ICHWAN YUNIARTO
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Karakterisasi Protein Isolat
Trypanosoma evansi dari Wilayah Kasus Surra di Indonesia adalah benar karya
saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa
pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis
ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, April 2016
Ichwan Yuniarto
NIM B252130051
RINGKASAN
Kata kunci : Trypanosoma evansi, Surra, profil protein, common protein, protein
spesifik.
SUMMARY
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
KARAKTERISASI PROTEIN ISOLAT Trypanosoma evansi
DARI WILAYAH KASUS SURRA DI INDONESIA
ICHWAN YUNIARTO
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Parasitologi dan Entomologi Kesehatan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. drh. Sri Murtini, M.Si.
Judul Tesis : Karakterisasi Protein Isolat Trypanosoma evansi dari Wilayah Kasus
Surra di Indonesia
Nama : Ichwan Yuniarto
NIM : B252130051
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Drh. Umi Cahyaningsih, MS. Drh. Fadjar Satrija, MSc., Ph.D.
Ketua Anggota
Diketahui oleh
Prof. Dr. Drh. Upik Kesumawati Hadi, MS. Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr
Ichwan Yuniarto
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL xv
DAFTAR GAMBAR xv
DAFTAR LAMPIRAN xvi
1 PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 2
Tujuan Penelitian 3
Manfaat Penelitian 3
2 TINJAUAN PUSTAKA 4
Trypanosoma evansi 4
Siklus Hidup dan Morfologi 4
Epidemiologi 5
Variasi Profil Protein 6
Variasi Karakter Imunogenik 8
Variasi Daya Hidup, Periode Prepaten dan Pola Parasitemia 10
Variasi Kepekaan Terhadap Trypanosidal 13
3 METODOLOGI PENELITIAN 16
Waktu dan Lokasi Penelitian 16
Desain Penelitian 16
Diagram Alur Penelitian 16
Isolat Parasit 17
Pembuatan Soluble Trypanosoma Antigen (STrAg) 17
Kuantifikasi Protein 18
Identifikasi Profil Protein 18
Persiapan Sampel 18
Sodium Dodecyl Sulphate Polyacrilamide Gel Electrophoresis /
SDS-PAGE 18
Karakterisasi Protein Imunogenik 19
Western Blot 19
Penentuan Berat Molekul Protein 19
Analisis Data 20
4 HASIL DAN PEMBAHASAN 21
Identifikasi Profil Protein 21
Karakterisasi Protein 24
Profil dan Karakter Protein serta Respon Trypanosidal 27
Profil dan Karakter Protein serta Pola Parasitemia 28
5 SIMPULAN DAN SARAN 30
Simpulan 30
Saran 30
DAFTAR PUSTAKA 31
LAMPIRAN 34
RIWAYAT HIDUP 40
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
1 Trypanosoma evansi pada ulas darah sapi bali dengan pewarnaan Giemsa 4
2 Morfologi lengkap Trypanosoma spp. 5
3 Penyebaran kasus Surra di Indonesia (warna merah) 6
4 Profil protein isolat Indonesia (A), Mesir (C) dan Yaman (E) tanpa
proses iodinasi; Profil protein isolat Indonesia (B), Mesir (D) dan
Yaman (F) setelah proses iodinasi. 7
5 Profil protein sel membran (kiri) dan flagella (kanan) 7 isolat India 7
6 Hasil Western Bloting isolat dari kuda (2), anjing (4) dan coati (6)
menggunakan serum tikus. 8
7 Hasil Western Bloting isolat dari kerbau (B), kuda (H) dan sapi (C)
menggunakan hiperimun serum kelinci (A) dan serum kuda yang
terinfeksi alami (B). 9
8 Pola parasitemia biotipe 1 12
9 Biotipe 2 dengan ciri parasitemia undulan 12
10 Pola parasitemia biotipe 3 13
11 Profil protein STrAg (Soluble Trypanosoma Antigen) dari isolat yang
berbeda pada SDS PAGE 12% dengan pewarnaan Commasie Brilliant
Blue 21
12 Perbedaan profil protein STrAg A13 dan A14, STrAg S13 dan S18 yang
diisolasi dari daerah yang sama 23
13 Western Blot STrAg (Soluble Trypanosoma Antigen) dari sembilan isolat
yang berbeda dengan serum pool sapi dan kerbau terinfeksi alami 25
14 Perbedaan hasil Western Blot dan SDS PAGE 26
15 Perbedaan profil protein STrAg A14, PLS, S13 dan S18 yang juga
mempunyai perbedaan respon terhadap trypanosidal 27
16 Perbedaan profil protein STrAg 372, 87 dan 06 yang mempunyai
pola parasitemia sama yaitu biotipe 1 28
DAFTAR LAMPIRAN
1 Bahan penelitian 35
2 Proses purifikasi Trypanosoma evansi 36
3 STrAg (Soluble Trypanosoma Antigen) Trypanosoma evansi 36
4 Proses pengisian gel dengan STrAg (Soluble Trypanosoma Antigen) 37
5 Proses SDS PAGE 38
6 Proses pewarnaan dengan Commasie Brilliant Blue 38
7 Proses pencucian gel dengan larutan destaining 39
8 Proses transfer protein 39
9 Proses inkubasi dengan antibodi anti Surra 40
1
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Surra merupakan penyakit yang disebabkan oleh parasit darah
Trypanosoma evansi. Parasit ini yang tersebar luas di kawasan Asia Tenggara,
Afrika dan Amerika (Davison et al. 2000; Abdel-Rady, 2008; Ravindran et al.
2008). Surra dapat menyerang seluruh jenis ternak dan hewan liar antara lain sapi,
kerbau, onta, kuda, keledai, domba, kambing, anjing, kucing, gajah, coati, capybara
dan marsupial (Stephen, 1986). Trypanosoma evansi hanya mengalami
perkembangan secara membelah diri pada fase trypomastigot di dalam tubuh inang
tanpa adanya tahapan stadium amastigot, promastigot dan epimastigot. Penularan
Surra melalui vektor lalat penghisap darah (Tabanid sp dan Haematopota sp) secara
mekanik.
Surra oleh Kementerian Pertanian telah ditetapkan sebagai salah satu
penyakit hewan menular strategis (PHMS) yang harus ditangani dengan serius
dengan Keputusan Menteri Pertanian No. 4026/Kpts./OT.140/3/2013. Kerugian
ekonomis yang timbul akibat Surra di Indonesia diperkirakan sebesar US$ 22,4 juta
per tahun (Ronohardjo et al. dalam Davison et al, 2000). Saat ini Surra telah
ditemukan di seluruh wilayah Indonesia, kecuali Maluku dan bagian barat Papua.
Atas dasar tersebut Pemerintah melakukan kajian intensif tentang penyakit ini
melalui kegiatan surveilans dan kajian biologi parasit beserta vektornya.
Pengendalian Surra belum optimal dilakukan karena adanya berbagai
laporan yang membuktikan adanya keragaman Trypanosoma evansi (T.evansi)
khususnya yang berkaitan dengan kepekaan beberapa galur terhadap beberapa
trypanosidal. Keragaman T.evansi berdasarkan kepekaan terhadap trypanosidal di
Asia Tenggara telah dilaporkan oleh Macaraeg et al. (2013) di Filipina dan Subekti
et al. (2015) di Indonesia. Keragaman Trypanosoma evansi di Indonesia juga
tercermin dari perbedaan pola parasitemia dan patogenesis pada mencit (Subekti et
al, 2013). Penelitian yang serupa sebelumnya pernah dilaporkan oleh De Menezes
et al (2004) di Brazil.
Protein mempunyai peranan penting dalam proses biologi karena protein
merupakan komponen utama penyusun sel makhluk hidup termasuk Trypanosoma
evansi. Uche et al (1992) telah melakukan penelitian untuk membandingkan profil
protein T. evansi isolat dari Indonesia, Mesir dan Yaman. Hasil penelitian tersebut
menunjukkan bahwa isolat Indonesia memiliki sedikit perbedaan dengan isolat
Mesir tetapi keduanya memiliki perbedaan yang besar dibandingkan isolat dari
Yaman. Singh et al (1995) juga telah melaporkan adanya keragaman profil protein
pada membran sel dari 7 isolat T. evansi dari India bagian utara. Namun sebaliknya,
penelitian yang telah dilakukan oleh Laha et al (2008) tidak menemukan adanya
perbedaan profil protein antara tiga isolat T. evansi yang berasal dari kuda, kerbau
dan sapi dari India Timur.
2
Perumusan Masalah
Adanya perbedaan / variasi dalam hal profil protein dan karakter
imunogenik, kepekaan terhadap trypanosidal, pola parasitemia, periode prepaten
dan daya hidup hewan yang terinfeksi menunjukkan bahwa Trypanosoma evansi
mempunyai varian / strain / tipe beragam yang membutuhkan metode pengendalian
yang berbeda pula. Meningkatnya kasus Surra di Indonesia menunjukkan bahwa
belum optimalnya metode pengendalian yang dilaksanakan karena masih
kurangnya informasi mengenai perbedaan / variasi isolat – isolat Indonesia.
3
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah:
1. Mengidentifikasi profil protein isolat Trypanosoma evansi dari wilayah
kasus Surra di Indonesia.
2. Mengetahui karakter imunogenik protein isolat Trypanosoma evansi dari
wilayah kasus Surra di Indonesia.
Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi dasar mengenai
profil dan karakter imunogenik protein isolat Trypanosoma evansi dari Indonesia
dalam pengembangan alat dan bahan diagnostik penyakit Surra di Indonesia.
4
2 TINJAUAN PUSTAKA
Trypanosoma evansi
Trypanosoma evansi merupakan parasit darah yang menyebabkan penyakit
Surra pada hewan mamalia. Pertama kali ditemukan oleh Griffith Evans pada tahun
1880 di darah kuda dan unta India (Hoare, 1972). Trypanosoma evansi masuk
dalam ordo Kinetoplastida, famili Trypanosomatidae, genus Trypanosoma,
subgenus Trypanozoon dan kelompok salivaria. Penularannya melalui vektor
mekanik lalat Tabanus dan Stomoxys (Stephen, 1986). Penyebaran Trypanosoma
evansi sangat luas meliputi wilayah Afrika, Timur Tengah, Asia Tenggara sampai
Eropa (Hoare, 1972). Trypanosoma evansi tidak hanya penyebaran wilayah yang
luas tapi juga penularannya ke hewan, hampir semua mamalia dapat terinfeksi.
Hewan yang paling rentan terhadap Trypanosoma evansi adalah unta dan kuda
selain itu dapat juga menginfeksi keledai, babi, kerbau, sapi, kambing, domba dan
anjing. Selain itu juga dapat menginfeksi hewan liar rusa, gajah, babi rusa dan tapir.
b
c
Epidemiologi
Kejadian Surra di Indonesia pertama kali dilaporkan pada tahun 1897 yang
menyerang populasi kuda di Pulau Jawa, tetapi literatur lain menyebutkan bahwa
Trypanosoma sp. di Indonesia telah terjadi sejak tahun 1808 (De Does dalam
Partoutomo, 1996; Martindah dan Husein, 2007). Menurut Payne et al. (1991)
Kurang dari kurun waktu 10 tahun sejak dilaporkan, seluruh Pulau Jawa menjadi
daerah endemis Surra dan dalam waktu relatif singkat Indonesia teridentifikasi
sebagai daerah endemis Surra berdasarkan hasil uji serologis.
Prevalensi Surra pada kerbau di Sumatera, Jawa, Kalimantan Selatan,
Lombok, Sulawesi Selatan dan Utara berkisar 5,8-7%. Menurut Partoutomo (1996),
prevalensi Surra akan meningkat dengan bertambahnya umur ternak. Hasil survei
yang dilakukan oleh Davison et al. (2000) di lima kabupaten di Jawa Tengah
menunjukkan bahwa dengan MHCT 4% kerbau positif Surra dan dengan Ag ELISA
lebih dari 50% positif Surra.
Kasus terbaru di Indonesia terjadi di Pulau Sumba Provinsi Nusa Tenggara
Timur pada tahun 2010 – 2011. Kasus tersebut mengakibatkan 4268 ekor ternak
(kuda 1608, kerbau 2464, sapi 196) terjangkit trypanosomiasis (Ditkeswan, 2012).
Kematian akibat Surra di pulau Sumba tersebut dilaporkan sebanyak 1760 ekor,
terdiri dari kuda 1159 ekor, kerbau 600 ekor dan sapi 1 ekor (Ditkeswan 2012).
6
Gambar 4. Profil protein isolat Indonesia (A), Mesir (C) dan Yaman (E) tanpa
proses iodinasi; Profil protein isolat Indonesia (B), Mesir (D) dan
Yaman (F) setelah proses iodinasi.
Sumber : Uche et al. (1992)
Gambar 5. Profil protein sel membran (kiri) dan flagella (kanan) 7 isolat India
Sumber : Singh et al. (1995)
8
Isolat India dari wilayah yang berbeda juga menunjukkan profil protein
yang berbeda sebagaimana yang dilaporkan Singh et al. (1995) tentang profil
protein sel membran dan flagella. Pada Gambar 5 menunjukkan adanya variasi
profil protein dari isolat India nomor 1 sampai 7 yang berasal dari wilayah dan inang
yang berbeda. Perbedaan dapat dilihat dari jumlah dan ketebalan pita protein serta
komposisi berat molekulnya.
Gambar 6. Hasil Western Bloting isolat dari kuda (2), anjing (4) dan coati (6)
menggunakan serum tikus. a : 7 hari, b : 14 hari, c : 21 hari, d : 28
hari setelah infeksi, n : kontrol negatif.
Sumber : Queiroz et al. (2001)
9
Gambar 7. Hasil Western Bloting isolat dari kerbau (B), kuda (H) dan sapi (C)
menggunakan hiperimun serum kelinci (A) dan serum kuda yang
terinfeksi alami (B).
Sumber : Laha dan Sasmal (2008)
10
Tabel 2. Hasil Western blot antigen Trypanosoma evansi dengan serum yang
berbeda.
Sapi Kuda Anjing Coati
BM (kD)
B A B A B A B A
160 x - - - x o x o
88 x - x - - o - -
74 x - x o x o - -
66 x - x o x o x o
52/50 x - x o - - - -
48/47/46 x - x o x o x o
38 x - x o x o x o
32/30 x - x o - o - o
27 x - x o x o - -
25 - - x o x o - o
20 x - x o x o - -
17 - - x - x o - -
Keterangan : Serum infeksi buatan (B), serum infeksi alami (A); (x, o) menunjukkan
protein yang teridentifikasi
Sumber : Aquino et al. (2010)
Tabel 3. Variasi lama hidup dan periode prepaten isolat dari Indonesia
Estimasi Estimasi
Periode Lama
LHP3 Waktu Waktu
Isolat Prepaten Hidup
(hpi) Tercapai LD50 Tercapai LD50
(hpi) (hpi)
(hari) (hari)
EJ1 4 4,4±0,4 0,8 5,61 8
EJ2 2,8±0,49 4 1,2 5 6
CJ1 2 3,2±0,49 1,2 4,11 6
CJ2 2,4±0,4 4,8±0,8 2,4 6,19 10
CJ3 2,4±0,4 4,8±0,49 2,4 5,84 8
CJ4 4,4±0,4 17,2±1,49 12,8 18,3 22
SC1 2 4 2 5,61 8
NC 2 4 2 5,61 8
L 2 4,4±0,4 2,4 5 6
SB1 2,8±0,8 4,4±0,4 1,6 10,16 18
WJ 2 4,4±0,4 2,4 5 6
SC2 2 9,2±2,94 7,2 5,61 8
SB2 2,2±0,2 10,6±1,4 8,4 11,16 18
NT1 2 4 2 5 6
NT2 2 14,4±0,4 12,4 15,6 18
NT3 6±0,82 11±2,08 5 10,5 18
NT4 2 7,6±1,47 5,6 8,42 14
NT5 4,8±0,49 9,4±1,78 4,6 10,05 14
NT6 2,4±0,4 10±1,09 7,6 11,08 ≥14
Sumber : Subekti et al. (2013)
Parasitemia sangat erat hubungannya dengan kemampuan suatu
mikroorganisme dalam berkembang di dalam tubuh inangnya. Pada Trypanosoma
evansi parasitemia mempunyai pola yang beragam dan tidak semua Trypanosoma
evansi akan terus mengalami peningkatan sampai inangnya mati. Hal ini
disebabkan oleh adanya parasitemia undulan yang merupakan regulasi biologi
Trypanosoma evansi dalam mengatur kemampuan berkembang biak dan
mempertahankan inang tetap hidup dengan cara mengurangi kepadatan populasi
dalam darah ketika jumlahnya sudah sangat tinggi dan akan kembali meningkat
setelahnya (Subekti et al, 2013).
Dalam laporannya Subekti et al. (2013) membagi pola biologis
Trypanosoma evansi berdasarkan perbedaan pola parasitemia dan patogenesis pada
mencit menjadi tiga kategori yaitu biotipe 1 mempunyai kemampuan membunuh,
periode prepaten dan peningkatan parasitemia paling cepat, biotipe 2 dan biotipe 3
kemampuan membunuh, periode prepaten dan peningkatan parasitemianya lebih
lama dari pada biotipe 1. Biotipe 2 mempunyai ciri adanya parasitemia undulan dan
biotipe 3 mampu mempertahankan parasitemia tinggi dalam waktu lama tanpa
adanya parasitemia undulan.
12
lain terhadap melarsomine hydrochloride dosis 0,75 mg/kg berat badan. Isolat HSU
mengalami tingkat kesembuhan 50% sedangkan isolat lain mengalami kesembuhan
100 %. Tabel 5 juga menunjukkan adanya perbedaan kepekaan terhadap
trypanosidal dari isolat yang diisolasi secara bersamaan dari daerah yang sama.
Isolat S13 dan S18 merupakan isolat yang sama – sama berasal dari Banten tetapi
mempunyai kepekaan yang berbeda terhadap trypanosidal. Demikian juga dengan
isolat ST372 dan ST373 yang berasal dari Nusa Tenggara Timur.
16
3 METODOLOGI PENELITIAN
Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yang terbagi menjadi dua
tahap, yaitu tahap pertama adalah identifikasi protein Trypanosoma evansi
menggunakan teknik Sodium Dodecyl Sulphate Polyacrilamide Gel
Electrophoresis (SDS-PAGE) dan tahap kedua adalah karakterisasi protein
Trypanosoma evansi menggunakan teknik Western Blot.
Isolat
Trypanosoma
evansi
SDS PAGE
Pewarnaan Transfer ke
Comassie Blue membran
nitrocellulose
Konjugat
Antibovine IgG
Substrat
Penentuan
Berat Molekul
17
Isolat Parasit
Penelitian ini menggunakan sembilan isolat Trypanosoma evansi dari
beberapawilayah kasus Surra pada kerbau yang terjadi di Indonesia antara tahun
1988 – 2014 (Tabel 6). Isolat-isolat tersebut disimpan beku pada nitrogen cair
(Kryopreservasi) di Balai Veteriner Banjarbaru, Balai Veteriner Lampung, maupun
Balai Besar Penelitian Veteriner Bogor. Dalam rangka penelitian ini isolat dibawa
ke BBalitVet Bogor melalui kerja sama kelembagaan.
Tabel 6. Isolat Trypanosoma evansi dari wilayah kasus Surra di Indonesia
No. Kode Asal Daerah Hewan Tahun
1 87c Kabupaten Bangkalan, Provinsi Jawa Timur Kerbau 1988
c
2 06 Kabupaten Pekalongan, Provinsi Jawa Tengah Kerbau 1996
Kabupaten Sumba Timur, Provinsi Nusa
3 372ac Kerbau 2012
Tenggara Timur
Kabupaten Lampung Selatan, Provinsi
4 PLSab Kerbau 2013
Lampung
Kabupaten Hulu Sungai Utara, Provinsi Kerbau
5 A13a 2013
Kalimantan Selatan rawa
Kabupaten Hulu Sungai Utara, Provinsi Kerbau
6 A14a 2014
Kalimantan Selatan rawa
7 S13c Kabupaten Serang, Provinsi Banten Kerbau 2014
8 S18c Kabupaten Serang, Provinsi Banten Kerbau 2014
Kabupaten Kotawaringin Timur, Provinsi
9 SPTa Kerbau 2014
Kalimantan Tengah
Keterangan : Huruf superscript menunjukkan lembaga asal isolat aBalai Veteriner
Banjarbaru, bBalai Veteriner Lampung, cBalai Besar Penelitian
Veteriner Bogor.
Kuantifikasi Protein
Konsentrasi protein masing – masing STrAg diukur menggunakan metode
Bradford (Bradford, 1976) yang telah dimodifikasi. Protein standar dibuat
menggunakan Bovine Serum Albumin (Sigma, USA), dengan konsentrasi 0; 0,5;
0,75; 1; 1,25; 1,50 mg/ml. STrAg dan protein standar masing – masing diambil 10
µl dan dilarutkan dalam 190 µL larutan Bradford. Setelah dilakukan homogenisasi,
80 µl dari setiap protein standar dan protein sampel (STrAg) dimasukkan ke
microplate (flat bottomed 96 well microplate, Nunc - Denmark) dan dibaca
menggunakan ELISA Reader (Multiskan EX Colorimeter Reader, Thermo
Scientific – Finlandia) dengan panjang gelombang 600 nm. Nilai absorbansi
kemudian dikonversi menjadi kadar protein.
Persiapan Sampel
Sampel / STrAg dengan konsentrasi 10 µg dicampur dengan sampel buffer
(Laemmli sample buffer + 2-mercaptoethanol, Biorad) dengan perbandingan 1 : 1
ke dalam microtube. Homogenisasi sampel dengan menggunakan mikropipet
kemudian dilakukan pemanasan dengan air panas 65ºC selama lima menit.
Western Blot
Gel hasil elektroforesis tanpa pewarnaan diletakkan pada membran
nitrocellulose (Mini format 0,2 µm nitrocellulose, Biorad) dan ditransfer
menggunakan transblot turbo transfer system (Biorad) selama 10 menit.
Membran nitroselulose dicuci dengan washing buffer (PBS tween 20
0,05%) dan diblok menggunakan blocking buffer (PBS tween 20 – BSA 0,5%)
selama 60 menit di atas gel rocker shaker kemudian dicuci tiga kali dengan washing
buffer (PBS tween 20 0,05%) masing-masing selama lima menit.
Sebagai pendeteksi imunologi, membran nitrocellulose diinkubasi dengan
serum pool infeksi alami Surra. Serum diencerkan 1 : 50 dengan PBS tween 20 –
BSA 0,5% lalu ditambahkan pada cawan petri yang terdapat membran
nitrocellulose selama satu jam (digoyang dengan gel rocker shaker). Selanjutnya
dicuci tiga kali dengan washing buffer masing-masing selama lima menit kemudian
ditambahkan konjugat (antibovine IgG, Sigma) yang diencerkan 1 : 3000 dengan
PBS tween 20 – BSA 0,5% selama satu jam dan digoyang dengan gel rocker shaker.
Setelah inkubasi satu jam dengan konjugat kemudian dicuci dengan
washing buffer tiga kali masing-masing selama lima menit. Selanjutnya
ditambahkan larutan substrat dan digoyang selama 10 menit atau sampai muncul
pita – pita protein pada membran nitrocellulose kemudian dicuci dengan washing
buffer.
Formula yang diperoleh dapat berupa regresi linier, kuadratik atau kubik
dan digunakan untuk menghitung berat molekul pada sampel dengan menentukan
nilai Rf sampel (X) dan berat molekul sampel (Y). Selanjutnya, hasil dimasukkan
ke software penghitungan berat molekul (Rf converter).
Analisa Data
Data hasil identifikasi profil protein dengan metode SDS PAGE dan
karakterisasi protein imunogenik dengan metode Western Blot dianalisa
menggunakan analisa deskriptif.
21
Gambar 11. Profil protein STrAg (Soluble Trypanosoma Antigen) dari isolat yang
berbeda pada SDS PAGE 12% dengan pewarnaan Commasie Brilliant
Blue.
teridentifikasi 17 protein dengan BM 16,23 – 84,6 kD. Sedangkan dua isolat dari
Jawa yaitu isolat 87 dari Jawa Timur dan isolat 06 dari Jawa Tengah masing –
masing 12 protein dengan 16,12 – 74,29 kD serta 11 protein dengan 16,27 – 59,88
kD.
Protein 30 – 60 kD teridentifikasi pada semua isolat meskipun ketebalan
dari masing – masing pita protein berbeda. Sebaliknya, protein dengan berat
molekul > 60 kD dan < 30 kD tidak semua ada pada sembilan isolat, seperti pada
isolat A13 dari provinsi Kalimantan Selatan dan isolat 06 dari provinsi Jawa Tengah
yang tidak mempunyai protein dengan berat molekul > 60 kD. Demikian juga
dengan protein < 30 kD yang tidak merata pada semua isolat, protein 17 – 18 kD
hanya ada pada isolat PLS dari provinsi Lampung dan isolat S18 dari provinsi
Banten serta protein < 16 kD hanya ada pada isolat A14 dari provinsi Kalimantan
Selatan.
Tabel 7. Berat Molekul (BM) protein STrAg (Soluble Trypanosoma Antigen) dari
sembilan isolat.
Pita Berat Molekul STrAg (kilo Dalton / kD)
ke - A13 A14 SPT PLS S13 S18 372 87 06
1 55,83 71,92 70,23 83,75 85,46 83,14 84,60 74,29 59,88
2 50,91 64,48 55,29 76,65 66,14 77,57 73,31 66,44 50,38
3 48,68 57,28 49,07 69,17 60,46 71,45 66,05 58,89 46,75
4 44,55 49,31 38,80 63,23 57,91 63,80 60,28 50,10 40,67
5 38,32 43,83 36,67 56,32 51,63 57,70 47,97 42,51 35,91
6 36,54 37,68 34,97 48,56 48,20 52,55 43,71 39,20 33,05
7 34,84 34,60 32,39 44,50 43,90 44,12 39,88 30,22 30,48
8 33,18 31,83 29,64 38,86 42,51 39,16 34,21 25,07 27,89
9 28,99 29,07 26,50 35,34 39,73 36,25 32,46 23,94 24,78
10 26,23 26,14 24,37 31,66 38,12 32,54 29,40 22,31 22,45
11 24,53 24,68 23,15 29,54 35,22 29,56 28,15 19,64 16,27
12 22,17 22,33 22,29 27,80 32,11 28,48 26,61 16,12
13 16,09 19,95 19,68 25,89 29,54 27,36 25,51
14 15,76 16,21 24,47 28,05 26,21 23,12
15 22,90 26,00 25,24 20,91
16 19,52 22,85 23,11 19,95
17 17,65 21,20 21,28 16,23
18 16,13 16,99 20,29
19 16,48 19,69
20 16,04 18,92
21 17,55
22 16,95
23 16,34
Keterangan : Cetak tebal merupakan protein – protein yang lebih tebal
23
Profil protein pada masing – masing isolat dalam penelitian ini tidak
berbeda dengan hasil yang dilaporkan oleh Uche et al. (1992) bahwa adanya
perbedaan profil protein Trypanosoma evansi dari tiga negara yang berbeda yaitu
isolat dari Indonesia, Mesir dan Yaman dengan menggunakan metode SDS PAGE.
Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa isolat Indonesia memiliki sedikit
perbedaan dengan isolat Mesir tetapi keduanya memiliki perbedaan yang besar
dibandingkan isolat dari Yaman. Hal yang sama juga dilaporkan oleh Singh et al.
(1995) bahwa terdapat perbedaan profil protein membran sel dan flagella dari tujuh
isolat yang diisolasi dari hewan dan wilayah yang berbeda di India.
Gambar 12. Perbedaan profil protein STrAg A13 dan A14, STrAg S13 dan S18 yang
diisolasi dari daerah yang sama. Anak panah menunjukkan protein yang
hanya teridentifikasi pada STrAg A14 dan S18. Kepala panah
menunjukkan perbedaan ketebalan protein yang teridentifikasi.
Isolat dari wilayah yang sama juga dapat berbeda profil proteinnya (Gambar
12) seperti pada isolat A13 dan A14 yang sama – sama berasal dari kerbau rawa di
kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan tetapi berbeda waktu isolasinya,
A13 diisolasi pada tahun 2013 sedangkan A14 pada tahun 2014. Jumlah protein
yang teridentifikasi pada STrAg A13 sebanyak 13 protein sedangkan pada STrAg
A14 sebanyak 14 protein. Anak panah pada Gambar 12 menunjukkan bahwa
protein BM 71,92 kD dan 19,95 kD yang teridentifikasi pada STrAg A14 tetapi
tidak pada STrAg A13. Kepala panah pada Gambar 12 menunjukkan protein yang
teridentifikasi sebagai protein mayor (tebal) pada STrAg A13 tetapi sebagai protein
minor (tipis) pada STrAg A14. Perbedaan profil protein ini tidak boleh diartikan
24
bahwa telah terjadi peristiwa mutasi pada populasi Trypanosoma evansi di daerah
itu, karena tidak adanya bukti perubahan dari isolat asal (yaitu A13) menjadi isolat
baru (yaitu A14). Perbedaan profil protein dari isolat tersebut lebih cenderung
mengarah pada keragaman populasi Trypanosoma evansi di Kabupaten Hulu
Sungai Utara, Provinsi Kalimantan Selatan.
Perbedaan profil protein juga terjadi pada isolat S13 dan S18 yang berasal
dari kerbau di Kabupaten Serang, Banten meskipun diisolasi pada tahun yang sama
yaitu tahun 2014. Gambar 12 menunjukkan protein 71,45 kD teridentifikasi pada
STrAg S18 tetapi tidak teridentifikasi pada STrAg S13 (anak panah). Kepala panah
pada Gambar 12 menunjukkan protein yang teridentifikasi sebagai protein mayor
(tebal) pada STrAg S13 tetapi pada STrAg S18 sebagai protein minor (tipis) dan
juga sebaliknya.
Berdasarkan penelitian ini menunjukkan bahwa isolat dari hewan yang sama
dan diisolasi pada waktu dan daerah yang sama memiliki profil protein yang
berbeda. Hasil penelitian ini berbeda dengan laporan Laha et al. (2008) bahwa tiga
isolat yang diisolasi dari kerbau, kuda dan sapi menunjukkan profil protein yang
tidak berbeda jauh.
Karakterisasi Protein
Secara umum protein yang teridentifikasi pada hasil Western Blot berada
pada kisaran 27,15 – 97,75 kD. Sembilan isolat mempunyai kesamaan respon
imunogenik pada protein antara 39 – 42 kD seperti yang terlihat pada Gambar 13.
Protein – protein tersebut dikenali kuat oleh antibodi IgG anti Surra dari serum pool
infeksi alami Surra walaupun pada SDS PAGE teridentifikasi lemah / tipis.
Konsistensi pengenalan antibodi oleh protein 39 – 42 kD dalam penelitian ini yang
dapat disebut sebagai common protein karena pengenalan yang seragam dari
sembilan isolat Indonesia. Kesamaan respon imunogenik ini serupa dengan laporan
Aquino et al. (2010) bahwa protein 46 – 48 kD selain dikenali oleh antibodi infeksi
buatan juga dikenali oleh antibodi infeksi alami. Laha dan Sasmal (2008) juga
melaporkan bahwa dalam penelitiannya tidak mendapatkan perbedaan yang berarti
dalam pengenalan protein antara serum hiperimun kelinci dan serum kuda yang
terinfeksi alami.
Aquino et al. (2010) juga menyatakan bahwa protein 46 – 48 kD yang
dikenali oleh antibodi alami maupun buatan pada penelitian yang dilakukannya
dapat dijadikan kandidat untuk keperluan diagnosis. Hal yang sama dapat juga
dilakukan pada protein 39 – 42 kD yang teridentifikasi dalam penelitian ini sebagai
bahan diagnosis serologis. Meskipun demikian masih perlu dilakukannya penelitian
lebih lanjut dengan menggunakan antibodi anti Surra dari berbagai hewan yang
terinfeksi untuk memastikan konsistensi pengenalan antibodi anti Surra terhadap
protein tersebut.
25
Gambar 13. Western Blot STrAg (Soluble Trypanosoma Antigen) dari sembilan
isolat yang berbeda dengan serum pool infeksi alami Surra.
Gambar 14. Perbedaan hasil Western Blot (kiri) dan SDS PAGE (kanan).
Perbedaan profil protein STrAg A14, S13, S18 dan PLS sejalan dengan hasil
pengujian kepekaannya terhadap trypanosidal yang dilakukan oleh Subekti et al.
(2015). Penggunaan melarsomine dehydrochloride dosis 0,25 mg/kg BB pada isolat
A14, 80% terjadi relaps, isolat S13 dan S18 masing-masing hanya mengalami 25%
relaps dan isolat PLS yang mengalami relaps 20% (Subekti et al. 2015). Relaps
yaitu kembali terjadinya parasitemia pada mencit yang sudah diobati dan
dinyatakan sembuh pada pengamatan sebelumnya. Menurut Subekti et al. (2015)
isolat S13 mengalami kesembuhan 100% apabila diobati dengan diminazene
diaceturate pada dosis 7 mg/kg BB sedangkan isolat S18 tidak. Hal ini
menunjukkan bahwa selain mempunyai kepekaan yang berbeda terhadap
trypanosidal, isolat A14, S13, S18 dan PLS juga mempunyai profil protein yang
berbeda pula (Gambar 15).
Gambar 15. Perbedaan profil protein STrAg A14, PLS, S13 dan S18 yang juga
mempunyai perbedaan respon terhadap trypanosidal.
Gambar 16. Perbedaan profil protein STrAg 372, 87 dan 06 yang mempunyai pola
parasitemia sama yaitu biotipe 1.
Perbedaan profil protein tidak serta merta menyebabkan pola biologis yang
berbeda seperti pada STrAg 372 dari NTT, STrAg 87 dari Jawa Timur dan STrAg
06 dari Jawa Tengah (Gambar 16). Menurut hasil penelitian yang dilaporkan oleh
Subekti et al. (2013) isolat 372, isolat 87 dan isolat 06 termasuk dalam biotipe 1.
Subekti et al (2013) menggolongkan isolat Trypanosoma evansi dari Indonesia
berdasarkan pola parasitemia dan kecepatan membunuh mencit menjadi tiga
golongan yaitu biotipe 1 yang ditandai dengan parasitemia tinggi (107 – 108
trypanosoma/ml darah) dalam waktu singkat disertai kematian mencit serentak
dalam 2 – 4 hpi, biotipe 2 yang ditandai adanya parasitemia undulan yaitu regulasi
biologi Trypanosoma evansi dalam mengatur kemampuan berkembang biak dan
29
Simpulan
Profil protein sembilan isolat dari wilayah kasus Surra yang berbeda di
Indonesia yang teridentifikasi dalam penelitian ini yaitu tiga isolat yang berasal dari
Kalimantan, isolat A13 terdapat 13 protein dengan BM 16,09 – 55,83 kD, isolat
A14 teridentifikasi 14 protein dengan BM 15,76 – 71,92 kD, isolat SPT 14 protein
teridentifikasi dengan BM 16,21 – 70,23 kD, isolat PLS dari Lampung terdapat 18
protein dengan BM 16,13 – 83,75 kD, isolat S13 terdapat 20 protein dengan BM
16,04 – 85,46 kD sedangkan isolat S18 terdapat 23 protein dengan BM 16,34 –
83,14 kD yang berasal dari Banten serta isolat 372 dari Nusa Tenggara Timur
teridentifikasi 17 protein dengan BM 16,23 – 84,6 kD. Sedangkan dua isolat dari
Jawa yaitu isolat 87 dari Jawa Timur dan isolat 06 dari Jawa Tengah masing –
masing 12 protein dengan 16,12 – 74,29 kD serta 11 protein dengan 16,27 – 59,88
kD. Perbedaan profil protein merupakan indikasi lain adanya perbedaan varian atau
tipe Trypanosoma evansi selain berdasarkan perbedaan kepekaan terhadap
trypanosidal dan pola parasitemia.
Karakter protein imunogenik antar isolat Trypanosoma evansi dalam
penelitian ini juga menunjukkan perbedaan. Tidak semua protein pada SDS PAGE
dikenali antibodi IgG anti Surra pada metode Western Blot yang menggunakan
serum pool yang terinfeksi alami Surra. Sembilan isolat menunjukkan respon yang
sama kuat terhadap antibodi IgG anti Surra pada protein 39 – 42 kD. Hal ini dapat
dikatakan bahwa protein – protein tersebut merupakan protein imunogenik yang
terdapat pada semua isolat atau bisa disebut sebagai common protein. Sedangkan
pada protein > 50 kD sembilan isolat menunjukkan adanya perbedaan respon
imunogenik terhadap antibodi IgG anti Surra. Protein tersebut merupakan protein
spesifik yang dimiliki oleh masing – masing isolat yang juga sebagai indikasi
adanya keragaman / varian dalam satu spesies Trypanosoma evansi.
Saran
Perlu adanya penelitian lebih lanjut mengenai protein spesifik dari isolat di
Indonesia untuk pengembangan alat diagnosa yang spesifik dalam rangka
mendukung upaya pengendalian Surra menurut keragaman / variasi Trypanosoma
evansi di Indonesia. Selain itu diperlukan juga penelitian tentang pola parasitemia
dan kepekaan terhadap trypanosidal sebagai pendukung dalam pengembangan alat
diagnosa Surra.
31
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Surabaya pada tanggal 18 Juni 1980 sebagai anak dari
pasangan Bapak Sumadi dan Ibu Sudarwati, merupakan anak sulung dari dua
bersaudara. Pada tahun 2008 menikah dengan Ratih Anggraini dan dikaruniai tiga
orang anak Zulfikar Ali Putra Yuniarto, Assyfatunayla Jasmine Putri Yuniarto dan
Nafeeza Rizki Aulia Putri Yuniarto. Penulis bekerja sebagai supervisor produksi di
PT. Ciomas Adi Satwa pada tahun 2007 – 2009. Sejak tahun 2009 bekerja sebagai
Medik Veteriner di Laboratorium Parasitologi Balai Veteriner Banjarbaru.
Penulis menempuh pendidikan dokter hewan di Fakultas Kedokteran
Hewan Universitas Airlangga, lulus pada tahun 2007. Pada tahun 2013 diterima
menjadi mahasiswa Pascasarjana IPB pada Program Studi Parasitologi dan
Entomologi Kesehatan. Beasiswa pendidikan Pascasarjana diperoleh dari Balai
Veteriner Banjarbaru, Direktorat Jendral Peternakan dan Kesehatan Hewan,
Kementerian Pertanian Republik Indonesia.