BAB I ..................................................................................................................... 3
DEFINISI .............................................................................................................. 3
BAB II ................................................................................................................... 4
BAB IV ................................................................................................................ 10
DOKUMENTASI ............................................................................................... 10
BAB I
DEFINISI
A. LATAR BELAKANG
Adanya perbedaan harapan, dasar berpikir dan konsep tentang sakit antara dokter dan pasien
membuat hubungan antara keduanya mengandung konfliklaten. Konsep yang harus diiingat
seorang dokter dalam hubungan yang kompleks ini yaitu untuk selalu membangun emphaty
(Hippocrates 400 SM). Seorang dokter adalah seseorang yang karena profesinya dituntut untuk
selalu memprioritaskan penderita. Tindakan pembedahan (surgery) adalah suatu interaksi atau
hubungan yang sangat khusus antara dokter atau provider kesehatan (team work) dengan pasien
dan keluarganya, dalam upaya menyelamatkan dan atau meningkatkan kualitas hidup pasien,
dimana potensial konflik sangatlah besar. Penggunaan anestesi, sedasi dan intervensi bedah
merupakan proses yang komplek dan sering dijumpai di rumah sakit. Penggunaan tersebut
membutuhkan asesmen lengkap dan menyeluruh terhadap pasien, perencanaan, perawatan yang
terintegrasi, pemantauan pasien secara terus menerus dan transfer berdasarkan kriteria tertentu
untuk perawatan lanjutan, rehabilitasi, serta transfer dan pemulangan pada akhirnya. Anestesi
dan sedasi umumnya dipandang sebagai sebuah rangkaian proses mulai dari sedasi minimal
hingga anestesi penuh. Karena respons pasien berubah ubah sepanjang berlangsungnya
rangkaian tersebut, penggunaan anestesi dan sedasi diatur secaraterpadu. Menurut WHO 2009,
diseluruh dunia dan hampir setiap tahun kompilkasi operasi 3 - 16 % dan kematian pasca
operasi 0,4 – 0,8 % dan dapat diartikan bahwa 7 juta penderita yang mengalamimkecacaran dan
1 juta mengalami kematian. Pada juni 2009 di washington DC Amerika, WHO meluncurkan
Safe Surgery Saves Lives (S3L).
B. DEFINISI
Pengertian dari Safe Surgery Saves Lives ( S3L ) adalah suatu program dalam upaya
menurunkan komplikasi pembedahan dan anestesi
4 domain yang menjadi perhatian :
1. Pencegahan infeksi luka operasi
2. Keselamatan pembiusan (safe anesthesia)
3. Keselamatan pembedahan (safe surgical terms)
4. Mekanisme jaminan kualitas dan perawatan pembedahan (surgical care and quality
assurance mechanism)
C. TUJUAN
1. Tujuan Utama :
Tujuan program Safe Surgery Saves Lives adalah menciptakan perilaku tim pembedahan
dan lingkungan yang aman bagi pasien.
2. Tujuan Khusus :
a. Tim pembedahan dipastikan melakukan pembedahan pada tepat penderita dan tepat
lokasi
b. Tim pembedahan dipastikan melakukan metode anestesi yang mencegah rasa sakit
bagi pasien
c. Tim pembedahan telah mengenali dan melakukan persiapan yang efektif dalam
pencegahan dan penanganan terjadinya gangguan airway dan breathing
d. Tim pembedahan telah mengenali, melakuakn pencegahan dan antisipasi penanganan
yang efektif terhadap resiko perdarahan (circulation)
e. Tim pembedahan telah mengetahui dan menghindari serta antisipasi penanganan
terjadinya reaksi alergi maupun efek samping obat yang berat yang potensial terjadi
pada pasien
f. Tim pembedahan secara konsistenmenerapkan metode aseptik, guna mencegah
timbulnya infeksi luka operasi
g. Tim pembedahan selalu menghindari terjadinya ketertinggalan alat atau benda habis
pakai pada daerah operasi
h. Tim pembedahan selalu menjaga dan melakukan identifikasi yang tepat terhadap
spesimen hasil pembedahan
4
i. Tim selalu melakukan komunikasi dan pertukaran informasi yang penting dalam
upaya melakukan operasi yang aman
j. Rumah sakit dan public health system selalu secara rutin melakukan surveylance
terhadap kapasitas, volume dan hasil serta komplikasi dari pembedahan dan anestesi
(surgical and anesthesia vital statistic) yang dilakukan
5
BAB II
RUANG LINGKUP
Ruang lingkup pelayanan restrain yaitu semua pasien dengan resiko jatuh, kecenderungan
melukai diri sendiri, dan yang menghambat proses pengobatan.
2.1. INDIKASI.
1. Pasien menunjukkan perilaku yang berisiko membahayakan dirinya sendiri dan atau orang lain.
2. Tahanan pemerintah (yang legal / sah secara hukum) yang dirawat di rumah sakit.
3. Pasien yang membutuhkan tatalaksana emergency (segera) yang berhubungan dengan kelangsungan
hidup pasien.
4. Pasien yang memerlukan pengawasan dan penjagaan ketat di ruangan yang aman.
5. Restraint atau isolasi digunakan jika intervensi lainnya yang lebih tidak restriktif tidak berhasil /
tidak efektif untuk melindungi pasien, staf, atau orang lain dari ancaman bahaya.
A. INDIKASI RESTRAIN
1. Pasien menunjukkan perilaku yang berisiko membahayakan dirinya sendiri dan atau orang
lain
2. Tahanan pemerintah (yang legal / sah secara hukum) yang dirawat di rumah sakit
3. Pasien yang membutuhkan tatalaksana emergency (segera) yang berhubungan dengan
kelangsungan hidup pasien
4. Pasien yang memerlukan pengawasan dan penjagaan ketat di ruangan yang aman
5. Restraint atau isolasi digunakan jika intervensi lainnya yang lebih tidak restriktif tidak
berhasil / tidak efektif untuk melindungi pasien, staf, atau orang lain dari ancaman bahaya
B. JENIS RESTRAIN
1. Physical Restraint
Kegiatan pengekangan fisik pasien yang melibatkan satu atau lebih tenaga kesehatan
dengan menahan pasien, memegangi pasien yang bergerak atau menghentikan pasien yang
akan meninggalkan tempat tidur atau ruang perawatan pasien
2. Mechanical Restraint
Pengekangan fisik pasien secara mekanis dengan menggunakan peralatan. Misalnya:
sarung tangan (mittens) yang dirancang khusus pada ruang pelayanan intensif; penggunaan
meja yang berat atau sabut pengaman untuk menahan pasien keluar dari kursi roda;
penggunaan bedrails untuk mencegah pasien orang tua keluar dari tempat tidur;
penggunaan kunci atau keypads
6
3. Technological Surveillance Restraint
Penggunaan teknologi surveilans seperti bantalan tekanan, televisi sirkuit tertutup , untuk
mengingatkan tenaga kesehatan memantau gerakan mereka atau upaya pasien untuk
mencoba meninggalkan tempat tidur atau ruang perawatan
4. Chemical Restraint
Penggunaan obat-obatan untuk pembatasan gerak
5. Psychological Restraint
Kegiatan pembatasan gerak pasien dengan berulang kali dan secara terus menerus memberi
tahu pasien untuk tidak melakukan sesuatu, atau apabila melakukan sesuatu merupakan
perbuatan yang tidak diperbolehkan atau terlalu berbahaya. Hal tersebut termasuk
mengambil alih pilihan atas gaya hidup pasien seperti mengatakan kepada pasien kapan
waktunya tidur dan bangun tidur; maupun mengambil peralatan individual atau hak milik
pribadi, seperti mengambil alat bantu berjalan, kaca mata, atau pakaian luar pasien dengan
tujuan untuk menghentikan pasien untuk keluar meninggalkan tempat tidur atau ruang
perawatan.
7
PRINSIP
C. PEMASANGAN PENGHALANG
1. Pembatasan gerak pasien dengan menggunakan penghalang (restraint) hanya untuk
perlindungan keselamatan dan kepentingan terbaik bagi pasien dan atau pasien lainnya.
2. Dokter dan atau perawat harus memperhatikan aspek etik-medikolegal dan memastikan
bahwa ada indikasi yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan atas pemasangan
penghalang pada pasien, mempertimbangkan keamanan, kenyamanan, kehormatan, dan
kebutuhan fisik dan psikologis pasien.
3. Keputusan pemasangan penghalang harus diambil sebagai pilihan dan langkah terakhir
setelah semua upaya untuk meminimalkan risiko atas keselamatan pasien dilakukan dan
segera dilepaskan dalam waktu yang sesingkat mungkin setelah kondisi atau risiko atas
keselamatan pasien terlampaui.
4. Tenaga kesehatan yang melaksanakan pemasangan penghalang harus senantiasa menguasai
prinsip pemasangan penghalang dan mendapatkan pelatihan yang berkesinambungan.
8
BAB III
TATA LAKSANA
9
Penanggung jawab secara keseluruhan bahwa pasien yang akan dilakukan pembedahan, telah
dilakukan checklist adalah : OPERATOR dibantu seorang sirkulator ( Omloop ).
Penanggungjawab kegiatan :
a. Periode sebelum induksi adalah : perawat anestesi dan bedah dibantu ahli anestesi
b. Sebelum insisi adalah : operator ahli bedah, perawat bedah dan ahli anestesi
c. Sebelum keluar dari kamar operasi adalah : perawat bedah, ahli bedah dan anestesi
BAB IV
DOKUMENTASI
10
□ Apakah terdapat keadaan kritis atau langkah yang tidak rutin?
□ Berapa lama keadaan tersebut akan berlangsung?
□ Apakah yang diantisipasi terhadap kehilangan darah?
Untuk ahli anestesi :
□ Apakah ada sesuatu yang khas terhadap pasien?
Untuk tim perawat :
□ Apakah sterilitas telah dikonfirmasi ( berdasarkan indikator alat sterilisasi )?
□ Apakah terdapat permasalahan alat atau perhatian lainnya? Apakah foto telah ditampilkan?
□ Ya □ Tidak diperlukan
3. Sebelum Pasien Meninggalkan Ruangan Operasi ( Sign Out ) → ( perawat, ahli bedah, dan ahli
anestesi )
Perawat memastikan secara verbal :
□ Nama prosedur yang dilakukan
□ Apakah instrumen. Alat habis pakai dan jumlah jarum telah terhitung?
□ Pelabelan spesimen ( baca label spesimen secara lantang, termasuk nama pasien )
□ Apakah ada permasalahan dengan pemakaian peralatan?
Untuk ahli bedah, ahli anestesi, dan perawat :
□ Apakah hal yang penting untuk pulih sadar dan perawatan pasien telah diperhatikan?
11
BAB IV
PENUTUP
Pelayanan bedah dan anestesi di rumah sakit merupakan salah satu bagian dari pelayanan
kesehatan yang berkembang dengan cepat seiring dengan peningkatan ilmu pengetahuan dan tehnologi
dibidang kesehatan. Kamar Operasi merupakan bagian integral dari pelayanan rumah sakit khususnya
dalam bidang pembedahan, oleh karena itu pemakaian daftar/checklist keselamatan pasien operasi
harus dilaksanakan dalam setiap tindakan operasi yang akan dilakukan.
Dalam perkembangan pelayanan kesehatan yang dari hari ke hari semakin maju, maka
pelayanan pembedahan harus juga mengikuti perkembangan tersebut, pendokumentasian pelayanan
pasien yang dilakukan harus tersusun dengan rapi untuk mengetahui riwayat dari proses perawatan
pasien. Panduan ini dibuat bertujuan untuk memberikan acuan dalam pengelolaan dan pelayanan di
Kamar Operasi.
12