PEMERIKSAAN NEUROLOGI
Disusun oleh :
Hadaral Hudanul Qolbi
Talitha Rahma Ayuningtyas
Via Afini Salsabila
Preseptor :
Firman Priguna T, dr., Sp.BS., M.Kes.
Pemeriksaan Motorik
Pemeriksaan sistem motorik sebaiknya dilakukan dengan urutan urutan tertentu untuk menjamin
kelengkapan dan ketelitian pemeriksaan.
Inspeksi
Gaya berjalan dan tingkah laku.
Simetri tubuh dan ektremitas.
Kelumpuhan badan dan anggota gerak, dan lain-lain.
Gerakan volunter
Yang diperiksa adalah gerakan pasien atas permintaan pemeriksa, misalnya:
Mengangkat kedua tangan pada sendi bahu.
Fleksi dan ekstensi artikulus kubiti.
Mengepal dan membuka jari-jari tangan.
Mengangkat kedua tungkai pada sendi panggul.
Fleksi dan ekstensi artikulus genu.
Plantar fleksi dan dorso fleksi kaki.
Gerakan jari- jari kaki.
Palpasi otot
Pengukuran besar otot.
Nyeri tekan.
Kontraktur.
Konsistensi (kekenyalan).
Konsistensi otot yang meningkat terdapat pada:
o Spasmus otot akibat iritasi radix saraf spinalis, misal: meningitis, HNP
o Kelumpuhan jenis UMN (spastisitas)
o Gangguan UMN ekstrapiramidal (rigiditas)
Kontraktur otot
Konsistensi otot yang menurun terdapat pada
Kelumpuhan jenis LMN akibat denervasi otot.
Kelumpuhan jenis LMN akibat lesi di “motor end plate”
Perkusi otot
Normal : otot yang diperkusi akan berkontraksi yang bersifat setempat dan berlangsung
hanya 1 atau 2 detik saja.
Miodema : penimbunan sejenak tempat yang telah diperkusi (biasanya terdapat pada pasien
mixedema, pasien dengan gizi buruk).
Miotonik : tempat yang diperkusi menjadi cekung untuk beberapa detik oleh karena
kontraksi otot yang bersangkutan lebih lama dari pada biasa.
Tonus otot
Pasien diminta melemaskan ekstremitas yang hendak diperiksa kemudian ekstremitas
tersebut kita gerak-gerakkan fleksi dan ekstensi pada sendi siku dan lutut. Pada orang
normal terdapat tahanan yang wajar.
Flaccid : tidak ada tahanan sama sekali (dijumpai pada kelumpuhan LMN).
Hipotoni : tahanan berkurang.
Spastik : tahanan meningkat dan terdapat pada awal gerakan, ini dijumpai pada
kelumpuhan UMN.
Rigid : tahanan kuat terus menerus selama gerakan misalnya pada Parkinson.
Kekuatan otot
Pemeriksaan ini menilai kekuatan otot, untuk memeriksa kekuatan otot ada dua cara:
Pasien disuruh menggerakkan bagian ekstremitas atau badannya dan pemeriksa menahan
gerakan ini.
Pemeriksa menggerakkan bagian ekstremitas atau badan pasien dan ia disurun menahan.
Cara menilai kekuatan otot:
- 0: Tidak didapatkan sedikitpun kontraksi otot, lumpuh total.
- 1: Terdapat sedikit kontraksi otot, namun tidak didapatkan gerakan
pada persendiaan yang harus digerakkan oleh otot tersebut.
- 2: Didapatkan gerakan,tetapi gerakan ini tidak mampu melawan gaya
berat (gravitasi).
- 3: Dapat mengadakan gerakan melawan gaya berat.
- 4: Disamping dapat melawan gaya berat ia dapat pula mengatasi
sedikit tahanan yang diberikan.
- 5: Tidak ada kelumpuhan (normal)
Pemeriksaan Sensoris
Eksteroseptif : terdiri atas rasa nyeri, rasa suhu dan rasa raba.
Rasa nyeri bisa dibangkitkan dengan berbagai cara, misalnya dengan menusuk menggunakan
jarum, memukul dengan benda tumpul, merangsang dengan api atau hawa yang sangat dingin dan
juga dengan berbagai larutan kimia.
Rasa suhu diperiksa dengan menggunakan tabung reaksi yang diisi dengan air es untuk rasa dingin,
dan untuk rasa panas dengan air panas. Penderita disuruh mengatakan dingin atau panas bila
dirangsang dengan tabung reaksi yang berisi air dingin atau air panas. Untuk memeriksa rasa
dingin dapat digunakan air yang bersuhu sekitar 10-20 °C, dan untuk yang panas bersuhu 40-50
°C. Suhu yang kurang dari 5 °C dan yang lebih tinggi dari 50 °C dapat menimbulkan rasa-nyeri.
Rasa raba dapat dirangsang dengan menggunakan sepotong kapas, kertas atau kain dan ujungnya
diusahakan sekecil mungkin. Hindarkan adanya tekanan atau pembangkitan rasa nyeri. Periksa
seluruh tubuh dan bandingkan bagian-bagian yang simetris.
Proprioseptif : rasa raba dalam (rasa gerak, rasa posisi/sikap, rasa getar dan rasa tekanan)
Rasa gerak : pegang ujung jari jempol kaki pasien dengan jari telunjuk dan jempol jari tangan
pemeriksa dan gerakkan keatas kebawah maupun kesamping kanan dan kiri, kemudian pasien
diminta untuk menjawab posisi ibu jari jempol nya berada diatas atau dibawah atau disamping
kanan/kiri.
Rasa sikap : Tempatkan salah satu lengan/tungkai pasien pada suatu posisi tertentu, kemudian
suruh pasien untuk menghalangi pada lengan dan tungkai. Perintahkan untuk menyentuh dengan
ujung ujung telunjuk kanan, ujung jari kelingking kiri dsb.
Rasa getar : Garpu tala digetarkan dulu/diketuk pada meja atau benda keras lalu letakkan diatas
ujung ibu jari kaki pasien dan mintalah pasien menjawab untuk merasakan ada getaran atau tidak
dari garputala tersebut.
Diskriminatif : daya untuk mengenal bentuk/ukuran; daya untuk mengenal /mengetahui berat
sesuatu benda dsb.
Rasa gramestesia : untuk mengenal angka, aksara, bentuk yang digoreskan diatas kulit pasien,
misalnya ditelapak tangan pasien.
Rasa barognosia : untuk mengenal berat suatu benda.
Rasa topognosia : untuk mengenal tempat pada tubuhnya yang disentuh pasien.
PEMERIKSAAN KOORDINASI
Intensio tremor
Tremor yang timbul bila melakukan gerakan volunter (degan kemauan) dan menjadi
lebih nyata bila menghampiri tujuannya. Tremor intensi dapat pula diperiksa dengan
jalan menyuruh pasien mengambil benda yang kecil, makin dekat ia pada benda
tersebut makin jelas tremor pada tangannya.
Test telunjuk hidung
Pasien disuruh menutup mata dan meluruskan lengannya kesamping, kemudian ia
disuruh menyentuh hidubgnya dengan telunjuk. Pada lesi sereberal telunjuk tidak
sampai di hidung tetapi melewatinya dan sampai di pipi. Bila jari mendekati hidung
terlihat tremor (tremor intensi) atau pasien disuruh menunjuk telunjuk pemeriksa,
kemudian menunjuk hidungnya, berulang-ulang.
Tes tumit – lutut
Penderita berbaring dengan kedua tungkai diluruskan, kemudian ia dusuruh
menempatkan tumit pada lutut kaki yang lain. Tumit ini tidak tepat mengenai lutut.
Terlihat pasien mengadakan fleksi lutut yang berlebihan sehingga tumit melampaui
lutut dan sampai di paha.
Ataksi (gangguan koordinasi gerakan)
Gangguan gerakan adalah berkurangnya kerjasama antar otot. Pada orang normal bila
ia mengedik kebelakang, pada waktu yang bersamaan ia akan memfleksikan lutut atau
tungkai untuk menjaga keseimbangan. Akan tetapi pada penderita gangguan sereberal,
saat mengedikkian badannya ke belakang, ia selalu menegangkan tungkainya, sehingga
ia berada dalam bahaya akan jatuh.
B. REFLEKS FISIOLOGIS
Refleks neurologik bergantung pada suatu lengkungan (lengkung refleks) yang terdiri atas
jalur aferen yang dicetus oleh reseptor dan sistem eferen yang mengaktifasi organ efektor, serta
hubungan antara kedua komponen ini. Bila lengkung ini rusak maka refleks akan hilang. Selain
lengkungan tadi didapatkan pula hubungan dengan pusat-pusat yang lebih tinggi di otak yang
tugasnya memodifikasi refleks tersebut. Bila hubungan dengan pusat-pusat yang lebih tinggi di
otak yang tugasnya memodifikasi refleks tersebut. Bila hubungan dengan pusat yang lebih tinggi
ini terputus, misalnya karena kerusakan pada sistem piramidal, hal ini akan mengakibatkan refleks
meninggi.
Bila dibandingkan dengan pemeriksaan-pemeriksaan lainnya, misalnya pemeriksaan
sensibilitas, maka pemeriksaan refleks kurang bergantung kepada kooperasi pasien. Ia dapat
dilakukan pada orang yang kesadarannya menurun, bayi, anak, orang yang rendah inteligensinya
dan orang yang gelisah. Dalam sehari-hari kita biasanya memeriksa 2 macam refleks fisiologis
yaitu refleks dalam dan releks superfisial.
Tingkat jawaban refleks
Jawaban refleks dapat dibagi atas beberapa tingkat yaitu :
- (negatif) : tidak ada refleks sama sekali
- ± : kurang jawaban, jawaban lemah
- + : jawaban normal
- ++ : jawaban berlebih, refleks meningkat
3. Brachioradialis Reflex
a. Kedua tangan pasien disamping badan, rileks.
b. Pegang lengan bawah pasien, letakkan jari telunjuk/jempol kita
diatas sendi pergelangan pasien (radius-sejajar jempol).
c. Ketuk jari dengan palu refleks.
d. (+): Fleksi tangan (kontraksi brachioradialis).
e. Bandingkan kanan dan kiri.
4. Knee Jerk Reflex / Patellar Reflex
a. Fleksikan kaki pasien (lututnya), satu tangan pemeriksa dibawah lutut.
b. Minta pasien rileks.
c. Ketuklah pada tendon muskulus kuadriseps femoris di bawah patella
d. (+): Ekstensi tungkai kaki bawah.
e. Bandingkan kanan dan kiri.
5. Achilles Tendon Reflex / Ankle Tendon Reflex
a. Tekuk kaki pasien, letakkan diatas kaki yang lainnya.
b. Fleksikan tungkai bawah sedikit, kemudian pegang
kaki pada ujungnya untuk memberikan sikap
dorsofleksi ringan pada kaki
c. Ketuk tendon achilles dengan bagian palu yang
tumpul, bersilangan.
d. (+): Fleksi plantar.
e. Bandingkan kanan dan kiri.
b. SUPERFICIAL REFLEX
Refleks ini timbul karena terangsangnya kulit atau mukosa yang mengakibatkan
berkontraksinya otot yang ada di bawahnya atau di sekitarnya. Jadi bukan karena teregangnya
otot seperti pada refleks dalam. Salah satu contohnya adalah refleks dinding perut superfisialis
(refleks abdominal).
a. Izin buka baju pasien sampai area abdominal terlihat.
b. Gores kulit abdomen dengan sisi ujung satunya dari palu reflex (gently).
c. Arah: diagonal dan horizontal dari lateral ke medial menuju midline (umbilicus).
d. Area stimulasi: atas umbilicus, di level umbilicus, dan dibawah umbilicus.
o Segmen epigastrium (otot yang berkontraksi diinervasi oleh Th 6 – Th 7)
o Supra umbilikus (perut bagian atas, diinervasi oleh Th 7 – Th 9)
o Umbilikus (perut bagian tengah, diinervasi oleh Th 9 – Th 11)
o Infraumbilikus ( perut bagian bawah, diinervasi oleh Th 11, Th 12 dan lumbal atas)
Interpretasi
Nilai Positif : Kontraksi otot abdomen, pusar bergerak kea rah otot yang berkontraksi.
Nilai Negatif :
- Biasanya negatif pada wanita normal yang banyak anak (sering hamil), yang dinding
perutnya lembek, demikian juga pada orang gemuk dan orang usia lanjut, juga pada bayi
baru lahir sampai usia 1 tahun.
- Pada orang muda yang otot-otot dinding perutnya berkembang baik, bila refleks ini negatif
(-), hal ini mempunyai nilai patologis.
- Refleks dinding perut superfisialis menghilang pada lesi piramidalis. Hilangnya refleks ini
berkombinasi dengan meningkatnya refleks otot dinding perut adalah khas bagi lesi di
susunan piramidalis. Pada keadaan-keadaan perut tersebut di atas dan lesi di segmen-
segmen medulla spinalis yang dilintasi busur refleks kulit dinding perut, sudah barang tentu
refleks kulit dinding perut tidak dapat dibangkitkan.
C. REFLEKS PATOLOGIS
Refleks patologik adalah refleks-refleks yang tidak dapat dibangkitkan pada orang-rang
yang sehat, kecuali pada bayi dan anak kecil. Kebanyakan merupakan gerakan reflektorik defendif
atau postural yang pada orang dewasa yang sehat terkelola dan ditekan oleh akifitas susunan
piramidalis. Anak kecil umur antara 4 – 6 tahun masih belum memiliki susunan piramidal yang
sudah bermielinisasi penuh, sehingga aktifitas susunan piramidalnya masih belum sepmpirna.
Maka dari itu gerakan reflektorik yang dinilai sebagai refleks patologik pada orang dewasa tidak
selamanya patologik jika dijumpai pada anak-anak kecil, tetapi pada orang dewasa refleks
patologikselalu merupakan tanda lesi UMN.
Refleks-refleks patologik itu sebagian bersifat refleks dalam dan sebagian lainnya bersifat
refleks superfisialis. Reaksi yang diperlihatkan oleh refleks patologik itu sebagian besar adalah
sama, akan tetapi mendapatkan julukan yang bermacam-macam karena cara membangkitkannya
berbeda-beda. Adapun refleks-refleks patologik yang sering diperiksa di dalam klinik antara lain
refleks Hoffmann, refleks Tromner dan ekstensor plantar response atau tanda Babinski
1. Babinski Reflex
a. Pegang kaki pasien di ankle joint (agak diangkat sedikit).
b. Goreskan ujung dasar palu reflex ke aspek lateral sole (telapak kaki bagian sejajar
kelingking) dari tumit ke arah kepala tulang metatarsal medial (jempol).
c. Lihat apakah ada respon refleks/tidak.
d. Bandingkan kanan dan kiri.
Interpretasi:
Positif (+) jika didapatkan gerakan dorso fleksi ibu jari , yang dapat disertai mekarnya jari-
jari lainnya.
2. Chaddock Reflex
a. Sama kayak Babinski, tapi goresnya di punggung kaki.
b. Lihat apakah ada respon refleks/tidak.
c. Bandingkan kanan dan kiri.
d. (+) : gerakan dorso fleksi ibu jari , yang dapat disertai mekarnya
jari-jari lainnya.
3. Oppenheim Reflex
a. Fleksikan jari telunjuk dan tengah kita.
b. Goreskan dengan tekanan pada tulang tibia (jari kita
di antara tulang tibianya) bagian proximal kebawah
sampai distal tibia.
c. Lihat apakah ada respon refleks/tidak.
d. Bandingkan kanan dan kiri.
e. (+) : gerakan dorso fleksi ibu jari , yang dapat disertai mekarnya jari-jari lainnya.
4. Gordon Reflex
a. Tekan otot gastrocnemius (otot betis) pasien.
b. Lihat apakah ada respon refleks/tidak.
c. Bandingkan kanan dan kiri.
d. (+) : gerakan dorso fleksi ibu jari , yang dapat disertai
mekarnya jari-jari lainnya.
5. Scheiffer Reflex
a. Tekan tendon achilles pasien (cubit).
b. Lihat apakah ada respon refleks/tidak.
c. Bandingkan kanan dan kiri.
6. Rossolimo Reflex
a. Ketuk aspek anterior telapak kaki dengan palu refleks.
b. Lihat apakah ada respon refleks atau tidak.
c. (+): Kontraksi jari-jari kaki.
d. Bandingkan kanan dan kiri.
7. Mendel Bachterew Reflex
a. Ketuk aspek posterior telapak kaki (dorsal pedis) dengan palu refleks.
b. Lihat apakah ada respon refleks atau tidak.
c. (+): Kontraksi jari-jari kaki.
d. Bandingkan kanan dan kiri.
8. Refleks Hoffmann
a. Mintalah pasien berbaring telentang atau duduk
dengan santai
b. Tangan pasien kita pegang pada pergelangan dan
jari-jarinya disuruh fleksi-entengkan
c. Jari tengah penderita kita jepit di antara telunjuk
dan jari tengah kita.
d. Dengan ibu jari kita ”gores kuat” ujung jari tengah klien
e. (+): fleksi jari telunjuk, serta fleksi dan aduksi ibu jari. Kadang disertai fleksi jari
lainnya.
9. Refleks Tromner
a. Mintalah pasien berbaring telentang atau duduk
dengan santai
b. Tangan pasien kita pegang pada pergelangan dan jari-
jarinya disuruh fleksi-entengkan
c. Jari tengah penderita kita jepit di antara telunjuk dan
jari tengah kita.
d. Dengan jari tengah kita mencolek-colek ujung jari klien
e. (+): fleksi jari telunjuk, serta fleksi dan aduksi ibu jari. Kadang disertai fleksi jari
lainnya.
D. REFLEKS PRIMITIF
Refleks primitif adalah gerakan reflektorik yang bangkit secara fisiologik pada bayi dan tidak
dijumpai lagi pada anak-anak yang sudah besar. Bilamana pada orang dewasa refleks tersebut
masih dapat ditimbulkan, maka fenomena itu menandakan kemunduran fungsi susunan saraf pusat.
Adapun refleks-refleks yang menandakan proses regresi tersebut ialah refleks menetek, snout
reflex, refleks memegang (grasp refleks), refleks glabella dan refleks palmomental.
1. Glabellar Reflex
a. Ketuk tengah dahi pasien tepat diatas hidung dengan jari
telunjuk kita.
b. Stimulus harus diberikan diluar jangkauan pandang pasien.
c. Normal response: Kontraksi eyelids (menutup mata) dan
hilang setelah beberapa detik.
d. (+) (abnormal): Lebih dari 8x kontraksi (menutup mata)
walaupun sudah diulang ketukannya beberapa kali.
2. Palmo-Mental Reflex
a. Gores palmar/telapak tangan pasien (aspek lateral area metacarpal dari proximal ke
distal)
b. (+) (abnormal): Kontraksi otot mentum dibagian dagu (kedutan pada dagu).
c. Bandingkan kanan dan kiri.
3. Snout Reflex
a. Ketuk pada bagian filtrum pasien (antara bibir atas dan
hidung) dengan jari telunjuk kita.
b. (+) (abnormal): Mencucu/monyong/mencari-cari arah
stimulus.
4. Grasp Reflex
a. Grasp/tekan palmar pasien dengan jari tengah dan
telunjuk kita.
b. (+) (abnormal): Fleksi jari-jari tangan dan
menggenggam jari tangan kita.
c. Bandingkan kanan dan kiri.
E. MENINGEAL SIGN
1. Neck Stiffness/Nuchal Rigidity dan Brudzinski 1
a. Rotasi kanan dan kiri kepala pasien, ekstensi dengan mengangkat bahunya. (Untuk
mengecek apakah ada kerusakan vertebrae atau tidak.
b. Fleksikan kepala sampai dagu pasien menyentuh dada (tangan kanan di dada pasien,
tangan kiri di belakang kepala pasien).
c. Abnormal: Ada tahanan gerakan kepala dan pasien merasa sakit.
d. Brudzinski 1 Sambil memfleksikan kepala pasien, sambil dilihat apakah ada gerakan
fleksi pada kaki pasien. Jika ada: (+) Brudzinski 1
N. IV (N. Trochlearis)
Nervus IV mempersarafi m.obliqus superior. Kerja otot ini menyebabkan mata dapat dilirikkan ke
arah bawah dan nasal. Kelumpuhan N. IV menyebabkan terjadinya diplopia bila mata dilirikkan
ke arah ini.
N. VI (N. Abducens)
Nervus VI menginervasi m.rectus externus (lateralis). Kerja dari otot ini mengakibatkan mata
dapat melirik ke arah temporal. Jadi kelumpuhan N. VI menyebabkan terganggunya melirik mata
ke arah luar pada mata yang terlibat, yang menyebabkan diplopia horizontal.
Pemeriksaan N. III, IV, dan VI.
Ptosis
Ptosis terjadi akibat kelumpuhan m. levator palpebra yang dipersarafi oleh N. III di mana kelopak
mata terjatuh, mata tertutup dan tidak dapat dibuka. Cara pemeriksaannya dapat dilihat dengan
meminta kedua mata pasien melihat ke depan. Pada keadaan normal, kelopak mata tampak
menutupi sebagian atas iris mata sama tinggi. Bila lebih rendah disebut ptosis. Cara pemeriksaan
kedua, pasien diminta untuk memejamkan mata, kemudian disuruh membukanya. Pada waktu
membuka mata, gerakan ini ditahan dengan memegang atau menekan pada kelopak mata.
Strabismus (juling atau jereng)
Perhatikan posisi bola mata dalam keadaan istirahat. Jika satu otot mata lumpuh, hal ini
mengakibatkan kontraksi atau tarikan yang berlebihan dari otot antagonisnya dan mengakibatkan
strabismus (juling, jereng). Pada kelumpuhan m.rectus externus didapatkan strabismus konvergen
(mata yang lumpuh melirik lebih ke medial). Pada kelumpuhan m.rectus internus didapatkan
strabismus divergen (mata yang lumpuh melirik ke lateral). Strabismus juga bisa terjadi karena m.
rektus eksternus lebih panjang atau pada pasien miastenia gravis.
Exophtalmus (mata menonjol)
Perhatikan kedudukan bola mata apakah mata menonjol (exophtalmus) atau seolah-olah masuk ke
dalam (endophtalmus). Pada exophtalmus celah mata tampak lebih besar sedangkan pada
endophtalmus celah mata lebih kecil. Pada sindrom Horner (yang disebabkan kerusakan serabut
saraf simpatis leher) didapatkan endophtalmus. Exophtalmus bilateral dapat dijumpai pada
tirotoksikosis. Exophtalmus yang unilateral biasanya disebabkan proses setempat misalnya
desakan tumor di daerah orbita.
Nistagmus
Ialah gerakan bola mata bolak-balik yang involunter dan ritmis. Mempunyai komponen cepat atau
lambat. Jurusan nistagmus sesuai komponen cepat. Untuk maksud ini pasien diminta melirik terus
ke satu arah selama jangka waktu 5-6 detik. Akan tetapi mata jangan terlalu jauh dilirikkan.
Apabila ditemukan nistagmus, harus diperiksa :
1. Jenis gerakan
2. Bidang gerakan
3. Frekuensi
4. Amplitudo
5. Arah gerakan
6. Derajatnya
7. Lamanya
Gerakan Mata
Pemeriksa menggerakkan jari ke semua arah, jarak jangan terlalu dekat. Kedua bola mata pasien
mengikuti gerakan jari. Perhatikan apakah pergerakan bola mata terbatas, yang satu tertinggal dari
yang lain.
Pupil
Pupil yang normal berbentuk bundar dengan tepi rata dan diameter 2-4 mm, isokor (kiri = kanan).
Refleks cahaya direk diperiksa dengan meggunakan penlight yang terang, mata disinari langsung,
maka pupil konstriksi cepat. Refleks cahaya indirek yang diperiksa adalah mata yang satu disinari,
pupil mata lain konstriksi. Cara pemeriksaan refleks konvergensi seperti berikut; pasien melihat
jauh, jari pemeriksa diletakkan kira-kira 30 cm di depan mata pasien, lalu pasien disuruh melihat
jari pemeriksa, maka tampak kedua mata konvergensi, akomodasi dan kedua pupil konstriksi.
N. V (N. Trigeminus)
Bersifat motorik dan sensorik. Bagian yang motorik menuju ke m.masseter, m.temporalis,
m.pterygoideus, sedangkan yang sensorik mempersarafi kulit wajah.
Pemeriksaan Motorik
a. Pasien diminta menggigit lalu pemeriksa meraba m.masseter dan m.temporalis,
bandingkan kanan dan kiri dengan memperhatikan besar, tonus serta konturnya.
b. Pasien membuka mulut perlahan-lahan, apabila m.pterygoideus lumpuh, rahang bawah
berdeviasi ke sisi yang sehat dan mudah didorong ke sisi lumpuh.
Pemeriksaan Sensorik
Pemeriksaan dilakukan dengan perabaaan memakai kapas, rasa nyeri memakai penusuk gigi dan
rasa suhu memakai tabung uji yang berisi air hangat atau air dingin pada kulit wajah. Pasien
kemudian diminta memejamkan mata dan merasakan perbedaan rasa raba antara kiri dan kanan
dimulai dari daerah dahi, pipi dan dagu. Pemeriksaan ini diulang untuk tes nyeri dan tes suhu.
1. N. Ophtalmicus
a. Refleks Kornea, limbus kornea disentuh dengan kapas maka mata akan berkedip
b. Foramen supraorbita ditekan, keadaan normal tak nyeri.
c. Dahi , diperiksa rasa raba, nyeri dan suhu, bandingkan kanan dan kiri
2. N. Maxilaris
a. Refleks bersin, cavum nasi bawah disentuh dengan kapas, pasien bersin.
b. Foramen Infraorbita ditekan, keadaan normal tidak nyeri.
c. Pipi, diperiksa rasa raba, nyeri dan suhu, bandingkan kanan dan kiri.
3. N. Mandibularis
a. Jaw jerk reflex, letakkan jari horizoontal pada dagu, mulut pasien terbuka sedikit dan rileks,
ketuk jari dengan palu reflex maka terjadi gerakan elevasi rahang.
b. Foramen mental ditekan, keadaan normal tidak nyeri.
c. Pipi dan rahang bawah, diperiksa rasa raba, nyeri dan suhu, bandingkan kanan dan kiri.
Tes Rinne
Pada pemeriksaan ini dibandingkan konduksi tulang dengan konduksi udara. Pada telinga normal,
konduksi udara lebih baik daripada konduksi tulang (Rinne positif). Pada tuli konduktif, konduksi
tulang lebih baik baik daripada konduksi udara (Rinne negatif). Sedangkan pada tuli perspektif,
konduksi udara lebih baik daripada konduksi tulang namun berkurang bila dibandingkan dengan
normal.
Pada pemeriksaan tes Rinne biasanya digunakan garpu tala yang berfrekuensi 128, 256, dan 512
Hz. Garpu tala dibunyikan dan pangkalnya ditekankan pada tulang mastoid pasien. Minta untuk
mendengarkan bunyinya. Bila tidak terdengar lagi, garpu tala segera didekatkan pada telinga. Jika
masih terdengar bunyi, maka konduksi udara lebih baik daripada konduksi tulang, dan dalam hal
ini dikatakan Rinne positif. Bila tidak terdengar lagi bunyi, segera setelah garpu tala dipindahkan
dari tulang mastoid ke dekat telinga, maka dikatakan Rinne negatif.
Saraf Vestibularis
Saraf vestibularis berperan dalam mempertahankan keseimbangan pada tiap macam sikap,
koordinasi gerakan badan dan anggota gerak. Sistem vestibular juga berperan dalam refleks okuler,
fiksasi dan gerakan terkonjugasi dari kepala dan mata yang memungkinkan seseorang memfiksasi
pandangannya pada benda yang diam bila kepala dan badannya bergerak. Gangguan saraf
vestibularis dapat menyebabkan vertigo, kehilangan keseimbangan, nistagmus, dan salah tunjuk.
Pemeriksaan Saraf Vestibularis
Saraf Vestibularis
Gangguan saraf vestibularis atau hubungannya dengan sentral dapat menyebabkan terjadinya
vertigo, rasa tidak stabil, kehilangan keseimbangan, nistagmus, dan salah tunjuk (”past pointing”).
Vertigo merupakan keluhan yang sering dikemukakan oleh penderita dengan gangguan sistem
vestibular, yaitu rasa bergerak (penderita merasa bahwa sekitarnya bergerak atau dirinya yang
bergerak) dan biasanya disertai oleh rasa tidak stabil dan kehilangan keseimbangan.
Cara khusus untuk menimbulkan nistagmus
Untuk menimbulkan atau memperjelas nistagmus dapat dilakukan manuver Nylen-
Barany/manuver Hallpike, atau tes kalori.
Manuver Nylen-Barany/manuver Hallpike. Pada tes ini pasien diminta untuk duduk pada
tempat tidur periksa. Kemudian direbahkan sampai kepalanya tergantung di pinggir dengan sudut
sekitar 30o dibawah horison. Selanjutnya kepala dimiringkan ke arah kiri. Tes kemudian diulangi
dengan kepala melihat lurus dan diulangi lagi dengan kepala menoleh ke kanan. Pasien diminta
tetap membuka mata agar pemeriksa dapat melihat jika muncul nistagmus. Tanyakan pada pasien
mengenai apa yang dirasakannya, apakah ada vertigo dan apakah vertigo yang dialami pada tes ini
serupa dengan vertigo yang pernah dialaminya.
Tes kalori. Kepekaan pasien terhadap rangsang kalori bervariasi, oleh karena itu, tes lebih baik
dimulai dengan stimulasi yang ringan dengan harapan bahwa stimulasi ringan telah menginduksi
nistagmus dengan rasa vertigo yang ringan dan tidak disertai mual atau muntah. Stimulasi yang
lebih berat dapat diberikan jika penderita ternyata kurang sensitif.
Cara melakukan tes kalori : kepala pasien diangkat ke belakang (menengadah) 60o. Tabung suntik
berukuran 20 cc dengan jarum ukuran 15 yang ujungnya dilindungi karet diisi dengan air bersuhu
30oC. Air disemprotkan ke liang telinga dengan kecepatan 1 cc per detik. Dengan demikian
gendang telinga tersiram air selama kira-kira 20 detik. Kemudian, bola mata penderita segera
diamati terhadap adanya nistagmus. Arah gerak nistagmus dicatat, demikian juga frekuensinya
(biasanya 3-5 kali per detik) dan lamanya nistagmus berlangsung dicatat. Lamanya nistagmus
berlangsung berbeda pada tiap orang, namun biasanya berlangsung ½ - 2 menit. Setelah
beristirahat selama 5 detik, telinga kedua dites, kemudian dibandingkan lamanya nistagmus pada
kedua sisi, yang pada keadaan normal hampir sama. Nistagmus lebih mudah diamati dengan
menggunakan lensa Frenzel yaitu suatu kacamata dengan lensa positif 20 dioptri. Lensa ini
membuat penderita tidak dapat memfiksasi pandangannya dan pemeriksa dapat menilai gerakan
mata penderita dengan lebih mudah, karena lensa ini berfungsi juga sebagai kaca pembesar.
Karena pengamatan dilakukan langsung oleh pemeriksa, maka kesalahan dapat terjadi. Oleh
karena itu, dikembangkan alat elektronistagmografi.
Tes untuk menilai keseimbangan
Untuk menilai keseimbangan penderita dapat dilakukan tes Romberg yang dipertajam dan tes
melangkah di tempat (stepping test).
Tes Romberg yang dipertajam. Pada tes ini pasien berdiri dengan kaki yang satu di depan kaki
yang lainnya; tumit kaki yang satu berada di depan jari-jari kaki yang lainnya. Lengan dilipat pada
dada dan mata kemudian ditutup. Tes ini berguna menilai adanya disfungsi sistem vestibular.
Orang normal mampu berdiri dalam sikap Romberg yang dipertajam selama 30 detik atau lebih.
Tesmelangkahditempat (stepping test).Pasien diminta berjalan di tempat, dengan mata ditutup,
sebanyak 50 langkah dengan kecepatan seperti berjalan biasa. Sebelumnya dikatakan kepada
pasien bahwa pasien harus berusaha agar tetap berada di tempat, dan tidak beranjak dari tempatnya
selama tes ini. Hasil tes ini dianggap abnormal bila kedudukan akhir pasien beranjak lebih dari 1
meter dari tempatnya semula, atau badan terputar lebih dari 30o.
Salah tunjuk (past pointing). Pasien diminta merentangkan lengannya dan telunjuknya
menyentuh telunjuk pemeriksa. Kemudian pasien disuruh menutup mata, mengangkat lengannya
tinggi-tinggi (sampai vertikal) dan kemudian kembali ke posisi semula. Pada gangguan vestibular
didapatkan salah tunjuk (deviasi), demikian juga dengan gangguan cerebelar. Tes ini dilakukan
dengan lengan kanan dan lengan kiri, selain pasien disuruh mengangkat lengan tinggi-tinggi dapat
pula dilakukan dengan menurunkan lengan ke bawah sampai vertikal dan kemudian kembali ke
posisi semula.
N. XI (N. Accesorius)
Hanya mempunyai komponen motorik
Pemeriksaan
1. Kekuatan otot sternocleidomastoideus diperiksa dengan menahan gerakan fleksi lateral
dari kepala/leher penderita atau sebaliknya (dokter yang melawan/mendorong sedangkan
penderita yang menahan pada posisi lateral fleksi).
2. Kekuatan m.trapezius bagian atas diperiksa dengan menekan kedua bahu penderita
kebawah, sementara itu penderita berusaha mempertahankan posisi kedua bahu terangkat
(sebaiknya posisi penderita duduk dan dokter berada di belakang pasien).
Disamping kekuatan otot yang perlu dilihat adalah tanda – tanda LMN pada kedua otot tersebut
diatas (atrofi dan fasikulasi).