BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Usus besar atau kolon berbentuk tabung muskular berongga dengan panjang
sekitar 1,5 m (5 kaki) yang terbentang dari sekum sehingga kanalis ani. Diameter
usus besar sudah pasti lebih besar daripada usus kecil yaitu sekitar 6,5 cm (2,5 inci),
tetapi makin dekat anus diameternya semakin kecil.
Usus besar dibagi menjadi sekum, kolon, dan rektum. Pada sekum terdapat
katup ileosekal dan apendiks yang melekat pada ujung sekum. Sekum menempati
sekitar dua atau tiga inci pertama dari usus besar. Katup ileosekal mengendalikan
aliran kimus dari ileum ke dalam sekum dan mencegah terjadinya aliran balik bahan
fekal dari usus besar ke dalam usus halus. Kolon dibagi lagi menjadi kolon asenden,
transversum, desenden, dan sigmoid. Tempat kolon membentuk kelokan tajam pada
abdomen kanan dan kiri atas berturut-turut disebut sebagai fleksura hepatika dan
fleksura lienalis. Kolon sigmoid mulai setinggi krista iliakan dan membentuk lekukan
berbentuk-S. Lekukan bagian bawah membelok ke kiri sewaktu kolon sigmoid
bersatu dengan rektum. Bagian usus besar terakhir disebut sebagai rektum dan
membentang dari kolon sigmoid hingga anus (muara dari bagian luar tubuh). Satu
inci terakhir dari rektum disebut sebagai kanalis ani dan dilindungi oleh otot sfingter
ani ekternus dan internus. Panjang rektum dan kanalis ani adalah sekitar 15cm (5,9
inci).
Hampir seluruh usus besar memiliki empat lapisan morfologik seperti yang
ditemukan pada bagian usus lain. Namun demikian, ada beberapa gambaran yang
khas terdapat pada kolon sahaja. Lapisan otot longitudinal usus besar tidak sempurna,
tetapi terkumpul dalam tiga pita yang disebut sabagai taenia koli. Taenia bersatu pada
sigmoid distal, sehingga rektum mempunyai satu lapisan otot longitudinal yang
lengkap. Panjang taenia lebih pendek daripada usus, sehingga usus tertarik dan
berkerut membentuk kantong-kantong kecil yang disebut sebagai haustra. Apendises
epiploika adalah kantong-kantong kecil peritoneum yang berisi lemak dan melekat
sepanjang taenia. Lapisan mukosa usus besar jauh lebih tebal daripada lapisan
mukosa usus halus dan tidak mengandung vili atau rugae. Kripte Lieberkuhn
(kelenjar intestinal) terletak lebih dalam dan mempunyai lebih banyak sel goblet
dibandingkan dengan usus halus.
Usus besar secara klinis dibagi menjadi belahan kiri dan belahan kanan
berdasarkan pada suplai darah yang diterima. Arteria mesentrika superior mendarahi
belahan kanan (sekum, kolon asendens, dan dua pertiga proksimal kolon
transversum), dan arteria mesentrika inferior mendarahi belahan kiri (sepertiga distal
kolon transversum, kolon desendens, kolon sigmoid, dan bagian proksimal rektum).
Suplai darah tambahan ke rektum berasal dari arteri hemoroidalis media dan inferior
yang dicabangkan dari arteria iliaka interna dan aorta abdominalis.
Aliran balik vena dari kolon dan rektum superior adalah melalui vena
mesenterika superioir, vena mesenterika inferior, dan vena hemoradialis superior
(bagian sistem portal yang mengalirkan darah ke hati). Vena hemoradialis media dan
inferior mengalirkan darah ke vena iliaka sehingga merupakan bagian sirkulasi
sistemik. Terdapat anostomosis antara vena hemoradialis superior, media, dan
inferior, sehingga tekanan portal yang meningkat dapat menyebabkan terjadinya
aliran balik ke dalam vena dan mengakibatkan hemoroid.
dapat mencapai tiga puluh menit, sementara kontraksi segmentasi di usus halus
bergantung dengan frekuensi 9 sampai 12 kali per menit. Lokasi kantung haustra
secara bertahap berubah sewaktu segmen yang semula melemas dan membentuk
kantung mulai berkontraksi secara perlahan sementara bagian tadinya berkontraksi
melemas secara bersamaan untuk membentuk kantung baru. Gerakan ini tidak
mendorong isi usus tetapi secara perlahan mengaduknya maju-mundur sehingga isi
kolon terpajan ke mukosa penyerapan. Kontraksi haustra umumnya dikontrol oleh
refleks-refleks lokal yang melibatkan pleksus instrinsik.
Gerakan massa mendorong tinja bergerak jauh. Tiga atau empat kali sehari,
umumnya setelah makan, terjadi peningkatan mencolok motilitas saat segmen-
segmen besar kolon asenden dan transversum berkontraksi secara simultan,
mendorong tinja sepertiga sampai tiga perempat panjang kolon dalam beberapa detik.
Kontraksi massif ini, yang secara tepat dinamai gerakan massa, mendorong isi kolon
ke bagian distal usus besar, tempat bahan disimpan terjadi defekasi.
sigmoid berkontraksi lebih kuat. Jika sfingter ani eksternus (yaitu otot rangka) juga
melemas maka defekasi. Karena otot rangka, sfingter ani eksternus berada di bawah
kontrol volunter. Perengangan awal dinding rektum disertai oleh timbulnya rasa ingin
buang air besar. Jika keadaan ini memungkinkan defekasi maka pengencangan
sfingter ani eksternus secara sengaja dapat menjegah defekasi meskipon refleks
defekasi telah aktif. Jika defekasi ditunda maka dinding rektum yang semula teregang
secara perlahan melemas, dan keinginan untuk buang air besar mereda sampai
gerakan massa berikutnya mendorong lebih banyak tinja ke dalam rektum dan
kembali meregang rektum secara memicu refleks defekasi. Selama periode
inaktivitas, kedua sfingter tetap berkontraksi untuk menjamin kontinensia tinja.
Jika defekasi terjadi biasanya dibantu oleh gerakan mengejan volunter yang
melibatkan kontraksi otot abdomen dan ekspirasi paksa dengan glottis tertutup secara
bersamaan. Tindakan ini sangat meningkatkan tekanan intra abdomen, yang
membantu mendorong tinja.
Terjadi konstipasi jika tinja terlalu kering. Jika defekasi ditunda terlalu lama
makan dapat terjadi konstipasi (sembelit). Ketika isi kolon tertahan lebih lama
daripada normal maka H20 yang diserap dari tinja meningkat sehingga tinja menjadi
kering dan keras. Variasi normal frekuensi defekasi antara individu berkisar dari
setiap makan hingga sekali seminggu. Ketika frekuensi berkurang melebihi apa yang
normal bagi yang bersangkutan maka dapat terjadi konstipasi berikut gejala-gejala
terkaitnya. Gejala-gejala ini mencakup rasa tidak nyaman di abdomen, nyeri kepala
tumpul, hilangnya nafsu makan yang kadang disertai mual, dan depresi mental.
Berbeda dengan anggapan umum, gejala-gejala ini tidak disebabkan oleh toksin yang
diserap daripada bagian tinja yang tertahan. Meskipon metabolisme bakteri
menghasilkan bahan-bahan yang mungkin toksik di kolon namun bahan-bahan ini
normalnya mengalir melalui sistem porta dan disingkirkan oleh hati sebelum dapat
mencapai sirkulasi sistemik. Gejala-gejala yang berkaitan konstipasi disebabkan
distensi berkepanjangan usus besar, terutama rektum ; gejala segera hilang setelah
peregangan mereda.
bakteri yang berbeda hidup di kolon. Mikroorganisme kolon ini biasanya tidak sahaja
membahayakan tetapi pada kenyataannya dapat bermanfaat. Sebagai contoh, bakteri
penghuni (1) meningkatkan imunitas usus dengan berkompetisi memperebutkan
nutrien dan ruang dengan mikroba yang berpotensi patogen; (2) mendorong motilitas
kolon; (3) membantu memelihara integritas mukosa kolon; dan (4) memberi
kontribusi nutrisi. Sebagai contoh, bakteri mensistesis vitamin K yang dapat diserap
dan meningkatkan keasaman kolon sehingga mendorong penyerapan kalsium,
magnesium, dan seng. Selain itu, berbeda dari anggapan sebelumnya, sebagian dari
glukosa yang dibebaskan selama pemprosesan serat makanan oleh bakteri diserap
oleh mukosa kolon.
Usus besar menyerap garam dan air, mengubah isi lumen menjadi feses.
Sebagian penyerapan berlangsung didalam kolon, tetapi dengan tingkatan yang lebih
rendah daripada di usus halus. Karena permukaan lumen kolon cukup halus maka
luas permukaan absorptifnya jauh lebih kecil daripada usus halus. Jika motilitas usus
halus yang tinggi menyebabkan isi usus cepat masuk ke kolon sebelum absorpsi
nutrien tustas maka kolon tidak dapat menyerap sebagian besar bahan ini dan bahan
akan keluar sebagai diare.
Kolon dalam keadaan normal menyerap garam dan H2O. Natrium diserap
secara aktif, Cl⁻ mengikuti secara pasif menuruni gradien listrik, dan H2O mengikuti
secara osmotis. Kolon menyerap sejumlah elektrolit lain serta vitamin K yang
disintesis oleh bakteri kolon.
Melalui absorpsi garam dan H2O terbentuk massa tinja yang padat. Dari 500 g
bahan yang masuk ke kolon setiap hari dari usus halus, kolon normalnya menyerap
sekitar 350 ml , meninggalkan 150 g feses untuk dikeluarkan dari tubuh setiap hari.
Bahan feses ini biasanya terdiri dari 100 g H2O dan 50 g bahan padat, termasuk
selulosa yang tidak tercerna, bilirubin, bakteri, dan sejumlah kecil garam. Karena itu,
berbeda dari pandangan umum, saluran cerna bukan saluran ekskresi utama untuk
mengeluarkan zat sisa dari tubuh. Produk sisa utama yang di ekskresikan di tinja
adalah bilirubin. Konstituen-konstituen tinja lain adalah residu makanan yang tidak
terserap dan bakteri, yang sebenarnya tidak pernah menjadi sebgaian dari tubuh.
Gas usus diserap atau dikeluarkan. Kadang-kadang selain feses yang keluar
dari anus, gas usus, atau flatus, juga keluar. Gas ini terutama berasal dari dua sumber
: (1) udara yang tertelan (hingga 500 ml udara mungkin tertelan ketika makan) dan
(2) gas yang diproduksi oleh fermentasi bakteri di kolon. Adanya gas yang mengalir
melalui isi lumen menimbulkan suara berkumur yang dikenal sebagai borborigmi.
Bersendawa, mengeluarkan sebagian besar udara yang tertelan dari lambung, tetapi
sebagian masuk ke usus. Di usus biasanya hanya sedikit terdapat gas karena gas cepat
diserap atau diteruskan ke dalam kolon. Sebagian besar gas di kolon disebabkan oleh
aktivitas bakteri, dengan jumlah dan sifat gas bergantung pada jenis makanan yang
dikonsumsi dan karakteristik bakteri kolon. Sebagian makanan, misalnya kacang-
kacangan, mengandungi tipe-tipe karbohidrat yang tidak dapat dicerna oleh manusia
tetapi dapat diserang oleh bakteri penghasil gas. Banyak dari gas ini yang diserap
melalui mukosa usus. Sisanya dikeluarkan melalui anus.
Untuk secara selektif mengeluarkan gas ketika feses juga ada di rektum, yang
bersangkutan secara sengaja mengontraksikan otot-otot abdomen dan sfingter ani
eksternus secara bersamaan. Ketika kontraksi abdomen meningkatkan tekanan yang
menekan sfingter ani eksternus yang menutup maka terbentuk gradien terkanan yang
memaksa udara keluar dengan kecepatan tinggi melalui lubang anus yang berbentuk
celah dan terlalu sempit untuk keluarnya feses. Lewatnya udara dengan kecepatan
tinggi menyebabkan tepi-tepi lubang anus bergetar, menghasilkan nada rendah khas
yang menyertai keluarnya gas (Sherwood, 2002).
2.4 ETIOLOGI
HNPCC merupakan penyebab dari sekitar 6% dari semua kanker usus besar.
Meskipun penggunaan aspirin dapat mengurangi risiko kolorektal neoplasia di
beberapa populasi, sebuah studi oleh Bakar et al, ditemukan tidak berpengaruh pada
kejadian kanker kolorektal di operator Sindrom Lynch dengan penggunaan aspirin,
pati resisten, atau keduanya.
Obesitas dan gaya hidup pilihan seperti merokok, konsumsi alkohol, dan
kebiasaan menetap juga telah dikaitkan dengan peningkatan risiko kanker kolorektal.
Konsumsi alkohol yang tinggi dikaitkan dengan risiko tinggi untuk kanker kolorektal,
pada individu dengan riwayat keluarga penyakit (American Society Cancer, 2014).
2.5 EPIDEMIOLOGI
Kanker kolorektal adalah kanker urutan ketiga yang banyak yang menyerang
pria dengan persentase 10,0% dan yang kedua terbanyak pada wanita dengan
persentase 9,2% dari seluruh penderita kanker di seluruh dunia. Hampir 55% kasus
kanker kolorektal terjadi di negara maju dengan budaya barat. Adanya variasi
geografis dalam insidensi di seluruh dunia dimana insidensi tertinggi diperkirakan
berada di Australia dan Selandia Baru dengan Age Standardized Rate (ASR) 44,8
pada pria dan 32,2 pada wanita per 100.000. Hal ini berkaitan karena Australia dan
Selandia Baru adalah negara tujuan migrasi, terdapat hubungan peningkatan resiko
kanker kolorektal dibandingkan dengan populasi dari negara asal.
Kematian pasien kanker kolorektal lebih banyak terjadi di daerah yang kurang
berkembang dengan persentase 52% dari jumlah kematian pasien kanker kolorektal di
dunia. Tingkat kematian pasien kanker kolorektal tertinggi diperkirakan di Eropa
Tengan dan Timur dengan ASR 20,3 per 100.000 untuk laki-laki dan 11,7 per
100.000 untuk perempuan. Tingkat kematian terendah terdapat di Afrika Barat
dengan ASR 3,5 per 100.000 untuk laki-laki dan 3,0 per 100.000 untuk perempuan.
Perbandingan insidensi pada laki-laki dan perempuan adalah 3 banding 1 dan kurang
50% kanker kolon dan rektum ditemukan di rektosigmoid.
Kanker kolorektal banyak dijumpai pada usia produktif. Data kesehatan pada
tahun 1996-2000 menunjukkan bahwa puncak insidensi kanker di Jakarta terjadi pada
usia 40-49 tahun dan 50-69 tahun. Data lainnya dari Depkes menunjukkan insidensi
kanker kolorektal dengan usia kurang dari 45 tahun pada 4 kota besar di Indonesia
sebagai berikut, 47,85% di Jakarta, 54,5% di Bandung, 44,3% di Makassar dan
48.2% di Padang.
Ada banyak faktor yang diketahui yang meningkatkan atau menurunkan risiko
kanker kolorektal, beberapa faktor yang dapat diubah sementara yang lain tidak.
Faktor risiko yang tidak bisa dimodifikasi termasuk riwayat pribadi atau keluarga
kanker kolorektal atau polip adenomatosa dan sejarah pribadi penyakit radang usus
kronis. The American Cancer Society dan organisasi lain merekomendasikan bahwa
beberapa orang pada peningkatan risiko untuk kanker kolorektal karena kondisi ini
mulai screening pada usia lebih dini. Studi epidemiologi juga telah mengidentifikasi
banyak faktor risiko yang dapat dimodifikasi untuk kanker kolorektal. Ini termasuk
aktivitas fisik, obesitas, konsumsi tinggi merah dan / atau diproses daging, merokok,
dan konsumsi alkohol sedang hingga berat.
Orang-orang dengan tingkat pertama relatif (orang tua, saudara, atau anak)
yang memiliki kanker kolorektal harus 2 sampai 3 kali risiko pengembangan penyakit
dibandingkan dengan orang yang tidak memiliki riwayat keluarga. Jika relatif
didiagnosis pada usia muda atau jika ada lebih dari satu relatif terkena, risiko
meningkat untuk 3 sampai 6 kali dari populasi umum. Sekitar 20% dari semua pasien
kanker kolorektal memiliki kerabat dekat yang didiagnosis dengan penyakit. Sebuah
Orang yang memiliki penyakit radang usus kronis, sebuah kondisi di mana
usus meradang selama periode waktu yang panjang, memiliki risiko lebih tinggi
terkena kanker kolorektal yang meningkat dengan tingkat dan durasi penyakit.
Bentuk yang paling umum dari penyakit radang usus yang ulceratif kolitis dan
penyakit Crohn. Diperkirakan bahwa 18% dari pasien dengan sejarah 30-tahun dari
kolitis ulserativa akan mengembangkan kanker kolorektal. Namun, ada beberapa
bukti bahwa risiko kanker pada pasien ini mungkin lebih rendah dalam beberapa
tahun terakhir karena manajemen penyakit ditingkatkan (melalui penggunaan obat
untuk mengendalikan peradangan) dan penggunaan skrining untuk mendeteksi lesi
premalignant.
Salah satu faktor perilaku yang paling konsisten dilaporkan terkait dengan
risiko kanker usus besar adalah aktivitas fisik. Sebuah tinjauan baru-baru ini literatur
ilmiah menemukan bahwa yang paling aktif secara fisik orang memiliki risiko 25%
lebih rendah dari kanker usus besar daripada orang-orang paling aktif. Sebaliknya,
pasien kanker kolorektal yang tidak aktif memiliki risiko kematian yang lebih tinggi
kanker kolorektal dibandingkan mereka yang lebih aktif. Selain itu, studi
epidemiologi menemukan bahwa:
• Semakin aktif secara fisik orang, semakin rendah risiko kanker usus besar.
• Orang menetap yang menjadi aktif di kemudian hari dapat mengurangi risiko
mereka.
Berdasarkan temuan ini, serta banyak manfaat kesehatan lain dari aktivitas fisik
secara teratur, American Cancer Society dan Pusat Pengendalian dan Pencegahan
Penyakit merekomendasikan terlibat dalam setidaknya 150 menit aktivitas intensitas
sedang atau 75 menit aktivitas kuat intensitas setiap minggu (atau kombinasi dari ini),
sebaiknya menyebar sepanjang minggu. Pada tahun 2012, hanya sekitar setengah dari
orang dewasa AS bertemu pedoman ini aktivitas fisik.
2.6.4 Obesitas
Kelebihan berat badan atau obesitas dikaitkan dengan risiko lebih tinggi
terkena kanker kolorektal pada pria dan kanker usus besar pada wanita, dengan
asosiasi kuat lebih konsisten diamati pada pria dibandingkan pada wanita. Risiko
kelebihan berat badan dan obesitas meningkat dari independen kanker kolorektal
aktivitas fisik. Obesitas abdominal (diukur dengan ukuran pinggang) tampaknya
menjadi faktor risiko yang lebih penting daripada obesitas keseluruhan baik pada pria
maupun wanita. Prevalensi obesitas di kalangan orang dewasa AS meningkat dari
19% pada tahun 1997 menjadi 29% pada tahun 2012.
2.6.5 Diet
• Konsumsi tinggi daging merah dan / atau diproses meningkatkan risiko dari kedua
usus besar dan kanker rektum. Alasan hubungan ini tetap tidak jelas, tetapi mungkin
terkait dengan karsinogen (zat penyebab kanker) yang terbentuk ketika daging merah
dimasak pada suhu tinggi untuk jangka waktu yang panjang dan / atau aditif nitrit
untuk pengawetan makanan.
• Asupan serat makanan, serat sereal, dan biji-bijian dikaitkan dengan penurunan
risiko kanker kolorektal. Secara khusus, untuk setiap 10 gram konsumsi serat harian
ada pengurangan 10% risiko kanker.
• Moderat buah harian dan sayuran sedikit protektif terhadap usus (tapi tidak dubur)
kanker dibandingkan dengan konsumsi rendah; konsumsi yang sangat tinggi muncul
untuk menambahkan manfaat tambahan sedikit.
•Konsumsi lebih tinggi dari produk keseluruhan susu, susu, dan kalsium mengurangi
risiko kanker kolorektal. Efek perlindungan ini tampaknya terlepas dari kandungan
lemak susu.
•Tingkat darah yang lebih tinggi dari vitamin D berhubungan dengan risiko sedikit
lebih rendah terkena kanker kolorektal dibandingkan dengan tingkat darah rendah.
peningkatan kadar folat antara Amerika sebagai akibat dari fortifikasi wajib tepung
diperkaya dan sereal pada tahun 1998 yang bertanggung jawab untuk dijelaskan
uptick di tingkat insiden kanker kolorektal pada akhir 1990-an. Namun, analisis
terbaru dari data dari American Cancer Society Cancer Prevention Study-II
menegaskan hubungan terbalik antara jumlah folat diet dan kanker kolorektal
dilaporkan pada sebelumnya.
2.6.6 Merokok
2.6.7 Alkohol
Jangka panjang, penggunaan rutin aspirin dan obat non steroid anti-inflamasi
(OAINS) menurunkan risiko kanker kolorektal. The American Cancer Society saat ini
tidak merekomendasikan penggunaan obat ini untuk pencegahan kanker pada
populasi umum karena potensi efek samping perdarahan gastrointestinal dari aspirin
dan NSAID tradisional atau serangan jantung dari selektif COX-2 inhibitor (sejenis
NSAID yang umum digunakan untuk mengobati arthritis). Namun, orang-orang yang
sudah mengambil NSAID untuk kondisi medis lain mungkin memiliki risiko lebih
rendah terkena kanker kolorektal sebagai sisi manfaat.
2.6.9 Usia
keluhan dan tanda-tanda fisik timbul sebagai bagian dari komplikasi seperti
obstruksi, perdarahan invasi lokal, kaheksia. Obstruksi kolon biasanya terjadi di
kolon transversum, kolon desendens dan kolon sigmoid karena ukuran lumennya
lebih kecil daripada bagian kolon yang lebih proksimal.
Tingkat kanker kolorektal yang tertinggi pada pria hitam dan perempuan
dan terendah di Asia / Kepulauan Pasifik (API) laki-laki dan perempuan . Selama
2006-2010, tingkat insiden kanker kolorektal pada orang kulit hitam sekitar 25%
lebih tinggi daripada di kulit putih dan sekitar 50% lebih tinggi dibandingkan
dengan API. Sebuah kesenjangan yang lebih besar ada untuk angka kematian
kanker kolorektal, yang tingkat di kulit hitam sekitar 50% lebih tinggi daripada
di kulit putih dan dua kali lipat dalam API.
Selain mutasi, peristiwa epigenetik seperti metilasi DNA yang abnormal juga
dapat menyebabkan pembungkaman gen supresor tumor atau aktivasi onkogen.
Peristiwa ini membahayakan keseimbangan genetik dan akhirnya menyebabkan
transformasi maligna. Gen penting lainnya di karsinogenesis kolon meliputi
onkogen KRAS, kromosom 18 hilangnya heterozigositas (LOH) yang mengarah
ke inaktivasi SMAD4 (DPC4), dan DCC (dihapus dalam kanker usus besar) gen
supresi tumor. Kromosom lengan 17P penghapusan dan mutasi mempengaruhi
p53 tumor resistensi berunding gen supresor kematian sel terprogram (apoptosis)
dan dianggap peristiwa akhir karsinogenesis kolon.
semua kanker usus besar. HMSI juga ditemukan di sekitar 20% dari kanker usus
besar sporadis.
Lainnya, jenis kurang umum dari tumor juga dapat mulai di usus besar dan
rektum. Ini termasuk:
Tumor karsinoid: Tumor ini mulai dari sel penghasil hormon khusus
dalam usus.
Tumor stroma gastrointestinal (GISTs): Tumor ini mulai dari sel-sel
khusus pada dinding usus besar disebut sel interstitial dari Cajal.
Beberapa jinak (non-kanker); lain ganas (kanker). Tumor ini dapat
ditemukan di mana saja di saluran pencernaan, tetapi mereka tidak biasa
di usus besar.
Limfoma: Ini adalah kanker dari sel-sel sistem kekebalan tubuh yang
biasanya mulai di kelenjar getah bening, tetapi mereka juga dapat mulai
di usus besar, rektum, atau organ lainnya.
Sarkoma: Tumor ini dapat dimulai dalam pembuluh darah serta otot dan
jaringan ikat di dinding usus besar dan rektum. Sarkoma dari usus besar
atau rektum jarang.
2.9 KLASIFIKASI
2.9.1 Staging
DukesC : Didapati deposit sekunder pada kelenjar getah bening regional. ini
dibagi lagi menjadi:
darah terlibat
Sistem pementasan yang paling umum digunakan untuk kanker kolorektal adalah
bahwa American Joint Committee on Cancer (AJCC), kadang-kadang juga
dikenal sebagai sistem TNM. Sistem TNM menggambarkan 3 buah kunci
informasi:
Angka atau huruf muncul setelah T, N, dan M untuk memberikan rincian lebih
lanjut tentang masing-masing faktor. Angka 0 sampai 4 mengindikasikan
peningkatan keparahan. Huruf X berarti "tidak dapat dinilai karena informasi ini
tidak tersedia."
Staging grouping
Tahap 0
Tis, N0, M0: Kanker masih dalam tahap awal. Ini belum tumbuh
melampaui lapisan dalam (mukosa) dari usus besar atau rektum.
T3-T4a, N1, M0: Kanker telah tumbuh ke dalam lapisan terluar dari
usus besar atau rektum (T3) atau melalui peritoneum visceral (T4a)
tetapi belum mencapai organ terdekat. Hal ini telah menyebar ke 1
sampai 3 kelenjar getah bening terdekat (N1A / N1B) atau ke daerah
lemak di dekat kelenjar getah bening tetapi tidak node sendiri (N1c).
Ini belum menyebar ke tempat yang jauh.
T2-T3, N2a, M0: Kanker telah tumbuh menjadi propria muskularis
(T2) atau ke lapisan terluar dari usus besar atau rektum (T3). Hal ini
telah menyebar ke 4 sampai 6 kelenjar getah bening terdekat (N2a).
Ini belum menyebar ke tempat yang jauh.
T1-T2, N2B, M0: Kanker telah tumbuh melalui mukosa ke dalam
submukosa (T1) atau juga mungkin telah tumbuh menjadi propria
muskularis (T2). Hal ini telah menyebar ke 7 atau lebih kelenjar getah
bening terdekat (N2B). Ini belum menyebar ke tempat yang jauh.
Tahap IIIC
T4a, N2a, M0: Kanker telah tumbuh melalui dinding usus besar atau
rektum (termasuk peritoneum visceral) tetapi belum mencapai organ
terdekat (T4a). Hal ini telah menyebar ke 4 sampai 6 kelenjar getah
bening terdekat (N2a). Ini belum menyebar ke tempat yang jauh.
T3-T4a, N2B, M0: Kanker telah tumbuh ke dalam lapisan terluar dari
usus besar atau rektum (T3) atau melalui peritoneum visceral (T4a)
tetapi belum mencapai organ terdekat. Hal ini telah menyebar ke 7
atau lebih kelenjar getah bening terdekat (N2B). Ini belum menyebar
ke tempat yang jauh.
T4b, N1-N2, M0: Kanker telah tumbuh melalui dinding usus besar
atau rektum dan melekat atau telah tumbuh menjadi jaringan lain di
dekatnya atau organ (T4b). Hal ini telah menyebar ke setidaknya satu
kelenjar getah bening terdekat atau ke daerah lemak di dekat kelenjar
getah bening (N1 atau N2). Ini belum menyebar ke tempat yang jauh.
Tahap IVA
Setiap T, Apa saja N, M1a: Kanker mungkin atau mungkin tidak
telah tumbuh melalui dinding usus besar atau rektum, dan itu
mungkin atau mungkin tidak telah menyebar ke kelenjar getah bening
di dekatnya. Hal ini telah menyebar ke organ jauh 1 (seperti hati atau
paru-paru) atau mengatur kelenjar getah bening (M1a).
Tahap IVB
Setiap T, Apa saja N, M1b: Kanker mungkin atau mungkin tidak
telah tumbuh melalui dinding usus besar atau rektum, dan itu
mungkin atau mungkin tidak telah menyebar ke kelenjar getah bening
di dekatnya. Hal ini telah menyebar ke lebih dari 1 organ jauh (seperti
hati atau paru-paru) atau mengatur kelenjar getah bening, atau telah
menyebar ke bagian yang jauh dari peritoneum (selaput rongga perut)
(M1b).
Gambar 2.9.3 Sistem TMN Staging untuk Klasifikasi Dukes ( Bethesda, 2005)
kolorektal, seperti infeksi, wasir, sindrom iritasi usus, atau penyakit inflamasi usus.
Kanker kolorektal dapat menyebabkan satu atau lebih gejala di bawah ini :
2.11.2.1 CEA
2.11.2.2 CA 19-9
2.11.3.3 Kolonoskopi
2.11.3.4 Biopsi
2.12 PENATALAKSANAAN
Hemikolektomi Kiri: Untuk lesi di fleksura lienalis dan usus besar kiri
Sigmoid kolektomi: Untuk lesi kolon sigmoid
Jumlah kolektomi perut dengan anastomosis ileorektal: Untuk pasien
yang dipilih dengan nonpoliposis herediter kanker usus, dilemahkan
poliposis adenomatosa familial, kanker metachronous di segmen usus
yang terpisah, atau penghalang usus ganas akut dengan status tidak
diketahui dari usus proksimal
Pilihan terapi lain bagi pasien yang tidak kandidat bedah meliputi:
Cryotherapy
Radiofrequency ablation
Infus arteri 40epatic agent chemotheraphy
5Fluorouracil (5FU)
Capecitabine
Tegafur
Oxaliplatin
Irinotecan
Kombinasi dari beberapa agen (misalnya, capecitabine atau 5FU dengan
oxaliplatin, 5FU dengan leucovorin dan oxaliplatin)
Bevacizumab (Avastin)
Cetuximab (Erbitux)
Panitumumab (Vectibix)
Ramucirumab (Cyramza)
Regorafenib (Stivarga)
Zivaflibercept (Zaltrap)