Anda di halaman 1dari 30

DAFTAR ISI

COVER ................................................................................................................. i
LEMBAR PENGESAHAN .................................................................................. ii
KATA PENGANTAR .......................................................................................... iii
DAFTAR ISI ......................................................................................................... iv

BAB I PENDAHULUAN………................................................................ 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA....................................................................2
BAB III KESIMPULAN………....................................................................27
DAFTAR PUSTAKA………................................................................................28

i
BAB I
PENDAHULUAN

Sirosis hati merupakan salah satu penyakit hati kronis yang paling banyak
ditemukan dimasyarakat dan merupakan stadium terakhir dari penyakit hati
menahun.
Angka morbiditas dan mortalitas akibat sirosis hepatis semakin meningkat
di negara maju sehingga termasuk ke dalam suatu masalah kesehatan global.
Sirosis hepatis adalah penyebab kematian ke-14 yang paling sering terjadi di
dunia dan penyebab kematian nomor 4 di Eropa.
Menurut WHO pada tahun 2004, prevalensi sirosis hati di dunia sebesar
1,3% dan penyakit ini menduduki peringkat delapan belas penyebab kematian
dengan jumlah kematian 800.000 kasusberdasarkan data WHO pada tahun 2004,
sirosis hati di Indonesia mencapai 13,9 per 100.000 penduduk. Berdasarkan profil
kesehatan DIY, tahun 2004 sirosis hati masuk dalam 10 besar penyebab kematian
tertinggi di provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dengan prevalensi 1,87%. Hasil
penelitian di Indonesia menyebutkan bahwa 40-50%penyebab sirosis hati adalah
virus hepatitis B, 30-40%disebabkan olehvirus hepatitis C dan10-20%
penyebabnya tidak diketahui sedangkan alkohol sebagai penyebab sirosis hati di
Indonesia mungkin frekuensinya kecil sekali karena belum ada datanya.
Gejala klinis dari sirosis hati sangat bervariasi, mulai dari tanpa gejala
sampai dengan gejala yang sangat jelas. Prognosis sirosis hepatis sangat bervariasi
dipengaruhi oleh sejumlah faktor, meliputi etiologi, beratnya kerusakan hepar,
komplikasi, dan penyakit lain yang menyertai sirosis.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II. 1 HEPATITIS B
II.1.1 DEFINISI
Hepatitis adalah peradangan pada organ hati yang disebabkan infeksi bakteri,
virus, proses autoimun, obat-obatan, perlemakan, alkohol dan zat berbahaya
lainnya. Hepatitis B adalah penyakit yang disebabkan oleh virus Hepatitis B yang
merusak hati dengan masa inkubasi 14-160 hari. Penyebaran penyakit melalui
darah dan produknya, suntikan yang tidak aman, transfusi darah, proses
persalinan, melalui hubungan seksual.
II.1.2 ETIOLOGI
Virus hepatitis B adalah virus DNA berselubung ganda berukuran 42 nm
memiliki lapisan permukaan dan bagian inti dengan masa inkubasi sekitar 60
sampai 90 hari. Protein yang dibuat oleh virus ini bersifat antigenik serta memberi
gambaran tentang keadaan penyakit (pertanda serologi khas) adalah : (1) Surface
antigen atau HBsAg yang berasal dari selubung, yang positif kira-kira 2 minggu
sebelum terjadinya gejala klinis. (2) Core antigen atau HBcAg yang merupakan
nukleokapsid virus hepatitis B. (3) E antigen atau HBeAg yang berhubungan erat
dengan jumlah partikel virus yang merupakan antigen spesifik untuk hepatitis B.

Gambar 1. Struktur Virus Hepatitis B

2
Cara utama penularan VHB adalah melalui parenteral dan menembus membran
mukosa, terutama berhubungan seksual (Price & Wilson, 2012). Penanda HBsAg
telah diidentifikasi pada hampir setiap cairan tubuh dari orang yang terinfeksi
yaitu saliva, air mata, cairan seminal, cairan serebrospinal, asites, dan air susu ibu.
Beberapa cairan tubuh ini (terutama semen dan saliva) telah diketahui infeksius
(Thedja, 2012).
II.1.3 PATOGENESIS
Struktur genom VHB terdiri dari empat open reading frame (ORF), yaitu gen
S dan pre-S (mengode HBsAg), gen pre-C dan gen C (mengode HBeAg dan
HBcAg) dan gen P yang mengode DNA polimerase serta gen X yang mengode
HBxAg. Patogenesis penyakit ini dimulai dengan masuknya VHB ke dalam tubuh
secara parenteral. Terdapat 6 tahap dalam siklus replikasi VHB dalam hati, yaitu:
1. Attachment
Virus menempel pada reseptor permukaan sel. Penempelan terjadi dengan
perantaran protein pre-S1, protein pre-S2, dan poly-HSA (polymerized
Human Serum Albumin) serta dengan perantaraan SHBs (small hepatitis B
antigen surface).
2. Penetration
Virus masuk secara endositosis ke dalam hepatosit. Membran virus menyatu
dengan membran sel pejamu (host) dan kemudian memasukkan partikel core
yang terdiri dari HBcAg, enzim polimerase dan DNA VHB ke dalam
sitoplasma sel pejamu. Partikel core selanjutnya ditransportasikan menuju
nukleus hepatosit.
3. Uncoating
VHB bereplikasi dengan menggunakan RNA. VHB berbentuk partially
double stranded DNA yang harus diubah menjadi fully double stranded DNA
terlebih dahulu, dan membentuk covalently closed circular DNA (cccDNA).
cccDNA inilah yang akan menjadi template transkripsi untuk empat mRNA.
4. Replication
Pregenom RNA dan mRNA akan keluar dari nukleus. Translasi akan
menggunakan mRNA yang terbesar sebagai kopi material genetik dan

3
menghasilkan protein core, HBeAg, dan enzim polimerase. Translasi mRNA
lainnya akan membentuk komponen protein HBsAg.
5. Assembly
Enkapsidasi pregenom RNA, HBcAg dan enzim polimerase menjadi partikel
core di sitoplasma. Dengan proses tersebut, virion-virion akan terbentuk dan
masuk kembali ke dalam nukleus.
6. Release
DNA kemudian disintesis melalui reverse transcriptase. Kemudian terjadi
proses coating partikel core yang telah mengalami proses maturasi genom
oleh protein HBsAg di dalam retikulum endoplasmik. Virus baru akan
dikeluarkan ke sitoplasma, kemudian dilepaskan dari membran sel.

Gambar 2. Patogenesis Virus Hepatitis B

II.1.4 PATOFISIOLOGI
1. Hepatitis B akut
VHB bersifat non-sitopatik, dengan demikian kelainan sel hati pada
infeksi VHB disebabkan oleh reaksi imun tubuh terhadap hepatosit yang
terinfeksi VHB. Pada kasus hepatitis B akut, respon imun tersebut
berhasil mengeliminasi sel hepar yang terkena infeksi VHB, sehingga
terjadi nekrosis pada sel yang mengandung VHB dan muncul gejala
klinik yang kemudian diikuti kesembuhan. Pada sebagian
penderita, respon imun tidak berhasil menghancurkan sel hati yang

4
terinfeksi sehingga VHB terus menjalani replikasi. Pada infeksi primer,
proses awal respon imun terhadap virus sebagian besar belum dapat
dijelaskan. Diduga, awal respon tersebut berhubungan dengan imunitas
innate pada liver mengingat respon imun ini dapat terangsang dalam
waktu pendek, yakni beberapa menit sampai beberapa jam. Terjadi
pengenalan sel hepatosit yang terinfeksi oleh natural killer cell (sel NK)
pada hepatosit maupun natural killer sel T (sel NK-T) yang kemudian
memicu teraktivasinya sel-sel tersebut dan menginduksi sitokin-sitokin
antivirus, termasuk diantaranya interferon (terutama IFN-α). Kenaikan
kadar IFN-α menyebabkan gejala panas badan dan malaise.
Dalam Textbook of Gastroenterology, juga disebutkan peran
imunitas innate dalam mengaktivasi imunitas adaptif yang terdiri dari
respon humoral dan seluler. Respon humoral bersama-sama dengan
antibodi akan mencegah penyebaran virus dan mengeliminasi virus yang
sudah bersirkulasi. Terdapat eliminasi virus intrasel tanpa kerusakan
pada sel hati dengan mekanisme non-sitolitik yang diperantarai aktivitas
sitokin. Antibodi IgM akan terdeteksi pertama kali dan menjadi marker
pada infeksi akut. Lebih lanjut, pada studi yang dilakukan oleh Busca
dan Kumar pada tahun 2014, juga disebutkan fase awal infeksi viral
ditandai dengan adanya produksi sitokin, interferon tipe 1 (IFN)-α/β dan
aktivasi sel natural-killer. Studi tersebut juga menemukan munculnya sel
T CD8+ cenderung tidak langsung membunuh hepatosit yang terinfeksi,
melainkan mengontrol replikasi virus melalui mekanisme IFN-γ
dependen. Untuk proses eradikasi lebih lanjut, dibutuhkan respon imun
spesifik yaitu aktivasi sel limfosit T dan B. Aktivasi sel T CD8+ terjadi
setelah kontak reseptor sel T dengan kompleks peptida VHB-MHC kelas
I yang ada pada permukaan dinding sel hati dan pada permukaan dinding
Antigen Presenting Cell (APC) dengan dibantu rangsangan sel T CD4+
yang sebelumnya sudah mengalami kontak dengan kompleks peptida
VHB-MHC kelas II pada dinding APC. Sel T CD8+ selanjutnya akan
mengeliminasi virus dalam sel hati yang terinfeksi. Proseseliminasi
tersebut bisa berupa nekrosis sel hati yang dapat meningkatkan kadar

5
ALT. Respon imun yang pertama terjadi sekitar 10 hari sebelum terjadi
kerusakan sel hati. Respon imun tersebut muncul terhadap antigen pre-S,
disusul respon terhadap HBcAg sekitar 10 hari kemudian. Respon yang
terkuat adalah respon terhadap antigen S yang terjadi 10 hari sebelum
kerusakan sel hati.

Gambar 2. Mekanisme inflamasi pada hepatitis B

Petanda serologik pada hepatitis akut sebagai berikut:


a. HBsAg (+) 6 minggu setelah infeksi dan (-) 3 bulan setelah awal
gejala. Bila (+) lebih dari 6 bulan, infeksi VHB akan menetap.
b. Anti HBs (+) 3 bulan setelah awal gejala dan menetap.
c. HBeAg (+) dalam waktu pendek, kalau (+) lebih dari 10 minggu akan
terjadi kronisitas
d. Anti-HBc (+) sembuh sempurna
e. IgM anti-HBc (+) titer tinggi pada hepatitis akut, namun bila (+)
dalam waktu lama bisa terjadi hepatitis kronik
f. IgG anti-HBc (+) titer tinggi tanpa anti-HBs menunjukkan adanya
persistensi infeksi VHB.

6
Gambar 3. Petanda serologik infeksi VHB pada hepatitis B akut

2. Hepatitis B kronis
Infeksi kronis VHB bukan disebabkan gangguan produksi anti-HBs.
Persistensi infeksi VHB disebabkan oleh adanya respon imun yang tidak
efisien oleh faktor viral maupun pejamu. Studi yang dilakukan oleh
Busca dan Kumar juga menemukan keadaan aktivasi sel T sitotoksik
yang menurun akan menstimulasi tipe-tipe sel lain secara terus- menerus,
hal ini dapat menjelaskan terjadinya inflamasi kronis yang persisten pada
infeksi hepatitis B kronis. Persistensi infeksi VHB juga dapat disebabkan
adanya mutasi pada daerah precore DNA yang menyebabkan tidak dapat
diproduksinya HBeAg, sehingga menghambat eliminasi sel yang
terinfeksi VHB.
Pada masa anak-anak maupun dewasa muda, sistem imun tubuh
dapat toleran terhadap VHB, sehingga konsentrasi virus dalam darah
dapat sedemikian tingginya namun tidak terjadi peradangan hati yang
berarti. Dalam keadaan ini VHB berada dalam fase replikatif dengan titer
HBsAg sangat tinggi, HBeAg positif, anti-HBe negatif, titer DNA VHB
tinggi dan kadar ALT relatif normal. Fase ini disebut sebagai fase
imunotoleran dimana pada fase ini jarang terjadi serokonversi HBeAg
secara spontan dan terapi untuk menginduksi serokonversi juga tidak
efektif.

7
Setelah mengalami persistensi yang berkepanjangan terjadilah
proses nekroinflamasi dimana pada keadaan ini pasien mulai kehilangan
toleransi imun terhadap virus ditandai dengan adanya peningkatan pada
kadar ALT. Tubuh berusaha menghancurkan virus dan menimbulkan
pecahnya sel-sel hati yang terinfeksi VHB. Fase ini disebut fase immune
clearance (imunoeliminasi). Pada fase ini, baik dengan bantuan
pengobatan maupun spontan, 70% individu dapat menghilangkan
sebagai besar partikel VHB tanpa disertai kerusakan sel hati yang berarti
(serokonversi HBeAg). Bila titer HBsAg rendah dengan HBeAg negatif
dan anti-HBe positif secara spontan, disertai kadar ALT yang normal,
pasien sudah berada dalam fase residual (non-replikatif). Namun dapat
terjadi reaktivasi pada 20-30% pasien dalam fase ini. Pada sebagian
pasien kekambuhan, terjadi fibrosis setelah nekrosis yang berulang-
ulang. Dalam fase ini replikasi sudah mencapai titik minimal, namun
resiko pasien untuk terjadi karsinoma hepatoseluler mungkin meningkat.
Hal ini diduga disebabkan adanya integrasi genom VHB ke dalam
genom sel hati

Gambar 4. Fase Hepatitis B Kronis

8
II.1.5 GEJALA KLINIS
1. Hepatitis B akut
a. Malaise/lesu/kelelahan.
b. Nafsu makan menurun.
c. Demam ringan.
d. Nyeri abdomen sebelah kanan.
e. Kencing berwarna seperti teh.
f. Ikterik.
2. Hepatitis B kronis
a. HbsAg (Hepatitis B surface Antigen) positif.
b. HbeAg (Hepatitis B E-Antigen, anti-Hbe dalam serum, kadar
ALT (Alanin Amino Transferase), HBV DNA (Hepatitis B
Virus-Deoxyyribunukleic Acid) positif.
c. Berlangsung >6 bulan
d. Asimtomatik (tanpa tanda dan gejala)
II.1.6 DIAGNOSIS
Menurut Andra Saferi Wijaya dan Yessie M. Putri (2013) pemeriksaan
penunjang yang dapat dilakukan pada pasien dengan Hepatitis B adalah:
1. ASR (SGOT)/ALT (SGPT)
Awalnya meningkat. Dapat meningkat 1-2 minggu sebelum ikterik kemudian
tampak menurun. SGOT/SGPT merupakan enzim-enzim intra seluler yang
terutama berada di jantung, hati dan jaringan skelet, terlepas dari jaringan
yang rusak, meningkatkan pada kerusakan hati.
2. Darah Lengkap (DL)
Eritrosit menurun sehubungan dengan penurunan hidup eritrosit (gangguan
enzim hati) atau mengakibatkan perdarahan. Leukopenia. Trombositopenia
mungkin ada (splenomegaly).
3. Feses
Warna seperti tanah liat, steatorea (penurunan fungsi hati).
4. Albumin Serum
Menurun, hal ini disebabkan karena sebagian besar protein serum disintesis
oleh hati dan karena itu kadarnya menurun pada berbagai gangguan hati.

9
5. Anti HAVIgM
Positif pada tipe A.
6. HbsAG
Dapat positif (tipe B) atau negative (tipe A).
7. Masa protrombin
Mungkin memanjang (disfungsi hati), akibat kerusakan sel hati atau
berkurang meningkat absorbs vitamin K yang penting untuk sintesis
protombin.
8. Bilirubin Serum
Diatas 2,5 mg/100 ml (bila diatas 200 mg/ml, prognosis buruk, mungkin
berhubungan dengan peningkatan nekrosis seluler).
9. Biopsi Hati
Menunjukkan diagnosis dan luas nekrosis.
10. Urinalisa
Peningkatan kadar bilirubin. Gangguan ekskresi bilirubin mengakibatkan
hiperbilirubinemia terkonjugasi larut dalam air, ia di sekresi dalam urin
menimbulkan bilirubinuria.
II.1.7 TATALAKSANA
a. Penatalaksanaan Hepatitis Akut B adalah sebagai berikut:
1. Rawat jalan, kecuali pasien dengan mual atau anoreksia berat yang
akan menyebabkan dehidrasi.
2. Mempertahankan asupan kalori dan cairan yang adekuat
 Tidak ada rekomendasi diet khusus
 Makan pagi dengan porsi yang cukup besar merupakan makanan
yang paling baik ditoleransi
 Menghindari konsumsi alkohol selama fase akut
3. Aktifitas fisik yang berlebihan dan berkepanjangan harus dihindari.
4. Obat –obat yang tidak perlu harus dihentikan.
b. Penatalaksanaan Hepatitis B kronik
Pada saat ini dikenal 2 kelompok terapi untuk hepatitis B Kronik
yaitu kelompok Imunomodulasi, yaitu peg interferon, dan vaksinasi

10
terapi. Dan Kelompok terapi antivirus, yaitu lamivudine,entecavir, dan
adifoir dipivoksil.
Tujuan pengobatan hepatitis B kronik adalah mencegah atau
menghentikan progresi jejas hati (liver injury) dengan cara menekan
replikasi virus atau menghilangkan injeksi. Dalam pengobatan hepatitis B
kronik, titik akhir yang sering dipakai adalah menghilangnya petanda
replikasi virus yang aktif seara menetap (HbeAg dan DNA VHB). Pada
umumnya serokonversi HbeAg menjadi anti–Hbe disertai hilangnya DNA
VHB dalam serum dan meredanya penyakit hati.8
1. Terapi dengan Imunomodulator
Interferon (IFN) alfa adalah kelompok protein intraseluler yang
normal ada didalam tubuh dan diproduksi oleh berbagai macam sel.
Beberapa khasiat IFN adalah khasiat antivirus, imunomodulator, anti
proliferative dan anti fibrotic. IFN tidak memiliki khasiat antivirus
langsung tapi merangsang terbentuknya berbagai macam protein efektor
yang mempunyai khasiat antivirus. Dalam proses terjadinya aktifitas
antivirus, IFN mengadakan interaksi dengan reseptor IFN yang terdapat
pada membran sitoplasma sel hati yang diikuti dengan diproduksinya
protein efektor.
IFN adalah salah satu pilihan untuk pengobatan pasien hepatitis B
kronik dengan HBeAg positif, dengan aktifitas penyakit ringan-sedang,
yang belum mengalami sirosis.Beberapa faktor yang dapat meramalkan
keberhasilan IFN :
a. Konsentrasi ALT yang tinggi
 Konsentrasi DNA VHB yang rendah
 Timbulnya flare-up selama terapi
 IgM anti-HBc yang positif
b. Efek samping IFN
 Flu like syndrome
 Tanda-tanda supresi sum-sum tulang
 Flare-up
 Depresi

11
 Rambut rontok
 Berat badan turun
 Gangguan fungsi tiroid
Dosis IFN yang dianjurkan untuk hepatitis B kronik dengan HBeAg
positif adalah 5-10 MU 3x seminggu selama 16-24 minggu. Untuk
hepatitis B dengan HBeAg negative diberikan selama 12 bulan.
2. Terapi Antivirus
Lamivudin adalah analog nucleoside, dimana nukleosid berfungsi
sebagai bahan pembentuk pregenom, sehingga analog nukleosid bersaing
dengan nukleosid asli. Lamivudin berkhasiat menghambat enzim reverse
transcriptase yang berfungsi dalam transkripsi balik dari RNA menjadi
DNA yang terjadi dalam replikasi VHB . Lamivudin menghambat
produksi VHB baru dan mencegah terjadinya infeksi hepatosit sehat
yang belum terinfeksi. setelah obat dihentikan , titer DNA VHB akan
kembali seperti semula karena sel-sel yang terinfeksi akhirnya
memproduksi virus baru lagi. Karena itu strategi pengobatan yang tepat
adalah dengan melakukan pengobatan jangka panjang. Sayangnya
strategi terapi berkepanjangan ini terhambat oleh munculnya virus yang
kebal terhadap lamivudin, yang biasa disebut mutan YMDD.
Mutan VHB yang kebal terhadap lamivudin biasanya muncul setelah
terapi selama 6 bulan dan terdapat kecendrungan peningkatan dengan
berjalannya waktu. Mutan YMDD mengalami replikasi yang lebih
lambat dibandingkan dengan VHB tipe liar, dan karena itu konsentrasi
DNA VHB pada pasien dengan infeksi mutan masih lebih rendah
dibandingkan dengan konsentrasi sebelum terapi.
Sekitar 16% pasien hepatitis B yang mendapatkan pengobatan
lamivudin dalam jangka lama mengalami kenaikan konsentrasi ALT 8-
24 minggu setelah lamivudin dihentikan. Pada umumnya reaktivasi VHB
tersebut tidak disertai dengan ikterus dan kebanyakan akan hilang
sendiri. Karena itu pada semua pasien hepatitis b kronik yang mendapat
terapi lamivudin perlu dilakukan monitoring seksama setelah pengobatan
dihentikan.

12
Adefoir Dipivoksil adalah suatu nekleosid oral yang menghambat
enzim reverse transcriptase. Mekanisme khasiat adefoir hamper sama
dengan lamivudin. Pada saat ini adefoir baru dipakai pada kasus-kasus
yang kebal terhadap lamivudin karena memperhatikan segi keuntungan
dan kerugian dari adefoir. Dimana keuntungannya adalah adefoir jarang
sekali mengalami kekebalan serta merupakan terapi yang ideal untuk
terapi hepatitis B kronik dengan penyakit hati yang parah. Kerugiannya
adalah harga yang lebih mahal dan masih kurangnya data mengenai
khasiat dan keamanan dalam penggunaan jangka panjang. Analog
Nukleosid yang lain adalah Fanciclovir dan emtericitabine (FTC).
Terapi antivirus dianjurkan untuk pasien hepatitis B kronik dengan
ALT> 2X normal dengan VHB DNA positif. Untuk ALT < 2x nilai
normal tidak perlu diterapi dengan antivirus. Dalam keadaan biasa IFN
terapi antivirus diberikan sampai 6 bulan sedangkan lamivudin sampai 3
bulan setelah serokonversi HbeAg.
Kriteria respon antivirus yang biasa dipakai adalah hilangnya DNA
VHB dalam serum (non PCR), hilangnya HBeAg dengan atau tanpa
munculnya anti-HBe. Normalnya ALT, serta turunnya nekroinflamasi
dan tidak adanya progresi fibrosis pada biopsy hati yang dilakukan
secara seri. Standarisasi respon terapi :
 Respon Biokimiawi (BR) adalah penurunan konsentrasi ALT/ SGPT
menjadi normal
 Respon virologik (VR) , negatifnya DNA VHB < 2000 IU/mldan
hilangnya HBeAg pada pasien yang sebelum terapi HBeAg positif
 Respon histologik (HR) menurunnya indeks aktivitas histologik
sedikitnya 2 poin dibandingkan biopsy hati sebelum terapi
 Respon komplit (CR) adanya respon biokimiawi dan virologik yang
disertai negatifnya HBsAg
3. Analog Nukleosid dan Transplantasi hati
Pada pasien infeksi VHB yang perlu dilakukan transplantasi hati
sangat sulit melakukan eradikasi VHB sebelum transplantasi. Bila pasien
tersebut dilakukan transplantasi maka angka kekambuhan infeksi infeksi

13
VHB pasca transplantasi sangat tinggi karena pasca transplantasi semua
pasien mendapat terapi imunosupresif yang kuat. Karena itu dengan
adanya terapi antivirus spesifik yang dapat menghambat progresi
penyakit hati setelah transplantasi, maka kini transplantasi tetap
diberikan pada pasien dengan infeksi VHB. Penelitian menunjukan
dengan menggunakan gabungan Hepatitis B immune globulin (HBIG)
dengan lamivudin kekambuhan infeksi VHB pasca transplantasi dapat
ditekan sampai kurang dari 10%.

II.2 SIROSIS HEPATIS


II.2.1 DEFINISI
Sirosis hepatis merupakan penyakit kronis hati yang ditandai dengan fibrosis,
disorganisasi dari lobus dan arsitektur vaskular, serta regenerasi nodul hepatosit.
Respon fibrosis pada kerusakan hati bersifat reversible teteapi apabila penyebab
sirosis telah diperbaiki, proses fibrosis terjadi secara irreversible (Kasper, 2015).
II.2.2 EPIDEMIOLOGI
Angka morbiditas dan mortalitas akibat sirosis hepatis semakin meningkat
di negara maju sehingga termasuk ke dalam suatu masalah kesehatan global.
Sirosis hepatis adalah penyebab kematian ke-14 yang paling sering terjadi di
dunia dan penyebab kematian nomor 4 di Eropa.
Prevalensi sirosis hepatis di Indonesia belum diketahui secara pasti, hanya
berdasarkan pada penelitian-penelitian yang dilakukan di rumah sakit umum milik
pemerintah. Di Indonesia belum terdapat data yang dapat mempresentasikan
jumlah penderita sirosis hepatis secara akurat. Menurut laporan rumah sakit
umum pemerintah di Indonesia, rata-rata prevalensi sirosis hepatis adalah 3,5%
seluruh pasien yang dirawat di bangsal Penyakit Dalam, atau rata-rata 47,4% dari
seluruh pasien penyakit hati yang dirawat (Kusumobroto, 2007)
II.2.3 ETIOLOGI
Seluruh penyakit hati yang bersifat kronis dapat mengakibatkan sirosis
hepatis. Etiologi tersering di negara barat adalah akibat konsumsi alkohol
sedangkan di Indonesia, etiologi utama dari sirosis hepatis adalah hepatitis B
dan/atau C kronis (Fauci et al., 2015)

14
a. Virus hepatitis B, C, dan D.
b. Alkohol.
c. Obat-obatan atau toksin.
d. Kelainan metabolik
e. Kolestasis intra dan ekstra hepatik.
f. Gagal jantung dan obstruksi aliran vena hepatika.
g. Gangguan imunitas.
h. Sirosis biliaris primer dan sekunder.
i. Idiopatik atau kriptogenik.
II.2.4 PATOFISIOLOGI
Patogenesis fibrosis hati merupakan proses yang sangat kompleks yang
melibatkan sel stellata hati (HSC) sebagai sel utama, sel kupffer, lekosit, berbagai
mediator, sitokin, growth factors dan inhibitor serta berbagai jenis kolagen
(Bataller & Braenner, 2009). Hati memiliki sinusoidal yang terdiri dari sel sel
endotelial, pits cells, kupffer dan HSC. Sel kupffer dan sel HSC berperan penting
dalam proses fibrogenesis hati. Sel-sel endotelial membatasi sinusoid-sinusoid
dan memiliki fenestra yang memungkinkan terjadinya pertukaran zat antara
hepatosit dan sel endotel. Antara hepatosit dan sel endotelial terdapat ruang Disse
(subendotel) yang merupakan tempat dimana HSC berada (Sibernagl, 2003). Sel
kupffer melekat pada sel endotel dan merupakan derivad sel monosit. Fungsi sel
kupffer adalah memfagosit sel hepatosit tua, debris sel, benda asing, sel tumor dan
berbagai mikroorganisme (Sage, 2007).
Produk dari kupffer yang aktif terdiri dari berbagai interleukin (IL); IL-1,
IL-6, IL-10, interferon-α dan β, transforming growth factor (TGF), TNF, hidrogen
peroksida, nitric oxide (NO). HSC memiliki sitoplasma yang panjang sampai
sinusoid yang bersentuhan dengan hepatosit sehingga berperan dalam menentukan
besarnya aliran darah hepatik. Pada keadaan inaktif HSC merupakan tempat
penyimpanan retinoid sehingga memiliki morfologi Cytoplasmic lipid droplets.
Pada keadaan aktif akibat terjadinya cedera hati, HSC akan kehilangan lipid
droplets, berproliferasi dan kemudian bermigrasi ke zona 3 asinus lalu berubah
menjadi sel miofibroblas yang memproduksi kolagen tipe I, III, IV dan laminin.
Miofiobroblas bersifat kontraktil karena memiliki filamen aktin dan miosin. HSC

15
merupakan sel yang berperan utama dalam memproduksi MES pada hati normal
dan fibrosis hati (Bemion, 2001).
Transformasi sel normal menjadi sel yang fibrotik merupakan proses yang
sangat rumit. Terdapat interaksi antara HSC dengan sel-sel parenkimal, sitokin,
growth factor, berbagai protease matriks beserta inhibitornya dan MES. Faktor-
faktor yang berperan dalam terjadinya fibrosis hati antara lain (Bataller and
Brenner, 2009) : Cedera hati, Inflamasi yang ditandai oleh Infiltrasi dan aktivasi
dari berbagai sel (netrofil, limfosit, trombosit dan sel-sel endotelial, termasuk sel
kupffer) dan Pelepasan berbagai mediator, sitokin, growth factor, proteinase
berikut inhibitornya dan beberapa jenis substansi toksik seperti reactive oxygen
spesies (ROS) dan peroksida lipid, aktivasi dan migrasi sel HSC ke daerah yang
mengalami cedera, perubahan jumlah dan komposisi MES akibat pengaruh HSC
serta pengaruh berbagai sel, mediator dan growth factor. Inaktivasi HSC,
apoptosis serta hambatan apoptosis oleh berbagai komponen yang terlibat dalam
perubahan MES.
Faktor pertumbuhan dan sitokin ini selanjutnya akan mengubah sel HSC
penyimpan lemak di hati menjadi miofibroblas, mengubah monosit yang
bermigrasi menjadi makrofag aktif dan memicu prolifrasi fibroblas. Aksi
kemotaktik transforming growth factor β (TGF- β) dan protein kemotaktik
monosit (MCP-1), yang dilepaskan dari sel HSC (dirangsang oleh tumor necrosis
factor α (TNF-α)), platelet – derived growth factor (PDGF) dan interleukin akan
memperkuat proses ini, demikian pula dengan sejumlah zat sinyal lainnya. Akibat
sejumlah interaksi ini (penjelasan yang lebih rinci belum dipahami sepenuhnya),
pembentukan matriks eksraseluler ditingkatkan oleh miofibroblas dan fibroblas,
yang berarti peningkatan penimbunan kolagen (Tipe I, III, IV), proteoglikan
(dekorin, biglikan, lumikan, agrekan) dan glikoprotein (fibronektin, laminin,
tenaskin dan undulin) di ruang disse. Fibrinolisis glikoprotein di ruang disse
menghambat pertukaran zat antara sinusoid darah dan hepatosit, serta
meningkatkan resistensi aliran di sinusoid (Bergkamen et al., 2007).
Terjadinya fibrosis hati dimulai dengan aktivasi HSC yang dibagi dalam
beberapa fase, walaupun pada kenyataannya proses ini berlangsung simultan dan
tumpang tindih (Bemion, 2001).

16
a. Fase Inisiasi
Merupakan fase aktivasi HSC menjadi miofibroblas yang bersifat
proliferatif, fibrogenik dan kontraktil. Terjadi induksi cepat terhadap gen
HSC akibat rangsangan dari parakrin yang berasal dari sel-sel inflamasi,
hepatosit yang rusak, sel-sel duktus biliaris serta perubahan awal komposisi
MES. Perubahan-perubahan tersebut menyebabkan HSC responsif terhadap
berbagai sitokin dan stimulasi lokal lainnya. Pada fase inisiasi ini, setelah
cedera pada sel hati, terjadi stimulasi parakrin terhadap HSC oleh sel-sel yang
berdekatan dengan HSC seperti sel endotelial dan hepatosit serta sel kupffer,
platelet dan lekosit yang menginfiltrasi lokal cedera hati (Bemion, 2001).
Stimulasi parakrin berupa inflamasi akibat pelepasan berbagai sitokin
seperti IL-1, IL-4, IL-5, IL-6, IL-13 yang terutama di hasilkan oleh limfosit
TH2, pelepasan berbagai sitokin, faktor-faktor nekrosis dan interferon yang
dihasilkan oleh sel kupffer dan oksidasi, terutama oleh reactive oxygen (ROS)
dan peroksida lipid yang dihasilkan oleh netrofil dan sel kupffer. Oksidan-
oksidan tersebut meningkatkan sintesis kolagen oleh HSC. Stimulasi yang
lain berupa pelepasan dan aktivitas berbagai growth factors yang terutama
dihasilkan oleh sel kupffer yang teraktivasi oleh sel-sel endotelial lainnya,
pengeluaran proteinase dan gangguan reseptor HSC. Peroxisome proliferator
activated reseptor yang terdapat pada reseptor HSC (Bemion, 2001).
b. Fase “pengkekalan” (perpetuation phase)
Terjadi respon selular akibat proses inisiasi. Pada fase ini terjadi berbagai
reaksi yang menguatkan fenotip sel aktif melalui peningkatan ekspresi
berbagai faktor pertumbuhan dan responnya yang merupakan hasil
rangsangan autokrin dan parakrin serta akselerasi remodelling MES. Fase ini
sangat dinamis dan berkesinambungan. Fase pengkekalan ini merupakan hasil
stimulasi parakrin dan autokrin, meliputi tahap proliferasi, fibrogenesis,
peningkatan kontraktilitas, pelepasan sitokin proinflamasi, kemotaksis,
retinoid loss dan degradasi matriks (Bemion, 2001).
Tahap akhir dari fase pengkekalan adalah degradasi matriks, yuang diatur
oleh keseimbangan antara matrix metalloproteinase (MMP) dan antagonisnya
yaitu TIMP (tissue inhibitor metalloproteinase). Degradasi MES terdiri dari

17
degradasi restoratif yang merusak kelebihan jaringan parut dan yang
menyebabkan degradasi patologik adalah MMP-2 dan MMP-9 dimana kedua
enzim ini merusak kolagen tipe IV, serta membran type metalloproteinase 1
dan 2 (aktivator MMP-2) (Bemion, 2001).
c. Fase resolusi
Fase ini jumlah HSC yang aktif berkurang dan integritas jaringan
kembali normal. Terjadi 2 keadaan pada fase ini yaitu reversi, dimana terjadi
perubahan HSC aktif menjadi inaktif dan apoptosis. Pada cedera hati
apoptosis dihambat oleh berbagai faktor dan komponen matriks yang terlihat
dalam proses inflamasi, dimana yang berperan penting dalam menghambat
apoptosis adalah IGF-1 dan TNF-γ (Bemion, 2001). Jaringan hati yang
normal terdapat MES yang merupakan kompleks yang terdiri dari tiga grup
makromolekul yakni kolagen, glikoprotein dan proteoglikan. Makromolekul
utama adalah grup kolagen yang paling dikenal pada fibrosis hati, terdiri dari
kolagen interstisial atau fibrillar (kolagen tipe I,III) yang memiliki densitas
tinggi dan kolagen membran basal (kolagen tipe IV) yang memiliki densitas
rendah di dalam ruang Disse. Kolagen terbanyak pada jaringan hati yang
normal adalah kolagen tipe IV. Pada fibrogenesis terjadi peningkatan jumlah
MES 3 sampai 8 kali lipat, dimana kolagen tipe I dan tipe III menggantikan
kolagen tipe IV (Grunhage, 2003).

Glikoprotein adhesif yang dominan adalah laminin yang membentuk


membran basal dan fibronektin yang berperan dalam proses perlekatan,
diferensiasi dan migrasi sel. Proteoglikan merupakan protein yang berperan
sebagai tulang punggung MES dalam ikatannya dengan glikosaminoglikan. Pada
fibrogenesis terjadi peningkatan fibronektin, asam hialuronat, proteoglikan dan
berbagai glikokonjugat. Pembentukkan jaringan fibrotik terjadi karena sintesis
matriks yang berlebihan dan penurunan penguraian matriks. Penguraian matriks
tergantung kepada keseimbangan antara enzim-enzim yang melakukan degradasi
matriks dan inhibitor enzim-enzim tersebut. Akumulasi MES lebih sering berawal
dari ruang Disse perisinusoid terutama pada metabolic zone 3 di asinus hati
(perivenous) menuju fibrosis perisentral (Grunhage, 2003).

18
Friedmann (2007) menjelaskan bahwa struktur dan fungsi hati yang normal
tergantung pada keseimbangan antara kematian sel dan regenerasi sel. Kematian
sel hati dapat terjadi melalui dua proses yakni nekrosis dan apoptosis. Pada
nekrosis yang merupakan keadaan yang diawali oleh kerusakan sel, terjadi
gangguan integritas membran plasma, keluarnya isi sel dan timbulnya respon
inflamasi. Respon ini meningkatkan proses penyakit dan mengakibatkan
bertambahnya jumlah sel yang mati.
Friedmann (2007) juga mengungkapkan bahwa mekanisme apoptosis
merupakan respon tubuh untuk menyingkirkan sel yang rusak, berlebihan maupun
sel yang sudah tua. Terjadi fragmentasi DNA sedangkan organel sel tetap viabel.
Saat dibutuhkan tambahan hepatosit, sel hati yang inaktif dirangsang oleh
berbagai mediator termasuk sitokin untuk masuk kedalam fase G1 dari siklus
mitosis sel, dimana berbagai faktor pertumbuhan termasuk nuclear factors yang
merangsang sintesis DNA, keadaan ini disebut regenerasi. Pada keadaan sirosis
hati terjadi regenerasi secara cepat dan berlebihan sehingga nodul-nodul
beregenerasi. Pada kerusakan hati yang luas, hepatosit dapat dihasilkan oleh sel-
sel yang berhubungan dengan duktus biliaris yang disebut dengan sel oval dan
dari stem sel ekstrahepatik seperti sumsum tulang.
Hipertensi portal merupakan peningkatan gradient tekanan vena hepatic > 5
mmHg yang terjadi akibat peningkatan resistensi terhadap aliran darah portal dan
peningkatan aliran masuk ke vena portal. Penigkatan resistensi ini diakibatkan
karena adanya perubahan struktur parenkim hati (deposisi jaringan fibrosis dan
regenerasi nodular) serta mekanisme vasokonstriksi pembuluh darah sinusoid hati
(terutama akibat defisiensi nitrit oksida). Hipertensi portal menyebabkan :
a. Pembesaran limpa dan sekuestrasi trombosit
b. Terjadi aliran darah balik dan terbentuk pirau (shunt) dari sistem portal ke
pembuluh darah sistemik (portosistemik) yang menurunkan kemampuan
metabolisme hati, fungsi retikuloendotelial, dan menyebabkan hiperamonemia.
c. Aktivasi sistem renin-angitensin-aldosteron yang terjadi akibat adanya
pembesaran limpa dan vasodilatasi sistemik. Pada tahap lanjut, kondisi ini
dapat mengakibtkan komplikasi pada jantung, paru, dan renal.

19
Pada sirosis hepatis juga terjadi insufisiensi hati. Perubahan struktur histologi
hati akan disertai dengan penurunan fungsi hati antara lain :
a. Gangguan fungsi sintesis : hipoalbuminemia dan malnutrisi, defisiensi vitamin
K dan koagulopati (penurunan faktor koagulasi yang membutuhkan vitamin K,
yaitu faktor II, VII, IX, dan X) serta gangguan endokrin (peningkatan kadar
estrogen darah dan hiperparatiroidisme).
b. Gangguan fungsi ekskresi : kolestasis dan ikterus, hiperamonemia, dan
ensefalopati
c. Gangguan fungsi metabolisme : gangguan homeostasis glukosa (diabetes
melitus), malabsorbsi vitamin D dan kalsium

III.2.5 MANIFESTASI KLINIS


Secara klinis, sirosis hepatis dibedakan menjadi dua, yaitu sirosis
kompensata (gejala klinis belum ada atau minimal) dan sirosis dekompensata
(gejala dan tanda klinis jelas).

20
a. Sirosis kompensata
Umumnya hanya bisa didiagnosis melalui pemeriksaan fungsi hati. Bila ada
gejala, gejala yang timbul berupa kelelahan nonspesifik, penurunan libido, atau
gangguan tidur. Sebenarnya, 40 % kasus sirosis hepatis kompensata telah
mengalami varises esophagus tetapi belum menunjukkan tanda-tanda
perdarahan.
b. Sirosis dekompensata
Ditemukan paling tidak 1 dari manifestasi klinis, yaitu ikterus, asites, edema
perifer, hematemesis melena (akibat perdarahan varises esophagus), jaundice,
atau ensefalopati (baik tanda dan gejala minimal maupun status mental). Asites
adalah tanda dari sirosis dekompensata yang paling sering ditemukan (sekitar
80 %). Selain itu, terdapat stigmata sirosis lainnya yang dapat diidentifikasi,
yaitu:
1. Tanda gangguan endokrin :
- Spider angioma : gambaran seperti laba-laba di kulit, terutama daerah
leher, bahu, dan dada
- Eritema palmaris pada tenar dan hipotenar
- Atrofi testis yang sering disertai dengan penurunan libido dan impotensi
- Ginekomastia
- Alopesia pada dada dan aksila
- Hiperpigmentasi kulit yang diduga akibat peningkatan kadar melanocyte-
stimulating hormone (MSH).
2. Kuku Muchrche : gambaran pita putih horizontal yang memisahkan warna
kuku normal
3. Kontraktur Dupuytren : penebalan fasia pada palmar (terutama pada sirosis
alkoholik)
4. Fetor hepatikum : bau napas khas akibat penumpukan metionin (gagal
dimetabolisme) atau akibat peningkatan konsentrasi dimetilsulfida akibat
pirau portosistemik yang berat.
5. Atrofi otot
6. Ptekie dan ekimosis bila terjadi trombositopenia koagulopati berat
7. Splenomegali

21
8. Pada plapasi hati hasilnya beragam, mulai dari tidak ditemukan adanya
pembesaran hati, lobus kiri hati teraba lunak (khas sirosis) atau teraba
nodul dengan konsistensi keras
II.2.6 DIAGNOSIS
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan pada pasien dengan sirosis hepatis
adalah :
1. Pemeriksaan Laboratorium
- Parameter hematologi : hemoglobin, leukosit, hitung trombosit, waktu
protrombin
a. Pansitopenia dapat terjadi akibat splenomegali kongestif berkaitan
dengan hipertensi porta sehingga terjadi hipersplenisme.
b. Waktu protrombin memanjang karena disfungsi sintesis faktor koagulan
akibat sirosis
a. Biokimia serum : bilirubin transaminase (ALT/SGOT dan AST/SGPT),
albumin, globulim, imunoglobulin, feritin serum, saturasi transferin,
alkalin fosfatase.
b. SGOT (serum glutamil oksalo asetat) atau AST (aspartat
aminotransferase) dan SGPT (serum glutamil piruvat transferase) atau
ALT (alanin aminotransferase) meningkat tapi tidak begitu tinggi. AST
lebih meningkat dibanding ALT. Namun, bila enzim ini normal, tidak
mengeyampingkan adanya sirosis.
- Apabila ditemukan asites : kadar elektolit (natrium, kalium, bikarbonat,
klorida), ureum dan kreatinin, serta urinalisis (urin tampung 24 jam). Na
serum menurun, terutama pada sirosis dengan asites, dikaitkan dengan
ketidakmampuan ekskresi air bebas
- Pengecekan serologi hepatitis B dan C, profil lipid dan glukosa, penanda
autoimun, dan sebagainya untuk mengetahui penyebab.
2. Biopsi hati dan pemeriksaan histopatologis : gold standard untuk diagnosis
dan klasifikasi derajat sirosis
3. Pemeriksaan radiologi (non-invasif) untuk :

22
- Deteksi nodul hati atau tanda hipertensi portal : USG hati, CT-scan/MRI.
Barium meal, untuk melihat varises sebagai konfirmasi adanya hipertensi
portal. USG abdomen untuk menilai ukuran hati, sudut, permukaan, serta
untuk melihat adanya asites, splenomegali, trombosis vena portal, pelebaran
vena porta, dan sebagai skrinning untuk adanya karsinoma hati pada pasien
sirosis. Penilaian kekakuan jaringan hati (derajat fibrosis) : transien
elastografi (Fibroscan), MR elastrografi
4. Pemeriksaan esofago-gastroduodenoskopi (EGD), baik untuk deteksi varises
esofagus
5. Beberapa prediktor sirosis telah dikembangkan dengan menggunakan metode
indirek, antara lain :
- Umumnya rasio AST/ALT > 1. Namun, rasio sebaliknya tidak mengeksklusi
kejadian sirosis.
Skor Child-Turcotte-Pugh (CTP)

II.2.7 TATALAKSANA
Etiologi sirosis mempengaruhi penanganan sirosis. Terapi ditujukan untuk
mengurangi progresi penyakit, menghindarkan bahan-bahan yang bisa menambah
kerusakan hati, pencegahan, dan penanganan komplikasi. Tatalaksana pasien
sirosis yang masih kompensata ditujukan untuk mengurangi progresi kerusakan
hati.
1. Penatalaksanaan Sirosis Kompensata
Bertujuan untuk mengurangi progresi kerusakan hati, meliputi :

23
a. Menghentikan penggunaan alcohol dan bahan atau obat yang
hepatotoksik
b. Pemberian asetaminofen, kolkisin, dan obat herbal yang dapat
menghambat kolagenik
c. Pada hepatitis autoimun, bisa diberikan steroid atau imunosupresif
d. Pada hemokromatosis, dilakukan flebotomi setiap minggu sampai
konsentrasi besi menjadi normal dan diulang sesuai kebutuhan.
e. Pada pentakit hati nonalkoholik, menurunkan BB akan mencegah
terjadinya sirosis
f. Pada hepatitis B, interferon alfa dan lamivudin merupakan terapi
utama. Lamivudin diberikan 100mg secara oral setiap hari selama
satu tahun. Interferon alfa diberikan secara suntikan subkutan
3MIU, 3x1 minggu selama 4-6 bulan.
g. Pada hepatitis C kronik, kombinasi interferon dengan ribavirin
merupakan terapi standar. Interferon diberikan secara subkutan
dengann dosis 5 MIU, 3x1 minggu, dan dikombinasi ribavirin 800-
1000 mg/hari selama 6 bulan.
Untuk pengobatan fibrosis hati, masih dalam penelitian. Interferon,
kolkisin, metotreksat, vitamin A, dan obat-obatan sedang dalam
penelitian.
2. Penatalaksanaan Sirosis Dekompensata
a. Asites
- Tirah baring
- Diet rendah garam : sebanyak 5,2 gram atau 90 mmol/hari
- Diuretic : spiroolakton 100-200 mg/hari. Respon diuretic bisa
dimonitor dengan penurunan BB 0,5 kg/hari (tanpa edem kaki)
atau 1,0 kg/hari (dengan edema kaki). Bilamana pemberian
spironolakton tidak adekuat, dapat dikombinasi dengan
furosemide 20-40 mg/hari (dosis max.160 mg/hari)
- Parasentesis dilakukan bila asites sangat besar (4-6 liter),
diikuti dengan pemberian albumin.
b. Peritonitis Bakterial Spontan

24
Diberikan antibiotik glongan cephalosporin generasi III seperti
cefotaksim secara parenteral selama lima hari atau quinolon secara
oral. Mengingat akan rekurennya tinggi maka untuk profilaksis
dapat diberikan norfloxacin (400 mg/hari) selama 2-3 minggu.
c. Varises Esofagus
- Sebelum dan sesudah berdarah, bisa diberikan obat penyekat
beta (propanolol)
- Waktu perdarahan akut, bisa diberikan preparat somatostatin
atau okreotid, diteruskan dengan tindakan skleroterapi atau
ligasi endoskopi
d. Ensefalopati Hepatik
- Laktulosa untuk mengeluarkan ammonia
- Neomisin, untuk mengurangi bakteri usus penghasil ammonia
- Diet rendah protein 0,5 gram/kgBB/hari, terutama diberikan
yang kaya asam amino rantai cabang
e. Sindrom Hepatorenal
Sampai saat ini belum ada pengobatan yang efektif untuk SHR.
Oleh karena itu, pencegahan terjadinya SHR harus mendapat
perhatian utama berupa hindari pemakaian diuretic agresif,
parasentesis asites, dan restriksi cairan yang berlebihan.
II.2.8 PROGNOSIS
Prognosis sirosis hepatis sangat bervariasi dipengaruhi oleh sejumlah
faktor, meliputi etiologi, beratnya kerusakan hepar, komplikasi, dan penyakit lain
yang menyertai sirosis. Klasifikasi Child-Turcotte juga untuk menilai prognosis
pasien sirosis yang akan menjalani operasi, variabelnya meliputi konsentrasi
bilirubin, albumin, ada tidaknya asites, ensefalopati, dan status nutrisi. Klasifikasi
Child-Turcotte berkaitan dengan kelangsungan hidup. Angka kelangsungan hidup
selama satu tahun untuk pasien dengan Child A, B, dan C berturut-turut 100 %, 80
%, dan 45 % sedangkan kelangsungan hidup selama dua tahun secara berturut-
turut sebesar 85 %, 57 %, dan 35 %.

25
BAB III
KESIMPULAN

26
Hepatitis adalah peradangan pada organ hati yang disebabkan infeksi bakteri,
virus, proses autoimun, obat-obatan, perlemakan, alkohol dan zat berbahaya
lainnya. Hepatitis B adalah penyakit yang disebabkan oleh virus Hepatitis B yang
penyebaran penyakit melalui darah dan produknya, suntikan yang tidak aman,
transfusi darah, proses persalinan, melalui hubungan seksual.
Persistensi infeksi VHB lebih dari 6 bulan disebabkan oleh adanya respon
imun yang tidak efisien oleh faktor viral maupun pejamu dan akan berkembang
menjadi hepatitis B kronis. Seluruh penyakit hati yang bersifat kronis dapat
mengakibatkan sirosis hepatis.
Sirosis hepatis merupakan penyakit kronis hati yang ditandai dengan fibrosis,
disorganisasi dari lobus dan arsitektur vaskular, serta regenerasi nodul hepatosit.
Etiologi tersering di negara barat adalah akibat konsumsi alkohol sedangkan di
Indonesia, etiologi utama dari sirosis hepatis adalah hepatitis B dan/atau C kronis.
Sirosis hati stadium awal tidak menimbulkan gejala (kompensata) tapi jika
didiamkan akan berlangsung kronis dan menjadi sirosis dekompensata dengan
gejala ikterus, asites dan edema perifer, hematemesis melena (akibat perdarahan
esofagus), jaundice, atau ensefalopati.
Etiologi sirosis mempengaruhi penanganan sirosis. Terapi ditujukan untuk
mengurangi progresi penyakit, menghindarkan bahan-bahan yang bisa menambah
kerusakan hati, pencegahan, dan penanganan komplikasi. Tatalaksana pasien
sirosis yang masih kompensata ditujukan untuk mengurangi progresi kerusakan
hati sedangkan yang dekompensata adalah untuk mengatasi kegawatdaruratan dan
mengembalikan ke kondisi kompensata.

DAFTAR PUSTAKA

27
AMN Healthcare Education. 2013. Hepatitis B: Pathophysiology, Protection, and
Patient.

Andra, Ns. Saferi Wijaya, S.Kep dan Ns. Yessie Mariza Putri, S.Kep. 2013. KMB
2 Keperawatan Medikal Bedah (Keperawatan Dewasa).Yogyakarta:Nuha
Medika.

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI


2013, Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2013, Laporan Nasional 2013,
diakses 26 November 2019.

Bataller, R & Brenner, DA 2009. Miscellanous, Overview of Liver Fibrosis.


Textbook of Gastroenterology. Fifth Edition. Blackwell Publishing.

Bergkamen, HS 2007. Hepatocyte Apoptosis and Necrosis. Textbook of


Hepatology From Basic Science to Clinical Practise. Third Edition.
Blackwell Publishing.

Bemion, D & Arthur, MJP. 2001. Ekstracelluler Matrix Degradation and The Role
of Stellate Cells. Semin Liv Dis. vol. 21.

Friedman, SL 2007. Cellular and Molecular Pathobiology of Liver Fibrosis and Its
Pharmacological Intervention. Hepatology.

Grunhage, F & Lammert, F 2003. Assesstment of Hepatic Fibrosis in Chronic


Viral Hepatitis. Hepatology-A clinical textbook. New York: McGraw Hill.

Kasper, DL, Hauser, SL, Jameson, JL, Fauci, AS, Longo, DL, Loscalzo, J 2015,
Harrison’s Principles of Internal Medicine, 19 th edition, McGraw Hills,
USA.

Kumar, Ashok and Aurelia Busca. 2014. Innate immune responses in hepatitis B
virus (HBV) infection. Virology Journal

Kusumobroto, H., 2007. Sirosis Hati, dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Hati Edisi
I. FK Universitas Indonesia, Jakarta.

Oakes, Kathyrn. 2014. Hepatitis B:prevalence and pathophysiology. Nurs Tim

28
PB PAPDI. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi Kelima. Jilid Ketiga.
Jakarta: InternaPublishing.

PB PPHI. 2012. Konsensus Penatalaksanaan Hepatitis B di Indonesia. Indonesia:


PB PPHI.

Price Sylvia A, Wilson Lorraine M. 2012.Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-


Proses Penyakit. Jakarta: EGC

Rehermann, Barbara.2013. Pathogenesis of chronic viral hepatitis: differential


roles of T cells and NK cells. Nature Medicine

Sage, P.B. 2007. Liver and Biliary Tract Histology. Textbook of Hepatology
From Basic Science to Clinical Practise. Third Edition. London: Blackwell
Publishing.

Silbernagl, S. dan Lang, F. 2003. Fibrosis dan Sirosis Hati. Teks dan Atlas
berwarna; Patofisiologi. Jakarta: EGC.

Soemoharjo, Soewignjo. 2008. Hepatitis Virus B. Edisi Kedua. Jakarta: ECG

Sudoyo, Aru W, dkk. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I Edisi IV.
Jakarta; Interna Publishing Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam

Thedja MD. 2012. Genetic diversity of hepatitis B virus in Indonesia:


Epidemiological and clinical significance. Jakarta: DIC creative.

Yamada, Tadataka. 2009. Textbook of Gastroenterology. 5th ed. Blackwell


Publishing.

29

Anda mungkin juga menyukai