memaksa tuntutannya, lumpuhnnya kegiatan ekonomi,

pergantian kekuasaan dan sebagainya.

C. Etnis Dayak Tidung

Dayak Tidung merupakan etnis yang mendiami wilayah bagian utara

Kalimantan. Etnis ini berasal dari Sabah, Malaysia (Aminah, 2011:25).

Kalimantan Utara yang berbatasan langsung dengan Malaysia membuat etnis

Dayak Tidung terdapat di Indonesia maupun Malaysia. Keberadaan Dayak Tidung

di Indonesia wilayahnya meliputi Kota Tarakan, Kabupaten Tana Tidung,

Kabupaten Nunukan, Kabupaten Bulungan, dan Kabupaten Berau Kalimantan.

Seiring dengan lajunya modernisasi menyebabkan etnis Dayak Tidung

mudah untuk dipengaruhi oleh budaya luar. Hal tersebut, turut didukung oleh

kenyataan bahwa sebagian besar tempat tinggal mereka telah menjadi daerah

transmigrasi (Biantoro, 2011:24). Etnis Dayak Tidung menjadi banyak bergaul

dengan berbagai etnis lain, seperti etnis Bugis, Banjar, Jawa, dan etnis lainnya.
23

Oleh karena pergaulan itu, Etnis Dayak Tidung banyak yang menguasai bahasa-

bahasa etnis lain dan membuat terjadinya peminjaman kata-kata daerah lain yang

terserap ke dalam bahasa mereka.

Etnis Dayak Tidung menganut Agama Islam sekitar abad ke-18 yang

dibawa ke wilayah mereka oleh pedagang dari Sulawesi. Bersamaan dengan

masuknya agama Islam, ikut pula masuk tradisi tulisan Arab Melayu membuat

Etnis Dayak Tidung identik dengan tradisi Melayu. Meskipun mereka beragama

Islam, ada beberapa yang masih menganut kepercayaan pada roh-roh atau

animisme. Dalam rumpun Tidung sendiri juga diakui ada kelompok-kelompok

Dayak Tidung yang tidak memeluk agama Islam (Muthohar, 2015:157). Namun,

seiring perkembangan waktu serta kesehariannya dalam mejalani syariat islam,

pelan-pelan mereka tidak dianggap lagi sebagai etnis Dayak. Keberadaan mereka

dikategorikan suku yang berbudaya Melayu, seperti etnis Banjar, Kutai dan Pasir

(Aminah, 2011:25).

Ada beberapa anggapan tentang etnis Dayak Tidung. Beberapa kalangan

menganggap Dayak Tidung tidak dianggap sebagai etnis Dayak karena telah

beragama islam dan dikategorikan sebagai etnis yang berbudaya Melayu

(Biantoro, 2011:24). Akan tetapi ada beberapa kalangan berpendapat bahwa

Dayak Tidung tetap masuk ke dalam kelompok etnis Dayak. Hal ini dikarenakan

suku Dayak Tidung masih berkerabat dengan suku Dayak rumpun Murut yaitu,

etnis Dayak yang ada di Sabah, Malaysia. Seperti yang diungkapkan King

(1993:57) bahwa:

“There are also groups in eastern Borneo from the Bulungan


river northwards to Cowie Harbour, and concentrated in the
Sembakung and Sebuku rivers whoare called “Tidong‟ (Dayak
Tidung). Some of these have been identified as linguistically close
24

to Sabah Murut, although the downriver Tidong have been


generally Islamized. In East Kalimantan, there are longhouse
dwelling people who speak Tidong-related languages and are
called “Bulusu”.

Seperti yang telah diungkapkan King di atas dapat diketahui bahwa bahasa Dayak

Tidung memiliki kesamaan bahasa dengan etnis Kalimantan lainnya seperti Dayak

rumpun Murut. Senada dengan hal tersebut Muthohar (2015:6) mengatakan

bahwa Dayak Tidung merupakan sub Dayak Rumpun Murut yang banyak

mendiami bagian utara Kalimantan. Berdasarkan hal tersebut dapat diketahui

bahwa Dayak Tidung merupakan sub dari etnis Dayak namun kini telah

berbudaya melayu dan memeluk agama Islam.

Pengelompokan masyarakat Dayak Tidung berdasarkan kedekatan bahasa,

adat istiadat, sistem kepercayaan, serta sistem nilai dan norma yang berlaku.

Bahasa Dayak Tidung mempunyai beberapa dialek dan bahkan juga mempunyai

subdialek. Terdapat empat dialek, yaitu Dayak Tidung Tarakan, Bulungan,

Nunukan dan Sembakung (Biantoro, 2011:26). Secara garis besar, bahasa Dayak

Tidung dapat dibedakan menjadi dua dialek besar, yaitu dialek Dayak Tidung

Sesayap dan dialek Dayak Tidung Sembakung. Dialek Dayak Tidung Sesayap

terdapat di sepanjang sungai sesayap dan pulau-pulau di muaranya seperti Pulau

Tarakan, Pulau Bunyu dan pulau-pulau di Nunukan sedangkan dialek Sembakung

terdapat di sungai Sembakung sebelah utara sungai sesayap.

Tidung sendiri berasal dari kata Tidong yang artinya di atas gunung

(Biantoro, 2011:26). Namun berbeda dengan makna gunung pada umumnya

seperti di wilayah Jawa yang relatif masuk ke pedalaman, arti gunung di sini

adalah daratan lebih tinggi di sekitar laut atau biasa disebut pesisir pantai

(Muthohar, 2015:12). Seperti halnya keberadaan etnis Dayak Tidung di


25

Kalimantan yang salah satunya di Kota Tarakan yang merupakan wilayah pesisir,

mereka menetap dan tinggal di daerah tersebut.

D. Etnis Bugis

Bugis merupakan salah satu etnis yang mendiami wilayah bagian Selatan

Pulau Sulawesi yang saat ini dikenal dengan Sulawesi Selatan. Menurut

Suryadinata dalam Abdullah dkk (2009:234) Bugis merupakan etnis terbesar

dengan presentase 41,90% dari jumlah penduduk Sulawesi Selatan. Berdasarkan

data tersebut dapat terlihat bahwa keberadaan etnis Bugis di Sulawesi Selatan

memiliki jumlah yang banyak.

Terdapat dua pendapat utama mengenai asal usul orang Bugis (To Ugi)

(Abdullah, dkk, 2009:235). Pertama, orang Bugis berasal dari India Belakang

seperti halnya suku bangsa lain di Nusantara. Kedua, Orang Bugis merupakan

salah satu rumpun dari orang Austranesia yang tersebar di beberapa tempat di

Asia Tenggara (Pelras, 2006:1). Meskipun terdapat perbedaan terdapat pendapat

diatas, hal tesebut setidaknya memberikan gambaran mengenai asal-usul orang

Bugis.

Etnis Bugis menganut agama Islam. Sebagai etnis yang mayoritas

beragama Islam dengan tingkat keberagamaan yang tergolong tinggi, tidak

menjadikan etnis tersebut mencampakkan nilai-nilai budaya yang selama ini

diwariskan secara turun temurun (Rusli dan Rakhmawati, 2013:22). Orang Bugis

loyal terdahap adat yang diwarisi dari para leluhur. Penghargaan terhadap adat

dapat dilihat pada praktik Islam yang sering di campur adukkan dengan praktik

adat (Abdullah dkk, 2009:243). Hal ini membuat etnis Bugis dikenal sebagai etnis
26

yang kental akan adat istiadatnya sehingga membuat antara adat dan Islam sangat

sulit dipisahkan dalam praktik keberagamaan yang dilakukan.

Seiring perkembangan zaman dan budaya rantau (sompe’) yang

dimilikinya, etnis ini dapat ditemui di berbagai tempat di Indonesia bahkan

sampai di beberapa negara tetangga (Rusli dan Rakhmawati, 2013:22). Mengingat

penyebaran orang Bugis ke beberapa wilayah tersebut membuat mereka di

identikkan dengan pelaut ulung. Di berbagai wilayah Nusantara, orang Bugis

ditemukan dalam berbagai bentuk aktivitas. Mereka sibuk dengan aktivitas

pelayaran, perdagangan, pertanian, dan berbagai pekerjaan lain (Abdullah dkk,

2009:236). Berdasarkan hal tersebut maka tak heran bahwa etnis Bugis juga

banyak terdapat di wilayah pulau Kalimantan salah satunya yaitu di Kota Tarakan.

E. Konflik Sosial

1. Pengertian Konflik

Kehidupan masyarakat akan mengalami perubahan akibat terjadinya

konflik. Konflik dapat diartikan sebagai suatu perselisihan, percekcokan dan

pertentangan. Soekanto (2012:99) mengartikan konflik sosial sebagai

pertentangan antara anggota atau masyarakat yang bersifat menyeluruh di

kehidupan. Selanjutnya Lawang (1994:53) mengatakan konflik sebagai

perjuangan untuk memperoleh hal-hal yang langka seperti nilai, status, kekuasaan,

dan sebagainya dimana tujuan mereka berkonflik itu tidak hanya untuk

memperoleh keuntungan tetapi juga untuk menundukkan pesaingnya. Berdasarkan

hal tersebut dapat disimpulkan bahwa konflik adalah percekcokan, perselisihan,

dan pertentangan antar anggota atau masyarakat dengan tujuan untuk mencapai

sesuatu yang diinginkan.


27

Konflik terjadi ketika tidak didapatkannya kesepakatan antar pihak. Pruitt

dan Rubin (2004:27) mengatakan ketika suatu konflik terjadi, maka konflik akan

semakin mendalam bila aspirasi antara pihak yang berkonflik bersifat kaku dan

menetap. Dengan tidak didapatkannya kesepakatan atau kesepemahaman akan

membuat konflik semakin menjadi besar dan akan berlangsung terus menerus.

2. Sebab-sebab Terjadi Konflik

Akar dari timbulnya konflik yaitu adanya hubungan sosial, ekonomi,

politik yang akarnya adalah perebutan atas sumber-sumber kepemilikan, status

sosial dan kekuasaan yang jumlah ketersediaanya sangat terbatas dengan

pembagian yang tidak merata di masyarakat (Setiadi dan Kolip, 2011:361).

Adanya kesamaan keinginan atas sumber-sumber kepemilikan, status sosial dan

kekuasaan dengan jumlah yang terbatas dapat menimbulkan kompetisi atau

perebutan pencapaian keinginan masing-masing. Dengan demikian kompetisi atau

perebutan inilah yang menyebabkan konflik dapat terjadi.

Penyebab konflik dibedakan menjadi dua (Setiadi dan Kolip, 2011:361)

yaitu:

a. Kemajemukan horizontal, yang artinya adalah struktur yang majemuk secara

kultural seperti perbedaan suku bangsa, agama, ras, dan majemuk sosial

dalam arti perbedaan pekerjaan dan profesi. Artinya dengan adanya

keberagaman dalam kultur dan sosial masyarakat menjadi salah satu faktor

penyebab munculnya konflik sosial.

b. Kemajemukan vertikal, yang artinya struktur masyarakat yang terpolarisasi

berdasarkan kekayaan, pendidikan, dan kekusasaan. Ketidakmerataan atas


28

kekayaan, pendidikan dan kekuasaan yang ada dalam masyarakat tersebut

merupakan benih subur bagi timbulnya konflik sosial.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa penyebab terjadinya konflik karena

adanya perbedaan ciri-ciri oleh individu yang dibawa dalam suatu interaksi.

Perbedaan tersebut berupa perbedaan atau kemajemukan horizontal dan vertikal

yang di antaranya menyangkut ciri fisik, suku, agama, ras, profesi, kekayaan

pendidikan, kekuasaan dan lain sebagainya. Dengan adanya kemajemukan

individu dalam proses interaksi sosial konflik pun tak dapat dihindari.

3. Jenis-jenis Konflik

Konflik dibedakan menjadi dua jenis yang masing-masing memiliki sebab

yang berbeda dalam permunculannya. Soetrisno (2003:16) menjabarkan dua jenis

konflik tersebut yaitu:

a. Konflik bersifat destruktif

Hal ini muncul akibat adanya perasaan tidak senang, rasa benci dan

dendam dari seseorang ataupun kelompok terhadap pihak lain (Laurer, 2001:98).

Pada konflik ini terjadi bentrokan-bentrokan fisik yang mengakibatkan hilangnya

nyawa dan harta benda. Contoh konflik yang destruktif adalah konflik yang terjadi

antara suku Dayak dan Melayu melawan suku Madura. Konflik ini menjadi

destruktif karena konflik dipicu oleh rasa kebencian yang tumbuh di dalam diri

mereka masing-masing yang terlibat konflik. Munculnya rasa kebencian itu

disebabkan berbagai hal, salah satunya yaitu kecemburuan sosial.

b. Konflik bersifat fungsional

Konflik yang fungsional akan menghasilkan adanya perubahan pada

perbaikan. Konflik fungsional menghasilkan konsesus baru yang bermuara pada


29

perbaikan. Konflik fungsional ini membawa dampak positif bagi sistem yang

bersangkutan. Contoh konflik fungsional adalah adanya perbedaan atau konflik

pendapat di kalangan cendikiawan dalam upaya mencari kebenaran. Perdebatan

antara para cendikiawan itu sangat keras tetapi tidak berkembang menjadi konflik

yang destruktif, seperti membakar gedung pertemuan atau kemudian tidak saling

menegur satu sama lain. Berdasarkan contoh tersebut dapat diketahui bahwa

konflik fungsional dapat membawa dampak yang positif.

Soetrisno (2003:17) selanjutnya menjelaskan bahwa ada dua hal yang

membedakan antara konflik yang destruktif dan konflik yang fungsional.

Pertama, konflik yang destruktif muncul karena rasa benci suatu kelompok

terhadap kelompok lain. Kebencian itu dapat mencul karena adanya perbedaan

yang mencolok. Adanya perbedaan yang mencolok inilah yang dapat

memunculkan kecemburuan sosial dan konflik. Sementara konflik yang

fungsional berasal dari perbedaan pendapat antara dua kelompok tentang suatu

kelompok yang mereka hadapi bersama. Kedua, yang membedakan antara konflik

destruktif dan fungsional adalah akibat dari adanya konflik destruktif berupa

benturan-benturan fisik yang membawa kerugian jiwa atau harta. Sedangkan hasil

dari konflik fungsional adalah suaatu konsesus terhadap hal-hal yang menjadi

sumber munculnya perbedaan pendapat. Disamping itu, hasil atau akibat dari

konflik fungsional dapat pula berupa suatu perubahan menuju kebaikan.

Berdasarkan penjelasan tersebut dapat dilihat bahwa dua jenis konflik diatas

dibedakan atas akibat yang timbul dengan terjadinya konflik.


30

4. Dampak adanya Konflik

Pola kehidupan sosial itulah yang dapat dengan mudah membuat kita

memahami akan keberadaan konflik (Wijono, 2012:235). Karena hal ini, bisa kita

lihat dampaknya dalam kehidupan baik itu berupa dampak positif atau dampak

negatif dari konflik. Adapun dampak-dampak konflik sebagai berikut:

a. Dampak positif adanya konflik (Narwoko dan Suyanto, 2007:68),

diantaranya:

1) Bertambahnya solidaritas in-group. Apabila suatu kelompok bertentangan

dengan kelompok lain, maka solidaritas dalam kelompok tersebut akan

bertambah erat. Apabila terjadi pertentangan antara kelompok-kelompok,

solidaritas antar anggota di dalam masing-masing kelompok itu akan

meningkat sekali. Solidaritas di dalam suatu kelompok, yang pada situasi

normal sulit dikembangkan, akan langsung meningkat pesat saat terjadinya

konflik dengan pihak-pihak luar.

2) Konflik di dalam masyarakat biasanya akan menggugah warga masyarakat

yang semula pasif menjadi aktif dalam memainkan peranan tertentu di dalam

masyarakat

b. Dampak negatif adanya konflik menurut Setiadi dan Kolip (2011:378),

adalah:

1) Hancurnya atau retaknya kesatuan kelompok. Jika konflik yang tidak berhasil

diselesaikan menimbulkan kekerasan atau perang, maka sudah barang tentu

kesatuan kelompok tersebut akan mengalami kehancuran.

2) Perubahan kepribadian para individu. Adanya perubahan kepribadian

individu. Suatu kelompok yang mengalami konflik, maka seseorang atau


31

sekelompok orang yang semula memiliki kepribadian pendiam, penyabar

menjadi beringas, agresif dan mudah marah, lebih-lebih jika konflik tersebut

berujung pada kekerasan.

3) Hancurnya nilai-nilai dan norma sosial yang ada. Antara nilai-nilai dan norma

sosial dengan konflik terdapat hubungan yang bersifat korelasional, bisa saja

terjadi konflik berdampak pada hancurnya nilai-nilai dan norma sosial akibat

ketidak patuhan anggota masyarakat akibat dari konflik.

5. Upaya Penyelesaian Konflik

Konflik adalah produk yang timbul dari sebuah hubungan antar individu.

Timbulnya konflik karena adanya sebuah perselisihan sehingga untuk

menyelesaikan konflik dapat dilakukan dengan cara meluruskan kembali

perselisihan-perselisihan yang terjadi (Kurniawan dan Syani, 2014). Komunikasi

yang baik merupakan cara yang paling utama harus dilakukan untuk menjadikan

konflik yang ada bisa terselsesaikan dan terpecahkan secara baik. Adapun bentuk

penyelesaian konflik yang lazim dipakai, yakni konsiliasi, mediasi, arbitrasi,

koersi (paksaan), detente. Urutan ini berdasarkan kebiasaan orang mencari

penyelesaian suatu masalah, yakni cara yang tidak formal lebih dahulu, kemudian

cara yang formal, jika cara pertama membawa hasil (Nasikun, 2003:22). Adapun

bentuk-bentuk pengendalian konflik ada empat yaitu:

a. Konsiliasi (conciliation)

Pengendalian semacam ini terwujud melalui lembaga-lembaga tertentu

yang memungkinkan tumbuhnya pola diskusi dan pengambilan keputusan-

keputusan diantara pihak-pihak yang berlawanan mengenai persoalan-persoalan

yang mereka pertentangkan


32

b. Mediasi (mediation)

Bentuk pengendalian ini dilakukan bila kedua belah pihak yang

bersengketa bersama-sama sepakat untk memberikan nasihat-nasihatnya tentang

bagaimana mereka sebaiknya menyelesaikan pertentangan mereka.

c. Arbitrasi

Arbitrasi berasal dari kata latin arbitrium, artinya melalui pengadilan,

dengan seorang hakim (arbiter) sebagai pengambil keputusan. Arbitrasi berbeda

dengan konsiliasi dan mediasi. Seorang arbiter memberi keputusan yang mengikat

kedua belah pihak yang bersengketa, artinya keputusan seorang hakim harus

ditaati. Apabila salah satu pihak tidak menerima keputusan itu, dia dapat naik

banding kepada pengadilan yang lebih tinggi sampai instansi pengadilan nasional

yang tertinggi

d. Perwasitan

Di dalam hal ini kedua belah pihak yang bertentangan bersepakat untuk

memberikan keputusan-keputusan tertentu untuk menyelesaikan konflik yang

terjadi diantara mereka (Nasikun, 2003:25).

6. Teori Konflik Sosial Lewis A. Coser

Teori konflik yang menjadi acuan dalam penelitian ini adalah Teori

konflik Lewis Alfred Coser. Menurut Haryanto (2012:51) teori konflik Lewis A.

Coser menjelaskan beberapa hal, yaitu mendeskripsikan konflik sosial sebagai

akibat dari kepentingan-kepentingan kelompok yang saling bertentangan dan

concern dengan konsekuensi-konsekuensi konflik. Kedua hal tersebut merupakan

pembeda teori konflik pada umumnya karena dalam teorinya Coser lebih

memberikan sumbangan terhadap konsekuensi yang muncul akibat adanya


33

konflik. Selain itu, Coser mengungkapkan komitmennya pada penyatuan kedua

pendekatan yang mana kedua pendekatan tersebut menjadi perdebatan dalam teori

konflik lainnya.

Bagi Coser konflik yang terjadi dalam masyarakat tidak semata-mata

menunjukkan fungsi negatifnya saja, namun juga menimbulkan dampak yang

positif. Coser mengambil pembahasan konflik Simmel, mengembangkan

proposisi dan memperluas konsep Simmel dalam menggambarkan kondisi-kondisi

dimana konflik secara positif membantu struktur sosial dan bila terjadi secara

negatif akan memperlemah kerangka masyarakat (Poloma, 2010:107).

Lewis A. Coser dalam bukunya yang berjudul The Function of Social

Conflict, memusatkan perhatiannya pada fungsi konflik. Dari judul itu dapat

dilihat bahwa uraian Coser terhadap konflik bersifat fungsional dan terarah

kepada pengintegrasian teori konflik dan fungsionalisme struktural (Setiadi dan

Kolip, 2011:372). Tujuan dari analisis Coser adalah menunjukkan jenis-jenis

konflik positif atau mempunyai konsekuensi menguntungkan bagi sistem yang

lebih luas di tempat konflik itu terjadi. Hal ini bukan berarti bahwa konflik itu

baik dari sisi moral. Sesungguhnya, fokusnya adalah pada konsekuensi-

konsekuensi sosiologis objektif.

Coser (Wulansari, 2009:184) dalam membahas berbagai situasi konflik,

membedakan konflik dalam dua kategori yakni konflik realistik dan nonrealistik.

Konflik yang realistik yaitu pertentangan yang bersumber pada rasa frustasi

mengenai hal-hal spesifik dalam sebuah hubungan, juga dari dugaan mengenai

keuntungan yang diperoleh pihak lain. Para karyawan yang mengadakan

pemogokan melawan manajemen merupakan contoh dari konflik realistik. Di


34

pihak lain, Coser (1956:49) mengemukakan bahwa konflik yang tidak realistik

adalah konflik yang bukan berasal dari tujuan-tujuan saingan yang antagonis,

tetapi dari kebutuhan untuk meredakan ketegangan paling tidak salah satu dari

pihak. Artinya konflik yang timbul bukan karena adanya persaingan untuk

mencapai tujuan spesifik tertentu, melainkan untuk melepaskan ketegangan

terhadap kelompok lain dalam masyarakat. Dalam hal ini konflik merupakan suatu

tujuan. Sebagai contoh yaitu adanya konflik antaretnis (sikap rasis). Konflik

tersebut terjadi semata-mata untuk melepaskan ketegangan (kejengkelan,

kemarahan, kebencian) antara etnis satu sama lain.

Terdapat beberapa fungsi konflik menurut Coser antara lain menstabilkan

hubungan antar-kelompok, memunculkan norma-norma baru, tersedianya

mekanisme adaptasi, keseimbangan kekuasaan, berkembangnya koalisi dan

asosiasi baru dan terpeliharanya garis batas kelompok. Berkaitan dengan hal

tersebut Coser dalam Haryanto (2012:51) menggunakan beberapa asumsi teori

konflik sebagai berikut: (1) konflik cenderung meningkatkan penyesuaian sosial

(adaptasi) dan memelihara batas kelompok, (2) konflik muncul ketika ada akses

dari penuntut untuk memperoleh imbalan sesuai dengan kerjanya, (3) semakin

ketat sistem stratifikasi semakin sedikit institusi katup keselamatan, semakin

institusionalisasi toleran konflik instusional, semakin dekat merajut kelompok

lebih lama, lebih intens dan semakin berpotensi menjadi konflik sosial, (4) tipe

persoalan yang menyebabkan konflik adalah persoalan yang berkaitan legitimasi

masyarakat dan melibatkan ketidaksetujuan asumsi dasar, (5) gabungan positif

faktor di atas akan menghasilkan konflik fungsional bagi sistem sosial.


35

Pasca terjadi konflik dilihat dari teori konflik sosial Coser merupakan satu

kesadaran yang mencerminkan semangat pembaharuan di dalam masyarakat yang

mana nantinya mungkin akan dapat dijadikan sebagai suatu alat yang sifatnya

instrumentalis di dalam pembentukan, penyatuan dan pemeliharaan atas struktur

sosial yang ada (Demartoto, 2010:3). Dalam hal ini fungsi positifnya adalah

konflik akan membuat masyararakat memperkuat identitas kelompok mereka dan

melindunginya.

Secara teoritis fungsionalisme struktural dari teori konflik kelihatan bisa

didamaikan dengan menganalisis fungsi-fungsi dari konflik sebagaimana

diuraikan oleh Lewis Coser ini. Tetapi harus diakui bahwa dalam banyak hal,

konflik juga menghasilkan ketidakberfungsian, atau disfungsi. Artinya, fungsi-

fungsi yang disebutkan oleh Coser itu tidak seberapa dibandingkan dengan

ketidakstabilan atau kehancuran yang disebabkan oleh konflik itu (Setiadi dan

Kolip, 2011:373). Oleh karena itu, perlu dikembangkan cara agar bahaya tersebut

dapat dikurangi atau bahkan dapat diredam. Bagi Coser katup penyelamat (savety

valve) dapat diartikan sebagai jalan keluar yang meredakan permusuhan, atau

singkatnya dapat disebut dengan mediator.

Katup Penyelamat (Savety valve) ialah salah satu mekanisme khusus yang

dipakai untuk mempertahankan kelompok dari berbagai kemungkinan konflik

sosial. Katup penyelamat membiarkan luapan permusuhan tanpa menghancurkan

seluruh struktur, konflik membantu membersihkan suasana dalam kelompok yang

kacau. Coser (1956:41) melihat katup penyelamat demikian berfungsi sebagai

jalan keluar yang meredakan permusuhan yang tanpa itu hubungan-hubungan di

antara pihak yang bertentangan akan semakin tajam. Dengan demikian ini katup
36

penyelamat ini berfungsi untuk memungkinkannya pengungkapan rasa tidak puas

terhadap suatu struktur. Katup pengaman ini disamping dapat berbentuk institusi

sosial dapat juga berbentuk tindakan-tindakan atau kebiasaan-kebiasaan yang

dapat mengurangi ketegangan, karena konflik yang tidak dapat disalurkan.

F. Torelansi

Kerukunan dalam kehidupan bermasyarakat adalah suatu bentuk

kehidupan yang seimbang khususnya berkaitan dengan interaksi antar masyarakat.

Untuk menjaga kerukunan dalam kehidupan bermasyarakat pasca konflik

dibutuhkan salah satu sikap yang dapat menjembatani adanya perbedaan dalam

masyarakat yakni sikap toleransi. Horton mengatakan bahwa tindakan toleransi

merupakan suatu alasan yang terjadi akibat adanya konflik (Muldon dkk,

2011:324). Toleransi adalah sarana untuk mengatasi konflik sosial dari adanya

pandangan dan sikap yang bertentangan (Rapp dan Feitang, 2015:132).

Toleransi merupakan sikap saling menghargai melalui pengertian dengan

tujuan kedamaian (Tillman, 2004:95). Tidak adanya rasa toleransi dalam

masyarakat berasal dari kelompok-kelompok masyarakat yang tidak mengetahui

atau mengerti banyak tentang satu sama lain yang menyebabkan rasa takut dan

intoleransi (Reese dan Zalewksi, 2012:784). Interaksi yang lebih besar antar

kelompok masyarakat akan mengurangi rasa takut dalam masyarakat dan akan

meningkatkan sikap toleransi.

Menurut Verkuyten dan Yogeeswaran (2016:83) tujuan toleransi adalah

untuk memastikan kedamaian antara kelompok masyarakat, toleransi mengacu

pada hubungan antara mereka yang mentolerir dan mereka yang ditoleransi, antara

subyek dan objek toleransi. Mengingat pentingnya nilai toleransi, di dalam


37

masyarakat upaya ini harus dilakukan guna menghindari konflik-konflik yang

terjadi akibat tidak adanya rasa menghormati dan menghargai orang lain. Seperti

yang diungkapkan Tilaar (1999:160) diperlukan dalam masyarakat bukan sekedar

mencari kesamaan dan kesepakatan yang tidak mudah untuk dicapai justru paling

penting di dalam masyarakat yang berbhineka tunggal ika adalah adanya saling

pengertian. Rasa pengertian yang ada di dalam toleransi ini dapat menjembatani

hubungan antar masyarakat.

Masyarakat akan dianggap toleran apabila mereka memegang prinsip

sebagai barikut (Hasyim, 1977:22):

1. Mengakui hak setiap orang, suatu sikap yang menunjukkan pengakuan akan

hak setiap orang. Mengingat bahwa pada dasarnya tiap individu berhak

menentukan sikapnya dalam menjalani kehidupan, maupun nasibnya masing-

masing.

2. Menghormati keyakinan orang lain. Hal ini berdasarkan alasan bahwa tidak

dibenarkan apabila terdapat upaya memaksakan kehendak pribadi terhadap

orang lain atau golongan lain. Landasan tersebut berlaku juga dalam hal

keagamaan maupun keyakinan.

3. Agree in disagreement yang berarti setuju di dalam perbedaan.

4. Saling pengertian antar sesama.

5. Timbulnya kesadaran dan kejujuran di dalam diri seseorang.

6. Sebagai warga Negara Indonesia salah satu landasan untuk bersikap toleran

didorong oleh jiwa falsafah Pancasila Sila yang berkenaan ialah Ketuhanan

Yang Maha Esa.


38

Forst (2013:27) mengemukakan cara pandangnya mengenai toleransi,

yaitu sikap menerima tanpa mengeluh, menyetujui atau menerima, yang pada

umumnya mengacu pada penerimaan bersyarat atau tidak mengganggu terhadap

keyakinan, tindakan atau kebiasaan yang dianggap salah namun masih dapat

ditoleransi. Sehingga mereka tidak seharusnya dilarang atau dibatasi. Selanjutnya

dalam memahami toleransi Forst (2013:27-32) mengatakan terdapat empat

konsep, diantaranya yaitu:

1. Permission conception (konsepsi izin), konsepsi yang dilandasi pada otoritas

negara. Toleransi diartikan sebagai hubungan antara pihak yang memiliki

otoritas (mayoritas) dengan pihak minoritas yang memiliki perbedaan.

Toleransi dalam hal ini diwujudkan dalam bentuk kewenangan memberikan

izin yang terbatas kepada minoritas untuk hidup sesuai dengan keyakinan

mereka dengan syarat bahwa minoritas menerima posisi dominan otoritas

(mayoritas). Selama perbedaan antara mayoritas dan minoritas tetap dalam

batas-batas tertentu dan selama golongan minoritas tidak menuntut

penyetaraan status sosial dan politik. Sehingga minoritas dapat ditoleransi

dengan alasan pragmatis karena tidak mengganggu hukum dan ketertiban.

2. Coexistence conception (konsepsi hidup berdampingan), hampir serupa

dengan konsep pertama. Toleransi dianggap sebagai cara terbaik untuk

mengakhiri atau menghindari konflik dan mencapai tujuan sendiri. Kemudian

yang membedakannya dengan yang pertama adalah hubungan antara subyek

dan obyek. Untuk saat ini, situasinya bukan pada mayoritas dalam kaitannya

dengan minoritas, tapi salah satu kelompok yang kurang lebih memiliki

kekuasaan yang sama dan mereka yang mengetahui bahwa untuk perdamaian
39

sosial dan mengejar kepentingan mereka sendiri. Maka saling toleransi adalah

pilihan yang tepat. Mereka lebih memilih hidup berdampingan secara damai

daripada berselisih dan setuju dengan aturan dari modus vivendi (kesepakatan

bersama yang dituangkan dalam persetujuan hitam di atas putih) dalam

bentuk kompromi bersama. Hubungan toleransi tidak lagi vertikal tetapi

horizontal. Dalam kondisi ini tidak mudah untuk menyeimbangkan situasi

sosial dimana kepercayaan dapat berkembang. Untuk sekali konstelasi

perubahan kekuasaan, kelompok yang lebih kuat mungkin tidak lagi melihat

adanya alasan untuk toleran.

3. Respect conception (konsepsi menghormati), konsepsi yang dilandasi pada

kultur dan kehendak untuk membangun pengertian dan penghormatan

terhadap yang lain. Pihak yang bertoleransi menghormati pihak lain sebagai

orang-orang yang berotonomi. Meskipun mereka pada dasarnya berbeda

dalam keyakinan etis mereka tentang pandangan yang baik dan benar dalam

praktik budaya mereka. Warga mengakui satu sama lain setara dalam hal

politik, dengan berpedoman kepada norma-norma yang dapat diterima oleh

semua pihak dan tidak mendukung salah satu komunitas etis atau budaya

tertentu.

4. Esteem conception (konsepsi penghargaan), dalam diskusi mengenai

hubungan antara multikulturalisme dan toleransi konsepsi ini melibatkan

tuntutan yang lebih dari sekedar saling mengakui seperti dalam konsepsi

menghormati. Berdasarkan hal tersebut toleransi bukan hanya berarti

menghormati anggota komunitas budaya atau agama lain setara dalam hal
40

hukum dan politik. Namun juga menghargai keyakinan mereka sebagai

ethically valuable.

Abdullah (2001:13) mengatakan terdapat dua penafsiran tentang konsep

memaknai toleransi. Pertama, penafsiran negatif yang menyatakan toleransi itu

cukup mensyaratkan adanya sikap membiarkan dan tidak menyakiti orang atau

kelompok lain baik yang berbeda maupun sama. Dalam hal ini seseorang atau

kelompok masyarakat cukup dengan tidak menyakiti orang lain. Selanjutnya yang

kedua adalah penafsiran positif yaitu menyatakan bahwa toleransi tidak hanya

sekedar seperti pertama (penafsiran negatif) tetapi harus adanya bantuan dan

dukungan terhadap keberadaan orang lain atau kelompok lain. Hasilnya dari

kedua konsep toleransi tersebut akan terciptanya hidup berdampingan secara

damai dan perbedaan yang ada dalam masyarakat tersebut. Dalam masyarakat

yang plural, perbedaan merupakan sebuah keadaan yang mutlak. Di antara

berbagai kelompok yang berbeda tersebut menyimpan persamaan yang dijadikan

sebagai kekuatan untuk membangun kehidupan yang berkeadilan dan

berkeadaban. Maka dari itu, toleransi mengandaikan adanya penghargaan

terhadap perbedaan dan persamaan.


41

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Pendekatan dan Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Penelitian kualitatif

berusaha untuk mengangkat secara ideografis fenomena dan realitas sosial

(Somantri, 2005:64). Bogdan dan Taylor mengemukakan bahwa metode

kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa

kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati

(Moelong, 2013:4). Peneliti mendeskripsikan sasaran penelitian secara kualitatif

sehingga diperoleh deskripsi yang kaya serta mendalam.

Jenis penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah penelitian

deskriptif. Metode deskriptif dapat diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah

yang diselidiki dengan menggambarkan atau melukiskan keadaan obyek atau

subyek peneliti (seseorang, lembaga, masyarakat dan lain-lain) pada saat sekarang

berdasarkan fakta-fakta yang tampak, atau sebagaimana adanya (Nawawi,

2012:67). Penelitian deskriptif digunakan untuk memaparkan secara lugas dan

menyeluruh aspek-aspek kajian yang berkaitan dengan keadaan dari suatu obyek.

Hal tersebut sesuai dengan tujuan penelitian deskriptif adalah untuk membuat

pencandraan secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta daerah

tertentu (Suryabrata, 2008:76).

B. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ini di Kelurahan Selumit Kota Tarakan. Lokasi

penelitian tersebut terletak di Jalan KH Agus Salim dan Jalan Hang Tuah

41
42

Kelurahan Selumit Tarakan. Lokasi ini dipilih karena merupakan kampung

dimana etnis pribumi atau etnis Dayak Tidung di Tarakan dan etnis Bugis yang

menetap pada satu lokasi. Dalam kesehariaanya kedua etnis tersebut saling hidup

berdampingan. Peneliti memilih lokasi ini untuk mengetahui bagaimana dinamika

kehidupan sosial yang terjadi antara masyarakat etnis Dayak Tidung dan Bugis

pasca konflik September 2010 di Kota Tarakan.

C. Kehadiran Peneliti

Pada penelitian kualitatif instrumen penelitian adalah manusia, yakni

peneliti itu sendiri (Ahmadi, 2014:103). Peneliti dalam penelitian kualitatif

deskriptif memegang peran yang sangat penting. Peneliti wajib hadir dalam

proses pengumpulan data dengan observasi, dokumentasi, dan wawancara

mendalam. Peneliti berperan besar pada seluruh proses penelitian dan tidak

boleh digantikan orang lain.

D. Sumber Data

Data merupakan seluruh keterangan atau informasi mengenai segala hal

yang berkaitan dengan penelitian (Amirin, 1986:130). Oleh karena itu, ketepatan

dan kekayaan data yang diperoleh bergantung dengan penentuan sumber data

yang akan diteliti. Data yang akan diperoleh dalam penelitian kualitatif berupa

kata-kata (bahasa), tindakan, atau bahkan isyarat atau lambang (Ahmadi,

2014:103).

Teknik pengambilan atau penentuan sumber data pada penelitian ini

menggunakan teknik SnowBall. Teknik Snowball merupakan teknik

pengambilan sumber data yang jumlahnya sedikit dan belum mampu

memberikan data yang lengkap, maka harus mencari orang lain yang dapat
43

digunakan sebagai sumber data (Sugiyono, 2012:300). Jadi penentuan informan

dalam penelitian kualitatif dilakukan saat peneliti mulai memasuki lapangan dan

selama penelitian berlangsung. Caranya yaitu peneliti menetapkan orang tertentu

yang dipertimbangkan akan memberikan data yang diperlukan, selanjutnya

berdasarkan data atau informasi yang telah diperoleh dari informan sebelumnya

peneliti dapat menentapkan informan lainnya yang dipertimbangkan akan

memberikan data yang lebih lengkap.

Sumber data dalam penelitian ini dikelompokkan menjadi dua jenis data

yakni data primer dan data sekunder. Sumber data primer dalam penelitian ini

adalah hasil wawancara secara langsung dengan infroman. Adapun informan

dalam penelitian ini terdiri dari informan pendukung dan informan kunci.

Informan pendukung dari penelitian ini adalah Ketua Adat Dayak Tidung dan

Ketua Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan atau Ketua Adat Bugis, Lurah

Selumit, Ketua RT setempat dan anggota-anggota lain yang mengetahui mengenai

dinamika kehidupan sosial masyarakat Etnis Dayak Tidung dan Bugis. Informan

pendukung tersebut digunakan peneliti untuk menemukan informan kunci.

Sedangkan informan kunci dalam penelitian ini adalah masyarakat etnis Dayak

Tidung dan Bugis yang menetap di Kelurahan Selumit.

Sumber data yang kedua yakni yakni data sekunder yang diperoleh dari

kegiatan studi kepustakaan. Menurut Sugiyono (2012:225) data sekunder

merupakan sumber data yang tidak memberikan informasi secara langsung kepada

pengumpul data, misalnya lewat orang lain atau dokumen. Data sekunder dalam

penelitian ini adalah dari laporan administratif, profil desa dan kelurahan,

dokumentasi foto tentang dinamika kehidupan sosial masyarakat etnis Dayak


44

Tidung dan Bugis di Kelurahan Selumit, laporan-laporan penelitian terdahulu

tentang konflik sosial, dinamika sosial atau perubahan sosial, Etnis Dayak Tdung

dan Bugis.

E. Prosedur Pengumpulan Data

Prosedur pengumpulan data meliputi usaha membatasi penelitian,

mengumpulkan informasi melalui observasi dan wawancara, baik yang terstruktur

maupun tidak, dokumentasi, materi-materi visual, serta usaha merancang protokol

untuk merekam atau mencatat informasi (Creswell, 2014:266). Sehubungan

dengan bentuk penelitian kualitatif dan juga jenis sumber data yang dimanfaatkan

maka teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

1. Observasi Non Partisipasi

Nasution (2002:106) mengatakan dengan observasi sebagai alat

pengumpul data dimaksud observasi yang dilakukan secara sistematis bukan

observasi sambil-sambilan atau secara kebetulan saja. Observasi dilakukan

peneliti secara langsung terjun ke lapangan. Observasi dalam penelitian ini

dilakukan peneliti dengan hanya berperan sebagai pengamat independen dalam

arti tidak terlibat langsung dalam pokok permasalahan (Sugiyono, 2012:204)

Pengamatan yang akan dilakukan pada penelitian ini di mana pengamat beroperasi

tanpa diketahui oleh subyek. Observasi dilaksanakan di lokasi yang menjadi objek

penelitian yaitu di Kelurahan Selumit Kota Tarakan, tepatnya di tempat tinggal

beberapa narasumber ataupun lokasi dinamika kehidupan sosial masyarakat Etnis

Dayak Tidung dan Bugis di Kelurahan Selumit tersebut.


45

2. Wawancara

Wawancara memungkinkan peneliti mengumpulkan data yang beragam

dari informan dalam berbagai situasi dan konteks (Sarosa, 2012:45). Pada

penelitian ini wawancara dilakukan secara mendalam kepada pihak-pihak yang

diyakini dapat memberikan informasi terkait dengan penelitian. Pemilihan

informan harus bisa lebih selektif dengan memilih informan yang mempunyai

peran penting dan dapat memberikan informasi inti pada penelitian ini serta agar

mendapatkan data yang akurat untuk pembahasan penelitian.

Wawancara yang dilakukan adalah wawancara terstruktur dan tidak

terstruktur. Wawancara terstruktur adalah suatu bentuk wawancara tetap di mana

semua pertanyaan telah disiapkan sebelumnya dalam urutan yang sama untuk

masing-masing informan (Yaumi dan Damopolii, 2014:103). Sedangkan

wawancara tidak terstruktur adalah wawancara yang bebas di mana peneliti tidak

menggunakan pedoman wawancara yang telah tersusun secara sistematis dan

lengkap untuk pengumpulan datanya. Wawancara tidak terstruktur dimulai dengan

mengeksplorasi suatu topik umum bersama-sama dengan partisipan. Partisipan

diberikan kebebasan seluas-luasnya untuk mengungkapkan apapun yang berkaitan

dengan topik wawancara (Sarosa, 2012:47). Tujuan dari wawancara terbuka

tersebut yaitu untuk mendapatkan informasi yang sedalam-dalamnya.

3. Dokumentasi

Teknik dokumentasi dilakukan untuk menunjang data dalam penelitian.

Dokumentasi disertai penjelasan berupa narasi mengenai pengembalian objek dan

keterangan yang mendukung guna membantu menambah keakuratan data.

Dokumentasi diperlukan oleh peneliti agar memperoleh data yang dapat dilihat
46

secara langsung dan seperti pada kenyataan yang ada di lapangan. Peneliti

melakukan studi dokumentasi gambar atau foto serta catatan dari serangkaian

kegiatan observasi dan wawancara pada masyarakat etnis Dayak Tidung dan

Bugis di Kelurahan Selumit.

F. Analisis Data

Menurut Sugiyono (2012:234) dalam penelitian kualitatif data diperoleh

dari berbagai sumber dengan menggunakan teknik pengumpulan data bermacam-

macam, dan dilakukan terus menerus sampai datanya jenuh. Oleh karena itu pada

penelitian kualitatif, teknik analisis data yang digunakan sudah jelas, yaitu

diarahkan untuk menjawab rumusan masalah. Menurut Sugiyono (2015:244)

pengertian analisis data adalah:

Proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang


diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan
dokumentasi, dengan cara mengorganisasikan data ke dalam
kategori, menjabarkan kedalam unit-unit, melakukan sintesa,
meyusun kedalam pola, memilih mana yang penting dan yang
akan dipelajari, dan membuat kesimpulan sehingga mudah
dipahami baik diri sendiri maupun orang lain.

Teknik analisis data dalam penelitian ini adalah analisis data model interktif

Miles & Huberman. Teknik analisis data model interaktif menurut Miles dan

Huberman, terdiri sari empat tahapan yang harus dilakukan, langkah-langkah

tersebut yaitu (1) pengumpulan data, (2) reduksi data, (3) penyajian data, dan (4)

kesimpulan-kesimpulan: penarikan/verifikasi (Miles & Huberman, 1992:19).

1. Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan sepanjang proses penelitian yaitu pada saat

awal penelitian hingga akhir penelitian. Peneliti mulai mengumpulkan informasi

atau data yang dibutuhkan guna mencapai tujuan penelitian. Teknik yang
47

digunakan dalam pengumpulan data yaitu observasi, wawancara dan studi

kepustakaan atau dokumentasi. Data yang telah terkumpul dilakukan analisis

melalui tiga komponen yaitu reduksi data, penyajian data dan penarikan

kesimpulan dengan verifikasinya. Ketiga komponen ini saling berinteraksi dan

berkaitan satu sama lain sehingga tidak dapat dipisahkan dari kegiatan

pengumpulan data, oleh karenanya analisis data dapat dilakukan sebelum, selama

dan setelah proses pengumpulan data di lapangan (Miles & Huberman, 1992:19).

2. Reduksi Data

Reduksi data diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian

pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data “kasar” yang muncul

dari catatan-catatan tertulis di lapangan (Miles & Huberman, 1992:16). Reduksi

data dalam penelitian ini sudah dimulai sejak peneliti memutuskan kerangka

konseptual, tentang pemilihan masalah, pertanyaan yang diajukan dan tentang tata

cara pengumpulan data yang dipakai. Reduksi data berlangsung secara terus

menerus selama penelitian ini berlangsung dan merupakan bagian dari analisis.

3. Penyajian Data

Penyajian data merupakan proses penyusunan sekumpulan informasi yang

memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan

(Miles & Huberman, 1992:17). Penyajian data dimaksudkan agar mempermudah

peneliti untuk melihat gambaran secara keseluruhan atau bagian-bagian tertentu

dari penelitian yang perlu mendapatkan revisi atau tambahan tersendiri. Data yang

sudah dirinci tersebut kemudian dipaparkan dan selanjutnya temuan diverifikasi

atau dilakukan pengecekan keabsahan data temuan untuk memperoleh hasil dari

temuan.
48

4. Penarikan Kesimpulan atau Verifikasi

Penarikan kesimpulan merupakan proses mencari makna, mencatat

keteraturan, pola-pola, penjelasan, konfigurasi-konfigurasi yang memungkinkan,

alur sebab akibat dan proporsi (Miles & Huberman, 1992:19). Verifikasi data

dalam penelitian kualitatif ini dilakukan secara terus menerus sepanjang proses

penelitian berlangsung. Sejak awal melakukan penelitian di lapangan dan selama

proses pengumpulan data, peneliti berusaha untuk menganalisis dan mencari

makna dari data-data yang telah dikumpulkan. Dengan begitu, peneliti akan dapat

dengan mudah menarik kesimpulan di setiap proses kegiatan yang sedang

berlangsung. Lebih jelas mengenai komponen analisis data yang digunakan dalam

penelitian ini, dapat dilihat pada bagan berikut ini.

Gambar 3.1: Komponen Analisis Data: Model Interaktif


(Sumber Milles dan Huberman, 1992:20)

G. Pengecekkan Keabsahan Temuan

Pengecekan keabsahan temuan dalam penelitian ini bertujuan agar

penelitian ini dapat dipertanggung jawabkan. Adapun teknik dari pengecekan

keabsahan data adalah dengan triangulasi. Triangulasi dalam penelitian ini ada

tiga triangulasi sumber, triangulasi metode dan triangulasi waktu (Putra,


49

2013:108). Jika ketiga triangulasi digunakan dengan tepat, baik, dan benar maka

akan didapatkan keabsahan data.

a. Triangulasi Sumber

Proses ini dilakukan dengan cara mengecek data dari beberapa sumber.

Keterangan dari banyak sumber akan memberikan gambaran yang lengkap dan

akurat. Data dari beberapa sumber tidak bisa dirata-ratakan tetapi di deskripsikan,

mana yang sama dan mana yang berbeda, kemudian dimintakan kesepakatan dari

beberapa sumber. Terkait penelitian mengenai dinamika kehidupan sosial etnis

Dayak Tidung dan Bugis di Kelurahan Selumit pasca konflik 2010 Tarakan, selain

mencari data dari Kelurahan Selumit, tetapi juga menggali data dari ketua adat

etnis Dayak Tidung dan Bugis.

b. Triangulasi Teknik

Triangulasi teknik untuk menguji kreadibilitas data dilakukan dengan cara

mengecek data kepada sumber yang sama dengan teknik yang berbeda. Misalnya

data di peroleh melalui observasi, lalu di lanjutkan dengan wawancara atau

dokumentasi.

c. Triangulasi Waktu

Waktu juga sering mempengaruhi kreadibilitas data. Oleh karena itu,

triangulasi waktu dilakukan dengan mengecek kredibilitas data hasil penelitian

dari sumber yang sama tetapi dalam waktu yang berbeda.

H. Tahap-tahap penelitian

Tahap penelitian yang digunakan oleh peneliti adalah tahap penelitian

secara umum. Tahap-tahap yang dimaksud akan penulis jabarkan sebagai

berikut:
50

1. Tahap Persiapan

Pertama, peneliti memilih topik dan menyusun rancangan penelitian yang

ditulis dalam proposal penelitian lalu diajukan dan dikonsultasikan dengan dosen

pembimbing. Kedua, proposal yang telah dikoreksi diseminarkan sebelum

melaksanakan penelitian di lapangan. Ketiga, setelah seminar proposal peneliti

mengurus perijinan untuk melakukan pengumpulan data melalui observasi,

wawancara, dan dokumentasi.

2. Tahap Pelaksanaan

Pada tahap ini peneliti melaksanakan observasi dan wawancara

terstruktur dan tidak terstruktur. Observasi dan wawancara peneliti lakukan

dengan lokasi di Kelurahan Selumit. Peneliti juga mengumpulkan dokumen

berupa foro dan dokumen lain yang berkaitan dengan dinamika kehidupan

social masyarakat etnis Dayak Tidung dan Bugis pasca konflik 2010 Tarakan.

3. Tahap Pengolahan data dan Analisis Data

Pengolahan data dilakukan dengan cara melakukan pemaknaan dari

data berdasarkan fokus penelitian kemudian melakukan analisis data yang

terkumpul dari lapangan

4. Tahap Penulisan Laporan

Setelah data diolah dan dianalisis selanjutnya menulis laporan yang

disesuaikan dengan informan serta dosen pembimbing. Penulisan laporan ini

yaitu berupa laporan skripsi yang mengacu pada penulisan PPKI UM Edisi

kelima tahun 2010.


51

DAFTAR RUJUKAN

Abdullah, M. 2001. Pluralisme Agama dan Kerukunan dalam Keagamaan.


Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Abdullah, dkk. 2009 Dinamika Masyarakat dan Kebudayaan Kontemporer.


Yogyakarta: Pustaka Belajar.

Abdulsyani. 2012. Sosiologi Skema, Teori, dan Terapan. Jakarta: PT. Bumi
Aksara.

Ahmadi, Abu. 2004. Psikologi Sosial. Jakarta: Rineka Cipta.

Ahmadi, Rulam. 2014. Pemahaman Metodelogi Kualitatif. Malang: UM Press.

Aminah, Andi Nur. 2011. Jelajah Sebatik: SukuTidung Bermukim di Pulau


Kalimantan dan Mewakili Kebudayaan Pesisir. Republika Online
(http://ftp.unpad.ac.id/koran/republika/2011-01-05/republika_2011-01-
05_025.pdf) diakses pada 27 Maret.

Amirin.1986. Menyusun Rencana Penelitian. Jakarta: Rajawali.

Badan Pusat Statistik Kota Tarakan. 2010. Kota Tarakan dalam Angka 2010.
Tarakan: Bappeda Kota Tarakan.

Basrowi. 2005. Pengantar Sosiologi. Bogor: Ghalia Indonesia.

Biantoro, Singgih. 2011. Masyarakat di Perbatasan Sebatik: Masa Konfrontasi


1963-1966, Tesis: Universitas (Online)
(http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/20251680-T%2028675-
Masyarakat%20perbatasan-full%20text.pdf) diakses pada 27 Maret 2017.

Creswell, John.W. 2014. Penelitian Kualitaif dan desain Research (Memilih


diantara Lima Pendekatan). Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Coser. Lewis A. 1956. The Function of Social Conflict. New York: The Free
Press.

Demartoto, Argyo. 2010. Strukturalisme Konflik: Pemahaman Akan Konflik pada


Masyarakat Industri Menurut Lewis Coser dan Ralf Dahrendorf. (Online),
24 (1): 1-10, (https://eprints.uns.ac.id/12954/1/Publikasi_Jurnal8.pdf),
diakses pada 18 Januari 2017.

Departemen Pendidikan Nasional, Pusat Bahasa. 2008. Kamus Besar Bahasa


Indonesia Pusat Bahasa. Edisi Keempat. Jakarta: PT. Gramedia.
52

Forst, Rainer. 2013. Toleration in Conflict Past and Present. Terjemahan Ciaran
Cronin. New York: University Press.

Hasyim, Umar. 1997. Toleransi dan Kemerdekaan Agama dalam Islam sebagai
Dasar Menuju Kerukunan antar Agama. Surabaya: PT. Bina Ilmu.

Haryanto, Sindung. 2012. Spektrum Teori Sosial. Jakarta: Ar-Ruzz Media.

Jnn.com. 2011. Penduduk Tarakan Didominasi Pendatang. (Online)


(http://www.jpnn.com/read/2011/11/22/108817/Penduduk-Tarakan-
Didominasi Pendatang-), diakses 13 Desember 2016.

King, Victor T. 1993. The People of Borneo (The People of South-East Asia and
the Pasific). Oxford UK & Cambridge USA: Blackwell.

Kurniawan, Dedi dan Syani, Abdul. 2014. Faktor Penyebab, Dampak Dan Strategi
Penyelesaian Konflik Antar Warga Di Kecamatan Way Panji Kabupaten
Lampung Selatan. Jurnal Sosiologi, (Online), 15 (1): 1-12
( http://download.portalgaruda.org/article.php) diakses pada 3 April 2017.

Laurer, Robert H. 2001. Perspektif Tentang Perubahaan Sosial. Jakarta: Bina


Aksara.

Lawang, Robert. 1994. Buku Materi Pokok Pengantar Sosiologi. Jakarta:


Universitas Terbuka.

Liliweri, Alo. 2005. Prasangka & Konflik: Komunikasi Lintas Budaya


Masyarakat Multikultur. Yogyakarta: PT. LkiS Pelangi Aksara
Yogyakarta.

Lumintang, Juliana. 2015. Pengaruh Perubahan Sosial terhadap Kemajuan


Pembangunan Masyarakat di Desa Tara-Tara I. Jurnal Acta Diurna,
(Online), Vol 4 (2).
(https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/actaiurna/article/download/7256/67
59) diakses 11 Maret 2017.

Martono, Nanang. 2014. Sosiologi Perubahan Sosial. Jakarta: Rajawali Pers.

Miles, Matthew B. & Huberman, A Michael. 1992. Analisis Data Kualitatif: Buku
Sumber Tentang Metode-metode Baru. Terjemahan Tjetjep Rohendi
Rohidi. 1992. Jakarta: Universitas Indonesia Press.

Muldon, dkk. 2011. The Condition of Tolerance. Politics, Philosophy &


Economics 11 (3): 322-344 Sage Publication online
(http://journals.sagepub.com/doi/full/10.1177/1470594 X11417115),
diakses pada 2 April 2017.
53

Muthohar, Ahmad. 2015. Islam Dayak: Dialektika Identitas Dayak Tidung di


Kalimantan. Semarang: Fatawa Publishing.

Narwoko, Dwi & Suyanto, Bagong. 2007. Sosiologi: Teks Pengantar dan
Terapan. Jakarta: Kencana Prananda Media Grup.

Nasikun. 2003. Sistem Sosial Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Nasution. 2002. Metode Research: Penemlitian Ilmiah. Jakarta: PT. Bumi Aksara.

Nawawi, Hadari. 2012. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta. Gajahmada


University Press.

Nugroho, Y. Kristianto. 2012. Dinamika Kehidupan Sosial Masyarakat


Temanggung Pasca Kerusuhan. Yogyakarta: Universitas Negeri
Yogyakarta. (Online)
(http://eprints.uny.ac.id/19268/1/08413244047%20YOHANES%20KRIST
IANTO%20NUGROHO%20Skripsi%20Full%20Sos.pdf) diakses pada 5
Desember 2016.

Pelras, Christian. 2006. Manusia Bugis. Jakarta: Nalar & Forum Jakarta Paris.

Poloma, Margaret M. 2010. Sosiologi Kontemporer. Jakarta: PT. Raja Grafindo


Persada.

Pruitt, D.G dan Rubin, J.Z. 2004. Teori Konflik Sosial. Yogyakarta: Pustaka
Belajar.

Putra, Nusa. 2013. Penelitian Kualitatif IPS. Bandung: Rosdakarya

Rahwono, B. Sigit. 2014. Konflik dan Rekonsiliasi Konflik di Mesuji (Studi pada
Masyarakat Pribumi dan Pendatang di Kecamatan Mesuji, Kabupaten
Oki, Sumatera Selatan). Yogyakarta: Universitas Negeri Sunan Kalijaga.
(Online) (digilib.uin-suka.ac.id/15452/) diakses pada 9 Desember 2016.

Rapp, Cardin dan Feitang. 2015. Teaching Tolerance? Associational Diversity and
Tolerance Formation. (Online) 63 (5), 1030-1051 Sage Publication online
(http://journals.sagepub.com/doi/full/10.1111/1467-9248.12142), diakses
2 April 2017.

Reese, Laura A. dan Zalewski, Mattew. 2012. Substantive and Procedural


Tolerance. Are Diverse Communities Really More Tolerant? 51 (6) 781-
818. Sage Publication online
(http://journals.sagepub.com/doi/pdf/10.1177/1078087414556092) diakses
pada 2 April 2017.
54

Rusli, Muh. dan Rakhmawati. 2013. Kontribusi “Pamali” Tanah Bugis Bagi
pembentukan Akhlak. El Harakah Jurnal: Vol 15 (1): 19-33 (Online)
(http://ejournal.uin-malang.ac.id/index.php/infopub) diakses pada 28
Maret 2017.

SamarindaPos.co.id. 2010. Pengungsi Tarakan Capai 40.170 Jiwa. (Online)


(http://www.sapos.co.id/index.php/berita/detail/Rubrik/9/7111) diakses pada 13
Desember 2016.

Santosa, Slamet. 2006. Dinamika Kelompok. Jakarta: Bumi Aksara.

Sarosa, Sumiaji. 2012. Penelitian Kualitatif: Dasar-dasar. Jakarta: PT. Indeks.

Setiadi, Elly & Kolip Usman. 2011. Pengantar Sosiologi Pengantar. Sosiologi
Pemahaman Fakta dan Gejala Permasalahan Sosial: Teori, Aplikasi dan
Penyelesaiannya. Jakarta: Prenadamedia Group.

Simandjuntak, B. 2007. Sosiologi Pembangunan. Jakarta: Bina Ilmu.

Soekanto, Soerjono. 2009. Sosiologi Suatu Pengantar. Edisi Baru. Jakarta:


Rajawali Pers.

Soekanto, Soerjono. 2012. Sosiologi Suatu Pengantar. Edisi 1., Cet. 44. Jakarta:
Rajawali Pers.

Soetrisno, Loekman. 2003. Konflik Sosial: Studi Kasus Indonesia. Yogyakarta:


Tajidu Press.

Somantri, G.R. 2005. Memahami Metode Kualitatif. Jurnal Makara Sosial


Humaniora, (Online), 9 (2): 57-65,
(yusuf.staff.ub.ac.id/files/2012/11/MemahamiMetpenKualitatif.pdf),
diakses 8 Maret 2017.

Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Pendidikan (Pendekatan Kuantitatif,


Kualitiatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta.

Sugiyono. 2015. Metode Penelitian Pendidikan (Pendekatan Kuantitatif,


Kualitiatif, dan R&D. Cet. 22. Bandung: Alfabeta.

Suryabrata, Sumadi. 2008. Metodelogi Penelitian. Jakarta: PT. Raja Grafindo


Persada.

Sztomka, Piotr. 2005. Sosiologi Perubahan Sosial. Jakarta: Prenada Media.

Tilaar, H.A.R. 1999. Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani.


Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
55

Tillman, Diane. 2004. Pendidikan Nilai untuk Kaum Muda Dewasa. Terjemahan
Risa Pratono. Jakarta: Garasindo.

Verkuyten, M. dan Yogeeswaran, Kumar. 2016. The Social Psychology of


Intergroup Toleration. A Roadmap for Theory and Research. 21(1) 72-96
Sage Publication Online
(http://journals.sagepub.com/doi/abs/10.1177/1088868316640974),
diakses pada tanggal 5 April 2017.

Walgito, Bimo. 2003. Psikologi Sosial. Yogyakarta: Andi Yogyakarta.

Wijono, Sutarto. 2012. Psikologi Industri dan Organisasi. Jakarta: Kencana.

Wulansari, Dewi. 2009. Sosiologi Konsep dan Teori. Bandung: Refika Aditama.

Yaumi dan Damopolii. 2014. Action Research Teori, Model, dan Aplikasi.
Jakarta: Prenadamedia Group.

Yogaswara, Herry. 2010. Meneruskan Hidup Setelah Kerusuhan: Ingatan Kolektif


dan Identitas Etnis Madura Pasca Kekerasan antar Etnis di Kota Sampit,
Kalimantan Tengah, Disertasi: Unversitas Indonesia (Online)
(lib.ui.ac.id/file?file=digital/20306986-D%201324-
Meneruskan%20hidup...pdf) diakses pada 5 Desember 2016.

Anda mungkin juga menyukai