Anda di halaman 1dari 31

CLINICAL SCIENCE SESSION

PEMERIKSAAN NEUROLOGI

Disusun oleh :
Hadaral Hudanul Qolbi
Talitha Rahma Ayuningtyas
Via Afini Salsabila

Preseptor :
Firman Priguna T, dr., Sp.BS., M.Kes.

PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER


BAGIAN ILMU BEDAH
RUMAH SAKIT DR. HASAN SADIKIN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN
BANDUNG
2018
A. PEMERIKSAAN TINGKAT KESADARAN
Glasgow Coma Scale juga sering digunakan untuk mengetahui adanya disfungsi neurologis
pada pasien.

Interpretasi (Range 3-15)


3-7 : Coma
8-11 : Sopor
12-14 : Somnolent
15 : Compos mentis (Alert)
Selain secara kuantitatif dengan menggunakan GCS, tingkat kesadaran juga dapat diperiksa
secara kualitatif, yaitu:
1. Compos Mentis (conscious), yaitu kesadaran normal, sadar sepenuhnya, dapat menjawab
semua pertanyaan tentang keadaan sekelilingnya.
2. Apatis, yaitu keadaan kesadaran yang segan untuk berhubungan dengan sekitarnya,
sikapnya acuh tak acuh.
3. Delirium, yaitu gelisah, disorientasi (orang, tempat, waktu), memberontak, berteriak-
teriak, berhalusinasi, kadang berhayal.
4. Somnolen (Obtundasi, Letargi), yaitu kesadaran menurun, respon psikomotor yang lambat,
mudah tertidur, namun kesadaran dapat pulih bila dirangsang (mudah dibangunkan) tetapi
jatuh tertidur lagi, mampu memberi jawaban verbal.
5. Stupor (soporo koma), yaitu keadaan seperti tertidur lelap, tetapi ada respon terhadap nyeri.
6. Coma (comatose), yaitu tidak bisa dibangunkan, tidak ada respon terhadap rangsangan
apapun (tidak ada respon kornea maupun refleks muntah, mungkin juga tidak ada respon
pupil terhadap cahaya).

Pemeriksaan Motorik
Pemeriksaan sistem motorik sebaiknya dilakukan dengan urutan urutan tertentu untuk menjamin
kelengkapan dan ketelitian pemeriksaan.
Inspeksi
 Gaya berjalan dan tingkah laku.
 Simetri tubuh dan ektremitas.
 Kelumpuhan badan dan anggota gerak, dan lain-lain.
Gerakan volunter
Yang diperiksa adalah gerakan pasien atas permintaan pemeriksa, misalnya:
 Mengangkat kedua tangan pada sendi bahu.
 Fleksi dan ekstensi artikulus kubiti.
 Mengepal dan membuka jari-jari tangan.
 Mengangkat kedua tungkai pada sendi panggul.
 Fleksi dan ekstensi artikulus genu.
 Plantar fleksi dan dorso fleksi kaki.
 Gerakan jari- jari kaki.
Palpasi otot
 Pengukuran besar otot.
 Nyeri tekan.
 Kontraktur.
 Konsistensi (kekenyalan).
 Konsistensi otot yang meningkat terdapat pada:
o Spasmus otot akibat iritasi radix saraf spinalis, misal: meningitis, HNP
o Kelumpuhan jenis UMN (spastisitas)
o Gangguan UMN ekstrapiramidal (rigiditas)
Kontraktur otot
Konsistensi otot yang menurun terdapat pada
 Kelumpuhan jenis LMN akibat denervasi otot.
 Kelumpuhan jenis LMN akibat lesi di “motor end plate”
Perkusi otot
 Normal : otot yang diperkusi akan berkontraksi yang bersifat setempat dan berlangsung
hanya 1 atau 2 detik saja.
 Miodema : penimbunan sejenak tempat yang telah diperkusi (biasanya terdapat pada pasien
mixedema, pasien dengan gizi buruk).
 Miotonik : tempat yang diperkusi menjadi cekung untuk beberapa detik oleh karena
kontraksi otot yang bersangkutan lebih lama dari pada biasa.
Tonus otot
 Pasien diminta melemaskan ekstremitas yang hendak diperiksa kemudian ekstremitas
tersebut kita gerak-gerakkan fleksi dan ekstensi pada sendi siku dan lutut. Pada orang
normal terdapat tahanan yang wajar.
 Flaccid : tidak ada tahanan sama sekali (dijumpai pada kelumpuhan LMN).
 Hipotoni : tahanan berkurang.
 Spastik : tahanan meningkat dan terdapat pada awal gerakan, ini dijumpai pada
kelumpuhan UMN.
 Rigid : tahanan kuat terus menerus selama gerakan misalnya pada Parkinson.

Kekuatan otot
Pemeriksaan ini menilai kekuatan otot, untuk memeriksa kekuatan otot ada dua cara:
 Pasien disuruh menggerakkan bagian ekstremitas atau badannya dan pemeriksa menahan
gerakan ini.
 Pemeriksa menggerakkan bagian ekstremitas atau badan pasien dan ia disurun menahan.
Cara menilai kekuatan otot:
- 0: Tidak didapatkan sedikitpun kontraksi otot, lumpuh total.
- 1: Terdapat sedikit kontraksi otot, namun tidak didapatkan gerakan
pada persendiaan yang harus digerakkan oleh otot tersebut.
- 2: Didapatkan gerakan,tetapi gerakan ini tidak mampu melawan gaya
berat (gravitasi).
- 3: Dapat mengadakan gerakan melawan gaya berat.
- 4: Disamping dapat melawan gaya berat ia dapat pula mengatasi
sedikit tahanan yang diberikan.
- 5: Tidak ada kelumpuhan (normal)

Pemeriksaan Sensoris
Eksteroseptif : terdiri atas rasa nyeri, rasa suhu dan rasa raba.
Rasa nyeri bisa dibangkitkan dengan berbagai cara, misalnya dengan menusuk menggunakan
jarum, memukul dengan benda tumpul, merangsang dengan api atau hawa yang sangat dingin dan
juga dengan berbagai larutan kimia.
Rasa suhu diperiksa dengan menggunakan tabung reaksi yang diisi dengan air es untuk rasa dingin,
dan untuk rasa panas dengan air panas. Penderita disuruh mengatakan dingin atau panas bila
dirangsang dengan tabung reaksi yang berisi air dingin atau air panas. Untuk memeriksa rasa
dingin dapat digunakan air yang bersuhu sekitar 10-20 °C, dan untuk yang panas bersuhu 40-50
°C. Suhu yang kurang dari 5 °C dan yang lebih tinggi dari 50 °C dapat menimbulkan rasa-nyeri.
Rasa raba dapat dirangsang dengan menggunakan sepotong kapas, kertas atau kain dan ujungnya
diusahakan sekecil mungkin. Hindarkan adanya tekanan atau pembangkitan rasa nyeri. Periksa
seluruh tubuh dan bandingkan bagian-bagian yang simetris.

Proprioseptif : rasa raba dalam (rasa gerak, rasa posisi/sikap, rasa getar dan rasa tekanan)
Rasa gerak : pegang ujung jari jempol kaki pasien dengan jari telunjuk dan jempol jari tangan
pemeriksa dan gerakkan keatas kebawah maupun kesamping kanan dan kiri, kemudian pasien
diminta untuk menjawab posisi ibu jari jempol nya berada diatas atau dibawah atau disamping
kanan/kiri.
Rasa sikap : Tempatkan salah satu lengan/tungkai pasien pada suatu posisi tertentu, kemudian
suruh pasien untuk menghalangi pada lengan dan tungkai. Perintahkan untuk menyentuh dengan
ujung ujung telunjuk kanan, ujung jari kelingking kiri dsb.
Rasa getar : Garpu tala digetarkan dulu/diketuk pada meja atau benda keras lalu letakkan diatas
ujung ibu jari kaki pasien dan mintalah pasien menjawab untuk merasakan ada getaran atau tidak
dari garputala tersebut.

Diskriminatif : daya untuk mengenal bentuk/ukuran; daya untuk mengenal /mengetahui berat
sesuatu benda dsb.
Rasa gramestesia : untuk mengenal angka, aksara, bentuk yang digoreskan diatas kulit pasien,
misalnya ditelapak tangan pasien.
Rasa barognosia : untuk mengenal berat suatu benda.
Rasa topognosia : untuk mengenal tempat pada tubuhnya yang disentuh pasien.
PEMERIKSAAN KOORDINASI
 Intensio tremor
Tremor yang timbul bila melakukan gerakan volunter (degan kemauan) dan menjadi
lebih nyata bila menghampiri tujuannya. Tremor intensi dapat pula diperiksa dengan
jalan menyuruh pasien mengambil benda yang kecil, makin dekat ia pada benda
tersebut makin jelas tremor pada tangannya.
 Test telunjuk hidung
Pasien disuruh menutup mata dan meluruskan lengannya kesamping, kemudian ia
disuruh menyentuh hidubgnya dengan telunjuk. Pada lesi sereberal telunjuk tidak
sampai di hidung tetapi melewatinya dan sampai di pipi. Bila jari mendekati hidung
terlihat tremor (tremor intensi) atau pasien disuruh menunjuk telunjuk pemeriksa,
kemudian menunjuk hidungnya, berulang-ulang.
 Tes tumit – lutut
Penderita berbaring dengan kedua tungkai diluruskan, kemudian ia dusuruh
menempatkan tumit pada lutut kaki yang lain. Tumit ini tidak tepat mengenai lutut.
Terlihat pasien mengadakan fleksi lutut yang berlebihan sehingga tumit melampaui
lutut dan sampai di paha.
 Ataksi (gangguan koordinasi gerakan)
Gangguan gerakan adalah berkurangnya kerjasama antar otot. Pada orang normal bila
ia mengedik kebelakang, pada waktu yang bersamaan ia akan memfleksikan lutut atau
tungkai untuk menjaga keseimbangan. Akan tetapi pada penderita gangguan sereberal,
saat mengedikkian badannya ke belakang, ia selalu menegangkan tungkainya, sehingga
ia berada dalam bahaya akan jatuh.

B. REFLEKS FISIOLOGIS
Refleks neurologik bergantung pada suatu lengkungan (lengkung refleks) yang terdiri atas
jalur aferen yang dicetus oleh reseptor dan sistem eferen yang mengaktifasi organ efektor, serta
hubungan antara kedua komponen ini. Bila lengkung ini rusak maka refleks akan hilang. Selain
lengkungan tadi didapatkan pula hubungan dengan pusat-pusat yang lebih tinggi di otak yang
tugasnya memodifikasi refleks tersebut. Bila hubungan dengan pusat-pusat yang lebih tinggi di
otak yang tugasnya memodifikasi refleks tersebut. Bila hubungan dengan pusat yang lebih tinggi
ini terputus, misalnya karena kerusakan pada sistem piramidal, hal ini akan mengakibatkan refleks
meninggi.
Bila dibandingkan dengan pemeriksaan-pemeriksaan lainnya, misalnya pemeriksaan
sensibilitas, maka pemeriksaan refleks kurang bergantung kepada kooperasi pasien. Ia dapat
dilakukan pada orang yang kesadarannya menurun, bayi, anak, orang yang rendah inteligensinya
dan orang yang gelisah. Dalam sehari-hari kita biasanya memeriksa 2 macam refleks fisiologis
yaitu refleks dalam dan releks superfisial.
Tingkat jawaban refleks
Jawaban refleks dapat dibagi atas beberapa tingkat yaitu :
- (negatif) : tidak ada refleks sama sekali
- ± : kurang jawaban, jawaban lemah
- + : jawaban normal
- ++ : jawaban berlebih, refleks meningkat

a. REFLEKS DALAM (REFLEKS REGANG OTOT)


Refleks dalam timbul oleh regangan otot yang disebabkan oleh rangsangan, dan sebagai
jawabannya maka otot berkontraksi. Refleks dalam juga dinamai refleks regang otot (muscle
stretch reflex). Nama lain bagi refleks dalam ini ialah refleks tendon, refleks periosteal, refleks
miotatik dan refleks fisiologis.
1. Biceps Reflex
a. Pasien dalam keadaan tidur telentang.
b. Minta pasien untuk rileks.
c. Taruh 1 jari di atas fossa cubiti lalu letakkan diatas perut.
d. Ketuk jari dengan palu refleks.
e. (+): Fleksi tangan (kontraksi otot biceps).
f. Bandingkan kanan dan kiri.
2. Triceps Reflex
a. Masih telentang, rileks.
b. Fleksi siku 90o lalu letakkan di atas perut.
c. Ketuklah tendo otot triseps pada fosa olekrani
d. (+): Ekstensi tangan (kontraksi otot triceps)
e. Bandingkan kanan dan kiri.

3. Brachioradialis Reflex
a. Kedua tangan pasien disamping badan, rileks.
b. Pegang lengan bawah pasien, letakkan jari telunjuk/jempol kita
diatas sendi pergelangan pasien (radius-sejajar jempol).
c. Ketuk jari dengan palu refleks.
d. (+): Fleksi tangan (kontraksi brachioradialis).
e. Bandingkan kanan dan kiri.
4. Knee Jerk Reflex / Patellar Reflex
a. Fleksikan kaki pasien (lututnya), satu tangan pemeriksa dibawah lutut.
b. Minta pasien rileks.
c. Ketuklah pada tendon muskulus kuadriseps femoris di bawah patella
d. (+): Ekstensi tungkai kaki bawah.
e. Bandingkan kanan dan kiri.
5. Achilles Tendon Reflex / Ankle Tendon Reflex
a. Tekuk kaki pasien, letakkan diatas kaki yang lainnya.
b. Fleksikan tungkai bawah sedikit, kemudian pegang
kaki pada ujungnya untuk memberikan sikap
dorsofleksi ringan pada kaki
c. Ketuk tendon achilles dengan bagian palu yang
tumpul, bersilangan.
d. (+): Fleksi plantar.
e. Bandingkan kanan dan kiri.

b. SUPERFICIAL REFLEX
Refleks ini timbul karena terangsangnya kulit atau mukosa yang mengakibatkan
berkontraksinya otot yang ada di bawahnya atau di sekitarnya. Jadi bukan karena teregangnya
otot seperti pada refleks dalam. Salah satu contohnya adalah refleks dinding perut superfisialis
(refleks abdominal).
a. Izin buka baju pasien sampai area abdominal terlihat.
b. Gores kulit abdomen dengan sisi ujung satunya dari palu reflex (gently).
c. Arah: diagonal dan horizontal dari lateral ke medial menuju midline (umbilicus).
d. Area stimulasi: atas umbilicus, di level umbilicus, dan dibawah umbilicus.
o Segmen epigastrium (otot yang berkontraksi diinervasi oleh Th 6 – Th 7)
o Supra umbilikus (perut bagian atas, diinervasi oleh Th 7 – Th 9)
o Umbilikus (perut bagian tengah, diinervasi oleh Th 9 – Th 11)
o Infraumbilikus ( perut bagian bawah, diinervasi oleh Th 11, Th 12 dan lumbal atas)
Interpretasi
Nilai Positif : Kontraksi otot abdomen, pusar bergerak kea rah otot yang berkontraksi.
Nilai Negatif :
- Biasanya negatif pada wanita normal yang banyak anak (sering hamil), yang dinding
perutnya lembek, demikian juga pada orang gemuk dan orang usia lanjut, juga pada bayi
baru lahir sampai usia 1 tahun.
- Pada orang muda yang otot-otot dinding perutnya berkembang baik, bila refleks ini negatif
(-), hal ini mempunyai nilai patologis.
- Refleks dinding perut superfisialis menghilang pada lesi piramidalis. Hilangnya refleks ini
berkombinasi dengan meningkatnya refleks otot dinding perut adalah khas bagi lesi di
susunan piramidalis. Pada keadaan-keadaan perut tersebut di atas dan lesi di segmen-
segmen medulla spinalis yang dilintasi busur refleks kulit dinding perut, sudah barang tentu
refleks kulit dinding perut tidak dapat dibangkitkan.

C. REFLEKS PATOLOGIS
Refleks patologik adalah refleks-refleks yang tidak dapat dibangkitkan pada orang-rang
yang sehat, kecuali pada bayi dan anak kecil. Kebanyakan merupakan gerakan reflektorik defendif
atau postural yang pada orang dewasa yang sehat terkelola dan ditekan oleh akifitas susunan
piramidalis. Anak kecil umur antara 4 – 6 tahun masih belum memiliki susunan piramidal yang
sudah bermielinisasi penuh, sehingga aktifitas susunan piramidalnya masih belum sepmpirna.
Maka dari itu gerakan reflektorik yang dinilai sebagai refleks patologik pada orang dewasa tidak
selamanya patologik jika dijumpai pada anak-anak kecil, tetapi pada orang dewasa refleks
patologikselalu merupakan tanda lesi UMN.
Refleks-refleks patologik itu sebagian bersifat refleks dalam dan sebagian lainnya bersifat
refleks superfisialis. Reaksi yang diperlihatkan oleh refleks patologik itu sebagian besar adalah
sama, akan tetapi mendapatkan julukan yang bermacam-macam karena cara membangkitkannya
berbeda-beda. Adapun refleks-refleks patologik yang sering diperiksa di dalam klinik antara lain
refleks Hoffmann, refleks Tromner dan ekstensor plantar response atau tanda Babinski
1. Babinski Reflex
a. Pegang kaki pasien di ankle joint (agak diangkat sedikit).
b. Goreskan ujung dasar palu reflex ke aspek lateral sole (telapak kaki bagian sejajar
kelingking) dari tumit ke arah kepala tulang metatarsal medial (jempol).
c. Lihat apakah ada respon refleks/tidak.
d. Bandingkan kanan dan kiri.

Interpretasi:
Positif (+) jika didapatkan gerakan dorso fleksi ibu jari , yang dapat disertai mekarnya jari-
jari lainnya.
2. Chaddock Reflex
a. Sama kayak Babinski, tapi goresnya di punggung kaki.
b. Lihat apakah ada respon refleks/tidak.
c. Bandingkan kanan dan kiri.
d. (+) : gerakan dorso fleksi ibu jari , yang dapat disertai mekarnya
jari-jari lainnya.
3. Oppenheim Reflex
a. Fleksikan jari telunjuk dan tengah kita.
b. Goreskan dengan tekanan pada tulang tibia (jari kita
di antara tulang tibianya) bagian proximal kebawah
sampai distal tibia.
c. Lihat apakah ada respon refleks/tidak.
d. Bandingkan kanan dan kiri.
e. (+) : gerakan dorso fleksi ibu jari , yang dapat disertai mekarnya jari-jari lainnya.

4. Gordon Reflex
a. Tekan otot gastrocnemius (otot betis) pasien.
b. Lihat apakah ada respon refleks/tidak.
c. Bandingkan kanan dan kiri.
d. (+) : gerakan dorso fleksi ibu jari , yang dapat disertai
mekarnya jari-jari lainnya.
5. Scheiffer Reflex
a. Tekan tendon achilles pasien (cubit).
b. Lihat apakah ada respon refleks/tidak.
c. Bandingkan kanan dan kiri.
6. Rossolimo Reflex
a. Ketuk aspek anterior telapak kaki dengan palu refleks.
b. Lihat apakah ada respon refleks atau tidak.
c. (+): Kontraksi jari-jari kaki.
d. Bandingkan kanan dan kiri.
7. Mendel Bachterew Reflex
a. Ketuk aspek posterior telapak kaki (dorsal pedis) dengan palu refleks.
b. Lihat apakah ada respon refleks atau tidak.
c. (+): Kontraksi jari-jari kaki.
d. Bandingkan kanan dan kiri.
8. Refleks Hoffmann
a. Mintalah pasien berbaring telentang atau duduk
dengan santai
b. Tangan pasien kita pegang pada pergelangan dan
jari-jarinya disuruh fleksi-entengkan
c. Jari tengah penderita kita jepit di antara telunjuk
dan jari tengah kita.
d. Dengan ibu jari kita ”gores kuat” ujung jari tengah klien
e. (+): fleksi jari telunjuk, serta fleksi dan aduksi ibu jari. Kadang disertai fleksi jari
lainnya.
9. Refleks Tromner
a. Mintalah pasien berbaring telentang atau duduk
dengan santai
b. Tangan pasien kita pegang pada pergelangan dan jari-
jarinya disuruh fleksi-entengkan
c. Jari tengah penderita kita jepit di antara telunjuk dan
jari tengah kita.
d. Dengan jari tengah kita mencolek-colek ujung jari klien
e. (+): fleksi jari telunjuk, serta fleksi dan aduksi ibu jari. Kadang disertai fleksi jari
lainnya.

D. REFLEKS PRIMITIF
Refleks primitif adalah gerakan reflektorik yang bangkit secara fisiologik pada bayi dan tidak
dijumpai lagi pada anak-anak yang sudah besar. Bilamana pada orang dewasa refleks tersebut
masih dapat ditimbulkan, maka fenomena itu menandakan kemunduran fungsi susunan saraf pusat.
Adapun refleks-refleks yang menandakan proses regresi tersebut ialah refleks menetek, snout
reflex, refleks memegang (grasp refleks), refleks glabella dan refleks palmomental.
1. Glabellar Reflex
a. Ketuk tengah dahi pasien tepat diatas hidung dengan jari
telunjuk kita.
b. Stimulus harus diberikan diluar jangkauan pandang pasien.
c. Normal response: Kontraksi eyelids (menutup mata) dan
hilang setelah beberapa detik.
d. (+) (abnormal): Lebih dari 8x kontraksi (menutup mata)
walaupun sudah diulang ketukannya beberapa kali.

2. Palmo-Mental Reflex
a. Gores palmar/telapak tangan pasien (aspek lateral area metacarpal dari proximal ke
distal)
b. (+) (abnormal): Kontraksi otot mentum dibagian dagu (kedutan pada dagu).
c. Bandingkan kanan dan kiri.

3. Snout Reflex
a. Ketuk pada bagian filtrum pasien (antara bibir atas dan
hidung) dengan jari telunjuk kita.
b. (+) (abnormal): Mencucu/monyong/mencari-cari arah
stimulus.

4. Grasp Reflex
a. Grasp/tekan palmar pasien dengan jari tengah dan
telunjuk kita.
b. (+) (abnormal): Fleksi jari-jari tangan dan
menggenggam jari tangan kita.
c. Bandingkan kanan dan kiri.
E. MENINGEAL SIGN
1. Neck Stiffness/Nuchal Rigidity dan Brudzinski 1
a. Rotasi kanan dan kiri kepala pasien, ekstensi dengan mengangkat bahunya. (Untuk
mengecek apakah ada kerusakan vertebrae atau tidak.
b. Fleksikan kepala sampai dagu pasien menyentuh dada (tangan kanan di dada pasien,
tangan kiri di belakang kepala pasien).
c. Abnormal: Ada tahanan gerakan kepala dan pasien merasa sakit.
d. Brudzinski 1 Sambil memfleksikan kepala pasien, sambil dilihat apakah ada gerakan
fleksi pada kaki pasien. Jika ada: (+) Brudzinski 1

2. Brudzinski 2 dan Kernig’s Sign


a. Brudzinski 2 Angkat salah satu kaki pasien, lihat apakah ada gerakan fleksi pada
kaki yang lainnya. Jika ada: (+) Brudzinski 2.
b. Bandingkan kanan dan kiri.
c. Kernig’s sign Angkat kaki sampai paha dan abdomen membentuk sudut 90o.
Tungkai diangkat/kaki bawah diekstensikan.
Abnormal: Sudut antara lutut dan paha <130o dan pasien merasa sakit.
3. Brudzinski 3
a. Tekan tulang zygomatic (tulang pipi) pasien.
b. Abnormal: Pasien akan memfleksikan lengannya.
4. Brudzinski 4
a. Tekan bagian bawah abdomen (suprapubic area).
b. Abnormal: Pasien akan memfleksikan kakinya.
5. Lasique’s Sign
a. Elevasi kaki pasien keatas, lurus.
b. Abnormal: Sudut antara kasur dan kaki <70o
dan pasien merasa sakit.
c. Bandingkan kanan dan kiri.

F. Pemeriksaan Saraf Kranial


N. I (N. Olfactorius)
Tujuan: mendeteksi adanya gangguan penciuman (dan penyebabnya baik gangguan saraf atau
penyakit hidung lokal). Kerusakan saraf menyebabkan hilangnya penciuman (anosmia) atau
berkurangnya penciuman (hiposmia).
Kelemahan : pemeriksaan bersifat subjektif, karena tergantung pada laporan pasien.
Cara pemeriksaan :
- Periksa lubang hidung, lihat apakah ada sumbatan atau kelainan setempat misalnya ingus
atau polip
- Zat pengetes yang digunakans ebaiknya zat yang dikenal sehari-hari, misalnya : kopi, teh,
tembakau, jeruk. Jangan menggunakan zat yang dapat merangsang mukosa hidung, seperti
mentol, ammonia, alcohol dan cuka.
- Zat pengetes didekatkan kehidung pasien dan pasien diminta untuk menciumnya.
- Pasien diminta untuk menutup mata.
- Periksa setiap lubang hidung satu persatu dengan menutup lubang hidung lainnya dengan
tangan secara bergantian.
Interpretasi : anosmia (sama sekali tidak mencium bau), hiposmia (kurang membau), hiperosmia
(kuat sekali membau, sering pada hysteria), dan parosmia (salah membau, sering pada skizofrenia).
N. II ( N. Opticus)
1) Visus (ketajaman penglihatan)
Membandingkan ketajaman penglihatan pasien dengan pemeriksa (ketajaman penglihatan
pemeriksa harus “normal”, jika tidak pemeriksa telah mengkoreksi tajam penglihatannya misalnya
dengan kacamata).
Alat : optotip Snellen.
Gambar Snellen ialah huruf-huruf atau gambar-gambar yang disusun makin ke bawah makin kecil;
barisan paling bawah mempunyai huruf-huruf yang paling kecil yang oleh mata normal dapat
dibaca dari jarak 6 meter. Pasien diperintahkan untuk membaca gambar Snellen dari jarak 6 meter,
kemudian ditentukan sampai barisan mana masih dapat terbaca. Jika pasien
dapatmembacasampaibarisan paling bawah, makaketajamanpenglihatannya normal (6/6). Jika
tidak, dapat membaca pada baris paling bawah, maka visusnya tidak normal, hal ini dinyatakan
dengan menggunakan pecahan, misalnya 6/20. Ini berarti bahwa huruf yang seharusnya dapat
dibaca dari jarak 20 meter hanya dapat terbaca dari jarak 6 meter.
Apabila pasien tidak dapat membaca huruf teratas dari Snellen Chart, pemeriksaan dilakukan
dengan cara menghitung jari, menggerakkan tangan atau persepsi sinar. Pasien dapat menghitung
jari dari jarak tidak lebih dari 1 meter berarti visus = 1/60. Hanya dapat melihat gerakan tangan
berarti visus 1/300, hanya dapat membedakan gelap-terang/persepsi cahaya, visus = 1/~. Buta
dengan visus = 0.
2) Campus/Visual Field (Lapang Pandang)
Secara kasar pemeriksaan lapang pandang dilakukan dengan membandingkan campus
penglihatan pemeriksa (yang dianggap normal) yaitu dengan metode konfrontasi Donder. Pasien
diminta duduk atau berdiri berhadapan dengan pemeriksa dari jarak kira-kira 1 meter. Pada saat
memeriksa mata kanan, maka mata kiri pasien harus ditutup dengan tangannya atau kertas,
sedangkan pemeriksa menutup mata kanannya. Kemudian pasien diminta melihat terus
(memfiksasi matanya) pada mata kiri pemeriksa dan pemeriksa harus selalu melihat ke mata kanan
pasien. Setelah itu pemeriksa menggerakkan jari tangannya di bidang pertengahan antara
pemeriksa dan pasien. Gerakan dilakukan dari arah luar ke dalam.
Apabila pasien mulai melihat gerakan jari-jari pemeriksa, pasien harus memberitahu, dan
hal ini dibandingkan dengan pemeriksa, apakah pemeriksa telah melihatnya. Jika terdapat
gangguan campus penglihatan, maka pemeriksa akan lebih dahulu melihat gerakan tersebut.
Gerakan jari tangan harus dilakukan dari semua arah dan masing-masing mata harus diperiksa.
Alat-alat yang juga bisa dipakai adalah kampimeter dan perimeter.
3) Fundus
Pemeriksaan fundus dilakukan dengan menggunakan oftalmoskop. Pada pemeriksaan
fundus yang harus dilihat adalah perubahan papil (atrofi atau sembab). Papil adalah tempat serabut
N. II memasuki mata. Papil yang normal akan terlihat bentuknya lonjong berwarna jingga muda,
di bagian temporal sedikit pucat, batas dengan sekitarnya (retina) tegas, hanya di bagian nasal agak
kabur, selain itu didapatkan lekukan fisiologis (physiologic cup). Pembuluh darah muncul di
tengah, bercabang ke atas dan ke bawah; jalan arteri lurus sedangkan vena berkelok-kelok;
perbandingan besar vena : arteri ialah 3 :2 sampai 5:4. Normalnya C/D (cup dan disc) ratio ≤ 0,3,
A/V (arteri dan vena) ratio 2:3.
Pada atrofi primer warna papil menjadi pucat, batasnya tegas dan pembuluh darah berkurang. Pada
atrofi sekunder warna papil pucat tetapi batasnya tidak tegas.

N. III (N. Oculomotorius)


Gangguan total pada N. III ditandai oleh :
1. Lumpuhnya m.levator palpebra  ptosis.
2. Paralisisototm.rectus superior, m.rectusinternus, m.rectus inferior, dan m.obliqus inferior.
3. Kelumpuhansarafparasimpatis yang mengakibatkanpupil yang lebar (midriasis) yang
tidakbereaksidengancahaya dan konvergensi.
Halinimengakibatkansikap bola mata terlirikkeluar dan kebawah.

N. IV (N. Trochlearis)
Nervus IV mempersarafi m.obliqus superior. Kerja otot ini menyebabkan mata dapat dilirikkan ke
arah bawah dan nasal. Kelumpuhan N. IV menyebabkan terjadinya diplopia bila mata dilirikkan
ke arah ini.

N. VI (N. Abducens)
Nervus VI menginervasi m.rectus externus (lateralis). Kerja dari otot ini mengakibatkan mata
dapat melirik ke arah temporal. Jadi kelumpuhan N. VI menyebabkan terganggunya melirik mata
ke arah luar pada mata yang terlibat, yang menyebabkan diplopia horizontal.
Pemeriksaan N. III, IV, dan VI.
Ptosis
Ptosis terjadi akibat kelumpuhan m. levator palpebra yang dipersarafi oleh N. III di mana kelopak
mata terjatuh, mata tertutup dan tidak dapat dibuka. Cara pemeriksaannya dapat dilihat dengan
meminta kedua mata pasien melihat ke depan. Pada keadaan normal, kelopak mata tampak
menutupi sebagian atas iris mata sama tinggi. Bila lebih rendah disebut ptosis. Cara pemeriksaan
kedua, pasien diminta untuk memejamkan mata, kemudian disuruh membukanya. Pada waktu
membuka mata, gerakan ini ditahan dengan memegang atau menekan pada kelopak mata.
Strabismus (juling atau jereng)
Perhatikan posisi bola mata dalam keadaan istirahat. Jika satu otot mata lumpuh, hal ini
mengakibatkan kontraksi atau tarikan yang berlebihan dari otot antagonisnya dan mengakibatkan
strabismus (juling, jereng). Pada kelumpuhan m.rectus externus didapatkan strabismus konvergen
(mata yang lumpuh melirik lebih ke medial). Pada kelumpuhan m.rectus internus didapatkan
strabismus divergen (mata yang lumpuh melirik ke lateral). Strabismus juga bisa terjadi karena m.
rektus eksternus lebih panjang atau pada pasien miastenia gravis.
Exophtalmus (mata menonjol)
Perhatikan kedudukan bola mata apakah mata menonjol (exophtalmus) atau seolah-olah masuk ke
dalam (endophtalmus). Pada exophtalmus celah mata tampak lebih besar sedangkan pada
endophtalmus celah mata lebih kecil. Pada sindrom Horner (yang disebabkan kerusakan serabut
saraf simpatis leher) didapatkan endophtalmus. Exophtalmus bilateral dapat dijumpai pada
tirotoksikosis. Exophtalmus yang unilateral biasanya disebabkan proses setempat misalnya
desakan tumor di daerah orbita.
Nistagmus
Ialah gerakan bola mata bolak-balik yang involunter dan ritmis. Mempunyai komponen cepat atau
lambat. Jurusan nistagmus sesuai komponen cepat. Untuk maksud ini pasien diminta melirik terus
ke satu arah selama jangka waktu 5-6 detik. Akan tetapi mata jangan terlalu jauh dilirikkan.
Apabila ditemukan nistagmus, harus diperiksa :
1. Jenis gerakan
2. Bidang gerakan
3. Frekuensi
4. Amplitudo
5. Arah gerakan
6. Derajatnya
7. Lamanya
Gerakan Mata
Pemeriksa menggerakkan jari ke semua arah, jarak jangan terlalu dekat. Kedua bola mata pasien
mengikuti gerakan jari. Perhatikan apakah pergerakan bola mata terbatas, yang satu tertinggal dari
yang lain.
Pupil
Pupil yang normal berbentuk bundar dengan tepi rata dan diameter 2-4 mm, isokor (kiri = kanan).
Refleks cahaya direk diperiksa dengan meggunakan penlight yang terang, mata disinari langsung,
maka pupil konstriksi cepat. Refleks cahaya indirek yang diperiksa adalah mata yang satu disinari,
pupil mata lain konstriksi. Cara pemeriksaan refleks konvergensi seperti berikut; pasien melihat
jauh, jari pemeriksa diletakkan kira-kira 30 cm di depan mata pasien, lalu pasien disuruh melihat
jari pemeriksa, maka tampak kedua mata konvergensi, akomodasi dan kedua pupil konstriksi.
N. V (N. Trigeminus)
Bersifat motorik dan sensorik. Bagian yang motorik menuju ke m.masseter, m.temporalis,
m.pterygoideus, sedangkan yang sensorik mempersarafi kulit wajah.
Pemeriksaan Motorik
a. Pasien diminta menggigit lalu pemeriksa meraba m.masseter dan m.temporalis,
bandingkan kanan dan kiri dengan memperhatikan besar, tonus serta konturnya.
b. Pasien membuka mulut perlahan-lahan, apabila m.pterygoideus lumpuh, rahang bawah
berdeviasi ke sisi yang sehat dan mudah didorong ke sisi lumpuh.
Pemeriksaan Sensorik
Pemeriksaan dilakukan dengan perabaaan memakai kapas, rasa nyeri memakai penusuk gigi dan
rasa suhu memakai tabung uji yang berisi air hangat atau air dingin pada kulit wajah. Pasien
kemudian diminta memejamkan mata dan merasakan perbedaan rasa raba antara kiri dan kanan
dimulai dari daerah dahi, pipi dan dagu. Pemeriksaan ini diulang untuk tes nyeri dan tes suhu.
1. N. Ophtalmicus
a. Refleks Kornea, limbus kornea disentuh dengan kapas maka mata akan berkedip
b. Foramen supraorbita ditekan, keadaan normal tak nyeri.
c. Dahi , diperiksa rasa raba, nyeri dan suhu, bandingkan kanan dan kiri
2. N. Maxilaris
a. Refleks bersin, cavum nasi bawah disentuh dengan kapas, pasien bersin.
b. Foramen Infraorbita ditekan, keadaan normal tidak nyeri.
c. Pipi, diperiksa rasa raba, nyeri dan suhu, bandingkan kanan dan kiri.
3. N. Mandibularis
a. Jaw jerk reflex, letakkan jari horizoontal pada dagu, mulut pasien terbuka sedikit dan rileks,
ketuk jari dengan palu reflex maka terjadi gerakan elevasi rahang.
b. Foramen mental ditekan, keadaan normal tidak nyeri.
c. Pipi dan rahang bawah, diperiksa rasa raba, nyeri dan suhu, bandingkan kanan dan kiri.

N VII (N. Fascialis)


Saraf otak ke VII mengandung 4 macam serabut, yaitu :
- Serabut somato-motorik, mensarafi otot-otot wajah (kecuali m. levator palpebrae (N. III)),
otot platisma, stylohyoid, digastrikus bagian posterior dan stapedius di telinga tengah.
- Serabut visero-motorik (parasimpatis) yang datang dari nukleus salivatorius superior.
Serabut saraf ini mengurus glandula dan mukosa faring, palatum, rongga hidung, sinus
paranasal, dan glandula submaksilar serta sublingual dan lakrimalis.
- Serabut visero-sensorik yang menghantar impuls dari alat pengecap di dua pertiga bagian
depan lidah
- Serabut somato-sensorik rasa nyeri (dan mungkin juga rasa suhu dan rasa raba) dari
sebagian daerah kulit dan mukosa yang disarafi oleh nervus trigeminus. Daerah ovelapping
(disarafi oleh lebih dari satu saraf (tumpang tindih) ini terdapat di lidah, palatum, meatus
akustikus eksterna, dan bagian luar gendang telinga.
Bagan saraf fasialis
Otot-otot bagian atas wajah mendapat persarafan dari 2 sisi. Karena itu, terdapat perbedaan antara
gejala kelumpuhan saraf VII jenis sentral dan perifer. Pada gangguan sentral, sekitar mata dan dahi
yang mendapat persarafan dari 2 sisi tidak lumpuh; yang lumpuh ialah bagian bawah wajah. Pada
gangguan N VII jenis perifer (gangguan berada di inti atau di serabut saraf) maka semua otot satu
sisi wajah lumpuh dan mungkin juga termasuk cabang saraf yang mengurus pengecapan dan
sekresi ludah yang berjalan bersama saraf fasialis.
Fungsi Motorik
Untuk memeriksa fungsi motorik, perhatikan muka pasien, apakah simetris atau tidak. Perhatikan
kerutan pada dahi, pejaman mata, plika nasolabialis dan sudutn mulut. Bila asimetri (dari) muka
tampak jelas, maka hal ini disebabkan oleh kelumpuhan jenis perifer. Dalam hal ini kerutan dahi
menghilang, mata kurang dapat dipejamkan, plika nasolabialis mendatar dan sudut mulut menjadi
lebih rendah. Pada kelumpuhan jenis sentral (supranuklir), muka tampak simetris waktu istirahat,
kelumpuhan baru nyata bila penderita disuruh melakukan gerakan, misalnya menyeringai.
Gejala Chvostek dibangkitkan dengan mengetok N VII. Ketokan dilakukan dibagian depan telinga.
Bila positif, ketokan ini menyebabkan kontraksi otot yang disarafinya. Pada tetani didapatkan
gejala Chvostek positif, tetapi dapat juga positif pada orang normal. Dasar gejala Chvostek ialah
bertambah pekanya nervus fasialis terhadap rangsang mekanik.
Minta pasien mengangkat alis dan mengerutkan dahi.
Perhatikan apakah ini dapat dilakukan, dan apakah ada asimetri. Pada kelumpuhan jenis
supranuklir satu sisi, penderita dapat mengangkat alis dan mengerutkan dahinya, sebab otot ini
mendapat persarafan bilateral. Pada kelumphan jenis perifer terlihat adanya asimetri.
Minta pasien memejamkan mata.
Apabila kelumpuhannya berat, maka penderita tidak dapat memejamkan mata; bila
kelumpuhannya ringan, maka tenaga pemejaman kurang kuat. Hal ini dapat dinilai dengan cara
mengangkat kelopak mata dengan tangan pemeriksa, sedangkan pasien diminta tetap memejamkan
mata. Minta pasien memejamkan matanya satu persatu. Hal ini merupakan pemeriksaan yang baik
untuk parese ringan. Bila terdapat parese, penderita tidak dapat memejamkan matanya pada sisi
yang lumpuh. Perlu diingat bahwa ada juga orang normal yang tidak dapat memejamkan matanya
satu persatu.

Minta pasien menyeringai (menunjukkan gigi-geligi), mencucurkan bibir menggembungkan


pipi).
Perhatikan apakah hal ini dapat dilakukan dan apakah simetri. Perhatikan sudut mulut pasien.
Minta pasien bersiul. Pasien yang tadinya dapat bersiul menjadi tidak mampu lagi setelah adanya
kelumpuhan. Pada pasien yang tidak kooperatif atau yang menurun kesadarannya, dan tidak dapat
disuruh menyeringai, dapat dibuat menyeringai bila apabila diberi rangsang nyeri, yaitu dengan
menekan pada sudut rahangnya (m.masseter).
Fungsi Pengecapan
Kerusakan N. VII, sebelum percabangan korda timpani, dapat menyebabkan ageusi (hilangnya
pengecapan) pada 2/3 lidah bagian depan. Untuk memeriksanya, pasien diminta menjulurkan
lidah, kemudian oleskan bubuk gula, kina, asam sitrat atau garam (hal ini dilakukan secara
bergiliran dan diselingi istirahat). Apabila bubuk dioleskan, pasien tidak boleh menarik lidahnya
ke dalam mulut, karena bubuk dapat tersebar ke bagian lidah lainnya yaitu ke sisi lidah lainnya
atau kebagian belakang lidah yang persarafannya diurus oleh saraf lain. Pasien diminta
menyatakan pengecapan yang dirasakan dirasakannya dengan isyarat, misalnya 1 untuk rasa
manis, 2 untuk rasa pahit, 3 untuk rasa asin, 4 untuk rasa asam atau menuliskannya pada kertas
tanpa berbicara.
Kerusakan pada atau di atas n. petrosus mayor dapat menyebabkan kurangnya produksi air mata,
dan lesi korda timpani dapat menyebabkan kurangnya produksi ludah.

N. VIII (N. Acusticus)


Saraf ini terdiri atas dua bagian yaitu saraf kokhlearis dan saraf vertibularis. Saraf kokhlearis
mempersarafi pendengaran, dan saraf vertibularis mengurus keseimbangan.
Saraf kokhlearis
Gangguan pada saraf kokhlearis dapat menyebabkan tuli, tinitus atau hiperakusis. Tuli ada 2
macam, yaitu : tuli perseptif/tuli saraf dan tuli konduktif/tuli obstruktif/tuli transmisi. Tinitus
adalah persepsi bunyi berdenging di telinga, yang disebabkan oleh eksitasi atau iritasi pada alat
pendengaran, saraf, inti serta pusat yang lebih tinggi. Hiperakusis adalah meningginya ketajaman
pendengaran yang bersifat patologis didapatkan pada paralisis muskulus stapedius, pada migren,
psikoneurosis dan dapat juga merupakan aura dari epilepsi lobus temporalis.
Pemeriksaan Saraf Kokhlearis
Ketajaman pendengaran secara ditentukan dengan jalan menyuruh pasien mendengarkan suara
bisikan pada jarak tertentu dan membandingkannya dengan orang yang normal. Bila ketajaman
pendengaran berkurang, atau terdapat perbedaan antara kedua telinga, maka dilakukan
pemeriksaan-pemeriksaan Schwabach, Rinne, Weber, dan audiogram.
Tes Schwabach
Pada tes ini pendengaran pasien dibandingkan dengan pendengaran pemeriksa (yang dianggap
normal). Garpu tala dibunyikan kemudian ditempatkan di dekat telinga penderita. Setelah
penderita tidak mendengar bunyi lagi, garpu tala diletakkan di dekat telinga pemeriksa. Bila masih
terdengar bunyi oleh telinga pemeriksa, maka dikatakan bahwa Schwabach lebih pendek (untuk
konduksi udara). Kemudian garpu tala dibunyikan lagi dan pangkalnya ditekankan pada tulang
mastoid pasien dan selanjutnya dilakukan pemeriksaan dengan cara yang sama pada tes schwabach
untuk konduksi udara. Bila sudah tidak terdengar lagi, maka garpu tala ditempatkan pada tulang
mastoid pemeriksa. Bila pemeriksa masih mendengarkan bunyinya maka dikatakan bahwa
Schwabach (untuk konduksi tulang) lebih pendek.

Tes Rinne
Pada pemeriksaan ini dibandingkan konduksi tulang dengan konduksi udara. Pada telinga normal,
konduksi udara lebih baik daripada konduksi tulang (Rinne positif). Pada tuli konduktif, konduksi
tulang lebih baik baik daripada konduksi udara (Rinne negatif). Sedangkan pada tuli perspektif,
konduksi udara lebih baik daripada konduksi tulang namun berkurang bila dibandingkan dengan
normal.
Pada pemeriksaan tes Rinne biasanya digunakan garpu tala yang berfrekuensi 128, 256, dan 512
Hz. Garpu tala dibunyikan dan pangkalnya ditekankan pada tulang mastoid pasien. Minta untuk
mendengarkan bunyinya. Bila tidak terdengar lagi, garpu tala segera didekatkan pada telinga. Jika
masih terdengar bunyi, maka konduksi udara lebih baik daripada konduksi tulang, dan dalam hal
ini dikatakan Rinne positif. Bila tidak terdengar lagi bunyi, segera setelah garpu tala dipindahkan
dari tulang mastoid ke dekat telinga, maka dikatakan Rinne negatif.

Gambar tes Rinne : membandingkan konduksi tulang dengan udara


Garpu tala dibunyikan, ditekankan ke pangkal telinga (A). Setelah bunyi tidak terdengar, garpu
tala diangkat dan didekatkan ke telinga (B). A : konduksi tulang, B : konduksi udara
Tes Webber
Garputala yang dibunyikan ditekankan pangkalnya pada dahi penderita tepat
dipertengahan. Penderita disuruh mendengarkan bunyinya dan menentukan pada telinga mana
bunyi terdengar lebih keras. Pada orang normal, bunyi sama kerasnya pada kedua telinga. Pada
tuli saraf, bunyi lebih keras pada telinga yang sehat dan pada tuli konduktif, bunyi lebih keras
terdengar pada telinga yang tuli. Kita katakan tes weber berlateralisasi ke kanan bila bunyi
terdengar lebih keras di telinga kanan dan sebaliknya.
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa tuli perseptif, pendengaran berkurang, Rinne positif dan
Weber berlateralisasi ke telinga yang sehat. Pada tuli konduktiif, pendengaran berkurang, Rinne
negatif dan Webber berlateralisasi ke telinga yang tuli.

Saraf Vestibularis
Saraf vestibularis berperan dalam mempertahankan keseimbangan pada tiap macam sikap,
koordinasi gerakan badan dan anggota gerak. Sistem vestibular juga berperan dalam refleks okuler,
fiksasi dan gerakan terkonjugasi dari kepala dan mata yang memungkinkan seseorang memfiksasi
pandangannya pada benda yang diam bila kepala dan badannya bergerak. Gangguan saraf
vestibularis dapat menyebabkan vertigo, kehilangan keseimbangan, nistagmus, dan salah tunjuk.
Pemeriksaan Saraf Vestibularis
Saraf Vestibularis
Gangguan saraf vestibularis atau hubungannya dengan sentral dapat menyebabkan terjadinya
vertigo, rasa tidak stabil, kehilangan keseimbangan, nistagmus, dan salah tunjuk (”past pointing”).
Vertigo merupakan keluhan yang sering dikemukakan oleh penderita dengan gangguan sistem
vestibular, yaitu rasa bergerak (penderita merasa bahwa sekitarnya bergerak atau dirinya yang
bergerak) dan biasanya disertai oleh rasa tidak stabil dan kehilangan keseimbangan.
Cara khusus untuk menimbulkan nistagmus
Untuk menimbulkan atau memperjelas nistagmus dapat dilakukan manuver Nylen-
Barany/manuver Hallpike, atau tes kalori.
Manuver Nylen-Barany/manuver Hallpike. Pada tes ini pasien diminta untuk duduk pada
tempat tidur periksa. Kemudian direbahkan sampai kepalanya tergantung di pinggir dengan sudut
sekitar 30o dibawah horison. Selanjutnya kepala dimiringkan ke arah kiri. Tes kemudian diulangi
dengan kepala melihat lurus dan diulangi lagi dengan kepala menoleh ke kanan. Pasien diminta
tetap membuka mata agar pemeriksa dapat melihat jika muncul nistagmus. Tanyakan pada pasien
mengenai apa yang dirasakannya, apakah ada vertigo dan apakah vertigo yang dialami pada tes ini
serupa dengan vertigo yang pernah dialaminya.

Gambar manuver Nylen-Barany/manuver Hallpike


Gambar manuver Nylen-Barany/manuver Hallpike

Tes kalori. Kepekaan pasien terhadap rangsang kalori bervariasi, oleh karena itu, tes lebih baik
dimulai dengan stimulasi yang ringan dengan harapan bahwa stimulasi ringan telah menginduksi
nistagmus dengan rasa vertigo yang ringan dan tidak disertai mual atau muntah. Stimulasi yang
lebih berat dapat diberikan jika penderita ternyata kurang sensitif.
Cara melakukan tes kalori : kepala pasien diangkat ke belakang (menengadah) 60o. Tabung suntik
berukuran 20 cc dengan jarum ukuran 15 yang ujungnya dilindungi karet diisi dengan air bersuhu
30oC. Air disemprotkan ke liang telinga dengan kecepatan 1 cc per detik. Dengan demikian
gendang telinga tersiram air selama kira-kira 20 detik. Kemudian, bola mata penderita segera
diamati terhadap adanya nistagmus. Arah gerak nistagmus dicatat, demikian juga frekuensinya
(biasanya 3-5 kali per detik) dan lamanya nistagmus berlangsung dicatat. Lamanya nistagmus
berlangsung berbeda pada tiap orang, namun biasanya berlangsung ½ - 2 menit. Setelah
beristirahat selama 5 detik, telinga kedua dites, kemudian dibandingkan lamanya nistagmus pada
kedua sisi, yang pada keadaan normal hampir sama. Nistagmus lebih mudah diamati dengan
menggunakan lensa Frenzel yaitu suatu kacamata dengan lensa positif 20 dioptri. Lensa ini
membuat penderita tidak dapat memfiksasi pandangannya dan pemeriksa dapat menilai gerakan
mata penderita dengan lebih mudah, karena lensa ini berfungsi juga sebagai kaca pembesar.
Karena pengamatan dilakukan langsung oleh pemeriksa, maka kesalahan dapat terjadi. Oleh
karena itu, dikembangkan alat elektronistagmografi.
Tes untuk menilai keseimbangan
Untuk menilai keseimbangan penderita dapat dilakukan tes Romberg yang dipertajam dan tes
melangkah di tempat (stepping test).
Tes Romberg yang dipertajam. Pada tes ini pasien berdiri dengan kaki yang satu di depan kaki
yang lainnya; tumit kaki yang satu berada di depan jari-jari kaki yang lainnya. Lengan dilipat pada
dada dan mata kemudian ditutup. Tes ini berguna menilai adanya disfungsi sistem vestibular.
Orang normal mampu berdiri dalam sikap Romberg yang dipertajam selama 30 detik atau lebih.
Tesmelangkahditempat (stepping test).Pasien diminta berjalan di tempat, dengan mata ditutup,
sebanyak 50 langkah dengan kecepatan seperti berjalan biasa. Sebelumnya dikatakan kepada
pasien bahwa pasien harus berusaha agar tetap berada di tempat, dan tidak beranjak dari tempatnya
selama tes ini. Hasil tes ini dianggap abnormal bila kedudukan akhir pasien beranjak lebih dari 1
meter dari tempatnya semula, atau badan terputar lebih dari 30o.
Salah tunjuk (past pointing). Pasien diminta merentangkan lengannya dan telunjuknya
menyentuh telunjuk pemeriksa. Kemudian pasien disuruh menutup mata, mengangkat lengannya
tinggi-tinggi (sampai vertikal) dan kemudian kembali ke posisi semula. Pada gangguan vestibular
didapatkan salah tunjuk (deviasi), demikian juga dengan gangguan cerebelar. Tes ini dilakukan
dengan lengan kanan dan lengan kiri, selain pasien disuruh mengangkat lengan tinggi-tinggi dapat
pula dilakukan dengan menurunkan lengan ke bawah sampai vertikal dan kemudian kembali ke
posisi semula.

N. IX (N.Glossopharyngeus ) dan N. X (N.Vagus)


Fungsi motorik: perhatikan kualitas suara pasien. Apakah suaranya normal, berkurang, serak
(disfonia), atau tidak ada sama sekali (afonia)? Untuk itu pasien diminta menyebutkan: aaaaaa.
Kemudian pasien diminta mengucapkan kata-kata, perhatikan apakah ia dapat mengucapkan kata-
kata tersebut dengan baik dan perhatikan pula kualitas kata-kata yang diucapkan, apakah bindeng
(sengau). Pada kelumpuhan N.IX dan X, palatum mole tidak sanggup menutup jalan ke hidung
waktu berbicara, dan didapatkan suara hidung (bindeng).
Pasien diminta memakan makanan padat, lunak, dan menelan air. Perhatikan apakah ada salah
telan (tersedak, disfagia). Kelumpuhan N.IX dan X dapat menyebabkan disfagia.
Pasien diminta membuka mulut. Perhatikan palatum mole dan faring. Bagaimana posisi palatum
mole, arkus faring dan uvula dalam keadaan istirahat, dan apabila bergerak, misalnya waktu
bernafas atau bersuara (suruh penderita menyebut aaaa). Bila terdapat parese otot-otot faring dan
palatum mole, maka palatum mole, uvula, dan arkus faring sisi yang lumpuh letaknya lebih rendah
daripada yang sehat. Dan bila bergerak, uvula dan arkus seolah-olah tertarik ke bagian yang sehat.
1. Refleks faring: Waktu pasien membuka mulut, kita rangsang (tekan-enteng) dinding faring
atau pangkal lidah dengan tongue-spatel. Dalam hal ini, terlihat faring terangkat dan lidah
ditarik (refleks positif). Bila ada gangguan N.IX dan X, refleks dapat negatif. Bila rangsang
tersebut di atas dilakukan dengan cukup keras, kita dapat membangkitkan refleks muntah,
yang juga dapat hilang pada kerusakan N.IX dan X.
2. Pengecapan: Periksa rasa kecap 1/3 lidah bagian posterior dengan larutan kina.

N. XI (N. Accesorius)
Hanya mempunyai komponen motorik
Pemeriksaan
1. Kekuatan otot sternocleidomastoideus diperiksa dengan menahan gerakan fleksi lateral
dari kepala/leher penderita atau sebaliknya (dokter yang melawan/mendorong sedangkan
penderita yang menahan pada posisi lateral fleksi).
2. Kekuatan m.trapezius bagian atas diperiksa dengan menekan kedua bahu penderita
kebawah, sementara itu penderita berusaha mempertahankan posisi kedua bahu terangkat
(sebaiknya posisi penderita duduk dan dokter berada di belakang pasien).
Disamping kekuatan otot yang perlu dilihat adalah tanda – tanda LMN pada kedua otot tersebut
diatas (atrofi dan fasikulasi).

N. XII (N. Hypoglossus)


Lesi LMN ditandai dengan adanya atrofi lidah dan fasikulasi (tanda dini berupa perubahan
pada pinggiran lidah dan hilangnya papil lidah dan fasikulasi (tanda dini berupa perubahan pada
pinggiran lidah dan hilangnya papil lidah).
Pemeriksaan
1. Menjulurkan lidah
Pada lesi unilateral, lidah akan berdeviasi ke arah lesi. Pada Bell’s palsy (kelumpuhan saraf VII)
bisa menimbulkan positif palsu (hati-hati).
2. Menggerakkan lidah ke lateral
Pada kelumpuhan bilateral dan berat, lidah tidak bisa digerakkan ke arah samping kiri dan kanan.
3. Kekuatan otot lidah
Ujung jari pemeriksa ditempatkan pada salah satu pipi penderita, kemudian penderita diminta
mendorong ujung jari tersebut dengan kekuatan lidahnya. Bandingkan kekuatan dorongan kanan
dan kiri.
Meskipun inti saraf XII mendapat inervasi cortico-bulbar bilateral, lesi akut pada capsula interna
(pada CVD) bisa memperlihatkan deviasi lidah ke arah yang berlawanan dengan lesi sewaktu
menjulurkan lidah kedepan (pada stadium awal). Restitusi terjadi beberapa hari, karena fungsi
tersebut diambil alih oleh cortico-bulbar yang ipsilateral.
Sering terjadi bahwa pada pemeriksaan kekuatan otot-otot lidah, tidak tampak adanya kelemahan,
tetapi penderita mengeluhkan pembicaraannya jadi lain/berubah (disartria) terutama saat
mengucapkan nada tertentu (la.....la) yang menggunakan otot lidah.
Pada setiap penderita dengan disartria (gangguan artikulasi suara), maka harus dibedakan apakah
akibat kelumpuhan otot-otot bibir (NVII), kelumpuhan otot-otot lidah (N.XII), kelumpuhan otot
palatum (suara sengau akibat kelumpuhan N.IX-X) ataukah karena lesi ekstrapiramidal dan
serebelum (slurring/scanning speech).
Adanya atrofi dan fibrilasi lidah satu sisi, menunjukkan adanya disfungsi batang otak (inti N. XII)
atau saraf perifer. Sedangkan lesi bilateral lidah dapat dilihat pada true bulbar palsy atau pseudo-
bulbar palsy. Pada true bulbar palsy ditemukan atrofi dan fasikulasi lidah, gangguan sensasi pada
dinding belakang faring dan penurunan refleks muntah.

Anda mungkin juga menyukai